Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S).
Oleh
Ahmad Fauzi
NIM:105024000860
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011
i
PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ahmad Fauzi
NIM: 105024000860
ii
ANALISIS HOMONIMI KATA NAFS ( ) DALAM
AL-QUR’AN TERJEMAHAN HAMKA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S).
Oleh
Ahmad Fauzi
NIM:105024000860
Pembimbing
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Sidang Munaqasyah
Anggota, Anggota,
iv
PRAKATA
v
Kemudian kepada Yudi, Hilman, Asep, Deni, Rachmad, Doli, dan Agus yang
telah memberikan semangat, hiburan dan berbagai candaan di basecamp
Tarjamah. Serta teman-teman BEM-J Tarjamah dan juga kepada seluruh Kakak
kelas dan adik kelas sehingga Penulis bangga menjadi salah satu mahasiswa
Tarjamah.. Penulis menghaturkan beribu terima kasih kepada seluruh teman-
teman atas pinjaman referensinya yang begitu berharga. yang telah mencerahkan
dan memberikan paradigma baru kepada Penulis.
Semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi
semuanya. Saran serta kritik konstruktif sangat Penulis butuhkan untuk
interpretasi yang lebih baik lagi.
Penulis
vi
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ 7
D. Tinjauan Pustaka ............................................................. 8
E. Metodologi Penelitian ..................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ..................................................... 9
vii
BAB III BIOGRAFI HAMKA
A. Riwayat Hidup Hamka .................................................... 30
B. Pendidikan dan Karir Hamka ......................................... 33
C. Karya-karya Hamka ........................................................ 40
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... 56
B. Saran .............................................................................. 57
DAFTAR PUSTAKA
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
A. Vokal tunggal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
َ---- a Fathah
----ِ i Kasrah
-----ُ u Dammah
ix
B. Vokal rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي---َ ai a dan i
و---َ au a dan u
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu :
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي/ا----َ â a dengan topi di atas
ِي---- î i dengan topi di atas
ُو--- û u dengan topi di atas
3. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh : al-rijâl bukan ar-
rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.
4. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda---ّ dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah
itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda
syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf
syamsiyyah. Misalnya, kata ورة.ّ/0 اtidak ditulis ad-darûrah melainkan
al- darûrah, demikian seterusnya.
5. Ta Marbûtah
Jika huruf Ta Marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka
huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (contoh no.1). hal yang
sama juga berlaku, jika Ta Marbûtah tersebut diikuti oleh (na’t) atau kata
x
sifat (contoh no.2). namun jika huruf Ta Marbûtah tersebut diikuti kata
benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (contoh
no.3)
No. Kata Arab Alih Aksara
1 123.4 tarîqah
2 156789 ا1:6;<0ا al-jâmi’ah al-islâmiyah
3 =ﺝ=د0و@?ة ا wihdat al-wujûd
6. Huruf kapital
Mengikuti EYD bahasa Indonesia. Untuk proper name (nama diri, nama
tempat, dan sebagainya), seperti al-Kindi bukan Al-Kindi (untuk huruf
“al” a tidak boleh kapital.
xi
ABSTRAK
Ahmad Fauzi
“Analisis Homonimi Kata Nafs ( )ﻨﻔﺱdalam al-Qur’an Terjemahan Hamka”. Di
bawah bimbingan Dr. Abdullah, M.Ag.
xii
BAB I
PENDAHULUAN
Semantik berasal dari bahasa Yunani: semantikos yang berarti, tanda atau
yang terkandung pada suatu bahasa, kode atau jenis representasi lain. 1 Semantik
dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti dan merupakan satu
dari tiga jenis analisis bahasa: fonologi, gramatika dan semantik. 2 Dalam
menganalisis semantik, seseorang harus menyadari bahwa bahasa itu bersifat unik
pemakainya.3 Maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja dan
tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Itu semua karena bahasa
adalah sebuah produk budaya. Jadi makna sebuah kata bisa menjadi berbeda atau
Teks adalah objek utama dalam kajian semantik. Ketika kita berhadapan
dengan teks, maka kita akan menemukan dua unsur pembangun, yaitu penulis dan
pembaca. Suatu teks tidak ada artinya, jika tidak ada penulis sebagai pengirim
makna (sender) dan pembaca sebagai penerima makna (receiver) dari sang
1
www.id.wikipedia.org/semantik. Data diakses pada tanggal 19 Februari 2010.
2
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cet ke-
2, h. 2.
3
Siti Kurrotulaini, Analisis Semantik Terhadap Terjemahan al-Qur’an Juz 30 (Surat al-Qadr,
al-Alaq dan al-Ikhlash) Studi Komparatif antara Terjemahan Hamka dengan Terjemahan Mahmud
Yunus, (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Jakarta, 2008), h. 5
1
penulis. Di samping itu juga, sebagai penerima makna, “pembaca juga memberi
makna kedua” bagi teks. Di dalam posisi ini, pembaca diartikan sebagai penafsir
makna.4
Homonimi adalah beberapa kata yang mempunyai kesamaan bentuk dan pelafalan
homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang bentuknya
sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase atau kalimat) tetapi
Homonimi adalah relasi makna antar kata yang ditulis sama, tetapi
Di dalam kamus kata-kata yang termasuk homonim muncul sebagai lema (entri)
yang terpisah. Misalnya saja, kata tahu dalam kamus besar bahasa Indonesia
Homonin dalam bahasa Arab pun banyak sekali dapat ditemukan. Berikut
4
Yustian Yusa, Terjemahan Ayat-Ayat Ttentang Eksklusivitas Islam: Analisis Hermeneutik
Terhadap Terjemahan Versi Departemen Agama dan The Holy Quran , (Skripsi S1 Fakultas Adab dan
Humaniora, Universitas Islam Negri Jakarta, 2009), h. 2.
5
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1994) h. 93
2
Kata daraba ( )
بmempunyai artî (1) berdenyut; (2) mengepung; (3) memikat;
(4) menembak; (5) memukul; (6) menyengat; (7) cenderung; (8) menentukan; (9)
mengetuk. Semua kata daraba yang mempunyai sedikitnya 9 arti ini semuanya
teks, al-Qur’an telah termasuk dalam kajian semantik. Al-Qur’an sebagai kitab
suci tidak hanya berisi mengenai kumpulan ayat-ayat berbahasa Arab yang
sastrawi dan indah, tetapi juga telah menjadi pedoman hidup kaum muslimin.
Agar menjadi pegangan hidup maka kaum muslimin perlu menafsirkan al-Qur’an
sesuatu yang dilarang. Sehingga, andai kata al-Quran harus diterjemahkan, teks
aslinya harus disertakan agar makna sesungguhnya yang diinginkan ayat tidak
maksud al-Quran. Oleh sebab itu, dapat dipahami jika dalam penulisan karya
ilmiah ada pedoman bahwa jika seseorang ingin memaknai sebuah kata-kata
tertentu yang padanannya dalam bahasa lain tidak ditemukan atau ditemukan,
6
Beberapa tahun terakhir Al-Qur’an telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa atas
bantuan rabithah al alam al Islami dan dar al ifta wa al irsyad yang bermarkas di Saudi Arabia.
