Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

RUPTUR UTERI

A. Pengertian
Ruptur uteri adalah robekan di dinding uterus, dapat terjadi selama periode ante
natal saat induksi, selama persalinan dan kelahiran bahkan selama stadium ke
tiga persalinan(Chapman, 2006;h.288)
Ruptur uteri adalah robekan yang dapat langsung terhubung dengan rongga
peritoneum (komplet) atau mungkin di pisahkan darinya oleh peritoneum
viseralis yang menutupi uterus oleh ligamentum latum (inkomplit)
(Cunningham,2005;h.217)

B. Tanda dan gejala


1) Gejala mengancam
a. Lingkaran retraksi patologis/lingkaran Bandl yang tinggi, mendekati
pusat dan naik uterus
b. Kontraksi rahim kuat dan terus-menerus.
c. Penderita gelisah, nyeri di perut bagian bawah, juga di luar his.
d. Pada palpasi segmen bawah rahim terasa nyeri (di atas simpisis).
e. Ligamentum rotundum tegang, juga di luar his.
f. Bunyi jantung anak biasanya tidak ada atau tidak baik karena anak
mengalami hipoksia, yang disebabkan kontraksi dan retraksi rahim yang
berlebihan.
g. Air kencing mengandung darah (karena kandung kencing teregang atau
tertekan).
2) Tanda dan gejala lanjutan
a. Menurut (Varney,2001;h.243-244). Dapat terjadi dramatis atau tenang.
 Dramatis
- Nyeri tajam, yang sangat pada abdomen bawah saat kontraksi
hebat memuncak.
- Penghentian kontraksi uterus disertai hilangnya rasa nyeri.
- Perdarahan vagina (dalam jumlah sedikit atau hemoragi).
- Tanda dan gejala syok : denyut nadi meningkat (cepat dan terus
menerus): tekanan darah menurun : pucat, dingin,kulit
berkeringat,gelisah, atau adanya perasaaan bahwa akan segera
menjelang ajal atau meninggal, sesak (napas pendek),
ketidakberdayaan, dan gangguan penglihatan
- Temuan pada palpasi abdomen tidak sama dengan temuan
terdahulu.
- Bagian presentasi dapat di gerakkan di atas rongga panggul
- Gerakan janin dapat menjadi kuat dan kemudian menurun
menjadi tidak ada gerakan dan Denyut Jantung Janin sama
sekali tidak terdengar atau masih dapat di dengar.
- Lingkar uterus dan kepadatannya (kontraksi) dapat di rasakan di
samping janin(janin seperti berada diluar uterus).
 Tenang
- Kemungkinan menjadi muntah.
- Nyeri tekan meningkat di seluruh abdomen.
- Nyeri berat pada suprapubis.
- Kontraksi uterus hipotonik.
- Perkembangan persalinan menurun.
- Perasaan ingin pingsan.
- Hematuri (kadang-kadang)
- Perdarahan pervagina (kadang-kadang)
- Tanda-tanda syok progresif di temukan dalam hilangnya darah
disertai denyut nadi yang cepat dan pucat.
- Kontraksi dapat berlanjut tanpa menimbulkan efek pada
servik;atau kontraksi tidak dapat dirasakan.
- DJJ mungkin akan hilang.
b. Menurut (Chapman,2006;h.290)
 Nyeri
- Nyeri uterus atau jaringan parut mendadak
- Perasaan “ingin melahirkan”
- Nyeri abdomen bagian bawah bisa muncul bersama kontraksi,
atau nyeri konstan yang tidak hilang.
- Ibu merasa bahwa uterusnya sangat nyeri saat di sentuh atau di
raba.
 Kontraksi uterus
- Uterus solid atau tonik
- Kontraksi dapat berkurang atau bahkan berhenti.
 Denyut Jantung Janin
Perubahan Denyut Jantung Janin abnormal dapat terjadi seperti
deselarasi memanjang atau variable yang biasanya memburuk
menjadi bradikardia serius.
 Syok
- Dapat terjadi perubahan tanda vital : Takikardia, Tekanan darah
rendah, Sesak napas, respirasi, > 24x/menit
- Kemungkinan ibu : Tampak dingin dan lembap, Tampak
gelisah,agitasi, atau menarik diri, Berkata bahwa ia takut dan
ada sesuatu yang tidak beres, Muntah, Perdarahan (Perdarahan
kadang keluar dari vagina sebagai cairan amnion
bercampur darah atau perdarahan segar. Kadang seperti
setelah bayi lahir, fundus uteri segera meninggi karena terisi
darah.)

C. Patofisiologi
Pada saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi, dinding korpus
uteri atau SAR menjadi lebih tebal dan volume korpus uteri menjadi lebih kecil.
Akibatnya tubuh janin yang menempati korpus uteri terdorong ke bawah dan ke
dalam SBR. SBR menjadi lebih lebar karena dindingnya menjadi lebih tipis
karena tertarik ke atas oleh kontraksi SAR yang kuat, berulang dan sering
sehingga lingkaran retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah
tinggi. Apabila bagian terbawah janin tidak dapat terdorong karena sesuatu
sebab yang menahannya (misalnya panggul sempit atau kepala janin besar)
maka volume korpus yang tambah mengecil pada saat his harus diimbangi oleh
perluasan SBR ke atas. Dengan demikian, lingkaran retraksi fisiologi
semakin (physiologic retraction ring) semakin meninggi ke arah pusat melewati
batas fisiologi menjadi patologi (pathologic retraction ring) lingkaran patologik
ini di sebut lingkaran Bandl (ring van Bandl). SBR terus menerus tertarik ke
arah proksimal, tetapi tertahan oleh serviks dan his berlangsung kuat terus
menerus tetapi bagin terbawah janin tidak kunjung turun ke bawah melalui jalan
lahir, lingkaran retraksi makin lama semakin meninggi dan SBR semakin tertarik
ke atas sembari dindingnya sangat tipis hanya beberapa milimeter saja lagi. Ini
menandakan telah terjadi ruptur imminens dan rahim yang terancam robek pada
saat his berikut berlangsung dindinng SBR akan robek spontan pada
tempat yang tertipis dan terjadilah perdarahan. Jumlah perdarahan
tergantung pada luas robekan yang terjadi dan pembuluh darah yang terputus

D. Jenis
1) Berdasarkan lapisan dinding Rahim
a. Ruptur uteri inkomplit
Keadaan robekan pada rahim dimana terjadi lapisan dimana lapisan
serosa atau perimetrium masih utuh.
b. Ruptur uteri komplit
Keadaan robekan pada rahim dimana terjadi pada ketiga lapisan dinding
rahim dan telah terjadi hubungan langsung antara rongga amnion dan
rongga peritoneum
2) Berdasarkan penyebab terjadinya
a. Ruptur uteri spontan
Keadaan robekan pada rahim karena kekuatan his semata.
b. Ruptur uteri violenta
Keadaan robekan pada rahim yang di sebabkan ada manipulasi tenaga
tambahan lain seperti induksi, atau stimulasi partus dengan oksitosin atau
yang sejenis atau dorongan yang kuat pada fundus dalam persalinan
c. Ruptur uteri traumatika
Keadaan robekan pada rahim yang di sebabkan oleh trauma pada
abdomen seperti kekerasan dalam rumah tangga dan kecelakaan lalu
lintas.

E. Komplikasi
1) Gawat janin
2) Syok hipovolemik
Terjadi kerena perdarahan yang hebat dan pasien tidak segera
mendapat infus cairan kristaloid yang banyak untuk selanjutnya dalam
waktu cepat digantikan dengan tranfusi darah.
3) Sepsis
Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptur uteri telah
terjadi sebelum tiba di Rumah Sakit dan telah mengalami berbagai
manipulasi termasuk periksa dalam yang berulang. Jika dalam keadaan
yang demikian pasien tidak segera memperoleh terapi antibiotika
yang sesuai, hampir pasti pasien akan menderita peritonitis yang luas dan
menjadi sepsis pasca bedah.
4) Kecacatan dan morbiditas.
a. Histerektomi merupakan cacat permanen, yang pada kasus belum punya
anak hidup akan meninggalkan sisa trauma psikologis yang berat dan
mendalam.
b. Kematian maternal /perinatal yang menimpa sebuah keluarga merupakan
komplikasi social yang sulit mengatasinya.

F. Etiologi
1) Rupture uterus spontan (Fraser dab Cooper,2009;h.593)
a. Paritas tinggi
b. Penggunaan oksitosin yang tidak tepat, terutama pada ibu paritas tinggi
c. Pengunaan prostaglandin untuk menginduksi persalinan , pada ibu yang
memiliki eskar.
d. Persalinan macet; rupture uteri terjadi akibat penipisan yang berlebihan
pada segmen bawah uterus.
e. Persalinan terabaikan, dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya.
f. Perluasan laserasi serviks yang berat ke atas menuju segmen bawah
uterus –hal ini dapat terjadi akibat trauma selama pelahiran dan tindakan.
g. Trauma akibat cedera ledakan atau kecelakaan
h. Perforasi uterus non-hamil , mengakibatkan rupture uteri pada
kehamilan berikutnya;perforasi dan rupture terjadi pada segmen atas
uterus
i. Rupture uterin antenatal dengan riwayat seksio sesarea klasik
sebelumnya.

G. Penanganan
Ditinjau dari patofisiologi ruptur uteri apakah terjadi dalam masa
kehamilan atau persalinan, apakah terjadi pada rahim yang utuh atau pada rahim
yang cacat, dsb. Tinjauan tersebut bisa mempengaruhi pilihan operasi, apakah
dilakukan histerektomi atau histerorafia.
Tinjauan tersebut terdiri dari bebagai aspek, yaitu :
1) Aspek anatomi
Berdasarkan lapisan dinding rahim yang terkena ruptur uteri (ruptur uteri
inkomplit dan komplit).
2) Aspek sebab
Berdasarkan penyebab terjadinya robekan pada rahim (ruptur uteri spontan,
ruptur uteri violenta, ruptur uteri traumatika)
3) Aspek keutuhan Rahim
Ruptur uteri dapat terjadi pada rahim yang masih utuh, tetapi bisa terjadi
pada uterus yang cacat misalnya pada parut bekas bedah sesar atau parut
jahitan ruptur uteri yang pernah terjadi sebelumnya (histerorafia),
miomektomi yang dalam sampai ke rongga rahim, akibat kerokan yang
terlalu dalam, reaksi kornu atau bagian interstisial dari rahim, metroplasti
rahim yang rapuh akibat tealh banyak meregang misalnya pada
grandemultipara, pernah hidramnion, hamil ganda, uterus yang kurang
berkembang kemudian menjadi hamil.
4) Aspek waktu
Yang dimaksud adalah dalam masa hamil atau pada waktu bersalin. Ruptur
uteri dapat terjadi dalam masa kehamilan misalnya karena trauma atau pada
rahim yang cacat, sering pada bekas bedah sesar klasik. Kebanyakan ruptur
terjadi dalam masa persalinan kala I dan kala II dan pada partus percobaan
bekas seksio sesarea, terlebih pada kasus yang hisnya diperkuat dengan
oksitosin atau prostaglandin dan yang sejenisnya.
5) Aspek sifat
Rahim robek bisa tanpa menimbulkan gejala yang jelas (silent) seperi pada
parut bedah sesar klasik dalam masa hamil tua. Parut itu merekah sedikit
demi sedikit (dehiscence) dan pada akhirnya robek tanpa menimbulkan
perdarahan yang banyak dan rasa nyeri yang tegas.sebaliknya,
kebanyakan ruptur uteri terjadi dalam waktu yang cepat fdengan tanda- tanda
serta gejala-gejala yang jelas(overt) dan akut, misalnya ruptur uteri yang
terjadi dalam kala I dan kala II akibat dorongan atau picuan oksitosin.
Kantong kehamilan ikut robek dan janin terdorong masuk ke dalam rongga
peritoneum. Terjadi perdarahan internal yang banyak dan perempuan besalin
tersebut merasa sangat nyeri smapi syok.
6) Aspek paritas
Ruptur uteri dapat terjadi pada perempuan yang baru pertama kali hamil
(nulipara) sehingga sedapat mungkin diusahakan histerorafia apabila lukanya
rata dan tidak da infeksi. Terhadap ruptur uteri pada multipara pada
umumnya lebih baik dilakukan histerektomi atau jika keadaan umumnya
jelek dan luka robekan pada uterus tidak luas dan tidak compang-
camping, robekan pada uterus dijahit kembali (histerorafia) dilanjutkan
dengan tubektomi.
7) Aspek gradasi
Kecuali akibat kecelakan, ruptur uteri tidak terjadi mendadak. Peristiwa
robekan yang yang umumnya terjadi pada segmen bawah rahim
didahului oleh his yang kuat tanpa kemajuan dalam persalinan
sehingga batas antara korpus dan SBR yaitu lingkaran retraksi yang
fisiologik naik bertambah tinggi menjadi lingkaran bandl yang patologik,
sementara ibu yang melahirkan itu sangat merasa cemas dan ketakutan oleh
karena menahan nyeri his yang kuat. Pada saat ini penderita berada dalam
stadium ruptur uteri imminens (membakat). Apabila keadaan yang
demikian berlanjut dan tidak terjadi atonia uteri sekunder, maka pada
gilirannya dinding SBR yang sudah sangat tipis itu robek. Peristiwa ini
disebut ruptur uteri spontan.

Dari beberapa tinjauan diatas, maka penatalaksanaan pada ruptur uteri adalah
sebagai berikut :
a. Perbaiki kehilangan darah dengan pemberian infus Intravena cairan
(NaCl 0,9% atau Ringer Laktat) sebelum pembedahan.
b. Siapkan untuk tranfusi darah
c. Lakukan seksio sesarea, segera lahirkan bayi dan lahirkan plasenta
segera setelah kondisi ibu stabil
d. Jika uterus dapat diperbaiki dengan resiko operasi lebih rendahdaripada
resiko pada histerektomi dan ujung ruptur uterus tidak nekrosislakukan
histerorafia. Tindakan ini akan mengurangi waktu dan kehilangan darah
saat histerektomi.
e. Lakukan perbaikan robekan pada dinding uterus (histerorafia)
dengan langkah sebagai berikut :
 Kaji ulang prinsip pembedahan
 Berikan antibiotik dosis tunggal ( ampisilin 2 G I.V, sefazolin 1 gI.V)
 Buka perut :
- Lakukan insisi vertikal pada line alba dari umbilikus sampai
pubis.
- Lakukan insisi vertikal2-3 cm pada fasia, lanjutkan insisi
keatas dan kebawah dengan gunting
- Pisahkan muskulus rektus abdominis kiri
- Buka peritoneum dekat umbilikus dengan tangan, jaga agar
jangan melukai kandung kemih.
- Periksa rongga abdomen dan robekan uterus dan keluarkan darah
beku.
- Pasang rektaktor kandung kemih.
 Lahirkan bayi dan plasenta
 Berikan oksitosin 10 IU dalam 500 ml cairan infus (NaCl atau Ringer
Laktat) :
- Mulai 60 tetes per menit sampai uterus berkontraksi
- Turunkan menjadi 20 tetes per menit setelah kontraksi uterus
baik.
 Angkat uterus untuk melihat seluruh luka uterus
 Periksa bagian depan dan belakang uterus
 Klem perdarahan dengan ring forceps.
 Pisahkan kandung kemih dari segmen bawah rahim secara tumpul
atau tajam.
 Lakukan penjahitan robekan uterus.
 Jika uterus tidak dapat diperbaiki lakukan histerektomi.

H. Pencegahan ruptur uteri


Dalam menghadapi masalah ruptur uteri semboyan “prevention is better than
cure” sangat perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh setiap pengelola
persalinan dimanapun persalinan tersebut berlangsung. Banyak kiranya ruptur
uteri yang seharusnya tidak perlu terjadi kalau sekiranya ada pengertian dari
para ibu, masyarakat dan klinisi, karena sebelumnya dapat kita ambil
langkah-langkah preventif. Maka, sangatlah penting arti perawatan antenatal
(prenatal).
1) Panggul sempit atau CPD
Anjurkan bersalin di rumah sakit. Lakukan pemeriksaan yang teliti misalnya
kalau kepala belum turun lakukan periksa dalam dan evaluasi selanjutnya
dengan pelvimetri. Bila panggul sempit (CV 8 cm), lakukan segera seksio
sesarea primer saat inpartu.
2) Malposisi Kepala
Coba lakukan reposisi, kalau kiranya sulit dan tak berhasil, pikirkan untuk
melakukan seksio sesarea primer saat inpartu.
3) Malpresentasi
Letak lintang atau presentasi bahu, maupun letak bokong, presentasi
rangkap.
4) Hidrosefalus
5) Rigid cervix
6) Tetania uteri
7) Tumor jalan lahir
8) Grandemultipara + abdomen pendulum
9) Pada bekas seksio sesarea
Beberapa sarjana masih berpegang pada diktum : Once a
Caesarean always a Caesarean, tetapi pendapat kita disini adalah Once a
Caesarean not necessarily a Caesarean, kecuali pada panggul yang sempit.
Hal ini disebut Repeat Caesarean Section. Pada keadaan dimana seksio yang
lalu dilakukan korporal pasien harus bersalin dirumah sakit dengan observasi
yang ketat dan cermat mengingat besarnya kemungkinan terjadi ruptur
spontan. Kalau perlu lakukan segera repeat c section. Pasien seksio
sesaria dengan insisi SBR dibandingkan dengan korporal menurut
statistik kemungkinan terjadinya ruptur relatif kecil, Namun demikian
partus harus dilakukan di RS dan kalau kepala sudah turun lakukan
ekstraksi forsep.
10) Uterus cacat karena miomektomi, kuretase, manual uri, maka dianjurkan
bersalin di RS dengan pengawasan yang teliti.
11) Ruptur uteri karena tindakan obstetrik dapat dicegah dengan bekerja secara
lege artis, jangan melakukan tindakan kristaller yang berlebihan, bidan
dianjurkan mempertimbangkan pemberian oksitocin sebelum janin lahir,
kepada dukun diberikan penataran supaya waktu memimpin persalinan
jangan mendorong-dorong, karena dapat menimbulkan ruptura uteri
traumatika.
I. PENGKAJIAN
1) Identitas : Sering terjadi pada ibu usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 taun
2) Keluhan utama : Perdarahan dari jalan lahir, badan lemah, limbung,
keluar keringat dingin, kesulitan nafas, pusing, pandangan berkunang-
kunang.
3) Riwayat kehamilan dan persalinan : Riwayat hipertensi dalam kehamilan,
preeklamsi / eklamsia, bayi besar, gamelli, hidroamnion, grandmulti gravida,
primimuda, anemia, perdarahan saat hamil. Persalinan dengan tindakan,
robekan jalan lahir, partus precipitatus, partus lama/kasep, chorioamnionitis,
induksi persalinan, manipulasi kala II dan III.
4) Riwayat kesehatan : Kelainan darah dan hipertensi
5) Pengkajian fisik :
a. Tanda vital
 Tekanan darah : Normal/turun ( kurang dari 90-100 mmHg)
 Nadi : Normal/meningkat ( 100-120 x/menit)
 Pernafasan : Normal/ meningkat ( 28-34x/menit )
 Suhu : Normal/ meningkat
 Kesadaran : Normal / turun
 Fundus uteri/abdomen : lembek/keras, subinvolusi
 Kulit : Dingin, berkeringat, kering, hangat, pucat, capilary refill
memanjan
 Pervaginam : Keluar darah, robekan, lochea ( jumlah dan jenis)
 Kandung kemih : distensi, produksi urin menurun/berkurang
J. Diagnosa Keperawatan
1) Kekurangan volume cairan b/d perdarahan pervaginam
2) Gangguan perfusi jaringan b/d perdarahan pervaginam
3) Cemas/ketakutan b/d perubahan keadaan atau ancaman kematian
4) Resiko infeksi b/d perdarahan
5) Resiko shock hipovolemik b/d perdarahan.

K. Rencana tindakan keperawatan


1) Kekurangan volume cairan b/d perdarahan pervaginam
Tujuan : Mencegah disfungsional bleeding dan memperbaiki volume cairan
Rencana tindakan :
a. Tidurkan pasien dengan posisi kaki lebih tinggi sedangkan badannya
tetap terlentang
R/ Dengan kaki lebih tinggi akan meningkatkan venous return dan
memungkinkan darah keotak dan organ lain.
b. Monitor tanda vital
R/ Perubahan tanda vital terjadi bila perdarahan semakin hebat
c. Monitor intake dan output setiap 5-10 menit
R/ Perubahan output merupakan tanda adanya gangguan fungsi ginjal
d. Evaluasi kandung kencing
R/ Kandung kencing yang penuh menghalangi kontraksi uterus
e. Lakukan masage uterus dengan satu tangan serta tangan lainnya
diletakan diatas simpisis.
R/ Massage uterus merangsang kontraksi uterus dan membantu
pelepasan placenta, satu tangan diatas simpisis mencegah terjadinya
inversio uteri
f. Batasi pemeriksaan vagina dan rectum
R/ Trauma yang terjadi pada daerah vagina serta rektum meningkatkan
terjadinya perdarahan yang lebih hebat, bila terjadi laserasi pada serviks /
perineum atau terdapat hematom
g. Bila tekanan darah semakin turun, denyut nadi makin lemah, kecil dan
cepat, pasien merasa mengantuk, perdarahan semakin hebat, segera
kolaborasi.
h. Berikan infus atau cairan intravena
R/ Cairan intravena dapat meningkatkan volume intravaskular
i. Berikan uterotonika ( bila perdarahan karena atonia uteri )
R/ Uterotonika merangsang kontraksi uterus dan mengontrol perdarahan
j. Berikan antibiotic
R/ Antibiotik mencegah infeksi yang mungkin terjadi karena perdarahan
k. Berikan transfusi whole blood ( bila perlu )
R/ Whole blood membantu menormalkan volume cairan tubuh.

2) Gangguan perfusi jaringan b/d perdarahan pervaginam


Tujuan: Tanda vital dan gas darah dalam batas normal
Rencana keperawatan :
a. Monitor tanda vital tiap 5-10 menit
R/ Perubahan perfusi jaringan menimbulkan perubahan pada tanda vital
b. Catat perubahan warna kuku, mukosa bibir, gusi dan lidah, suhu kulit
R/ Dengan vasokontriksi dan hubungan keorgan vital, sirkulasi di jaingan
perifer berkurang sehingga menimbulkan cyanosis dan suhu kulit yang
dingin
c. Kaji ada / tidak adanya produksi ASI
R/ Perfusi yang jelek menghambat produksi prolaktin dimana diperlukan
dalam produksi ASI
d. Tindakan kolaborasi :
Monitor kadar gas darah dan PH ( perubahan kadar gas darah dan PH
merupakan tanda hipoksia jaringan )
Berikan terapi oksigen ( Oksigen diperlukan untuk memaksimalkan
transportasi sirkulasi jaringan ).
3) Cemas/ketakutan berhubungan dengan perubahan keadaan atau
ancaman kematian
Tujuan : Klien dapat mengungkapkan secara verbal rasa cemasnya dan
mengatakan perasaan cemas berkurang atau hilang.
Rencana tindakan :
a. Kaji respon psikologis klien terhadap perdarahan paska persalinan
R/ Persepsi klien mempengaruhi intensitas cemasnya
b. Kaji respon fisiologis klien ( takikardia, takipnea, gemetar )
R/ Perubahan tanda vital menimbulkan perubahan pada respon fisiologis
c. Perlakukan pasien secara kalem, empati, serta sikap mendukung
R/ Memberikan dukungan emosi
d. Berikan informasi tentang perawatan dan pengobatan
R/ Informasi yang akurat dapat mengurangi cemas dan takut yang tidak
diketahui
e. Bantu klien mengidentifikasi rasa cemasnya
R/ Ungkapan perasaan dapat mengurangi cemas
f. Kaji mekanisme koping yang digunakan klien
R/ Cemas yang berkepanjangan dapat dicegah dengan mekanisme koping
yang tepat.

4) Resiko infeksi sehubungan dengan perdarahan


Tujuan : Tidak terjadi infeksi (lokea tidak berbau dan TV dalam batas
normal)
Rencana tindakan :
a. Catat perubahan tanda vital
R/ Perubahan tanda vital ( suhu ) merupakan indikasi terjadinya infeksi
b. Catat adanya tanda lemas, kedinginan, anoreksia, kontraksi uterus yang
lembek, dan nyeri panggul
R/ Tanda-tanda tersebut merupakan indikasi terjadinya bakterimia, shock
yang tidak terdeteksi
c. Monitor involusi uterus dan pengeluaran lochea
R/ Infeksi uterus menghambat involusi dan terjadi pengeluaran lokea
yang berkepanjangan
d. Perhatikan kemungkinan infeksi di tempat lain, misalnya infeksi saluran
nafas, mastitis dan saluran kencing
R/ Infeksi di tempat lain memperburuk keadaan
e. Berikan perawatan perineal,dan pertahankan agar pembalut
jangan sampai terlalu basah
R/ pembalut yang terlalu basah menyebabkan kulit iritasi dan
dapat menjadi media untuk pertumbuhan bakteri,peningkatan
resiko infeksi.
f. Tindakan kolaborasi
Berikan zat besi ( Anemi memperberat keadaan )
Beri antibiotika ( Pemberian antibiotika yang tepat diperlukan untuk
keadaan infeksi ).
5) Resiko shock hipovolemik s/d perdarahan.
Tujuan: Tidak terjadi shock(tidak terjadi penurunan kesadaran
dan tanda-tanda dalam batas normal)
Rencana tindakan :
a. Anjurkan pasien untuk banyak minum
R/ Peningkatan intake cairan dapat meningkatkan volume intravascular
sehingga dapat meningkatkan volume intravascular yang dapat
meningkatkan perfusi jaringan
b. Observasitanda-tandavital tiap 4 jam.
R/ Perubahan tanda-tanda vital dapat merupakan indikator terjadinya
dehidrasi secara dini.
c. Observasi terhadap tanda-tanda dehidrasi.
R/ Dehidrasi merupakan terjadinya shock bila dehidrasi tidak ditangani
secara baik.
d. Observasi intake cairan dan output.
R/ Intake cairan yang adekuat dapat menyeimbangi pengeluaran cairan
yang berlebihan.
e. Kolaborasi dalam : - Pemberian cairan infus / transfuse
R/ Cairan intravena dapat meningkatkan volume intravaskular yang dapat
meningkatkan perfusi jaringan sehingga dapat mencegah terjadinya
shock.
f. Pemberian koagulantia dan uterotonika.
R/ Koagulan membantu dalam proses pembekuan darah dan uterotonika
merangsang kontraksi uterus dan mengontrol perdarahan.
DAFTAR PUSTAKA

Hanifa,winkjosastro.2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan


Maternal dan Neonatal.Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo. Llewllyn-jones, Derek. 2001. Dasa-Dasar Obstetri
dan Ginekologi Edisi 6. Jakarta : EGC
Rustam, mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid I. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai