Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai
diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring temasuk dalam lima
besar tumor ganas, dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor
payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan di daerah kepala dan leher
menduduki tempat pertama (KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah
kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor
ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah).

Santoso (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data
patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973-1976)
diantara 8463 kasus keganasan diseluruh tubuh. Di bagiam THT Semarang mendapatkan 127
kasus KNF dari tahun 2000-2002. Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada
tahun 1980 secara “pathology based” mendapatkan angka pravalensi karsinoma nasofaring
4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000-8000 kasus per tahun diseluruh Indonesia.

Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu masalah,
hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak
nasofaring yang tersembunyi, dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli
sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai
gejala pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis (angka bertahan hidup
5 tahun) semakin buruk.

2. Rumusan Masalah
A. Pengertian Ca Nasofaring
B. Etiologi Ca Nasofaring
C. Tanda dan Gejala Ca Nasofaring
D. Pencegahan Ca Nasofaring
E. Pemeriksaan Penunjang Ca Nasofaring
F. Penatalaksanaan Ca Nasofaring
G. Komplikasi Ca Nasofaring
H. Asuhan Keperawatan Ca Nasofaring
I. Jurnal terkini Ca Nasofaring

3. Tujuan Penulisan
A. Mahasiswa dapat Mengetahui Pengertian Ca Nasofaring
B. Mahasiswa dapat Mengetahui Etiologi Ca Nasofaring
C. Mahasiswa dapat Mengetahui Tanda dan Gejala Ca Nasofaring
D. Mahasiswa dapat Mengetahui Pencegahan Ca Nasofaring
E. Mahasiswa dapat Mengetahui Pemeriksaan Penunjang Ca Nasofaring
F. Mahasiswa dapat Mengetahui Penatalaksanaan Ca Nasofaring
G. Mahasiswa dapat Mengetahui Komplikasi Ca Nasofaring
H. Mahasiswa dapat Mengetahui Asuhan Keperawatan Ca Nasofaring
I. Mahasiswa dapat Mengetahui Asuhan Keperawatan Ca Nasofaring
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian karsinoma nasofaring

Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel ephitalial yang
cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis (Mangan, 2009).
Nasofaring adalah suatu rongga dengan dinding kuku di atas, belakang dan lateral yang
anatomi termasuk bagian faring (Pearce, 2009).

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh pada ephitalial pelapis
ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan belakang langit-langit rongga mulut dengan
predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan
tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60 %
tumor ganas daerah kepala dan leher merupakan kanker nasofaring., kemudian diikuti tumor
ganas hidung dan paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil,
hipofaring dalam prosentase rendah (Huda Nurarif & Kusuma, 2013). Karsinoma Nasofaring
sebagian besar adalah tipe epidermoid dengan potensi invasi ke dasar tulang tengkorang yang
menyebabkan neuropati kranial (Lucente, 2011). Pada banyak klien, karsinoma nasofaring
banyak terdapat pada ras monggoloid yaitu penduduk Cina bagian selatan, Hongkong,
Thailand, Malaysia, dan Indonesia juga di daerah India. Ras kulit putih jarang ditemui
terkena kanker jenis ini. Selain itu kanker nasofaring juga merupakan jenis kanker yang
ditemukan secara genetik (Mangan, 2009).

B. Etiologi karsinoma nasofaring

Kanker ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-3-1 dan apa
sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubugannya dengan faktor
genetic, kebebasan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Faktor yang mungkin terkait dengan
timbulnya kanker nasofaring adalah (Mangan, 2009):

1. Kerentanan Genetik

Walaupun Ca Nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap Ca


Nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki fenomena
agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA ( Human luekocyte antigen ) dan
gen pengode enzim sitokrom p4502E ( CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan
terhadap Ca Nasofaring, mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar Ca Nasofaring .
Penelitian menunjukkan bahwa kromosom pasien Ca Nasofaring menunjukkan
ketidakstabilan, sehingga lebih rentan terhadap serangan berbagai faktor berbahaya dari
lingkungan dan timbul penyakit.

2. Virus Epstein Barr

Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang spesifik seperti


antigen kapsid virus (VCA), antigen membran (MA), antigen dini (EA), antigen nuklir
(EBNA), dll. Virus EB memiliki kaitan erat dengan Ca Nasofaring , menurut (Zulkarnain
Haq, 2011) alasannya adalah:

a. Di dalam serum pasien Ca Nasofaring ditemukan antibodi terkait virus EB ( termasuk


VCA-IgA, EA-IgA, EBNA, dll ) , dengan frekuensi positif maupun rata-rata titer
geometriknya jelas lebih tinggi dibandingkan orang normal dan penderita jenis kanker
lain, dan titernya berkaitan positif dengan beban tumor . Selain itu titer antibodi dapat
menurun secara bertahap sesuai pulihnya kondisi pasien dan kembali meningkat bila
penyakitnya rekuren atau memburuk.

b. Di dalam sel Ca Nasofaring dapat dideteksi zat petanda virus EB seperti DNA virus
dan EBNA.

c. Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel mengandung virus EB,
ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut tumbuh lebih cepat , gambaran pembelahan
inti juga banyak.

d. Dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu dapat menimbulkan


karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan mukosa nasofaring fetus manusia.

Virus Epstein Barr dengan ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya
penyakit ini. Virus ini dapat masuk dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan
suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan
suatu mediator kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari
masa kanak-kanak. Mediator yang berpengaruh untuk timbulnya Ca Nasofaring :

a). Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamine.


b). Keadaan social ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.

c). Sering kontak dengan Zat karsinogen ( benzopyrenen, benzoantrance, gas kimia, asap
industri, asap kayu, beberapa ekstrak tumbuhan).

d). Ras dan keturunan (Malaysia, Indonesia)

e). Radang kronis nasofaring

3. Faktor Lingkungan (Zulkarnain Haq, 2011)

Faktor lingkungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat
berikut berkaitan dengan timbulnya Ca Nasofaring :

1). Hidrokarbon aromatik, pada keluarga di area insiden tinggi kanker nasofaring ,
kandungan 3,4- benzpiren dalam tiap gram debu asap mencapai 16,83 ug, jelas lebih
tinggi dari keluarga di area insiden rendah.

2). Unsur renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinognesis pada proses timbulnya
kanker nasofaring.

3). Golongan nitrosamin : banyak terdapat pada pengawet ikan asin. Terkait dengan
kebiasaan makan ikan asin waktu kecil, di dalam air seninya terdeteksi nitrosamin
volatil yang berefek mutagenik.

Pembagian Karsinoma Nasofaring (Huda Nurarif & Kusuma, 2013) Menurut Histopatologi :

1. Well differentiated epidermoid carconoma

 Keratinizing
 Non Keratinizing

2. Undiffentiated epidermoid carcinoma = anaplastic carcinoma

3. Adenocystic carcinoma

Menurut bentuk dan cara tumbuh

1. Ulseratif

2. Eksofilik : Tumbuh keluar seperti polip


3. Endofilik : Tumbuh di bawah mukosa, agar sedikit lebih tinggi dari jaringan sekitar

‐ Klasifikasi Histopatologi menurut WHO (1982)

Tipe WHO 1

 Karsinoma sel skuamosa (KSS)


 Deferensiasi baik sampai sedang
 Sering eksofilik (tumbuh dipermukaan)

Tipe WHO 2

 Karsinoma non keratinisasi (KNK)


 Paling banyak pariasinya
 Menyerupai karsinoma transisional

Tipe WHO 3

 Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD)


 Seperti antara lain limfoepitelioma, karsinoma anaplastik, “Clear Cell Carsinoma”, varian
sel epitel
 Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik

C. Tanda dan gejala karsinoma nasofaring

Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari nasofaring termasuk
fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke dalam ataupun keluar nasofaring ke sisi
lateral lainnya dan atau posterosuperior dari dasar tulang tengkorok atau palatum, rongga
hidung atau orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah bening servikal. Metastase jauh
dapat mengenai tulang, paru-paru, mediastinum dan hati (jarang). Gejala yang akan timbul
tergantung pada daerah yang terkena. Sekitar separuh pasien memiliki gejala yang beragam,
tetapi sekitar 10% asimtomatik. Pembesaran dari kelenjar getah bening leher atas yang nyeri
merupakan gejala yang paling sering dijumpai. Gejala dini karsinoma nasofaring sulit
dikenali oleh karena mirip dengan saluran nafas atas (Lucente, 2011).

Pada Karsinoma nasofaring, paresis fasialis jarang menjadi manifestasi awal. Karena
lokasinya, karsinoma nasofaring menimbulkan sindrom penyumbatan tuba dengan tuli
konduktif sebagai keluhan. Perluasan infiltratif karsinoma nasofaring berikutnya
membangkitkan perdarahan dan penyumbatan jalan lintasan napas melalui hidung. Setelah
itu, pada tahap berikutnya dapat timbul gangguan menelan dan kelumpuhan otot mata luar
(paralisis okular) (Muttaqin, 2008). Gejala nasofaring yang pokok adalah (Huda Nurarif &
Kusuma, 2013) :

1. Gejala Hidung

Epiktasis : rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi perdarahan

Sumbatan Hidung : sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor kedalam rongga


nasofaring dan menutupi koana, gejalanya adalah pilek kronis, ingus kental, gangguan
penciuman

2. Gejala Telinga
Kataralis/Oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula pada fossa rosenmuler, pertumbuhan
tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba (berdengung, rasa penuh, kadang
gangguan pendengaran) Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan
pendengaran. Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran menurun, dan
dengan tes rinne dan webber, biasanya akan ditemukan tuli konduktif
3. Gejala Mata
Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia (penglihatan ganda) akibat
perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan
N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan
4. Gejala Lanjut
Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker dapt mencapai kelenjar
limfe dan bertahan disana. Dalam kelenjar ini sel tumbuh dan berkembang biak hingga
kelenjar membesar dan tampak benjola di leher bagian samping, lama-kelamaan karena
tidak dirasakan kelenjar akan berkembang dan melekat pada otot sehingga sulit
digerakkan
5. Gejala Kranial
Gejala Kranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf
kranialis. Gelajanya antara lain :
a. Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara
hematogen
b. Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang
c. Kerusakan pada waktu menelan
d. Afoni
e. Sindrom Jugular Jackson atau sindrom reptroparotidean mengenai N. IX, N. X, N.
XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada Lidah, palatum, Faring atau
laring, M. Sternocleidomastoideus, dan M. Trapezeus

Penggolongan Ca Nasofaring (Huda Nurarif & Kusuma, 2013) :

Tumor Size (T)

1. T : Tumor primer

2. T0 : Tidak tampak tumor

3. T1 : Kanker terbatas di rongga nasofaring

4. T2 : Kanker menginfiltrasi kavum nasal, orofaring atau di celah parafaring di anterior dari
garis SO ( garis penghubung prosesus stiloideus dan margo posterior garis tengah foramen
magnum os oksipital ).

5. T3 : Kanker di celah parafaring di posterior garis SO atau mengenai basis kranial, fosa
pterigopalatinum atau terdapat rudapaksa tunggal syaraf kranial kelompok anterior atau
posterior.

6. T4 : Saraf kranial kelompok anterior dan posterior terkena serentak, atau kanker mengenai
sinus paranasal, sinus spongiosus, orbita, fosa infra-temporal.

Regional Limfe Nodes (N)

1. N0 : Belum teraba pembesaran kelenjar limfe .

2. N1 : Kelenjar limfe koli superior berdiameter < 4 cm.

3. N2 : Kelenjar koli inferior membesar atau berdiameter 4-7 cm.

4. N3 : Kelenjar limfe supraklavikular membesar atau berdiameter > 7 cm

Metastase Jauh (M)

1. M0 : Tak ada metastasis jauh.

2. M1 : Ada metastasis jauh.


Penggolongan stadium klinis, antara lain :

1. Stadium I : T1N0M0

2. Stadium II : T2N0 – 1M0, T0 – 2N1M0

3. Stadium III : T3N0 - 2M0, T0 – 3N2M0

4. Stadium Iva : T4N0 – 3M0, T0 – 4N3M0

5. Stadium Ivb : T apapun, N Apapun, M1

D. Pencegahan Karsinoma nasofaring

1. Ciptakan lingkungan hidup dari lingkungan kerja yang sehat, serta usahakan agar
pergantian udara lancar.

2. Hindari polusi udara, seperti kontak dengan gas hasil kimia, asap industri, asap kayu, asap
rokok, asap minyak tanah, dan polusi lain yang mengaktifkan virus Epstein Bar.

3. Hindari mengkonsumsi makanan yang diawetkan, makanan yang panas, atau makanan
yang merangsang selaput lendir.

E. Pemeriksaan Penunjang

Untuk mencapai diagnosis dini harus melaksanakan hal berikut (Lucente, 2011) :

1. Tindakan kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien.


Pasien dengan epiktasis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli unilateral,
limfadenopati leher tak nyeri, sefalgia, rudapaksa saraf kranial dengan kausa yang tak
jelas, dan keluhan lain harus diperiksa teliti rongga nasofaringya dengan nasofaringoskop
indirek atau elektrik.
2. Pemeriksaan kelenjar limfe leher.
Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai vena jugularis interna, rantai nervus
aksesorius dan arteri vena transvesalis koli apakah terdapat pembesaran.
3. Pemeriksaan saraf kranial
4. Terhadap saraf kranial tidak hanya memerlukan pemeriksaan cermat sesuai prosedur
rutin satu persatu , tapi pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot kunyah dan
lidah kadang perlu diperiksa berulang kali, barulah ditemukan hasil yang positif
F. Penatalaksaan Karsinoma Nasofaring

