Anda di halaman 1dari 6

GERAKAN ISLAM KONTEMPORER

A. PENDAHULUAN
Sejarah perkembangan Islam di Indonesia yang diperkirakan telah berlangsung
selama tiga belas abad, menunjukkan ragam perubahan pola, gerakan dan pemikiran
keagamaan seiring dengan perubahan sejarah bangsa. Keragaman demikian juga dapat
melahirkan berbagai bentuk studi mengenai Islam di negeri ini yang dapat dilihat dari
berbagai sudut pandang. Islam dilihat dari perkembangan sosial umpamanya, hampir dalam
setiap periode terdapat model-model gerakan umat Islam. Sebagaimana terjadi pada zaman
atau periode modern dan kontemporer yang mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Perkembangan wacana intelektual Islam kontemporer di Indonesia disebabkan oleh
semakin meluasnya cakupan dari pengertian intelektual Islam, terutama setelah masa
modernisme yang dipercaya dengan berbagai wacana tentang mondernitas dan reformasi.
Perkembangan wacana ini, dapat dijadikan sebagai tolak ukur bagi keberhasilan atau
lambatnya proses Islamisasi di Indonesia. Dalam hal ini proses Islamisasi lebih kepada
bagaimana Islam terus berproses dan berkembang ke arah yang lebih baik.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas munculah beberapa permasalah yang mungkin perlu adanya
pembahasan lebih mendalam lagi., diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Gerakan modern Islam (asal usul dan perkembangan)?
2. Kecenderungan wacana intelektual Islam kontemporer dalam lembaga
modern?
3. Gerakan Islam kontemporer di Indonesia?

C. PEMBAHASAN
1. Gerakan Modern Islam (Asal Usul dan Perkembangan)
Pembaruan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditujukan
terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran progresif kerajaan
Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam, setelah abad ketujuh belas, telah
melahirkan kebangkitan Islam di kalangan warga Arab di pinggiran imperium itu, yang
terpenting puritanis (salafiyyah). Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan
ke arah pembaruan Islam abad ke 20 yang lebih bersifat intelektual.
Katalisator terkenal gerakan pembaruan ini adalah Jamaluddin Al Afghani (1897). Ia
mengajarkan solidaritas PAN Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan
kembali kepada Islam dalam suasana secara ilmiah di modernisasi. Gerakan ini telah
memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia.
Memasuki abad ke -20 dinamika Islam di Indonesia ditandai dengan muncul dan
berkembangnya corak baru wacana dan pemikiran Islam yang biasa disebut banyak ahli
sebagai modernisme Islam. Kemunculan corak baru wacana Islam ini tidak terlepas dari
perkembangan al Afghani, Muhammad Abdul, Rasyid Ridha dan lain-lain. Pemikiran yang
dikembangkan para tokoh-tokoh ini telah memberikan stimulus global bagi kemunculan
gerakan modernisme Islam di berbagai kawasan dunia Islam termasuk Indonesia.[1]
Bermula dari pembaruan pemikiran dan pendidikan Islam di Minang Kabau, yang
disusul oleh pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia,
kebangkitan Islam semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi sosial keagamaan
seperti serikat dagang Islam (SDI) di Bogor (1909) dan Solo (1911), Perserikatan Ulama di
Majalengka, Jawa Barat dan Solo (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan
Islam (Persis) di Bandung (1920-an), Nadlatul Ulama (NU) di Surabaya (1926), dan
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Bandung, Bukittinggi (1930); dan Partai-partai
politik, seperti serikat Islam (SI) yang merupakan kelanjutan dari SDI, persatuan Muslimin
Indonesia (Permi) di Padang panjang (1932) yang merupakan kelanjutan dan perluasan dari
organisasi pendidikan Thawalib, dan Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938.[2]
Sementara itu, hampir pada waktu yang bersamaan, pemerintah penjajah menjalankan
politik etis, politik balas budi. Belanda mendirikan sekolah-sekolah formal bagi bumi putra,
terutama dari kalangan priyayi dan kaum bangsawan. Pendidikan Belanda tersebut membuka
mata kaum terpelajar akan kondisi masyarakat Indonesia. Pengetahuan mereka akan
kemiskinan, kebodohan dan ketertindasan masyarakat Indonesia, pada saatnya mendorong
lahirnya organisasi-organisasi sosial, seperti Budi Utomo, Taman siswa, Jong Java, Jong
Sumatera Bond, Jong Ambon, Jong Selebes, dan lain sebagainya.[3]
Organisasi-organisasi sosial keagamaan Islam dan organisasi-organisasi yang didirikan
kaum terpelajar di atas, menandakan tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian
modern. Namun, kebanyakan anggota masing-masing saling berhadapan sebagai dua belah
pihak yang-walaupun dalam banyak hal dapat bekerjasama-seringkali bertentangan.[4]
Gerakan-gerakan Islam pada masa ini dapat dilihat sebagai dampak perubahan yang
dilakukan order baru di bidang ekonomi dan sosial politik. Kecenderungan itu terjadi karena
kebangkitan order baru bukan saja ditandai dengan perubahan kritis terhadap struktur politik,
tetapi yang lebih penting adalah perubahan pemikiran di berbagai dimensi kehidupan bangsa.