Mujamma’ khadim al haramain al syarifain al malik fahd untuk pencetakkan mushaf, telah mencetak
terjemahan Al-Qur’an dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Perancis, Turki, Urdu, China, Hausa, dan
Indonesia. Departemen agama, Al-Qur’an dan terjemahannya (semarang: PT. Karya Toha Putra,
1990) h. 30
3
namun mempunyai kemungkinan banyak arti harus menyertakan teks aslinya agar
mengarahkan bahwa maksud yang diinginkan dari teks Arab atau lainnya adalah
makna yang diungkapkan penulis. Hal itu dianggap penting agar pembaca tidak
Salah satu bentuk variasi makna terjemahan yang terdapat dalam al-
Qur’an yaitu kata nafs’. Secara bahasa dalam kamus al-Munjid, nafs (jama’nya
nufûs dan anfus) berarti rûh (roh) dan ‘ain (diri sendiri). 7 Sedangkan dalam kamus
al-Munawir disebutkan bahwa kata nafs (jamaknya anfus dan nufûs) itu berarti
roh dan jiwa, juga berarti al-jasad (badan, tubuh), al-syakhsu (orang), al-syakhsu
al-insân (diri orang), al-dzat atau al’ain (diri sendiri) 8 . Sedangkan menurut
nafs yang jama’nya anfus dan nufus diartikan jiwa (soul), pribadi (person), diri
(self atau selves), hidup (life), hati (heart), atau pikiran (mind), disamping juga
Ensiklopedi al-Qur’an, kata nafs’ lebih identik dengan jiwa (soul). Pengertian
tentang ”jiwa” dalam kata nafs memang cukup tampak didalam al-Qur’an dan
ternyata dalam sejarah kebudayaan, makna kata itu tertangkap oleh pembacanya
dan dikembangkan lebih lanjut dalam tasawuf. Dalam al-Qur’an Q.S. al-
7
Lewis Makluf, al-Munjid fi al-Lughah wa A’lam, (Beirut: Daar al-Masyriq, 1986), 826.
8
Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Progressif, 1984), 1545.
9
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), 250
4
disebut bahwa: ”Tiap-tiap jiwa itu pasti akan merasakan kematian”. Kata ”kullu
nafs” dalam kedua ayat itu dapat pula diterjemahkan dengan ”tiap-tiap yang
berjiwa”. Pada terjemahan itu, seorang dilihat esensinya pada jiwanya, sedangkan
pada ayat yang kedua, jiwa dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dan terdapat
Qur’an, menjelaskan sisi dalam nafs. Kajian tentang nafs merupakan bagian dari
kajian tentang hakikat manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk yang bisa
menempatkan dirinya menjadi subyek dan obyek sekaligus. Nafs juga sebagai
Kata nafs juga menjadi bahan perbincangan para sufi, terutama dalam
kajian tasawwuf. Sebagaimana terminologi kaum sufi (ahli tasawuf), yang oleh
sufi adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk”. Al-Ghazali
pun menyatakan dalam hadist yang berbunyi ﺃَﻋﺩﻯ ﻋﺩﻭﻙ ﻨﻔﺴﻙ ﺍﻝﺘﻰ ﺒﻴﻥ ﺠﻨﺒﻴﻙ
yang artinya “musuhmu yang paling berat adalah nafsumu yang ada di dua
10
sisimu”. Sama halnya yang terdapat dalam Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, nafs (nafsu) juga dipahami sebagai dorongan hati yang kuat untuk
berbuat kurang baik, padahal dalam alQur’an nafs tidak selalu berkonotasi negatif.
10
Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, (tt; Kitab al-Syu’ab, tth), Vol.II, h.1345
5
Dalam penelitian ini, penulis ingin menganalisis dan mengklasifikasikan
homonimi terhadap terjemahan kata nafs dalam al-Qur’an, berdasarkan fitur dan
Sebagaimana contoh nafs yang diartikan ”jiwa” atau ”diri”, sebenarnya kedua
istilah tersebut hanyalah soal pilihan kata terjemahan. Dalam al-Qur’an Q.S. al-
Disini kata ”jiwa” dapat diganti dengan ”diri”. Pokoknya nafs menunjuk kepada
orang. Namun, jika seorang penterjemah memilih kata ”jiwa”, maka ia tentu
manusia adalah jiwanya. Jika seseorang itu kikir, maka yang memiliki predikat
terutama yang berkaitan dengan kata nafs dalam al-Qur’an. Dengan memakai
bahasa Arab yang terdiri atas: (i) homonimi mutlak (absolute homonymy), dan (ii)
terjemahannya, yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal
dengan sebutan HAMKA sebagai objek penelitian. Dari sekian banyak bentuk
11
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 254
12
John Lyon, Linguistic Semantics, (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Cet.
Ke-2, h. 55-57
6
dan makna kata nafs, penulis hanya membatasi penulisan ini dengan
sudah tepat?
al-Qur’annya?
HAMKA.
penerjemahan al-Qur’annya .
7
Adapun manfaatnya adalah :
D. Tinjauan Pustaka
nafs yang diterjemahkan oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
sebagai objek utama dalam penelitian ini. Adapun judul skripsi ini terinspirasi
menurut konsep al-Qur’an. Sedangkan analisis Homonimi kata nafs dalam al-
pada kata nafs. Oleh karena itu, dalam skripsi ini penulis menggunakan penelitian
artikel-artikel ataupun referensi lain yang dapat dijadikan acuan yang terkait
8
E. Metode Penelitian
Pada penelitian ini, Sumber data yang diperoleh adalah melalui sumber
literer (library reaserch) yaitu dari kepustakaan, sedangkan metode penilitian yang
data-data dari Al Qur’an yang diterjemahkan oleh HAMKA sebagai bahan primer,
umum.” 13 Analitis yaitu penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan
penelahaan bagian itu sendiri, serta hubungan antar bagian untuk memperoleh
pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Sedangkan untuk bahan
dengan pokok permasalahan baik dari artikel, majalah, internet, maupun dari
penulisan skripsi, tesis, dan disertasi yang disusun oleh tim UIN Syarif
F. Sistematika Penulisan
13
Sutrisno Hadi, Bimbingan Menulis Skripsi, Thesis dan Disertasi, (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1984), h. 3
9
Bab I Pendahuluan : terdiri dari 6 Sub Bab, yaitu : Pertama, Latar
Pengertian, Konsep, Homonimi dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Ketiga,
Bab III Sekilas Biografi Hamka : terdiri dari 3 Sub Bab, yaitu : Pertama,
Riwayat Hidup Hamka. Kedua, Pendidikan dan Karir Hamka. Ketiga, Karya-
karya Hamka.
Hamka : terdiri dari 2 sub bab, yaitu: Pertama, analisis homonimi mutlak, yang
terdapat 2 bagian, yaitu: kelas nomina dan kelas partikel. Kedua, analisis
Kedua, Saran.
10
BAB II
KERANGKA TEORI
bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain.14 Secara etimologis kata ” ”ﺘﺭﺠﻤﺔatau
termasuk menerjemahkan al-Qur’an. Dalam hubungan ini, Ibnu Katsir dan al-
Baghawi menyatakan: kata terjemah itu dalam tuturan bahasa Arab digunakan
secara mutlak dengan arti menjelaskan, baik itu masih dalam satu bahasa
14
Tim PrimaPena, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Terbaru), (Jakarta: Gita Media
Press), h. 754
15
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (1): bersumber dari kitab at-tafsiru
wal mufassirûn karya Dr.Moch.Husein az-Zahabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000) h. 129.
16
M. Ali Hasan & Rif’at Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang,
1988), h. 170.
