Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun Oleh :
Fenny Andriani 1710711077
Refiana Gunawan 1710711083
Siti Luthfia Awanda 1710711084
Annisa Hilmy Nurarifah 1710711087
Dinda Triananda 1710711089
Sintya Marliani Putri 1710711092
Sherin Alinda Zulfa 1710711095
B. Distres Spiritual
1. Definisi Distress Spiritual
Menurut Bergren-Thomas dan Griggs (1995 dalam Young & Koopsen, 2007)
menjelaskan bahwa distress spiritual adalah suatu keadaan dimana seseorang
mengalami gangguan atau kekacauan nilai dan keyakinan yang biasanya memberikan
kekuatan, harapan dan makna hidup.
Menurut Herdman & Kamitsuru (2014) dijelaskan bahwa distress spiritual
merupakan suatu keadaan penderitaan yang terkait dengan gangguan kemampuan
untuk mengalami makna dalam hidup melalui hubungan dengan diri sendiri, orang
lain, dunia atau alam dan kekuatan yang lebih besar dari diri sendiri.
Distres spiritual adalah suatu keadaan menderita yang berhubungan dengan gangguan
kemampuan untuk mengalami makna hidup melalui hubungan dengan diri sendiri,
dunia atau kekuatan tertinggi (Nanda, 2015).
Distress spiritual atau krisis spiritual terjadi ketika seseorang tidak dapat menemukan
makna dan tujuan hidup, harapan, cinta, kedamaian atau kekeuatan dalam hidup
mereka. Krisis ini bisa terjadi saat seseorang mengalami ketiadaan hubungan dengan
hidup, sesama, alam dan ketika situasi hidup bertentangan dengan keyakinan yang
dimilikinya (Anandarajah dan Hight, 2001 dalam Young dan Koopsen, 2007).
Distress spiritual mengacu pada tantangan dari kesejahteraan spiritual atau sistem
kepercayaan yang memberikan kekuatan, harapan dan arti hidup (Carpenito 2002
dalam Kozier et al, 2004). Pendapat lain menjelaskan bahwa distress spiritual
merupakan masalah yang sering terjadi pada pemenuhan kebutuhan spiritual
(Hidayat, 2009). Kebutuhan spiritual yang dimaksud yaitu kebutuhan untuk mencari
makna dan tujuan hidup, kebutuhan mencintai dan dicintai serta kebutuhan untuk
memberi maaf dan dimaafkan (Hamid, 2009).
2. Ciri-ciri Khusus Distress Spiritual
Menurut Benedict dan Taylor (2002, dalam Young dan Koopsen, 2007) ciri-ciri
khusus dari distress spiritual meliputi hal berikut: pertanyaan tentang implikasi
moral/etis dari aturan terapeutik, perasaan tidak bernilai, kepahitan, penolakan, rasa
salah dan rasa takut, mimpi buruk, gangguan tidur, anorexia, keluhan somatis,
pengungkapan konflik dalam batin atas kepercayaan yang dihayati, ketidakmampuan
dalam berpartisipasi dalam praktik keagamaan yang biasa diikuti, mencari bantuan
spiritual, mempertanyakan makna penderitaan, mempertanyakan makna
keberadaan/eksistensi manusia, amarah pada Tuhan, kekacauan dalam perasaan atau
perilaku (marah, menangis, menarik diri, cemas, apatis dan sebagainya), dan untuk
yang terakhir menghindari humor.
3. Batasan Karakteristik Distress Spiritual
Batasan karakteristik menurut Nanda (2015) dari distress spiritual yaitu sebagai
berikut :
a. Hubungan dengan Diri Sendiri
Yang berhubungan dengan diri sendiri meliputi : kurang diterima, kurang
dorongan, kurang pasrah, marah, merasa hidup kurang bermakna, rasa bersalah,
strategi koping tidak efektif.
b. Hubungan dengan Orang Lain
Berhubungan dengan orang lain meliputi : menolak interaksi dengan orang
terdekat, menolak interaksi dengan pemimpin spiritual, merasa asing, perpisahan
dengan sistem pendukung.
c. Hubungan dengan Seni, Musik, Literatur, Alam
Berhubungan dengan seni, musik, literatur, alam meliputi : penurunan ekspresi
tentang pola kreativitas sebelumnya, tidak berminat membaca literatur spiritual,
tidak berminat pada alam,
d. Hubungan dengan Kekuatan yang Lebih Besar
Berhubungan dengan kekuatan yang lebih besar dari dirinya meliputi :
ketidakmampuan berdoa, ketidakmampuan berintrospeksi, ketidakmampuan
berpartisipasi dalam aktivitas keagamaan, ketidakmampuan mengalami
pengalaman religius,marah terhadap kekuatan yang lebih besar dari dirinya,
meminta menemui pemimpin keagamaan, mengungkapkan penderitaan, perasaan
diabaikan, perubahan yang tiba-tiba dalam praktek spiritual, tidak berdaya.
Menurut Carpenito (2013) batasan karakteristik distress spiritual dibagi berdasarkan
mayor dan minor. Karakteristik mayor adalah karakteristik yang harus ada pada
distress spiritual yaitu klien mengalami suatu gangguan dalam sistem keyakinan.
Batasan karakteristik minor yaitu karakteristik yang mungkin ada pada klien dengan
distress yaitu (Carpenito, 2013) meliputi:
a. Mempertanyakan makna kehidupan, kematian, dan penderitaan
b. Mempertanyakan kredibilitas terhadap sistem keyakinan
c. Mendemonstrasikan keputusan atau kekecewaan
d. Memilih untuk tidak melakukan ritual keagamaan yang biasa dilakukan
e. Mempunyai perasaan ambivalen (ragu) mengenai keyakinan
f. Mengungkapkan bahwa ia tidak mempunyai alasan untuk hidup
g. Merasakan perasaan kekosongan spiritual
h. Menunjukkan keterpisahan emosional dari diri sendiri dan orang lain
i. Menunjukkan kekhawatiran-marah, dendam, ketakutanmengenai arti kehidupan,
penderitaan, kematian
j. Meminta bantuan spiritual terhadap suatu gangguan dalam sistem keyakinan.
4. Faktor yang Berhubungan Distress Spiritual
Dalam NANDA (2015) faktor yang berhubungan dengan distress spiritual adalah
ancaman kematian, asing tentang diri sendiri, asing tentang sosial, gangguan
sosiokultural, kehilangan bagian tubuh, kehilangan fungsi bagian tubuh, kejadian
hidup tidak terduga, kelahiran bayi, kematian orang terdekat, kesepian, menerima
kabar buruk, mengalami kejadian kematian, menjelang ajal, nyeri, peningkatan
ketergantungan pada orang lain, persepsi tentang tugas yang tidak selesai, program
pengobatan, penuaan, sakit, dan transisi hidup.
Menurut Anandarajah dan Hight (2001, dalam Young dan Koopsen, 2007) distress
atau krisis spiritual dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental dan sering
diperburuk oleh penyakit medis atau takut mati. Faktor tambahan lain yang
berhubungan dengan distress spiritual meliputi (Taylor, 2002 dalam Young dan
Koopsen 2007) : kehilangan orang yang dicintai, rendahnya harga diri, penyakit
mental, penyakit alamiah, penyakit fisik, perasaan kehilangan sesaat, penyalahgunaan
benda terlarang, reaksi yang buruk dengan sesama, tekanan fisik atau psikologis,
ketidakmampuan untuk mengampuni, kekurangan mencintai diri sendiri dan yg
terakhir kecemasan ekstrem.
Menurut Herdman (2012) faktor yang berhubungan dengan distress spiritual yaitu
sebagai berikut: menjelang ajal, ansietas, sakit kronis, kematian, perubahan hidup,
kesepian, nyeri, keterasingan diri maupun sosial dan gangguan sosiokultural.
5. Etiologi
Kozier (2004) juga mengidentifikasi beberapa faktor yang berhubungan dengan
distres spiritual seseorang meliputi :
a. Masalah-masalah fisiologis antara lain diagnosis penyakit terminal, penyakit yang
menimbulkan kecacatan atau kelemahan, nyeri, kehilangan organ atau fungsi
tubuh atau kematian bayi saat lahir,
b. Masalah terapi atau pengobatan antara lain anjuran untuk transfusi darah, aborsi,
tindakan pembedahan, amputasi bagian tubuh dan isolasi,
c. Masalah situasional antara lain kematian atau penyakit pada orang-orang yang
dicintai, ketidakmampuan untuk melakukan praktek spiritual (Carpenitto, 2002
dalam Kozier et al, 2004).
Karakteristik pasien yang mengalami distres spiritual menurut Dover (2001) antara
lain:
a. Pasien putus asa
b. Tidak memiliki tujuan dalam hidupnya
c. Menganggap dirinya dijauhi Tuhan
d. Tidak melakukan kegiatan ibadah.
6. Rentang Respon
Menurut Nursalam respon spiritual yang ada pada manusia dapat dibagi menjadi dua,
yaitu respon spiritual adaptif, akan menunjukkan sikap yang positif terhadap diri
sendiri dan Tuhan dalam berbagai kondisi meskipun menderita dan sedih sekalipun.
a. Respon spiritual adaptif meliputi :
Ketabahan Hati
Pandai mengambil hikmah.
Harapan yang realistis
b. Respon Spiritual maladaptif adalah seperti distress spiritual
Distress spiritual adalah kerusakan kemampuan dalam mengalami dan
mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang dengan diri, orang lain, seni,
musik, literature, alam dan kekuatan yang lebih besar dari dirinya
Ketabahan hati Pandai mengambil hikmah Harapan yang realistis Distres Spiritual
Seorang laki-laki usia 31 tahun tengah dirawat di RS umum karena menderita HIV AIDS.
Perawat melakukan pengkajian, ditemukan data bahwa klien tampak murung dan
menunjukkan perilaku banyak diam, menolak melakukan aktivitas ibadah yang diadakan di
RS. Klien mengatakan bahwa penyakit yang ia derita karena Tuhan marah dan mengutuknya
akibat perilaku menyimpang yang ia lakukan selama ini. Klien merasa tidak ada yang
memahami dirinya saat ini bahkan keluarga tidak mau memaafkan klien, tidak pernah
membesuk dan merasa diasingkan. Klien marah pada diri sendiri mengapa ia melakukan
kesalahan besar. Klien merasa hidup sudah tidak lagi bermakna. Kepada perawat klien
mengaku kalau ia tidak mampu berdo’a dan bermaksud mempelajari agama lain yang bisa
memaafkan dosa-dosanya. Perawat menyusun intervensi keperawatan, salah satunya adalah
mengikutsertakan tokoh agama, namun klien menolak dan mengatakan tidak tertarik dengan
kegiatan keagamaan yang ia anut.
A. Pengkajian
1. Identitas klien
Nama : Tn. S
No. rekam medic : 27.11.92
Usia : 31 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Status marital : Belum menikah
Pekerjaan : Tidak bekerja
Suku : Sunda
Alamat : Jl. Mutiara RT.01/12 Beji, Depok
Tanggal masuk RS : 27 April 2019
Tanggal pengkajian : 1 Mei 2019
Diagnosa Medis : HIV/AIDS
2. Alasan masuk RS
Pasien masuk rumah sakit pada tanggal 27 April dengan diagnosa medis HIV/AIDS.
3. Faktor Predisposisi
a. Faktor Biologis
Riwayat penyakit fisik : Pasien menderita Penyakit HIV/AIDS
Riwayat penyakit keturunan di keluarga : tidak ada
Terpapar zat kimia/radiasi : tidak ada
Riwayat merokok : tidak ada
b. Faktor Psikologis
Faktor yang mempengaruhi harga diri : klien marah pada diri sendiri
mengapa ia melakukan kesalahan besar. Klien merasa hidup sudah tidak
lagi bermakna
Faktor yang mempengaruhi peran : Klien merasa tidak ada yang
memahami dirinya saat ini bahkan keluarga tidak mau memaafkan klien,
tidak pernah membesuk dan merasa di asingkan, pasien kehilangan peran
dalam keluarganya
Faktor yang mempengaruh identitas : akibat penyakitnya pasien merasa
kehilangan identitasnya sebagai manusia yang beragama
c. Faktor sosial budaya
Pasien berasal dari kalangan ekonomi menengah kebawah, belum menikah,
pendidikan terakhir SMA, berasal dari suku sunda, klien menunjukkan
perilaku banyak diam, menolak melakukan aktivitas ibadah yang diadakan di
RS.
4. Faktor Presipitasi
a. Kejadian Stresful dan Ketegangan Hidup
Klien menderita HIV AIDS yang menurutnya penyakit yang ia derita
karena Tuhan marah dan mengutuknya akibat perilaku menyimpang yang
ia lakukan selama ini.
Klien merasa tidak ada yang memahami dirinya saat ini
Klien kehilangan hubungan dengan orang yang terdekatnya, yaitu
keluarganya. Keluarga klien tidak mau memaafkan klien, tidak pernah
membesuk sehingga klien merasa diasingkan
5. Penilaian terhadap stressor
a. Respon Kognitif
Klien tidak memercayai keyakinannya
Klien mengatakan bahwa penyakit yang ia derita karena Tuhan marah dan
mengutuknya akibat perilaku menyimpang yang ia lakukan selama ini.
b. Respon Afektif
Klien merasa diasingkan oleh keluarganya
Klien marah pada diri sendiri mengapa ia melakukan kesalahan besar.
Klien mengatakan tidak tertarik dengan kegiatan agama yang dianutnya.
Klien merasa hidup sudah tidak lagi bermakna.
c. Respon Fisiologis
Wajah klien tampak murung.
d. Respon Perilaku
Klien banyak diam
Klien menolak melukan aktivitas ibadah yang diadakan di RS
Klien menolak mengikutsertakan tokoh agama
Klien mengatakan tidak tertarik dengan kegiatan agama yang dianutnya.
Klien mengaku kalau ia tidak mampu berdo’a dan bermaksud mempelajari
agama lain yang bisa memaafkan dosa-dosanya.
e. Respon social
Klien merasa tidak ada yang memahami dirinya saat ini bahkan keluarga
tidak mau memaafkan klien, tidak pernah membesuk dan merasa
diasingkan.
6. Sumber Koping
Merupakan pilihan – pilihan atau strategi yang membantu menentukan apa yang
dapat dilakukan dan apa yang beresiko. Sumber koping adalah faktor pelindung.
Menurut Safarino (2002) terdapat lima tipe dasar dukungan sosial bagi distres
spiritual
a. Dukungan emosi yang terdiri atas rasa empati, caring, memfokuskan pada
kepentingan orang lain. : klien tidak mendapat dukungan dari keluarganya
b. Tipe yang kedua adalah dukungan esteem yang terdiri atas ekspresi positif
thingking, mendorong atau setuju dengan pendapat orang lain.: -
c. Dukungan yang ketiga adalah dukungan instrumental yaitu menyediakan
pelayanan langsung yang berkaitan dengan dimensi spiritual.: aktivitas ibadah
yang diadakan di RS dan Perawat menyusun intervensi keperawatan, salah
satunya adalah menginstruksikan tokoh agama
d. Tipe keempat adalah dukungan informasi yaitu memberikan nasehat, petunjuk
dan umpan balik bagaimana seseorang harus berperilaku berdasarkan
keyakinan spiritualnya. : kepada perawat klien mengaku kalau ia tidak mampu
berdoa dan bermaksud mempelajari agam lain yang bisa memaafkan dosa-
dosanya
e. Tipe terakhir atau kelima adalah dukungan network menyediakan dukungan
kelompok untuk berbagai tentang aktifitas spiritual. Taylor, dkk (2003)
menambahkan dukungan apprasial yang membantu seseorang untuk
meningkatkan pemahaman terhadap stresor spiritual dalam mencapai
keterampilan koping yang efektif. : Perawat menyusun intervensi keperawatan,
salah satunya adalah menginstruksikan tokoh agama , namun klien menolak
dan mengatakan tidak tertarik dengan kegiatan keagamaan yang ia anut
No Data fokus
.
1. DS:
1. Klien mengatakan bahwa penyakit yang ia derita karena Tuhan marah dan
mengutuknya akibat perilaku menyimpang yang ia lakukan selama ini.
2. Klien merasa tidak ada yang memahami dirinya bahkan keluarga tidak mau
memaafkan klien, tidak pernah membesuk dan merasa diasingkan.
3. Klien marah pada diri sendiri mengapa ia melakukan kesalahan.
4. Klien merasa hidup sudah tidak bermakna.
5. Klien mengaku kalau ia tidak mampu berdo’a dan bermaksud mempelajari
agama lain yang bisa memaafkan dosa-dosanya.
6. Klien mengatakan tidak tertarik dengan kegiatan keagamaan yang ia anut.
DO:
1. Klien menunjukkan perilaku banyak diam.
2. Klien menolak melakukan aktivitas ibadah di RS.
DT:
1. Klien tampak murung.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Distres spiritual berhubungan dengan sakit.
2. Keputusasaan yang berhubungan dengan kehilangan kepercayaan pada kekuatan
spiritual.
3. Risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri yang dikaitkan dengan masalah
kesehatan fisik.
C. Intervensi Keperawatan
NO. DIAGNOSA NOC NIC
KEPERAWATAN
1. Distres spiritual Setelah dilakukan asuhan 1. Dukungan
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 Spiritual
sakit jam diharapkan kesehatan Intervensi :
spiritual terpenuhi. a. Gunakan
1. Kesehatan komunikasi
Spiritual terapeutik dalam
Indikator: membangun
1) Kualitas keyakinan hubungan saling
(3→5). percaya dan caring.
2) Kemampuan b. Dorong
berdo’a (3→5). penggunaan
3) Kemampuan sumber sumber
beribadah (3→5). spiritual jika
4) Berpartisipasi diperlukan.
dalam perjalanan c. Berbagi mengenai
dan tata cara perspektif spiritual
spiritual (3→5). dengan baik.
d. Dorong partisipasi
terkait dengan
keterlibatan
keluarga.
e. Berdoa bersama
individu.
f. Berikan artikel
spiritual yang
disukai pasien.
2. Keputusasaan yang Setelah dilakukan asuhan 1. Inspirasi Harapan
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 Intervensi :
kehilangan kepercayaan jam diharapkan pasien a. Bantu pasien
pada kekuatan spiritual memiliki harapan. mengembangkan
1. Harapan spiritual diri.
Indikator: b. Berikan
1) Mengungkapkan kesempatan bagi
makna hidup klien/keluarga
(4→5). untuk terlibat
2) Menunjukkan dalam kelompok
semangat hidup pendukung.
(4→5). c. Demonstrasikan
harapan dengan
menunjukkan
bahwa sesuatu
dalam diri pasien
adalah sesuatu
yang berharga.
3. Risiko perilaku Setelah dilakukan asuhan 1. Bantuan Kontrol
kekerasan terhadap diri keperawatan selama 3x24 Marah
sendiri yang dikaitkan jam diharapkan tingkat Intervensi:
dengan masalah depresi pasien berkurang. a. Bangun rasa
kesehatan fisik 1. Tingkat Depresi percaya dan
Indikator : hubungan yang
1) Kehilangan minat dekat dan harmonis
pada kegiatan dengan pasien.
(3→5). b. Gunakan
2) Rasa bersalah yang pendekatan yang
berlebihan (3→5). tenang.
3) Kemarahan (3→5). c. Tentukan harapan
mengenai tingkah
laku yang tepat
dalam
mengekspresikan
perasaan marah.
d. Tetapkan harapan
yang pasien dapat
mengontrol
perilakunya.
D. Evaluasi Implementasi
Penulis mendapatkan 7 pasien pria yang di rawat di RSCM lantai 7 sebagai partisipan
dalam penelitian ini. Pada awalnya penulis sulit untuk membina hubungan saling percaya
dengan pasien/partisipan, namunn setelah dua atau tiga kali pertemuan akhirnya
hubungan saling percaya antara penulis dengan partisipan dapat terjalin. Rentang usia
partisipan dari 25 sampai dengan 39 tahun. Pendidikan terakhir partisipan bervariasi dari
tidak tamat SMP sampai sarjana strata satu. Sebagian besar partisipan beragama Islam,
satu orang partisipan beragama Kristen. Pekerjaan partisipan sebelum sakit sangat
bervariasi, namun salah seorang partisipan keluar dari pekerjaannya setelah positif
dinyatakan menderita HIV.
Sebagian besar partisipan saat dikaji mengatakan setelah didiagnosis HIV mereka bisa
belajar banyak tentang agama, memiliki kesempatan untuk bertobat kepada Tuhan dan
menyadari kesalahan yang dilakukan. Sebagian besar mengatakan ingin lebih banyak
belajar tentang agama karena sebelumnya mereka jauh dari Tuhan dan tidak melakukan
secara benar ajaran agamanya. Selain itu, tujuan hidup dan nilai-nilai spiritual yang
diyakini oleh partisipan sebagian besar mengalami perubahan pasca diagnosis
HIV/AIDS. Beberapa partisipan mengatakan menjadi lebih menghargai makna hidup
yang sebenarnya karena selama ini telah menyia-nyiakan hidup yang diberikan oleh
Tuhan dengan cara menjalankan semua ajaran yang diajarkan oleh agamanya.
Sebagian besar partisipan megungkapkan pelayanan yang diberikan oleh perawat sudah
profesional dan teliti tetapi kegiatan yang dilakukan hanyalah melakukan kegiatan rutin
dan melakukan kegiatan sesuai prosedur. Sebagian besar partisipan menginginkan
perawat memberikan perhatian yang lebih kepada mereka, memberikan kenyamanan
terhadap klien dan cepat bertindak apabila partisipan membutuhkan bantuan untuk
mengatasi masalahnya misalnya infus macet. Mereka menginginkan perawat cepat
tanggap apabila diperlukan dan lebih perhatian walaupun hanya untuk menanyakan
kabarnya dan menjadi teman untuk berbicara. Tetapi sebagian besar partisipan
mengungkapkan mereka menerima saja pelayanan yang diberikan perawat karena tahu
perawat juga banyak mempunyai kesibukan lain dan takut apabila mereka macam-
macam nanti mereka tidak akan diurusi oleh perawat.
Hal tersebut menunjukkan bahhwa perawat tidak hanya melakukan kegiatan rutinnya
saja tetapi perawat juga perlu memberikan sedikit waktunya kepada pasien untuk
menanyakan keadaannya saat ini, mendengarkannya, dan memberikan semangat kepada
pasien.
Daftar Pustaka