Anda di halaman 1dari 14

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka


2.1.1 Umum
Sulthoni (1988) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa perendaman bambu di
dalam air akan mengakibatkan terjadinya proses fermentasi pada pati yang terkandung
di dalam bambu, sehingga hasil fermentasi ini dapat larut dalam air. Dalam merendam
bambu di dalam air, kiranya perlu diingat juga bahwa pati yang terkandung di dalam
bambu menjadikan ikatan antara serat bambu semakin kokoh, sehingga penurunan
kandungan pati juga akan mengakibatkan kekuatan bambu menjadi turun. Oleh karena
itu dianjurkan agar perendaman bambu untuk pengawetan dilakukan tidak lebih dari 1
bulan, agar tidak terjadi penurunan kekuatan bambu yang terlalu besar.
Liesse (1980) menyatakan bahwa bambu umumnya mempunyai keawetan alami
rendah, walaupun ada perbedaan dalam jenisnya, bambu tanpa pengawetan dapat
bertahan kurang dari 1–3 tahun jika langsung berhubungan dengan tanah dan tidak
terlindung terhadap cuaca. Dengan demikian umur bambu yang diawetkan akan lebih
panjang dari bambu yang tidak diawetkan. Hunt & Garrat (1986) menyatakan bahwa
suatu bahan pengawet yang baik untuk penggunaan komersial umumnya harus beracun
terhadap perusak kayu, permanen, mudah meresap, aman untuk digunakan, tidak
merusak kayu dan logam, banyak tersedia dan murah.
Peranan bahan pengawet alami yang bersifat racun namun ramah lingkungan
sangat diperlukan untuk menggantikan bahan kimia yang berbahaya tersebut.
Penggunaan pestisida nabati telah banyak diterapkan pada bidang pertanian sebagai
pengganti pestisida berbahan kimia. Salah satu tanaman jenis lain yang dapat dijadikan
pestisida nabati adalah tanaman gadung, namun yang digunakan sebagai pestisida yaitu
umbinya.
Wulandari (2012), melakukan penelitian tentang ekstrak umbi gadung dan biji
mimba, dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa kandungan
sianida pada umbi gadung sangat bermanfaat sebagai bahan pengawet kayu karena
mengandung racun yang dapat mencegah serangan serangga perusak kayu.

4
Bambu termasuk dalam keluarga rumput-rumputan. Tanaman ini tumbuh alami di
semua benua kecuali Eropa pada 46˚LU-47˚LS. Sebanyak 80% dari jumlah tanaman ini
berada di Asia Tenggara. Ada dugaan bahwa penyebaran bambu seiring dengan
penyebaran manusia. Riset Uchimura dan Dransfield pada tahun 1980 mengungkapkan
kemungkinan adanya 45-50 genus bambu yang terbagi dalam 700-750 spesies.
Sementara itu, FAO pada tahun 1978 mengumumkan adanya 75 genus bambu yang
terbagi dalam 1250 spesies (Anonim, 2007).
Indonesia diperkirakan memiliki 157 jenis bambu yang merupakan lebih dari
10% jenis bambu di dunia. Jenis bambu di dunia diperkirakan terdiri atas 1250-1350
jenis. Diantara jenis bambu yang tumbuh di Indonesia, 50% diantaranya merupakan
bambu endemik dan lebih dari 50% merupakan jenis bambu yang telah dimanfaatkan
oleh penduduk dan sangat berpotensi untuk dikembangkan (Widjaja dan Karsono,
2005).
Di Indonesia bambu mudah dijumpai terutama di Jawa dan Sulawesi Selatan.
Daerah penyebarannya mencapai pada ketinggian sampai 2000 m diatas permukaan
laut, dan terdiri lebih dari 30 jenis. Namun dari semua jenis itu hanya sejumlah 13 jenis
saja yang dibudidayakan oleh kebanyakan masyarakat, dan umumnya ditanam di
pekarangan. Masih belum diketahui secara pasti mengenai data luas hutan ataupun
tanaman bambu yang terdapat di Indonesia, kecuali hutan bambu di daerah Jawa Timur
dan Sulawesi Selatan yang masing-masing diperkirakan seluas 25.000 ha dan 30.000 ha
(Sulthoni, 1988).
Tanaman bambu mempunyai ketahanan yang luar biasa. Rumpun bambu yang
telah dibakar masih dapat tumbuh lagi, bahkan pada saat Hiroshima dijatuhi bom atom
sampai rata dengan tanah, bambu adalah satu-satunya jenis tanaman yang masih dapat
bertahan hidup. Bambu dapat tumbuh di lahan sangat kering seperti di kepulauan Nusa
Tenggara atau di lahan yang banyak disirami air hujan seperti Parahiyangan.
Proses pertumbuhan bambu sangat cepat, pertumbuhan tunasnya dapat mencapai
50 cm dalam waktu sehari semalam pada waktu musim hujan. Tinggi maksimum bambu
dicapai dalam setengah tahun pertama, sedang dalam dua tahun berikutnya terjadi
proses pendewasaan. Bambu dianggap benar-benar dewasa apabila umurnya telah
mencapai tiga tahun atau lebih.
Batang bambu pada umumnya berbentuk tabung silinder dengan diameter
bervariasi. Ukuran diameter bambu mengecil sepanjang batangnya mulai dari ujung

5
pangkal sampai ujung atas. Batang bambu seperti halnya tebu, terdiri atas ruas-ruas dan
buku-buku. Pada ruas-ruasnya tumbuh cabang-cabang yang ukurannya jauh lebih kecil
bila dibandingkan dengan buluhnya sendiri. Pada ruas-ruasnya juga dapat tumbuh akar.
Dalam kondisi normal, pertumbuhan bambu lurus ke atas dan ujung batang
melengkung karena menopang berat daun. Tinggi tanaman bambu berkisar antara 0,3-
30 m, dengan diameter batang 0,25-25 cm, dan ketebalan dindingnya mencapai 25 mm.
Batang bambu berbentuk silinder, terdiri dari banyaknya ruas atau buku-buku dan
berongga pada setiap ruasnya (Ediningtyas dan Winarto, 2012).
Bambu mencapai ketinggian maksimum setelah berumur 2-4 bulan, setelah itu
percabangan dimulai. Kebanyakan bambu merupakan tanaman tegak, namun beberapa
spesies dapat merambat, misalnya pada marga Dinochloa. Kebanyakan bambu berbunga
dalam interval waktu yang lama, setelah berbunga dan berbuah, rumpunya mati. Spesies
yang lain berbunga setiap tahun dan ada juga yang tidak teratur. Ketika bunga dan
buahnya mati, rhizoma-nya tetap hidup dan menghasilkan rumpun yang baru. Satu
rumpun bambu seumur hidupnya diperkirakan bisa menghasilkan batang bambu
berdiameter 30 cm sepanjang 5 km (Anonim, 2007).
Secara anatomis bambu berbeda dengan kayu. Batang bambu berlubang,
berbuku dan beruas. Kulit batang tidak mengelupas, melekat kuat dan sukar ditembus
oleh cairan. Batang bambu dalam keadaan utuh relatif lambat kering dan pengeringan
yang terlalu cepat menyebabkan pecah atau retak (Barly, 2009).
Widjaja (2001) menjelaskan ciri-ciri morfologi yang dimiliki oleh bambu adalah
sebagai berikut:
1) Akar rimpang
Akar rimpang terdapat dibawah tanah dan membentuk sistem percabangan yang
dapat dipakai untuk membedakan kelompok bambu. Bagian pangkal akar
rimpangnya lebih sempit daripada bagian ujungnya dan setiap ruas mempunyai
kuncup dan akar. Kuncup pada akar rimpang ini akan berkembang menjadi rebung
yang kemudian memanjang dan akhirnya menghasilkan buluh.
2) Rebung
Rebung tumbuh dari kuncup akar rimpang di dalam tanah atau dari pangkal buluh
yang tua. Rebung dapat digunakan untuk membedakan jenis bambu karena
menunjukan warna ciri yang khas pada ujungnya dan bulu-bulu yang terdapat pada
pelepahnya. Bulu pelepah rebung umumnya berwarna hitam, tetapi ada juga yang

6
cokelat dan putih. Pada beberapa jenis bambu rebungnya tertutup oleh lapisan lilin
putih.
3) Buluh
Buluh berkembang dari rebung, tumbuh sangat cepat dan mencapai tinggi
maksimum dalam beberapa minggu. Buluh terdiri dari atas ruas dan buku-buku.
Beberapa jenis bambu mempunyai ruas panjang dan ada juga yang pendek. Selain
berbeda dalam panjang ruas, bambu juga memiliki ukuran diameter buluh yang
berbeda-beda.
4) Pelepah buluh
Pelepah buluh merupakan hasil modifikasi daun yang menempel pada setiap ruas,
yang terdiri atas daun pelepah buluh, kuping pelepah buluh, dan ligula.Daun
pelepah buluh terdapat pada bagian atas pelepah, sedangkan kuping pelepah buluh
dan ligulanya terdapat pada sambungan antara pelepah dan daun pelepah buluh.
5) Percabangan
Percabangan umumnya terdapat di atas buku-buku. Cabang dapat digunakan
sebagai ciri penting untuk membedakan marga bambu.
6) Helai daun dan pelepah daun
Helai daun bambu mempunyai urat daun yang sejajar seperti rumput, dan setiap
daun mempunyai tulang daun utama yang menonjol. Helai daun dihubungkan
dengan pelepah oleh tangkai daun. Pelepah dilengkapi dengan kuping pelepah daun
dan juga ligula.
Bambu jika digunakan sebagai bahan bangunan memiliki beberapa kelebihan,
namun disamping itu bambu juga memiliki beberapa kekurangan. Purwito (2008)
menjelaskan beberapa kelebihan bambu jika dipergunakan untuk komponen bangunan,
antara lain:
1) Bambu merupakan bahan yang dapat diperbarui (3-5 tahun sudah dapat ditebang).
2) Murah harganya serta mudah pengerjaannya karena tidak memerlukan tenaga
terdidik, cukup dengan peralatan sederhana pada kegiatan pembangunan.
3) Mempunyai kekuatan tarik yang tinggi (beberapa jenis bambu melampaui kuat tarik
baja mutu sedang), ringan, berbentuk pipa beruas sehingga cukup lentur untuk
dimanfaatkan sebagai komponen bangunan rangka.
4) Rumah dari bambu cukup nyaman ditempati.

7
5) Masa pengerjaan konstruksi cukup singkat sehingga biaya konstruksi menjadi
murah.
Kekurangan dari bambu jika digunakan sebagai bahan bangunan adalah:
1) Dalam penggunaannya kadang-kadang menemui beberapa keterbatasan.
2) Sebagai bahan bangunan, faktor yang sangat mempengaruhi bambu adalah sifat
fisik bambu (bulat) yang agak menyulitkan dalam pengerjaannya secara mekanis.
3) Variasi dimensi dan panjang ruas yang tidak seragam.
4) Mudah diserang oleh organisme perusak, seperti kumbang bubuk, rayap, dan jamur.
Sedangkan Sukawi (2009)menjelaskan bahwa bambu sebagai bahan bangunan
memiliki keunggulan-keunggulan, seperti:
1) Lebih elastis dibanding kayu dan logam, juga untuk kekuatan tekan, tarik, bengkok
dan geser.
2) Tahan gempa.
3) Tegangan tarik serat bambu berkemampuan 2 kali lebih besar dari kayu.
Disamping mempunyai keunggulan, bambu juga mempunyai kekurangan apabila
digunakan sebagai bahan bangunan, yaitu:
1) Mudah terbelah.
2) Mudah terbakar.
3) Peka terhadap rayap dan hama bubuk.
4) Rongga-rongga diantara ruas bambu dapat dimanfaatkan tikut untuk dijadikan
sarang.

2.1.2 Bambu petung


Bambu dengan nama botani Dendrocalamus asper (Schult. F.) Backer ex
Heyne, atau nama lainnya Bambusa aspera Schult., Dendrocalamus flagellifer Munro,
Gigantochloa aspera (Schult.) Kurz, di Indonesia lebih dikenal dengan nama bambu
petung. Di berbagai daerah di Indonesia, bambu yang termasuk jenis ini dikenal dengan
nama buluh petong, buluh swanggi, bambu batueng, pering betung, betong, bulo lotung,
awi bitung, jajang betung, pring petung, pereng petong, tiing petung, au petung, bulo
patung, deling petung, dan awo petung.
Bambu jenis ini mempunyai rumpun agak rapat, dapat tumbuh di dataran rendah
sampai pegunungan dengan ketinggian 2000 m di atas permukaan air laut. Pertumbuhan
cukup baik khususnya untuk daerah yang tidak terlalu kering. Warna kulit batang hijau

8
kekuning-kuningan. Batang dapat mencapai panjang 10-14 m, panjang ruas berkisar
antara 40-60 cm, dengan diameter 6-15 cm, tebal dinding 10-15 mm. Bambu petung
banyak dipakai sebagai bahan bangunan, perahu, kursi, dipan, saluran air aren hasil
sadapan, dinding (gedeg), dan berbagai jenis kerajinan. Rebung bambu petung terkenal
paling enak (Morisco, 1999).

Gambar 2.1 Rumpun bambu petung

Sulthoni (1988) memaparkan bahwa tinggi batang dari bambu jenis ini dapat
mencapai 20 m, pada waktu muda bagian pangkal diliputi oleh rambut-rambut cokelat
yang halus dan merapat, kemudian berubah menjadi hijau. Diameter batang dekat
pangkal biasanya 12 cm atau lebih, dari buku-buku pangkal sering muncul akar yang
banyak. Panjang ruas-ruas tengah berkisar antara 40-50 m. Seludang batang bagian atas
berukuran panjang 30-40 cm, jika masih muda berwarna hijau pucat, tertutup rambut
yang berwarna muda dan jarang. Lidah daun telinga sekitar 2 mm, dilengkapi oleh
gerigi atau rambut.
Widjaja (2001) menjelaskan bahwa bambu jenis ini memiliki ciri-ciri seperti,
rebung berwarna hitam tertutup bulu hitam lebat dan berbeludru. Tinggi buluhnya
mencapai 30 m dengan ujung melengkung, diameter antara 8-15 cm, panjang ruasnya
30-40 cm, dan tebal dinding batangnya mencapai 1 cm. Buluh muda bagian bawah
tertutup bulu cokelat lebat dan berbeludru. Pelepah buluhnya mudah luruh dengan
kuping pelepah buluh bercuping, tinggi pelepah buluhnya mencapai 15 mm, dengan
panjang bulu kejur 5-10 mm. Ligulanya terkoyak dengan tinggi 8-10 mm. Daun pelepah
buluh terkeluk balik dengan pangkal sempit.
Jenis bambu ini tumbuh baik di tanah aluvial, di daerah tropika yang lembab dan
basah, namun juga bisa tumbuh di daerah yang kering, di dataran rendah maupun

9
dataran tinggi. Di Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara), bambu jenis ini tersebar
dan tumbuh disegala tempat, namun tumbuh paling baik ditempat yang lebih lembab
dan bertanah subur. Mampu tumbuh di tempat yang kurang berair, namun dengan
diameter batang yang lebih kecil (Widjaja, 2001).
2.1.3 Umbi gadung
Umbi gadung merupakan tanaman perdu memanjat yang tingginya mencapai 5-
10 m. Umbi gadung memiliki bentuk bulat diliputi rambut akar yang besar dan kaku.
Selain itu, umbi gadung juga memiliki batang bulat, berbulu, dan berduri yang tersebar
disepanjang batang dan tangkai daun. Kulit umbi gadung berwarna gading atau coklat
muda, sedangkan daging umbinya berwarna putih gading atau kuning. Umbinya
dibedakan dari jenis-jenis dioscorea lainnya karena daunnya merupakan daun majemuk
terdiri dari 3 helai daun, warna hijau, panjang 20-25 cm, lebar 1-12 cm, helaian daun
tipis lemas, bentuk lonjong, ujung meruncing, pangkal tumpul, permukaan kasar
(Ndaru, 2011). Kandungan kimia umbi gadung dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Komposisi kimia umbi gadung
Parameter Komposisi
Kadar Air (%) 61,5
Pati (%) 30,9
Serat (%) 1,3
Abu (%) 1,1
Serat Kasar (%) 0,93
Total Gula (%) 2,45
Sianida (ppm) 362
Sumber : (Sibuea, 2002)
Sebagai sumber karbohidrat alternatif, gadung jarang dikonsumsi sebagai
makanan utama karena jika proses pengolahannya tidak sempurna, maka dapat
menyebabkan keracunan. Tanda-tanda keracunan karena mengkonsumsi gadung sama
dengan tanda-tanda keracunan hidrosianida (HCN). Asam sianida atau asam biru baru
timbul saat jaringan umbi gadung dirusak, misalnya dikupas atau diiris. Kandungan
yang terdapat dalam umbi gadung adalah kandungan alkaloid yang dapat menimbulkan
rasa pusing, mual, bahkan dapat menyebabkan kematian. Bila jaringan rusak, dua
senyawa prekursor (kandidat racun), yaitu linamarin dan lotaustralin, yang terkandung
di dalamnya akan kontak dengan enzim linamarase dan oksigen udara hingga menjadi
glukosa dan sianohidrin. Sianohidrin, pada suhu kamar dan kondisi basa (pH di atas
6,8), akan terpecah membentuk racun sianida (HCN) dan aseton (Sumarno, 2002).

10
Disebabkan berbahan alamiah, racun tikus seperti ini bersifat mudah terurai
(biodegradable) di alam sehingga tak akan mengakibatkan pencemaran terhadap
lingkungan sekitar (Pikiran Rakyat Cyber Media, 2004). Sianida merupakan racun bagi
semua makhluk hidup, yang dapat mengakibatkan perkembangan sel yang tidak
sempurna. Sianida menghambat kerja enzim ferisitokrom oksidae dalam proses
pengambilan oksigen untuk pernapasan. Kandungan sianida 0,5-3,5 mg HCN/kg akan
menyebabkan kematian (Ngasifudin, Sukosrono, 2006).
Umbi gadung ini telah dinyatakan sebagai bahan alami yang mempunyai daya
racun terhadap serangga (Wulandari, 2012).

2.2 Landasan Teori


2.2.1 Deskripsi umum bambu
Proses pertumbuhan bambu sangat cepat, pertumbuhan tunasnya dapat mencapai
50 cm dalam waktu sehari semalam pada waktu musim hujan. Tinggi maksimum bambu
dicapai dalam setengah tahun pertama, sedang dalam dua tahun berikutnya terjadi
proses pendewasaan. Bambu dianggap benar-benar dewasa apabila umurnya telah
mencapai tiga tahun atau lebih.
Batang bambu pada umumnya berbentuk tabung silinder dengan diameter
bervariasi. Ukuran diameter bambu mengecil sepanjang batangnya mulai dari ujung
pangkal sampai ujung atas. Batang bambu seperti halnya tebu, terdiri atas ruas-ruas dan
buku-buku. Pada ruas-ruasnya tumbuh cabang-cabang yang ukurannya jauh lebih kecil
bila dibandingkan dengan buluhnya sendiri. Pada ruas-ruasnya juga dapat tumbuh akar.
Secara anatomis bambu berbeda dengan kayu. Batang bambu berlubang,
berbuku dan beruas. Kulit batang tidak mengelupas, melekat kuat dan sukar ditembus
oleh cairan. Batang bambu dalam keadaan utuh relatif lambat kering dan pengeringan
yang terlalu cepat menyebabkan pecah atau retak (Barly, 2009).

2.2.2 Pengawetan bambu


Pengawetan bambu dilakukan bertujuan untuk meningkatkan umur pakai dan
nilai ekonomisnya. Ada dua jenis metode pengawetan bambu, yaitu metode non-kimia
(tradisional) dan metode kimia.
Beberapa metode non-kimia (tradisional) yang sering diterapkan khususnya di
daerah pedesaan, antara lain :

11
1) Curing
Mula-mula batang bambu dipotong pada bagian bawah tetapi cabang dan daunnya
tetap disisakan. Kemudian, selama waktu tertentu rumpun bambu tersebut disimpan
di dalam ruang khusus. Karena proses asimilasi daun masih berlangsung,
kandungan pati ruas bambu akan berkurang. Akibatnya, ketahanan bambu terhadap
serangan kumbang bubuk meningkat.
2) Pengasapan
Bambu diletakkan di atas rumah perapian (tungku) selama waktu tertentu sampai
pengaruh asap menghitamkan batang bambu. Proses pemanasan menyebabkan
terurainya senyawa pati dalam jaringan parenkim. Di Jepang, bambu mentah
disimpan dalam ruang pemanas pada suhu 120-150˚C selama 20 menit. Perlakuan
ini cukup efektif untuk mencegah serangan serangga. Efek negatif metode ini
adalah kemungkinan terjadinya retak yang dapat mengurangi kekuatan bambu.
3) Pelaburan
Metode ini lebih ditujukan untuk mendapatkan efek hiasan daripada manfaat
pengawetannya. Batang bambu untuk konstruksi perumahan dilaburi dengan kapur
tohor (Ca[OH]2). Tujuannya untuk memperlambat penyerapan air, sehingga daya
tahan bambu terhadap jamur menjadi lebih tinggi. Efektivitas metode ini masih
perlu dibuktikan, terutama menyangkut pengaruh senyawa alkali terhadap kekuatan
bambu.
4) Perendaman dalam air
Perendaman menyebabkan penurunan kandungan pati bambu. Bambu mengandung
pati relatif tinggi misalnya bambu ampel, sedangkan bambu apus kadar patinya
relatif rendah. Tujuan akhir perendaman adalah menekan serangan kumbang bubuk.
Metode ini lebih cocok diterapkan pada bambu yang digunakan untuk bahan
bangunan. Waktu perendaman yang dianjurkan sebaiknya tidak lebih dari 1 bulan
(Sulthoni, 1988).
5) Perebusan
Perebusan bambu pada suhu 55-60˚C selama 10 menit akan menyebabkan pati
mengalami gelatinisasi sempurna, yaitu menjadi amilosa yang larut dalam air
(Matangaran, 1987). Perebusan pada 100˚C selama 1 jam cukup efektif untuk
mengurangi serangan kumbang bubuk. Metode ini, disamping metode pengasapan,
pemanasan dan perebusan dengan air kapur tidak populer, karena kurang efektif.

12
Selain itu, ada pula metode pengawetan secara modern, yang pada dasarnya
memasukkan bahan kimia sebagai bahan pengawet bambu, beberapa cara pengawetan
modern yang dapat diterapkan yaitu :

1) Metode Butt Treatment


Bagian bawah batang bambu yang baru dipotong diletakkan di dalam tangki yang
berisi larutan pengawet. Cabang dan daun pada batang tetap disisakan. Larutan
pengawet tersebut akan mengalir ke dalam pembuluh batang karena proses
transpirasi daun masih berlangsung. Karena prosesnya memakan waktu yang lama,
metode ini hanya tepat diterapkan pada batang bambu yang pendek dan berkadar air
tinggi.
2) Metode tangki terbuka
Metode ini termasuk metode yang ekonomis, sederhana serta memberi efek
perlindungan yang baik. Metode ini tidak memerlukan teknik instalasi yang rumit.
Batang dengan ukuran tertentu, direndam selama beberapa hari dalam campuran
yang terdiri dari air dan larutan bahan pengawet. Penggunaan bambu yang telah
dibelah dapat mengurangi lama perendaman sebanyak satu setengah kali.
Konsentrasi larutan pengawet yang digunakan untuk bambu yang baru dipotong
harus lebih tinggi dibanding bambu yang telah dikeringkan dengan penganginan.
Lama perendaman tergantung pada jenis bahan pengawet, spesis bambu dan
kondisi batang. Penggarukan kulit bagian luar dapat mempercepat penetrasi larutan
pengawet.
3) Metode Boucherie
Mula-mula bambu dipotong menurut ukuran tertentu. Kemudian, bambu
dimasukkan ke dalam mesin Boucherie. Lewat bagian khusus mesin itu, cairan
pengawet dengan konsentrasi tertentu dialirkan masuk ke dalam bambu dengan
tekanan 0,8-1,5 kg/cm². Proses tersebut dianggap selesai bila konsentrasi cairan
yang keluar dari bambu sama dengan konsentrasi bahan pengawet ditambah
konsentrasi air.
4) Metode Boucherie-Morisco
Cara Boucherie telah dimodifikasi oleh Morisco (1999), pompa listrik digantikan
dengan tabung udara bertekanan yang dapat dipompa secara manual. Sistem
pengawet bambu Boucherie-Morisco menggunakan bekas tabung Freon, cukup

13
murah dan mudah untuk dibawa ke lapangan. Pemompaan dapat dilakukan dengan
tenaga listrik atau secara manual dengan tekanan udara sebesar 3-5 kg/cm2 yang
tidak terlalu melelahkan. Jika pemompaan dilakukan secara manual, suara bising
tidak timbul. Dengan tekanan yang lebih besar, dapat diharapkan waktu proses
pemasukan larutan pengawet menjadi lebih singkat.
5) Metode Gravitasi
Pada cara ini bambu dipotong sepanjang 6 meter, dari salah satu ujung buku-buku
bambu dilubangi dan disisakan satu buku pada ujung lainnya. Bambu diberdirikan
terbalik dan diisi penuh dengan larutan pengawet yang diberi warna. Pemotongan
bambu pada bagian pangkal dilakukan pada jarak 20-40 cm dari buku-buku. Ruas
paling pangkal ini sisi dalamnya, diantara kulit luar dan selaput dalam dibelah
dengan pahat sedalam 20 cm searah serat. Dengan pahat tersebut, bagian dalam
bambu diungkit ke arah dalam, sehingga selaput dalam bambu sobek dan
diusahakan agar bambu bagian luar tidak pecah. Sekeliling bambu dipahat pada 4
tempat atau lebih. Pahatan ini semakin banyak semakin baik, karena semakin luas
permukaan yang dapat ditembus larutan pengawet. Larutan akan meresap ke dalam
bambu melewati bekas pahatan itu ke bawah dan mendorong air bambu keluar.
Dengan cara ini larutan pengawet akan merembes keluar melewati ujung bambu
bagian bawah dalam waktu sekitar 24 jam. Setelah dapat dianggap larutan
pengawet mendesak seluruh getah bambu keluar, larutan pengawet yang tersisa
dapat dituang keluar untuk mengawetkan bambu yang lain.

2.2.3 Kadar air


Kadar air bambu merupakan nilai yang menunjukkan banyaknya air yang
terdapat dalam bambu. Kadar air dihitung sebagai persentase perbandingan berat air
dalam bambu terhadap berat kering tanurnya. Untuk menentukan besarnya kadar air
bambu, maka digunakan Persamaan 2-1 sebagai berikut.

𝑚₀−𝑚₁
𝐾𝑎 = 𝑥100% (2-1)
𝑚1

Dengan :
𝐾𝑎 = kadar air bambu (%)
𝑚₀ = berat bambu sebelum dioven (gr)
𝑚₁ = berat bambu setelah dioven (gr)

14
2.2.4 Retensi
Retensi adalah banyaknya bahan pengawet yang masuk ke dalam bambu
tersebut setelah diawetkan. Untuk mengetahui retensi bahan pengawet, perhitungan
dilakukan dengan Persamaan 2-2 (Barly, 1999) sebagai berikut.
𝑤2−𝑤1
𝑅= 𝑥𝐶 (2-2)
𝑉

Dengan :
𝑅 = retensi bahan pengawet (Kg/m3)
𝑤2 = berat benda uji setelah diawetkan (Kg)
𝑤1 = berat benda uji sebelum diawetkan (Kg)
𝑉 = volume masing masing benda uji (m3)
𝐶 = konsentrasi bahan pengawet

2.2.5 Penetrasi
Penetrasi adalah dalamnya penembusan bahan pengawet ke dalam bambu dari
permukaan. Untuk mengukur dalamnya penetrasi bahan pengawet, benda uji dipotong
tepat pada bagian tengahnya dan diukur ketebalannya empat kali dari arah dalam pada
tiap perempat lingkaran. Dalamnya penetrasi diukur dalam milimeter. Penetrasi (dalam
persen) dapat dicari dengan Persamaan 2-3 sebagai berikut.

𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑛𝑦𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑒𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 (𝑚𝑚)


Penetrasi (%) = 𝑥 100% (2-3)
𝑡𝑒𝑏𝑎𝑙 𝑏𝑎𝑚𝑏𝑢 (𝑚𝑚)

2.2.6 Moralitas rayap dan kehilangan berat bambu


Pengamatan moralitas rayap dapat dihitung dengan Persamaan 2-4 sebagai berikut.
𝑀
𝐾= × 100% (2-4)
𝑆

dengan :
𝐾 = persentase moralitas serangga pada contoh benda uji (%)
𝑀 = jumlah serangga yang mati pada contoh benda uji
𝑆 = jumlah serangga yang digunakan pada contoh benda uji

Pengamatan kehilangan berat bambu yang telah dapat dihitung dengan Persamaan 2-5
sebagai berikut.
𝐵₀−𝐵₁
𝐻𝑏 = 𝐵₀
𝑥100% (2-5)

15
dengan :
𝐻𝑏 = kehilangan berat pada contoh benda uji (%)
𝐵₀ = berat benda uji sebelum diumpankan pada rayap (gr)
𝐵₁ = berat benda uji setelah diumpankan pada rayap (gr)

2.2.7 Kuat tarik bambu


Secara sederhana kuat tarik bambu dapat diartikan sebagai kemampuan bambu
dalam menahan gaya-gaya yang menariknya. Atau dengan kata lain kuat tarik bambu
merupakan suatu ukuran kekuatan bambu dalam hal kemampuannya untuk menahan
gaya-gaya yang cenderung menyebabkan bambu tersebut terputus satu sama lain. Untuk
menentukan besarnya kuat tarik bambu dapat dihitung menggunakan Persamaan 2-6
sebagai berikut.

Pmax
 tr //  (2-6)
bh

Dengan :
 tr // = kuat tarik bambu (N/mm²)
Pmax = gaya maksimun (N)
b = lebar bambu (mm)
h = tebal bambu (mm)

Detail dari spesimen untuk uji tarik dapat dilihat sperti pada Gambar 2.2 berikut.

Pot A-A
A

A
Skala 1 : 2 Skala 1 : 1

Gambar 2.2 Detail spesimen uji tarik

2.2.8 Kuat tekan bambu


Kuat tekan bambu adalah besarnya perbandingan antara beban maksimum yang
mampu ditahan oleh bambu dengan luas dari penampang bambu tersebut. Untuk
menentukan besarnya kuat tekan bambu dapat dihitung menggunakan Persamaan 2-7
sebagai berikut.
16
Pmax
 tk //  (2-7)
A
A  ( 14 D12 )  ( 14 D22 )

Dengan :
 tk // = kuat tekan bambu (N/mm²)
Pmax = beban maksimun (N)
D1 = diameter luar bambu (mm)
D2 = diameter dalam bambu (mm)
A = luas penampang bambu
Luas penampang melintang pada bambu dihitung dengan cara mengurangi luas
lingkaran luar dengan luas lingkaran dalam dari bambu, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.3 berikut.

Gambar 2.3 Penampang melintang bambu

17

Anda mungkin juga menyukai