Anda di halaman 1dari 27

Case Report Session

SIROSIS HEPATIS

Oleh:

Vinda Meydina B 1840312255

Yudia Septi Yenny 1840312228

Auliya Alhazmi 1740312601

Preseptor :

dr. Dinda Aprilia, SpPD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sirosis hati merupakan dampak tersering dari perjalanan klinis yang panjang dari
semua penyakit hati kronis yang ditandai dengan kerusakan parenkim hati. Sirosis hati
merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang ditandai oleh distorsi
arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif. Gambaran morfologi sirosis hati meliputi
fibrosis difus, nodul regeneratif, perubahan arsitektur lobular dan pembentukan hubungan
vaskular intrahepatik antara pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan
eferen (vena hepatika). Diseluruh dunia sirosis hati menempati urutan ketujuh penyebab
kematian.1
Kebanyakan dari pasien sirosis adalah asimtomatis sampai stadium dekompensata
terjadi, oleh karenanya sulit untuk menilai angka prevalensi dan insiden dari sirosis pada
populasi umum. Di seluruh dunia prevalensi sirosis diperkirakan mencapai 100 per 100.000
penduduk, tetapi hal ini bervariasi pada setiap Negara.2
Kegagalan hati kronis dan sirosis di Amerika Serikat diperkirakan menyebab sekitar
35.000 kematian dalam setiap tahunnya. Sirosis termasuk kedalam sembilan penyebab utama
kematian di Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% kasus kematian disana.
Penderita sirosis hati lebuh banyak laki-laki dari pada wanita dengan rasio 1,6 : 1. Umur
penderitanya terbanyak golongan umur 30 – 59 tahun dengan puncaknya sekitar umur 40-49
tahun. Penyebab sirosis hati sebagian besar adalah penyakit hati alkoholik dan non alkoholik
steatohepatitis serta hepatitis C. Angka kejadian di Indonesia akibat hepatitis B berkisar
antara 21,2 – 46,9% dan hepatitis C berkisar 38,7 – 73,9%.1,3
Umumnya klinis sirosis hati muncul ketika seseorang sudah mengalami sirosis hati
dekompensata, yang ditandai dengan adanya hipertensi portal dan penurunan fungsi
hepatoselular atau sebagian besar pasien datang ketika sudah muncul komplikasi dari sirosis
hati.Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya sehingga perlu
memperbaiki kualitas hidup pasien sirosisdengan pencegahan dan penanganan
komplikasinya.4
1.2 Batasan Masalah
Makalah ini membahas definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, diagnosis,
tatalaksana, komplikasi, dan prognosis sirosis hepatis.
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dokter
muda mengenai sirosis hepatis.
1.4 Metode Penulisan
Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang dirujuk dari
berbagai literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diagnosis

Pada saat ini penegakan diagnosis sirosis hepatis terdiri atas pemeriksaan fisik,

laboratorium, dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan biopsy hati atau

peritoneoskopi karena sulit membedakan hepatitis kronik aktif yang berat dengan sirosis hati

dini. Pada stadium kompensasi sempurna kadang-kadang sangat sulit menegakkan sirosis

hepatis. Pada proses lanjutan dari kompensasi sempurna mungkin bisa ditegakkan diagnosis

dengan dengan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium biokimia / serologi, dan

pemeriksaan penunjang lainnya.5(Nurdjanah, S. 2014. Sirosis Hati. Dalam Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam, edisi 6, jilid 2. Siti Setiati (Eds.). Jakarta: Internal publishing, hal 1978-

1983. )

A. Anamnesa

Hal yang perlu dipertanyakan adalah riwayat yang berhubungan dengan resiko sirosis

hati, berupa :

a Riwayat penyakit terdahulu : metabolik sindrom, hepatitis, nonalkoholik fatty liver

disease

b Konsumsi alkohol yang berlebihan

c Tepapar oleh bahan-bahan yang bersifat hepatotoksik

d Penggunaan obat-obatan yang bersifat hepatotoksik: isoniazid, paracetamol.


B. Pemeriksaan Fisik

Temuan klinis sirosis meliputi:

a Spider navy (atau spider telangiektasi)

Suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena kecil. Tanda ini sering ditemukan

di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme terjadinya belum diketahui dengan pasti,

diduga terkait dengan peningkatan kadar estradiol dan testosteron.

b Eritema Palmaris

Warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan. Tanda ini tidak spesifik

pada sirosis, hal ini dikaitkan juga dengan perubahan metabolisme hormon estrogen.

