Oleh :
NPM: 17710110
Pembimbing :
1
PENDAHULUAN
Hematemesis (muntah darah) dan melena (buang air besar darah berwarna
kehitaman) merupakan keadaan yang diakibatkan oleh perdarahan saluran cerna bagian
atas/SCBA (upper gastrointestinal tract). Kebanyakan kasus hematemesis adalah
keadaan gawat di rumah sakit yang menimbulkan 8%-14% kematian di rumah sakit.
Faktor utama yang berperan dalam tingginya angka kematian adalah kegagalan untuk
menilai masalah ini sebagai keadaan klinis yang gawat dan kesalahan diagnostik dalam
menentukan sumber perdarahan (Sudoyo AW, 2009).
2
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. K
Tanggal lahir : 06 Juni 1957
Umur : 61 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Jenis kelamin : Wanita
Alamat : Jl. Sumput RT 07/03 Sidoarjo
No. Rekam Medis : 1449189
Tanggal MRS : 30-08-2018
Tanggal Pemeriksaan : 01-09-2018
II. ANAMNESA
a. Keluhan Utama
- BAB berwarna kehitaman
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Sidoarjo dengan keluhan buang air besar berwarna
kehitaman seperti petis dengan konsistensi lunak, 3-5x/hari kurang lebih
sebanyak 1 gelas aqua, dirasakan sejak 1 minggu yang lalu sebelum masuk
rumah sakit. Pasien juga merasakan nyeri pada ulu hati seperti ditusuk jarum
dan tidak berkurang setelah makan, disertai rasa pusing berputar, mual dan
muntah 1x bewarna kehitaman yang bercampur dengan makanan seperti kopi
sebanyak kira-kira 20cc pada hari rabu (29/08/18). Diketahui pasien memiliki
riwayat penyakit dispepsia sejak usia 40 tahun dan memiliki kebiasaan
mengkonsumsi obat sakit kepala oskadon dan bodrex yang dibeli diwarung
sejak 5 tahun yang lalu hingga sekarang. 1 bulan terakhir pasien mengatakan
hampir tiap hari rutin mengkonsumsi jamu untuk mengurangi rasa pegel linu.
Pada tahun 2016 pasien pernah masuk rumah sakit dan dirawat selama 7 hari di
RSUD Sidoarjo dengan keluhan yang sama yaitu bab berwarna kehitaman
disertai muntah berwarna kehitaman dan nyeri pada ulu hati. Pasien mengatakan
, tidak ada keluhan sulit untuk menelan, tidak ada rasa panas seperti rasa
terbakar didada, tidak ada penurunan berat badan, tidak pernah sakit kuning,
tidak ada kencing bewarna seperti teh, tidak merrasa sesak dan batuk, tidak ada
3
penurunan kesadaran, tidak ada kelemahan atau kelumpuhan yang dialami,
tidak ada nyeri pada tulang, tidak pernah minum obat-obatan untuk
mengencerkan darah.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien pernah sakit seperti ini 2 tahun yang lalu (2016).
- Riwayat Dyspepsia (+) sejak usia 40 th
- Riwayat penyakit diabetes disangkal
- Riwayat penyakit kuning disangkal
- Riwayat stroke disangkal
- Riwayat penyakit hipertensi (+)
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat penyakit ginjal disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
- Keluarga pasien tidak pernah sakit seperti ini
- Riwayat penyakit diabetes disangkal
- Riwayat penyakit hipertensi disangkal
e. Riwayat Pengobatan
- Minum obat dari dokter untuk keluhan nyeri ulu hati (Tidak dibawa)
- Riwayat Transfusi Darah tahun 2016.
f. Riwayat Kebiasaan
- Pasien memiliki kebiasaan mengkonsumsi jamu dan obat-obatan seperti oskadon
dan bodrex.
- Tidak minum-minuman beralkohol.
- Tidak merokok.