11
2. Macam-Macam Terjemah Al-Qur’an
semakin kompleks dari masa ke masa. 17 Untuk itu Penulis akan menjelaskan
“dengan menyebut nama Allah” yang secara harfiyah adalah dua kata
edisi.
17
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (1), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000) h.
132
12
b. Terjemahan tafsiriyah (ma’nawiyah) yaitu menerjemahkan dari ayat-ayat
kata-kata dan susunan kalimat dalam bahasa dalam bahasa asli. Model
masyarakat.18
bahasa asing selain bahasa Arab, dan terjemahan tersebut dicetak dengan
tujuan agar dapat dikaji oleh mereka yang tidak menguasai bahasa Arab
sehingga dapat dimengerti maksud dari firman Allah tersebut dengan bantuan
terjemahan.
18
M. Ali Hasan & Rif’at Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang,
1988), h. 181
13
• Berpegang teguh pada prinsip-prinsip penafsiran al-Qur’an dan
nahwu.
• Ilmu Ma’ani, Bayan dan Badi’: dari ketiga ilmu ini seorang
Qur’an.
• Ilmu Kalam
• Ilmu Qira’at.19
19
T. M. Hasbi ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir, (Jakarta: Bulan
Bintang 1980), h. 207
14
Pada saat melakukan kerja penerjemahan al-Qur’an, seseorang harus
15
• Menjadikan tafsir sebagai rujukan dalam penerjemahan.
Selain strategi di atas, ada teknik umum yang harus pula diketahui
20
www.kampusislam.com, ditulis oleh: Moch. Syarif Hidyatullah. Diakses pada tanggal 19
februari 2010
16
B. Homonimi
1. Pengertian Hominimi
‘nama’ dan homo yang artinya ‘sama’. Secara harfiah homonimi dapat
diartikan sebagai “nama sama untuk benda atau hal lain’. Secara semantik,
verhaar memberi definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau
kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase
Umpamanya kata pacar yang berarti ‘inai’ dengan pacar yang berarti
‘kekasih’, antara kata bisa yang berarti ’racun ular’ dan kata bisa yang berarti
’sanggup, dapat’. Contoh lain, antara kata baku yang berarti ’standar’ dengan
baku yang berarti ’saling’, atau antara kata Bandar yang berarti ’pelabuhan’
dengan Bandar yang berarti ’parit’ dan Bandar yang berarti ’pemegang uang
dalam perjudian’.
Hubungan antara kata pacar dengan arti ’inai’ dan kata pacar dengan
arti ’kekasih’ inilah yang disebut Homonim. Jadi kata pacar yang pertama
berhomonim dengan kata pacar yang kedua. Begitu juga sebaliknya karena
hubungan homonimi ini bersifat dua arah. Dalam kasus Bandar yang menjadi
contoh di atas, homonimi ini terjadi pada tiga buah kata. Dalam bahasa
Indonesia banyak juga homonimi yang terdiri dari tiga buah kata.
21
Verhaar, J. W. M, Asas-Asas Linguistik Umum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1996), h. 124
17
Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah.
Artinya, kalau kata bisa yang berarti ’racun ular’ homonim dengan kata bisa
yang berarti ’sanggup’, maka kata bisa yang berarti ’sanggup’ juga homonim
dengan kata bisa yang berarti ’racun ular’. Kalau ditanyakan, bagaimana bisa
terjadinya homonimi.
yang berlainan. Misalnya kata bisa yang berarti ’racun ular’ berasal dari
bahasa melayu, sedangkan bisa yang berarti ’sanggup’ berasal dari bahasa
jawa. Contoh lain kata bang yang berarti ’adzan’ berasal dari bahasa jawa,
sedangkan kata bang (kependekan dari abang) yang berarti ’kakak laki-laki
berasal’ dari bahasa melayu/dialek Jakarta. Kata asal yang berarti ’pangkal
permulaan’ berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata asal yang berarti
’petugas agraria itu mengukur luasnya kebun kami’. Jelas, kata mengukur
yang pertama terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata
terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me +
ukur = mengukur).
18
Sama halnya dengan sinonimi dan antonimi, homonimi ini pun dapat
terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
dengan morfem terikat lainnya. Misalnya, antara morfem -nya pada kalimat:
ini buku saya, itu bukumu, dan yang di sana bukunya’ berhomonimi dengan –
nya pada kalimat “mau belajar tetapi bukunya belum ada.” Morfem –nya
adalah kata ganti orang ketiga, sedangkan morfem –nya yang kedua
Homonimi antar kata, misalnya antara kata bisa yang berarti ’racun
ular’ dan kata bisa yang berarti ’sanggup atau dapat’ seperti sudah disebutkan
di muka.
Homonimi antar frase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti
’perasaan cinta dari seorang anak kepada ibunya’ dan frase cinta anak yang
berarti ’cinta kepada anak dari seornag ibu’. Contoh lain, orang tua yang
berarti ’ayah ibu’ dan frase orang tua yang berarti ’orang yang sudah tua’.
Juga antara frase lukisan yusuf yang berarti ’lukisan milik yusuf’ dan lukisan
yusuf yang berarti ’lukisan hasil karya yusuf’, serta lukisan yusuf yang berarti
Homonimi antar kalimat, misalnya antara istri lurah yang baru itu
cantik yang berarti lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik,
19
dan kalimat istri lurah yang baru itu cantik yang berarti lurah itu baru menikah
2. Konsep Homonimi
pertalian dari dua atau lebih leksem-leksem yang berbeda, dan kebetulan
dalam dua kelas besar, yakni: Homonimi mutlak (absolute homonymy), dan
leksem yang homonim dapat teridentifikasi; (iii) bentuk leksem yang identik
keuangan’ dan bank2 ’tepi sungai’, bisa1 ’racun ular’ dan bisa2 ’dapat
melakukan’.
kelas kata (kategori primer) yang berlaku dalam tradisi linguistik arab, yakni
(1) nomina (al-ism), (2) verba (al-fi’il), dan (3) partikel (al-harf). Kelas
22
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta,1994) h. 93-96
20
nomina (al-ism) mencakup subkelas: adjektiva (al-sifat), partisip aktif (isim
fâil), partisip pasif (isim maf’ul), infinitif (masdar), dan pronomina persona.
Kelas verba (al-fi’il) mencakup verba perfektif (fi’il mâdi), verba imperfektif
(fi’il mudâri), dan verba imperatif (fi’il amr). Kelas partikel (al-haf)
Homonimi sebagian apabila ditemukan identitas (i), atau (i) dan (ii)
memiliki bentuk found; dan found sebagai bentuk dari find ’menemukan’
secara gramatikal tidak equivalen dengan bentuk found sebagai bentuk dari
leksem homonimis itu tidak berasal dari lingkungan gramatikal yang sama,
seperti adjektifa last1 dalam last week ’minggu yang lalu’ dan verba last2
mutlak apabila memenuhi syarat dan bentuknya sama, baik dalam medium
dalam konteks tertentu, sehingga dapat dijelaskan dengan tata bahasa yang
23
Afdol Tarhik Wastono, Kajian Semantis Makna Homonimi Bahasa Arab (Jakarta: FIB-UI,
2000)
21
menurunkannya. Apabila homonimi sebagian mengakibatkan ketaksaan dalam
polisemi dalam bahasa Indonesia, yaitu kata atau frasa yang memiliki makna
dibagi menjadi dua bagian yaitu polisemi dan homonimi, sedangkan di dalam
hadist nabi dan di dalam bahasa Arab. Menurut salah satu ahli bahasa,
musytarak Lafzi adalah satu kata yang mempunyai makna lebih dari satu,
sinonim. Homonimi adalah setiap kata yang memiliki beberapa makna, baik
makna yang sebenarnya atau makna kiasan. Para ahli bahasa berbeda
pendapat tentang definisi musytarak Lafzi tersebut, ada yang menolaknya dan
24
Ahmad Mukhtar ‘Umar, Ilmu Dilalah (Kuwait: Jamiaatul Kuwait, 1982), Cet.1, h.147
22
a. Perbedaan dialek-dialek Arab klasik, maka adanya homonim
suku.
