PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrem dari marah atau
ketakutan/panik. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan dipandang sebagai rentang dimana
agresif verbal disuatu sisi dan perilaku kekerasan (violence) di sisi lain. Suatu keadaan yang
menimbulkan emosi, perasaan frustasi, benci atau marah. Hal ini akan memengaruhi
perilaku seseorang. Berdasarkan keadaan emosi secara mendalam tersebut terkadang
perilaku menjadi agresif atau melukai karena penggunaan koping yang kurang bagus.
Perilaku kekerasan (PK) adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai
dengan amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol (Kusumawati, dkk. 2010 : 80).
Gangguan jiwa pada mulanya dianggap suatu yang gaib, sehingga penanganannya
secara supranatural spiristik yaitu hal-hal yang berhubungan dengan kekuatan gaib.
Gangguan jiwa merupakan suatu gangguan yang terjadi pada unsur jiwa yang
manifestasinya pada kesadaran, emosi, persepsi dan interjensi. Salah satu gangguan jiwa
tersebut adalah gangguan perilaku kekerasan. Marah adalah perasaan jengkel yang timbul
sebagai suatu respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman individu.
Pengungkapan kemarahan dengan langsung dan konstruksif pada saat terjadi dapat
melegakan individu dan membantu orang lain untuk mengerti perasaan yang sebenarnya
sehingga individu tidak mengalami kecemasan, stress, dan merasa bersalah dan bahkan
merusak diri sendiri (kusumawati, dkk. 2010 : 80).
Ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi mengakibatkan seseorang stress berat
membuat orang marah bahkan kehilangan kontrol kesadaran diri, misalnya : memaki-maki
orang di sekitarnya, membanting-banting barang, menciderai diri sendiri dan orang lain,
bahkan membakar rumah, mobil dan sepeda motor.
Umumnya klien dengan perilaku kekerasan dibawa dengan paksa ke rumah sakit jiwa.
Sering tampak klien diikat secara tidak manusiawi disertai bentakan dan “pengawasan” oleh
sejumlah anggota keluarga bahkan polisi.
Perilaku kekerasan seperti memukul anggota keluarga/ orang lain, merusak alat rumah
tangga dan marah-marah merupakan alasan utama yang paling banyak dikemukakan oleh
keluarga. Penanganan yang dilakukan oleh keluarga belum memadai sehingga selama
perawatan klien seyogyanya sekeluarga mendapat pendidikan kesehatan tentang cara
merawat klien (manajemen perilaku kekerasan).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui tentang konsep teori dan asuhan keperawatan klien dengan perilaku
kekerasan.
2. Tujuan Khusus
a. Menegetahui pengertian dari perilaku kekerasan
b. Mengetahui penyebab dari perilaku kekerasan
c. Menegetahui tentang respon
d. Mengetahui tanda dan gejala dari perilaku kekerasan
e. Mengetahui akibat dari perilaku kekerasan
f. Mengetahui penatalaksanaan dari perilaku kekerasan
g. Mengetahui pohon masalah pada perilaku kekerasan
h. Mengetahui pohon masalah pada perilaku kekerasan
i. Mengetahui konsep asuhan keperawatan dari perilaku kekerasan
j. Mengetahui contoh kasusasuhan keperawatan dari perilaku kekerasan
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah salah satu respons marah yang diespresikan dengan
melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan atau merusak lingkungan. Respons tersebut
biasanya muncul akibat adanya stress. Respons ini dapat menimbulkan kerugian baik bagi
diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan (Keliat, dkk, 2011 : 180)
Perilaku kekerasan (PK) adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain,
disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol (kusumawati, dkk. 2010 : 81)
B. Penyebab
Resiko terjadinya perilaku kekerasan diakibatkan keadaan emosi yang mendalam karena
penggunaan koping yang kurang bagus. Beberapa faktor yang menjadi penyebab perilaku
kekerasan yaitu :
a. Frustasi, seseorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan yang diharapkan
menyebabkan ia menjadi frustasi, jika ia tidak mampu mengendalikannya maka ia akan
berbuat kekerasan disekitarnya.
b. Hilangnya harga diri, pada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan yang sama
untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi akibatnya individu tersebut mungkin
akan merasa rendah diri, lekas marah dan mungkin melakukan tindakan kekerasan
disekitar.
c. Kebutuhan penghargaan status dan prestise, manusia pada umumnya mempunyai
keinginan untuk mengaktualisasikan dirinya, ingin dihargai dan diakui. Jika tidak
mendapat pengakuan individu tersebut maka dapat menimbulkan resiko perilaku
kekerasan (Helena, dkk. 2011 : 80).
a. Faktor Predisposisi
Faktor pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor predisposisi,
artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor berikut
dialami oleh individu (Prabowo. 2014 : 142)
1) Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian
dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan
yaitu perasaan ditolak, dihina, atau sanksi penganiayaan (Prabowo. 2014 : 142)
2) Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan di rumah atau diluar rumah, semua aspek ini
menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3) Soail budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan
kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan
seolah-olah perilaku kekerasan yang diterima (permissive)
4) Bioneurologi banyak bahwa kerusakan sistem limbic, lobus frontal, lobus
temporal dan ketidakseimbangan neuritrasmitter turut berperan dalam teradinya
perilaku kekerasan (Prabowo.2014:143)
5) Faktor sosial budaya
Seseorang akan terespons terhadap peningkatan emosional secara agresif sesuai
dengan respons yang dipelajarinya. Sesuai dengan teori menurut Bandura bahwa
agresi tidak berebda dengan respons-respons lain. Factor ini dapat di pelajari
melalui onservasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka
semakin besar kemungkinan teradi. Budaya juga dapat mempengaruhi perilaku
kekerasan. Adanya norma dapat membantu mendefinisikan espresi marah yang
dapat diterima dan tidak dapat diterima (Kusumawati,dkk.2010:81)
6) Faktor biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya pemberian stimulus elektris
ringan pada hipotalamus (pada sistem limbik) ternyata menimbulkan perilaku
agresif, dimana jika terjadi kerusakan fungsi limbik (untuk emosi dan perilaku),
lobus frontal (untuk pmemikiran rasional), dan lobus temporal (untk interpretasi
indra penciuman dan memori) akan menimbulkan mata terbuka lebar, pupil
berdilatasi dan hendak menyerang obek yang ada disekitarnya
(Kusumawati,dkk.2010:81-82)
b. Faktor presipitasi
Faktor predisposisi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau interaksi dengan
orang lain. Kondisi pasien seperti ini kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusan,
ketidak berdayaan, percaya diri yang kurang dapat menadi penyebab perilaku
kekerasan. Demikian pula dengan situasi dengan lingkungan yang rebut, padat,
kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicinta/pekerjaan
dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain. Interaksi yang profokatif dan
konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan (Prabowo.2014:143)
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik berupa injuri
secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Beberapa faktor pencetus perilaku
kekerasan adalah sebagai berikut :
1) Klien : kelemahan fisik, keputusan, ketidakberdayaan, kehidupan yang penuh
dengan agresif dan masa lalu yang tidak menyenangkan
2) Interaksi : penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik, merasa
terancam baik internal dari permasalahan diri klien sendiri maupun esternal dari
lingkungan
3) Lingkungan : panas, padat, dan bising (Kusumawati,dkk.2010:82)
C. Rentang Respon
Adaptif Maladaptif
Perilaku kekerasan (PK) adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai
dengan amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol.