Eritema palmaris ditemukan pula pada kehamilan, artritis reumatoid, hipertiroidisme,

dan keganasan hematolog.

c Perubahan pada kuku-kuku terdapat Muchrche berupa pita putih horisontal

dipisahkan dengan warna normal kuku d. Jari gada, lebih sering ditemukan pada

sirosis bilier

d Kontaktur Dupuytren Akibat fibrosis fasia palmaris menimbulkan kontraktur fleksi

jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak spesifik berkaitan dengan sirosis.

Tanda ini juga bisa ditemukan pada pasien diabetes melitus, distrofi refleks

simpatetik, dan perokok yang juga mengkonsumsi alkohol.

e Ginekomastia

Secara histologis berupa proliferasi benigna jaringan glandula mammae pada laki-

laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion. Selain itu, ditemukan juga

hilangnya rambut dada dan aksila pada laki-laki, sehingga laki-laki mengalami
perubahan ke arah feminisme. Kebalikannya pada perempuan menstruasi cepat

berhenti sehingga dikira fase menopause.

f Atrofi testis hipogonadisme

Menyebabkan impotensi dan infertil. Menonjol pada alkoholik sirosis dan

hemakromatosis.

g Perubahan ukuran hati

Ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal, atau mengecil. Bilamana hati teraba,

hati sirotik teraba keras dan nodular.

h. Splenomegali

Sering ditemukan pada sirosis yang penyebabnya nonalkoholik. Pembesaran ini

akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi porta.

i. Asites

Penimbunan cairan dalam rongga peritonium akibat hipertensi porta dan

hipoalbumimenia.

j. Fetor hepatikum

Bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan peningkatan konsentrasi dimetil

sulfid akibat pintasan porto sistemik yang berat.

k. Ikterus

Pada kulit dan membran mukosa akibat bilirubinemia. Bila konsentrasi bilirubin

Dalam darah lebih dari 2-3 mg/dl. Akibat hiperbilirubinemia Warna urin terlihat

gelap seperti air teh.5

C. Pemeriksaan Laboratorium

a. Urine
Dalam urin terdapat urobilinogen, juga terdapat bilirubin bila penderita ada ikterus.

Pada penderita dengan asites, maka ekskresi Na dalam urin akan berkurang (<4

meq/l) menunjukkan kemungkinan telah terjadi syndrome hepatorenal

b. Tinja

Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan ikterus, eksresi

pigmen empedu rendah. Sterkobiliniogen yang tidak terserap oleh darah, di dalam

usus akan diubah menjadi sterkobilin yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja

berwana cokelat atau kehitaman

c. Darah

Biasanya dijumpai normostik normokromik anemia yang ringan, kadang-kadang

dalam bentuk makrositer yang disebabkan kekurangan asam folik dan vitamin B12

atau karena splenomegali. Bilamana penderita pernah mengalami pendarahan

gastrointestinal maka baru akan terjadi hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni

bersamaan dengan adanya trombositopeni

d. Tes Faal Hati

Tes fungsi hati pada sirosis hati berupa :

 Aspartat aminotransferase (AST)/ serum glutamil oksalo asetat (SGOT) meningkat

 Alanin aminotransferase (ALT)/ serum glutamil piruvat transaminase (SPGT)

meningkat

 AST lebih meningkat daripada ALT

 Gamma-glutamil transpeptidase (GGT) meningkat pada penyakit hati alkoholik

kronik
 Promtombine time (PT) memanjang

Penderita sirosis hati banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi penderita

yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada sirosis globulin menaik,

sedangkan albumin menurun. Pada pemeriksaan lab pasien sirosis menunjukkan

trombositopeni disertai dengan kegagalan biosintesis hati yang ditandai dengan

rendahnya konsentrasi albumin dan cholinesterase serta meningkatnya INR

(International Normalized Ratio). Konsentrasi transaminase umumnya berada pada

rentang normal atau sedikit meningkat. (Nurdjanah, S. 2014. Sirosis Hati. Dalam Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi 6, jilid 2. Siti Setiati (Eds.). Jakarta: Internal publishing,

hal 1978-1983. )