a. Radioterapi

Radioterapi adalah pengobatan standar untuk karsinoma nasofaring. Tetapi hal ini
dapat menghasilkan komplikasi yang tidak diinginkan karena lokasi tumor di dasar tengkorak
dan organ yang rentan terhadap radiasi termasuk batang otak, sumsum tulang belakang,
hipofisis hipotalamus axis, temporal lobus, mata, telinga tengah dan dalam, dan kelenjar
parotis (Wei & Sham, 2005). Hal yang perlu dipersiapkan adalah keadaan umum pasien baik,
hygiene mulut, bila ada infeksi mulut diperbaiki dulu. Pengobatan tambahan yang diberikan
dapat berupa diseksi leher (benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau
timbul kembali setelah penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu
diperiksa dengan radiologik dan serologik), pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon,
kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus (Pratiwi, 2012).

b. Kemoterapi

Dokter bisa mempertimbangkan tindakan radioterapi dan kemoterapi secara


bersamaan pada beberapa pasien untuk meningkatkan efektivitas pengobatan. Dokter akan
memberikan obat kimia melalui pembuluh darah sebelum tindakan radioterapi untuk
meningkatkan potensi radioterapi.

c. Terapi Biologis

Dewasa ini masih dalam taraf penelitian laboraturium dan uji klinis.

d. Terapi Herbal TCM

Dikombinasi dengan radioterapi dan kemoterapi, mengurangi reaksi radiokemoterapi ,


fuzhengguben ( menunjang, memantapkan ketahanan tubuh) , kasus stadium lanjut tertentu
yang tidak dapat diradioterapi atau kemoterapi masih dapat dipertimbangkan hanya diterapi
sindromnya dengan TCM. Efek herba TCM dalam membasmi langsung sel kanker dewasa ini
masih dalam penelitian lebih lanjut.

e. Terapi Rehabiltatif

Pasien kanker secara faal dan psikis menderita gangguan fungsi dengan derajat
bervariasi. Oleh karena itu diupayakan secara maksimal meningkatkan dan memperbaiki
kualitas hidupnya.
f. Rehabilitas Psikis

Pasien kanker nasofaring harus diberi pengertian bahwa pwnyakitnya berpeluang


untuk disembuhkan, uapayakan agar pasien secepatnya pulih dari situasi emosi depresi.

g. Rehabilitas Fisik

Setelah menjalani radioterapi, kemoterpi dan terapi lain, pasien biasanya merasakan
kekuatan fisiknya menurun, mudah letih, daya ingat menurun. Harus memperhatikan
suplementasi nutrisi , berolahraga fisik ringan terutama yang statis, agar tubuh dan ketahanan
meningkat secara bertahap.

h. Pembedahan

Dalam kondisi ini dapat dipertimbangkan tindakan operasi :

1. Rasidif lokal nasofaring pasca radioterapi , lesi relatif terlokalisasi.

2. 3 bulan pasca radioterapi kurtif terdapat rasidif lesi primer nasofaring

3. Pasca radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi kelenjar limfe leher.

4. Kanker nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma skuamosa grade I, II,
adenokarsinoma.

5. Komplikasi radiasi.

G. Komplikasi pada Karsinoma Nasofaring

1. Radioterapi

Selama minggu-minggu awal radioterapi, pasien mungkin akan mengalami rasa mual,
mulut kering, perubahan rasa, kehilangan nafsu makan, dll. Di minggu-minggu berikutnya,
pasien mungkin akan menderita sariawan, penggelapan warna kulit, nyeri tenggorokan, dan
rambut rontok, dll. Namun hal ini akan reda secara berangsur-angsur beberapa minggu
setelah selesainya tindakan pengobatan. Namun beberapa pasien akan tetap merasakan mulut
yang kering karena kelenjar ludah mereka menghasilkan lebih sedikit air liur akibat tindakan
radioterapi. Selain itu, pasien mungkin akan mengalami kondisi berikut ini: Bisa mengalami
otitis media (radang telinga bagian tengah), yang menyebabkan kehilangan pendengaran
parsial. Bisa merasakan kaku pada sendi temporoman dibular (rahang sendi), sehingga
menyebabkan sensasi ‘kejang mulut’. Sebagian kecil pasien bisa merasakan gangguan pada
fungsi endokrin atau fungsi saraf mereka.