b. Bergesernya beberapa kata dari makna yang asli pada makna kiasan,
c. Adanya dua kata yang hampir sama, sighatnya juga sama. Dari situ
banyak sekali dapat ditemukan. Berikut contoh homonim dalam bahasa Arab:
memikat; (4) menembak; (5) memukul; (6) menyengat; (7) cenderung; (8)
b. Kata tawallâ ( ) mempunyai artî (1) berkuasa; (2) menaruh perhatian;
c. Kata rusyd (
) رmempunyai artî (1) dewasa; (2) sadar; (3) petunjuk; (4)
rasio. Semua kata rusyd yang mempunyai sedikitnya 4 arti ini semuanya
23
d. Kata qabadha (
) mempunyai artî (1) menekan; (2) mengembalikan;
(7) bersegera. Semua kata qabadha yang mempunyai sedikitnya 7 arti ini
f. Sirat n Mata jala (jarring, rajut), Sirat n Celah, sela (antara gigi dan
kata fonologis yang sama namun maknanya tidak berhubungan. Definisi ini
25
http//google.com diakses selasa, 15 juni 2010
24
Bisa (dapat) dengan kata Bisa (racun ular)
Istilah nafs yang dimaksud di sini adalah istilah bahasa Arab yang dipakai
dalam al-Qur’an. Secara bahasa dalam kamus al-Munjid, nafs (jamaknya nufus
dan anfus) berarti ruh (roh) dan ‘ain (diri sendiri).26 Sedangkan dalam kamus al-
Munawir disebutkan bahwa kata nafs (jamaknya anfus dan nufus) itu berarti roh
dan jiwa, juga berarti al-jasad (badan, tubuh), as-syakhs (orang), as-syahks al-
insan (diri orang), al-dzat atau al’ain (diri sendiri).27 Sedangkan menurut Dawan
yang jamaknya anfus dan nufus diartikan jiwa (soul), pribadi (person), diri (self
atau selves), hidup (life), hati (heart), atau pikiran (mind), disamping juga dipakai
Allah 29 yang termasuk makhluk hidup, dan karena itu nafs juga dimatikan
(QS:21;35), ciri khusus nafs adalah bernafas, sebagai tanda dari kehidupan dan
keberadaannya menyatu dengan unsur fisika kimiawi, dan dari unsur tanah dan air
26
Lewis Makluf, al-Munjid fi al-Lughah wa A’lam, (Beirut: Daar al-Masyriq, 1986), h.826.
27
Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Progressif, 1984), h.1545.
28
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), h.250.
29
Sebab ada kata nafs dalam al-Qur’an yang digunakan juga untuk menunjuk kepada diri
Tuhan, yaitu dalam surat al-An’am (6) ayat 12.
25
(QS:6;2). Nafs sebagai makhluk Allah diciptakan atau berasal dari nafs wahidah
dengan Nabi Adam. Menurut Ibnu Katsir, bahwa semua manusia itu berasal dari
Adam dan Allah menjadikan istri Adam yaitu Hawa’ darinya, kemudian Allah
sebanyak penduduk dunia sekarang ini dan seterusnya sehingga hari kiamat nanti.
Ayat pertama turun yang mengandung kata nafs dalam bentuk jama’nya
nufus terdapat pada surat al-Muzammil (73) ayat 20 surat paling awal ke tiga
yang efeknya hanyalah kepada diri manusia sendiri (anfus), bahwa apapun yang
dikerjakan oleh nafs di dunia ini berupa perbuatan baik dan buruk akan ditemui
balasannya di hari kiamat 30. Ayat kedua yang turun bersama dengan kata nafs
terdapat pada surat al-Mudatsir (74) ayat 38, yang menjelaskan bahwa setiap jiwa
itu tergadai dengan amalnya di sisi Allah dari terikat denganNya, maka jiwa itulah
sebagai jaminan (rahinah) baik jiwa itu kafir maupun mukmin, durhaka atau taat31.
Nafs di sini diartikan sebagai jiwa yang memiliki jaminan bahwa yang diusahakan
Dari kata nafs dalam al-Qur’an, timbul kata nafsu yang dalam kata bahasa
Indonesia telah berubah sama sekali artinya yang artinya syahwat, bersifat
pejoratif, berkonotasi seksual. Pada hal kata nafs yang bermakna nafsu sendiri itu
30
Al-Maraghi Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Juz VIII, (Cairo: Musthafa al-Babi al-
Halabi, 1974), h.267.
31
Lihat al-Maraghi, Juz VIII, h.269.
26
sendiri bersifat netral, bisa baik dan buruk 32. Dalam kehidupan sehari-hari kita
mengenal kata nafsu yang dipahami sebagai daya yang terdapat dalam diri setiap
seseorang terdorong dengan dukungan emosi atau perasaan yang kental, untuk
bertindak dan memuaskan batinya. Nafsu ini disebut juga nafsu syahwat(libido).
Tetapi bernafsu tidak hanya identik dengan seks, bernafsu bisa digunakan untuk
manusia ibarat pisau bermata dua, emosi dapat membawa bencana, tetapi juga
nafsu yaitu kata nafs itu sendiri dan hawa berarti hasrat (desire), hawa nafsu (lust).
Kata hawa atau ahwa disebut 17 kali dalam al-Qur’an. Secara etimologis, kata
hawa bermakna kosong, jauh, sedangkan dari sudut leksiologis kata tersebut
32
Hal ini sangat dipengaruhi oleh teorinya Sigmund Freud, yang mengatakan bahwa nafsu
(libido) adalah energi psikis yang mengendalikan manusia.
33
Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradapan Membangun Makna Relevansi Doktrin Islam
dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), 180.
27
syahwat disebut al-hawa, karena ia menjatuhkan seseorang akan kehidupan dunia
Dalam al-Qur’an dibedakan antara ruh dan nafs, pada kedua kata itu
bukanlah sinonim. Kata ruh disebutkan sebanyak 21 kali, antara lain menunjuk
arti pembawa wahyu (QS:26;192-195), dan ruh yang membuat hidup manusia
dzat secara umum terdiri dari dua unsur material dan immatrial, yang akan mati
dan terbunuh (QS: 32;9). Dengan kemutlakan seperti ini, maka kata nafs bukanlah
dalam filsafat dan tasawuf Islam telah menjadi konsep tentang jiwa dengan
pengertian bahwa ia adalah substansi yang terpisah dari jasmani. Jiwa yang
dikatakan juga sebagai diri atau batin manusia memang dinyatakan oleh al-
Qur’an dengan realitas pada manusia, tetapi ia tidak terpisah secara eklusif dari
raga. Dengan kata lain, menurut Fazlur Rahman, al-Qur’an tidak mendukung
doktrin dualisme yang radikal antara jiwa dan raga. Menurut penafsirannya nafs
perasaan, atau aku. Adapun predikat yang beberapa kali disebut dalam al-Qur’an
watak, dan kecenderungan-kecenderungan yang ada pada pribadi manusia. Hal ini
34
Abdul Muin Salim, Konsepsi Politik dalam al-Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1994), h.117.
28
seharusnya dipahami sebagai aspek mental, sebagai lawan dari aspek phisik,
Sedangkan diskursus menganai jiwa oleh para pemikir muslim seperti al-
Ghazali yang mengkaji konsep nafs secara mendalam. Menurut al-Ghazali nafsitu
mempunyai dua arti, arti nafs yang pertama adalah nafsu-nafsu rendah yang
kaitannya dengan raga dan kejiwaan, seperti dorongan agresif (al-ghadlab), dan
manusia.Adapun nafs yang kedua adalah nafs muthmainah yang lembut, halus,
suci dan tenang yang diundang oleh Tuhan sendiri dengan lembutnya untuk
35
Fazlur Rahman, dalam M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia... h.260.
36
Hanna Djumhana Bastaman, Integritas Psikologi dengan Islam: menuju Psikologi Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h.78.
29
BAB III
BIOGRAFI HAMKA
sebuah desa tanah Sirah, di tepi danau Maninjau Sumatra Barat. Ayahnya
bernama Syekh Haji Abdul Karim Amrullah yang terkenal dengan sebutan Haji
Rasul. Dia adalah adalah seorang tokoh pelopor gerakan pemuda Minangkabau. 37
Berbicara tentang Hamka, maka tidak lepas pembicaraan kita tentang latar
belakang dimana tokoh tersebut dilahirkan, baik dari kondisi sosial masyarakat
seorang yang pandai dan terkenal tidaklah mengherankan, seperti kata pepatah
“buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Seperti itulah kiranya Hamka dikenal,
Hamka dilahirkan dari keluarga yang memiliki pengetahuan keagamaan yang kuat
masyarakat yang dihormati, begitu juga ayahnya yang juga seorang ulama dan
37
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtar baru Van Hoeve,
1993), h.75
30
tokoh masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pemikiran yang luas. Ini dapat
Pada akhir abad ke-19 dan pertengahan abad ke-20 Haji Abdul Karim
Amrullah (ayah Hamka) dan ketiga tokoh lainnya yaitu Syekh Taher Jalaluddin,
sebuah gerakan kebangkitan yang dikenal dengan sebutan kaum muda. Gerakan
ini ditandai dengan munculnya berbagai publikasi, sekolah serta organisasi yang
bahwa pendirinya adalah kaum muda. Usia para pendiri ini belum sampai pada
usia 40 tahun. Ayah Hamka sendiri, Tuan Rasul, usianya waktu itu kira-kira baru
kebanyakan mereka berusia 40-50 tahun dan relatif dibilang para golongan tua.40
kali singgah ke tanah Minang, akan tetapi pemikiran beliau sangat berpengaruh
muda tersebut. Ketiga tokoh kaum muda tersebut adalah teman sekaligus murid
dari syekh Taher Jalaluddin. Pengaruh tersebut disalurkan melalui majalah al-
Imam dan sekolah-sekolah yang didirikan oleh Syekh Taher bersama Raja Ali di
Singapura pada tahun 1908 yang diberi nama Al-Iqbal Al-Islami. Majalah Al-
38
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtar baru Van Hoeve,
1993), h.78
39
M. Yunan Yusuf, Corak penafsiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Perpustakaan IAIN,
1982), h.32
40
Hamka, Ayahku, (Jakarta: Umminda, 1982), Cet. Ke-4, h.79
31
Imam berisi tentang artikel-artikel tentang masalah keagamaan dan laporan
peristiwa yang terjadi pada dunia islam. Melalui majalah inilah pemikiran-
pemikiran Muhammad Abduh disebar luaskan, yang dikutib dari majalah al-
Manar. Dengan semangat yang diberikan oleh Syekh Taher melalui majalah al-
Imam dan dasar intelekstual yang sudah bersentuhan dengan pemikiran Saudi
kaum adat yang memegang teguh adat dan tradisi yang dipengaruhi kebiasaan
Belanda.41
Buku untuk memperkuat argumen Syekh Ahmad Khatib dalam menjawab Syekh
Sa’ad Munka, tokoh kaum tua. Setelah beberapa tahun majalah al-Imam tidak
terbit, Haji Abdullah Ahmad menerbitkan majalah baru yang diberi nama al-
Munir, yang memuat berbagai artikel tentang agama, biografi nabi, peristiwa-
peristiwa luar negeri, serta mengambil berbagai artikel dari al-Manar. Tujuan
mempunyai pengetahuan yang luas dalam masalah islam dan juga pengetahuan
yang memadai.42
dari kaum tua. Mereka dituduh keluar dari Majhab Ahli Sunnah, dan mereka juga
41
Hamka, Ayahku, (Jakarta: Umminda, 1982), Cet. Ke-4, h.105
42
Hamka, Ayahku, (Jakarta: Umminda, 1982), Cet. Ke-4, h.106
32
dituduh menganut paham Mu’tazilah, Wahabi dan Khawarij, bahkan dikatakan
telah zindiq, sesat dan menyesatkan. Minangkabau saat itu terbagi atas dua bagian,
kaum muda yang dipimpi oleh Syekh Abdul Kasim Amrullah dan kawan-
kawannya sementara kaum tua yang dipimpin oleh Syekh Sa’ad Munka.
dari salah satu dari ketiga tokoh pemuda tersebut. Yaitu Syekh Rasul (Syekh
Abdul Kasim Amrullah), yang berharap agar anaknya kelak mengikuti jejak
ayahnya sebagai tokoh yang revolusioner dalam merubah kebekuan tradisi yang
Hamka atau pada waktu kecilnya dengan sebutan Abdul Malik memulai
adalah ayahnya sendiri. Baru pada usia tujuh tahun, Hamka disekolahkan di
sekolah yang ada di desa dimana Hamka tinggal. Mereka pindah dari Maninjau ke
43
Hamka, Ayahku, (Jakarta: Umminda, 1982), Cet. Ke-4, h.107
44
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.48
33
sekolah tersebut. Sore hari aktifitas Hamka di sekolah, sementara malam harinya
demikian membuat Hamka merasa jenuh, ditambah lagi sikap ayahnya yang keras
tanah jawa, suarau jembatan besi, tempat Syekh Abdul Karim Amrullah
menjadi sebuah madrasah yang dikenal dengan nama Thawalib School. Dengan
harapan dari sekolah ini agar anaknya kelak menjadi ulama’ seperti dia juga.
School tersebut.
kurikulum dan materi pelajaran lama, membuat Hamka cepat bosan. Keadaan
seperti itu membuat Hamka lebih senang berada di dalam perpustakaan untuk
45
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.49
46
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.50
47
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.50-51
34
Pada tahun 1924 Hamka merantau ke tanah jawa, Yogyakarta adalah
tempat pertama dia merantau. Di tempat ini, Hamka menemukan semangat baru
Hamka mengikuti kursus yang diadakan oleh Muhammadiyah dan Sarikat Islam. 48
tentang islam dan sosialisme. Disamping itu, ia juga sering bertukar pikiran
dengan tokoh penting lainnya, seperti Haji Fachruddin dan Samsul Rijal (tokoh
kebodohan dan kemiskinan serta kristenisasi yang dapat sokongan dari kolonial. 49
Minangkabau dalam usia tujuh belas tahun. Hamka telah tumbuh menjadi
48
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.52
49
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.52-54
35
membuka kursus pidato bagi teman-teman sebayanya di suarau jembatan besi.
yang tertanam sejak tinggal di tanah jawa, tidak membuat Hamka tinggal diam di
tanah suci. Menjelang ibadah Haji berlangsung, Hamka bersama beberapa jamaah
haji lainnya mendirikan organisasi persatuan Hindia Timur yang bertujuan untuk
memberikan pelajaran agama, terutama manasik haji kepada calon jamaah haji
asal Indonesia.
dalam jiwanya, karena itulah beberapa waktu setelah itu ia aktif sebagai pengurus
Pengukuhan diri sebagai seorang tokoh dan pengajar islam telah ia guratkan
50
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), jilid. 1, h.63.
51
M. Yunan Yusuf, Op. Cit, h.63
52
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.64
36
1933, ia menghadiri muktamar Muhammadiyah semarang, dan setahun kemudian
Padang Panjang. Kemudian pada tahun 1936 di kota Medan, Hamka bersama
Ketika Jepang mendarat di kota Medan pada tahun 1924, segala bentuk
dengan keadaan ini, namun Hamka ditempatkan sebagai ”anak emas” oleh
diangkat sebagai anggota Syusang Kai, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat pada
tahun 1944.54
konferensi yang berlangsung di Padang Panjang. Dan pada tahun 1947, Hamka
dipercaya untuk menjadi ketua dari sekretaris FPN (Front Pertahanan Nasional),
Belanda yang pertama. Dan dalam waktu yang sama, Hamka menerbitkan
53
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.65
54
Fachri Ali, Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia: Catatan Pendahuluan dan Riwayat
Perjuangannya Dalam Kenang-kenangan 70 Tahun Hamka, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983), h.475
37
Hamka hijrah ke Jakarta pada tanggal 18 Desember 1949. Jakarta ternyata
Pemandangan. Dimasa ini juga Hamka terjun dalam politik praktis yaitu menjadi
Partai Komunis Indonesia ( PKI ), Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan
55
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Op. Cit, h.292
56
Ceramah tersebut kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul Pengaruh
Muhammad Abduh di Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1961)
38
semboyan belaka dan diganti dengan Nasakom (Nasional Agama Komunis).
Kemudian Partai Masyumi pun dibubarkan oleh Soekarno, namun Hamka sebagai
tokoh masyarakat dan ulama tidak luput dari hasutan, yaitu dituduh mengadakan
pembunuhan itu, Hamka dijebloskan ke dalam tahanan. Namun ketika Orde Baru
Hamka.57
memimpin majalah Panji Msyarakat dan menjadi imam besar masjid Al-azhar.
Islam di Rabat (1968), Muktamar Masjid di Mekah (1976), seminar tentang Islam
dan peradaban di Kuala Lumpur, Upacara Peringatan 100 tahun Muhammad Iqbal
pun tidak lagi banyak melakukan kegiatan ke luar negeri. Ia lebih banyak
57
Ibid, h.59
58
Ibid, h.60
39
mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Pengunduran diri ini disebabkan adanya
menghadiri perayaan Natal bersama umat Islam. Saat itu Hamka dengan kapasitas
perayaan Natal.
semua pihak untuk intropeksi diri, juga patanda bagi Hamka pamit untuk selama-
lamanya dari dunia ini, karena dua bulan setelah itu Hamka berpulang ke
Rahmatullah (meninggal dunia), yang bertepatan pada tanggal 24 Juli 1981 dalam
usia 73 tahun. 59 Hamka menutup mata dalam satu penyelesaian tugas, dengan
C. Karya-Karya Hamka
3. Merantau ke Deli
4. Tuan Direktur
5. Keadilan Illahi
59
Majalah Amanah, Seandainya Hamka masih ada, (Jakarta: 2000), h.45
60
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.65-68
40
6. Angkatan Baru
7. Terusir
10. Ayahku
2. Revolusi Pikiran
3. Negara Islam
4. Revolusi Agama
41
BAB IV
Terjemahan Hamka
dimiliki oleh bahasa Arab. Namun demikian, sampai saat ini belum ditemukan
konsep homonimi bahasa Arab yang sistematis dan teoritis, bahkan kamus-kamus
Arab mencampur adukan, dalam satu entri atau lema, antara homonimi, sinonimi
maupun polisemi. Dan kebanyakan dari orang Indonesia pun hanya mengetahui
terhadap kata nafs dalam al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan teori Lyon,
sebagian. Adapun pembagian makna yang terkandung dalam kata nafs berdasarkan
42
• Nafs sebagai sisi dalam manusia yang melahirkan tingkah laku.
A. Homonimi Mutlak
makna sesuatu yang ghaib (tak terlihat), sedangkan leksem ﺃَﻨﻔﺱ/anfus (2)/ ‘diri’
dan ﺃَﻨﻔﺱ/anfus (3)/ ‘diri’ (person sesuatu) secara relasional mengacu kepada
medan makna sesuatu yang tampak oleh mata (jasad). Dengan demikian relasi
komponen makna leksem ﺃَﻨﻔﺱ/anfus (1)/ ’ruh”, ﺃَﻨﻔﺱ/anfus (2)/ ‘diri’ dan ﺃَﻨﻔﺱ
/anfus (3)/ ‘diri’ (person sesuatu) berhubungan dan secara gramatikal equivalen
karena ketiganya berasal dari kategori yang sama yakni nomina (al-ism), Sebagai
kamu!”
43
ﻜﹸﻢﻔﹸﺴﺃﹶﻧﺎ ﻭﻨﻔﹸﺴﺃﹶﻧ ﻭﺎﺀَﻛﹸﻢﻧﹺﺴﺎ ﻭﺎﺀَﻧﻧﹺﺴ ﻭﺎﺀَﻛﹸﻢﻨﺃﹶﺑﺎ ﻭﺎﺀَﻧﻨ ﺃﹶﺑﻉﺪﺍ ﻧﺎﹶﻟﻮﻌﺗ
“Marilah kemari! Kita ajak anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami
menggunakan kata ”nyawa”, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata
nyawa berdefinisi pemberi hidup kepada badan wadak (organisme fisik) yang
dalam teks aslinya kata ﺍﻝﻤﻼﺌﻜﺔtergolong bentuk jamak yang berarti lebih dari
satu. Dan juga pada kata setelahnya ﺃَﻴﺩﻴﻬﻡditerjemahkan ‘tangan mereka’, padahal
pronomina ﻫﻡdi sini menyatakan kepada kata ﺍﻝﻤﻼﺌﻜﺔ, akan tetapi ﻫﻡdiartikan
bentuk tunggal dipadukan dengan tunggal dan bentuk jamak dengan jamak pula.
44
Pada masa awal turunnya al-Qur’an, kata nafs digunakan untuk
menyebut jiwa atau sisi dalam manusia, sementara ruh digunakan untuk
menyebut malaikat Jibril atau anugerah ketuhanan yang istimewa. Baru pada
nafs digunakan oleh literatur Arab untuk menyebut jiwa dan ruh secara silang,
dan keduanya digunakan untuk menyebut rohani, malaikat dan jin. Namun kata
ruh dalam pengertian ini berbeda dengan kata ( ﺭﻭﺡruh). Para sufi
lain, Rahmat Allah kepada kaum mukminin, dan Kitab suci al-Qur'an.61 Ruh dari
pengertian kata nafs disini didefinisikan sesuatu zat yang tuhan tiupkan kedalam
Tentang bagaimana hubungan ruh itu sendiri dengan nafs, para ulama
berbeda pendapat mengenai hal itu. Ibn Taimiyah berpendapat bahwa kata al-ruh
juga digunakan untuk pengertian jiwa (nafs). Tentang tempat ruh dan nafs di
dalam tubuh, Ibn Taimiyah menjelaskan: "Tidak ada tempat khusus ruh di dalam
dalam seluruh jasad. Sebab, kehidupan membutuhkan adanya ruh. Jika ruh ada di
dalam jasad, maka di dalamnya ada kehidupan (nyawa); tetapi jika ruh berpisah
61
Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur'an (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 128
62
M. Amin Damej, Majmu'ah al-Rasail al-Muniriyah, juz 2, 1970, 39-41 dimuat dalam
Dirasah...,h. 47-48.
45
Dalam hal ini, Hamka menerangkan makna ruh itu sendiri sama halnya
dengan penjelasan di atas bahwa ruh adalah zat yang tuhan hembuskan ke dalam
jasad manusia sehingga manusia tersebut mendapat kehidupan. Ruh salah satu
alat proses penciptaan manusia, awal mulanya diciptakan dari tanah dan setelah
menggunakan kata ‘diri’. Penulis melihat Makna ‘diri’ di sini menyatakan kepada
mempunyai banyak pengertian yang menyatakan diri, namun dua kata yang
penulis lihat dari kamus tersebut yang menyangkut ke dalam pembahasan ini,
yakni al-syakhs (orang) dan al-syakhs bima’na al-insân (diri orang). Pemaknaan
‘diri’ dalam ayat ini menyatakan sisi luar yang terdapat pada manusia.
bermakna person sesuatu dengan kata diri pula, namun sebagaimana penjelasan di
atas bahwa nafs di sini murni menyatakan kepada diri pribadi (person sesuatu).
Pemaknaan nafs di sini hampir sama dengan pemaknaan ﺃَﻨﻔﺱ/anfus (2)/ ‘diri’,
namun ﺃَﻨﻔﺱ/anfus (3)/ ‘diri’ (peson sesuatu) lebih menyatakan mendalam kepada
diri sendiri, dalam kamus al-Munawir pengertian yang menyatakan diri dalam
pembahasan ini, yakni al-dzat atau al’ain (diri sendiri). ﺃَﻨﻔﺱ/anfus (2)/ ‘diri’
terlihat seperti kata ganti atau pengganti kata ganti dari sesuatu, sedangkan ﺃَﻨﻔﺱ
63
Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 16, h.57
46
/anfus (3)/ ‘diri’ (person sesuatu) menyatakan murni kepada diri dan tidak adanya
Penulis melihat tidak ada perbedaan kata dan makna dalam penejemahannya.
Terjemahan ini bermakna “sisi manusia”. Secara gramatikal kedua kata tersebut
Dalam hal ini, Filusuf Belanda Dr. C.A. van Puersen dalam bukunya
Tubuh, Jiwa, Roh (1981) menyatakan bahwa pada umumnya orang dulu
menyangka bahwa jiwa ini adalah sejenis daya yang bertempat di dalam tubuh,
misalnya dalam darah atau semacam darah itu sendiri, sehingga bagi Bani Israil,
sebagaimana terdapat juga dalam ajaran islam, darah itu haram untuk diminum
atau dimakan. Padahal sebenarnya pengertian jiwa ini jauh melebihi daya
kehidupan organisme (seperti energi), karena jiwa adalah tempat tinggal bagi
kekosongan.
47
Sering terjadi perdebatan antara jiwa dan ruh. Pertanyan yang timbul
adalah apakah ruh itulah yang disebut jiwa dan sebaliknya? Agaknya, ruh
memang sama dengan jiwa. Bedanya, jiwa adalah ruh yang telah mempribadi,
setelah masuk ke dalam tubuh (yang akan menjadi) manusia. Karena ruh dan jiwa
itulah yang menjadikan segumpal daging itu menjadi manusia, maka timbul
pengertian: tidak ada ruh, tidak ada manusia. Itulah sebabnya, maka dalam al-
kehidupan manusia, seperti pengertian: tidak ada ruh, tidak ada manusia. Namun
disisi lain, Hamka menyatakan untuk dihidupkan ruh itu harus memiliki wadah
melihat, mendengar, berbicara, dll. Dengan melihat penjelasan diatas, maka dapat
jiwa.64
64
Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 16, h.59
48
menyebutkan diri tuhan. Leksem ‘ ﻨﻔﺴﻪdiriNya’ tergolong homonimi mutlak, dan
menerjemahkannya dengan kata ‘diri’. Tetapi bukan berarti ‘diri’ yang dimaksud
sama dengan diri yang terdapat pada manusia. Dalam tasawuf, nafs di sini disebut
nafs ilahiyyah, yaitu jiwa ilahi: diarahkan bahwa Allah bersama dengan segenap
dengan kata ‘jiwa’? Penulis melihat bahwa ayat ini diawali dengan ﻜﺘﺏ ﻋﻠﻰ,
secara gramatikal tergolong verba perfektif (fi’il mâdi), sehingga bermakna diri
tuhan terlihat seperti bekerja. Oleh karena itu, kata diri lebih tepat digunakan
daripada kata jiwa, dikarenakan kata diri menegaskan dari sisi luar sedangkan
jiwa lebih condong menyatakan sisi dalamnya. Misal, makna jiwa itu menyangkut
sifat-sifat tuhan sebagaimana yang disebut asmaul husna, dan makna diri di sini
menyatakan tuhan itu juga melakukan suatu hal. Jadi, penggunaan kata diri lebih
tepat.
49
ﻔﹸﺴِﻬﹺﻢﺎ ﺑﹺﺄﹶﻧﻭﺍ ﻣﺮﻴﻳﻐ ﻰﺘﻡﹴ ﺣﺎ ﺑﹺﻘﹶﻮ ﻣﺮﻴﻳﻐ ﻟﹶﺎﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
sendiri’, memang agak terlihat rancu dari penerjemahan Hamka tersebut, leksem
Bsu ke Bsa. Tidak adanya penggunaan kata lain dalam menerjemahkan kata
tersebut. Penulis melihat dalam ayat ini, kata ﻨﻔﺱlebih tepat diterjemahkan
dengan kata ‘diri’ dikarenakan dalam pemaknaan kata ﻨﻔﺱdi sini sebagai sesuatu
yang dapat melahirkan sesuatu. Oleh sebab itu, kata ‘diri’ lebih tepat digunakan
melakukan/melahirkan sesuatu.
dan secara relasional mengacu pada medan makna pronomina relatif karena
terdapat leksem ﻤﺎyang menunjukan ‘sesuatu’ atau ‘apa’ dan leksem ﺏmasuk
dalam golongan partikel preposisi (harf jarr), yang berfungsi sebagai penegas
dari leksem ﻨﻔﺱsehingga leksem ﻨﻔﺱberperan penting dalam kalimat ini, yang
sesuatu.