D. Pemeriksaan Pencitraan

Untuk mendeteksi sirosis hati penggunaan ultrasonografi kurang begitu sensitif namun

cukup spesifik bila penyebabnya jelas. Gambarannya memperlihatkan ekodensitas hati

meningkat dengan ekostruktur kasar homogen atau heterogen pada sisi superficial,

sedangkan pada sisi profunda ekodensitas menurun. Dapat dijumpai pula pembesaran lobus

caudatus, splenomegali, dan vena hepatika gambaran terputus-putus. Hati mengecil dan

splenomegali, asites tampak sebagai area bebas gema (ekolusen) antara organ intra

abdominal dengan dinding abdomen.1(Nurdjanah, S. 2014. Sirosis Hati. Dalam Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam, edisi 6, jilid 2. Siti Setiati (Eds.). Jakarta: Internal publishing, hal 1978-

1983. )
Pemeriksaan MRI dan CT kovensional bisa digunakan untuk menentukan derajat

beratnya sirosis hati, misal dengan menilai ukuran lien, asites, dan kolateral vaskular. Ketiga

alat ini juga dapat untuk mendeteksi adanya karsinoma hepatoselular.1(Nurdjanah, S. 2014.

Sirosis Hati. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi 6, jilid 2. Siti Setiati (Eds.).

Jakarta: Internal publishing, hal 1978-1983. )

Endoskopi (gastroskopi) dapat dilakukan untuk memeriksa adanya varises di esofagus

dan gaster pada penderita sirosis hati. Selain digunakan untuk diagnosis juga dapat digunakan

untuk pencegahan dan terapi perdarahan varises.1(Nurdjanah, S. 2014. Sirosis Hati. Dalam

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi 6, jilid 2. Siti Setiati (Eds.). Jakarta: Internal

publishing, hal 1978-1983. )

Baku emas untuk diagnosis sirosis hati adalah biopsi hati melalui perkutan,

transjugular, laparoskopi, atau dengan biopsi jarum halus. Biopsi tidak diperlukan bila secara

klinis, pemeriksaan laboratorium, dan radiologi menunjukkan kecenderungan sirosis hati.

Walaupun biopsi hati risikonya kecil tapi dapat berakibat fatal misalnya perdarahan dan

kematian.6 (Tsao GG, Lim J, 2009. Management and treatment of patients with cirrhosis and

portal hypertension: recommendations from the department of veterans affairs hepatitis C

resource center program and the national hepatitis C program. American Journal of

Gastroenterology; 104: 1802-92.)

2.2 Tatalaksana

Penatalaksaan sirosis hati dapat dibagi berdasarkan stadiumnya :

1. Sirosis kompensata
Dua tujuan utama dalam pengobatan pada pasien ini adalah mengobati penyakit

pencetus sirosis (contoh: hepatitis B atau C, alkohol, steatohepatitis non alkoholik) dan

mencegah/diagnosa dini komplikasi dari sirosis.

2. Sirosis Dekompensata

Pada stadium dekompensata, tujuan dari pengobatan adalah mengobati atau

meminimaliasasi dari komplikasi penyakit sirosis, berupa :

a. Asites

Pasien sirosis dengan asites dianjurkan untuk tirah baring dan pembatasan asupan

garam harus juga dilakukan karena diet rendah natrium merupakan tonggak utama

terapi. Diet rendah natrium sekitar 800 mg (2 gram NaCl) mampu untuk menginduksi

keseimbangan natrium negatif dan memungkinkan terjadinya diuresis. Diet rendah

garam biasanya dikombinasikan dengan obat-obatan diuretik. Awalnya dengan

pemberiam spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari,obat ini karena

kerjanya yang perlahan dan sifatnya yang mempertahankan kalium darah dalam batas

normal(potassium-sparing effect).

Respon diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa

adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian

spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40

mg/hari. Parasintesis dilakukan bila asites sangat besar, pengeluaran asites bisa

hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.

b. Ensefalopati hepatik

Pada pasien ensefalopati hepatik dianjurkan untuk memakan makanan yang

mengandung kadar protein yang rendah, agar pembentukan amonia dalam darah
berkurang. Pemberian Laktulosa (suatu disakarida yang tidak diserap yang berperan

sebagai laksatif osmotik, sirup laktulosa dapat diberikan dengan dosis 30-50 ml setiap

jam sampai tinjanya pasien lunak kemudian dosis disesuaikan (biasanya 15-30 ml

tiga kali sehari). Neomisin juga bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus

penghasil amonia dengan dosis 0,5- 1 gr setiap enam jam.

c. Perdarahan varises esofagus

Merupakan kegawatdaruratan sehingga perlu dilakukan perkiraan dan pergantian atas

darah yang keluar untuk mempertahankan volume intravaskular. Bila kondisi

hemodinamik pasien telah stabil maka perlu dilakukan kajian diagnostik yang lebih

spesifik (endoskopi) dan modalitas terapeutik lainnya untuk mencegah perdarahan

berulang.