2. Kemoterapi

Meskipun obat antikanker bisa membunuh sel-sel kanker, namun obat yang sama ini juga
bisa memengaruhi pembelahan sel-sel normal. Pasien bisa muntah, mengalami rambut
rontok, diare, kehilangan nafsu makan, anemia (kekurangan sel darah merah), kekurangan sel
darah putih, yang berakibat pada turunnya sistem kekebalan tubuh; sehingga pasien menjadi
lebih mudah terjangkit infeksi. Selain itu, fungsi ginjal bisa juga terpengaruh secara negatif.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN

A. Pengumpulan Data

Data-data yang dikumpulkan atau dikaji meliputi :


a. Identitas Pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat
rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan
dan pekerjaan pasien.

b. Keluhan Utama
Telinga kiri terasa buntu/hingga peradangan. Timbul benjolan di leher kanan dan kiri
sejak3 bulan yang lalu.

c. Riwayat Penyakit DahuluKlien pernah mengalami stroke atau tidak

d. Riwayat Penyakit Sekarang


Telinga kiri terasa buntu/hingga peradangan. Timbul benjolan di leher kanan dankiri sejak
3 bulan yang lalu.

d. Riwayat Kesehatan Keluarga


Riwayat kesehatan keluarga yang lain tidak ada yang menderita penyakit sepertiyang
diderita klien saat ini.

e. Keadaan Kesehatan Lingkungan


Klien mengatakan bahwa Lingkungan rumah tempat tinggal cukup bersih. Riwayat
PsikososialMeliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya
serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.
Pola aktivitas sehari-hari
(1) Pola Persepsi Dan Tata Laksana Hidup Sehatan
Pada pasien diabetik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup sehat
arenakurangnya pengetahuan tentang dampak diabetuk sehingga menimbulkan
persepsiyang negatif terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi
prosedur pengobatan dan perawatan yang lama perlu adanya penjelasan yang benar
dan mudah dimengerti pasien.

(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme


Akibat produksi insulin tidak adekuat atau adanya defisiensi insulin maka kadar
guladarah tidak dapat dipertahankan sehingga menimbulkan keluhan sering
kencing, banyak makan, banyak minum, berat badan menurun dan mudah lelah. Kead
aantersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme
yangdapat mempengaruhi status kesehatan penderita.
(3) Pola Eliminasi
Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis osmotik yang
menyebabkan pasien sering kencing (poliuri) dan lancar, Jumlah urine 1200 cc/24
jam, warna urinekuning. Pada eliminasi alvi relatif tidak ada gangguan. Klien buang
air besar 1X/hari.
(4) Pola tidur.dan Istirahat
Adanya poliuri dan situasi rumah sakit yang ramai akan mempengaruhi waktu
tidurdan istirahat penderita, sehingga pola tidur dan waktu tidur penderita
mengalami perubahan. Klien kurang tidur baik pada waktu siang maupun malam hari
Klientampak terganggu dengan kondisi ruang perawatan yang ramai.
(5) Pola Aktivitas dan latihan
Adanya diabetik dan Ca. nasofaring menyebabkan penderita tidak
mampumelaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, penderita mudah
mengalamikelelahan. Klien biasanya bekerja diluar rumah, tapi saat ini klien hanya
beristirahatdi Rumah Sakit sambil menunggu rencana operasi.
(6) Pola Hubungan dan Peran
Ca nasofaring yang sukar sembuh menyebabkan penderita malu dan menarik diridari
pergaulan.
(7) Pola Sensori dan Kognitif
Pasien dengan diabetes cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada lukasehingga
tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu melihat dan mendengardengan
baik, klien tidak mengalami disorientasi.
(8) Pola Persepsi Dan Konsep Diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderitamengalami
gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya
biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dangan
gguan peran pada keluarga (self esteem). Klien mengalami cemas karenaKurangnya
pengetahuan tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuantindakan yang
diprogramkan.
(9) Pola Seksual dan Reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi
sehinggamenyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas maupun ereksi,
sertamemberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. Selama dirawat di
rumahsakir klien tidak dapat melakukan hubungan seksual seperti biasanya.
(10) Pola mekanisme/Penanggulangan Stress dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, perasaan tidak
berdayakarena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa
marah,kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan penderita
tidakmampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif. Klien
merasasedikit stress menghadapi tindakan kemoterapi/sitostatika. karena
kurangnya pengetahuan.
(11)Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta ca
nasofaringtidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi
mempengaruhi polaibadah penderita.

Personal Higiene
Kebiasaan di rumah klien mandi 2 X/hari, gosok gigi 2 X/hari, dan cuci rambut
1X/minggu.
Ketergantungan
Klien tidak perokok, tidak minum-minuman yang mengandung alkohol.

