Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

“Pendekatan Klinis Pada Hepatitis C Kronik”


Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RS Kepresidenan RSPAD Gatot Soebroto

Disusun oleh
Ardhika Prasetya
11 – 2018 – 090

Pembimbing :
DR. dr. Fias, SpPD, FINASIM

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
“Hepatitis C Kronik”

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian


Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto

1
Disusun oleh:

Ardhika Prasetya 112018090

Telah Disetujui oleh Pembimbing:

Nama Pembimbing Tanda Tangan Tanggal

DR. dr. Fias, SpPD, FINASIM


................. ..................

Mengesahkan:

Koordinator Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam

dr. Rushwandi, SpPD, K-GEH

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena pada kesempatan kali ini,
penulis bisa menyelesaikan tugas laporan kasus yang diberi judul “Hepatitis C
Kronik”.
Laporan kasus ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan
mengenai “Hepatitis C Kronik” dan merupakan salah satu syarat dalam mengikuti

2
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Kristen Krida Wacana.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing, DR. dr. Fias, SpPD, FINASIM yang telah meluangkan waktu untuk
membimbing dan memberikan pengarahan.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, dan
masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu diharapkan bantuan
dari dokter pembimbing serta rekan-rekan mahasiswa untuk memberikan saran dan
masukan yang berguna bagi penulis.
Lepas dari segala kekurangan yang ada, penulis berharap semoga laporan
kasus ini membawa manfaat bagi kita semua.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak ditemukan pada tahun 1989, virus hepatitis C telah menjadi salah satu
penyebab utama penyakit hati kronik di seluruh dunia. World Health Organization

3
(WHO) memperkirakan prevalensi penderita hepatitis C kronik sebesar 1,6% dari
total populasi dunia atau sekitar 115 juta jiwa dimana terdapat penambahan 3-4 juta
kasus baru setiap tahunnya.1,2 Infeksi Virus hepatitis C memnyebabkan kematian
350.000 jiwa setiap tahunnya terkait dengan berbagai komplikasi penyakit hati yang
ditimbulkannya.2

Infeksi virus hepatitis C endemik di seluruh dunia akan tetapi prevalensinya


berbeda-beda di setiap negara. Wilayah Asia Tengah, Afrika Sub-Saharan Barat,
Afrika Sub-Saharan Tengah, Eropa Timur, Afrika Utara / Timur Tengah memiliki
prevalensi infeksi virus hepatitis C yang paling tinggi yaitu > 2,5%. Australia, Afrika
Sub-Saharan Selatan, Eropa Tengah memiliki prevalensi infeksi VHC 1,25-2,5%
sedangkan wilayah Asia Tenggara memiliki prevalensi 1% perkiraan jumlah 6,6 juta
jiwa.3

Prevalensi hepatitis C di Indonesia berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar


2007 dari 12.715 laki-laki dan 14.821 perempuan didapatkan anti-HCV positif sebesar
1,7% dan 2,4%.4 Data dari Riskedas 2013 menunjukkan adanya peningkatan
prevalensi penderita hepatitis C dibandingkan Riskesdas 2007, yaitu 2,1% menjadi
2,5%.5 Data terbaru pada tahun 2014 menunjukkan prevalensi anti-HCV positif
sebesar 0,8-1% di Indonesia. Data hasil surveilans hepatitis C oleh Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan pada tahun 2007-2012 yang
dilaksanakan di 21 provinsi dengan 128 unit pengumpul data (50 rumah sakit, 51
laboratorium, dan 27 unit transfuse darah PMI) dengan jumlah sampel 5.064.431
didapatkan anti-HCV positif pada 35.453 sampel (0,7%). Data juga menunjukkan
jumlah kasus terbanyak didapatkan pada golongan umur 20-29 tahun (30,94%)
dengan perbandingan laki-laki : perempuan adalah 83% : 17%.5

BAB II

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. Robi
Jenis kelamin : Laki - laki
Umur : 43 tahun

4
Tempat, tanggal lahir : 11 Juni 1975
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Penjual Tissue
Alamat : JL. Baladewa kiri No 27 Tanah Tinggi

II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Bangsal PU lantai 6 kamar 602
RSPAD Gatot Soebroto pada 26 Maret 2019.

 Keluhan Utama:
Muntah berdarah berwarna darah segar dan buang air besar berdarah warna
hitam sejak 1 hari SMRS.

 Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien mengeluh muntah berdarah berwarna darah segar dan buang air besar
berdarah warna hitam sejak 1 hari SMRS. Nyeri dibagian seluruh lapang perut. Nyeri
dirasakan terus menerus, nyeri seperti di tusuk tusuk, pada saat istirahat nyeri tidak
menghilang. Pasien juga mengeluh lemas, dan mual, pasien tidak diare dan tidak
demam. Pasien memiliki riwayat Hepatitis C sejak tahun 2018. Buang air kecil seperti
teh dan buang air besar berwarna hitam seperti ter sejak tahun 2018. Pasien sedang
berobat Hepatitis C dan sudah berobat selama 5 bulan.

 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengidap penyakit Hepatitis C sejak tahun 2018

 Riwayat Keluarga
Tidak ada

 Riwayat sosial ekonomi


Pasien tinggal di lingkungan yang banyak pengedar dan pengguna narkoba.
Pasien memiliki riwayat meminum alcohol dan merokok sejak awal sekolah SMA dan
berhenti setelah 1 tahun kemudian karena diancam orang tua dibawa ke polisi. Pasien
memiliki tatoo pada tangan tangan sejak 20 tahun yang lalu. Tatoo pada tangan pasien
menggunakan jarum.

5
III. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Umum
 Kesadaran : kompos mentis
 Keadaan umum : tampak sakit sedang
 Tanda vital :
 Denyut nadi : 76 x/menit, teraba kuat, isi cukup dan irama reguler
 Pernapasan : 20 x/menit, abdominal torakal
 Tekanan darah : 80/51 mmHg
 Suhu tubuh : 36,7oC
 Antropometri :
 Berat badan : 45 kg
 Tinggi Badan : 162 cm
 BMI : 17,14 kg/m2 (Underweight)
 Aspek Kejiwaan :
Tingkah laku wajar, alam perasaan biasa, proses berpikir wajar.

 Status generalis
o Kepala : Normocephal, rambut hitam dan terdistribusi merata
o Mata : Konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik +/+,
exophtalmus -/-, enophthalmus -/-, edema
periorbital -/-, injeksi konjungtiva -/-.
o Telinga: Serumen minimal, cairan -/-
o Hidung : Perdarahan mukosa hidung (-), hiperemis (-)
o Tenggorok : Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
o Mulut : sianosis (-), lidah tremor (-), lidah miring (-)
o Leher : pembesaran KGB (-), JVP 5-2 cmH2O

o Thorax :
 Paru :
 Inspeksi : normothorax, simetris dalam keadaan
statis dan dinamis, tidak terdapat dada
tertinggal (flail chest)
 Palpasi : nyeri tekan (-), vokal fremitus simetris.
 Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
 Auskultasi : suara nafas vesikuler di kedua lapang
paru +/+, rhonki -/-,wheezing -/-
 Jantung :
 Inspeksi : tak tampak iktus cordis
 Palpasi : iktus cordis teraba di ICS V linea
midclavicula sinistra

Perkusi : batas jantung dalam batas normal.

Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
o Abdomen :
 Inspeksi : cembung, simetris, caput medusa (-),
 Auskultasi : bising usus normal 18x/menit
 Palpasi : tegang, nyeri tekan semua regio (+),
hepatomegali (+) teraba pembesaran hati 2 jari

6
dibawah arcus costae kanan dan 1 jari di
bawah processus xyphoideus, splenomegali
(+) teraba pembesaran lien pada garis
schuffner 2, balotemen -/-, shifting dullness (+)
 Perkusi : redup
o Urogenital : Tidak dilakukan
o Extremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema lengan -/-, edema
tungkai -/-.ekimosis.

IV. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Hasil di RSPAD Gatot Nilai


Tabel 2.1. Pemeriksaan Penunjang Rujukan
Soebroto 26 Maret 2019
Hematologi
Hemoglobin 8,0 g/dl 13-18
Leukosit 15.590/uL 4.800-10.800 /uL
Eritrosit 3,2 juta/uL 4,7-6,1 juta/uL
Hematokrit 23% 42-52%
Trombosit 148.000 /Ul 150.000-450.000 /uL
MCV 72 Fl 79-99 fL
MCH 25 pg 27-31 pg
MCHC 35 g/Dl 33-37 g/dL

Pemeriksaan Kimia Hasil Nilai Rujukan


Klinik
SGOT 279 < 35 U/L
SGPT 115 < 40 U/L
Albumin 2,7 3.5 – 5.0 g/dL
Ureum 34 20 – 50 mg/dL
Kreatinin 0.7 0.5 – 1.5 mg/dL
eGFR 158.55 mL/mnt/1.73m2
Kalsium (Ca) 8.0 8.6 – 10.3 mg/dL
Magnesium (Mg) 1.86 1.8 – 4.0 mEq/L
Glukosa Darah 87 70 – 140 mg/dL
(Sewaktu)
Natrium (Na) 131 135 - 147 mmol/L
Kalium (K) 3.7 3.5 – 5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 102 95 – 105 mmol/L

Tabel 2.2. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Hasil di RSPAD Gatot Nilai
Soebroto 30 Maret 2019
Rujukan

7
Hematologi
Hemoglobin 9,5 g/dl 13-18
Leukosit 8.250/uL 4.800-10.800 /uL
Eritrosit 3,7 juta/uL 4,7-6,1 juta/uL
Hematokrit 28% 42-52%
Trombosit 191.000 /uL 150.000-450.000 /uL
MCV 76 fL 79-99 fL
MCH 26 pg 27-31 pg
MCHC 34 g/Dl 33-37 g/dL
Pemeriksaan Kimia Hasil Nilai Rujukan
Klinik
Albumin 2,6 3.5 – 5.0 g/dL
Natrium (Na) 132 135 - 147 mmol/L
Kalium (K) 4.1 3.5 – 5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 100 95 – 105 mmol/L

V. Resume
Pasien muntah darah berwarna darah segar dan buang air besar berwarna
merah kehitaman sejak 1 hari SMRS. Nyeri dibagian ulu hati dan seluruh lapang
perut, pasien lemas dan mual, tidak ada diare dan demam. Riwayat Hepatitis C sejak
tahun 2018. Pada pemeriksaan fisik didapatkan mata ikterik +/+, konjungtiva pucat +/
+, nyeri tekan pada ulu hati dan seluruh regio perut, perut membesar, shifting dullness
positif, kencing seperti teh, hati teraba 1 jari dibawah arcus costae kanan dan 2 jari
dibawah processus xyphoideus. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 26 Maret
2019 didapatkan Hb = 8.0, leukosit 15.590, trombosit = 148.000, Ht = 23, Eritrosit =
3.2, MCV = 72, MCH = 25, SGOT = 279, SGPT = 115, Albumin = 2.7, kalsium = 8.0,
Natrium = 131. Pasien diduga hematemesis melena ec varises esophagus pada
Hepatitis C Kronik.

VI. Daftar Masalah


1. Hematemesis melena ec varises esophagus pada Hepatitis C Kronik.
2. Asites pada Hepatitis C Kronik.
VII. Pengkajian Masalah
1. Hematemesis melena ec varises esophagus pada Hepatitis C Kronik

Atas dasar : Pasien muntah darah berwarna darah segar dan buang air besar berwarna
merah kehitaman sejak 1 hari SMRS. Nyeri dibagian ulu hati dan seluruh lapang
perut, pasien lemas dan mual, tidak ada diare dan demam. Riwayat Hepatitis C sejak
tahun 2018. Pada pemeriksaan fisik didapatkan mata ikterik +/+, konjungtiva pucat +/
+, nyeri tekan pada ulu hati dan seluruh regio perut, perut membesar, shifting dullness

8
positif, kencing seperti teh, hati teraba 1 jari dibawah arcus costae kanan dan 2 jari
dibawah processus xyphoideus.

Rencana diagnosis: Darah rutin, Endoskopi, Ligasi varises esofagus, Fibro Scan.

Rencana terapi: Transfusi PRC 400cc premed inj dexametaxon 1 amp, Pro Ligasi
Varises esophagus, EGD, konsul GEH, punksi asites, Fibro Scan, Vit
K 3x10mg iv, As. Traneksamat 3x1 amp, Spinorolakton 1x100mg PO,
Curcuma 3x1 PO. Cefotaxime 3x1gr IV.
Edukasi: menjelaskan penyakit pasien dan tatalaksana
Prognosis :
- ad vitam : dubia
- ad functionam : dubia
- ad sanationam : dubia
2. Asites pada Hepatitis C Kronik
Atas dasar : Riwayat Hepatitis C sejak tahun 2018. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
mata ikterik +/+, konjungtiva pucat +/+, nyeri tekan pada ulu hati dan seluruh regio
perut, perut membesar, shifting dullness positif, kencing seperti teh, hati teraba 1 jari
dibawah arcus costae kanan dan 2 jari dibawah processus xyphoideus.

Rencana diagnosis: Darah rutin, Albumin.

Rencana terapi: Spinorolakton 1x100mg PO, punksi asites.


Edukasi: menjelaskan penyakit pasien dan tatalaksana
Prognosis :
- ad vitam : dubia
- ad functionam : dubia
- ad sanationam : dubia

VIII. Lampiran
Riwayat perjalanan penyakit pasien selama perawatan di RSPAD Gatot
Soebroto.
26 Maret 2019
S : Nyeri perut semua regio
O : Kesadaran: compos mentis, keadaan umum: tampak sakit sedang.
Tekanan darah : 120/80 mmHg, frekuensi nadi : 84x/menit, frekuensi
nafas : 20 x/menit, suhu : 36,50C
Mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik +/+
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

9
Pulmo : suara nafas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen : cembung, nyeri tekan semua regio abdomen(+), redup, bising
usus 18x/menit. Shifting dullness (+).
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), motorik +5/+5/+5/+5,
A : Hepatitis C kronik
Varises Esofagus pecah
Asites
P : Transfusi PRC 400cc premed inj dexametaxon 1 amp, Pro Ligasi varises
esophagus, EGD, konsul GEH, punksi asites, Fibro Scan, Vit K 3x10mg iv,
As. Traneksamat 3x1 amp, Spinorolakton 1x100mg PO, Curcuma 3x1 PO.
Cefotaxime 3x1gr IV.
27 Maret 2019
S : Nyeri perut semua regio
O : Kesadaran: compos mentis, keadaan umum: tampak sakit sedang
Tekanan darah : 120/80 mmHg, frekuensi nadi : 86x/menit, frekuensi nafas:
22x/menit, suhu : 36,6
Mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik +/+
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : suara nafas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen : cembung, nyeri tekan seluruh regio abdomen (+), redup, bising
Usus 16x/menit. Shifting dullness (+).
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), motorik +5/+5/+5/+5,
A : Hepatitis C kronik
Varises Esofagus pecah
Asites
P : Pro Ligasi varises esophagus, EGD, konsul GEH, punksi asites, Fibro Scan,
Vit K 3x10mg iv, As. Traneksamat 3x1 amp, Spinorolakton 1x100mg PO,
Curcuma 3x1 PO, Cefotaxime 3x1gr IV.
28 Maret 2019
S : Nyeri perut semua regio
O : Kesadaran: compos mentis, keadaan umum: tampak sakit sedang.
Tekanan darah : 100/60 mmHg, frekuensi nadi : 80x/menit, frekuensi
nafas : 20 x/menit, suhu : 36,50C
Mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik +/+

10
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : suara nafas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen : cembung, nyeri tekan semua regio abdomen(+), redup, bising
usus 18x/menit. Shifting dullness (+).
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), motorik +5/+5/+5/+5,
A : Hepatitis C kronik
Varises Esofagus pecah
Asites
P : Pro Ligasi varises esophagus, EGD, konsul GEH, punksi asites, Fibro Scan,
Vit K 3x10mg iv, As. Traneksamat 3x1 amp, Spinorolakton 1x100mg PO,
Curcuma 3x1 PO, Cefotaxime 3x1gr IV.

29 Maret 2019
S : Nyeri perut semua regio
O : Kesadaran: compos mentis, keadaan umum: tampak sakit sedang.
Tekanan darah : 100/80 mmHg, frekuensi nadi : 90x/menit, frekuensi
nafas : 22 x/menit, suhu : 36,50C
Mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik +/+
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : suara nafas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen : cembung, nyeri tekan semua regio abdomen(+), redup, bising
usus 17x/menit. Shifting dullness (+).
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), motorik +5/+5/+5/+5,
A : Hepatitis C kronik
Varises Esofagus pecah
Asites
P : Pro Ligasi varises esophagus, EGD, konsul GEH, punksi asites, Fibro Scan,
Vit K 3x10mg iv, As. Traneksamat 3x1 amp, Spinorolakton 1x100mg PO,
Curcuma 3x1 PO, Cefotaxime 3x1gr IV.

30 Maret 2019
S : Nyeri perut semua regio
O : Kesadaran: compos mentis, keadaan umum: tampak sakit sedang.
Tekanan darah : 110/84 mmHg, frekuensi nadi : 87x/menit, frekuensi

11
nafas : 20 x/menit, suhu : 36,20C
Mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik +/+
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : suara nafas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen : cembung, nyeri tekan semua regio abdomen(+), redup, bising
usus 20x/menit. Venektasi (+) Shifting dullness (+).
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), motorik +5/+5/+5/+5,
A : Hepatitis C kronik
Varises Esofagus pecah
Asites
P : Pro Ligasi varises esophagus, EGD, konsul GEH, punksi asites, Fibro Scan,
Vit K 3x10mg iv, As. Traneksamat 3x1 amp, Spinorolakton 1x100mg PO,
Curcuma 3x1 PO, Cefotaxime 3x1gr IV.
31 Maret 2019
S : Nyeri perut semua regio
O : Kesadaran: compos mentis, keadaan umum: tampak sakit sedang.
Tekanan darah : 120/80 mmHg, frekuensi nadi : 86x/menit, frekuensi
nafas : 20 x/menit, suhu : 36,80C
Mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik +/+
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : suara nafas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen : cembung, nyeri tekan semua regio abdomen(+), redup, bising
usus 18x/menit. Venektasi (+), shifting dullness (+).
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), motorik +5/+5/+5/+5,

A : Hepatitis C kronik
Varises Esofagus pecah
Asites
P : Pro Ligasi varises esophagus, EGD, konsul GEH, punksi asites, Fibro Scan,
Vit K 3x10mg iv, As. Traneksamat 3x1 amp, Spinorolakton 1x100mg PO,
Curcuma 3x1 PO, Cefotaxime 3x1gr IV.
1 April 2019
S : Nyeri perut semua regio dan mual
O : Kesadaran: compos mentis, keadaan umum: tampak sakit sedang.

12
Tekanan darah : 115/78 mmHg, frekuensi nadi : 84x/menit, frekuensi
nafas : 20 x/menit, suhu : 36,50C
Mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik +/+
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : suara nafas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen : cembung, nyeri tekan semua regio abdomen(+), redup, bising
usus 19x/menit. Venektasi (+) Shifting dullness (+).
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), motorik +5/+5/+5/+5,

A : Hepatitis C kronik
Varises Esofagus pecah
Asites
P : Pro Ligasi varises esophagus, EGD, konsul GEH, rencana punksi asites
tanggal 2 April 2019 Fibro Scan, Vit K 3x10mg iv, As. Traneksamat 3x1
amp, Spinorolakton 1x100mg PO, Curcuma 3x1 PO, Cefotaxime 3x1gr IV.
2 April 2019
S : Nyeri perut semua regio, post punksi asites (cairan kuning jernih 3500cc)
O : Kesadaran: compos mentis, keadaan umum: tampak sakit sedang.
Tekanan darah : 120/80 mmHg, frekuensi nadi : 84x/menit, frekuensi
nafas : 23 x/menit, suhu : 36,50C
Mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik +/+
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : suara nafas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen : cembung, nyeri tekan semua regio abdomen(+), redup, bising
usus 21x/menit. Venektasi (+) Shifting dullness (+).
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), motorik +5/+5/+5/+5,

A : Hepatitis C kronik
Varises Esofagus pecah
Asites
P : Pro Ligasi varises esophagus, EGD, konsul GEH, Fibro Scan,
Vit K 3x10mg iv, As. Traneksamat 3x1 amp, Spinorolakton 1x100mg PO,
Curcuma 3x1 PO, Cefotaxime 3x1gr IV.

3 April 2019

13
S : Nyeri perut semua regio, pasien post punksi 2,5 liter
O : Kesadaran: compos mentis, keadaan umum: tampak sakit sedang.
Tekanan darah : 110/70 mmHg, frekuensi nadi : 88x/menit, frekuensi
nafas : 22 x/menit, suhu : 36,40C
Mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik +/+
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : suara nafas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen : cembung, nyeri tekan semua regio abdomen(+), redup, bising
usus 20x/menit. Venektasi (+), Shifting dullness (+).
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), motorik +5/+5/+5/+5,

A : Hepatitis C kronik
Varises Esofagus pecah
Asites
P : Pro Ligasi varises esophagus, EGD, konsul GEH, Fibro Scan,
Vit K 3x10mg iv, As. Traneksamat 3x1 amp, Spinorolakton 1x100mg PO,
Curcuma 3x1 PO, Cefotaxime 3x1gr IV.

4 April 2019
S : Nyeri perut semua regio, jadwal EGD dan ligasi varises esophagus hari ini
O : Kesadaran: compos mentis, keadaan umum: tampak sakit sedang.
Tekanan darah : 110/70 mmHg, frekuensi nadi : 74x/menit, frekuensi
nafas : 18 x/menit, suhu : 36,50C
Mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik +/+
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : suara nafas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen : cembung, nyeri tekan semua regio abdomen(+), redup, bising
usus 18x/menit. Venektasi (+)
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), motorik +5/+5/+5/+5,

A : Hepatitis C kronik
Varises Esofagus pecah
Asites
P : Konsul GEH, Fibro Scan, Vit K 3x10mg iv, As. Traneksamat
3x1 amp, Spinorolakton 1x100mg PO, Curcuma 3x1 PO, Cefotaxime 3x1gr

14
IV.

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Hepatitis C adalah dengan virus RNA dan merupakan keluarga Flaviviridae
dengan ukuran 9,4 kb dan diameter 55 nm. Hepatitis C dapat ditularkan melalui
transfusi darah dan produk darah yang terkontaminasi HCV atau suntikan yang
terkontaminasi. Penularan seksual juga dimungkinkan. Tidak ada vaksin untuk
Hepatitis C. Hepatitis C memiliki 1 serotipe, 6 genotipe utama, dan lebih dari 80
subtipe.6
3.2. Epidemiologi

15
Infeksi virus hepatitis C endemik di seluruh dunia akan tetapi prevalensinya
berbeda-beda di setiap negara. Wilayah Asia Tengah, Afrika Sub-Saharan Barat,
Afrika Sub-Saharan Tengah, Eropa Timur, Afrika Utara / Timur Tengah memiliki
prevalensi infeksi virus hepatitis C yang paling tinggi yaitu > 2,5%. Australia, Afrika
Sub-Saharan Selatan, Eropa Tengah memiliki prevalensi infeksi VHC 1,25-2,5%
sedangkan wilayah Asia Tenggara memiliki prevalensi 1% perkiraan jumlah 6,6 juta
jiwa.3

Prevalensi hepatitis C di Indonesia berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2007


dari 12.715 laki-laki dan 14.821 perempuan didapatkan anti-HCV positif sebesar
1,7% dan 2,4%.4 Data dari Riskedas 2013 menunjukkan adanya peningkatan
prevalensi penderita hepatitis C dibandingkan Riskesdas 2007, yaitu 2,1% menjadi
2,5%.5 Data terbaru pada tahun 2014 menunjukkan prevalensi anti-HCV positif
sevesar 0,8-1% di Indonesia. Data hasil surveilans hepatitis C oleh Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan pada tahun 2007-2012 yang
dilaksanakan di 21 provinsi dengan 128 unit pengumpul data (50 rumah sakit, 51
laboratorium, dan 27 unit transfuse darah PMI) dengan jumlah sampel 5.064.431
didapatkan anti-HCV positif pada 35.453 sampel (0,7%). Data juga menunjukkan
jumlah kasus terbanyak didapatkan pada golongan umur 20-29 tahun (30,94%)
dengan perbandingan laki-laki : perempuan adalah 83% : 17%.5

3.3. Etiologi

HCV adalah virus RNA single-stranded dari keluarga Flaviviridae dengan 6


genotipe yang terkenal dan beberapa subtipe. Yang paling umum, genotipe 1,
didistribusikan secara global dan mendominasi di Amerika Utara dan Eropa. Genotipe
2 dan 3 juga didistribusikan secara global, sedangkan genotipe 4, 5, dan 6 masing-
masing ditemukan di Timur Tengah, Afrika Selatan, dan Asia. Ada 3 protein struktural
(inti protein pembentuk nukleokapsid dan glikoprotein amplop E1 dan E2) dan 7
protein nonstruktural (viroporin p7, NS2, NS3, NS4A, NS4B, NS5A, dan NS5B),
yang merupakan target utama pengembangan obat dan vaksin. Virus ini beragam
karena virus RNA-dependent RNA polimerase (NS5b) yang rentan kesalahan, yang
mereplikasi genom virus. NS4A adalah kofaktor untuk NS3. NS4B menciptakan
perubahan pada membran sel yang memungkinkan replikasi virus. NS5A sangat

16
penting untuk pengaturan replikasi virus. Pada pasien yang terinfeksi secara kronis,
lebih dari 1010 genom diproduksi per hari, menghasilkan keragaman wilayah
hipervariabel virus, dengan populasi virus yang kompleks dan keuntungan bertahan
hidup untuk virus. Respons terhadap HCV tergantung pada respon imun bawaan dan
adaptif dari inang. Sel NK dan gamma / delta T dapat berperan pada tingkat plasenta
untuk mencegah penularan HCV ke bayi. Gen kode IL28B untuk IFN lambda 3, yang
memiliki aktivitas antivirus yang kuat. Respons sel T adaptif terhadap HCV dapat
dideteksi sedini 1 hingga 2 minggu, yang seringkali bertepatan dengan peningkatan
kadar transaminase. Memori virus-spesifik polifungsional, tanggapan sel T CD41 dan
CD81 dihati dan darah perifer berkorelasi dengan perlindungan dan pembersihan
virus.7

3.4. Patofisiologi

Studi mengenai mekanisme kerusakan sel hati karena VHC masih sulit
dilakukan karena terbatasnya kultur sel untuk VHC dan tidak adanya hewan model
kecuali simpanse yang dilindungi. Kerusakan sel hati akibat VHC atau partikel virus
secara langsung masih belum jelas. Namun beberapa bukti menunjukan adanya
mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakan sel sel hati. Protein core
misalnya ditenggarai dapat menimbulkan reaksi pelepasan radikal oksigen pada
mitokondria. Selain itu, protein ini diketahui pula mempengaruhi proses signaling
dalam inti sel terutama berkaitan dengan penekanan regulasi imunologik dan
apoptosis, adanya bukti bukti ini menyebabkan kontroversi apakah VHC bersifat
sitotoksik atau tidak, terus berlangsung.8

Reaksi cytokine T cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk terjadinya
eliminasi menyeluruh VHC pada infeksi akut. Pada infeksi kronik, reaksi CTL yang
relative lemah masih mampu merusak sel sel hati dan melibatkan proses inflamasi di
hati tetapi tidak bisa menghilangkan virus maupun menekan evolusi genetic VHC
sehingga kerusakan sel hati berjalan terus menerus. Kemampuan CTL tersebut
dihubungkan dengan aktivasi limfosit sel T helper (TH) spesifik VHC. Adanya
pergeseran dominasi aktivitas Th1 menjadi Th2 berakibat pada reaksi toleransi dan
melemahnya respon CTL.8

Reaksi yang dilibatkan melaluai sitokin sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α,

17
TGF-β1, akan menyebabkan reksutmen sel sel inflamasi lainnya dan menyebabkan
aktivitas sel sel Stelata diruang disse hati. Sel-sel yang khas ini yang sebelumnya
dalam keadaan “tenang” (quicent) kemudian berpoliferasi dan menjadi aktif menjadi
sel-sel miofibroblast, yang dapat menghasilkan matriks kolagen sehingga terjadi
fibrosis dan berperan aktif dalam menghasilkan sitokin-sitokin pro-inflamasi.
Mekanisme ini dapat timbul terus menerus karena reaksi inflamasi yang terjadi tidak
berhenti sehingga fibrosis semakin lama semakin banyak dan sel sel yang ada
semakin sedikit. Proses ini dapat menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosi hati.8

Pada gambaran histopatologis hepatitis kronik dapat ditemukan proses


inflamasi berupa neksosis gergit, maupun lobular, disertai dengan fibrosis di daerah
portal yang lebih lanjut dapat masuk ke lobules hati (fibrosis septal) dan kemudian
dapat menyebabkan nekrosis dan fibrosis jembatan (bridging fibrosis/nekrosis)
gambaran yang khas untuk infeksi VHC adalah agregat limfosit di lobules hati namun
tidak didapatkan pada semua kasus inflamasi akibat VHC.8

Gambaran histopatologis pada infeksi kronik VHC sangat berperan dalam


proses keberhasilan terapi dan prognosis. Secara histopatologis dapat dilakukan
scoring untuk inflamasi dan fibrosis dihati sehingga memudahkan untuk keputusan
terapi, evaluasi pasien maupun komunikasi antara ahli patologi. Saat ini sistem
scoring yang mempunyai variasi intra dan interoobserver yang baik diantaranya
adalah METAVIR.8

3.5. Manifestasi Klinis

Infeksi virus hepatitis C dapat muncul sebagai hepatitis akut atau kronis.
Hepatitis akut biasanya tidak menunjukkan gejala dan jarang menyebabkan gagal hati.
HCV akut simtomatik memiliki perjalanan klinis ringan dengan <25% pasien dengan
ikterus. Sekitar 60-80% pasien dengan infeksi akut akan menjadi infeksi kronis.
Sekitar (20-30%) pasien dengan HCV kronis akan menjadi sirosis selama periode 10-
30 tahun. Beberapa faktor dapat menentukan kecepatan perkembangan penyakit.
Beberapa faktor yang ditandai adalah perolehan HCV pada usia lanjut (> 40-55
tahun), jenis kelamin laki-laki, koinfeksi HIV, indeks massa tubuh yang lebih tinggi,
adanya steatosis hati dan konsumsi alkohol. Pasien dengan sirosis dapat mengalami
dekompensasi dengan komplikasi. Sirosis dekompensasi menyebabkan hipertensi

18
portal, yang dapat menyebabkan asites, peritonitis bakteri spontan, varises esofagus,
komplikasi neurologis seperti ensefalopati hepatik dan koma hepatik, dan sindrom
hepatorenal yang menyebabkan gagal ginjal. Infeksi kronis juga dapat dikaitkan
dengan manifestasi ekstra-hepatik seperti cryoglobulinemia, porphyria cutanea tarda,
arthralgia, glomerulonefritis membranoproliferatif, sindrom Sjogren, sindrom
Raynaud, limfoma trombositopenik idiopatik dan limfoma non-Hodgkin. Di antara
pasien yang memiliki sirosis, 1-4% per tahun menjadi karsinoma hepatoseluler.
Kematian yang terkait dengan HCV kronis biasanya merupakan akibat dari
komplikasi sirosis dekompensasi dan karsinoma hepatoseluler. Tingkat kelangsungan
hidup menurun dengan cepat dengan timbulnya dekompensasi. Tingkat kelangsungan
hidup 5 tahun untuk pasien dengan sirosis kompensasi setinggi 90% dibandingkan
dengan 50% untuk mereka dengan sirosis dekompensasi.9
CHC didefinisikan sebagai persistensi HCV RNA dalam darah selama lebih
dari 6 bulan setelah timbulnya infeksi akut. Sekitar 55% hingga 85% pasien dengan
transisi hepatitis C akut ke CHC. Setelah infeksi menjadi kronis, resolusi spontan
hilang. CHC selanjutnya dapat menyebabkan fibrosis progresif dan sirosis, penyakit
hati stadium akhir, dan HCC. Diperkirakan bahwa 20% hingga 30% pasien dengan
CHC berkembang menjadi sirosis. Namun, angka ini sangat bervariasi dan tergantung
pada metodologi yang digunakan untuk menentukan riwayat alami penyakit, apakah
desain penelitian prospektif, retrospektif, atau retrospektif, dan populasi yang diteliti.
Perkiraan perkembangan menjadi sirosis setelah 20 tahun CHC sangat bervariasi dari
yang tinggi 24% untuk kohort post transfusi dan, hingga yang rendah 7% untuk
kohort berbasis komunitas dan 4% untuk donor darah. Studi kohort berbasis
komunitas cenderung memberikan bukti terbaik untuk memperkirakan perkembangan
penyakit pada tingkat populasi. Pemantauan perkembangan fibrosis adalah cara lain
untuk memperkirakan hasil CHC. Karena perkembangan fibrosis adalah prekursor
sirosis, mengikuti perkembangannya harus mencerminkan perjalanan penyakit. Tahap
fibrosis ditunjukkan sebagai prediktor yang baik untuk perkembangan sirosis dan
hasil klinis, kebutuhan untuk transplantasi hati, dan kematian terkait hati. Perkiraan
studi biopsi cross-sectional estimasi periode 30 tahun untuk mengembangkan sirosis.
Namun, karena perkembangan fibrosis tidak mungkin linier, melakukan biopsi hati
berulang pada pasien harus memberikan penentuan yang lebih akurat dari laju
perkembangan fibrosis. Studi biopsi hati berpasangan menyarankan waktu untuk
sirosis 30 hingga 40 tahun.10

19
Perkembangan sirosis adalah tonggak penting dalam sejarah alami CHC.
Setelah sirosis berkembang, pasien beresiko mengalami dekompensasi, termasuk
perkembangan asites, peritonitis bakteri spontan, perdarahan varises, dan ensefalopati
hepatik. Terjadinya salah satu dari peristiwa ini menunjukkan peningkatan risiko
kematian atau kebutuhan untuk transplantasi hati. Informasi tentang riwayat alami
hepatitis C setelah pengembangan sirosis sebagian besar berasal dari penelitian yang
dilakukan di pusat rujukan, yang mungkin tidak mewakili semua orang dengan CHC.
Dengan peringatan ini, kelangsungan hidup pasien dengan sirosis dalam jangka
pendek dan jangka menengah adalah baik. Kelangsungan hidup lima tahun berkisar
dari 85% hingga 91% dengan kelangsungan hidup 10 tahun dari 60% hingga 79%.
Tingkat dekompensasi klinis adalah sekitar 2% hingga 5% per tahun dan
perkembangan HCC 1% hingga 4% per tahun. Satu penelitian diikuti 200 pasien
dengan sirosis terkait-HCV tanpa HCC yang diketahui setelah dirawat di rumah sakit
untuk dekompensasi hati pertama. Selama rata-rata tindak lanjut sekitar 3 tahun, HCC
berkembang pada 33 (16,5%) pasien, dan kematian terjadi pada 85 pasien (42,5%).
Probabilitas bertahan hidup setelah diagnosis sirosis dekompensasi masing-masing
adalah 82% dan 51% pada 1 dan 5 tahun. Pengembangan ensefalopati hepatik atau
asites sebagai peristiwa dekompensasi hati pertama dikaitkan dengan tingkat
kelangsungan hidup yang lebih rendah.11

3.6 Diagnosis
Diagnosis hepatitis C dengan antibodi HCV positif, yang menunjukkan infeksi
akut, kronis dan dapat ditemukan 4 hingga 10 minggu setelah infeksi. HCV-RNA
positif, yang mengukur replikasi virus, dapat dideteksi segera setelah 1 hingga 3
minggu setelah infeksi dan sebagai diagnosis infeksi hepatitis C saat ini. Diagnosis
hepatitis C kronis adalah ketika HCV-RNA tetap positif selama lebih dari 6 bulan.
Pengujian genotipe direkomendasikan pada individu dengan infeksi hepatitis C saat
ini untuk memandu keputusan pengobatan. Meskipun banyak pasien dengan infeksi
hepatitis C akut akan secara spontan sembuh dari infeksi (HCV-RNA negatif), sekitar
75% hingga 85% orang akan berkembang menjadi hepatitis kronis C. Hepatitis C
ditentukan menjadi kronis ketika HCV -RNA tetap positif selama lebih dari 6 bulan.
Pada saat itu, biopsi hati dilakukan untuk menentukan tingkat kerusakan hati dan
fibrosis dan berperan dalam pengambilan keputusan pengobatan. Orang dengan
hepatitis C kronis dapat mengembangkan manifestasi ekstrahepatik termasuk

20
perubahan kulit, seperti purpura dan pruritus, reumatologis, seperti mialgia dan
artralgia, dan neuropati sensorik dan motorik. Hepatitis C kronis progresif dan dapat
menyebabkan fibrosis yang signifikan, sirosis, varises esofagus, dan HCC.11

Test HCV RNA dibagi dua yaitu kuantitatif dan kualitatif. Test kualitatif
menggunakan PCR/ Polymerase Chain Reaction, test ini dapat mendeteksi HCV RNA
yang dilakukan untuk konfirmasi viremia dan untuk menilai respon terapi. Test
kuantitatif dibagi dua yaitu: metode dengan teknik Branched Chain DNA dan teknik
Reverse Transcription PCR.Test kuantitatif ini berguna untuk menilai derajat
perkembangan penyakit. Pada test kuantitatif ini pula dapat diketahui derajat viremia.
Sesuai dengan rekomendasi konsensus penatalaksanaan HCV, Pemeriksaan HCV RNA
yang positif, dapat memastikan diagnosis, bila HCV – RNA tidak dapat diperiksa, maka
ALT/SGPT > 2N, dengan anti HCV (+). Pemeriksaan genotip tidak diperlukan untuk
menegakkan diagnosis. Pemeriksaan HCV RNA kuantitatif diperlukan pada anak dan dewasa
untuk penentuan pengobatan. Pemeriksaan genotip diperlukan untuk menentukan lamanya
terapi. Pemeriksaan HCV RNA diperlukan sebelum terapi dan 6 bulan paska terapi.
Pemeriksaan HCV RNA 12 minggu sejak awal terapi dilakukan pada pasien genotip 1 dengan
pegylated interferon untuk penilaian apakah terapi dilanjutkan atau dihentikan. Test faal hati
rutin untuk skrining HCV kronik memiliki keterbatasan, karena sekitar 50% penderita
yang terinfeksi HCV mempunyai nilai transaminase normal. Meskipun test faal
hatinya normal, penderita ini ternyata menunjukkan kelainan histologypenyakit hati
berupa nekroinflamasi denganatau tanpa sirosis. Pemantauan dengan menggunakan
kadar transaminase sifatnya terbatas, karena kadarnya dapat berfluktuasi dari kadar
normal sampai ke abnormal dengan perjalanan waktu. Biopsi hati biasanya dikerjakan
sebelum dimulai pengobatan anti virus dan tetap merupakan pemeriksaan paling
akurat untuk mengetahui perkembangan penyakit hati. Biopsi hati biasanya dikerjakan
pada penderita dengan infeksi kronik HCV. Dengan transaminase abnormal yang
direncanakan pengobatan antiviral, pemeriksaan histologi juga dibutuhkan bila ada
dugaan diagnosis penyakit hati akibat alkohol. Biopsi hati menjadi sumber informasi
untuk penilaian fibrosis dan histologi. Biopsis hati memberikan informasi tentang
kontribusi besi, steatosis dan penyakit penyerta hati alkoholik terhadap perjalanan
hepatitis C kronik menuju sirosis. Informasi yang didapat pada biopsi hati
memungkinkan pasien mengambil keputusan tentang penundaan atau dimulainya
pemberian terapi antivirus, karena mengingat efek samping pengobatan.11