50
kaidah bahasa Arab, huruf pada kalimat ﻤﺎ ﺒﻘﻭﻡdan ﻤﺎ ﺒﺄﻨﻔﺴﻬﻡmengandung arti
berita ( ) ﻤﺎ ﺨﺒﺭﻴﺔ. Jadi, ﻤﺎ ﺒﺄﻨﻔﺴﻬﻡartinya apa yang ada pada nafs atau sisi dalam
mereka. Kandungan huruf dilihat pada konteks ayat tersebut berhubungan dari
B. Homonimi Sebagian.
Pada proses ini, derivasi nomina menghasilkan leksem-leksem baru yang secara
historis tidak diramalkan atau berbeda secara semantis. Seperti pada contoh
berikut ini:
- ( ﻨﻔﺱi) ‘ ﻨﻔﺴﺎseseorang’
65
Jamridafrizal, tesis Nafs (jiwa) menurut konsep al-Qur’an, h. 9
51
Leksem ( ﻨﻔﺱi) secara derivatif menghasilkan leksem infinitif ﻨﻔﺴﺎ
leksem ( ﻨﻔﺱii) ‘orang lain’ bukan tergolong homonimi sebagian karena tidak
mengalami derivasi.
‘orang lain’, terlihat dalam tulisan seperti dua kata yang memiliki makna yang
objek tunggal yaitu satu orang, dan keduanya menyatakan orang lain (bukan diri
sendiri). Pemaknaan totalitas manusia dalam ayat ini didasari pada kata ﻗﺘل
gramatikal kata ﻗﺘلtergolong dalam verba perfektif (fi’il mâdi), sedangkan ﻨﻔﺱdi
manusia sebagai totalitas, baik manusia sebagai makhluk yang hidup di dunia
maupun manusia yang hidup di alam akhirat. Misalnya menggunakan nafs untuk
menyebut totalitas manusia di dunia, yakni manusia hidup yang bisa membunuh,
dibunuh, merusak, dan lain-lainnya. Hal inilah yang dimaksud dengan totalitas
manusia.66
66
Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 14, h.105
52
Manusia bukan boneka yang digerakkan dari luar dirinya, tetapi di
itulah yang dalam ilmu jiwa (psikologi) disebut sebagai motif. Menurut istilah
suatu aktivitas yang sedang berkembang, dan suatu kebutuhan. Dalam bahasa
Arab, faktor-faktor penggerak tingkah laku itu disebut ﺍﻝﺩﻭﺍﻓﻊ ﺍﻝﻨﻔﺴﻴﺔyang artinya
ﺑﹺّﻲ ﺭﻢﺣﺎ ﺭّﻮﺀِ ﺇﹺﻻ ﻣﺓﹲ ﺑﹺﺎﻟﺴّﺎﺭ ﻷﻣّﻔﹾﺲﻔﹾﺴِﻲ ﺇﹺﻥﹶّ ﺍﻟﻨ ﻧﺮﹺّﺉﺎ ﺃﹸﺑﻣﻭ
”dan tidaklah hendak aku membersihkan diriku, karena sesungguhnya nafsu itu
- ( ﻨﻔﺴﻲi) ’diriku’
- ( ﺍﻝﻨﻔﺱii) ’nafsu’
tersebut telah mengalami proses derivasi. Leksem ( ﻨﻔﺴﻲi) ’diriku’ (partisif pasif)
dan secara derivatif berubah menjadi leksem partisif aktif, yakni ( ﺍﻝﻨﻔﺱii) ’nafsu’
53
berupa ( ﻨﻔﺴﻲi) ’diriku’ dan ( ﺍﻝﻨﻔﺱii) ’nafsu’ merupakan homonimi sebagian
Dari kata nafs dalam al-Qur’an, timbul kata nafsu yang dalam kata
bahasa Indonesia telah berubah sama sekali artinya yang artinya syahwat, bersifat
pejoratif, berkonotasi seksual. Pada hal kata nafs yang bermakna nafsu sendiri itu
sendiri bersifat netral, bisa baik dan buruk. Dalam kehidupan sehari-hari kita
mengenal kata nafsu yang dipahami sebagai daya yang terdapat dalam diri setiap
seseorang terdorong dengan dukungan emosi atau perasaan yang kental, untuk
manusia ibarat pisau bermata dua, emosi dapat membawa bencana, tetapi juga
manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih
kuat dari daya tarik kebaikan. Karena itu manusia dituntut agar memelihara
diartikan nafsu yaitu kata nafs itu sendiri dan hawa dan ahwa berarti hasrat
(desire), hawa nafsu (lust). Dari sudut leksiologis kata tersebut bermakna
54
kecenderungan atau kecintaan kepada yang jelek, kecenderungan hati kepada
dengan kata nafsu, tidak ada tambahan kata lain sepert hawa atau syahwat
(contoh: hawa nafsu, nafsu syahwat). Dikarenakan Hamka membedakan kata nafs
(yang berarti nafsu) dengan kata hawa atau ahwa (yang juga berarti nafsu). Nafs
(nafsu) bersifat netral, bisa baik atau buruk, sedangkan kata al-Hawa (nafsu) itu
selalu bermakna menyimpang dari kebenaran. Biasanya kata al-Hawa dalam al-
55
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
kesimpulan bahwa dalam kasus penerjemahan homonimi nafs dalam kajian al-
Qur’an, kita harus melihat konteks ayat itu sepenuhnya . Dari ayat tersebut atau
kata yang mengiringinya maka dapat disimpulkan makna dari kata tersebut
berhomonim. Karena sampai saat ini belum ditemukan konsep homonimi dalam
bahasa Arab yang sistematis dan teoritis, bahkan kamus-kamus arab mencampur-
adukan dalam satu entri atau lema, antara homonimi, polisemi, dan sinonimi.
belakang turunnya ayat, atau kronologis turunya sebuah ayat, dan pengetahuan
dalaman kandungannya.
bagian dari kajian tentang hakikat manusia itu sendiri. Dalam pengkajian nafs,
Hamka membagi tiga wadah yang terdapat di dalam nafs, yakni Qolb, Ruh,
dan ’Aql. Kehomonimian dari kata nafs tersebut memang maknanya beresensi
56
kepada manusia, baik dalam maupun luar. Dalam memahaminya dengan melihat
B. Saran
Melihat dari hasil kesimpulan di atas, agaknya akan menjadi tantangan besar
dengan menyelaraskan budaya bangsa kita yang majemuk dan problematika kekinian.
Hal ini diperlukan karena konteks budaya kita yang berbeda jauh dengan konteks
budaya Timur Tengah di mana al-Qur’an diturunkan dan dimensi waktu pada saat al-
semua tempat di seluruh dunia dan sepanjang zaman. Dengan demikian, hal-hal yang
bersifat teknis dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi zaman,
selama tak menyimpang dari garis norma dan kaidah ketatabahasaan yang berlaku.
57
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Fachri. Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia: Catatan Pendahuluan dan
Riwayat Perjuangannya Dalam Kenang-kenangan 70 Tahun Hamka.
Jakarta: Pustaka Panji Mas. 1983.
Chaer, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Cet ke-2. Jakarta: Rineka
Cipta. 2002.
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. Ke-3. Jakarta: Balai Pastaka. 1994.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtar baru Van
Hoeve. 1993.
‘Umar, Mukhtar Ahmad. Ilmu Dilalah, Cet.1. Kuwait: Jamiaatul Kuwait. 1982.
Wastono, Tarhik Afdol. Kajian Semantis Makna Homonimi Bahasa Arab. Jakarta:
FIB-UI. 2000.
http://www.scribd.com/doc/4634605, Pengertian-Semantik.