Aspek Psikologis
Klien terkesan takut akan penyakitnya, merasa terasing dan sedikit stressmenghadapi
tindakan operasi.
Aspek Sosial/Interaksi
Hubungan dengan keluarga, teman kerja maupun masyarakat di sekitar
tempattinggalnya biasa sangat baik dan akrab. Saat ini klien terputus dengan dunia
luar,kehilangan pencari nafkah (bagi keluarganya), biaya mahal.
Aspek Spiritual
Klien dan keluarganya sejak kecil memeluk agama Kristen, ajaran agama
dijalankansetiap saat. Klien sangat aktif menjalankan ibadah dan aktif mengikuti
kegiatanagama yang diselenggarakan oleh gereja di sekitar rumah tempat tinggalnya
maupunoleh masyarakat setempat.

Saat ini klien merasa tergangguan pemenuhan kebutuhan spiritualnya


Prioritas Keperawatan
1. Dukungan adaptasi dan kemandirian.
2. Meningkatkan kenyamanan.
3. Mempertahankan fungsi fisiologis optimal.
4. Mencegah komplikasi.
5. Memberi informasi tentang proses/kondisi penyakit, prognosis dan
kebutuhan pengobatan.
Tujuan Pemulangan
1. Klien menerima situasi dengan realistis.
2. Nyeri berkurang/terkontrol.
3. Homeostasis dicapai.
4. Komplikasi dicegah/dikurangi
5. Proses/kondisi penyakit, prognosis, pilihan terapeutik dan aturan dipahami.

B. Pemeriksaan Fisik (Body Systems)


(1) Pernafasan (B 1 : Breathing)
Pernafasan melalui hidung. Frekuensi 20 x/menit, Irama teratur, tidak terlihatgerakan
cuping hidung, tidak terlihat Cyanosis, tidak terlihat keringat pada dahi,tidak terdengar suara
nafas tambahan, dentuk dada simetris.Hasil foto Thorax PACor/pulmo tidak ada kelainan.
(2) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Nadi 90 X/menit kuat dan teratur, tekanan darah 140/90 mmHg, Suhu 36,8 C, perfusi
hangat. Cor S1 S2 tunggal reguler, ekstra sistole/murmur tidak ada
(3) Persyarafan (B 3 : Brain)
Tingkat kesadaran (GCS) Membuka mata : Spontan, Verbal : Orientasi baik, Motorik :
Menurut perintah, Compos Mentis : Pasien sadar
(4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B.4 : Bladder)
Jumlah urine 1200 cc/24 jam, warna urine kuning
(5) Pencernaan-Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)
Mulut dan tenggorokan normal, Abdomen normal, Peristaltik normal, tidakkembung,
tidak terdapat obstipasi maupun diare, Rectum normal, klien buang air besar 1 X/hari.
(6) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Kemampuan pergerakan sendi bebas / terbatas Parese ada / tidak, Paralise ada/tidak,
Hemiparese ada/tidak, .Tidak terdapat kontraktur maupun dikubitus
(7) Sistem Endokrin
Terapi hormon Karakteristik sex sekunder Riwayat pertumbuhan dan perkembangan fisik
Hipoglikemia, Polidipsi, Poliphagi, Poliuri, Postural, hipotensi, dan Kelemahan.

C. Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan Laboratorium :
 Hb : 15,8 mg/dl (13,4 mg/dl)
 Leukosit : 11,3
 Albumin : 4,1 gr/dl (3,2 – 3,5 gr/dl)
 SGOT : 10,2 ( kurang 29 )U/L
 SGPT : 13,5 U/L
 Bilirubin Direk : 0,31 ( 0,25)
 Bilirubin Total : 1,01 (1,00)
 Alkali Phospatase : 148- Cholesterol Total : 148,8 (200)
 Trigliserida : 81,4 (200)
 HDL Cholesterol : 30 (35)
 LDL Cholesterol : 101 (130)
 Ureum/BUN : 13,8 mg/dl (10 – 20)
 Serum Creatinin : 1,16 mg/dl (L : 0,9 – 1,5 P : 0,7 – 1,3)
 Uric Acid : 4,1 (L : 3,4 – 7,0 P : 2,4 – 5,7)
 Glukosa puasa : 300 mg/dl ( 126 mg/dl)
 Glukosa 2 jam pp : 463 mg/dl (140 mg/dl)

Hasil pemeriksaan Patologi


 Mikroskopik Jaringan nasofaring hiperplastik, tidak tampak tanda-tanda keganasan
Jaringan nasofaring dengan infiltrat luas undiff.

Hasil pemeriksaan CT Scan


 Terlihat gambaran massa daerah nasopharynx mengenai atap serta dinding kanan kiri.
Batasanterior mencapai cavum nasi bagian posterior. Sisi kanan juga terlihat ada cairan
dalam sinus maxillaris kanan suspect merupakan perluasan tumor tersebut. Belum terlihat
adainvasi tumor ke intracranial. Perluasan ke lateral, kanan kiri sampai di
musculus pterygoideus tetapi belum mengadakan infiltrasi pada musculus tsb. Pada infiltr
asiintracranial.

Hasil pemeriksaan Radiologi


 Thorax PACor / pulmo tidak ada kelainan.

Terapi :
 Infus RL/D5%
 Injeksi Actrapid 16 UI ¼ jam sebelummakan.
 Copar 6 X 1 Tab/hari
 Injeksi Xylo Della 2 : 2 Im
 Injeksi Novoban 1 Amp
 Injeksi Carbocin 450 mg dalam Inf D5% 100 cc drip habis dalam 6 jam.
 Injeksi Curasil (5 FU) 1000mg dalam 100 cc D5% drip habis dalam 30 menit.
 Injeksi Bleocyn 30 mg dalam 100 cc RL drip habis dalam 30 menit.
Gambar Ca Nasofaring
BAB IV
ANALISA JURNAL

A. Karakteristik Klinis dan Patologis Karsinoma Nasofaring di Bagian THT-KL RSUP


Dr.M.Djamil Padang

1. Problem
Penelitian dilakukan untuk mengetahui Karsinoma nasofaring banyak terjadi di Cina dan
Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, sering didiagnosis pada keadaan lanjut dan memiliki
prognosis yang buruk. Didapatkan sebanyak 44 kasus yang lengkap pada periode tersebut,
yang mana 52,27% penderita adalah laki-laki dan 47,22% perempuan, perbandingan laki-laki
dan perempuan adalah 1,2 : 1. Sebaran umur penderita dari 17 sampai 75 tahun dengan
insiden puncak pada umur 41- 65 tahun. Gejala klinis terdiri atas massa di leher 93,17%,
diikuti dengan obstruksi nasal 79,55%, dan gangguan pendengaran 79,55% sedangkan tanda
klinis terdiri atas pembesaran kelenjar getah bening leher 90,91%, diikuti dengan tuli 79,55%,
cranial nerve palsy dan perluasan kelenjar getah bening ke fossa supraklavikula masing-
masing 15,8%. Sebagian besar pasien berada pada stadium IV 83,16%, dengan derajat tumor
terbanyak T4N2M0 15,91%. Tipe histopatologi yang terbanyak adalah nonkeratinizing
carcinoma, undifferentiated type 75%, diikuti keratinizing SCC 13,64%, dan nonkeratinizing
carcinoma - differentiated type 11,36%.
2. Intervention
Salah satu masalah kanker yang sulit dideteksi dini adalah Karsinoma Nasofaring (KNF).
KNF merupakan kanker yang mempunyai keunikan dan berbeda dari tumor ganas di daerah
kepala dan leher lainnya dalam hal epidemiologi,. Data epidemiologi menyebutkan bahwa ras
Mongoloid memiliki angka kejadian yang tinggi untuk menderita karsinoma nasofaring.
Masyarakat Indonesia yang sebagian besar termasuk dalam ras Mongoloid memiliki
kebiasaan mengonsumsi ikan asin yang merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia.
Ikan asin memiliki kandungan nitrosamin yang merupakan salah satu faktor pencetus kanker
ini. Nitrosamin terkandung dalam beberapa jenis makanan yang diawetkan, seperti daging
olahan yang merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus Epstein-Barr yang
memicu mekanisme kanker.
3. Comparison
Penelitian yang dilakukan Kurniawan (2011) mengenai angka harapan hidup dua tahun
dari 56 kasus didapatkan pasien KNF dengan kemoradiasi secara keseluruhan sebesar 60%.
Pada bulan ke 24, pasien stadium II memiliki angka harapan hidup diatas 80%, pasien
stadium IV sebesar 60%, dan pasien stadium III hanya sebesar 40%. Tidak terdapat
perbedaan yang bermakna pada angka harapan hidup dua tahun pasien KNF antara stadium
II, III, dan IV yang dilakukan terapi kemoradiasi.15 Kegagalan pengobatan ini disebabkan
oleh perluasan lokoregional (40-80% pasien) dan kekambuhan (15-50% pasien). Klasifikasi
WHO tahun 1978 membagi KNF menjadi squamous cell carcinoma (WHO tipe 1),
nonkeratinizing carcinoma (WHO tipe 2) dan undifferentiated carcinoma (WHO tipe 3).
4. Outcome
Perbandingan penderita laki-laki dan perempuan adalah 1,2 : 1, dengan sebaran umur
mulai dari 17 sampai 75 tahun. Penderita terbanyak ditemukan pada kelompok umur 41
sampai 65 tahun. Pembesaran kelenjar getah bening leher merupakan tanda dan gejala klinis
terbanyak yang ditemukan pada seluruh penderita. Mayoritas penderita datang pada stadium
lanjut (stadium IV dan III), diikuti stadium II ,stadium I tidak ditemukan, terdapat pasien
yang mengalami metastasis jauh ke paru-paru, tulang, dan ginjal. Tipe histopatologis
terbanyak adalah bentuk nonkeratinizing carcinoma – undifferentiated type, diikuti
keratinizing, nonkeratinizing carcinoma – differentiated type, sedangkan basaloid SCC tidak
ditemukan.

B. Tingkat Ketahanan Hidup Penderita Kanker Nasofaring pada Berbagai Modalitas


Terapi Studi Kasus yang Menjalani Terapi Konvensional dan Pengobatan
Komplementer Alternatif

1. Problem
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Sejauh ini tingkat ketahanan hidup pada
penderita kanker nasofaring dengan kombinasi kemoterapi dan radioterapi di Rumah Sakit
Umum Dr. Sarjito selama 18 bulan sebesar 79,33%. Ada perbedaan yang signifikan antara
penderita KNF dengan penyebaran ke kelenjar getah bening (81,6%) dan tanpa penyebaran
ke kelenjar getah bening (75%) secara statistik. Tingkat ketahanan hidup penderita KNF
dengan usia di atas 40 tahun selama 18 bulan sebesar 76,4% dan penderita KNF berusia di
bawah 40 tahun selama 14 bulan sebesar 80,2%. Tingkat ketahanan hidup laki-laki penderita
KNF selama 18 bulan sebesar 74,6% dan pada penderita wanita sampai akhir penelitian
adalah 100%.
2. Intervention

Fenomena pola hidup tidak sehat di Indonesia semakin meningkat di semua kalangan
seiring dengan peningkatan penyakit degeneratif, salah satunya adalah kanker. Pada sebuah
penelitian epidemiologik tentang penyakit kanker, diperkirakan akan terjadi peningkatan 99%
penderita pada tahun 2010 di negara berkembang dibandingkan pada tahun 1985. Sedangkan
di Negara maju, peningkatan jumlah penderita diperkirakan hanya 38%. Hal ini menunjukkan
bahwa penyakit kanker menjadi masalah yang serius di negara berkembang di masa
mendatang.

3. Comparison
Sampai saat ini, belum ada data tingkat ketahanan hidup pada penderita kanker dengan
pengobatan komplementer alternatif di Indonesia. Namun demikian, terlepas dari
berkembangnya standardisasi pengobatan modern yang ada, pengobatan komplementer
alternative (obat tradisional) di Indonesia merupakan bagian dari aktivitas sosial budaya yang
memiliki keterikatan yang sulit dilepaskan. Akan tetapi, obat tradisional di Indonesia masih
belum diakui di dunia kedokteran untuk menjadi pendamping obat-obatan kimia penghambat
kanker karena belum ada yang teruji secara klinis. Menristek pada Simposium Penelitian
Bahan Obat Alami XIV Pendayagunaan Produk Bahan Alami dalam Mengatasi Kanker pada
tanggal 11-12 Agustus 2009 di Jakarta menyatakan bahwa dokter tidak mau mengakui obat
herbal secara de jure, tapi secara de facto mereka biasa memanfaatkannya, misalnya tradisi
minum jamu atau pijat. Sebenarnya beberapa tahun terakhir masyarakat dunia, khususnya
negara maju lebih menyukai pengobatan tradisional berbahan dasar tumbuh-tumbuhan
daripada menggunakan obat sintetik terkait efek sampingnya.
4. Outcome
Analisis tingkat harapan hidup penderita KNF stadium lanjut pada kedua kelompok tidak
menunjukkan hasil yang berbeda, sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan PKA dan
terapi modern konvensional tidak banyak mengubah harapan hidup penderita KNF.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai
diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring temasuk dalam lima
besar tumor ganas, dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor
payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan di daerah kepala dan leher
menduduki tempat pertama (KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah
kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor
ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah).

B. Saran

Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami tentang karsinoma
nasofaring yang sangat berbahaya. Lalu dapat mendeteksi awal terhadap gejala karsinoma
nasofaring karena sering kali penderita terdeteksi pada stadium lanjut

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai