Anda di halaman 1dari 2

RESUME HUKUM PIDANA LANJUTAN

TURUT MELAKUKAN (MEDEPLEGEN)

Turut melakukan adalah bentuk kedua dari penyertaan. MvT mengemukakan bahwa
orang yang turut melakukan adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat dalam
melakukan sebuah delik. Medeplegen juga diterjemahkan sebagai mereka yang bersama-sama
orang lain melakukan suatu tindakan.

Para pelaku atau pelaku-pelaku peserta dipidana sebagai petindak. Pemakaian istilah
pelaku atau pelaku peserta (medepleger) sebenarnya hanyalah masalah: dari sudut siapa
istilah itu digunakan. Artinya dalam hal P dan Q bersama-sama melakukan suatu tindakan
pidana, seandainya P disebut sebagai pelaku maka Q adalah pelaku peserta dan jika Q disebut
sebagai pelaku maka P adalah pelaku peserta. Hal yang diutamakan terakhir (Q sebagai
pelaku dan seterusnya) jika diikuti uraian dari NOYON adalah kurang tepat. Namun pada
umumnya diilihat dari sudut syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang turut serta
melakukan, pengertian tersebut adalah memadai.

Dalam bentuk penyertaan ini terutama banyak dipersoalkan apakah tiap pelaku dan
pelaku-peserta harus memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana sebagaimana
dipersyaratkan bagi seorang petindak. Dibawah ini akan diuraikan pendapat dari NOYON
sebagai berikut:

NOYON, berpendapat bahwa pengertian turut serta melakukan (medeplegen) harus


diperbedakan dengan istilah petindak-petindak peserta (mededader). Pendapat ini didasarkan
pada pasal 284 yang berbunyi: Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan,

1. a. Seorang pria yang telah kawin melakukan perzinahan, (pada hal diketahuinya
bahwa pasal 27 BW berlaku baginya).

b. Seorang wanita yang telah kawin melakukan perzinahan.

2. a. Seorang pria yang turut serta melakukan tindakan ini, pada hal diketahuinya bahwa
yang turut serta bersalah itu telah kawin.

b. Seorang wanita yang tidak kawin yang turut serta melakukan tindakan itu, pada hal
diketahuinya bahwa yang turut bersalah itu telah kawin (dan bahwa pasal 27 BW
berlaku baginya).
Jika bunyi sub 2a yaitu “seorang pria yang turut serta melakukan” diperbandingkan
dengan sub 1a dan sub 1b, jelas terlihat bahwa pria yang turut serta melakukan itu, tidak
selalu harus sudah kawin sebagaimana hal tersebut merupakan unsur terpenting yang
dirumuskan dalam sub 1a dan sub 1b. Pria tersebut dalam sub 2a yang tidak memenuhi
keadaan pribadi yang merupakan salah satu unsur terpenting tersebut pada sub 1, disebut
sebagai “turut serta melakukan” atau pelaku-peserta. Bukan sebagai petindak sebagaimana
tersimpulkan pada sub 1a dan sub 1b. Dengan perkataan lain hanya pria/wanita yang sudah
kawin dapat berbuat perzinahan. Sedangkan yang belum kawin, hanya dapat “turut serta
melaukan” perzinahan. Dengan demikian pengertian pelaku peserta (medepleger) itu harus
dibedakan dari pengertian petindak peserta (mededader). Dalam hal ini pelaku peserta itu
telah melakukan tindakan pelaksanaan, bukan memberi bantuan. Karenanya dikatakan
selanjutnya bahwa bentuk pelaku peserta itu sebagai berada di antara bentuk petindak peserta
dengan pembantu. Pendapat NOYON ini lama berpengaruh dalam praktek dan bahkan lebih
berkembang lagi.

Demikianlah suatu perkara penggelapan di Tulungagung telah diputuskan oleh


Pengadilan Negeri (vonis Landraad 5 Januari 1932 T.142) bahwa istri adalah sebagai pelaku,
sedangkan suaminya adalah sebagai pelaku peserta. Dalam perkara ini, istri tersebut telah
menerima sebentuk gelang emas dari seseorang lain dengan maksud untuk menjualkannya
dimana istri itu nantinya akan mendapatkan komisi. Tetapi suami yang mengetahui persoalan
tersebut, dengan sepengetahuan istrinya itu telah menggadaikan gelang tersebut untuk
kepentingan sendiri. Dalam hal ini pada suami itu tidak terdapat unsur atau keadaan
(hoedanigheid) “gelang itu ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan”.

Anda mungkin juga menyukai