Penatalaksanaan medikamentosa pada perdarahan varises akut adalah dengan

pemberian vasokonstriktor (vasopresin dan somatostatin), setelah itu beta-blocker

juga dapat diberikan ketika pasien sudah stabil, kemudian pasien dipersiapkan untuk

dilakukan band ligation atau sclerotherapy atau ballon tamponade. Apabila

perdarahan juga masih berulang maka perlu dipikirkan untuk tindakan Transjugular

intrahepatic portosystemic stent shunting (TIPSS), tindakan ini bertujuan untuk

mengurangi tekanan dalam sistem vena portal sehingga diharapkan perdarahan

berulang tidak terjadi lagi.

d. Peritonitis bakterial spontan

Pada pasien sirosis yang mengalami komplikasi PBS pasien harus diberikan terapi

empirisn antibiotika seperti sefotaksim intravena, amosilin, atau aminoglikosida.


Terapi antibiotik spesifik dapat diberikan apabila mikroorganismenya telah

teridentifikasi, terapi biasanya diberikan selama 10 sampai 14 hari.

e. Sindrom hepatorenal

Terapi biasanya kurang memberikan hasil yang memuaskan. Walaupun sebagian

pasien yang mengalami hipotensi dan penurunan volume plasma berespon

terhadapinfus albumin rendah garam , penambhan volume harus dilakukan secara

hati-hati untuk mencegah tmbulnya perdarahan varises. Terapi vasodilator termasuk

pemberian infus dopamin tidak efektif. (Nurdjanah, S. 2014. Sirosis Hati. Dalam

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi 6, jilid 2. Siti Setiati (Eds.). Jakarta: Internal

publishing, hal 1978-1983. )

2.3 Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan sirosis hepatis seperti: hipertensi portal

dengan sekuelenya (varises gastroesofagus dan splenomegali), asites, ensefalopati hepatik,

peritonitis bakterial spontan, sindrom hepatorenal, dan karsinoma hepatoselular.

a. Hipertensi portal

Tekanan vena porta nomal berkisar 5-10 mmHg (rendah), hal ini dikarenakan

resistensi vascular pada sinusoid hepatic minimal. Hipertensi portal (>10mmHg)

paling sering disebabkan oleh peningkatan resistensi aliran darah portal.

Manifestasi klinis mayor akibat hipertensi portal termasuk perdarahan akibat

pecah varises esophagus, splenomegali dengan hipersplenisme, asites, dan

ensefalopati akut atau kronik. Ketiadaan katup pada system vena portal

menyebabkan aliran darah retrograde, yang diantaranya menyebabkan aliran


darah kolateral pada vena disekitar persambungan kardioesofageal, rectum

(hemoroid), ruang retroperitoneal, ligamentum falsiforme dari hepat (kolateral

periumbilikal atau dinding abdomen). Kolateral pada dinding abdomen terlihat

sebagai pembulih darah epogastrik yang menyebar dari umbilicus ke arah xipoid

dan batas iga (caput medusae).

b. Perdarahan varises

Perdarahan varises paling sering terjadi pada persambungan gastroesofageal,

yang penyebab pastinya tidak sepenuhnya dimengerti, namun diperkirakan akibat

hipertensi portal (>12mmHg) dan ukuran dari varises.

c. Splenomegali

Splenomegali kongestif sering terjadi pada pasien dengan hipertensi portal yang

berat.Splenomegali yang berat ini menyebabkan trombositopeni atau pansitopeni.

d. Asites

Asites merupakan akumulasi dari kelebihan cairan dalam kavum peritoneal.

Gambar 2.2 Faktor multiple yang mempengaruhi perkembangan asites


e. Peritonitis bacterial spontaneous

SBP merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada sirosis hati, yaitu infeksi

cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder.

f. Sindrom Hepatorenal

Sindrom hepatorenal merupakan komplikasi serius pada pasien dengan sirosis

dan asites yang ditandai oleh perbukuran azotemia dengan hiponatremia,

hipotensi dan oliguria tanpa adanya penyebab disfungsi renal yang spesifik.

g. Ensefalopati Hepatik

Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatri yang kompleks yang

ditandai oleh gangguan pada kesadaran dan perilaku, perubahan personality,

tanda-tanda neurologis yang berfluktuasi, asterixis atau flapping tremor, dan

perubahan pada elektroensefalografi.

Gambar 2.3 Stadium klinis ensefalopati hepatik(Kasper DL et al. Harrison’s

Principles of Internal Medicine 16th ed. New Yowk. McGraw-Hill. 2005)


2.4 Prognosis

Prognosis sirosis hati sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi

etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit penyerta lainnya pada pasien.

Klasifikasi Child-Pugh (tabel 2.1), juga untuk menilai prognosis pasien sirosis hati yang akan

menjalani operasi, variabelnya meliputi kadar albumin, kadar bilirubin, ada tidaknya asites

dan ensefalopati serta status nutrisi. Klasifikasi Child-pugh juga berkaitan dengan

kelangsungan hidup. Angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien Child A (5-

6), B(7-9), C(10-15) berturut-turut adalah 100%, 80% dan 45%.

1 2 3

Bilirubin (mg%) <2 2-3 >3

Albumin (g%) >3,5 2,8-3,5 <2,8

INR <1,7 1,7-2,2 >2,2

Asites - Minimal-sedang Banyak

Ensefalopati - Std 1-2 Std 3-4

hepatic

Table 2.1 Skor Child Pugh


BAB 3
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
a. Nama/Kelamin/Umur : Ny. N/Perempuan /63 tahun
b. Pekerjaan/ Pendidikan : Ibu Rumah Tangga/SMP
c. Alamat : Lubuk Buaya, Padang
d. No MR : 00. 01.59.31

2. Keluhan Utama:
Perut yang semakin membesar sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.

3. Riwayat Penyakit Sekarang:


 Perut yang semakin membesar sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, disertai
dengan sesak. Sesak tidak berkurang dengan istirahat, sesak tidak dipengaruhi oleh
aktivitas, cuaca, dan makanan.
 Kedua tungkai dirasakan sembab sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
 BAB hitam seperti warna aspal 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. BAB
bercampur darah disangkal. BAB seperti kotoran kambing disangkal.
 Muntah hitam disangkal, muntah bercampur darah disangkal. BAB warna dempul
disangkal.
 BAK berwarna teh pekat disangkal.
 Penurunan nafsu makan (+) sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit.
 Penurunan berat badan ada, sebanyak kurang lebih 2-3 kg 1 bulan sebelum masuk
rumah sakit.
 Mual (+) dan muntah (+) 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, muntah berwarna
bening, konsistensi cair, frekuensi >10x dalam satu hari, volume seperempat gelas
 Demam tidak ada.
 Riwayat transfusi darah (-)
4. Riwayat Penyakit Dahulu:
 Riwayat hepatitis (-).
 Riwayat hipertensi (-).
 Riwayat penyakit jantung (-)
 Riwayat DM (-).

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga dengan riwayat hepatitis, DM, hipertensi, penyakit jantung, dan
penyakit ginjal.

6. Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan


 Pasien seorang ibu rumah tangga.
 Riwayat mengonsumsi rokok, minuman beralkohol (-)

7. Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Frekuensi Nadi : 81 kali/menit, regular, kuat angkat, pengisian cukup
Frekuensi Napas : 21 kali/menit, tipe pernapasan abdominothorakal
Suhu : 36,8OC
Tinggi Badan : 160 cm
Berat Badan : 65 kg

Pemeriksaan Sistemik
Kulit
Warna sawo matang, efloresensi (-), scar (-), pigmentasi normal, ikterus (-),
sianosis (-), spider nevi (-) pada dada , telapak tangan dan kaki pucat (-), pertumbuhan
rambut normal.
Kelenjar Getah Bening
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening di leher, submandibula,
supraklavikula, infraklavikula, aksila, inguinalis.
Kepala
Bentuk normochepali, simetris, deformasi (-), rambut hitam, lurus, tidak mudah
dicabut.
Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-).
Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum tidak deviasi dan tulang-tulang dalam
perabaan baik, tidak ditemukan penyumbatan maupun perdarahan, pernapasan cuping
hidung (-), sekret (-).
Telinga
Kedua meatus acusticus eksternus normal, cairan (-), nyeri tekan processus
mastoideus (-), pendengaran baik.
Mulut
Pembesaran tonsil (-), pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), gusi berdarah (-),
stomatitis (-), bau pernafasan khas (-).
Leher
Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, pembesaran kelenjar KGB tidak ada, JVP
(5-1) cmH2O, kaku kuduk (-).
Thoraks
Bentuk dada simetris, spider nevi (+).
Paru-paru
I : Dada simetris sisi kanan dan kiri, pergerakan dada sisi kanan dan kiri sama
P : Fremitus kanan sama dengan kiri
P : Paru kanan sonor dan paru kiri sonor
A: Suara napas bronkovesikuler, ronkhi (-/-) pada basal paru, wheezing (-/-).
Jantung
I : ictus cordis tidak terlihat
P : ictus codis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
P : batas atas RIC II, batas jantung kanan linea parasternalis dextra, batas
jantung kiri RIC V linea midclavicularis sinistra
A: S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
I : membuncit (+), Vena kolateral (+)
P: Nyeri tekan (-), Nyeri Lepas (-), Undulasi (+)
Hepar : tidak teraba
Lien : teraba lien ukuran S1
Ginjal tidak teraba
P: timpani, shifting dullness (+)
A: BU (+)
Alat kelamin
Tidak dilakukan pemeriksaan.
Ekstremitas atas : nyeri sendi (-), gerakan bebas, edema (-), jaringan parut (-),
pigmentasi normal, telapak tangan pucat (-), jari tabuh (-), turgor kembali lambat (-),
eritema palmaris (+), sianosis (-), Flapping tremor (-)
Ekstremitas bawah : nyeri sendi (-), gerakan terbatas, edema (+/+) pada kedua
tungkai, jaringan parut (-), pigmentasi normal, jari tabuh (-), turgor kembali lambat (-),
akral pucat (-), sianosis (-).

8. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Darah Rutin (1-3-2019)
Hb : 6,1 gr/dl (pemeriksaan dengan HB sahli)
Leukosit : tidak dapat dilakukan pemeriksaan
Trombosit : tidak dapat dilakukan pemeriksaan
Kesan : Anemia Sedang
Pemeriksaan Urine Rutin (1-3-2019)
Makroskopis : jernih, warna kuning terang, bau normal
Glukosa Urine : -
Protein Urine : -
Mikroskopis : -

Pemeriksaan Feses Rutin (1-3-2019)


Makroskopis : bau biasa, warna kuning gelap, darah (-), lender (-), konsistensi lunak.
Mikroskopis : -

9. Diagnosis Kerja
 Sirosis Hepatis
 Anemia Sedang ec perdarahan akut

10. Diagnosis Banding


 Asites ec keganasan
 Tumor Hepar primer
 Tumor Hepar sekunder
 CHF
 Sindroma Nefrotik
 Anemia Sedang ec penyakit kronik

11. Rencana Terapi


 Diet Hepar III, diet rendah garam
 IVFD Aminofusin hepar 12 jam/kolf
 Spironolancton 1x100mg PO
 Furosemide 1 x 40 mg PO
 Lactulac syrup 3x1
12. Pemeriksaan Anjuran
 Pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis leukosit
 Tes darah samar
 Pemeriksaan Faal Hati ( SGOT, SGPT, protein total, Albumin, globulin,
Bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin indirek)
 Pemeriksaan faal hemostasis (PT, APTT, INR)
 Pemeriksaan imunologi-serologi (Anti HCV, HBsAg)
 Analisa cairan Asites
 USG Abdomen
 EsofagoGastroDuodenoskopi
 Fibrous Scan