Gambar 1. Rentang Respons Marah (Kusumawati,dkk.2010:81)
a. Respon adaptif
1) Pernyataan (Assertion)
Respon marah dimana individu mampu menyatakan atau mengungkapkan rasa marah,
rasa tidak setuju, tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain. Hal ini biasanya akan
memberikan kelegaan
2) Frustasi
Respons yang terjadi akibat individu gagal dalam mencapai tujuan, kepuasan atau
rasa aman yang tidak biasanya dalam keadaan tersebut individu tidak menemukan
akternatif lain.
b. Respons maladaftif
1) Pasif
Suatu keadaan dimana individu tidak dapat mampu untuk mengungkapkan perasaan
yang sedang dialami untuk menghindari suatu tuntutan nyata
2) Agresif
Perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan individu untuk menuntut
suatu yang dianggapnya benar
3) Amuk dan kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilang kontrol, dimna individu dapat
merusak diri sendiri, serta lain maupun lingkungan (Prabowo,2014:141-142)
E. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diharapkan pada penatalaksanaan stress,
termasuk upaya penyelasaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan
untuk melindungi diri (tuart dan sundeen, 1998 hal : 33)
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara
lain :
a) Sublimasi : menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata masyarakat
untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyaluranya secara normal. Misalnya
seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti
meremas remas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuanya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
b) Proyeksi : menyalahkan orang lain kesukaranya atau keinginanya yang tidak baik,
misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual
terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temanya tersebut mencoba merayu,
mencumbunya
c) Represi : mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk kealam sadar.
Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan
tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang
tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh tuhan. Sehingga perasaan benci itu
ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakanya.
d) Reaksi formasi : mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresikan. Dengan
melebih lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakanya sebagai
rintangan. Misalnya seseorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan
orang tersebut dengan kuat.
e) Deplacement : melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan. Pada obyek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu.
Misalnya : timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapatkan hukuman dari
ibunya karena menggambar didinding kamarnya. Dia mulai bermain pedang-pedangan
dengan temannya (Prabowo,2014:144)
F. Penatalaksanaan Umum
a. Farmakoterapi
Klien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang tepat. Adapun
pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis efektif tinggi contohnya
Clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada
dapat digunakan dosis efektif rendah, contohnya Trifluoperasine estelasine, bila tidak ada
juga maka dapat digunakan Transquilizer bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika,
tetapi meskipun demikian keduanya mempunyai efek anti tegang, anti cemas, dan anti
agitasi.
b. Terapi Okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, terapi ini bukan pemberian pekerjaan
atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan mengembalikan
kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan
tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca Koran, main catur dapat pula dijadikan
media yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak berdialog atau
berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi dirinya. Terapi ini merupakan
langkah awal yangb harus dilakukan oleh petugas terhadap rehabilitasi setelah
dilakukannyan seleksi dan ditentukan program kegiatannya.
c. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan system pendukung utama yang memberikan perawatan langsung pada
setiap keadaan(sehat-sakit) klien. Perawat membantu keluarga agar dapat melakukan lima
tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan
kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan keluarga
yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada masyarakat. Keluarga yang
mempunyai kemampuan mengatasi masalah akan dapat mencegah perilaku maladaptive
(pencegahan primer), menanggulangi perilaku maladaptive (pencegahan skunder) dan
memulihkan perilaku maladaptive ke perilaku adaptif (pencegahan tersier) sehingga derajat
kesehatan klien dan kieluarga dapat ditingkatkan secara opti9mal.
d. Terapi somatik
Menurut Depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic terapi yang diberikan
kepada klien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang mal adaftif
menjadi perilaku adaftif dengan melakukan tindankan yang ditunjukkan pada kondisi fisik
klien, tetapi target terapi adalah perilaku klien (Prabowo,2014:145-146)
G. Pohon Masalah
Resiko menciderai diri sendiri, effeck
Lingkungan, dan orang lain
H. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut (Prabowo,2014:146)
1. Resiko menciderai sendiri b/d perilaku kekerasan.
2. Perilaku kekerasan b/d koping individu inefektif.
TUK 3 :
a. klien dapat mengidentifikasi tanda dan gejalaperilaku kekerasan.
Kriteria hasil
a. Klien dapat mengunngkapkan perasaan saat marah/jengkel
b. Klien dapat menyimpulkan tanda dan gejala marah/jengkel yang dialaminya
Intervensi :
a) Anjurkan klien mengnungkapkan apa yang dialami saat marah.
b) Obsevasi tanda-tanda perilaku kekerasan pada klien.
TUK 4 :
a. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dialami
Kriteria hasil
a. Klien dapat mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
b. Klien dapat bermain peran sesuai perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Intervensi :
a) Anjurkan klien mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
b) Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
TUK 5:
a. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Kriteria hasil
a. Klien dapat menjelaskan akibat dari cara yang digunakan klien.
Intervensi :
a) Berbicarakan akibat dari cara yang dilakukan klien.
b) Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan oleh klien.
c) Tanyakan pada klien ”Apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”.
TUK 6 :
a. Klien dapat mengidentifikasi cara kontruktif dalam berespon terhadap kemarahan.
Kriteria hasil
a. Klien dapat melakukan cara berespon terhadap kemarahan secara konstruktif.
Intervensi :
a) Tanyakan pada klien ”Apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”.
b) Berikan pujian jika klien mengetahui cara lain yang sehat.
c) Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat :
a. Secara fisik : tarik nafas dalam jika sedang kesal atau memukul bantal atau kasur
atau olahraga atau pekerjaan yang memerlukan tenaga.
b. Secara verbal : katakan bahwa anda sedang kesal atau tersinggung atau jengkel (saya
kesal Anda berkata seperti itu : saya marah karen mami tidak memenuhi keinginan
saya).
c. Secara sosial : lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang sehat ; latihan asertif.
d. Secar spiritual : anjurkan klien sembahyang, berdoa atau ibadah lain meminta pada
Tuhan untuk beri kesabaran, mengadu pada Tuhan kekerasan atau kejengkelan.
TUK 7 :
a. Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.
Kriteria evaluasi :
a. Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.
b. Fisik : tarik nafas dalam olahraga menyiram tanaman,
c. Verbal : mengatakan secara langsung dengan tidak menyakiti.
d. Spiritual : sembahyang, berdoa atau ibadah klien.
Intrevensi :
a) Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien.
b) Bantu klien mengidentifikasi manfaat cara yang dipilih.
c) Bantu klien untuk memaksimulasi cara tersebut (role play).
d) Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien mensimulasi cara tersebut.
e) Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat jengkel atau marah.
BAB III
PEMBAHASAN
TINJAUAN KASUS
V. PEMERIKSAAN FISIK
1. Tanda – tanda Vital :
1) Tekanan darah : 120 / 80 mmHg
2) Nadi : 78 x/menit
3) Suhu badan : 36.4 0C
4) Respirasi : 23 x/menit
2. Ukuran
1) Tinggi Badan : 168 cm
2) Berat badan : 70 Kg
3. Kondisi Fisik
Klien mengatakan kondisi tubuhnya saat ini baik – baik saja dan tidak ada keluhan fisik.
VI. PSIKOSOSIAL
1. Konsep diri
a. Citra tubuh
Klien memandang terhadap dirinya ada bagian tubuh yang paling istimewa atau yang
paling disukainya adalah bagian wajah, karena klien merasa wajahnya tampan..
b. Identitas diri
Klien mempersepsikan dirinya sebagai laki – laki dewasa dan belum menikah dan
klien anak ke dua dari lima bersaudara.
c. Peran
Klien mengatakan bahwa dalam keluarganya adalah anak yang di saying dilingkungan
masyarakat. klien juga aktif mengikuti kegiatan kemasyarakatan seperti gotong
royong, pengajian, pemuda dll.
d. Ideal diri
Klien mengatakan menerima statusnya sebagai seorang anak, dan ingin cepat pulang
dan bebas biar bisa bekerja dan menjadi orang kaya.
e. Harga diri
Klien mengatakan hubungan yang paling dekat, di sayang dan dapat di percaya adalah
ayah dan adiknya.
Masalah Keperawatan : - Koping Individu Tidak Efektif
2. Hubungan Sosial
a. Orang yang terdekat
Klien mengatakan mengatakan mempunyai orang yang berarti yaitu ayah dan adiknya,
apabila ada masalah klien memilih diam diri dan memendamnya. Didalam
keluarganya ayah dan adik adalah orang yang dipercaya oleh klien.
b. Peran serta dalam kegiatan kelompok atau masyarakat
Klien mengatakan dalam masyarakat klien sering mengikuti kegiatan gotong royong,
pengajian, arisan, pemuda, setelah dirumah sakit klien juga mengikuti kegiatan sosial
seperti bersosialisasi dengan teman-teman satu bangsalnya.
c. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain
Kien mengatakan tidak ada hambatan dalam berhubungan dengan orang lain, setelah
di rumah sakit hubungan klien dengan klien yang satu tidak ada masalah.
4. Spiritual
Klien mengatakan beragama islam dan klien mengatakan saat di rumah tidak rutin
beribadah dan saat di rumah sakit klien tidak beribadah karena merasa kalau doanya
tidak pernah di kabulkan dan semua itu sia-sia.
Masaalah Keperawatan : Distres spiritual
1. Kesimpulan
Pada kasus perilaku kekerasan yang dialami pada Tn. H tindakan yang dilakukan sesuai
dengan konsep teori adalah membina hubungan saling percaya, membantu klien mengungkapkan
penyebab perasaan jengkel atau marah, membantu klien mengidentifikasi tanda-tanda perilaku
kekerasan, membantu mengungkapkan akibat atau kerugian dari cara yang digunakan klien,
membantu klien mengidentifikasi cara yang konstruktif dalam berespon terhadap kemarahannya
dan mengajarkan cara untuk menyalurkan energy marah yang sehat agar tidak menciderai diri
sendiri, oarng lain dan lingkungan.
2. Saran
Untuk pasien :
Usulan penulis pada klien dengan ekspresi marah untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
1. Hindarkan hal-hal yang bisa menyebabkan marah yaitu mengungkit masalah tentang
keinginan yang tidak terpenuhi, menjauhi hal-hal yang menyebabkan klien jengkel.
2. Ekspresikan marah dengan menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa
menyakiti orang lain
3. Anjurkan klien untuk mengikuti kegiatan atau aktivitas sehari-hari baik didalam ruangan
maupun diluar ruangan.
4. Anjurkan klien minum obat secara teratursesuai dengan ketentuan dokter.
5. Anjurkan klien kontrol dengan teratur setelah pulang dari rumah sakit
Untuk perawat :
1. Perawat perlu mengeksplorasikan perasaan marah dengan : mengkaji pengalaman marah masa
lalu dan bermain peran dalam mengungkapkan marah.
2. Perawat perlu mengembangkan tingkah laku asertif bagi klien yaitu menganjurkan pada klien
untuk mengungkapkan perasaannya secara berkelompok misal dengan keluarga untuk dapat
pemecehan masalahya.
3. Perawat perlu mengembangkan dan menyalurkan nergi kemarahannya dengan cara yang
konstruktif.
4. Melakukan aktivitas fisik seperti olahraga, lari pagi, angkat berat dan aktivitas lain yang
membantu relaksasi otot seperti olahraga.
5. Mengikutsertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok.
Untuk mahasiswa :
1. Tingkatkan semangat individu dan kerjasama kelompok, mengelola kasus kelompok agar
dapat memberikan asuhan keperawatan secara profesional.
2. Mempersiapkan diri baik fisik maupun materi sebelum praktek khususnya dalam bidang
keperawatan jiwa.
DAFTAR PUSTAKA
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat,inayah,Taufik dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan askep
ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.Semoga askep ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan.petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam ‘’ASKEP KLIEN
DENGAN PERILAKU KEKERASAN” mata kuliah kesehatan jiwa.
Harapan penulis semoga askep ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Sehingga penulis dapat memperbaiki bentuk maupun isi askep
ini sehingga kedepannya dapat lebih baik. Askep ini penulis akui masih banyak kekurangan
karena ilmu yang penulis miliki sangat kurang. Oleh karena itu penulis harapkan kepada para
pembaca dan dosen pembimbing untuk dapat memberikan masukan-masukan yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan askep ini.
Penulis.