Kerjasama Antara:
Tim Peneliti:
Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA
Dr. Ir. Iwan Hilwan, MS
Dr. Ir. Nana Arif Jaya, MS
Dr. Ir. Arzyana Sunkar, MS
Dede Aulia Rahman, PhD
Ir. Idung Risdiyanto, M.Sc
1. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru berkapasitas 510
Mega Watt merupakan salah satu implementasi “Proyek Strategis Nasional 35000
MW” (sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik /RUPTL 2013) untuk
memenuhi kekurangan pasokan listrik yang selama ini dialami provinsi Sumatera Utara
khususnya saat terjadi puncak kebutuhan listrik. PLTA ini akan menerapkan teknologi
ramah lingkungan yang dikenal dengan sebutan “Run off River Hydropower” yang
dipersiapkan untuk menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar fosil, seperti
minyak bumi, gas alam, dan batubara. Secara sederhana, prinsip kerjanya adalah
memanfaatkan aliran air sungai tanpa perlu membangun bendungan dengan daerah
genangan luas.
2. Kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di lembah Sungai Batang Toru
ternyata juga telah menuai protes/tudingan negatif dari beberapa peneliti dan
Lembaga Swadaya Masyarakat. Para pegiat lingkungan tersebut menduga bahwa
proyek PLTA tersebut akan berdampak buruk bagi habitat orangutan tapanuli (Pongo
tapanuliensis), spesies kera besar paling langka di dunia yang hanya tersisa 800
individu saja. Hal lain yang dikhawatirkan adalah dampak kerusakan lingkungan oleh
proyek PLTA, yaitu hilangnya tutupan hutan yang akan dibuka untuk kegiatan dan
persiapan lahan yang diduga amat berpotensi menjadi penyebab bencana alam banjir,
yang seringkali terjadi pada saat Sungai Batang Toru meluap. Kekhawatiran lainnya
adalah bahwa pembangkit listrik yang berasal dari sumber tenaga air akan
mengeluarkan sekitar satu milyar ton gas rumah kaca, atau sebesar 1,3 persen total
emisi global tahunan. PLTA Batang Toru ini juga dituding akan menghilangkan mata
pencaharian 1.400 penduduk sekitarnya yang selama ini bergantung pada hutan dan
sungai.
4. Untuk mencapai tujuan dan kegunaan penelitian sebagaimana diuraikan diatas, metode
yang telah digunakan pada penelitian ini adalah : kajian pustaka (jurnal/publikasi,
i
makalah/prosiding seminar/workshop, buku statistik dll), pengamatan/pengukuran
lapangan yang melibatkan 65 orang (dengan bantuan 1 unit drone, 50 buah kamera
jebakan, 12 kamera, 12 binokuler, 12 termometer bola basah/kering, 13 GPS dll) dan
wawancara dengan para narasumber serta masyarakat sekitar lokasi kegiatan (90
responden dari 3 desa). Selain itu analisis overlay peta kegiatan dengan peta
penafsiran citra landsat (liputan tahun 2015-2018) juga telah dilakukan. Analisis data
yang bersifat time-series baik untuk data iklim-hidrologi maupun data
landcover/landuse change juga telah menjadi bagian penting pada metode penelitian
ini.
5. Hasil penafsiran citra landsat liputan tahun 2016-2018 dan groundcheck lapangan
terhadap beberapa lokasi kegiatan pembangunan PLTA serta analisis vegetasi
khususnya pada lokasi-lokasi yang patut diduga sebagai hutan primer (tebing kiri dan
kanan sungai Batang Toru) menunjukkan bahwa sebagian besar lahan yang akan
dijadikan tapak kegiatan pembangunan PLTA sudah bukan lagi berupa tutupan
hutan primer dengan fakta-fakta sbb : (a) struktur tegakan hutan di tebing kanan dan
tebing kiri Sungai Batang Toru didominasi permudaan terutama strata semai dan
pancang, pohon-pohon berdiameter besar sangat sedikit dengan komposisi jenis
tumbuhannya sebagian sudah diisi jenis-jenis pionir yang mengindikasikan hutan di
dalam areal proyek sudah mengalami gangguan (bukan hutan primer lagi) dan (b)
kandungan biomassa dan karbon tegakan sebanding dengan kandungan biomassa dan
karbon hutan sekunder di daerah Padang Lawas Utara, Sumatera Utara.
6. Berdasarkan hasil groundcheck terhadap peta sebaran sarang orangutan tahun 2015,
sebagian besar lokasi yang pernah dilaporkan sebagai titik temuan sarang tidak lagi
digunakan untuk aktifitas bersarang. Hanya ditemukan 10,34% sarang yang
diklasifikasikan sebagai sarang baru (atau kelas Sarang A) dan sebagian besar
didominasi oleh sarang lama (kelas sarang E = 51,72%). Sedangkan kelas sarang B, C
dan D masing2 sebesar 6,89; 13,79 dan 17,24%. Fakta menarik lainnya dari hasil
groundcheck tim kami adalah bahwa sebagian besar temuan sarang orangutan yang
dibuat tahun 2015 terletak pada lokasi-lokasi berupa tebing curam yang relatif “sulit
sekali” untuk dijangkau, terlebih jika menggunakan metode yang biasa/ umum
digunakan dalam survei “sarang orangutan”. Perlu diingat bahwa kekeliruan/kesalahan
penerapan metode ini di lapangan akan menyebabkan data hasil survei yang tidak akurat
dan tidak akan bisa dijadikan “rujukan” yang sahih secara ilmiah. Fakta ini juga
menunjukkan bahwa areal yang menjadi tapak kegiatan PLTA Batang Toru relatif tidak
sering digunakan oleh orangutan sehingga tidak termasuk kategori sebagai habitat
utama.
7. Hasil Analisa data kepadatan sarang, dengan memasukkan semua faktor koreksi
pendugaan populasi maka diperoleh nilai dugaan kepadatan populasi orangutan dilokasi
tapak PLTA Batang Toru sebesar 0,22 individu/km2 (95% CI: 0,17-0,27 ind/km2)
atau setara dengan 1 individu/500 ha. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian secara keseluruhan pada Kompleks Hutan Batang Toru (Wich et al., 2011),
dan cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai kepadatan orangutan di Dolok
ii
Sibual-buali, Ketambe dan Mamas TNGL (07-1,2 individu/km2). Rendahnya
kepadatan orangutan dimungkinan karena sebagian besar areal telah berubah menjadi
lahan perkebunan, terutama tanaman sawit dan karet, dan hal ini jauh sudah
berlangsung sebelum PLTA Batang Toru mulai beroperasi dan membangun segala
fasilitasnya.
8. Perjumpaan secara langsung dengan orangutan terjadi di daerah Marancar dan Sipirok,
masing-masing ditemukan 2 individu orangutan (1 jantan dewasa, 1 betina
dewasa; di daerah Marancar) dan 3 individu orangutan tapanuli (1 jantan
dewasa, 1 betina dewasa dengan 1 anak; di daerah Sipirok). Untuk survei melalui
kamera jebakan pada lokasi yang sama, tidak ditemukan individu orangutan yang
tertangkap kamera jebakan. Hasil temuan langsung ini nampaknya sama dengan hasil
temuan Kuswanda dan Noor CH pada tahun 2017. Hal ini dan butir (7) diatas dengan
jelas menunjukkan bahwa ukuran populasi orangutan di areal yang akan menjadi tapak
kegiatan PLTA Batang Toru sangat kecil.
10. Istilah bendungan raksasa dikemukakan oleh organisasi International River yang
berbasis di USA yaitu bendungan yang mempunyai ketinggian lebih dari 150 m.
Ukuran seperti volume daya tampung dan luas genangan juga merupakan parameter
untuk menilai bendungan raksasa (International River, 2018). Penelusuran literatur dan
data bendungan menurut ukuran (tinggi bendungan, volume dan luas genangan) pada
kajian ini menghasilkan 186 bendungan dengan ketinggian lebih dari 150 meter, 80
bendungan dengan luas genangan lebih dari 515 km2 dan 48 bendungan dengan volume
lebih dari 12.500 juta m3. Bendungan di Indonesia yang tertinggi adalah Cirata (125
meter) di Purwakarta-Jawa Barat yang membendung sungai Citarum. Bendungan
dengan genangan terluas adalah Riam Kanan (9.200 ha) di Banjarbaru-Kalimantan
Selatan. Bendungan dengan volume air terbesar adalah Bendungan Jatiluhur di
Purwakarta-Jawa Barat (KNIBB, 2017). Data ini menunjukkan bahwa bendungan
PLTA Batang Toru tidak termasuk kategori “bendungan raksasa” (tingginya hanya
72,5 meter dengan luas genangan 90 ha dan volume tampungan air adalah 3.89 juta m3).
11. Hasil perhitungan emisi netto GRK untuk bendungan PLTA Batang Toru dengan
menggunakan model G-Res pada skenario-1 adalah 349 ton CO2e/tahun, sedangkan
untuk skenario-2 adalah 267 ton CO2e/tahun. Hasil-hasil ini jika dibandingkan dengan
iii
emisi global maka nilainya sangat kecil, begitu juga dibandingkan dengan emisi
nasional Indonesia. Emisi GRK pada tingkat global adalah 49 Gt/tahun, sedangkan
emisi GRK Indonesia adalah 1.79 Gt/tahun (Indonesia Second National
Communication, 2010). Kontribusi emisi GRK PLTA Batang Toru terhadap emisi
global adalah 0.00071% (skenario-1) dan 0.00054% (skenario-2). Sedangkan
kontribusinya terhadap emisi GRK nasional adalah 0,019% (skenario-1) dan 0.015%
(skenario-2). Tudingan yang menyatakan bahwa PLTA Batang Toru akan
menghasilkan emisi CH4 lebih besar dari lahan pertanian adalah tidak benar.
12. Masyarakat yang menyatakan letak kebun/ladangnya berdekatan dengan sungai, adalah
mereka yang lokasi kebun/ladang berada dekat dengan anak dari Sungai Batang Toru
dan bukan pada badan utama Sungai Batang Toru. Lokasi pembangunan PLTA adalah
pada badan utama Sungai Batang Toru yang sebagian besar didominasi oleh lahan yang
curam dan sempit di kiri dan kanan badan sungai. Maka dapat dipastikan bahwa
lahan/ladang masyarakat tidak akan terkena dampak pembukaan lahan. Selain itu
mayoritas masyarakat di setiap desa (36.67% di Desa Aek Batang Paya, 60% di Desa
Marancar Gondang dan 50% di Desa Bantar Tarutung) menyatakan bahwa
pembangunan PLTA tidak merusak lingkungan dan mayoritas (53.33% di Desa Aek
Batang Paya, 96.67% di Desa Marancar Gondang dan 43.33% di Desa Bantar Tarutung)
mendukung pembangunan PLTA. Dengan demikian isu bahwa pembangunan PLTA
akan mengorbankan lahan sumber penghidupan masyarakat tidaklah benar.
13. Sebanyak 60% masyarakat Desa Aek Batang Paya menyatakan bahwa pembangunan
PLTA mengganggu pertanian sementara 30% menyatakan tidak mengganggu.
Sebanyak 66.67% masyarakatnya menyatakan pembangunan PLTA mengurangi
produktifitas pertanian, sementara 13.33% menyatakan tidak mengganggu. Pintu
masuk PLTA adalah di Desa Marancar Gondang sehingga desa ini yang akan paling
banyak mengalami pembersihan lahan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa
mayoritas masyarakat Desa Marancar Gondang (93.33%) dan mayoritas masyarakat
Desa Bantar Tarutung di hilir (70%) menyatakan pembangunan PLTA tidak
mengganggu pertanian, dan mayoritas masyarakat Desa Marancar Gondang (93.33%)
dan Desa Bantar Tarutung (63.33%) menyatakan pembangunan PLTA tidak
mengurangi produktifitas pertanian. Dapat disimpulkan bahwa isu pembangunan
PLTA akan mengorbankan lahan sumber penghidupan masyarakat tidaklah
benar.
14. Pembangunan PLTA Batang Toru sesuai dengan teknologi yang diterapkan tidak akan
memanfaatkan bendungan sehingga tidak akan membuka banyak lahan dan luas areal
yang akan digenangkan hanya 90 hektar dengan 24 hektar sudah terbentuk secara alami
(badan sungai). Data tersebut memverifikasi bahwa tudingan pembangunan PLTA
akan membangun bendungan raksasa dan menenggelamkan 9600 ha adalah tidak
benar.
15. Respon masyarakat di ketiga desa sangat positif bahwa pembangunan PLTA Batang
Toru tidak menyebabkan banjir (93.33% masyarakat Desa Aek Batang Paya, 100%
iv
masyarakat Desa Marancar Gondang dan 46.67% masyarakat Desa Bantar Tarutung),
sehingga tudingan bahwa pembangunan PLTA Batang Toru akan menyebabkan
lahan masyarakat kebanjiran tidak sesuai dengan pendapat masyarakat.
16. Demikian halnya dengan tudingan yang menyatakan bahwa pembangunan PLTA
Batang Toru menyebabkan lahan pertanian menjadi kering. Sebanyak 46.67%
masyarakat Desa Aek Batang Paya menyatakan bahwa pembangunan pertanian
menyebabkan lahan pertanian menjadi kering dan mengganggu pertanian masyarakat
(60%), namun 30% masyarakat menyatakan hal yang sebaliknya sementara di
mayoritas masyarakat dua desa lainnya menyatakan pembangunan PLTA tidak
menyebabkan kekeringan di lahan mereka (93.33% Desa Marancar Gondang dan 70%
Desa Bantar Tarutung). Mengingat pintu masuk PLTA adalah di Desa Marancar
Gondang dan letak Desa Aek Batang Paya adalah di wilayah atasnya sehingga dampak
akan lebih banyak mengarah ke hilir bukan ke hulu atas, maka tudingan bahwa
pembangunan PLTA akan menyebabkan lahan masyarakat menjadi kering
adalah juga tidak beralasan.
17. Masyarakat membutuhkan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan pertanian.
Terkait pernyataan bahwa pembangunan PLTA memenuhi kebutuhan air pertanian,
mayoritas respon adalah 56.67% masyarakat Desa Aek Batang Paya tidak setuju, 90%
masyarakat Desa Marancar Gondang setuju dan 63.33% masyarakat Desa Bantar
Tarutung setuju. Terkait kebutuhan air rumah tangga, mayoritas respon adalah 46.67%
masyarakat Desa Aek Batang Paya netral (walaupun respon terbanyak kedua adalah
setuju dengan total 40%), 67.67% masyarakat Desa Marancar Gondang setuju dan
100% masyarakat Desa Bantar Tarutung setuju bahwa pembangunan PLTA tidak
mengganggu kebutuhan air rumah tangga. Maka tudingan bahwa jika PLTA
dibangun maka kebutuhan air masyarakat sekitar akan terganggu, gugur.
18. Mayoritas respon di ketiga desa kajian (60% masyarakat Desa Aek Batang Paya, 80%
masyarakat Desa Marancar Gondang dan 50% masyarakat Desa Bantar Tarutung)
menyatakan pembangunan PLTA tidak mencemari sungai dan mayoritas respon
(53.33% masyarakat Desa Aek Batang Paya dan 96.67% masyarakat Desa Marancar
Gondang) menyatakan pembangunan PLTA membantu menjaga kualitas air sungai,
sementara mayoritas masyarakat Desa Bantar Tarutung (46.67%) menjawab tidak tahu
dan 33.33% setuju bahwa pembangunan PLTA membantu menjaga kualitas air sungai.
Secara keseluruhan, mayoritas respon di setiap desa (36.67% masyarakat Desa Aek
Batang Paya, 80% masyarakat Desa Marancar Gondang dan 50% masyarakat Desa
Bantar Tarutung) setuju bahwa pembangunan PLTA tidak merusak lingkungan.
19. Saat ini hanya sekitar 3.33% dari semua responden yang tidak menggunakan listrik,
(Desa Aek Batang Paya), sedangkan di dua desa lainnya 100% sudah menggunakan
listrik yang berasal dari PLN. Semua desa masih mengalami pemadaman listrik harian
maupun mingguan, dengan frekuensi terbanyak di Desa Marancar Gondang, dengan
73.33% responden mengalami pemadaman listrik harian, sedangkan di dua desa lainnya
semua mengalami pemadaman listrik mingguan. Pemadaman listrik mengindikasikan
v
bahwa daya listrik masih kurang dan mengingat bahwa masyarakat di sekitar lokasi
proyek adalah yang seharusnya mendapatkan dampak positif proyek, maka tudingan
bahwa Sumatera Utara mengalami surplus energi sehingga pembangunan PLTA
Batang Toru tidak diperlukan, tidak benar.
20. Sebagai kesimpulan dari penelitian ini bahwa protes/tudingan negatif beberapa
peneliti dan Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap PLTA Batang Toru itu tidak
benar sehingga diyakini bahwa para pegiat lingkungan tersebut telah mendapat data-
informasi yang keliru. Dengan demikian pembangunan PLTA Batang Toru dan
kelestarian Orangutan tapanuli beserta keanekaragaman hayati lainnya bukanlah suatu
pilihan yang hanya boleh dipilih salah satu melainkan satu paket program yang
saling berkaitan satu sama lain, saling melengkapi dan saling menunjang. Sebagai
salah satu proyek strategis nasional dalam rangka pemenuhan kebutuhan pasokan
listrik, menggunakan teknologi “ramah lingkungan” (“Run off River
Hydropower”) sehingga tidak memerlukan lahan luas untuk daerah genangannya,
terletak pada lahan “non-kawasan hutan”/areal penggunaan lain (APL) dengan tutupan
lahan sebagian besar didominasi oleh hutan sekunder dan kebun campuran harus tetap
dilanjutkan dan perlu didorong oleh seluruh pemangku kepentingan untuk
mempercepat penyelesaiannya. Adapun kelestarian ekosistem hutan beserta
kekayaan kehati didalamnya adalah suatu tuntutan “inherent” yang harus dilakukan
untuk menjaga kesinambungan PLTA Batang Toru itu sendiri.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas Kurnia dan Rahmat-Nya sehingga penelitian
lapangan dan penulisan laporan penelitian ini berlangsung sesuai rencana. Adanya
protes/tudingan dari beberapa peneliti dan Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap
pembangunan PLTA Batang Toru berupa kekhawatiran akan munculnya kerusakan
lingkungan (berupa kerusakan habitat orangutan, perubahan tutupan lahan/landcover,
bencana banjir, gempa bumi, emisi gas metan dan kehilangan mata pencaharian masyarakat
sekitar lokasi PLTA) telah mendorong dilaksanakannya penelitian ini.
Berkenaan dengan itu, tujuan-metodologi dan hasil kajian lebih difokuskan dalam
rangka klarifikasi ilmiah terhadap 5 kekuatiran para pegiat lingkungan, yakni: (1)
perusakkan hutan primer, (2) perusakkan habitat dan populasi orangutan tapanuli, (3) emisi
gas metan, (4) terjadinya banjir atau kekeringan dan (5) 1400 penduduk akan kehilangan
pekerjaan. Penelusuran pustaka, observasi/pengamatan lapangan, interpretasi citra landsat
dan wawancara dengan para narasumber serta responden telah dilakukan.
Untuk memudahkan memahami isi laporan ini, tulisan ini disusun dengan
sistematika sebagai berikut: latar belakang dan tujuan disajikan pada Bab I, menyusul
tentang deskripsi pembangunan PLTA Batang Toru pada Bab II. Bab III sampai dengan Bab
VII menyajikan jawaban atas tudingan/pertanyaan: Benarkah PLTA Batang Toru telah atau
akan : merusak hutan primer (Bab III); mengancam habitat dan populasi Orangutan Tapanuli
(Bab IV); menyebabkan banjir dan kekeringan (Bab V); menimbulkan emisi gas metan 1,3
giga ton/tahun (Bab VI) dan menghilangkan mata pencaharian 1.400 penduduk sekitarnya
(Bab VII). Adapun kesimpulan dan rekomendasi dapat dilihat pada Bab VIII.
Atas kepercayaan Pimpinan dan Staf PT. NSHE kepada kami untuk melaksanakan
penelitian ini disampaikan terima kasih, juga atas bantuan dan kerjasamanya selama
pelaksanaan pengambilan data di lapangan. Ucapan terima kasih kami sampaikan juga
kepada semua pihak yang telah berkontribusi baik saran maupun pendapat sehingga
tersusunnya Laporan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat.
vii
viii
DAFTAR ISI
ix
C. Hasil dan Pembahasan ..............................................................................................54
D. Kesimpulan...............................................................................................................58
BENARKAH PLTA BATANG TORU AKAN MENGHILANGKAN MATA
PENCAHARIAN MASYARAKAT SEKITAR ? ..............................................................61
A. Pendahuluan .............................................................................................................61
B. Metodologi ...............................................................................................................63
C. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................70
D. Kesimpulan...............................................................................................................89
BENARKAH PLTA BATANG TORU TELAH DAN AKAN MENURUNKAN
KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA DAN BURUNG ?.......................................91
A. Pendahuluan .............................................................................................................91
B. Metodologi ...............................................................................................................92
C. Hasil dan Pembahasan ..............................................................................................95
D. Kesimpulan.............................................................................................................102
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .........................................................................103
A. Kesimpulan.............................................................................................................103
B. Rekomendasi ..........................................................................................................104
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................105
LAMPIRAN ......................................................................................................................113
x
DAFTAR TABEL
xi
Tabel 34 Persepsi masyarakat terhadap keuntungan dan kerugian kehadiran PLTA Batang
Toru ......................................................................................................................88
Tabel 35 Aspirasi masyarakat terkait PLTA Batang Toru ..................................................89
Tabel 36 Jumlah jenis mamalia pada masing-masing lokasi beserta status
perlindungannya ...................................................................................................95
Tabel 37 Jumlah jenis burung pada masing-masing lokasi berikut status
perlindungannya ...................................................................................................99
Tabel 38 Nilai Indeks kesamaan komunitas antar lokasi ..................................................100
Tabel 39 Nilai Indeks kesamaan komunitas antar lokasi ..................................................101
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
Gambar 31 Dampak lingkungan pembangunan PLTA Batang Toru menurut persepsi
masyarakat Desa Aek Batang Paya .................................................................82
Gambar 32 Dampak lingkungan pembangunan PLTA Batang Toru menurut persepsi
masyarakat Desa Marancar Godang ................................................................82
Gambar 33 Dampak lingkungan pembangunan PLTA Batang Toru menurut persepsi
masyarakat Desa Bantar Tarutung ...................................................................83
Gambar 34 Papan pengumuman desa yang pernah dipasang informasi tentang orangutan
oleh dinas kehutanan ........................................................................................88
Gambar 35 Bentuk transek pengamatan mamalia dan burung ............................................92
Gambar 36 Peta tapak kerja dan lokasi pembagian area survei .........................................94
Gambar 37 Jumlah jenis mamalia dalam masing-masing family .......................................96
Gambar 38 Jenis mamalia Siamang yang ditemui pada saat pengamatan ..........................96
Gambar 39 Nilai keanekaragaman dan kemerataan jenis mamalia pada masing-masing
lokasi pengamatan............................................................................................97
Gambar 40 Jenis burung Rangkong badak (Buceros rhinoceros) yang ditemui pada salah
satu area sedang bertengger .............................................................................98
Gambar 41 Nilai keanekaragaman dan kemerataan jenis mamalia pada masing-masing
lokasi pengamatan............................................................................................98
Gambar 42 Nilai kesamaan komposisi jenis mamalia antara area tapak kegiatandan bukan
area tapak kegiatan.........................................................................................101
Gambar 43 Indeks kesamaan Komposisi jenis burung atar Area Kerja dan Bukan Area
Kerja...............................................................................................................102
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
xvi
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk memenuhi kekurangan pasokan kekurangan listrik yang selama ini dialami
provinsi Sumut khususnya saat terjadi puncak kebutuhan listrik, pemerintah melalui PJB
telah memutuskan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berkapasitas
510 Mega Watt di Sungai Batang Toru, Desa Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan,
Provinsi Sumatera Utara. Proyek yang memiliki catchment area seluas 2.405 hektare ini
berkontribusi sekitar 15 persen dari beban puncak Sumatera Utara. PJBI mendapatkan
penugasan dari PJB untuk menjadi project sponsor dan pemegang saham dalam
pengembangan IPP PLTA Batang Toru pada 5 Januari 2017. Target operasi (commercial
operation date/COD) PLTA Batang Toru pada 2022 sesuai Rencana Usaha Penyediaan
Tenaga Listrik (RUPTL) 2013. PLTA Batang Toru merupakan upaya PJB untuk
memaksimalkan potensi sumberdaya air dalam proses produksi listrik dalam negeri.
PLTA ini akan menerapkan teknologi ramah lingkungan yang dikenal dengan
sebutan “Run off River Hydropower”. Secara sederhana, prinsip kerjanya adalah
memanfaatkan aliran air sungai tanpa perlu membangun bendungan yang menimbulkan
daerah genangan luas. Penggunaan pipa pesat (penstock) menjadi bagian penting untuk
mengalirkan energi dalam air dengan memanfaatkan gravitasi dan mempertahankan tekanan
air jatuh sebelumnya dialirkan menuju turbin. Dengan teknologi yang terus berkembang saat
ini dimungkinkan untuk membangun PLTA dengan genangan pada kolam harian berukuran
kecil terdiri dari 24 hektar badan sungai yang sudah ada dan 66 hektar tambahan area yang
akan menggenangi daerah yang sangat curam dan tidak terdapat pemukiman penduduk.
PLTA ini merupakan bagian dari pembangkit listrik masa depan berwawasan
lingkungan yang dipersiapkan untuk menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar fosil,
1
seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara. Selain akan menyerap tidak kurang dari 1.000
orang pekerja pada tahap konstruksi, pada saat sudah beroperasi nanti PLTA Batang Toru
ini akan dapat mengurangi emisi karbon hingga 1,6 Megaton per tahun dari penggunaan
diesel. Ini berarti merupakan penghematan belanja negara sebesar USD 400 juta (setara
dengan Rp. 5,56 trilyun per tahun. Selain itu PLTA ini akan berkontribusi sekitar 15 persen
dari beban puncak Sumatera Utara dan menjadi pengganti sumber listrik yang berasal dari
diesel maupun gas.
Akan tetapi, kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di lembah Sungai
Batang Toru ternyata juga telah menuai protes/tudingan dari beberapa peneliti dan Lembaga
Swadaya Masyarakat. Para pegiat lingkungan menduga bahwa proyek PLTA tersebut akan
berdampak buruk bagi habitat orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies kera besar
paling langka di dunia yang hanya tersisa 800 individu saja. Lokasi PLTA ini
dikhawatirkan akan membelah dan memisahkan antara populasi orangutan di blok barat
dengan yang berada di Cagar Alam Dolok Sibual-buali. Fragmentasi habitat akibat proyek
PLTA pastinya akan berdampak signifikan pada kehidupan jangka panjang orangutan yang
telah berstatus terancam punah tersebut. Hal lain yang dikhawatirkan adalah dampak
kerusakan lingkungan oleh proyek PLTA, yaitu hilangnya tutupan hutan yang akan dibuka
untuk kegiatan dan persiapan lahan. Hutan berkisar ratusan hektar jika diubah menjadi
kegiatan proyek, dikhawatirkan akan memberikan dampak serius bagi ekosistem di hutan
maupun DAS Batang Toru. Satu yang perlu dicermati adalah kerusakan ekosistem amat
berpotensi menjadi penyebab bencana alam banjir, yang seringkali terjadi pada saat Sungai
Batang Toru meluap. Kekhawatiran lainya adalah terkait dengan lokasi pembangunan
PLTA yang berada pada lempengan gempa sesar Toru, yakni patahan lempengan yang
memiliki potensi gempa bumi.
Seperti disebut dalam publikasi BioScience, Volume 66, 1 November 2016, maka
dalam jangka waktu 100 tahun, pembangkit listrik yang berasal dari sumber tenaga air akan
menghasilkan lebih banyak metana dibandingkan yang dihasilkan oleh lahan pertanian.
Proyek bendungan juga akan mengeluarkan sekitar satu milyar ton gas rumah kaca, atau
sebesar 1,3 persen total emisi global tahunan. Untuk diketahui, kontribusi metana sendiri
terhadap pemanasan global sendiri tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan kontribusi
CO2.
Dampak ekonomi yang tidak bisa diabaikan dari adanya pembangunan PLTA
Simarboru adalah masyarakat yang tergantung pada kebun-hutan. Dana Prima Tarigan,
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumut menyebut bahwa ada sekitar 100
ribu jiwa yang menggantungkan hidupnya pada hutan di daerah Batang Toru. Jika PLTA
beroperasi, bukan hanya daerah pembangunan saja yang berdampak tetapi juga daerah di
hilir Sungai Batang Toru, yang diperkirakan ada sekitar 1.200 ha lahan pertanian produktif
milik petani dan warga yang juga bakal terancam akibat pembangunan proyek PLTA.
Belum, para nelayan sungai yang hidup tergantung pada aliran Sungai Batang Toru.
Sehubungan dengan kontroversi tersebut, PUSAT KAJIAN, ADVOKASI DAN
KONSERVASI ALAM (PUSAKA KALAM) memandang perlu untuk melakukan kajian
secara komprehensif (dengan melibatkan pakar-pakar dari berbagai disiplin keilmuan)
sehingga diperoleh data dan informasi ilmiah yang bersifat akurat dan valid tentang
2
“dampak pembangunan PLTA Batang Toru terhadap keanekaragaman jenis hayati,
emisi gas rumah kaca, neraca air dan sosial ekonomi masyarakat setempat”.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan akan dapat mengklarifikasi
kebenaran data/informasi yang telah diterima oleh beberapa peneliti dan Lembaga Swadaya
Masyarakat yang menyampaikan protes/tudingan negatif pembangunan PLTA Batang Toru.
3
4
DEKSRIPSI PLTA
BATANG TORU
A. Identitas Perusahaan
PT North Sumatera Hydro Energy (PT. NSHE) merupakan salah satu perusahaan
yang ikut berpartisipasi dalam mencari sumber listrik dari tenaga air di Sumatera Utara. PT
NSHE telah melakukan kajian potensi di Sungai Batang Toru yang merupakan salah satu
sungai terbesar di Tapanuli Selatan. Berikut adalah informasi mengenai PT NSHE (Tabel
1).
5
Lokasi rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Batang Toru
sebesar 510 MW terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan dengan wilayah administrasi
meliputi 3 kecamatan dan 17 desa sebagaimana dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 Nama nama desa yang menjadi lokasi pembangunan PLTA Batang Toru
No Kecamatan Desa
1 Sipirok Luat Lombang
Aek Batang Paya
Bulu Mario
Sitandang
2 Marancar Huraba
Gunung Binanga
Pasar Sempurna
Marancar Godang
Simaningir
Aek Naraba
Tanjung Dolok
Haunatas
Marancar Hulu
3 Batang Toru Sipenggeng
Hapesong Baru
Telo
Keluarahan Wek I
Sumber : Laporan RPL dan RKL PT NSHE Semester II
Tabel 3 Peraturan yang menjadi acuan dan dasar hukum dalam pembangunan PLTA
Batang Toru
No Jenis Peraturan/aspek legal Dasar Hukum
1 Peraturan perundangan – UU No. 30 Tahun 2009, Pasal 2 ayat 22 dan Pasal 4 ayat 2 tentang
undangan yang diacu dalam Ketenagalistrikan
penyusunan adendum Peraturan Menteri Negara Lingkungaan Hidup Republik Indonesia
ANDAL, RKL dan RPL No. 5 Tahun 2012 tentang jenis rencana usaha dan/atau kegiatan
pembangunan PLTA Batang yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup
Toru 510 MW Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Peraturan Pemerintah RI No. 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan.
Peraturan Presiden RI No. 4 Tahun 2016 tentang Percepatan
Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.
2 Kerjasama PT NSHE dengan Nomor kontrak: 017/DIR-/SPP/NSHE/VII/2017
PT Global Inter Sistem
3 Izin terkait Izin lokasi dari bupati Tapanuli Selatan nomor 503/1150/2012
tentang izin lokasi keperluan pembangunan pembangkit listrik
6
No Jenis Peraturan/aspek legal Dasar Hukum
tenaga air (PLTA) Batang Toru 1 kepada PT Anugrah Alam Lestari
Energi Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli selatan
Surat izin bupati Tapanuli Selatan nomor 671.21/2015/2012 tentang
perubahan surat izin bupati Tapanuli Selatan nomor
5003/8209/2011 tanggal 02 November 2011 tentang izin lokasi
keperluan pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Aek
Batang Toru III dan V kepada PT. North Sumatera Hydro Energy di
Kecamatan Marancar, Sipirok, Batang Toru, Kabupaten Tapanuli
Selatan, Sumatera Utara.
Surat Izin Bupati Tapanuli Selatan Nomor: 503/5284/2013 tanggal
23 juli 2013 tentang perluasan izin lokasi Pembangunan Pembangkit
Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru atas nama PT. North
Sumatera Hydro Energy seluas 1000 ha di Kecamatan Sipirok
Kabupten Tapanuli Selatan.
Surat Izin Bupati Tapanuli Selatan Nomor: 503/5285/2013 Tanggal:
23 Juli 2013. Tentang: Izin Lokasi Pembangunan Transmisi
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru Kepada PT.
North Sumatera Hydro Energy Kecamatan Marancar, Kecamatan
Batang Toru, Kecamatan Angkola Barat Kabupaten Tapanuli
Selatan.
Surat Izin Bupati Tapanuli Selatan Nomor: 503/2438/2015 Tanggal:
8 April 2015. Tentang: Perpanjangan Izin Lokasi Keperluan
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru
Kepada PT. North Sumatera Hydro Energy di Kecamatan Marancar,
Sipirok, Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan.
Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor :
660/50/DPMPPTSP/5/IV/I/2017 tentang perubahan Izin
Lingkungan rencana kegiatan pembangunan Pembangkit Listrik
Tenaga Air (PLTA) Batang Toru dari kapasitas 500 MW menjadi
510 MW (4 x 127,5 MW) dan perubahan lokasi quarry di Kabupaten
Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara oleh PT. North Sumatera
Hydro Energy.
4 Surat Keputusan Amdal Keputusan Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera
Utara Selaku Ketua Komisi Penilai Amdal Provinsi Sumatera Utara
Nomor: 1798/BLH-SU/BLT-A/2013 Tanggal: 11 September
2013.Tentang: Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan
Hidup (KA-ANDAL) Rencana Kegiatan Pembangunan PLTA
Batang Toru Kapasitas 500 MW dan Jaringan Transmisi 275 kV dari
PLTA Batang Toru Sampai Desa Parsalakan Kecamatan Angkola
Barat Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara Oleh
PT. North Sumatera Hydro Energy.
Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor : 184.44 / 135 / KPTS
/ 2014 Tanggal: 19 Februari 2014. Tentang: Kelayakan Lingkungan
Hidup Rencana Kegiatan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga
Air (PLTA) Batang Toru Kapasitas 500 MW dan Jaringan Transmisi
275 kV oleh PT. North Sumatera Hydro Energy Dari PLTA Batang
Toru sampai Desa Parsalakan Kecamatan Angkola Barat Kabupaten
Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara.
Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor : 188.44 / 750 / KPTS
/ 2016 Tanggal : 23 Desember 2016. Tentang: Kelayakan
Lingkungan Hidup Adendum Analisis Dampak Lingkungan Hidup,
Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan
7
No Jenis Peraturan/aspek legal Dasar Hukum
Lingkungan Hidup Rencana Kegiatan Pembangunan Pembangkit
Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru dari Kapasitas 500 MW
menjadi 510 MW (4 X 127,5 MW) dan Perubahan Lokasi Quarry di
Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara.
Sumber : ANDAL dan Laporan RKL-RPL PT NSHE
Tabel 5 Kebutuhan lahan untuk pembangunan PLTA Batang Toru dan Transmisi
Jenis Peruntukkan
No. Rencana (m2) Deskripsi
lahan/kegiatan
1 Bendung/dam dan intake 70000 -
2 Bascamp 160000 Ruang kerja, Batching plant dan Cruhsing
Plant
3 Daerah genangan 670000 Daerah antara level air tertinggi dan
terendah
4 Access road 2660000 -
5 Pintu portal 10000 -
8
Jenis Peruntukkan
No. Rencana (m2) Deskripsi
lahan/kegiatan
6 Pembuangan dan spoil 1710000 14 lokasi dari spoilbank
7 Surge tank 20000 -
8 Power house dan tailrace 49500 -
9 Switchyard 60000 -
10 Saluran transmisi 90000 Daerah pondasi
11 Daerah quarry 1020000 2 lokasi quarry
Total 6520000 -
Sumber : ANDAL PT. NSHE 2014
Berdasarkan dokumen Adendum Andal RKL-RPL 2016, lokasi quary yang awalnya
berada di Desa Sitandang, Kecamatan Sipirok (volume 704.845 m3) dan Desa Sipenggeng,
Kecamatan Batang Toru (volume 222.100 m3) di pindahkan menjadi di Desa Marancar
Godang dan Desa Simaninggir Kecamatan Marancar (Volume 1.218.000 m3). Sehingga
kebutuhan lahan untuk rencana pembangunan PLTA Batang Toru adalah sebagaimana
ditunjukkan pada Tabel 6 berikut.
9
Sementara itu, pembuatan basecamp juga telah dilakukan. Pembangunan basecamp
dilakukan dengan cara membersihkan lahan seperti penebangan pohon-pohon. Kegiatan
yang sedang berlangsung adalah pembangunan Camp G di site Marancar dan
pembangungan Camp A site sipirok. Sampai saat ini, pembangunan yang masih berjalan
antara lain (Tabel 7):
10
BENARKAH PLTA BATANG TORU
TELAH DAN AKAN MERUSAK
HUTAN PRIMER ?
A. Pendahuluan
Izin lokasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berkapasitas 510
Mega Watt yang terletak di Sungai Batang Toru, Desa Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan,
Provinsi Sumatera Utara mecapai luasan 7.200 ha. Akan tetapi, sebagaimana disajikan pada
Tabel 6 luas areal yang benar-benar akan menjadi tapak kegiatan pembangunan PLTA
tersebut tidak lebih dari 652 ha saja. Perbedaan antara kedua luasan tersebut telah memicu
tudingan-tudingan dari para pegiat lingkungan yang menyatakan bahwa “pembangunan
PLTA Batang Roru” ini akan merusak hutan primer yang ada di ekosistem Batang Toru.
Penggunaan istilah hutan primer inilah yang kemudian menggulirkan berbagai
tudingan lainnya, seperti “ancaman habitat dan populasi Orangutan, penurunan
keanekaragaman jenis hayati dan terjadinya banjir atau kekeringan. Berkenaan dengan itu
penting sekali dilakukan kajian untuk mengklarifikasi tudingan-tudingan tersebut. Dalam
kajian ini yang dimaksud dengan hutan primer adalah “yaitu kenampakan hutan yang
ditandai dengan belum adanya bekas aktivitas penebangan, ditandai dengan tidak adanya
kenampakan alur pembukaan areal dan bercak bekas penebangan. Adapun “Hutan Sekunder
(HS)” adalah merupakan kenampakan hutan di dataran rendah dan perbukitan yang telah
menampakan bekas aktivitas penebangan, ditandai dengan kenampakan alur pembukaan
areal dan bercak bekas penebangan. Dengan demikian bilamana hasil penafsiran citra
landsat atau hasil groundcheck lapangan menunjukkan gambaran/kondisi tidak seperti
kedua definisi diatas maka dikategorikan “kebun/pertanian campuran, semak belukar, tanah
kosong atau tubuh air”.
11
B. Metodologi
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di tapak kegiatan PT NSHE (North Sumatera Hydro Energy)
dalam rangka pembangunan PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Lokasi penelitian ditetapkan pada areal yang berbeda yaitu di Kecamatan Marancar dan
Kecamatan Sipirok. Titik pengamatan pada setiap lokasi dilakukan pada tiga kondisi
tutupan lahan yang berbeda yaitu, Tebing Kanan Sungai Batang Toru, Tebing Kiri Sungai
Batang Toru dan Kebun Campuran. Ketiga titik pengamatan ini diambil karena tempat-
tempat tersebut adalah wilayah yang mempunyai interaksi yang paling besar dalam kegiatan
pembangunan dan pelaksanaan PLTA Batang Toru. Identifikasi tumbuhan dilakukan di
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong Bogor.
Alat yang digunakan adalah meteran dengan panjang 100 meter, phi band, pita
meter, parang/golok, galah daun, gunting stek, pisau, patok kayu, tali tambang, tali rafia,
plastik bening, karung goni, alat tulis,GPS (Global Positioning System), binokuler, dan
kamera. Adapun bahan yang digunakan adalah alkohol 70%, label, koran, tally sheet, dan
vegetasi yang ada di PT NSHE.
Prosedur Penelitian
Peletakan plot dilakukan secara purposive sampling dengan bentuk plot yang
digunakan adalah petak tunggal yang berukuran 113 m x 113 m. Petak berukuran 113 m x
113 m untuk pengamatan tingkat pertumbuhan tiang dan pohon, sedangkan subpetak
berukuran 40m x 40m untuk pengamatan tumbuhan bawah, semai, pancang dan palem
(Gambar 1). Untuk memudahkan di dalam pengambilan data dengan mempertimbangkan
kondisi topografi lapangan yang cukup curam, maka dilakukan modifikasi bentuk petak
tunggal namun dengan luasan yang tetap. Subpetak pengamatan tiang dan pohon menjadi
25 m x 510,8 m dan subpetak pengamatan tumbuhan bawah, semai, pancang, tiang dan
palem menjadi 15 m x 106,7 m, dengan arah pembuatan plot memanjang searah dengan
kontur dan sungai Batang Toru.
Data yang diamati pada penelitian ini adalah jumlah individu dan jumlah jenis
tumbuhan penyusunnya. Selain itu juga dilakukan pengukuran diamater setinggi dada
(DBH) pada tingkat pertumbuhan tiang dan pohon untuk menduga biomassanya.
Pengambilan data di dalam petak dan subpetak dilakukan secara sensus, baik untuk
12
tumbuhan bawah, semai, pancang, tiang, dan pohon, agar lebih mewakili karena kondisi
vegetasi penyusunnya sangat beragam (heterogen).
Analisis Data
Keterangan:
(S − 1)
R=
ln(N)
Keterangan:
E = Indeks kekayaan jenis
S = Jumlah jenis yang ditemukan
N = Jumlah seluruh individu
H′
E=
ln(S)
13
Keterangan:
E = Indeks kemerataan jenis
H’ = Indeks keanekaragaman jenis Shannon – Wiener
S = Jumlah jenis yang ditemukan
14
Gambar 2 Peta Penunjukan Kawasan Hutan berdasarkan SK 579 Tahun 2014
Lokasi PLTA
Batang Toru
15
Lokasi PLTA
Batang Toru
Gambar 5 Foto dari drone di atas areal genangan dekat lokasi bendungan
16
Struktur Tegakan dan Komposisi Jenis
Jumlah jenis tumbuhan yang tercatat di dalam petak-petak contoh tersaji pada
Gambar 5. Pada gambar tersebut tampak jumlah jenis di Marancar lebih banyak
dibandingkan dengan di Sipirok, baik pada petak contoh di tebing kanan, tebing kiri,
maupun kebun campuran. Jumlah jenis tumbuhan tertinggi dijumpai di tebing kanan
Marancar yaitu 125 jenis anggota dari 55 suku, dan yang terendah di kebun campuran
Sipirok, yakni hanya sebanyak 80 jenis dari 44 suku.
140
120
100
80
60
40
20
0
Kebun Kebun
Tebing Kanan Tebing Kiri Tebing Kanan Tebing Kiri
Campuran Campuran
Marancar Sipirok
Jumlah Jenis 125 100 112 103 98 80
Suku 55 43 48 52 42 44
Tabel 9 Daftar jenis tumbuhan dominan dan kodminan pada setiap strata pertumbuhan di
Kecamatan Marancar
Petak K INP
Strata Jenis Tumbuhan
Contoh (ind/ha) (%)
Tebing Tbh
Ixora sp. 463 9.96
Kanan Bawah
Piper porphyrophyllum N.E.Br 388 8.34
17
Petak K INP
Strata Jenis Tumbuhan
Contoh (ind/ha) (%)
Semai Meliosma pinnata (Roxb.) Meissn. 919 13.83
Canarium caudatum King 731 11.01
Pancang Dehaasia sumatrana Kosterm. 194 18.90
Coelostegia borneensis Becc. 163 15.85
Tiang Aglaia odoratissima Blume 10 62.28
Neouvaria acuminatissima (Miq.) Airy
4 23.29
Shaw
Pohon Aglaia odoratissima Blume 26 42.68
Aglaia eximia Miq. 5 15.90
Tebing Kiri Tbh
Arcypteris irregularis 2888 25.38
Bawah
Taenitis blechnoides 1706 15.00
Semai Piper macropiper 2338 23.02
Aglaia odoratissima Blume 944 9.29
Pancang Aglaia odoratissima Blume 756 18.45
Lepisanthes senegalensis (Poir.) Leenh. 613 14.94
Tiang Aglaia odoratissima Blume 18 56.97
Lepisanthes senegalensis (Poir.) Leenh. 11 38.86
Pohon Aglaia odoratissima Blume 12 18.82
Nephelium uncinatum Leenh. 7 14.68
Kebun Tbh
Selaginella plana 2875 22.19
Campuran Bawah
Cyclosorus sp. 2081 16.06
Semai Leea sp. 913 20.48
Hydnocarpus kunstleri (King) Warb. 781 17.53
Pancang Aglaia tomentosa Teijsm. & Binn. 744 15.14
Lepisanthes senegalensis (Poir.) Leenh. 600 12.21
Tiang Hevea brasiliensis (Willd. ex A.Juss.)
34 88.78
Müll.Arg.
Macaranga bancana (Miq.) Mull. Arg. 9 30.02
Pohon Hevea brasiliensis (Willd. ex A.Juss.)
42 131.78
Müll.Arg.
Macaranga hypoleuca (Rchb.f. & Zoll.)
5 16.82
Muell. Arg.
Tabel 10 Daftar jenis tumbuhan dominan dan kodminan pada setiap strata pertumbuhan di
Kecamatan Sipirok
Petak K INP
Strata Jenis
Contoh (ind/ha) (%)
Tebing Tbh Arcypteris irregularis 906 15.03
Kanan Bawah
Tetracera scandens (L.) Merr. 550 9.12
Semai Piper macropiper 2338 20.18
Aglaia odoratissima Blume 944 8.15
18
Petak K INP
Strata Jenis
Contoh (ind/ha) (%)
Pancang Pipturus sp. 394 11.21
Aglaia odoratissima Blume 369 10.50
Tiang Lepisanthes senegalensis (Poir.) Leenh. 24 63.32
Aglaia odoratissima Blume 21 52.37
Pohon Dysoxylum arborescens (Blume) Miq. 20 39.26
Lepisanthes senegalensis (Poir.) Leenh. 19 29.81
Tebing Tbh Selaginella willdenowii (Desv. Ex Poir) 1138 34.02
Kiri Bawah Baker
Clidemia hirta (L.) D. Don 394 11.78
Semai Coffea sp. 1319 38.64
Aglaia odoratissima Blume 388 11.36
Pancang Coffea sp. 469 21.80
Aglaia odoratissima Blume 288 13.37
Tiang Ardisia macrophylla Reinw.ex Blume 10 31.89
Aglaia odoratissima Blume 7 23.32
Pohon Ardisia macrophylla Reinw.ex Blume 9 26.07
Aglaia odoratissima Blume 7 15.94
Kebun Tbh Dicranopteris linearis 4238 17.80
Campuran Bawah
Arcypteris irregularis 2775 11.66
Semai Hevea brasiliensis (Willd. ex A.Juss.) 344 6.87
Müll.Arg.
Cinnamomum verum J. Presl. 338 6.74
Pancang Hevea brasiliensis (Willd. ex A.Juss.) 363 11.96
Müll.Arg.
Garcinia lateriflora Blume 338 11.13
Tiang Hevea brasiliensis (Willd. ex A.Juss.) 31 133.98
Müll.Arg.
Archidendron ellipticum (Blume) I.C. 3 14.64
Nielsen
Pohon Hevea brasiliensis (Willd. ex A.Juss.) 29 107.77
Müll.Arg.
Parkia speciosa Hassk. 4 12.55
19
(Shorea spp.), dan kruing (Dipterocarpus spp.). Selain itu juga tercatat dua jenis pohon
pionir dari kelompok mahang di petak contoh tebing kiri yaitu Macaranga bancana
dan Macaranga tanarius yang mengindikasikan bahwa hutan tersebut telah menjadi
hutan sekunder. Atas dasar kehadiran jenis pohon pionir, tampaknya areal hutan di
tebing kanan Kec. Marancar merupakan hutan lindung (HL) yang belum atau sedikit
terganggu, sehingga kemungkinan masih terdapat areal hutan yang masih primer.
Di dalam petak contoh di Kec. Sipirok, juga dijumpai beberapa pohon penghasil
kayu komersial seperti di Kec. Marancar. Di lokasi ini juga dijumpai pohon pasang
(Quercus gemmeliflora), dan medang (Dehaasia caesia), dan tidak dijumpai anggota
suku Dipterocarpaceae. Selain itu dijumpai juga beberapa jenis beringin (Ficus spp.)
yang sangat penting bagi habitat satwa liar, tanaman budidaya (karet, rambutan,
petai), dan beberapa jenis pohon pionir mahang yang lebih beragam dibandingkan
dengan di Kec. Marancar, yaitu Macaranga hypoleuca, M. triloba, M. gigantifolia, dan M.
recurvata. Jenis-jenis mahang ini dijumpai baik di tebing kanan maupun kiri.
Berdasarkan perjumpaan dengan jenis-jenis pohon pionir tersebut, tampak bahwa
areal hutan di tebing kanan dan tebing kiri Kec. Sipirok sudah mengalami gangguan,
sehingga dapat dikategorikan sebagai hutan sekunder.
Meskipun hanya terpisahkan oleh aliran sungai Batang Toru, ternyata
komposisi jenis tumbuhan di dalam petak contoh pada tebing kanan dan tebing kiri,
baik di Kec. Marancar maupun Kec. Sipirok, tidak sama. Hal ini tercermin dari nilai
Indeks Kesamaan Komunitas atau Index of Similarity dari Sorensen yang tergolong
kecil, yaitu di bawah 0,75 (Tabel 11, dan Tabel 12). Begitu juga komposisi jenis
tumbuhan pada petak contoh yang sebidang, yaitu antara petak contoh sesame di
tebing kanan dan tebing kiri (Tabel 13).
20
Keanekaragaman dan Kekayaan Jenis
Tingkat keanekaragaman jenis yang dicerminkan oleh nilai Indeks
Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener (H’), umumnya tergolong sedang (2<H’<3),
hanya sedikit yang tinggi (H’ > 3), baik yang di Kec. Marancar (Gambar 6) maupun di
Kec. Sipirok (Gambar 7). Begitu pula halnya utuk tingkat kekayaan jenis yang
didasarkan pada nilai Indeks Kekayaan Jenis Margalef (Dmg), sebagian besar
tergolong sedang (Dmg < 5,0)
Pada Gambar 7 dan Gambar 8 terlihat bahwa strata pohon di petak contoh
tebing kiri, baik di Kec. Marancar maupun Kec. Sipirok, memliki Indeks
Keanekaragaman Jenis (H’) dan Indeks Kekayaan Jenis (Dmg) yang paling tinggi.
Adapun strata tiang pada kebun campuran memiliki nilai H’ dan DMg terkecil, baik
yang di Kec. Marancar maupun Kec. Sipirok.
10.00
9.00
8.00
7.00
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
Tbh Sem Panc Tian Poho Tbh Sem Panc Tian Poho Tbh Sem Panc Tian Poho
Bwh ai ang g n Bwh ai ang g n Bwh ai ang g n
Tebing Kanan Tebing Kiri Kbn Campuran
H' 3.19 2.91 2.90 1.94 2.70 2.52 2.36 2.62 2.27 3.32 3.01 2.33 2.77 1.54 2.10
DMg 4.95 5.58 4.74 2.02 6.28 4.46 3.65 3.25 3.26 8.60 4.24 2.84 3.17 2.37 3.78
E 0.90 0.00 0.84 0.73 0.79 0.75 0.74 0.87 0.72 0.91 0.84 0.78 0.92 0.57 0.66
10.00
9.00
8.00
7.00
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
Tbh Sem Panc Poho Tbh Sem Panc Poho Tbh Sem Panc Poho
Tiang Tiang Tiang
Bwh ai ang n Bwh ai ang n Bwh ai ang n
Tebing Kanan Tebing Kiri Kbn Campuran
H' 3.19 2.91 2.90 1.94 2.70 2.52 2.36 2.62 2.27 3.32 3.01 2.33 2.77 1.54 2.10
DMg 4.95 5.58 4.74 2.02 6.28 4.46 3.65 3.25 3.26 8.60 4.24 2.84 3.17 2.37 3.78
E 0.90 0.00 0.84 0.73 0.79 0.75 0.74 0.87 0.72 0.91 0.84 0.78 0.92 0.57 0.66
21
Kandungan Biomassa dan Karbon
Pada Tabel 14 dan Gambar 9 disajikan kandungan biomassa dan karbon
tegakan hutan dan kebun campuran. Kandungan biomassa dan karbon tertinggi
dimiliki oleh tegakan hutan di tebing kanan Kec. Sipirok masing-masing sebesar
122.84 ton/ha dan 57.73 tonC/ha. Seluruh petak contoh di Kec. Sipirok memiliki nilai
kandungan biomassa dan karbon lebih tinggi dibandingkan dengan di Kec. Marancar.
Nilai kandungan biomassa dan karbon terendah dijumpai pada kebun campuran.
140.00
120.00
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
Tebing Kebun Tebing Kebun
Tebing Kiri Tebing Kiri
Kanan Campuran Kanan Campuran
Marancar Sipirok
Biomassa (ton/ha) 84.05 68.75 27.31 122.84 75.01 27.61
Karbon (tonC/ha) 39.50 32.31 12.84 57.73 35.25 12.98
Gambar 9 Kandungan biomassa dan karbon tegakan hutan dan kebun campuran.
Hasil kajian Siregar (2018) di Hutan Produksi (HP) di daerah Padang Lawas
Utara, Sumatera Utara, tampak pada areal HP dengan kerapatan tegakan yang masih
tinggi (hutan primer), kandungan biomassa hutan sebesar 289,72 ton/ha dan
kandungan karbonnya 136,17 tonC/ha. Adapun di areal dengan kerapatan rendah
(hutan sekunder), kandungan biomassanya hanya sebesar 148,72 ton/ha dan
kandungan karbonnya 69,90 tonC/ha. Apabila mengacu ke data ini, maka besaran
kandungan biomassa dan karbon di petak contoh seperti yang tertera pada Tabel 14,
22
menunjukkan bahwa kawasan hutan di dalam areal proyek pembangunan PLTA
Batang Toru sudah berupa hutan sekunder.
D. Kesimpulan
1. Struktur tegakan hutan di tebing kanan dan tebing kiri Sungai Batang Toru
didominasi permudaan terutama strata semai dan pancang. Pohon-pohon
berdiameter besar sangat sedikit.
2. Komposisi jenis tumbuhannya sebagian sudah diisi jenis-jenis pionir yang
mengindikasikan hutan di dalam areal proyek sudah mengalami gangguan. Jenis-
jenis penghasil kayu komersial yang dijumpai hanya tersisa sedikit.
3. Tingkat keanekaragaman jenis dan kekayaan jenis tumbuhan tergolong sedang
hingga tinggi.
4. Kandungan biomassa dan karbon tegakan sebanding dengan kandungan biomassa
dan karbon hutan sekunder di daerah Padang Lawas Utara, Sumatera Utara.
5. Hutan sekunder yang akan terkena dampak oleh pembangunan PLTA Batang Toru
seluas 192 ha, yang setara dengan kehilangan 16830,72 ton biomassa atau 7910,44
ton C.
23
24
BENARKAH PLTA BATANG TORU AKAN
MENGANCAM HABITAT DAN POPULASI
ORANGUTAN TAPANULI ?
A. Pendahuluan
Ekosistem Batang Toru dipercaya sebagai habitat bagi 2 dari 3 sub spesies
orangutan. Studi terkini dalam dunia genetika, anatomi, dan akustik selama beberapa dekade
berhasil menghasilkan terobosan yang mengagumkan dalam identifikasi spesies. Hasil
penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Current Biology pada tahun 2017 telah
mengidentifikasi spesies baru yang diberi nama orangutan tapanuli, merupakan spesies
orangutan ketiga setelah Borneo dan Sumatra (Nater et al. 2017). Ditengah kabar penemuan
orangutan baru ini, isu konservasi menjadi topik sentral mengingat orangutan sumatera telah
termasuk kategori sebagai satwa terancam kepunahan akibat populasinya yang diduga terus
mengalami penurunan (Singleton et al. 2008). Hingga saat ini dipercaya terdapat 800
individu orangutan tapanuli yang hidup secara liar di ekosistem Batang Toru. Populasi
orangutan sumatera sendiri secara keseluruhan berada dalam jumlah yang kecil, kurang dari
6.500 ekor dengan sebaran yang terbatas dan ancaman perubahan habitat yang cukup tinggi
mengakibatkan laju kepunahanya diperkirakan akan lebih cepat dibanding orangutan
kalimantan. Konversi hutan menjadi lahan perkebunan, perburuan dan konflik manusia dan
orangutan telah menyebabkan kematian sejumlah orangutan liar (Kuswanda 2007; Wich et
al. 2011).
Pembangunan PLTA di Hutan Batang Toru yang dikembangkan oleh PT. North
Sumatra Hydro Energy (NSHE), kedepan akan memberikan manfaat dalam menggerakkan
roda pembangunan di Sumatera Utara, terutama dalam mengatasi krisis listrik dan
25
memajukan perekonomian masyarakat Tapanuli. Namun tentunya dalam suatu kegiatan
pembangunan, perubahan bentang alam yang terjadi tidak dapat dihindarkan dan berpotensi
menyebabkan dampak negatif bagi kekayaan biodiversitas yang berada didalamnya.
Rencana pembangunan PLTA Batang Toru dihadapkan pada berbagai isu ancaman terhadap
habitat dan kepunahan lokal bagi orangutan dan dianggap sebagai kegiatan perusakkan
hutan yang berdampak lebih luas, tidak hanya bagi kelesatarian orangutan melainkan juga
bagi masyarakat yang berada disekitar tapak kelola PT. NSHE. Merujuk pada Undang-
Undang No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan,
perusakan hutan sendiri adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan
pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang
bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah
ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh
Pemerintah.
Pembangunan berbagai fasilitas seperti jalan, terowongan, saluran listrik dan
bendungan diduga akan menyebabkan kerusakan habitat, 8% habitat orangutan akan
mengalami perubahan sebagaimana diyakini oleh William Laurance dari ALERT. Selain itu
pembangunan bendungan menghalangi konektivitas blok barat dan blok timur serta blok
barat dengan CA Sibuali-Buali dan dimasa mendatang diduga akan menyebabkan banjir
pada habitat-habitat orangutan yang terdapat disekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang
Toru. Pada akhirnya berbagai isu kerusakan habitat tersebut berimplikasi langsung pada
penurunan jumlah populasi orangutan. Bahkan Hans Nicholas Jong menduga akan terjadi
penurunan populasi orangutan setidaknya 83% dari populasi yang ada saat ini pasca
pembangunan PLTA Batang Toru dan kedepan akan menciptakan kepunahan lokal bagi
orangutan Tapanuli. Namun demikian, perlu diingat bahwa bila memperhitungkan luas
Hutan Batang Toru sebesar 141.748 hektar, serta membandingkannya dengan luasan proyek
seluas 650 hektar, maka luasan proyek PLTA Batang Toru hanya 0,64 persen dibandingkan
luasan hutan tersebut.
Melalui kajian ilmu, isu-isu tersebut perlu dibuktikan lebih lanjut. Sebagaimana
pernyataan Akcakaya (2002); Blake dan Hedges (2004); Murray et al. (2009), bahwa
manajemen konservasi berdasarkan kesalahan informasi, perkiraan kasar, pendapat ahli atau
tebakan, menciptakan risiko keliru pada keputusan dan bersifat kontra produktif pada
kegiatan yang dilakukan. Informasi dan data terkait bagaimana kondisi orangutan pra dan
pasca pembangunan yang dilakukan oleh PT. NSHE seyogyanya dapat menjadi rujukan
utama dalam menyelesaikan polemik yang berkepanjangan ini. Oleh karena itu, pembuktian
secara ilmiah terkait berbagai isu yang berkembang di masyarakat terkait pembangunan
yang dilakukan oleh PT. NSHE melalui survei langsung di lapangan penting untuk
dilakukan.
B. Metodologi
Metode kajian ini menggunakan pedekatan kajian literatur, dan survei lapangan (1.
pemetaan spasial/penggunaan ruang oleh orangutan tapanuli; 2. pendugaan kepadatan
populasi berdasarkan survei sarang; 3. monitoring populasi berdasarkan perjumpaan
langsung; dan 4. monitoring populasi menggunakan kamera jebakan).
26
Kajian literatur
Kajian literatur yang dimaksud untuk:
1) Mendapatkan gambaran terkini terkait data dan informasi mengenai kondisi populasi
dan sebaran orangutan pra dan pasca pembangunan yang dilakukan di tapak kelola
PT. NSHE dan daerah sekitarnya yang masuk dalam ijin lokasi PT. NSHE.
2) Memperoleh informasi ilmiah yang kredibel terkait parameter-parameter yang
digunakan dalam pendugaan kepadatan populasi orangutan tapanuli pasca
pembangunan pada tapak kelola PT. NSHE dan di sekitar ijin lokasi.
Survei Lapangan
Kegiatan survei lapangan dilakukan untuk menverifikasi penggunaan ruang oleh
orangutan pada habitatnya dan melakukan pendugaan kepadatan populasi orangutan terkini
pada areal yang menjadi tapak kelola dan ijin lokasi PT. NSHE. Kegiatan ground checking
temuan sarang menjadi dasar dalam penetapan areal-areal yang diduga masih digunakan
orangutan hingga saat ini pada tapak kelola dan di sekitar ijin lokasi PT. NSHE. Untuk setiap
tutupan vegetasi dilakukan pendugaan kepadatan populasi orangutan berdasarkan
perjumpaan tidak langsung melalui pendekatan survei transek sarang dan perjumpaan
langsung pada individu orangutan.
Peta-peta waduk dan rencana pembangunan PLTA (Gambar 4) Parameterisasi lokasi dan ground
checking lokasi temuan
3 orangutan langsung dan tidak
langsung dari berbagai sumber di
lokasi tapak kelola PT. NSHE
Studi terakhir yang dilakukan oleh YEL tahun 2015 di tapak kelola dan di daerah
sekitar ijin lokasi PT. NSHE menjadi rujukan dalam kajian ini. Areal survei mencakup 725
27
ha wilayah kerja PT. NSHE. Total 148 titik sarang ditemukan dalam survei yang dilakukan
oleh YEL. Setiap titik dikonfirmasi terkait ada atau tidak adanya sarang melalui kegiatan
pengecekan langsung dilapangan. Seluruh titik yang telah dikonfirmasi kemudian dipetakan
dalam areal PT. NSHE.
28
29
Gambar 10 Ground checking titik temuan sarang pada studi Yayasan Ekosistem Lestari (YEL, 2015)
Pengamatan sarang dilakukan menggunakan kombinasi metode transek garis (line
transect method) dengan penghitungan jumlah sarang (nest count method). Pada setiap tipe
habitat, transek diletakkan secara sistematik dengan titik awal secara acak, panjang transek
1.000-2.500 m (arah timur-barat) dengan jarak antar transek ±500 m (arah utara-selatan)
sehingga dapat mewakili seluruh areal studi.
Desain sampling penempatan transek sarang dilakukan secara stratifikasi
berdasarkan perbedaan tipe habitat. Penentuan tipe habitat berdasarkan pada peta tutupan
lahan dan peta ketinggian tempat dengan menggunakan bantuan program ArcGis 10.5.1.
Setiap tipe penutupan lahan dihitung luasnya sebagai dasar penetapan jumlah dan sebaran
jalur studi pada setiap tipe habitat (proporsional). Total jalur studi sebanyak 30 jalur (65,90
km) yang tersebar di sepanjang lokasi titik temuan sarang pada studi survei sarang yang
dilakukan oleh YEL pada tahun 2015 .
Tabel 16 Kriteria kelas umur sarang orangutan (Gambar 4)
Umur sarang Kriteria
A Baru, segar, semua daun berwarna hijau
B Belum lama, semua daun masih ada, warna daun mulai kecoklatan
C Lama (tua), sebagian daun sudah hilang, sarang masih terlihat kokoh dan utuh
D Sangat lama, ada lubang-lubang di bangunan sarang
E Nyaris hilang, tinggal beberapa ranting dan cabang kayu, bentuk asli sarang sudah
hilang
30
Kelas umur sarang A Kelas umur sarang B
31
Formulasi yang digunakan untuk menduga kepadatan populasi orangutan
berdasarkan temuan sarang sebagaimana dijelaskan oleh Fowler et al. (1998); Kuswanda &
Sugiarti (2005)
1) Lebar rata-rata jalur pengamatan ke-j 3) Dugaan kepadatan rata-rata setiap tipe
(dj) habitat ke-k (Dk)
∑ 𝑑𝑖 ∑ 𝐷𝑗
𝑑𝑗 = 𝐷𝑘 =
∑ 𝑘𝑖 ∑ 𝑛𝑗
keterangan: keterangan:
di = Jarak tegak lurus posisi pohon nj = Jumlah jalur pada lokasi ke-k
sarang dengan garis transek (m) (jalur)
ki = Jumlah penemuan sarang 4) Dugaan populasi di setiap tipe habitat
dj = Dugaan lebar transek (m) (P)
2) Dugaan kepadatan orangutan jalur ke- P = Dk x A
j (Dj) (van Schaik et al., 1995) keterangan:
𝑁 A = Luas total setiap tipe habitat (km2)
𝐷𝑗 =
𝐿 . 2𝑑𝑗 . 𝑝 . 𝑟 . 𝑡 5) Standar deviasi (SD)
keterangan:
∑(𝑥𝑖 − 𝑥̅ )2
N = Jumlah sarang pada jalur 𝑆𝐷 = √
pengamatan (jalur) 𝑛−1
L = Panjang jalur (km) keterangan:
p = Proporsi pembuatan sarang dalam n = Jumlah tipe habitat
suatu populasi orangutan 6) Standard error (SE)
r = Rata-rata jumlah sarang yang 𝑆𝐷
SE =
dibuat per hari (sarang/hari/individu) √𝑛
t = Lamanya waktu sarang orangutan 7) Confidence interval (CI)
masih terlihat nyata 𝐶𝐼 = 𝑥̅ ± 𝑡𝛼(𝑛−1) . 𝑆𝐸
2
Parameter terkait nilai p, r dan t didasarkan pada hasil studi yang telah lalu
dibeberapa lokasi yang berbatasan langsung atau berada dan merupakan bagian dari pulau
Sumatera. Rijksen (1978) dalam studi nya di Ketambe memperoleh nilai r sebesar 1,8; Suaq
Belimbing, TN Gunung Leuser, sebesar 1,6; sedangkan studi oleh van Schaik et al. (1995)
diperoleh nilai r sebesar 1,7. Berdasarkan hasil studi tersebut, nilai rata-rata r yang
digunakan untuk pendugaan populasi orangutan dalam studi kami, yaitu sebesar 1,7
sarang/hari per individu. Nilai t yang digunakan dalam studi ini adalah nilai t rata-rata dari
studi yang dilakukan oleh van Schaik et al. (1995) pada ekosistem sub montana (t=170 hari)
dan Lubis et al. (2001) dengan nilai t=219 hari. Selanjutnya nilai p yang digunakan adalah
0,9, sebagaimana hasil studi yang dilakukan oleh van Schaik et al. (1995), Buij et al. (2002),
dan Husson et al. (2009). Hasil penelitian di Ketambe dan di Suaq Belimbing menunjukkan
bahwa sebanyak 90% dari populasi orangutan membuat sarang setiap hari nya, sedangkan
sisanya (10%) merupakan individu bayi yang masih dalam asuhan induknya dan tidak
membuat sarang. Seluruh parameter dalam van Schaik et al. (1995); Fowler et al. (1998);
Kuswanda & Sugiarti (2005) sebagaimana seperti dijelaskan di atas dianalisis dengan
menggunakan software Distance 7.2.
32
Monitoring populasi berdasarkan perjumpaan langsung
Meskipun pengamatan orangutan secara langsung dalam populasi yang kecil sangat
sulit dilakukan (van Schaik et al., 1995), namun dalam rangka memaksimalkan hasil survei
lapangan yang dilakukan, tim mendata setiap perjumpaan secara langsung dengan orangutan
baik selama survei transek sarang maupun kegiatan survei untuk tujuan lainnya. Individu
orangutan yang dijumpai dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan struktur umurnya (jantan
dewasa, betina dewasa, jantan remaja, betina remaja dan anak). Pengkategorian kelas umur
dan jenis kelamin (Tabel 17) merujuk pada perbedaan bentuk morfologi dan perilaku secara
umum pada orangutan sumatera (Pongo pygmaeus abelii) Rijksen (1978), dan tambahan
karakeristik khusus pada orangutan tapanuli sebagaimana dilaporkan oleh Nater et al.
(2017). Rambut orangutan tapanuli cenderung berwarna lebih merah dengan suara yang
keras pada orangutan jantan jika dibandingkan dengan orangutan sumatera.
Tabel 17 Kategorisasi kelas umur dan jenis kelamin orangutan berdasarkan morfologi dan
perilaku dominan
No. Kelas Umur Morfologi Perilaku
Bayi (infant) Berat antara 2 – 6 kg. Bayi orangutan Bayi orangutan selalu digendong
memiliki warna bulu yang terang pada oleh induknya dan bergantung
sekitar matanya sedangkan bagian mulut sepenuhnya kepada induknya
1.
dan muka memiliki warna yang gelap. untuk makan. Bayi orangutan
Memiliki bulu yang panjang di sekitar tidur di sarang bersama dengan
muka induknya
Anak (juvenile) Umur 2,5 – 5 tahun dengan berat antara Anak orangutan masih bergantung
6 – 15 kg. Warna bulu anak orangutan kepada induknya tetapi sudah
tidak jauh berbeda dengan bayi mampu mencari makanan sendiri.
orangutan Anak orangutan suka bermain
sendiri atau bersama dengan anak
orangutan lainnya. Awalnya anak
2.
orangutan masih tidur bersama
dengan induknya tetapi setelah itu
anak orangutan sudah bisa
membuat sarangnya sendiri,
dimana sarangnya dibangun dekat
dengan sarang induknya
Remaja Umur 5 – 8 tahun dengan berat antara 15 Perilaku seksual orangutan sudah
(adolescent) – 30 kg. Orangutan remaja masih mulai kelihatan, senang bermain
memiliki bulu yang panjang di sekitar dengan orangutan remaja lainnya
mukanya. Awalnya wajah orangutan dan sudah melakukan pergerakan
3. remaja memiliki warna yang terang dari satu tempat ke tempat lainnya
tetapi kemudian akan berubah menjadi secara berkelompok
lebih gelap, pada masa remaja ini sangat
sulit untuk membedakan orangutan
jantan dan betina
Jantan setengah Umur 8 – 13/15 tahun dengan berat Pada kelas umur ini, alat kelamin
dewasa (subadult antara 30 – 50 kg. Warna wajah sudah lengkap, sudah dewasa
male) orangutan sudah gelap. Janggut sudah secara seksual, dan selalu
4. mulai tumbuh dan bulu di sekitar muka menghindari perjumpaan dengan
tidak panjang lagi orangutan jantan dewasa
33
No. Kelas Umur Morfologi Perilaku
Betina dewasa Umur 8+ tahun dengan berat antara 30 – Orangutan betina dewasa
(adult female) 50 kg. Orangutan betina dewasa sudah biasanya selalu diikuti oleh anak –
5. memiliki janggut dan sangat sulit anaknya
membedakannya dengan orangutan
betina setengah dewasa
Jantan dewasa Umur 13/15+ tahun dengan berat antara Hidup soliter dan sering
(adult male) 50–90 kg. Orangutan jantan dewasa mengeluarkan seruan panjang
memiliki ukuran tubuh sangat besar, (long call) (Mackkinnon, 1971)
6.
memiliki bantalan pipi, kantung leher,
berjanggut dan memiliki bulu yang
panjang dan lebat
Tua Umur > 35 tahun. Rambut sudah mulai Pergerakan semakin lamban.
7
jarang Hidup soliter
Hasil dan pembahasan ini disusun dengan kalimat-kalimat pertanyaan yang sesuai
dengan latar belakang kajian ini. Pada kajian ancaman terhadap orangutan di tapak kelola
PLTA Batang Toru ini terdapat dua pertanyaan pokok, yaitu (i) Benarkah pembangunan
waduk PLTA Batang Toru dan segala fasilitasnya menyebabkan hancurnya habitat
orangutan tapanuli, khususnya pada areal yang merupakan tapak kelola PT. NSHE ? (ii)
Benarkah pembangunan PLTA Batang Toru akan menyebabkan terganggunya popuasi
Orangutan tapanuli? utamanya di wilayah yang dikelola oleh PT. NSHE dan umumnya pada
lokasi ijin secara keseluruhan. Berikut ini adalah diskusi dan jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan tersebut.
Benarkah waduk PLTA Batang Toru dan berbagai pembangunan fasilitas lainnya
menyebabkan kehancuran pada habitat orangutan tapanuli
Sebagaimana terminologi dan batasan habitat dalam Undang-Undang No. 5 tahun
1990, bahwa ancaman terhadap habitat satwa sangat terkait dengan kemampuan habitat
dalam mendukung perkembang-biakkan organisme yang hidup didalamnya secara normal,
yaitu dengan menyediakan segala kebutuhan organisme, baik terkait kebutuhan pakan,
tempat berlindung maupun tempat berkembangbiak. Selanjutnya, merujuk pada habitat
berupa hutan sebagaimana yang dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.
41 tahun 1999 bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Persekutuan alam
lingkungan yang dimaksud mencakup hubungan timbal-balik antara berbagai komponen
habitat baik yang bersifat biotik maupun abiotik sehingga tercipta keselarasan antar berbagi
komponen tersebut dan menciptakan daya hidup bagi berbagai mahluk hidup yang terdapat
didalamnya. Ekosistem Batang Toru dipercaya sebagai salah satu habitat bagi berbagai
satwa endemik Sumatera, baik bagi berbagai jenis mamalia besar seperti orangutan tapanuli,
siamang, ungko, harimau sumatera, beruang, kambing hutan maupun berbagai jenis burung
dan herpetofauna.
Sebagaimana diketahui, temuan dan identifikasi jenis primata baru yaitu Orangutan
tapanuli merupakan suatu kemajuan dalam dunia ilmu pengetahuan khususnya bagi
perkembangan taksonomi dunia primata. Namun demikian, penetapan jenis baru ini
nyatanya menimbulkan polemik bagi banyak pihak yang memiliki kepentingan yang seolah
bersebrangan satu dengan lainnya. Pembangunan PLTA di Hutan Batang Toru, yang akan
dikembangkan oleh PT. North Sumatra Hydro Energy (NSHE) diprediksi akan menjadi
jawaban bagi upaya pemerintah daerah dan swasta dalam memenuhi kebutuhan pasokan
listrik yang dapat menggerakan roda pembangunan bagi masyarakat Sumatera Utara
khususnya, namun dilain sisi pembangunan PLTA ini dianggap menjadi salah satu ancaman
yang dapat menyebabkan kehancuran bagi kelestarian habitat populasi orangutan tapanuli.
Sebagaimana studi yang dilakukan oleh Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) pada tahun 2015,
dan mengingat fakta bahwa hasil survei yang telah dilakukan tersebut menjadi satu-satunya
dari banyak rujukan dalam memetakan dan menduga kepadatan populasi orangutan di lokasi
tapak kerja PT. NSHE, kami menemukan fakta terkini bahwa berdasarkan hasil cek
lapangan (ground checking), hampir sebagian besar lokasi yang pernah dilaporkan sebagai
35
titik temuan sarang tidak lagi digunakan dalam aktivitas bersarang (Tabel 18). Namun
demikian, perlu dicatat dan menjadi perhatian bersama bahwa areal yang menjadi bagian
dari tapak kerja dan ijin lokasi PT. NSHE berdasarkan observasi dilapangan masih
menunjukan fungsinya sebagai bagian dari habitat Orangutan tapanuli. Areal-areal tersebut
hingga saat ini masih dimanfaatkan oleh orangutan dalam aktivitasnya. Meskipun jumlah
sarang baru yang ditemukan jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah sarang lama, namun hal
ini mengindikasikan bahwa adanya pembangunan di beberapa lokasi seperti di daerah
Marancar dan Sipirok, pembangunan tidak serta merta secara drastis menyebabkan
perubahan pola penggunaan ruang oleh orangutan yang menghuni habitat tersebut (Gambar
7).
Tabel 18 Ground check titik temuan sarang dalam survei YEL tahun 2015
Temuan Temuan Temuan Temuan
No Sarang No Sarang No Sarang No Sarang
Titik Tidak Titik Tidak Titik Tidak Titik Tidak
Ada Ada Ada Ada
Ada Ada Ada Ada
38 v 66 v 94 v 122 v
39 v 67 v 95 v 123 v
40 v 68 v 96 v 124 v
41 v 69 v 97 v 125 v
42 v 70 v 98 v 126 v
43 v 71 v 99 v 127 v
44 v 72 v 100 v 128 v
45 v 73 v 101 v 129 v
46 v 74 v 102 v 130 v
47 v 75 v 103 v 131 v
48 v 76 v 104 v 132 v
49 v 77 v 105 v 133 v
50 v 78 v 106 v 134 v
51 v 79 v 107 v 135 v
52 v 80 v 108 v 136 v
53 v 81 v 109 v 137 v
54 v 82 v 110 v 138 v
55 v 83 v 111 v 139 v
56 v 84 v 112 v 140 v
57 v 85 v 113 v 141 v
58 v 86 v 114 v 142 v
59 v 87 v 115 v 143 v
60 v 88 v 116 v 144 v
61 v 89 v 117 v 145 v
62 v 90 v 118 v 146 v
63 v 91 v 119 v
64 v 92 v 120 v
65 v 93 v 121 v
36
Presentase Kelas Sarang
Gambar 13 Temuan sarang hasil cek lapang berdasarkan titik temuan sarang yang
dilakukan oleh Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) tahun 2015.
Perubahan bentang alam yang seminim mungkin yang dilakukan oleh PT. NSHE
merupakan hal yang positif yang tentunya akan meminimalisir kerusakan habitat bagi
Orangutan tapanuli utamanya yang hidup di areal tapak kelola PT. NSHE. Desain
bendungan dan metode kerja PLTA Batang Toru hanya akan mengggunakan lahan seluas
67,7 hektar sebagai lahan penggenangan air, serta 24 hektar lahan lainnya, yang ada di badan
sungai. Penggunaan lahan yang minim namun efisien dan tepat guna, merupakan kunci
dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup dan ekosistem di Batang Toru.
Memadukan dua kepentingan di atas, yaitu terkait pemenuhan kebutuhan akan listrik
bagi masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian orangutan merupakan sebuah kebutuhan
mutlak bagi upaya pemanfaatan alam yang bijak dan ramah lingkungan.
37
0,3–1,2 individu/km2. Sementara itu; penelitian LIPI, Newmont Horas Nauli dan Hartfield
(2005) dalam Perbatakusuma et al. (2006) memperkirakan bahwa kepadatan populasi
orangutan di kawasan hutan alam di lokasi Prospek Martabe, hutan lindung dan konsesi PT.
Teluk Nauli di Tapanuli Selatan berkisar 0,1–1,0 individu/km2. Lebih lanjut Kuswanda
(2006) menyatakan secara keseluruhan, dugaan populasi orangutan di Hutan Batang Toru
sekitar 170 individu. Dugaan kepadatan orangutan di DAS Batang Toru dikemukakan juga
oleh Simorangkir (2009) yang menyatakan bahwa kepadatan tertinggi diperkirakan sekitar
0,30–0,71 individu/km2. Kedua hasil penelitian tersebut cukup berbeda dengan hasil kajian
yang dilakukan oleh Yayasan Ekosistem Lestari dan Walhi yang dipresentasikan dalam
kegiatan “Pengusulan Perubahan Fungsi menjadi Hutan Lindung DAS Batang Toru di
Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera
Utara”, dimana dijelaskan lebih lanjut bahwa taksiran ukuran populasi orangutan untuk
hutan Batang Toru Barat (740 individu) dan hutan Batang Toru Timur sebanyak 250
individu.
Menggunakan nilai 0,9 untuk proporsi pembangun sarang (Husson et al. 2009), nilai
1,7 untuk sarang yang dibangun per hari (Husson et al. 2009), dan nilai 175 hari untuk
tingkat peluruhan sarang (Kuswanda dan Noor Ch, 2017), kami menghitung bahwa
kepadatan rata-rata orangutan adalah 0,22 ind/km2 (95% CI: 0,17– 0,27 ind/km2) atau
terdapat sekitar 3-4 individu, masing-masing pada bagian sebelah Timur dan Barat DAS
Batang Toru yang masuk dalam tapak kelola PT. NSHE seluas 125 ha. Jika dihitung ukuran
populasi total orangutan tapanuli yang terdapat pada ijin lokasi PT. NSHE, maka terdapat
sekitar 17 individu orangutan yang menghuni areal ini. Kepadatan tertinggi orangutan
ditemukan di sepanjang koridor, sebelah timur sungai Batang Toru 0,23 ind/km2 (95% CI:
0,17– 0,30 ind/km2). Secara keseluruhan, kepadatan orangutan di habitat dataran tinggi dari
Kompleks Hutan Batang Toru (rata-rata = 0,23 ind/km2; Wich et al. 2011) relatif rendah
dibandingkan dengan populasi orangutan sumatera lainnya (rata-rata = 2,88 ind/km2,
kisaran = 0,43-10,12 ind/km2; Husson et al. 2009). Namun demikian, nilai kepadatan yang
dihitung untuk area proyek PLTA berada dalam kisaran nilai kerapatan standar untuk semua
orangutan sumatera. Pada bagian barat tapak kelola PT. NSHE, kepadatan orangutan
ditemukan lebih rendah (0,21 ind/km2; 95% CI: 0,16– 0,26 ind/km2), rendahnya kepadatan
orangutan pada sisi bagian barat, dimungkinan karena sebagian besar telah berubah menjadi
lahan perkebunan, terutama tanaman sawit dan karet, dan hal ini jauh sudah berlangsung
sebelum PT. NSHE mulai beroperasi dan membangun segala fasilitasnya.
Perjumpaan secara langsung dengan orangutan terjadi di daerah Marancar dan
Sipirok, masing-masing ditemukan 2 individu orangutan (1 jantan dewasa, 1 betina dewasa;
di daerah Marancar) dan 3 individu orangutan tapanuli (1 jantan dewasa, 1 betina dewasa
dengan 1 anak; di daerah Sipirok) (Gambar 8). Untuk survei melalui kamera jebakan pada
lokasi yang sama, tidak ditemukan individu orangutan yang tertangkap kamera jebakan.
Hasil temuan langsung ini nampaknya sama dengan hasil temuan Kuswanda dan Noor Ch
pada tahun 2017. Hal ini menunjukan bahwa jumlah populasi orangutan di sepanjang DAS
Batang Toru, utamanya dalam tapak kelola PT. NSHE sangat kecil. Kecilnya populasi
dalam berbagai survei ini tentunya dapat mengindikasikan beberapa hal : 1) bahwa areal
tapak kelola dan izin lokasi PT. NSHE merupakan habitat yang secara maksimum
menyediakan kebutuhan terkait pakan, tempat berlindung dan bereproduksi hanya untuk
38
populasi yang jumlahnya kecil tersebut atau dengan kata lain bahwa daya dukung habitat
sudah mencapai maksimal dan hanya dapat menampung 5-7 individu orangutan yang
ditemukan dalam kegiatan survei tahun 2017 dan 2018, 2) terjadi penurunan populasi akibat
kegiatan manusia seperti yang diungkapkan oleh Kuswanda (2014), bahwa orangutan
bermigrasi pada wilayah lainnya karena tingginya aktivitas manusia di sepanjang Sungai
Batang Toru atau akibat lainnya, seperti fakta bahwa kondisi tegakan hutan di area PT.
NSHE sudah banyak berubah menjadi area perkebunan terutama di bagian Selatan bahkan
sebelum PT. NSHE mulai membangun, sehingga saat ini kurang mendukung perkembangan
populasi orangutan. Kualitas hutan di Tapanuli Selatan telah berkurang sekitar 60-70 %
yang disebabkan karena alih fungsi hutan menjadi areal pertanian, perkebunan, tambang
dan pemukiman penduduk yang terus meningkat (Kuswanda, 2014).
Bagaimanapun, saat ini orangutan tapanuli adalah satwa terancam punah dan
menjadi perhatian dunia internasional sehingga pengembangan upaya konservasinya harus
terus ditingkatkan. Sedikit saja kegiatan pembukaan hutan pada habitat orangutan tentunya
akan menjadi perhatian karena akan semakin mengisolasi populasi orangutan.
Pembangunan dan pembukaan lahan yang minim pada tapak kelola PT. NSHE dapat
membantu konservasi spesies ini.
(a) Jantan dewasa di daerah Marancar (b) Betina dewasa di daerah Marancar
39
D. Kesimpulan
Berdasarkan nilai dugaan ukuran populasi orangutan di areal yang akan menjadi
tapak kegiatan PLTA Batang Toru yang sangat kecil (hanya sekitar 0,22 s/d 0,23
ind/km2), perjumpaan langsung dengan 5 ekor Orangutan saat survei lapangan dan hasil
groundcheck sebaran jejak aktifitas orangutan (dimana hanya 10,34% saja dari 148 titik
sarang versi YEL tahun 2015 yang dijumpai sarang) maka areal yang menjadi lokasi tapak
kegiatan pembangunan PLTA Batang Toru bukan merupakan habitat utama populasi
Orangutan tapanuli. Dengan luasan pembukaan lahan yang hanya sekitar 652 ha,
kegiatan PLTA Batang Toru tidak akan merusak secara signifikatif baik habitat
orangutan maupun keanerakaragaman jenis hayati lainnya.
Berdasarkan nilai dugaan ukuran populasi orangutan di areal yang akan menjadi tapak
kegiatan PLTA Batang Toru yang sangat kecil (hanya sekitar 0,22 s/d 0,23 ind/km2),
perjumpaan langsung dengan 5 ekor Orangutan saat survei lapangan dan hasil groundcheck
sebaran jejak aktifitas orangutan (dimana hanya 10,34% saja dari 148 titik sarang versi
YEL tahun 2015 yang dijumpai sarang) maka areal yang menjadi lokasi tapak kegiatan
pembangunan PLTA Batang Toru bukan merupakan habitat utama populasi
Orangutan tapanuli. Dengan luasan pembukaan lahan yang hanya sekitar 652 ha,
kegiatan PLTA Batang Toru tidak akan merusak secara signifikatif baik habitat
orangutan maupun keanerakaragaman jenis hayati lainnya.
40
BENARKAH PLTA BATANG TORU
AKAN MENIMBULKAN BANJIR
DAN KEKERINGAN ?
A. Pendahuluan
Rencana pembangunan PLTA oleh PT. North Sumatera Hydro Energy (NSHE) di
Sumatera Utara yang terletak di S. Batang Toru telah menimbulkan isu di masyarakat terkait
dengan akan dibanggunnya bendungan tersebut. Isu yang terkait hidrologi diantaranya
masalah banjir, dan kekeringan. Kajian hidrologi diperlukan untuk melihat permasalahan
dari sudut ilmiah tentang permasalahan yang akan timbul dikaitkan dengan pemanfaatan
sumberdaya air di S. Batang Toru dimasa yang akan datang.
Sungai Batang Toru merupakan salah satu sungai terbesar di Tapanuli Selatan.
Panjang S. Batang Toru mulai dari hulu hingga ke hilir ± 174 km. Karakteristik umum S.
Batang Toru di daerah lokasi kegiatan mempunyai kemiringan tebing sungai 45 – 60 %
dengan lebar sungai 40 - 60 m, kemiringan memanjang dasar sungai 1,5% - 2,5%, kecepatan
air sungai 1,0 – 1,5 m/det serta kondisi batuan umumnya stabil (AMDAL,2014)
Rencana pembangunan PLTA Batang Toru telah mendapat izin lokasi dari Bupati
Tapanuli Selatan Nomor : 503/1150/2012, tentang Izin Lokasi Keperluan Pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru I kepada PT. Anugrah Alam Lestari
Energi, Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan dan Surat Izin Bupati Tapanuli
Selatan Nomor : 671.21/2015/2012, tentang Perubahan Surat Izin Bupati Tapanuli Selatan
Nomor : 5003/8209/2011 tanggal 02 November 2011 tentang Izin Lokasi Keperluan
41
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Aek Batang Toru III dan V kepada
PT. North Sumatera Hydro Energy (NSHE), di Kecamatan Marancar, Sipirok, Batang Toru
Kabupaten Tapanuli Selatan. Selanjutnya Surat Izin Bupati Tapanuli Selatan Nomor :
503/5284/2013, tentang Perluasan Izin Lokasi Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga
Air (PLTA) Batang Toru atas nama PT. North Sumatera Hydro Energy Seluas ± 1.000 Ha
di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan.
Pada proses pembangunan muncul isu-isu dan kekhawatiran akan terjadinya
kekeringan, sedimentasi dan banjir akibat adanya aliran sungai yang dibendung untuk
keperluan operasional PLTA Batang Toru. Hal ini diyakini dapat mempengaruhi pola hidup
masyarakat, mata pencaharian masyarakat dan dapat merubah ekosistem. Oleh karena itu
studi ini dilakukan untuk mempelajari dampak yang terkait hidrologi khususnya
kekeringan, sedimentasi dan banjir serta rekomendasi lanjutan untuk melihat permasalahan
secara komprehensif.
B. Metodologi
Kajian ini dilakukan masih tahap awal berupa telaah dokumen perencanaan, dan
tinjauan singkat ke lapangan. Dokumen perencanaan yang dilihat antara lain: Dokumen
Feasibilty Studi PT NSHE, AMDAL, SEIA. Kunjungan lapangan hanya dilakukan untuk
kegiatan orientasi, belum dilakukan pengukuran, pengambilan data dan survei detail.
Analisis Hidrologi
Proyek PLTA Batang Toru terletak di daerah tangkapan DAS Batang Toru di
Kabupaten Tapanuli Utara dan Selatan, di Pulau Sumatera. Sungai utama di DAS Batang
Toru adalah Sungai Batang Toru, yang berasal dari Lintongnihuta (1.529 m dpl) dan
muaranya di Samudera Indonesia. Luas wilayah DAS Batang Toru adalah 319.300 ha Di
lokasi DAM, dengan daerah tangkapan air 240.500 ha. Panjang Sungai Batang Toru sekitar
173 km di outlet, dan kemiringan longitudinal rata-rata adalah sekitar 0,9%. Untuk
tangkapan Batang Toru di lokasi DAM, panjang sungai hampir 100 km dan kemiringan rata-
rata sekitar 21%. Kemiringan dasar sungai rata-rata sekitar 0,7%. Berdasarkan hasil
investigasi lapangan, tutupan lahan umumnya didominasi oleh beberapa jenis vegetasi,
hutan, semak, dan area perkebunan (SinoHydro, 2017).
Berdasarkan data dokumen AMDAL 2014 data hidrologi yang digunakan dalam
perencanaan PLTA ini dari tahun 1960 sampai dengan 2010 (50 tahun), yang terdiri dari
data klimatologi, data hujan, data debit dan data tinggi muka air, dengan kondisi tidak terisi
penuh dan banyak kekosongan di beberapa tahun. Untuk mendapatkan data debit di rencana
bendung intake PLTA Batang Toru, digunakan stasiun Pos Duga Air atau WLR (Water
Lever Recorder) di stasiun WLR Hapesong (277.300 ha) dan Stasiun WLR Sipetang
(230.000 ha). Dalam dokumen revisi (Synohydro,2017) data debit yang dianggap mewakili
lokasi PLTA NSHE Batang Toru adalah WLR Sipetang. Data WLR debit lokasi tersebut
tercatat dari th 2001 – 2016 yang lokasi pengukurannya terletak di jembatan S. Batang Toru
di Sipetang.
42
Debit rata-rata Bulanan di S. Batang Toru
(di Sipetang)
160
140
120
Debit (m3/det)
100
80
60
40
20
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Rata-rata debit S. Batang Toru di Sipetang adalah 111 m3/det dengan sebaran
balanan tertinggi dibulan April, Nopember dan Desember. Debit terendah terjadi pada bulan
Juli. Untuk lebih mewakili debit dilokasi DAM NSHE dilakukan kalibrasi untuk lokasi
DAM dengan menggunakan data debit di Sipetang. Dengan penggabungan data debit di
Sipetang dan di Hapesong maka diperoleh data yang dianggap mewakili di lokasi DAM
dengan rata-rata debit 115 m3/det dan dengan sebaran seperti pada Gambar 10:
Gambar 16 Sebaran debit S. Batang Toru di Lokasi DAM (Sumber: Synohydro, (2017)
Untuk mendapatkan data informasi debit secara kontinyu maka diperlukan analisis
frekuensi dan menghitung debit andalan sehingga secara statistika dapat
dipertanggungjawabkan (Nash,1970). Sebaran % kejadian debit secara lengkap disajikan
pada Tabel 19.
43
Tabel 19 Peluang debit di S. Batang Toru di Lokasi DAM
% Kejadian Debit (m3/det)
0 659
5 233
10 190
20 148
30 127
40 111
50 99
60 89
70 80
80 69
90 56
95 48
100 26
Sumber : Synohydro (2017)
Dari data tersebut, debit rata-rata yang dipake perencanaan adalah 115 m3/det
sebagai debit rata–rata tahunan di lokasi DAM dan debit andalan 90 % adalah 56 m3/det.
Berdasarkan hasil analisis hujan yang merupakan input terhadap sistem hidrologi S. Batang
Toru diketahui rata-rata curah hujan tahunan 2.326 mm/th. Terdapat dua puncak hujan yaitu
pada bulan April (250,3 mm) dan bulan November (247,1 mm). Dengan demikian maka
total potensi air hujan di lokasi calon Bendung Batang Toru dengan luasan 240.500 ha
adalah 5.594.030.000 m3/th. Dengan rata-rata debit rencana 115 m3/det atau setara dengan
3.626.640.000 m3/th atau 64,8 % aliran curah hujan berubah menjadi aliran S. Batang Toru.
Baseflow S. Batang Toru 40,1 m3/det (Synohidro, 2017) maka aliran dasar (baseflow) setara
dengan 1.264.594.000 m3/th. Dengan kontribusi baseflow tersebut maka aliran permukaan
(runoff), lateral flow dan returnflow sebesar 2.362.0460.000 m3/th. Potensi air di S. Batang
Toru tergolong sangat potensial dengan aliran air (water yield) sebesar 15,079 m3/th/ha atau
setara dengan 0,47817 lt/det/ha.
Berdasarkan studi AMDAL th 2014 yang dikerjakan oleh CV GLOBAL
INTERSISTEM (AMDAL,2014) diketahui debit rata-rata tahunan S. Batang Toru adalah
106 m3/det, debit minimum sebesar 41,90 m3 /det maksimum sebesar 484 m3 /det. Oleh
karena itu, S. Batang Toru dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik dari tenaga air
dengan kapasitas maksimum 4 x 125 MW dengan total kebutuhan air adalah 4 x 51,89 m 3
/detik. (AMDAL,2014;Synhydro,2017).
Pola curah hujan 20 tahun terakhir cenderung naik, maka debit rata-rata di Sipetang
adalah 107 m3/det, minimum 98 m3/det dan maximum 117 m3/det. Rata-rata debit S. Batang
Toru berkisar antara 97-117 m3/det dan bahkan sejak th 1990 belum pernah di bawah 110
m3/det, dengan data debit rata-rata 115 m3/det.
44
normal selama 18 jam. Bendung berfungsi untuk menampung air harian (daily pondage),
tinggi muka air normal rata-rata 427,5; low water level 425 dan high water level 430. Oleh
karena itu tinggi drawdown (fluktuasi muka air harian di bendung) adalah 5 m (430 m – 425
m) yang dilakukan pada saat beban puncak (peak hour) selama 6 jam.
Pola pengaturan penggunaan air adalah sebagai berikut: setiap turbin dengan
kapasitas 125 MW membutuhkan debit 51,89 m /detik, sehingga kebutuhan air untuk
menggerakkan empat turbin adalah 207,56 m3/detik. Keempat turbin beroperasi secara
bersama-sama hanya selama 6 jam, yaitu pada saat beban puncak (peak hour). Selanjutnya
pada saat beban normal selama 18 jam, pengoperasian turbin tergantung pada ketersediaan
air, pada saat ketersediaan air melimpah, keempat turbin dapat dioperasikan.
Fluktuasi debit S. Batang Toru di musim kemarau, pada saat debit sungai mengecil,
akan terjadi antara jam 00.00-18.00 debit sungai 51,89 m3/det, menjadi 207,56 m3/det
antara jam 18.00-24.00. Debit dari di segmen DAM-powerhouse 2,5 m3/det dan segmen
DAM-Powerhouse 6,8 m3/det (AMDAL 2014), sehingga di segmen outlet powerhouse akan
ada debit 58,69 m3/det seperti yang disajikan pada Gambar 11.
Luas genangan diperkirakan mencapai 67,7 ha dengan tampungan efektif sebanyak
3,89 juta m3. Pada saat beban normal selama 18 jam (24.00-18.00 WIB) debit air S. Batang
Toru berkurang di bagian hilir. Setiap 1 turbin beroperasi, maka debit bertambah 51,89
m3/detik. Pada saat beban puncak selama 6 jam (18.00-24.00 WIB) dimana empat turbin
beroperasi, maka debit air meningkat menjadi 207,56 m3/detik. Dengan demikian terjadi
peningkatan >80% dari debit rata-rata 115 m3/det. Sehingga isu terkait dengan kekeringan
di bagian hilir areal tidak terbukti karena bendungan PLTA tidak ditutup total, air
akan terus mengalir ke bagian hilir.
150
Powerhouse
100
DAM
50
Hilir
0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23
JAM
Gambar 17 Fluktuasi debit harian di PLTA Batang toru pada musim kemarau (Juli)
Berdasarkan data debit rata-rata pada bulan Juli di calon lokasi DAM adalah 88,8
m3/det dan beroperasi 1 turbin dengan debit air 51,89 m3/det maka terjadi pengurangan
debit sebesar 36,91m3/det atau 2,391.768 m3/18 jam. Air ini akan dikeluarkan untuk
menggerakan 2 turbin selama 6 jam memerlukan air 2.241.648 m3/6 jam. Jumlah air dalam
1 hari yang sampai ke hilir sama hanya terjadi penampungan sementara. Akibat terjadi
peningkatan debit dari jam 18.00-24.00 wib, perlu dikaji dampaknya terhadap
tarnsportasi, perikanan, irigasi di bagian hilir.
45
Sebaliknya pada musim hujan pada saat debit sungai berlebih, air akan lewat dari
spillway dan 4 turbin, sehingga keberadaan PLTA dikaitkan dengan banjir tidak
relevan. Kalau tampungan DAM sudah penuh lebih dari 3,89 jt m3 maka air akan lewat
spillway. Pada segmen S. Batang Toru antara DAM sampai power house sepanjang -/+ 12
km di desain dari DAM air tetap mengalir 2,5 m3/det. Sepanjang segmen ini tidak ada
sawah, sehingga tidak terdapat permasalahan terhadap suplai air untuk irigasi. Disamping
itu masih terdapat beberapa sungai dan anak sungai yang mengalir ke Sungai Batang Toru
diantara bendung dan power house, yaitu: (1) Aek Sitandiang, (2) Aek Siholus, (3) Aek
Napot-pot, (4) Aek Batang Guarna, (5) Aek Sirabun, (6) Aek Sialang, (7) Aek Binanga, (8)
Aek Toras, dan (9) Aek Ulu Hala Namenek. Sungai dan anak sungai tersebut akan
menambah volume air Sungai Batang Toru diantara DAM dan power house, namun sampai
saat ini kondisi dan data debit dari 9 anak-anak sungai belum tersedia, sehingga diperlukan
pemodelan hidrologi DAS untuk menganalisi lebih lanjut.
Total daerah Tangkapan air di bawah DAM sebesar 78,800 ha, kondisi hidrologi,
iklim dan tutupan lahannya perlu dikaji lebih lanjut dikaitkan dengan kebutuhan dan
ketersediaan air dikemudian hari, studi saat ini belum dilakukan analisis ketersediaan air di
9 DAS dibawah DAM. Untuk menjawab pengaruh sedimentasi, banjir dan kekeringan di
aliran sungai setelah DAM diperlukan kajian lebih detail tentang neraca air dan
keseimbangan air.
Dampak perubahan tutupan lahan, curah hujan, topografi dan tanah terhadap respon
hidrologi sangat tinggi (Gassman 2007). Berdasarkan kajian dokumen yang ada belum
dilakukan kajian modeling hidrologi di DAS Batang Toru, dan efek perubahan tutupan lahan
di bagian hulu DAM, terhadap debit sungai.
Pada bagian hilir Sungai Batang Toru masyarakat di Kec. Angkola Sangkunur (Desa
Bandar Tarutung, Simataniari, Aek Rambe, Kel. Rianiate) dan Kec. Muara Batang Toru
(Desa Bandar Hapinis, Muara Hutaraja, Terapung Jaya, Upu, Pardamean, Kel. Hutaraja dan
Muara Ampolu) menjadi daerah yang terdampak oleh adanya PLTA di Batang Toru. Sungai
menjadi sumber air untuk irigasi sawah. Demikian juga keberadaan Danau Siais dibagain
hilir perlu dikaji akibat buka tutup dan fluktuasi debit S. Batang Toru.
D. Kesimpulan
Isu terkait dengan kekeringan di bagian hilir areal tidak terbukti karena
bendungan PLTA tidak ditutup total, air akan terus mengalir ke bagian hilir. Adapun
permasalahan sedimentasi dan banjir sudah biasa/rutin terjadi diwilayah kajian jauh
sebelum PLTA Batang Toru dibangun.
47
48
BENARKAH PLTA BATANG
TORU AKAN MENIMBULKAN
EMISI GAS RUMAH KACA ?
A. Pendahuluan
Rencana pembangunan PLTA Batang Toru dihadapkan pada isu penghasil emisi GRK.
PLTA ini dianggap dapat menghasilkan emisi CH4 yang lebih besar dari lahan pertanian
dan akan menghasilkan lebih dari 1 milyar ton GRK atau sebesar 1,3 persen total emisi
global tahunan. Isu ini perlu diklarifikasi dengan pendekatan ilmiah, dengan menggunakan
data dan metode yang kredibel.
Emisi global gas rumah kaca (GRK) antropogenik diperkirakan sekitar 49±4.5 Gt
CO2eq/tahun (IPCC, 2014). Kontribusi terbesar adalah gas CO2 (76%). Gas GRK lainnya
seperti CH4, N2O dan F masing-masing berkontribusi sebesar 16%, 6%, dan 2%. Sektor-
sektor ekonomi yang menjadi sumber emisi global tersebut terdiri atas penyediaan energi
listrik dan panas (25%), industri (21%), transportasi (14%), aktivitas di dalam bangunan
(6%), pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan (24%) dan penggunaan energi lainnya
(10%). Berdasarkan pada kontribusi jenis gas dan sektor ekonomi tersebut, sumber emisi
CO2 terbesar berasal dari pemanfaatan bahan bakar fosil dan proses-proses industri (65%).
Kontribusi CH4 sebesar 16% terhadap emisi antropogenik global GHG bersumber dari
kegiatan pertanian, pengelolaan limbah, penggunaan energi, dan pembakaran biomasa (US-
EPA, 2018). Selain sumber-sumber antropogenik, emisi CH4 juga berasal dari sumber-
sumber alamiah seperti dari lahan basah, badan air terbuka (sungai, danau), proses geologis
di laut (offshore dan onshore), vegetasi, rayap, satwa liar dan lainnya. Emisi global CH4
dari semua sumber yang diduga dengan pendekatan bottom-up adalah ±736 juta ton/tahun
49
(Saunois et al, 2016). Sumber-sumber yang berkontribusi adalah lahan basah (31%),
produksi bahan bakar fosil dan gas alam (13%), tambang batubara (7%), pertanian,
peternakan dan limbah (33%), pembakaran biomassa (5%) dan sumber-sumber alami
lainnya (11%) (M. Saunois et al, 2016; Fevre CL 2017).
Hasil pendugaan emisi CH4 global yang berasal dari badan air terbuka seperti sungai,
danau dan waduk sampai dengan saat ini masih memiliki ketidakpastian relatif. Kirschke
et al (2013) menduga emisi global dari sumber-sumber ini adalah ±40 juta ton/tahun,
sedangkan Saunois et al (2016) mengestimasi sekitar 60-180 juta ton/tahun dan
menggunakan nilai tengah 122 juta ton/ha sebagai nilai acuan untuk menghitung neraca
CH4 global. Pada kajian-kajian sebelumnya nilai emisi global CH4 dari badan air terbuka
bervariasi yaitu 11-55 juta ton/tahun yang dihitung oleh Smith and Lewis (1992)
berdasarkan pengukuran di daerah sub-tropis dan tropis, 4-48 juta ton/tahun (Bastviken et
al., 2004). Setiap kajian tersebut mempunyai metode pengukuran dan perhitungan yang
berbeda yang masing-masing masih dapat diperdebatkan. Oleh karena itu Saunois et al
(2016) dalam kajian neraca CH4 global 2000-2012 menyebutkan bahwa untuk emisi CH
dari badan air terbuka masih memerlukan pertimbangan dan kajian dari berbagai aspek
untuk mengurangi ketidakpastian ilmiah, termasuk pengukurannya dalam skala ruang dan
waktu serta pembaharuan data badan air terbuka secara global.
Di tengah ketidakpastian ilmiah, sumber emisi dari badan air terbuka ini mulai menjadi
perhatian dalam perhitungan emisi GRK global. Hal ini seiring dengan peningkatan
kebutuhan energi di negara-negara berkembang dan berusaha memenuhinya dari sumber
hydropower (PLTA). Mäkinen dan Khan (2010) bahkan telah menyebutkan bahwa
pengetahuan yang ada tentang emisi waduk PLTA dapat berkontribusi sangat signifikan
terhadap perubahan iklim, terutama di negara-negara tropis di mana banyak pembangunan
bendungan masa depan yang diharapkan. Isu emisi waduk PLTA juga telah diakui di tingkat
internasional oleh Badan Eksekutif Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) (UNFCCC,
2006) serta Panel antar pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC, 2006).
Hasil-hasil pengukuran emisi dari waduk PLTA bervariasi sesuai dengan konteks
waktu, ruang dan metode yang digunakan. Kajian ilmiah tentang emisi GHG waduk PLTA
mulai dipublikasi pada tahun 2000. St Louis et al (2000) mengestimasi emisi global GHG
dari waduk sebesar 2300 juta ton CO2e/tahun (CO2 dan CH4) dengan luas waduk 1.500.000
km2. Sejak itu mulai banyak kajian tentang emisi dari waduk PLTA. Barros et al (2011)
mengestimasi emisi global CH4 sebesar 288 juta ton CO2e/tahun yang terdiri atas 48 juta
ton CO2/tahun dan 3 juta ton CH4/tahun dengan luas waduk 350.000 km2. Kedua hasil
tersebut menunjukkan perbedaan yang signifikasn untuk nilai emisi per satuan luas, yaitu
192 ton CO2e/km2 (St Louis et al, 2000) dan 6571 ton CO2e/tahun/km2 (Barros et al, 2011).
Penelitian yang dilakukan MED India networking for Health 2007 memberikan hasil 104
juta ton CH4/tahun yang bersumber dari bendungan-bendungan besar di dunia. Kajian
terbaru tentang emisi global dari waduk PLTA adalah sebesar 1.7 Pg CO2e/tahun atau 1.7
Gt CO2e dengan kisaran 1.1-2.7 Pg CO2e/tahun) (Deemer et al, 2016). Nilai ini setara
dengan 3.5% dari emisi GHG global antropogenik. Hasil-hasil tersebut masih menimbulkan
kontroversi dan perdebatan ilmiah.
50
Pada skala tapak, pengukuran emisi GHG dari waduk PLTA juga menunjukkan hasil yang
berbeda-beda. Gruca-Rokosz et al (2011) menghasilkan 0,26-6,14 g-CH4/m2/hari di di
Waduk Nielisz di Polandia Tenggara. Emma Hällqvist (2012) meneliti di tiga waduk di
Brasil mengasilkan nilai emisi setiap waduk adalah 0,00–0,16 g-CH4/m2/hari, 0,00–0,63 g-
CH4/m2/hari dan 0,00–0,01 g-CH4/m2/hari. Nilai-nilai yang berbeda juga dihasil dari
beberapa penelitian (Le Yang et al (2014). Deemer et al (2016) merangkum berbagai kajian
dan menghasilkan emisi sebesar 0,024-0,112 g-CH4/m2/hari dan 0,386-0,660 g-
CO2/m2/hari. Pengukuran yang berbeda juga dihasil pada penelitian yang dilakukan di
Indonesia. Emisi CH4 di waduk Jatiluhur berkisar antara 0,00–5,27 g/m2/hari, waduk
Saguling 0,00–8,17 g/m2/hari dan Cirata 0,00–2,26 g/m2/hari (Sofia et al, 2013).
Pada kondisi nilai-nilai emisi GHG tersebut diatas, rencana pembangunan PLTA
Batang Toru di Sumatera Utara dihadapkan pada isu sebagai penghasil metan dan
penyumbang emisi GHG satu milyar ton GRK atau sebesar 1.3% dari nilai global. Nilai
1,3% dari emisi global GRK adalah angka yang sangat besar, yaitu sekitar 0,673 Gt CO2e.
Jika mengacu pada hasil kajian Deemer et al (2016), maka waduk PLTA Batang Toru dapat
dianggap penyumbang GHG terbesar, yaitu sekitar 19.4% dari seluruh emisi waduk di
dunia. Tuduhan ini jelas secara ilmiah harus dibuktikan. Oleh karena itu, di dalam kajian
ini akan dilakukan penilaian perhitungan emisi GHG dari waduk PLTA Batang Toru. Selain
itu juga melakukan penilaian yang dapat membandingkannya dengan sumber-sumber emisi
GHG lainnya.
Tujuan
1) Melakukan perhitungan emisi GRK (CO2 dan CH4) pada rencana kegiatan
pembangunan waduk PLTA Batang Toru
2) Melakukan perbandingan nilai emisi GRK yang dihasilkan dari waduk PLTA Batang
Toru dengan sumber emisi lainnya seperti dari lahan pertanian di sekitar waduk
3) Menghitung emisi netto waduk PLTA Batang Toru berdasarkan nilai energi listrik yang
akan dihasilkan sebesar 510 MW dan membandingkannya dengan sumber energi listrik
yang berasal dari bahan bakar fosil dan gas alam.
B. Metodologi
Metode kajian ini menggunakan pendekatan kajian literatur, analisis spasial, pemodelan
dan survei lapangan.
Kajian literatur
Kajian literatur dimaksudkan untuk:
1) Mendapatkan nilai-nilai emisi GRK pada tingkat global dan skala tapak dari berbagai
sektor dan sumber emisi
2) Mencari model perhitungan emisi GRK yang ilmiah dan kredibel,
3) Menghimpun nilai dan parameter yang digunakan dalam model perhitungan emisi GRK
dari waduk PLTA. Termasuk di dalamnya adalah spesifikasi teknis waduk PLTA
Batang Toru
51
4) Menghimpun data dan informasi yang dapat digunakan untuk membandingkan emisi
GRK dari waduk PLTA terhadap waduk lainnya dan sektor/sumber lainnya, seperti
pertanian.
Analisis Spasial
Analisis spasial pada kajian ini bertujuan untuk menghimpun data dan parameter
yang digunakan dalam model perhitungan emisi GRK waduk PLTA Batang Toru. Perangkat
lunak yang digunakan adalah ArcGIS 10.1 dan SWAT (Soil Water Assesment Tools).
Berikut ini adalah data dan analisis spasial yang digunakan pada kajian ini (Tabel 20).
Tabel 20 Data dan peta yang digunakan dalam analisis spasial
No Data dan Peta Keterangan
1 Citra Satelit Landsat 8 OLI/TIRS Agustus Analisis tutupan lahan
2018 (www.earthexplorer.usgs.gov)
2 Peta RBI dan penggunaan lahan skala Penentuan batas wilayah kajian, analisis tutupan
1:50000 (BIG, 2018) dan penggunaan lahan
3 DEM SRTM 30 meter Surface hidrology analisis untuk menentukan
((www.earthexplorer.usgs.gov) jaringan aliran permukaan, batas daerah tangkapan
air dan area genangan
4 Data demografi wilayah kajian (BPS, Untuk menentukan distribusi spasial populasi
2017) penduduk
5 Peta-peta waduk dan rencana Paramenterisasi model perhitungan emisi GRK
pembangunan PLTA
Pemodelan G-Res
G-res adalah perangkat lunak model perhitungan emisi GRK dari waduk PLTA dalam
konteks lansekap. Perangkat ini mulai diperkenalkan pada World Hydropower Congress
in Addis Ababa tahun 2017 oleh International Hydropower Association (IHA) dan
UNESCO Chair in Global Environmental Change (Prairie et al, 2017). Prinsip-prinsip
model perhitungan ini adalah:
Jejak perhitungan GRK dalam konteks lansekap (tangkapan hulu, daerah reservoir,
sungai hilir) sebelum penahanan/dam (Gambar 1)
Model sudah mempertimbangkan atribut-atribut yang berkaitan dengan kondisi
lingkungan khusus daerah waduk seperti iklim, geografis, edafik, tutupan lahan dan
hidrologi.
Fungsi hidrologis seperti waktu konsentrasi air di dalam waduk sudah menjadi salah
satu parameter perhitungan emisi GRK
Perpindahan lokus emisi GRK, yaitu emisi yang bersumber dari tempat lain dalam
jaringan air di bagian hulu waduk dan terlepas ke amosfer di waduk PLTA.
Emisi bersih (nett emisi) sudah memperhitungkan hasil pelepasan nutrisi dan zat
organik oleh aktivitas manusia yang tidak terkait yang terjadi di hulu atau di dalam
waduk.
Menghitung sumber-sumber emisi tidak langsung yang berkaitan dengan
transportasi dan pembangunan konstruksi infrastruktur waduk.
52
Model G-Res menghitung emisi berdasarkan pada proses-proses siklus karbon dan
pelepasan GHG ke atmosfer dari waduk PLTA (Gambar 14). Emisi GRK yang
diperhitungkan dalam model G-Res adalah CO2 dan CH4. Sebagai hasil akhirnya adalah
neraca karbon CO2e pada suatu waduk PLTA.
Parameter-parameter input yang digunakan dalam model ini dikelompokan menjadi tiga
bagian, yaitu :
1) Parameter daerah tangkapan air, yang meliputi (i) luas daerah tangkapan air waduk,
(ii) tutupan vegetasi dan penggunaan lahan, (iii) jumlah penduduk, (iv) manajemen
limbah daerah tangkapan, (v) debit dan aliran permukaan sungai
2) Parameter waduk, yang meliputi (i) luas daerah genangan, (ii) volume genangan,
(iii) kedalaman waduk (iv) spesifikasi teknis bendung seperti tinggi bendung dan
intake, (v) karbon tanah, (vi) zona iklim dan data iklim seperti angin, radiasi dan
suhu, (vii) tutupan vegetasi dan penggunaan lahan di areal yang akan digenani
3) Parameter kontruksi, untuk menggitung emisi tidak langsung dari kegiatan
transportasi dan pembangunan kontruksi waduk. Di dalamnya termasuk konsumsi
bahan bakar yang digunakan selama proses pembangunan waduk. Pada kajian ini,
parameter kontruksi tidak dihitung sebagai sumber emisi.
53
Aplikasi model G-Res pada kajian ini akan menggunakan dua skenario yang berkaitan
dengan tutupan vegetasi dan penggunaan lahan di areal penggenangan. Skenario tersebut
adalah (i) Penggenangan dilakukan langsung pada kondisi tutupan lahan yang ada pada saat
ini (eksisting); dan (ii) Penggenangan dilakukan setelah penebangan pohon hutan hingga
tutupan vegetasinya menjadi semak belukar
Survei Lapangan
Kegiatan survei lapangan dilakukan untuk menverifikasi penutupan vegetasi dan
penggunaan lahan. Untuk setiap tutupan vegetasi dilakukan pengukuran biomassa dengan
pendekatan allometrik. Nilai biomassa yang dihasilkan dari pengukuran di lapangan
selanjutnya digunakan untuk merubah faktor emisi setiap tutupan lahan dalam model G-
Res. Selain itu, survei lapangan ini juga dilakukan untuk memastikan batas-batas area
penggenangan dan titik dam.
1Peraturan pelaksana diatur dalam Permen Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 27/PRT/M/2015
TAHUN 2015
54
mendefinisikan bendungan besar adalah bendungan dengan ketinggian 15 m atau lebih
dari fondasi terendah atau bendungan dengan ketinggian 5-15 m yang mempunyai
daya tampung lebih dari 3 juta m3. Berdasarkan pada definisi itu, ICOLD dalam basis
data World Register of Dams telah meregister 33000 bendungan besar di seluruh dunia.
ICOLD tidak mendefinisikan bendungan raksasa. Berdasarkan definisi ICOLD, maka
bendungan Batang Toru termasuk dalam bendungan besar, karena mempunyai ketinggian
bendung dari fondasi adalah 72.5 meter (AMDAL PLTA Batang Toru, 2014; Synohydro,
2017)
Istilah bendungan raksasa dikemukakan oleh organisasi International River yang
berbasis di USA. Organisasi ini mencatat ada 57.000 bendungan besar dengan ketinggian
lebih dari 15 m di seluruh dunia. Negara dengan bendungan besar terbanyak adalah China,
yaitu 23.000 bendungan, USA dengan 9.200 bendungan dan kemudian diikuti oleh India,
Jepang dan Brazil. Diantara bendungan-bendungan besar tersebut tercatat ada sekitar 300
bendungan raksasa, yaitu yang mempunyai ketinggian lebih dari 150 m. Ukuran seperti
volume daya tampung dan luas genangan juga disarankan sebagai parameter untuk menilai
bendungan raksasa (International River, 2018).
Penelusuran literatur dan data bendungan menurut ukuran (tinggi bendung, volume
dan luas genangan) pada kajian ini menghasilkan 186 bendungan dengan ketinggian lebih
dari 150 meter, 80 bendungan dengan luas genangan lebih dari 515 km2 dan 48 bendungan
dengan volume lebih dari 12.500 juta m3 (Lampiran 1, 2 dan 3). Bendungan tertinggi di
dunia adalah Jinping-I Dam (305 m) di Sungai Yalong-China (Chinese Committee on Large
Dams. 2011). Bendungan dengan genangan terluas adalah Owen Falls Dam/Lake Victoria
(66.400 km2) di Sungai White Nile-Kenya, Tanzania dan Uganda (Shalash, S., 1980).
Sedangkan bendungan dengan volume tampung air terbesar adalah Lake Kariba Dam (180.6
milyar m3) di sungai Zambezi-Zambia dan Zimbawe (Avakyan dan Ovchinnikova, 1971).
Bendungan-bendungan di Indonesia tidak ada yang masuk di dalam daftar tersebut (Tabel
2 dan 3)
Bendungan di Indonesia yang tertinggi adalah Cirata (125 meter) di Purwakarta-
Jawa Barat yang membendung sungai Citarum. Bendungan dengan genangan terluas adalah
Riam Kanan (9.200 ha) di Banjarbaru-Kalimantan Selatan. Bendungan dengan volume air
terbesar adalah Bendungan Jatiluhur di Purwakarta-Jawa Barat (KNIBB, 2017). Data ini
menunjukkan bahwa bendungan Batang Toru tidak termasuk dalam daftar bendungan
tertinggi, terluas dan terbesar di Indonesia. Tinggi bendungan Batang Toru adalah 72.5
meter, luas genangan 90 ha dan volume tampungan air adalah 3.89 juta m3 (AMDAL PLTA
Batang Toru, 2014; Synohydro, 2017).
Fakta-fakta diatas menunjukkan bahwa bendungan PLTA Batang Toru bukan
bendungan raksasa. Bahkan untuk ukuran Indonesia bukan merupakan bendungan terbesar.
Oleh karena itu, pernyataan yang menyatakan bahwa bendungan PLTA Batang Toru adalah
bendungan raksasa adalah tidak benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Hal ini juga menunjukkan bahwa tidak mungkin bendungan PLTA Batang Toru
akan memberikan kontribusi emisi GRKG sebesar 1.3% dari emisi global.
55
Tabel 21 Bendung/dam tertinggi di Indonesia
Bendung
Nama Panjang
No Lokasi Sungai Tinggi Volume
Bendungan Puncak
(m) (juta m3)
(m)
Purwakarta, Jawa
1 Cirata Citarum 125.0 451.5 3.90
Barat
Wadas Kebumen, Jawa
2 Badagelan 122.0 650.0 8.20
Lintang Tengah
Talang Padang,
3 Batu Tegi Way Sekampung 122.0 701.0 9.62
Lampung
Banjarnegara, Jawa
4 Mrica Serayu 110.0 657.2 4.92
tengah
Sumedang, Jawa
5 Jatigede Cimanuk 110.0 1715.0 5.00
Barat
Purwakarta, Jawa
6 Jatiluhur Citarum 105.0 1200.0 9.10
Barat
Tulungagung, Jawa
7 Wonorejo Gondang-Brantas 100.0 545.0 6.15
Timur
8 Saguling Bandung, Jawa Barat Citarum 99.0 301.4 2.57
Karabe, Sulawesi
9 Balambano Larona 99.0 360.0 0.54
Selatan
10 Karangkates Malang, Jawa Timur Brantas 97.5 800.0 6.16
Soroako, Sulawesi
11 Karabbe Larona 74.0 79.5 0.20
Selatan
56
Volume
Luas
Nama tampung PLTA
No Lokasi Sungai Genangan
Bendungan air (juta (MW)
(ha)
m3)
Wadas Kebumen, Jawa
10 Badagelan 1.280 440 16
Lintang Tengah
Banjarnegara, Jawa
11 Mrica Serayu 1.250 194 185
tengah
Benarkah PLTA Batang Toru akan menghasilkan emisi GRK sebesar satu milyar
ton atau 1,3% dari emisi global?
Hasil perhitungan emisi netto GRK untuk bendungan PLTA Batang Toru dengan
menggunakan model G-Res pada skenario-1 adalah 349 ton CO2e/tahun, sedangkan untuk
skenario-2 adalah 267 ton CO2e/tahun (Lampiran 5). Hasil-hasil ini jika dibandingkan
dengan emisi global maka nilainya sangat kecil, begitu juga dibandingkan dengan emisi
nasional Indonesia. Emisi GRK pada tingkat global adalah 49 Gt/tahun, sedangkan emisi
GRK Indonesia adalah 1.79 Gt/tahun (Indonesia Second National Communication, 2010).
Kontribusi emisi GRK PLTA Batang Toru terhadap emisi global adalah 0.00071%
(skenario-1) dan 0.00054% (skenario-2). Sedangkan kontribusinya terhadap emisi GRK
nasional adalah 0,019% (skenario-1) dan 0.015% (skenario-2).
Emisi GRK Batang Toru tersebut adalah hasil perhitung model G-Res. Parameter
input yang digunakan terdiri atas parameter daerah tangkapan air dan parameter bendungan
(Lampiran 4). Nilai emisi GRK yang terjadi di area bendungan PLTA Batang Toru tidak
hanya bersumber dari areal penggenangan, melainkan juga bersumber dari limbah kegiatan
antropogenik di bagian hulu. Sumber-sumber emisi antorpogenik dari bagian hulu dihitung
berdasarkan parameter penggunaan lahan dan sampah/limbah per kapita di daerah
tangkapan bendungan. Sumber emisi ini menjadi bagian penting dalam perhitungan emisi
netto untuk bendungan.
Pada skenario-1, jumlah emisi nettonya berasal dari emisi CO2 sebesar 302
ton/tahun dan CH4 adalah 47 ton CO2e/tahun atau sebesar 1.88 ton/tahun.2 Sedangkan pada
skenario-2 adalah 221 ton CO2/tahun dan 1.88 ton CH4/tahun. Nilai tersebut menunjukkan
bahwa kedua skenario hanya memiliki perbedaan emisi CO2. Ini indikator bahwa
pemanenan kayu hutan sebelum penggenangan dapat mengurangi emisi CO2, namun tidak
merubah kesetimbangan emisi CH4. Hal ini karena emisi CH4 antropogenik dari bagian
hulu bendungan memberikan nilai yang lebih besar jika dibandingkan emisi dari bendungan,
yaitu sekitar 87%.
Emisi CH4 dari bendungan terdiri atas proses bubbling, diffusive dan degassing.
Fraksi CH4 diffusive adalah 30.4%, degassing 64.1% dan bubbling 6.5%. Rata-rata emisi
CH4 adalah 0.02 g/m2/hari. Nilai ini berada dalam kisaran hasil pengukuran yang
dikompilasi oleh Deemer et al (2016) dan pengukuran yang dilakukan di Indonesia oleh
2
Nilai GWP yang digunakan untuk menhitung CO2e bagi CH4 adalah 25
57
Sofia et al (2013). Emisi CH4 terbesar bersumber dari proses degassing karena pelepasan
CH4 dari outlet bendungan setelah melalui turbin.
Benarkan PLTA Batang Toru menghasilkan emisi CH4 yang lebih besar
dibandingkan dengan sektor pertanian?
Emisi CH4 dari sektor pertanian untuk seluruh Indonesia pada tahun 2005 adalah
sebesar 50.670 Gg CO2e/tahun atau setara dengan 2026.8 Gg CH4. Kontribusi padi sawah
adalah sebesar 1.649 Gg CH4 (Indonesia Second National Communication, 2010). Menurut
Loka penelitian Pencemaran Lingkungan Pertanian (Lolingtan) di Jakenan dalam Fahmudin
et al (2004) emisi CH4 di bervariasi antara 107-798 kgCH4/ha/musim. Jika diasumsikan
bahwa dalam 1 musim adalah 100 hari maka rata-rata emisi CH4 lahan sawah berkisar
antara 0.107 – 0.798 g/m2/hari. Nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan keluaran
model G-Res yang menghasilkan emisi CH4 untuk bendungan adalah 0.02 g/m2/hari.
Luas sawah di daerah tangkapan air bendungan PLTA Batang Toru adalah 30.123,2
ha. Jika pada luasan sawah tersebut dilakukan penanaman satu musim dalam setahun, maka
akan menghasilkan emisi CH4 berkisar antara 3233 s.d 24038 ton CH4/tahun. Nilai ini lebih
besar dibandingkan dengan emisi CH4 dari bendungan PLTA Batang Toru sebesar 1.88
ton/tahun. Dengan demikian pernyataan yang menyatakan bahwa PLTA Batang Toru akan
menghasilkan emisi CH4 dari lahan pertanian adalah tidak benar.
Apakah PLTA Batang Toru dapat mereduksi emisi CO2e dan berapa nilai?
PLTA Batang Toru menghasilkan listrik 510 MW. Skenario operasional PLTA ini
adalah saat beban puncak dan diperkirakan berlangsung selama 8 jam/hari. Menurut hasil
model G-Res, operasional PLTA tersebut akan menghasilkan emisi CO2e sekitar 267-349
ton CO2e/tahun. Nilai ini jika dibandingkan dengan pembangkit listrik yang menggunakan
bahan bakar fosil jauh lebih kecil (Tabel 23). Pengoperasian PLTA Batang Toru dapat
mereduksi CO2e sebesar 1,01 – 1,99 juta ton CO2e/tahun.
Tabel 23 Nilai emisi CO2e penggunaan batubara, gas alam, solar HSD (High speed diesel)
dan minyak MFO (Marine Fuel Oil) untuk menghasilkan jumlah listrik dan waktu
yang sama dengan PLTA Batang Toru.
D. Kesimpulan
1. Mengacu kriteria organisasi International River yang berbasis di USA, bendungan
PLTA Batang Toru tidak termasuk kategori “bendungan raksasa” (sebab tingginya
hanya 72.5 meter dengan luas genangan 90 ha dan volume tampungan air adalah 3.89
juta m3).
58
2. Hasil perhitungan emisi netto GRK untuk bendungan PLTA Batang Toru dengan
menggunakan model G-Res pada skenario-1 adalah 349 ton CO2e/tahun, sedangkan
untuk skenario-2 adalah 267 ton CO2e/tahun. Kontribusi emisi GRK PLTA Batang
Toru terhadap emisi global adalah 0.00071% (skenario-1) dan 0.00054% (skenario-2).
Sedangkan kontribusinya terhadap emisi GRK nasional adalah 0,019% (skenario-1) dan
0.015% (skenario-2). Dengan demikian tudingan yang menyatakan bahwa PLTA
Batang Toru akan menghasilkan emisi CH4 lebih besar dari lahan pertanian
adalah tidak benar.
59
60
BENARKAH PLTA BATANG TORU
AKAN MENGHILANGKAN MATA
PENCAHARIAN MASYARAKAT
SEKITAR ?
A. Pendahuluan
Air dan listrik merupakan sumberdaya yang penting dalam mendukung pertumbuhan
ekonomi dan memperbaiki standar kehidupan masyarakat (Snoussi et al. 2007; Yuksel
2009). Investasi pembangunan pembangkit energi terbarukan secara nasional diharapkan
dapat memasok sumber energi listrik bagi pembangunan wilayah dan pengembangan
investasi regional, termasuk di Provinsi Sumatera Utara. Saat ini, sumber energi listrik
terbarukan dan bersih menjadi pilihan untuk pengembangan energi berkelanjutan dan
penting dalam mitigasi polusi lingkungan. Menurut Kepmen 5899 Tahun 2016 mengenai
Pengesahan RUPTL PLN 2016-2025, potensi sumber energi yang cukup besar yang tersedia
di Sumatera Utara adalah tenaga air dan panas bumi karena provinsi ini tidak mempunyai
potensi batubara. Di sisi lain, sumber gas alam/panas bumi telah mengalami penurunan
sedangkan beberapa sungai di Provinsi Sumatera Utara memiliki potensi untuk
dikembangkan menjadi pembangkit listrik. Sehubungan dengan hal tersebut, pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru berkapasitas 510 Megawatt di
61
Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara diharapkan dapat memacu realisasi investasi di
seluruh Sumatra.
PLTA Batang Toru merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional 35000MW
untuk mendorong pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi ke luar Pulau Jawa.
Proyek ini menggunakan energi baru terbarukan. Proyek PLTA, sama halnya dengan
proyek manapun, dapat memiliki berbagai dampak terhadap masyarakat yang hidup di dekat
lokasi proyek, baik yang bersifat menguntungkan maupun merugikan. Dampak positif
terhadap kondisi sosio-ekonomi mencakup penyediaan lapangan kerja, kesejahteraan, dan
aksesibilitas pasar (Koch 2002). Dampak negatif yang seringkali diangkat adalah hilangnya
vegetasi, perubahan aliran sungai, hilangnya habitat satwa liar, kesehatan dan pemindahan
masyarakat lokal (Sharma dan Rana 2014) meskipun sebagian besar kajian mengenai
dampak proyek PLTA terhadap kondisi sosio-ekonomi masyarakat fokus pada masalah
pemiskinan pemilik lahan (economic displacement) (Isaacman 2005; Tefera dan Sterk 2008;
Brown dan Xu 2010) dengan konsekuensi buruk bagi mata pencaharian masyarakat yang
terkena dampak (Trussart et al. 2002; Isaacman 2005). Dampak-dampak negatif tersebut
menjadikan proyek PLTA sebagai subyek oposisi yang kuat dari beragam organisasi
lingkungan.
Saat ini, pembangunan PLTA Batang Toru juga tidak terlepas dari tudingan-tudingan
di atas. PLTA ini dianggap oleh sebagian kelompok masyarakat akan merugikan kondisi
sosial ekonomi masyarakat setempat, mengingat sumber penghidupan mereka yang
sebagian besar masih bergantung pada alam, baik dari pertanian, perkebunan maupun
perikanan. Beberapa kekhawatiran termasuk hilangnya sumber penghidupan masyarakat
karena lahan mereka akan dibuka, banjir dan bahkan kekeringan jika PLTA sudah
beroperasi. Tudingan-tudingan ini perlu diverifikasi, karena PT. NSHE mengklaim
menggunakan teknologi yang ramah lingkungan. Adapun teknologi ramah lingkungan
tersebut dikenal nama Run of River Hydropower atau saat ini oleh perusahaan disebut
sebagai Daily Pondage. Pada umumnya, PLTA beroperasi dengan membangun bendungan
yang memblok aliran air untuk menciptakan sebuah reservoir dengan kapasitas menyimpan
air, namun pada daily pondage, secara sederhana, prinsip kerjanya adalah memanfaatkan
aliran air sungai tanpa perlu membangun bendungan dengan daerah genangan luas.
Pembangunan PLTA Batang Toru pada kenyataannya membangun konstruksi bendungan
dengan penggenangan areal yang tidak luas dan sedikit atau tidak sama sekali mencakup
lahan garapan atau permukiman, karena lembah sungai yang curam dan sempit, sehingga
masyarakat masih bisa beraktivitas di lahan garapannya dan permukiman mereka tidak perlu
dipindahkan. Pengoperasiannya juga hanya berdasarkan sistem harian dan hanya di saat
kebutuhan listrik tertinggi (peak). Oleh karena itu, tujuan dari verifikasi lapang ini adalah
untuk mengidentifikasi dan menganalisa persepsi masyarakat tentang dampak
pembangunan PLTA terhadap kondisi sosial ekonomi rumah tangga dan lingkungan (terkait
orangutan) pada penduduk desa yang tidak perlu dipindahkan.
62
B. Metodologi
Pemilihan Lokasi
Dampak pembangunan PLTA selalu dikaitkan dengan ruang lingkup spasial,
mencakup wilayah hulu, pintu masuk PLTA dan hilir. Secara administratif, wilayah hulu
Sungai Batang Toru terletak di Kecamatan Sipirok dengan hilir di Kecamatan Batang Toru,
namun secara batas DAS, hilirnya terletak di Kecamatan Angkola Sangkunur. Desa-desa
kajian meliputi:
1. Kecamatan Sipirok – Desa Aek Batang Paya meliputi ketiga dusun yang
membentuknya, yaitu Dusun Paske, Dusun Dano Lombang dan Dusun Gunung
Hasahatan (Pargodungan adalah nama yang lebih dikenal oleh masyarakat). Selain
terletak di wilayah hulu, desa ini merupakan desa terdekat dengan titik penemuan
orangutan versi YEL;
2. Kecamatan Marancar – Desa Marancar Godang merupakan lokasi letak salah satu
pintu masuk PLTA;
3. Kecamatan Angkola Sangkunur – Desa Bandar Tarutung, terletak di hilir yang
masyarakatnya masih bergantung pada perikanan.
63
Gambar 21 Kegiatan wawancara di Desa Aek Batang Paya
Selain itu, terkait dengan species Orangutan tapanuli yang dijadikan alasan utama
berbagai pihak untuk penghentian pembangunan PLTA ini, Meijaard et al. (2011)
menyatakan bahwa untuk memahami populasi spesies yang belum banyak terungkap namun
mudah dikenali oleh masyarakat setempat, dapat digunakan survei berbasis wawancara yang
merupakan metode yang efektif dari sisi biaya. Survei ini seharusnya dapat memberikan
estimasi mengenai kehadiran dan perjumpaan relatif dengan spesies tersebut. Oleh karena
itu untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang orangutan di sekitar mereka digunakan
Tabel 25. Data mengenai persepsi terhadap orangutan hanya diambil di Desa Aek Batang
Paya karena merupakan desa terdekat dengan titik penemuan orangutan menurut data hasil
penafsiran YEL. Beberapa data sekunder juga dikumpulkan dari dokumen-dokumen yang
bersumber dari pemerintah dan swasta, termasuk perusahaan pengembang PLTA Batang
Toru.
Tabel 24 Karakteristik responden
KARAKTERISTIK
Karakteristik Individu
1. Usia
≤ 49 tahun
50-69 tahun
≥ 70 tahun
2. Asal daerah
Lokal
Pendatang
3. Gender
Laki-laki
Perempuan
4. Status pernikahan
Tidak menikah
Menikah
Duda/Janda
5. Pendidikan
Tidak sekolah
SD
SMP
SMA
Perguruan Tinggi
6. Latar belakang bermukim
Lokal
Sosial
Ekonomi
64
KARAKTERISTIK
Karakteristik Keluarga & Penghidupan
7. Ukuran keluarga
1-2 individu
3-4 individu
≥ 5 individu
8. Luas lahan pertanian Sawah Lokasi Ladang
Lokasi
Tidak punya
≤2 hektar
2-5 hektar
5-10 hektar
≥10 hektar
9. Lama bermukim
0-5 tahun
6-10 tahun
≥ 11 tahun
10. Aktivitas pertanian
Jenis tanaman pertanian yang dimiliki:
Sumber air untuk pertanian
11. Pendapatan utama/bulan (Rp)
≤ 2.000.000
2.000.000 – 10.000.000
≥ 10.000.000
12. Pendapatan sampingan/bln (Rp)
≤ 2.000.000
2.000.000 – 10.000.000
≥ 10.000.000
13. Status lahan garapan (sawah/ladang)
Adat
Negara
Hak milik
14. Pola sebaran lahan garapan
Mengelompok
Tersebar
15. Curahan waktu bekerja di lahan garapan
Penuh waktu
Paruh waktu (utama)
Paruh waktu (sampingan)
16. Jarak rumah ke lahan garapan
Dekat (< 1 km)
Sedang (1-2 km)
Jauh (> 2 km)
17. Tenaga kerja
Anggota keluarga inti
Anggota keluarga lain
Bukan keluarga
18. Input pertanian
Kimia
Organik
19. Orientasi perekonomian keluarga
Subsisten
Subsisten + pasar
Pasar
20. Sumber pengetahuan mengenai PLTA Batang Toru
Perusahaan
Teman/tetangga
65
KARAKTERISTIK
Pemerintah
Organisai lain
21. Keadaan tempat tinggal
Permanen
Semi-permanen
Non-permanen
22. Sumber listrik keluarga
PLN
Sungai Batang Toru
Lainnya
Tambahan informasi:
1. Keuntungan yang akan didapatkan dengan adanya PLTA Batang Toru:
a. ....................................... b. ........................................ c. ................................
66
SKALA LIKERT
0 1 2 3 4 5
NO. PERNYATAAN tidak sangat tidak netral setuju sangat KETERANGAN
tahu tidak setuju setuju
setuju
PLTA Batang Toru akan
5
mengurangi tingkat pengangguran
PLTA Batang Toru membantu
6
pemberdayaan masyarakat
Pembangunan PLTA Batang Toru
7 tidak menimbulkan konflik
dengan masyarakat
Masyarakat mendukung adanya
8
PLTA Batang Toru
LINGKUNGAN
Pembangunan PLTA Batang Toru
1
tidak merusak lingkungan
PLTA Batang Toru tidak
2
menyebabkan banjir
PLTA Batang Toru tidak akan
3 mengganggu aktivitas pertanian
masyarakat
PLTA Batang Toru membantu
4
menjaga kualitas air sungai
PLTA Batang Toru tidak
5
mencemari sungai
PLTA Batang Toru membantu
6 menjaga kualitas dan volume air
tanah
PLTA Batang Toru tidak
7 menyebabkan lahan pertanian
menjadi kering
PLTA Batang Toru dapat menjadi
8
tempat tinggal bagi satwa liar
Pembangunan PLTA Batang Toru
9
tidak mengganggu satwaliar
Tidak perlu dilakukan pembukaan
10 hutan untuk membangun PLTA
Batang Toru
67
Desa Kajian (%)
Pernyataan Marancar
Aek Batang Paya Bandar Tarutung
Podung
> 61,000
68
No. Persepsi Masyarakat Persentase (%)
Ada
Tidak ada
13 Sosialisasi tentang orangutan
Ada
Tidak Ada
14 Pengetahuan tentang status perlindungan orangutan
Tahu bahwa orangutan dilindungi
Tidak tahu/Orangutan tidak dilindungi
Persepsi Masyarakat
Persepsi masyarakat terdiri atas persepsi terhadap dampak ekonomi, sosial, dan
lingkungan pembangunan PLTA Batang Toru, yang dianalisis secara deskriptif dengan
menggunakan teknik pengolahan statistika dasar, berupa nilai frekuensi yang disajikan
dalam bentuk persentase (%). Data persepsi dikelompokkan berdasarkan skor masing-
masing tanggapan. Skor yang digunakan untuk menilai pernyataan mengikuti pedoman
Skala Likert 0 sampai 5 (0: tidak tahu, 1: sangat tidak setuju, 2: tidak setuju, 3: netral, 4:
setuju, 5: sangat setuju). Penggolongan kategori dilakukan berdasarkan total skor yang
diperoleh responden untuk setiap aspek yang diajukan pada pernyataan. Skor dari tiap aspek
dikategorikan berdasarkan interval nilai tanggapan seperti pada Tabel 26 berikut.