21
Tabel 1. Interpretasi hasil anti-HCV dan HCV RNA.13

3.7 Tatalaksana

Terapi standar untuk hepatitis C kronik adalah terapi kombinasi antara


Pegylated Interferon-α dan Ribavirin. Terapi ini memberikan hasil yang kurang
memuaskan pada pasien dengan genotipe 1 karena hanya 40-50% pasien yang
berhasil mencapai sustained virogical respons (SVR24) sedangkan pada genotipe 2
dan 3 sekitar 80% dapat mencapai SVR24. Kemajuan yang dicapai pada terapi
hepatitis C kronik adalah penemuan agen direct acting antivirus (DAA). DAA yang
pertama kali dipakai di Indonesia adalah boceprevir, yang merupakan kelompok obat
generasi pertama. Pada awalnya, boceprevir diberikan sebagai tambahan bagi
kelompok pasien yang tidak merespons terapi peg-IFN dan Ribavirin. Seiring dengan
perkembangan DAA, muncul kelompok DAA generasi baru yaitu simeprevir,
sofosbuvir, ledipasvir, daclatasvir, elbasvir dan grazoprevir. Obat obat ini memiliki
angka SVR12 yang lebih tinggi dibandingkan dengan terapi berbasis interferon,
waktu pengobatan yang lebih singkat, tersedia dalam sediaan oral dan memiliki efek
samping yang lebih sedikit. DAA yang tersedia di Indonesia saat ini adalah
sofosbuvir, simeprevir, dan daclatasvir, sementara elbasvir/grazoprevir dan
velpastasvir/sofosbuvir direncanakan untuk masuk ke Indonesia di masa yang akan
datang.12

Identifikasi derajat keparahan penyakit hati kronik atau sirosis hati penting
untuk menilai prognosis, respons terapi dan kesintasan karsinoma hepatoselular.
Pemeriksaan awal menggunakan ultrasonografi (USG) abdomen dilakukan untuk
mengidentifikasinya. Biopsi hati merupakan baku emas untuk menilai derajat

22
nekroinflamasi (grading) dan fibrosis (staging) hati. Menilai derajat fibrosis hati pada
infeksi hepatitis C kronik penting dalam membuat keputusan untuk memulai terapi
antivirus dan juga menentukan prognosis. Pemeriksaan derajat keparahan penyakit
hati non invasif dapat menggunakan pada Faskes tingkat 2, dapat dilakukan
pmeriksaan APRI, FIB-4, HCV RNA, dan USG. Pada Faskes tingkat 3 dapat
dilakukan pemeriksaan Fibroscan dan genotip jika diperlukan.12

Penggunaan APRI untuk menilai fibrosis bermakna (METAVIR ≥F2 dan


sirosis (METAVIR F4) memiliki nilai cut-off yang berbeda. Dengan menggunakan
strategi ini, pasien dengan nilai APRI di atas cut-off tinggi diprioritaskan
mendapatkan terapi karena mereka memiliki probabilitas yang besar mengalami
sirosis. Sedangkan bagi pasien dengan nilai APRI di bawah cut-off rendah, terapi
dapat ditunda karena mereka memiliki probabilitas rendah mengalami fibrosis
bermakna sehingga perlu dilakukan evaluasi dan penilaian secara berkala. Pada pasien
dengan nilai APRI diantara cut-off rendah dan tinggi, dianjurkan penilaian ulang
setiap 1 atau 2 tahun. Pada praktiknya, cut-off rendah akan memberikan nilai
sensitivitas yang lebih tinggi, sehingga lebih dianjurkan untuk dipakai. Skor APRI
tidak hanya dipakai untuk menilai kebutuhan terapi, tetapi juga dapat digunakan
sebagai follow up setelah terapi.13

23
Tabel 2. Nilai cut-off untuk deteksi sirosis dan fibrosis signifikan. 13

Tabel 3. Sensitivitas dan spesifisitas APRI, FIB-4 dan Fibroscan untuk deteksi sirosis dan fibrosis
tahap lanjut.13

Pasien dengan infeksi VHC akut dapat diterapi menggunakan regimen


sofosbuvir/ledipasvir (genotipe 1, 4, 5, atau 6), dan kombinasi sofosbuvir daclatasvir
(semua genotipe) selama 8 minggu. Apabila terdapat koinfeksi HIV atau kadar RNA
VHC > 1 juta IU/mL, terapi perlu diperpanjang hingga 12 minggu.13

24
Ta
13
bel 4. Pemilihan regimen terapi pada infeksi VHC tanpa sirosis.

25
Ta
13
bel 5. Pemilihan regimen terapi pada infeksi VHC dengan sirosis kompensata.

Tab
13
el 6. Pemilihan regimen terapi pada infeksi VHC dengan sirosis dekompensata.

26
Keberhasilan terapi pada hepatitis C kronik dengan terapi DAA dievaluasi
melalui pemeriksaan HCV RNA. Pemeriksaan HCV RNA dapat dilakukan secara
kuantitatif maupun kualitatif. Berbeda dengan terapi peg-IFN dan ribavirin,
monitoring terapi hanya perlu dilakukan pada awal terapi dan 12 minggu setelah
terapi dihentikan.13

Kontraindikasi terapi pada pengobatan hepatitis strategi dual therapy peg-IFN


dan Ribavirin, kontraindikasi absolut pemberian terapi interferon (IFN) pada pasien
hepatitis C adalah depresi, psikotik, atau kejang yang tidak terkontrol dan sirosis hati
dekompensata. Adapun kontraindikasi relatif meliputi indeks hematologi abnormal,
gagal ginjal, dan sebagainya. Kontraindikasi absolut pada Interferon alfa adalah
depresi atau psikosis yang tidak terkontrol, epilepsi yang tidak terkontrol, penyakit
autoimun yang tidak terkontrol, sirosis dekompensata, kehamilan, penolakan
kontrasepsi, wanita menyusui, penyakit berat, infeksi berat, hipertensi yang tidak
terkontrol, gagal jantung yang tidak terkontrol, diabetes melitus yang tidak terkontrol,
transplantasi organ kecuali hati, penyakit paru obstruktif kronik, usia kurang dari 2
tahun, hipersensitivitas terhadap interferon, pemberian tambahan didanosin.
Kontraindikasi absolut pada Ribavirin yaitu kehamilan, penolakan kontrasepsi, wanita
menyusui, penyakit penyerta berat termasuk infeksi berat, gagal jantung yang tidak
terkontrol, penyakit obstruktif kronik, hipersensitivitas terhadap ribaviin, pemberian
tambahan didanosin. Kontraindikasi relatif pada Interferon alfa adalah indeks
hematologi abnormal (Hb < 10 g/dL, hitung neutrofil < 1,5x109, hitung platelet <
90x109). Kreatinin serum > 1,5 mg/dl, hemoglobinopati (anemia sel sabit atau
thalassemia), penyakit arteri koroner, penyakit tiroid yang tidak di obati, penyakit
oftalmologis, kolitis, pankreatitis. Kontraindikasi relatif pada ribavirin yaitu indeks
hematologi abnormal (Hb < 10 g/dL, hitung neutrofil < 1,5x109, hitung platelet <
90x109), kreatinin serum > 1,5 mg/dl, hemoglobinotpati (anemia sel sabit atau
thalassemia) dan penyakit arteri koroner. Terdapat beberapa kontraindikasi atau
perhatian khusus pada manajemern terapi berbasis DAA, terutama terkait fungsi hati
dan ginjal. Dalam hal ini, setiap regimen yang berbasis sofosbuvir tidak
direkomendasikan bila terdapat kondisi gagal ginjal dengan eGFR> 30
ml/menit/173m2, sementara simeprevir dan elbasvir/grazoprevir dikontraindikasikan
pada sirosis child Pugh B atau C. Diperlukan kewaspadaan dan perhatian khusus pada
penggunaan obat-obatan lain terkait dengan kemungkinan interaksi obat.12

27
Pilihan Terapi pada Infeltsi Hepatitis C Kronik. Dalam kurun waktu 10 tahun
terakhir, pilihan terapi standar untukhepatitis C kronik adalah terapi kombinasi antara
Pegylated Interferon-alfa (Peg-IFNa) dan ribavirin (RBV). Terapi ini memberikan
hasil yang kurang memuaskan pada pasien dengan genotipe 1 karena hanya 40-50%
pasien yang berhasil mencapai sustained virological respons (SVR24) sedangkan pada
genotipe 2 dan 3 sekitar 80% dapat mencapai SVR24. Kemajuan yang dicapai pada
terapi hepatitis C kronik adalah penemuan agen direct acting antivirus (DAA). DAA
yang pertama kali dipakai di Indonesia adalah boceprevir, yang merupakan kelompok
obat generasi pertama. Pada awalnya, boceprevir diberikan sebagai tambahan bagi
kelompok pasien yang tidak merespons terapi peg-IFN dan ribavirin. Seiring dengan
perkembangan DAA, muncul kelompok DAA generasi baru, yaitu simeprevir,
sofosbuvir, ledipasvir, daclatasvir, elbasvir, dan grazoprevir. Obat-obat ini meiniliki
angka SVR12 yang lebih tinggi dibandingkan dengan terapi berbasis interferon,
waktu pengobatan yang lebih singkat, tersedia dalam sediaan oral dan memiliki efek
samping yang lebíh sedikit. DAA yang tersedia di Indonesia saat ini adalah
sofosbuvir, ledipasvir/sofosbuvir, simeprevir, dan daclatasvir, sementara
elbasvir/grazoprevir dan velpatasvir/sofosbuvir direncanakan untuk masuk ke
Indonesia di masa yang akan datang. Pada konsensus ini akan dibahas mengenai
panduan penggunaan dual therapy IFN-based (Peg-IFN/RBV maupun IFN/RBV),
IFN-based + DAA (Peg-IFN/RBV + DAA), dan interferon-free regimen.12

Mekanisme Kerja Pegylated Interferon (Peg IFN) Interferon merupakan


protein yang dihasilkan oleh tubuh dan bersifat sebagai imunomodulator. Mekanisme
kerja adalah menghambat berbagai tahap replikasi virus meliputi saat virus masuk
dalam sel tubuh, uncoating, sintesis mRNA dan sintesis protein. Pegylated
ditambahkan dalam formula obat untuk membuat interferon bertahan lebih lama di
dalam tubuh. Manfaat lainnya meliputi penurunan toksisitas, meningkatkan stabilitas
obat, perlindungan terhadap proteolisis dan memperbaiki daya larut. Pemberian Peg-
IFN 1x/minggu juga membantu meningkatkan kepatuhan pasien dan memberikan
kenyaman bagi pasien. Terdapat beberapa tipe Peg-IFN, namun yang sering
digunakan dalam pengobatan hepatitis C adalah Peg-IFN a2a dan Peg-IFN a2b.12

Mekanisme Kerja Ribavirin, mekanisme kerja ribavirin masih belum


sepenuhnya dimengerti. Saat ini terdapat beberapa hipotesis mengenai mekanisme
kerja ribavirin yaitu menghambat langsung replikasi VHC, mengnambat enzim

28
inosine monophosphate dehydrogenase pada tubuh pasien, menginduksi mutagenesis
RNA virus. Imunomodulasi melalui induksi sel respon imun T helper 1, Ribavirin
cepat diabsorbsi waktu paruh sekitar 2 jam dan didistribusikan ke seluruh tubuh
setelah pemberian oral, metabolisme utama terjadi di ginjal.12

Mekanisme Kerja DAA merupakan tulang punggung utama dalam terapi


hepatitis C. Setidaknya terdapat lebih dari 30 jenis pilihan DAA dengan tiga
mekanisme kerja utama.12

Kelompok pertama merupakan NS3/4A protease inhibitor (berakhiran -previr).


NS3 serine protease adalah suatu enzim yang mengkatalisasi proses post-transkripsi
protein yang penting untuk replikasi virus hepatitis C dan NS4A adalah untuk
mempercepat proses tersebut. Kelompok obat ini secara langsung menghambat kerja
enzim dan kofaktor tersebut sehingga akan menekan proses replikasi VHC. NS3/4A
protease inhibitor ini terdiri atas dua generasi, yaitu boceprevir dan telaprevir sebagai
generasi pertama dengan bentuk linear dan barrier genetik rendah; serta generasi ke
dua yang memiliki bentuk makrosiklik, aktivitas pan-genotipik dan barrier genetik
menengah atau tinggi, yaitu faldaprevir simeprevir, asunaprevir, vaniprevir,
paritaprevir, grazoprevir kofaktor dan sovaprevir. Kelompok ke dua merupakan NS5A
protein inhibitor (berakhiran-asvir), terbagi atas dua generasi, yaitu generasi pertama
dengan barrier genetik menengah yang terdiri atas daclatasvir, ledipasvir, dan
ombitasvir, dan generasi ke dua dengan aktivitas pan-genotipik dan barrier genetik
tinggi yang terdiri ataselbasvir, velpatasvir, dan odalasvir. Kelompok ke tiga
merupakan analog NS5B polymerase inhibitor (berakhiran-buvir), yaitu golongan
nukleotida/inhibitor kompetitif dengan aktivitas genotipik luas dan barrier resistensi
tinggi, misalnya sofosbuvir; serta non-nukleotida/inhibitor alosterik dengan barrier
resistensi menengah, misalnya becalbuvir dan dasabuvir. Sofosbuvir merupakan
prodrug nukleotida uridine inhibitor NS5B. Setelah diabsorbsi, sofosbuvir
dimetabolisme di hepar, untuk kemudian dikonversi menjadi bentuk nukleosida
trifosfat aktif. Struktur NS5B polymerase menyerupai karakteristik "tangan kanan"
yang tersusun atas domain jari, telapak tangan, dan ibu jari, dengan setidaknya 5 situs
potensial untuk pengikatan inhibisi alosterik, yaitu ibu jari (situs 1 dan 2), telapak
tangan (situs 3,4, dan 5). Adapun situs yang dijadikan target inhibisi oleh becalbuvir
dan dasabuvir ialah situs 1,3,dan 2.12

29
3.8 Komplikasi

Sirosis Hepatis, penderita Hepatitis kronis beresiko menjadi penyakit hati


tahap akhir dan kanker hati. Sedikit dari penderita Hepatitis kronis, hatinya menjadi
rusak dan perlu dilakukan transplantasi hati. Kenyataannya, penyakit hati terutama
Hepatitis C penyebab utama pada transplantasi hati sekarang ini. Sekitar sepertiga
kanker hati disebabkan oleh Hepatitis C. Hepatitis C yang menjadi kanker hati terus
meningkat di seluruh dunia karena banyak orang terinfeksi Hepatitis C tiap tahunnya.
Walaupun Hepatitis C tidak menunjukkan gejala, kerusakan hati terus berlanjut dan
menjadi parah seiring waktu. Saat hati menjadi rusak (sebagai contoh, karena
Hepatitis C) hati tersebut akan memperbaiki sendiri yang membentuk parut. Bentuk
parut ini sering disebut fibrosis. Semakin banyak parut menunjukkan semakin
parahnya penyakit. Sehingga, hati bisa menjadi sirosis (penuh dengan parut).8

Hepatoseluler Karsinoma, kanker hati yang merupakan penyebab tersering


transplantasi hati, terjadi pada 1-5 persen penderita hepatitis C kronik dalam waktu
20-30 tahun.8

3.9 Prognosis

Prognosis memberikan gambaran tentang kemungkinan dari penyakit - yaitu,


kesempatan bahwa pasien akan sembuh. Untuk hepatitis C, banyak faktor yang
mempengaruhi prognosis seseorang. Beberapa faktor yang paling penting adalah:8

1. Jumlah virus dalam tubuh (lihat Hepatitis C Viral Load)


2. Genotipe (lihat Hepatitis C Genotipe)
3. Berapa lama Anda telah memiliki hepatitis C
4. Berapa banyak kerusakan hati telah dilakukan

Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi hepatitis C prognosis seseorang


termasuk orang yang:5

1. Usia
2. Etnis
3. Kesehatan umum
4. Respon terhadap pengobatan.

30
Hepatitis C prognosis menguntungkan jika virus hepatitis C merespon dengan
baik terhadap pengobatan.

31
BAB IV

ANALISA KASUS

Seorang pasien laki laki 43 tahun di diagnosis berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

4.1 Anamnesis

Pasien mengeluh muntah berdarah berwarna darah segar dan buang air besar
berdarah warna hitam sejak 1 hari SMRS. Nyeri dibagian seluruh lapang perut. Nyeri
dirasakan terus menerus, nyeri seperti di tusuk tusuk, pada saat istirahat nyeri tidak
menghilang. Pasien juga mengeluh lemas, dan mual, pasien tidak diare dan tidak
demam. Pasien memiliki riwayat Hepatitis C sejak tahun 2018. Buang air kecil seperti
teh dan buang air besar berwarna hitam seperti ter sejak tahun 2018. Pasien sedang
berobat Hepatitis C dan sudah berobat selama 5 bulan. Pasien mengidap penyakit
Hepatitis C sejak tahun 2018. Pasien tinggal di lingkungan yang banyak pengedar dan
pengguna narkoba. Pasien memiliki riwayat meminum alcohol dan merokok sejak
awal sekolah SMA dan berhenti setelah 1 tahun kemudian karena diancam orang tua
dibawa ke polisi. Pasien memiliki tatoo pada tangan tangan. Tatoo pada tangan pasien
menggunakan jarum.

4.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik didapati hasil keadaan umum tampak sakit ringan,
kesadaran kompos mentis, denyut nadi : 76x/menit, pernapasan: 20x/menit, tekanan
darah: 80/51 mmHg, suhu tubuh: 36,70C. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
konjungtiva pucat +/+ dan skelra ikterik +/+. Pada palpasi abdomen perut cembung,
nyeri tekan semua regio (+), hepatomegali (+) teraba pembesaran hati 2 jari dibawah
arcus costae kanan dan 1 jari dibawah processus xyphoideus, splenomegali (+) teraba
pembesaran lien pada garis schuffner 2, balotemen -/-, shifting dullness (+), perkusi
redup. Bising usus normal 18x/menit.

32
4.3 Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium 26 Maret 2019 didapatkan hasil

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hematologi

Hemoglobin 8,0 g/dl 13-18

Leukosit 15.590/uL 4.800-10.800 /uL

Eritrosit 3,2 juta/uL 4,7-6,1 juta/uL

Hematokrit 23% 42-52%

Trombosit 148.000 /Ul 150.000-450.000 /uL

MCV 72 Fl 79-99 fL

MCH 25 pg 27-31 pg

MCHC 35 g/Dl 33-37 g/dL

Pemeriksaan Kimia Hasil Nilai Rujukan


Klinik

SGOT 279 < 35 U/L

SGPT 115 < 40 U/L

Albumin 2,7 3.5 – 5.0 g/dL

Ureum 34 20 – 50 mg/dL

Kreatinin 0.7 0.5 – 1.5 mg/dL

eGFR 158.55 mL/mnt/1.73m2

Kalsium (Ca) 8.0 8.6 – 10.3 mg/dL

Magnesium (Mg) 1.86 1.8 – 4.0 mEq/L

Glukosa Darah 87 70 – 140 mg/dL


(Sewaktu)

Natrium (Na) 131 135 - 147 mmol/L

Kalium (K) 3.7 3.5 – 5.0 mmol/L

Klorida (Cl) 102 95 – 105 mmol/L

33
Pada pemeriksaan laboratorium 30 Maret 2019 didapatkan hasil

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hematologi
Hemoglobin 9,5 g/dl 13-18
Leukosit 8.250/uL 4.800-10.800 /uL
Eritrosit 3,7 juta/uL 4,7-6,1 juta/uL
Hematokrit 28% 42-52%
Trombosit 191.000 /uL 150.000-450.000 /uL
MCV 76 fL 79-99 fL
MCH 26 pg 27-31 pg
MCHC 34 g/Dl 33-37 g/dL
Pemeriksaan Kimia Hasil Nilai Rujukan
Klinik
Albumin 2,6 3.5 – 5.0 g/dL
Natrium (Na) 132 135 - 147 mmol/L
Kalium (K) 4.1 3.5 – 5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 100 95 – 105 mmol/L

34
BAB V

KESIMPULAN

Prevalensi hepatitis C di Indonesia berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar


2007 dari 12.715 laki-laki dan 14.821 perempuan didapatkan anti-HCV positif sebesar
1,7% dan 2,4%.4 Data dari Riskedas 2013 menunjukkan adanya peningkatan prevalensi
penderita hepatitis C dibandingkan Riskesdas 2007, yaitu 2,1% menjadi 2,5%. 5 Data
terbaru pada tahun 2014 menunjukkan prevalensi anti-HCV positif sebesar 0,8-1% di
Indonesia. Di Indonesia belum terdapat laporan resmi mengenai infeksi VHC, namun
menurut laporan lembaga tranfusi darah didapatkan sekitar 2% positif terinfeksi. Pada
studi populasi umum di Jakarta prevalensi VHC sekitar 4%. Pada umumnya transmisi
terbanyak adalah berhubungan dengan tranfusi darah terutama yang dilakukan sebelum
penapisan donor darah untuk VHC oleh PMI. Infeksi VHC juga dihubungkan dengan
status ekonomi yang rendah, pendidikan kurang dan perilaku seksual yang berisiko
tinggi. Pasien dalam kasus ini didiagnosis dengan hematemesis melena ec varises
esophagus Hepatitis C Kronik dengan Hb 8.0 sehingga perlu segera di lakukan transfuse
PRC 400cc dan di rencanakan untuk melakukan tindakan ligase varises esophagus.
Pemberian obat supportif untuk mencegah pendarahan yaitu diberikan Vit K dan As
traneksamat. Pasien juga menderita asites dan dilakukan terapi dengan memberikan
spinorolakton 1x100mg PO dan antibiotik cefotaxime 3x1gr, pasien dijadwalkan untuk
melakukan punksi asites dan setelah melakukan punksi didapatkan cairan 3500cc
berwarna kuning jernih. Prognosisnya adalah ad vitam dubia, ad functionam dubia, dan
ad sanationam dubia.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Gower E, Estes C, Blach S, et al. Global epidemiology and genotype distribution of


hepatitis C virus infection. Journal of Hepatology. 2014; 51:S45-57.
2. Hamafiah KM, et al. Global Epidemiology of Hepatitis C virus infection : new
estimates of age-spesific antibody to HCV seroprevalence. Hepatology. 2013;57(4):
1333-42.
3. World Health Organization. Global Report on Access to Hepatitis C Treatment :
Focus on Overcoming Barriers. Geneva. October 2016.
4. Mihardja L, et al. Laporan Riskesdas tahun 2007 bidang biomedis. Jakarta:
Kementrian RI; 2012. 1-75.
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Riset
Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2013.
6. Gupta SP. Studies on Hepatitis Viruses. Elsevier. 2018; 1-14.
7. Mysore KR, Leung DH. Hepatitis B and C. Elsevier. 2018; 22(4):703-722.
8. Sudoyo AW, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta:
InternaPublishing. 2015. 1974-79.
9. Modi AA, Liang TJ. Hepatitis C: a clinical review. Oral Dis. 2009;14(1):10-4.
10. Lingala S, Ghany MG. Natural History of Hepatitis C. Elsevier. 2015; 44(4):717-73.
11. Pardee M. Diagnosis and Management of Hepatitis B and C. Elsevier. 2019;
54(2):277-284
12. PPHI. Konsensus Penatalaksanaan Hepatitis C kronik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2017.
13. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan
RI. Panduan Singkat Tatalaksana Hepatitis C. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI;
2017. 6-14.

36

Anda mungkin juga menyukai