Kepeloporan dari para kalangan kampus, kaum intelektual dan teknokrat merupakan induksi
kebangkitan order baru yang mencerminkan revolusi kaum menengah kota. Demikian pula di
kalangan Islam hal itu mencerminkan kiprah dan perubahan alam pikiran yang secara dinamis
memberikan ide-ide alternatif dalam merespon orientasi politik orde baru yang terkonsepsi
dalam pembangunan.
Pengembangan ide pokok-pokok “pembangunan” itu identik dengan isu modernisasi dan
bahkan dalam beberapa segi lebih diasosiasikan sebagai “proses westernisasi” karena
penekanan kuat pada pola atau model pembangunan negara-negara barat. Ide tersebut pada
gilirannya mempengaruhi perubahan pemikiran keislaman kaum muslimin. Persoalan yang
muncul dikalangan Islam adalah bagaimana melihat ‘modernisasi’ dari kaca mata ajaran
Islam. Dari persoalan ini muncul gagasan-gagasan baru, terutama dari kalangan intelektual
dan pada gilirannya melahirkan pula model-model baru gerakan keagamaan sebagai reaksi
atas isu-isu pembangunan itu.[5]
2. Kecenderungan Wacana Intelektual Islam Kontemporer dalam Lembaga-lembaga
Modern.
Formulasi doktrin Islam dan pemikiran modern, yang menjadi ciri wacana Islam
kontemporer adalah salah satu dampak signifikan dari arus Islamisasi melalui jaringan
intelektual timur tengah-nusantara pada abad ke-17 dan 18, yang ditandai dengan proses
harmonisasi antara wacana Islam sufistik dan Islam syari’at. Arus modernisasi ini kemudian
memunculkan organisasi-organisasi Islam di abad ke-20, yang sekaligus sering disebut
sebagai ciri dari masyarakat Islam modern. Lahirnya serikat dagang Islam, Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama dan juga Sumatra Thawalib dan sebagainya menjadi wujud dari proses
formulasi tersebut.[6]
Lahirnya organisasi atau gerakan-gerakan sosial keagamaan, yang pada umumnya
memiliki pemikiran-pemikiran transformative, menjadi ciri dari munculnya masyarakat
modern, ketika wacana intelektual Islam pun menjadi lebih terbuka dan semakin bercorak
plural. Dalam hal ini juga tidak dapat diabaikan, upaya-upaya organisasi tersebut dalam
melakukan pembaruan pendidikan. Pendidikan tradisional melalui pesantren yang dulu hanya
diselenggarakan dengan sangat sederhana, kurang sistematis dan hanya mempelajari ilmu-
ilmu agama Islam saja kemudian diperbaharui dengan cara mengembangkan pendidikan
sekolah atau madrasah yang didalamnya diajarkan mengenai ilmu-ilmu dunia yakni ilmu
alam dan ilmu sosial.
Di samping itu, sejak dekade 1970-an, banyak bermunculan apa yang disebut intelektual
muda muslim yang meskipun sering kontroversial, melontarkan ide-ide segar untuk masa
depan ummat. Kebanyakan mereka adalah intelektual muslim berpendidikan yang terakhir ini
sangat mungkin adalah buah dari kegiatan-kegiatan organisasi mahasiswa Islam seperti
himpunan mahasiswa Islam, pergerakan mahasiswa Islam Indonesia, ikatan mahasiswa
Muhammadiyah dan sebagainya.[7]
Selain itu, peranan dari departemen agama yang telah banyak berjasa dalam membentuk
dan mendorong kebangkitan Islam, tidak boleh dilupakan. Dengan mendirikan beberapa
institut-institut Islam, Jepang sangat berjasa dalam menyiapkan guru-guru agama, pendakwah
dan mubaliq dalam kuantitas besar. Bahkan departemen agama tutur berperan dalam
memnbina madrasah dan pesantren-pesantren yang ada diseluruh wilayah nusantara ini. Kita
juga tidak bisa mengabaikan, kebijaksanaan dari pemerintah yang telah membentuk majelis
ulama Indonesia yang bisa dikatakan sebagai suatu forum pemersatu umat Islam di Indonesia.
Aspirasi-aspirasi umat, termasuk aspirasi politik, juga bisa tersalurkan melalui lembaga ini.
Dari beberapa insititusi atau organisasi massa Islam yang masih eksis hingga saat ini,
seperti Persis, Al Irsyad, Jami’at Khair, dan beberapa nama di luar jawa, seperti Nahdlatul
Wathan, Sumatera Thawali, dan lain-lain, nampaknya hingga saat ini Muhammadiyah dan
Nahdlatul ulama, lebih banyak dikenal oleh masyarakat luas. Ini juga tidak lepas dari
seringnya dua ormas tersebut diwacanakan dalam berbagai kajian ilmiah, baik oleh
ilmuwan lokal maupun internasional selain itu dua ormas Islam terbesar di Indonesia
tersebut juga memiliki struktur kepemimpinan yang sangat hierarkis dari tingkat pusat di
ibukota hingga ketingkat ranting di kelurahan-kelurahan
Selain organisasi-organisasi tersebut di atas, harus diakui pola peran dari organisasi-
organisasi atau kelompok-kelompok keagamaan Islam yang juga aktif menyelenggarakan
kajian-kajian, hanya saja menurut sebagian orang mereka lebih sering memunculkan tema-
team yang lebih bersifat politis, bukan kajian murni yang bersifat ilmiah dan secara umum
dianggap tidak memformulasikan pemikiran-pemikiran transformative dalam menghadapi
persoalan-persoalan aktual, sehingga pemikiran-pemikiran mereka cenderung dianggap
sebagai wacana periforal. Kelompok-kelompok tersebut berkeyakinan bahwa tata kehidupan
yang baik dan bermartabat hanya dapat tercapai dengan mewujudkan kekhalifahan Islam.
Oleh karenanya untuk mencapainya, mereka harus melalui perjuangan politik. Sebut saja
seperti Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam dan
beberapa nama lainnya.[8]http://www.masbied.com/2010/06/05/gerakan-islam-
kontemporer-di-indonesia/ - _ftn8
Perkembangan pemikiran di masa ini, pada intinya tidak terletak pada perbedaan
kecenderungan pilihan wacana, tetapi lebih kepada kepribadian metode tafsir terhadap nash,
baik berkaitan dengan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an maupun al Hadits.
Kecenderungan metode penafsiran tekstual oleh kelompok Islam “Fundamental” dengan
kecenderungan metode tafsir liberal oleh komunitas Islam “liberal” adalah inti dari perbedaan
kecenderungan pemikiran di antara mereka. Akan tetapi, berkaitan persoalan-persoalan
aktual yang muncul dewasa ini, pada akhirnya perbedaan bermuara kepada persoalan
pemilihan wacana. Wacana kenegaraan dan penerapan syari’at Islam secara formal menjadi
tema sentral komunitas Islam fundamental, sementara wacana tentang hak asasi manusia
(HAM), demokrasi, pluralisme, multiculturalisme dan sebagainya menjadi tema-tema yang
digemari oleh komunitas Islam liberal.
3. Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia
Seiring tumbangnya pemerintahan Soeharto, Islam di Indonesia menunjukkan dinamika
yang kian bergemuruh. Berbagi kelompok dalam banyak bentuk bermunculan seperti
organisasi massa, partai politik dan lembaga-lembaga kajian dan organisasi non pemerintah
(ornop). Ini tentu tidak terlepas dari keterbukaan politik dan kebebasan berekspresi serta
kebebasan berkumpul dalam sistem demokrasi sekarang. Sesungguhnya kita bisa melihat dari
berbagai sudut pandang tentang polarisasi Islam paska orde baru ini. Mark Woodward (2001)
misalnya mengelompokkan respon silam atas perubahan paska orde baru ke dalam lima
kelompok. Pengelompokan Woodward ini tampaknya melihat dari sudut doktrin dan akar-
akar sosial di dalam masyarakat Islam Indonesia yang lama maupun yang baru.[9]
Pertama adalah indigenized Islam. Indigenized Islam adalah sebuah ekspresi Islam yang
bersifat lokal; secara formal mereka mengaku beragama Islam tetapi biasanya mereka lebih
mengikuti aturan-aturan lokalitas ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini paralel dengan
apa yang disebut Clifford Geerts sebagai Islam Abangan untuk konteks Jawa. Kedua adalah
kelompok tradisional Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah penganut aliran Sunny terbesar di
Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri karena disamping ia memiliki
kekhasan yang tidak dimiliki kelompok lain seperti basis yang kuat di pesantren dan di
pedesaan, hubungan guru murid yang khas.
Kelompok ketiga adalah Islam modernis. Mereka terutama berbasis pada
Muhammadiyah. Sasaran utamanya adalah pelayanan sosial seperti pendidikan dan
kesehatan. Ia memperkenalkan ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik. Keempat adalah
islamisme atau islamis. Gerakan ini tidak hanya mengusung Arabisme dari konseruatisme
tetapi juga di dalam dirinya terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Tidak heran jika jihad
dan penerapan syari’ah Islam menjadi karakter utama dari kelompok ini.
Kelompok kelima adalah neo-modernisme Islam. Ia lebih dicirikan dengan gerakan
intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam yang mapan. Mereka berasal dari berbagai
kelompok termasuk kalangan tradisional maupun dari kalangan modernis. Kelompok ini
sangat kritis terhadap penerapan syariah Islam tanpa perubahan dan kritik terhadap doktrin
terlebih dahulu, serta membela kesetaraan perempuan, pluralisme dan toleransi.
Terjadinya perbedaan dalam melihat kondisi Islam di Indonesia itu merupakan dampak
dari pengembangan pemikiran khususnya dalam dinamika intelektual yang diorientasikan
kepada pembangunan kebangsaan. Satu hal yang mestinya sadari bahwa semakin banyaknya
organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok Islam yang muncul belakangan ini
sebenarnya dapat menjadi kekayaan wacana tentang Islam di Indonesia. Barangkali yang jauh
lebih penting adalah, bagaimana mengupayakan pembinaan kesadaran bersama, bahwa Islam
ditengah-tengah kehidupan bangsa ini laksana satu panji beragam arti, dan keragaman makna
sebaiknya diyakini sebagai anugerah ilahi untuk dinikmati kita bersama.
D. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari makalah kami ini adalah Islam tampil dalam sistem
religuisitas dan gerakan-gerakan sosial yang beragam itu diakibatkan dari kemajemukan
pemahaman serta lingkungan sosial, budaya dan politik masyarakat pemeluknya. Pola
pemikiran keislaman yang diikuti gerakan-gerakan umat menunjukkan relevansinya dengan
gerak langkah pembangunan bangsa.
Terlihat jelas partisipasi umat Islam yang didalamnya terbingkai oleh nilai-nilai
agama, meskipun ia tidak serta merta dapat membingkai kesatuan pandangan dan gerakan
Islam. Gerakan-gerakan keagamaan, baik yang tradisional, modern, neo-modernis,
fundametnalis, militan maupun ekstern, semuanya merupakan isyarat tentang sikap dan
respon umat Islam terhadap kepentingan-kepentingan bangsa.

E. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya buat dan presentasikan, mohon maaf jikalau
dalam pembuatan dan mempresentasikan makalah ini banyak terdapat kesalahan dan
kekeliruan. Karana pada prinsipnya manusia adalah tidak pernah luput dari kesalahan.
Semoga dengan makalah ini kita dapat menambah wawasan kita mengenai gerakan islam
kontemporer serta kita dapat menerapkanya sesuai teori yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra. Islam Nusantara Jaringan Global dan Lokal, Bandung; Penerbit
Mizan Media Utama, 2002.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Mundzirin Yusuf, dkk. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Cet. I Yogyakarta;
Penerbit Pustaka, 2006.
Taufik Abdullah. Islam dan Masyarakat Jakarta; P3ES, 1987.

[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Ed. II Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 257
[2] Azyumardi, Azra. Islam Nusantara; Jaringan Global dan Lokal, Cet. I (Bandung: Mizan Media
Utama, 2002), h. 125
[3] Badri Yatim, op.cit. h. 25.
[4] Mundzirin Yusuf, dkk. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Cet. I (Yogyakarta; Penerbit
Pustaka, 2006), h.
[5] Ibid, h. 294
[6] Ibid, h. 194-195.
[7] Badri Yatim, op.cit., h. 274
[8] Mundzirin Yusuf, dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Cet. I (Yogyakarta: Penerbit
Pustaka, 2006), h. 195.
[9] Oleh Ahmad Suardy, 2001.

Anda mungkin juga menyukai