13. Follow Up
Tangg S O A P
al
28 - Perut KU: sedang - Sirosis Hepatis - Diet Hepar III, diet
Feb membuncit Kes: CMC - Anemia sedang ec rendah garam
2019 (+), badan TD: 120/80 perdarahan akut - IVFD Aminofusin hepar
terasa Nadi: 90 .DD/ Anemia 12 jam/kolf
lemah. Nafas: 20 sedang ec penyakit - Spironolancton 1x100mg
Suhu: 36,8 kronik PO
Mata : konjungtiva - Furosemide 1 x 40 mg
anemis +/+, sklera PO
ikterik -/- - Lactulac syrup 3x1
Thorax: Cor: BJ I - Pemeriksaan labor
dan II regular, bising lengkap
(-), Pulmo: dada - USG Abdomen
simetris kiri-kanan,
pergerakan dada
sama kiri-kanan,
suara napas
bronkovesikuler,Rh -
/-, Wh-/-
Abdomen: hepar
tidak teraba, lien S1.
Shifting dullness (+)
Ekstremitas: edema
tungkai (+/+)
3 Mar Perut KU: sedang - Sirosis Hepatis - Diet Hepar III, diet
2019 membuncit Kes: CMC - Anemia sedang ec rendah garam
(+), badan TD: 120/70 perdarahan akut - IVFD Aminofusin hepar
terasa Nadi: 81 .DD/ Anemia 12 jam/kolf
lemah. Nafas: 20 sedang ec penyakit - Spironolancton 1x100mg
Suhu: 36,8 kronik PO
Mata : konjungtiva - Furosemide 1 x 40 mg
anemis +/+, sklera PO
ikterik -/- - Lactulac syrup 3x1
Thorax: Cor: BJ I - Tes darah samar
dan II regular, bising - EGD
(-), Pulmo: dada
simetris kiri-kanan,
pergerakan dada
sama kiri-kanan,
suara napas
bronkovesikuler,Rh -
/-, Wh-/-
Abdomen: hepar
tidak teraba, lien S1.
Shifting dullness (+)
Ekstremitas: edema
tungkai (+/+)
BAB 4
DISKUSI

Pasien perempuan umur 63 tahun datang dengan keluhan utama perut yang semakin
membesar sejak 1 minggu sebelum masuk RS. Perut yang semakin membesar sejak 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit, disertai dengan sesak. Sesak tidak berkurang dengan istirahat,
sesak tidak dipengaruhi oleh aktivitas, cuaca, dan makanan. Sirosis merupakan stadium akhir
dari penyakit hati kronik setelah terjadinya fibrosis hati yang berlangsung progresif dan
ditandai dengan adanya kerusakan dari struktur hati dan pembentukan nodulus regeneratif.
Pada stadium awal (kompensata), tubuh masih mampu mengompensasi terhadap kerusakan
hati, sehingga keluhan pasien masih bersifat asimtomatik atau gejala awal sebatas perasaan
mudah lelah, nafsu makan berkurang, perut terasa kembung, mual atau muntah. Bila sudah
lanjut (berkembang menjadi sirosis dekompensata) maka akan timbul gejala yang menonjol
terutama bila timbul komplikasi kegagalan fungsi hati dan hipertensi porta. Gejala yang
mengarah pada komplikasi kegagalan fungsi hati meliputi kerontokan rambut badan,
gangguan tidur, ikterus dengan warna air kemih seperti teh pekat, spider naevi, ginekomastia,
hipoalbumin, asites, eritema palmaris dan white nail. Sedangkan gejala yang mengarah pada
komplikasi akibat hipertensi porta yaitu varises esofagus dengan hematemesis dan melena,
Pelebaran vena kolateral, asites, hemoroid dan caput medusa. Nurdjanah, S. 2014. Sirosis Hati. Dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi 6, jilid 2. Siti Setiati (Eds.). Jakarta: Internal publishing, hal 1978-1983.

Perut yang membesar dapat disebabkan oleh adanya cairan di dalam rongga abdomen
(asites), adanya massa di abdomen, ataupun adanya pembesaran pada organ-organ yang ada
dalam rongga abdomen. Sesak yang dirasakan pasien terjadi karena asites dapat terjadi pada
sirosis karena sirosis mengganggu aliran darah intrahepatik dan pada keadaan lanjut secara
bertahap dapat menyebabkan kegagalan fungsi hati. Sekitar 81% asites disebabkan oleh
sirosis. Sekitar 10-30% pasien sirosis dengan asites dapat mengalami peritonitis bakterialis
spontan, akibat migrasi bakteri lumen usus ke nodus limfe mesentrika serta pengaruh
penurunan sistem imun lokal yang menimbulkan gejala, nyeri perut, demam, dan penurunan
kesadaran.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, eritem palmar, asites dan
didapatkan adanya vena kolateral di dinding abdoen, hepar tidak teraba dan lien teraba S1,
shifting dullness (+) undulasi (+) dan udem pada kedua tungkai. Hasil laboratorium
menunjukkan adanya, Anemia sedang. Asites terjadi pada pasien sirosis terjadi akibat
hipertensi porta dan vasodilatasi splanknikus yang akan berdampak pada: 1) ekstravasasi
cairan ke rongga peritonium secara langsung, 2) aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron
sehingga terjadi vasokonstriksi arteri renalis dan retensi natrium. Palmar eritem merupakan
warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan. Hal ini juga dikaitkan dengan
metabolisme esterogen, namun hal ini tidak spesifik untuk sirosis, karena palmar eritem juga
dapat ditemukan pada kehamilan, arthritis reumatoid, hipertiroidisme dan keganasan
hematologi. Sedangkan edema pada tungkai diduga berkaitan dengan hipoalbunemia akibat
kegagalan fungsi hati.Nurdjanah, S. 2014. Sirosis Hati. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi 6, jilid 2. Siti Setiati (Eds.).
Jakarta: Internal publishing, hal 1978-1983.

Pada pasien sirosis umumnya terjadi hipoalbuminemia, hal tersebut menandakan sudah
terjadinya kegagalan dari fungsi hepar dalam mensintesis albumin. Hipoalbumin dapat juga
menyebabkan terjadinya asites. Pemeriksan Shifting dullness (+) menandakan adanya asites
pada pasien. Berdasarkan kriteria Soebandiri, kriteria yang terpenuhi adalah splenomegaly,
eritem palmar, asites, vena kolateral, dan melena, terpenuhi 5 dari 7 kriteria sirosis hepatis.
Anjuran pemeriksaan berupa pemeriksaan darah lengkap bertujuan untuk melihat
morfologi anemia, pemeriksaan tes darah samar untuk mencari apakah masih ada terdapat
perdarahan saluran cerna yang dari makroskopis dan RT tidak ditemukan karena
kemungkinan pecah varises esophagus. Pemeriksaan faal hati terutama untuk melihat apakah
ada peningkatan jumlah Globulin dan penurunan Albumin (inverted albumin-globulin ratio).
Pemeriksaan faal hemostasis adalah untuk pemeriksaan apakah terjadi koagulopati dan
sebagai salah satu indicator untuk menentukan prognosis. Pemeriksaaan serologi untuk
mencari tahu apakah pasien pernah mengalami infeksi hepatitis B atau C sebelumnya.
Analisa cairan asites digunakan untuk mengetahui jenis dari cairan asites. EGD dilakukan
untuk mencari ada atau tidaknya varises esophagus dan derajat varises esophagus.
Pada pasien ini diberikan terapi infus aminofusin hepar 12 jam/kolf diberikan sebagai
nutrisi parenteral essensial untuk pasien insufisensi hati kronik dan memberikan asupan asam
amino rantai cabang dan juga menvegah terjadinya keadaan hiperamonia dalam darah
sehingga menyebabkan encephalopathy hepatikum. Spironolancton dan Furosemide
diberikan sebagai diuretic sehingga dapat mengurangi asites yang terjadi. Lactulac berguna
sebagai stool softener dan mempercepat transit time dalam proses pencernaan, agar tidak
terdapat tumpukan feses, sehingga meminimalkan produksi amonia ditubuh yang akan
memicu ensefalopati hepatikum. Injeksi vitamin K dan Transamin akan diberikan bila terjadi
perdarahan mengoreksi koagulopati pada pasien sirosis. Transfusi albumin dapat diberikan
bila hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar albumin yang rendah pada pasien
ini berguna untuk menaikkan kadar albumin pada pasien yang rendah.
Prognosis sirosis hati sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi
etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit penyerta lainnya pada pasien.
Klasifikasi Child-Pugh variabelnya meliputi kadar albumin, kadar bilirubin, PT/INR, ada
tidaknya asites dan ensefalopati serta status nutrisi. Angka kelangsungan hidup selama satu
tahun untuk pasien Child A (5-6), B(7-9), C(10-15) berturut-turut adalah 100%, 80% dan
45%.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tsao GG, Lim J, 2009. Management and treatment of patients with cirrhosis and
portal hypertension: recommendations from the department of veterans affairs
hepatitis C resource center program and the national hepatitis C program. American
Journal of Gastroenterology; 104: 1802-92.
2. Kamath PS dan Shah VH. Gastrointestinal and Liver Disease 10th ed. Elsevier. 2016
3. Lindseth, G.N. 2013. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. Dalam
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, edisi 6, Volume 1. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 472-515.
4. Sofwanhadi, Rio. 2012. Anatomi Hati. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati.
Jakarta: CV Sagung Seto, hal 1-4.

Anda mungkin juga menyukai