B. Kesadaran : Composmentis
GCS : 456
C. Tanda Vital
TD : 140/90 mmHg
Nadi : 72 x/menit/Reguler/Lemah
Suhu : 36,6 0C
4
Respiratory Rate : 19 x/ menit
D. Status Generalis
Kepala dan Leher
Kulit : Sawo matang, suhu raba hangat, hiperpigmentasi (-), ptechie (-), pucat (+),
ikterik (-)
Kepala : Normocephal , rambut berwarna kehitaman, uban (+), mudah rontok (-
), luka/bekas luka (-), benjolan (-)
Mata : konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-), pupil bulat isokhor,
refleks cahaya (+/+),
Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-), edem mukosa (-/-)
Telinga : Normotia (+/+), membrane timpani intak, sekret (-/-), perdarahan (-/-),
nyeri tekan tragus (-/-)
Mulut : Sianosis (-), gusi berdarah (-), sariawan (-), mukosa mulat pucat (+)
Lidah : Papil Tidak Atrofi, glositis (-)
Leher : Trakea di tengah, peningkatan JVP (-), tidak ada pembesaran kelenjar
getah bening, nyeri menelan (-), kesulitan menelan (-)
Thoraks
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak teraba, thrill (-), heave(-)
Perkusi :
- Batas kanan jantung 2 cm di sebelah lateral sternum pada ICS IV kanan
- Batas kiri jantung 4 cm di sebelah lateral sternum pada ICS V kiri
- Kesan : Batas jantung tidak melebar
Auskultasi:
Suara 1: tunggal regular
Suara 2: tunggal regular
Murmur (-), Gallop (-)
Paru
Inspeksi: simetris kanan kiri, tidak ada pelebaran ICS
Palpasi: gerakan nafas simetris, fremitus vokal tidak ada lateralisasi
5
Perkusi: sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi: suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
E. Abdomen
Inspeksi: Bentuk simetris, cembung (-), spider angioma (-), caput medusa (-)
Auskultasi: bising usus (+) meningkat.
Perkusi: timpani (+), asites (-), shifting dullness (-), undulasi (-)
Palpasi: Supel, nyeri tekan epigastrium (+) , nyeri tekan hipocondriac kanan (-),
nyeri tekan hipocondriac kiri (-), distended (-), meteorismus (-). Hepar dan lien
tidak teraba.
F. Ektremitas
Superior:
Akral hangat kering merah +/+
Edema -/-
Jejas -/-
Clubbing finger -/-
Koilonychia -/-
Eritema palmaris -/-
Icterus pada telapak tangan -/-
Pemeriksaan Motorik: Stage 5
Inferior:
Akral hangat kering merah +/+
Edema -/-
Jejas -/-
Clubbing finger (-)
Koilonychia -/-
Pemeriksaan Motorik: Stage 5
6
IV. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG
7
8
Hasil Endoskopi, 3 September 2018
9
V. RESUME
Anamnesis :
- BAB bewarna kehitaman dengan konsistensi lunak 3-5x/hari kurang lebih
sebanyak 1 gelas belimbing.
- Nyeri pada ulu hati seperti ditusuk jarum
- Pusing
- Mual
- Muntah 1x bewarna kehitaman seperti kopi bercampur dengan makanan
kurang lebih 20 cc
- Riwayat dispepsia sejak usia 40 th
- Memiliki kebiasaan mengkonsumsi obat oskadon dan bodrex serta jamu-jamu.
- Riwayat Hipertensi (+)
Pemeriksaan Fisik :
- Keadaan Umum : Lemah
- Tekanan Darah : 140/90 mmHg
- Kulit : Pucat
- Mata : Konsjungtiva Anemis (+/+)
- Mulut : Mukosa mulut pucat (+)
- Abdomen : Nyeri tekan epigastrium (+)
- Ekstremitas : Akral hangat kering merah -/-
Pemeriksaan Penunjang :
1. Darah lengkap 30/08/18
- WBC : 21.32 /Ul
- RBC : 1.8 /Ul
- HGB : 4.9 g/dL
- HCT : 16 %
- PLT : 374 /Ul
- MCV : 87.9 fl
- MCH : 26.9 pg
- MCHC : 30.6 g/dL
2. Kimia Klinik 30/08/18
- Gula Darah Sewaktu : 143 mg/dL
- BUN : 49.7 mg/dL
10
- Kreatinin : 1.6 mg/dL
- SGOT : 42 U/L
- SGPT : 38 U/L
3. Elektrolit 30/08/18
- Natrium : 141 mmol
- Kalium : 4.0 mmol
- Khlorida : 95 mmol
4. Kimia Klinik 31/08/18
- BUN : 28 mg/dL
- Serum Kreatinin : 1.2 mg/dL
- Albumin : 3.1 g/dL
- SGOT : 62 U/L
VI. DIAGNOSIS
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini
dapat disimpulkan dengan diagnosis :
A. Diagnosis Kerja
- Hematemesis Melena et causa Ulkus Peptikum
- Susp. Anemia Hipokromik Mikrositer et causa pendarahan akut saluran
cerna bagian atas
- Hipertensi Stage I
B. Diagnosis Banding
Gastritis erosif
Ca Gaster
Ca Esofagus
Varises Esofagus
VII. PENATALAKSANAAN
A. Non – Medikamentosa
- Tirah baring
- Puasa sampai pendarahan berhenti
- Diet cair
- Pasang NGT
Pemasangan nasogastric tube (NGT) ini dilakukan dengan dugaan
pendarahan masih berlangsung disertai dengan gangguan hemodinamik.
11
NGT sendiri bertujuan untuk mencegah aspirasi, dekompresi, dan menilai
perdarahan.
B. Medikamentosa
- Inf. RL 21 tpm
- Inj. Santagesic (Sodium Metamizol) 3x500 mg
- Inj. Prosogan (Lansoprazole) 3 x30 mg
- Inj. Kalnex (As. Tranexamat) 3 x 100 mg
- Inj. Vitamin K(Phytomenadione) 3 x10 mg
- Peroral : Syr. Sucralfat 3 x cth 2
12
VIII. ANALISIS KASUS
Pada tanggal 30/08/18 pasien Ny. K (61th) datang ke IGD RSUD Sidoarjo
dengan keluhan BAB berwarna hitam sejak 1 minggu konsistensi lunak berbau amis,
disertai mual dan muntah berwarna hitam seperti kopi yang bercampur dengan
makanan. Dari ringkasan uraian keluhan yang menjadi analisis pada kasus ini perlu kita
ketahui terlebih dahulu apakah perdarahan yang terjadi merupakan perdarahan saluran
cerna atas atau bawah. Pada perdarahan saluran cerna atas didapatkan manifestasi klinik
umumnya hematemesis dan atau melena serta aspirasi nasogastrik didapat adanya
darah, sedangkan pada perdarahan saluran cerna bawah didapatkan manifestasi klinik
umumnya hematokezia dan pada aspirasi nasogastrik didapatkan jernih. Pada kasus ini
didapatkan adanya hematemesis dan melena serta aspirasi nasogastrik didapatkan
adanya darah (Wenas, 2009).
Secara terminologi atau definisi pendarahan saluran cerna bagian atas atau
SCBA adalah pendarahan saluran makanan dari Ligamentum treitz bagian proksimal.
Kemungkinan pasien datang dengan 1).anemia defisiensi besi akibat pendarahan
tersembunyi yang berlangsung lama, 2). Hematemesis dengan atau tanpa melena
disertai dengan atau tanpa anemia dan gangguan hemodinamik (Sudoyo AW, 2009).
a. Ulkus peptikum
b. Sindrome Mallory-weiss
c. Varises esophagus
d. Erosi gastritis
e. Penggunaan obat trombolitik dan antikoagulan
13
f. Keganasan.
g. Idiopatik.
Melena diartikan sebagai tinja yang berwarna hitam dengan bau yang khas.
Melena timbul bilamana hemoglobin dikonversi menjadi hematin atau hemokrom
lainnya oleh bakteri setelah 14 jam. Umumnya melena menunjukkan perdarahan di
saluran cerna bagian atas atau usus halus, namun demikian melena dapat juga berasal
dari perdarahan kolon sebelah kanan dengan perlambatan mobilitas. Tidak semua
kotoran hitam ini melena karena bismuth, sarcol. Lycorice, obat-obat yang
mengandung besi (obat tambah darah) dapat menyebabkan faeces menjadi hitam. Oleh
karena itu dibutuhkan test guaiac untuk menentukan adanya hemoglobin (Sudoyo AW,
2009).
Pendarahan saluran cerna bagian atas sendiri dibagi menjadi dua bagian yakni
perdarahan oleh karena Varises esophagus atau Non Esofagus. Pada kasus ini penting
untuk dibedakan antara perdarahan yang disebabkan oleh varises esofagus dan non-
varises dikarenakan perbedaan tatalaksana dan prognosis.
14
signifikan, penurunan kadar serum albumin, serta Bilirubin direct/Total dalam batas
normal. Hasil pemeriksaan endoskopi menunjukan tidak didapatkan adanya gambaran
distensi/pelebaran dari vena di bagian esofagus.
Dari analisa diatas dapat saya tarik kesimpulan bahwasanya perdarahan yang
terjadi pada Ny.K merupakan perdarahan Non-Varises yang dapat disebabkan karena
Keganasan seperti Ca gaster/esophagus, gastritis erosive, Mallory-weiss tear, dan
Ulkus peptikum/PUB. Hal ini dapat dibuktikan dari data yang hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang pada pasien.
Dari data dari anamnesis Ny.K mengeluhkan BAB berwarna hitam sejak 1
minggu yang diikuti keluhan dyspepsia seperti nyeri dibagian ulu hati seperti ditusuk
jarum, mual dan muntah berwarna hitam seperti kopi. Pasien juga memiliki riwayat
konsumsi obat golongan NSAID dan jamu-jamuan sejak lama. Pasien juga memiliki
riwayat dyspepsia sejak usia 40 th. Hal ini sesuai dengan teori dimana secara umum
seorang yang menderita hematemesis melena biasanya mengeluh dyspepsia atau
memiliki riwayat keluhan dyspepsia berulang dan salah satunya dengan dengan riwayat
penggunaan obat NSAID jangka panjang. Dari kecurigaan pendarahan saluran cerna
bagian atas karena keganasan secara anamnesis dapat disingkirkan karena tidak
didapatkan adanya tanda dan gejala yang khas seperti adanya penurunan berat badan
berarti dalam 3 bulan terakhir, walaupun dari segi usia Ny. K (61th) >40th prevalensi
terjadinya Ca gaster tidak jarang ditemukan. Untuk pemakaian obat-obatan
antikoagulan pada kasus stroke atau penyakit jantung coroner disangkal oleh pasien.
15
Pada pemeriksaan fisik Ny. K didapatkan adanya tanda-tanda anemia yakni
pasien tampak terlihat pucat dengan konjungtiva palpebra anemis (+/+) yang
menandakan kurang darah (Gralnek, 2008). Selain itu didapatkan pula nyeri tekan (+)
pada daerah epigastrium. Kekurangan darah ini sebagai akibat manifestasi perdarahan
akut yang dialami pasien. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan data WBC
yang meningkat dari nilai normal (21.32/Ul), RBC (1.8/Ul) pada Hb kurang dari nilai
normal (4,9g/dL), HCT kurang dari nilai normal (16%), dan PLT (374/Ul). Untuk
mengetahui derajat dan penyebab dari kekurangan darah dapat dilihat dari
hemoglobulin, MCV dan MCH dari pemeriksaan darah lengkap (Djuwantoro et al,
2009). Pada pasien ini, dilihat dari Hb, MCV dan MCH maka pasien ini diduga
mengalami anemia hipokromik-mikrositer akibat pendarahan yang dialami, dan butuh
pemeriksaan lanjutan untuk memastikanya dengan pemeriksaan Hapusan darah tepi.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta penunjang pada Ny. K dapat saya
simpulkan dengan diagnosis hematemesis melena et causa Ulkus peptikum dengan
diagnosis sekunder Susp. Anemia Hipokromik Mikrositer yang perlu dipastikan dengan
evaluasi pemeriksaan hapusan darah tepi.
16
IX. Ulkus Peptikum
A. Etiologi
Diketahui ada dua faktor utama penyebab dari ulkus peptikum, yaitu, infeksi
Helicobacter pylori, dan penggunaan NSAID (Askandar et al, 2015).
Hal tersebut sejalan dengan kasus yang didapatkan pada pasien, dimana Ny.K
memiliki kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan seperti bodrex dan oskadon apabila
nyeri kepala timbul yang sudah sering dikonsumsi sejak 5 tahun lamanya. Kedua obat
tersebut mengandung obat golongan NSAID berupa Paracetamol yang merupakan
turunan dari Salisilat. Selain itu pasien juga mengatakan rutin minum jamu-jamu untuk
mengurangi ras pegel linu sejak 1 bulan terakhir. Dikatakan oleh (Efi Widyawati, et al,
2015) bahwa salah satu prinsip kerja obat tradisional adalah proses reaksinya yang
lambat namun bersifat konstruktif, tidak seperti obat kimia yang bias langsung bereaksi
tapi bersifat kuratif. Hal ini karena obat tradisional bukan senyawa aktif. Karena itu,
jika efek kesembuhan langsung muncul begitu obat tradisional diminum, maka layak
dicurigai karena pasti ada sesuatu. Itulah yang terjadi pada obat-obatan tradiisional jika
diberikan obat-obatan kimia. Adapun bahan-bahan yang biasa diacmpur atau
17
digunakan mengandung obat golongan kortikosteroid seperti dexametason,
phenilbutason ataupun prednison.
B. Patofisiologi
Dari kebiasaan Ny. K mengkonsumsi obat golongan NSAID dan Jamu pegel
linu adalah merupakan faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya gangguan
fisiokimia pertahanan dari mukosa lambung dan menyebabkan kerusakan mukosa akan
terus berlanjut, hingga memudahkan terjadinya proses inflamasi. Sejak usia 40 th pasien
mengaku telah memiliki keluhan dispepsia (nyeri ulu hati, mual, muntah) tetapi tidak
sampai muntah bewarna seperti kopi atau buang air besar bewarna kehitaman. Dimana
bisa kita simpulkan bahwa pasien memiliki dispepsia kronik. Kemudian pada tahun
2016 pasien mengatkan pernah di rawat di RSUD Sidoarjo dengan keluhan yang sama
yakni BAB kehitaman disertai muntah bewarna seperti kopi. Atas dasar teori yang
didapatkan pada kasus ini telah terjadi gangguan pada lambung yang terjadi sejak lama,
kemudian di perparah dengan penggunaan NSAID, dimana NSAID memiliki
mekanisme kerja menghambat enzim siklooksigenase (COX) yang mengubah asam
arakidonat (AA) menjadi prostaglandin (PG) yang merupakan suatu mediator nyeri.
Jadi dengan dihambatnya sintesa prostaglandin, timbulnya rasa nyeri juga akan
dihambat seperti pada kasus ini pasien sering mengkonsumsi NSAID untuk mengurangi
nyeri kepala yang dirasakan oleh pasien (ScheimanJM, 2009). Tetapi efek lain yang
ditimbulkan dalam penggunaan jangka panjang NSAID justru berdampak negatif atau
menjadi faktor predisposisi terjadinya kerusakan organ seperti pada kasus ini adalah
gaster/lambung.
18
karena OAINS bersifat lipofilik dan asam, sehingga mempermudah trapping ion
hidrogen masuk kedalam mukosa dan menimbulkan ulserasi. Efek sistemik NSAID
lebih penting yaitu terjadinya kerusakan mukosa lambung akibat dari produksi
prostaglandin yang menurun. Pada keadaan normal, asam lambung dan pepsin tidak
akan menyebabkan kerusakan mukosa lambung (ScheimanJM, 2009
Bila oleh karena sesuatu sebab ketahanan mukosa rusak (misalnya karena
salisilat) maka akan terjadi difusi balik H+ dari lumen masuk ke dalam mukosa. Difusi
balik H+ akan menyebabkan reaksi berantai yang dapat merusak mukosa lambung dan
menyebabkan pepsin dilepas dalam jumlah besar. Na+ dan protein plasma banyak yang
masuk kedalam lumen dan terjadi pelepasan histamin. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya peningkatan sekresi asam lambung oleh sel parietal, peningkatan
permeabilitas kapiler, oedema dan perdarahan. Di samping itu juga akan merangsang
parasimpatik lokal akibat dari sekresi asam lambung dan tonus muskularis mukosa
meningkat, sehingga kongesti vena makin hebat dan dapat menyebabkan perdarahan.
C. Terapi
Pengelolaan dasar pada Ny.K dengan kasus perdarahan saluran cerna atas sama
seperti perdarahan pada umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi,
diagnosis, dan terapi. Tujuan pokoknya adalah mempertahankan stabilitas
hemodinamik, menghentikan perdarahan, dan mencegah perdarahan ulang. Sedangkan
pada ulkus peptikum terapi ditujukan untuk menghilangkan keluhan ataupun gejala,
menyembuhkan ulkus, mencegah kekambuhan serta mencegah timbulnya komplikasi.
Pada pemeriksaan awal yang perlu diperhatikan adalah status hemodinamik dari
pasien, pada kasus ini didapatkan TD140/90mmHg dengan nadi 72x/reguler/lemah,
kesadaran compos mentis, akral teraba hangat, respiratory rate 19x, dengan produksi
urin lancar dan banyak. Dengan demikian dapat diartikan bahwa status hemodinamik
dari pasien dalam keadaan stabil. Adapun kondisi dimana status hemodinamik tidak
stabil dapat ditemukan tanda-tanda 1). hipotensi (< 90/60 mm Hg atau MAP < 70
mmHg) dengan frekuensi nadi > 1OO/menit; 2). tekanan diastolik ortostatik turun > l0
mm Hg atau sistolik turun > 20 mm Hg; 3). frekuensi nadi ortostatik meningkat > l5l
menit; 4). akral yang teraba dingin; 5). kesadaran yang menurun; 6). anuria atau oliguria
(produksi urin < 30 ml/jam).
19
Transfusi darah dapat diberikan diberikan, tergantung jumlah darah yang hilang,
perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya perdarahan berlangsung, dan
akibat klinik perdarahan tersebut. Pemberian transfusi darah pada perdarahan saluran
cerna dipertimbangkan pada keadaan berikut ini: 1). Perdarahan dalam kondisi
hemodinamik tidak stabil, 2).Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan
jumlahnya I liter atau lebih, 3).Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan
hemoglobin < l0 g%o atau hematokrit <30%.) dan terdapat tanda-tanda oksigenasi yang
menurun.
Dalam hal ini pasien dapat diberikan transfusi darah agar suplai oksigen
kejaringan tercukupi dan mencegah kegagalan sirkulasi atas indikasi sebagai berikut,
sampai target Hb >10g% atau Hematokrit >30% :
20
terapi endoskopik, terapi pasca endoskopik yang meliputi terapi antisekretorik dan
terapi eradikasi H. Pylori.
Terapi Ulkus peptikum pada Ny.K dapat dibagi menjadi terapi Non-
medikamentosa, terapi medikamentosa, operasi (Sudoyo AW, 2009).
1. Non Medikamentosa
Istirahat. Pada pasien dengan ulkus peptikum secara umum dapat dilakukan
pengobatan rawat jalan, pada pasian Ny.K didapatkan adanya simtom alarm yaitu
berupa hematemesis-melena, usia >40 th, serta kebiasaan penggunaan NSAID
dalam waktu yang lama oleh karena itu dianjurkan untuk rawat inap dirumah sakit
selain untuk penyembuhan juga sebagai langkah awal dalam melakukan
manajemen terapi berdasarkan dari hasil temuan lesi dari endoskopik pada
dispepsia yang belum diinvestigasi. Dikatakan bahwa penyembuhan dapat lebih
cepat dengan rawat inap walaupun mekanismenya belum jelas, kemungkinan oleh
bertambahnya jam istirahat berkurangnya refluks empedu, stres dan penggunaan
analgetik.
Diet. Pemberian makanan lunak (bubur) ataupun makanan yang mengandung
susu pada keadaan pasien ini tidak dianjurkan karena justru akan merangsang
pengeluaran asam lambung. beberapa peneliti menagnjurkan untuk diberikan
makanan biasa, tidak merangsang asam lambung dan diet seimbang.
2. Medikamentosa
21
Lansoprazole/Pantoprazole 2x 40mg /standar dosis atau 1x60
mg/double dosis.
22
Triple Therapy. Secara historis regimen terapi eradikasi yang pertama
digunakan adalah: Bismuth, Metronidazol, Tetrasiklin. Regimen tipel terapi (PPI 2x1 ,
Amoxicilin 2x 1000, Klaritromisin 2x500, Metonidazol 3x500, Tetrasiklin 4x500).
Kelompok Studi HP Indonesia (KSHPI,2014) merekomendasikan untuk
rejimen Triple therapy yang digunakan adalah sebagai berikut :
23
Lama pengobatan eradikasi HP 1 minggu (esomesoprazol), 5 hari rabeprazole.
Ada anjuran lama pengobatan eradikasi 2 minggu, untuk kesembuhan ulkus peptikum,
bisa dilanjutkan pemberian PPI selama 3-4 minggu lagi. Keberhasilan eradikasi
sebaiknya di atas 90%. Efek samping triple terapi 20-30 %. Kegagalan pengobatan
eradikasi biasanya karena timbulnya efek samping dan compliance dan resisten kuman.
Infeksi dalam waktu 6 bulan paska eradikasi biasanya suatu rekurensi dengan infeksi
selain dapat mencegah kekambuhan ulkus juga dapat mencegah perdarahan dan
keganasan.
Terapi Operasi. Biasanya dilakukan pada pasien dengan keadaan ulkus yang
refrakter/gagal pengobatan, dalam kedadaan darurat (perforasi/stenosis pylorik), atau
ulkus dengan kecurigaan mengarah keganasan. Namun tindakan operasi ini sudah
jarang dilakukan karena efektifitas yang tinggi dalam terapi secara medikamentosa dan
secara endoskopi. Prosedur operasi yang dilakukan pada penyakit ulkus peptikum
ditentukan adanya penyertaan ulkus duodenum: l). Ulkus antrum dilakukan anterektomi
(termasuk tukaknya) dan Bilroth 1 anastomosis gastroduodenostomi, bila disertai TD
dilakukan vagotomi. Tingginya kejadian rekurensi ulkus paska operasi maka prosedur
ini kurang diminati. 2). Tukak gaster dekat EG junction tindakan operasi dilakukan
lebih radikal/sub total gastrektomi dengan Roux-en-Y/esofago gastro j ejunostomi
(prosedur Csendo). Bila keadaan pasien kurang baik lokasi tukak proksimal dilakukan
prosedur Kelling Madlener termasuk anterektomi, biopsi tukak intra operatif dan
vagotomi, rekurensi tukak 30%.
24
Pada pasien ini terapi yang diberikan diruangan Terapi yang diberikan
diruangan diruangan meliputi :
Non – Medikamentosa
- Tirah baring/istirahat
- Puasa sampai pendarahan berhenti
- Diet cair
- Pasang NGT
Pemasangan nasogastric tube (NGT) ini dilakukan dengan dugaan
pendarahan masih berlangsung disertai dengan gangguan hemodinamik.
NGT sendiri bertujuan untuk mencegah aspirasi, dekompresi, dan menilai
perdarahan.
Medikamentosa
- Inf. RL 21 tpm
- Inj. Santagesic (Sodium Metamizol) 3x500 mg
- Inj. Prosogan (Lansoprazole) 3 x30 mg
- Inj. Kalnex (As. Tranexamat) 3 x 100 mg
- Inj. Vitamin K(Phytomenadione) 3 x10 mg
- Peroral : Syr. Sucralfat 3 x cth 2
Pada kasus perdarahan non varises khususnya perdarahan oleh karena ulkus
peptikum secara evidance base medicine dan clinical guidlines tidak di rekomendasikan
untuk pemberian asam traneksamat karena tidak dijumpai adanya proses fibrinolisis,
sedangkan Vitamin K dikhususkan pada kasus gangguan hati seperti pada kasus Sirosis
Hepatis yang menyebabkan terjadinya Varises Esofagus oleh karena Hipertensi Porta,
terjadi kegagalan sintesis faktor koagulasi dependen Vitamin K yaitu Faktor 2,7,9, dan
10. Hal ini dibutkikan dengan temuan di laboratorium yang apabila terjadi pemanjangan
Plasma Protrombin Time (PPT) maka indikasi pemberian Vit K dapat diberikan.
25
X. KOMPLIKASI
A. Perdarahan.
Insidensi l-2 % dai pasien tukak. Keluhan pasien akibat obstruksi mekanik
berupa cepat kenyang, muntah berisi makanan tak tercerna, mual, sakit perut setelah
makanipost prandial, berat badan turun. Kejadian obstruksi bisa temporer akibat
peradangan daerah peri pilorik timbul odema, spasme. Ini akan membaik bila
keradangan sembuh. Penghambat pompa proton (PP! amp dalam 100 cc NaCl0.9
diberi selama 10 jam dan dapat diteruskan selama beberapa hari (7- I 0 hari) hingga
obstruksi hilang. Bisa obstruksi permanen akibat fibrosis dari suatu tukak sehingga
mekanisme pergerakan antro duodenal terganggu. Terapi : dekompresi, pasang
nasogastrik tube, dari aspirasi isi lambung, puasa/TPN, dilanjutkan dengan
pemasangan balon dilatasi dengan endoskopi dan bila gagal dilakukan tindakan
operasi piloroplasti.
26
XI. KESIMPULAN
Prioritas utama dalam menghadapi kasus perdarahan SCBA ialah penentuan status
hemodinamik dan upaya resusitasi sebelum menegakkan diagnosis atau pemberian
terapi lainnya.
27
DAFTAR PUSTAKA
Akil. 2007. Buku Ajar Penyakit Dalam: Tukak Duodenum. Jilid 1 Edisi 4. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal 345, 347
Djuwantoro Dwi; Zubir Nazrul dan Julius. 2009. Diagnosis dan Pengobatan Tukak
Fandy Gosal, Bram Paringkoan, Nelly Tendean Wenas. 2009. Pathophysiology and
Gralnek. IM, Barkun. A.N, Bardou ,M. 2008. The new england journal of medicine :
28
Studi H.Pylori Indonesia : Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia
dan Infeksi H.Pylory Jakarta. hal 10-13
Marcelus Simadibrata K, Ari Fahrial Syam, Murdani Abdullah, Achmad Fauzi, Kaka
Renaldi. 2012. Persatuan Gastroenterologi Indonesia: Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Pendarahan Saluran Cerna Atas Non Varises di Indonesia.
hal 18-20
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu
Tarigan, Pangarapen; Akil, HAM. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Edisi V, jilid: I,
Tjay TH, Raharja K. 2005. Obat-obat penting. Jakarta: PT Gramedia; hlm 302.
th
Wenas NT. 2009. Pathophysiology and Prevention of NSAID Gastropathy. The 4
83-4.
29