69
Tabel 28 Tingkat persepsi berdasarkan nilai tanggapan responden
No Interval nilai tanggapan Tingkat persepsi
1 4-5 Setuju
2 3 Netral
3 1-2 Tidak Setuju
4 0 Tidak Tahu
𝜋𝑠
𝑆= 𝑋 100% .....................................................................(1)
𝜋𝑡
Keterangan:
S = Share pendapatan terhadap pendapatan total
𝜋𝑠= Pendapatan rumah tangga (Rp/bulan)
𝜋𝑡= Pendapatan total rumah tangga (Rp/bulan)
𝜋𝑠
𝐼= 𝑋 100% .....................................................................(2)
𝐵
Keterangan:
I = Covering pengeluaran rumah tangga (%)
𝜋𝑠 = Pendapatan rumah tangga (Rp/bulan)
B = Pengeluaran total rumah tangga (Rp/bulan)
Persentase share dan covering pendapatan rumah tangga terhadap pendapatan total
dan pengeluaran rumah tangga mengikuti kategori oleh Sundari et al. (2012) yaitu: Sangat
rendah, jika persentase share dan covering <25%; Rendah, jika persentase share dan
covering 25% - 49%; Tinggi, jika persentase share dan covering 50% - 75%; dan Sangat
tinggi, jika persentase share dan covering >75%.
Karakteristik Responden
Kondisi lingkungan sekitar merupakan penentu bagi pencapaian kesejahteraan
rumah tangga perdesaan, namun sedikit yang diketahui tentang persepsi masyarakat di suatu
tempat terkait pembangunan yang sedang atau akan dikembangkan di wilayah mereka
(Hunter et al. 2010). Selain itu, belum banyak studi yang membandingkan persepsi
masyarakat lokal terhadap pengelolaan sumber daya alam dan mengidentifikasi faktor-
faktor yang membentuk persepsi tersebut (Mngumi et al. 2013). Bahkan lebih sering
berbagai pendapat mengenai dampak suatu pembangunan terhadap kondisi sosial, ekonomi
dan lingkungan suatu wilayah dikemukakan oleh organisasi lingkungan sedangkan persepsi
70
yang datangnya dari masyarakat lokal sendiri tidak mendapat banyak perhatian
sebagaimana layaknya (Guthiga 2008). Hasil penelitian Sari (2017) menemukan bahwa
persepsi terhadap dampak lingkungan dipengaruhi oleh lama seseorang tinggal di wilayah
tersebut dan persepsi terhadap dampak sosial dipengaruhi oleh latar belakang suku budaya,
sementara persepsi terhadap dampak ekonomi tidak dipengaruhi oleh karakteristik individu.
Meskipun demikian, hasil studi terdahulu juga menemukan faktor-faktor lain yang
memengaruhi persepsi
Masyarakat di ketiga desa kajian merupakan merupakan masyarakat lokal dan
pendatang. Meskipun pendatang, sebagian besar sudah tinggal disini lebih dari 11 tahun
sebagaimana ditunjukkan oleh data pada Tabel 29 berikut ini.
Tabel 29 Karakteristik responden di tiga desa kajian
Karakteristik Desa Kajian (%)
Responden Aek Batang Paya Marancar Godang Bantar Tarutung
Karakteristik individu
Jenis Kelamin
Laki-Laki 23.33 46.67 36.67
Perempuan 76.67 53.33 63.33
Umur
≤ 49 tahun 60 73.33 50
50 - 69 tahun 40 23.33 40
≥ 70 tahun 0 3.33 10
Asal daerah
Lokal 86.67 23.33 50
Pendatang 13.33 76.67 50
Latar belakang bermukim
Ekonomi 0 3.33 20
Sosial 43.33 36.67 60
Penduduk lokal 56.67 60 20
Pendidikan terakhir
Tidak bersekolah 6.67 10 6.67
SD 33.33 30 33.33
SMP 40 10 23.33
SMA 20 46.67 30
Perguruan tinggi 0 3.33 6.67
Status perkawinan
Menikah 73.33 53.33 93.33
Belum menikah 0 3.33 0
Duda/Janda 26.67 10 6.67
Karakteristik rumah tangga & penghidupan
Ukuran Keluarga
1-2 orang (kecil) 10 23.33 10
3-4 orang (sedang) 36.67 46.67 50
≥ 5 orang (besar) 53.33 30 40
Lama Bermukim
0-5 tahun 6.67 3.33 10
71
Karakteristik Desa Kajian (%)
Responden Aek Batang Paya Marancar Godang Bantar Tarutung
6-11 tahun 10 3.33 0
≥ 11 tahun 83.33 93.33 90
Luas lahan Pertanian
Tidak punya 10 30 16.67
≤ 2 ha 76.67 36.67 33.33
2-5 ha 13.33 30 43.33
5-10 ha 0 0 3.33
> 10 ha 0 3.33 3.33
Pekerjaan utama
Pekebun/Petani 43.33 40 60
PLTA 26.67 33.33 0
Wirausaha 26.67 16.67 6.67
Nelayan 0 0 23.33
Lainnya 3.33 10 10
Pekerjaan sampingan
Tidak ada 50 26.67 26.67
Pekebun/Petani 33.33 53.33 16.67
PLTA 0 0 0
Wirausaha 10 3.33 10
Nelayan 0 0 26.67
Lainnya 6.67 16.67 20
Pendapatan utama / bulan (Rp)
≤ 2,000,000 50 36.67 40
2,000,000-5,000,000 50 63.33 60
≥ 5,000,000 0 0 0
Pendapatan sampingan / bulan (Rp)
Tidak ada 50 26.67 27
≤ 2,000,000 40 66.67 57
2,000,000-5,000,000 10 6.67 17
≥ 5,000,000 0 0 0
Pengeluaran Total
≤ 2,000,000 73.33 53.33 56.67
2,000,000-5,000,000 26.67 46.67 43.33
≥ 5,000,000 0 0 0
Status lahan garapan
Tidak menggarap lahan 6.67 0 16.67
Adat 0 0 0
Negara 0 33.33 0
Hak Milik 86.67 50 83.33
Sewa 6.67 16.67 0
Pola sebaran lahan garapan
Mengelompok 25 40 32
Tersebar 75 60 68
Curahan waktu bekerja
Penuh waktu 53.57 53.33 56
72
Karakteristik Desa Kajian (%)
Responden Aek Batang Paya Marancar Godang Bantar Tarutung
Paruh waktu (utama) 42.86 3.33 20
Paruh waktu 3.57 43.33 24
(sampingan)
Jarak rumah ke lahan
Dekat (< 1 km) 32.14 56.67 32
Sedang (1-2 km) 50 23.33 44
Jauh (≥ 2 km) 17.86 20 24
Tenaga Kerja
Anggota keluarga inti 60.71 90 88
Anggota keluarga lain 3.57 6.67 0
Bukan keluarga 0 3.33 12
Input pertanian
Kimia 100 100 100
Organik 0 0 0
Orientasi perekonomian
Subsisten 100 93.33 90
Subsisten dan Pasar 0 6.67 10
Pasar 0 0 0
Keadaan tempat tinggal
Permanen 0 20 36.67
Semi permanen 26.67 23.33 30
Non permanen 73.33 56.67 33.33
Sumber pengetahuan PLTA Batang Toru
Perusahaan 53.33 16.67 6.67
Teman/tetangga 40 73.33 36.67
Pemerintah 6.67 10 0
Lainnya 0 0 56.67
“Mata pencaharian dan kehidupan sehari-hari akan hilang secara perlahan dan terancam”
“Banyak masyarakat yang masih menggantungkan hidup dan kebutuhan sehari-hari dari
aliran Sungai Batang Toru untuk perkebunan dan pertanian”
73
“Di Desa Batang Paya terdapat lahan pertanian yang secara turun menurun dikerjakan
masyarakat setempat”
“Di hilir sungai, ada 1200 hektar lahan pertanian produktif milik masyarakat yang
terancam pembangunan PLTA PT. NSHE”
“Pembangunan bendungan akan menyebabkan naik turunnya aliran sungai di hulu dan
hilir, sehingga berpengaruh pada kehidupan masyarakat dan menyebabkan adanya waktu
dimana sungai menjadi kering”
“Jika PLTA dibangun, kebutuhan air masyarakat sekitar akan terganggu”; “Bayangkan
ada bendungan di atas. Misalkan air disedot naik 12 m untuk kebutuhan daya listrik, artinya
sungai akan turun, jadi masyarakat tidak lagi bisa pakai sungai karena ada waktunya
airnya kering”
“Kedatangan PT NSHE bukan menguntungkan masyarakat, tapi merugikan karena akan
menghilangkan penghidupan masyarakat yang bergantung pada lahan pertanian”
“The dam will radically alter the nature of downstream water courses, significantly
impacting the local people. It will produce electricity during periods of peak demand,
typically between 6pm and midnight. During the day, the river will be blocked and the
reservoir above the dam will gradually fill up, to be released later through the tunnel and
turbines to generate electricity. Downstream communities, which normally experience
drought and flood cycles a few times a year, will now have to learn to cope with them on a
daily basis”
Berbagai macam tudingan ditujukan kepada pembangunan PLTA Batang Toru
sebagaimana ditunjukkan oleh pernyataan-pernyataan di atas. Pernyataan-pernyataan
tersebut menyiratkan bahwa jika PLTA dilanjutkan pembangunannya, maka lahan lahan
masyarakat akan dikorbankan. Ada pandangan bahwa lahan-lahan tersebut akan dibuka
untuk kebutuhan pembangunan PLTA dan pembangunan tersebut akan menyebabkan lahan
masyarakat kebanjiran dan pada saat tertentu akan mengalami kekeringan, sehingga
produktifitas pertanian mereka akan menurun drastis. Jika menyadur tudingan-tudingan
yang disampaikan berbagai macam pihak yang sama namun dari aspek ekologi, yaitu bahwa
pembangunan PLTA Batang Toru akan membuka hutan primer, maka terdapat ketidak
konsistenan dalam memberikan pernyataan. Di satu sisi, pihak-pihak tersebut
menyampaikan bahwa hutan di sekitar Sungai Batang Toru masih hutan primer, namun
dalam argumentasi sosial di atas, disampaikan kekhawatiran bahwa lahan-lahan masyarakat
akan dikorbankan. Suatu areal berhutan yang sudah ada lahan masyarakat atau
aktivitas berkebun/berladang/bertani, sudah jelas dan pasti bukanlah hutan primer.
Pernyataan-pernyataan berupa tudingan di atas dapat dibagi menjadi 3 (tiga) isu utama yaitu
pembukaan lahan kebun/ladang, banjir dan kekeringan, serta surplus listrik.
Dapat dilihat pada Tabel 29, bahwa sebagian besar masyarakat di ketiga desa memang
menggantungkan penghidupannya pada pertanian, yang membentuk komposisi terbanyak
dari responden yang diwawancara. Hasil ini juga dipertegas oleh data pada Tabel 30 dan
31, yang menunjukkan bahwa peran pertanian, perkebunan dan perikanan terhadap
pemenuhan kebutuhan hidup rumah tangga tergolong tinggi dan sangat tinggi. Pertanian dan
pembangunan PLTA menjadi dua sumber utama penghidupan masyarakat di ketiga desa
kajian. Tabel 29 menunjukkan bahwa kedua profesi tersebut bukan hanya dijumpai di
74
masyarakat sebagai sumber penghidupan utama, namun juga sebagai sumber penghidupan
sampingan. Jumlah yang cukup besar yang ditunjukkan melalui profesi petani/pekebun di
Desa Aek Batang Paya dan Desa Marancar Godang sebagai pekerjaan sampingan, juga
menandakan bahwa lahan di sekitar permukiman masyarakat menjadi satu-satunya sumber
penghidupan, sedangkan khusus di Desa Batang Tarutung, perikanan memegang peranan
lebih besar, karena sebanyak 26.67% masyarakatnya mengandalkan profesi sebagai nelayan
untuk mencari nafkah tambahan.
Tabel 30 Share pendapatan dari hasil pertanian, perkebunan dan perikanan terhadap pendapatan
dan pengeluaran total
Share terhadap
Rata-rata Rata-rata total
No Desa kajian pendapatan rumah Kategori
Pendapatan pendapatan
tangga (%)
1 Aek Batang Rp 1,703,333 Rp 2,654,000 64.18 Tinggi
Paya
2 Marancar Rp 1,278,333 Rp 2,885,333 44.30 Rendah
Godang
3 Bantar Rp 2,515,000 Rp 3,391,667 74.15 Tinggi
Tarutung
Tabel 31 Covering pendapatan dari hasil pertanian, perkebunan dan perikanan terhadap
pengeluaran rumah tangga
Rata-rata Covering terhadap
Rata-rata
No Desa kajian total pengeluaran rumah tangga Kategori
Pendapatan
pengeluaran (%)
1 Aek Batang Rp 1,703,333 Rp1,890,000 90.12 Sangat
Paya Tinggi
2 Marancar Rp1,278,333 Rp 2,076,667 61.56 Tinggi
Godang
3 Bantar Rp 2,515,000 Rp 2,153,333 116.80 Sangat
Tarutung Tinggi
Jika dilihat dari Tabel 30, dapat dikatakan bahwa penghidupan masyarakatnya sudah
tergolong cukup baik karena jumlah pendapatan utama dan sampingan jauh melebihi
pengeluaran mereka. Upah Minimum Kabupaten (UMK) Tapanuli Selatan adalah Rp
2.476.505,12 sedangkan pendapatan dari pekerjaan utama masyarakat di desa-desa kajian
didominasi dengan nominal Rp 2-5 juta ditambah pekerjaan sampingan yang mampu
menambah pendapatan keluarga sampai Rp 2 juta, sedangkan pengeluaran rumah tangga di
semua desa didominasi oleh nominal Rp 2 juta, terutama di Desa Aek Batang Paya. Terkait
dengan pekerjaan, Tabel 29 menunjukkan bahwa di Desa Aek Batang Paya (26.67%) dan
Desa Marancar Godang (33.33%), masyarakatnya sudah dilibatkan dalam kegiatan
pembangunan PLTA. Hasil serupa juga didapatkan melalui hasil kegiatan pemantauan
dalam laporan pelaksaan RKL dan RPL (PT. NSHE 2018).
Hal yang berbeda menyangkut pekerjaan masyarakat dijumpai di Desa Bantar
Tarutung, bahwa sebanyak 23.33% masyarakatnya adalah nelayan (Gamba 17a),
sedangkan profesi ini tidak ditemukan di kedua desa lainnya yang saat ini sudah tersentuh
oleh kegiatan pembangunan PLTA. Masyarakat Desa Bantar Tarutung di wilayah hilir,
bahkan tidak mengetahui bahwa sedang ada pembangunan PLTA. Mereka justru
75
mengetahui informasi tersebut dari surveyor ketika mewawancara mereka. Hal ini dapat
mengindikasikan bahwa pembangunan PLTA saat ini belum berdampak terhadap
masyarakat di wilayah hilir. Seharusnya, ketika masyarakat sehari hari bekerja mencari ikan
di sungai, mereka akan dengan cepat mengetahui jika lingkungan perairan tempat mereka
mencari ikan berubah melalui penurunan produktifitas perikanan. Masyarakat di desa ini
juga sebagian memiliki pekerjaan sampingan menambang pasir (Gambar 17b).
(a) (b)
Gambar 23 Pekerjaan sebagian masyarakat di Desa Bantar Tarutung: (a) nelayan dan (b)
penambang pasir)
Lahan garapan masyarakat pada umumnya adalah hak milik dan terletak menyebar,
sebanyak 75% pada masyarakat Desa Batang Paya, 60% di Desa Marancar Godang dan
68% di Desa Bantar Tarutung dengan luas rata-rata keseluruhan lahan garapan terbanyak
per keluarga adalah ≤2 ha juta di Desa Aek Batang Paya dan Marancar Godang sedangkan
antara 2-5 ha di Desa Bantar Tarutung. Lokasi lahan-lahan garapan ini juga sebagian besar
kurang dari 2 km dari tempat tinggal mereka. Khusus bagi masyarakat yang
penghidupannya utamanya dari pertanian, Tabel 27 menunjukkan bahwa letak lahan mereka
memang tergolong dekat yaitu kurang dari 1 km dari tempat tinggal mereka. Masyarakat
yang menyatakan letak kebun/ladangnya berdekatan dengan sungai, adalah mereka yang
lokasi kebun/ladang berada dekat dengan anak dari Sungai Batang Toru (Gambar 18) dan
bukan pada badan utama Sungai Batang Toru.
Lokasi pembangunan utama PLTA terutama adalah pada badan utama Sungai Batang
Toru yang sebagian besar didominasi oleh lahan yang curam dan sempit di kiri dan kanan
badan sungai. Mengingat teknologi yang digunakan pada pembangunan PLTA Batang Toru
hanya melibatkan pembersihan lahan yang sangat kecil luasannya dan yang letaknya di kiri
dan kanan badan utama Sungai Batang Toru, maka dapat dipastikan bahwa lahan/ladang
masyarakat tidak akan terkena dampak pembukaan lahan. Mengingat rata-rata lahan
garapan masyarakat berada kurang dari 2 km dari tempat tinggalnya, maka dapat
disimpulkan bahwa lahan garapan masyarakat tidak akan dibuka dan masih memungkinkan
masyarakat untuk berkebun dan bertani di lahan garapan masing-masing. Dengan demikian
isu bahwa pembangunan PLTA akan mengorbankan lahan sumber penghidupan
masyarakat tidak terbukti.
76
Gambar 24 Aliran anak Sungai Batang Paya yang mengalir di ketiga dusun di Desa Aek Batang
Paya
Pembangunan PLTA Batang Toru sesuai dengan teknologi yang digunakan juga tidak
menggunakan bendungan dengan genangan yang luas dan tidak banyak membuka lahan,
sedangkan luas areal yang akan digenangkan hanya 90 hektar dengan 24 hektar sudah
terbentuk secara alami, sebagaimana sudah dikonfirmasi berdasarkan hasil kajian lapangan
oleh KLHK yang dilakukan pada awal September 2018. Data teknologi dan kajian KLHK
ini memverifikasi tudingan bahwa pembangunan PLTA akan membanguan bendungan
raksasa dan menenggelamkan 9600 Ha adalah tidak benar.
Selain data mengenai karakteristik individu, rumah tangga serta penghidupan,
persepsi masyarakat sekitar juga penting untuk diketahui, mengingat masyarakat adalah
salah satu stakeholder utama yang merasakan dampak pembangunan PLTA Batang Toru.
Persepsi masyarakat di ketiga desa terhadap dampak ekonomi, sosial dan lingkungan
pembangunan PLTA Batang Toru dianalisa di bawah ini.
Persepsi terhadap dampak ekonomi disajikan pada Gambar 25-27. Terdapat
perbedaan yang sangat jelas dari ketiga gambar tersebut, bahwa setiap desa memiliki
persepsi tersendiri terhadap dampak yang mereka rasakan. Bagi masyarakat Desa Aek
Batang Paya yang berlokasi di hulu, sebagian memberikan persepsi yang negatif mengenai
dampak ekonomi pembangunan PLTA (Gambar 25), sedangkan sebaliknya terjadi di Desa
Marancar Godang dimana sebagian besar masyarakatnya memberikan respon positif
(Gambar 26) terhadap dampak yang mereka rasakan. Berbeda dengan masyarakat di kedua
desa ini, masyarakat Desa Bantar Tarutung banyak yang memberikan respon netral atau
tidak tahu mengenai dampak pembangunan PLTA Batang Toru. Hal ini disebabkan karena
masyarakat Desa Bantar Tarutung tidak banyak yang mengetahui akan keberadaan proyek
PLTA ini dan karena lokasinya di hilir, sehingga belum dapat merasakan dampak karena
PLTA belum beroperasi.
Masyarakat Desa Aek Batang Paya menyatakan bahwa pembangunan PLTA tidak
memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan sarana dan prasarana desa
sebagaimana disampaikan oleh 93.33% responden. Meskipun demikian sebanyak 46.67%
setuju bahwa pembangunan PLTA ini dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga
(Gambar 25). Sebagian masyarakat terlibat dalam pekerjaan di awal proyek ini dan juga
sebagian dari mereka dapat membuka warung-warung makan yang membantu
meningkatkan pendapatan rumah tangga.
77
PLTA Batang Toru:
0
Tidak mengganggu kebutuhan air keluarga 13.33
46.67
40
6.67
Meningkatkan sarana prasarana desa 93.33
0
0
3.33
Pernyataan
0.00 10.0020.0030.0040.0050.0060.0070.0080.0090.00100.00
Tidak Tahu Tidak Setuju Netral Setuju Persentase (%)
Gambar 25 Dampak ekonomi pembangunan PLTA Batang Toru menurut persepsi masyarakat Desa
Aek Batang Paya
78
meningkatkan pendapatan rumah tangga. Hal ini dapat dimengerti mengingat saat ini PLTA
masih dibangun dan saat ini hanya meliputi wilayah hulu dan pintu masuk, dimana wilayah
hilir baru akan merasakan dampak ketika nanti PLTA sudah beroperasi.
0
0
Tidak mengganggu kebutuhan air keluarga 0 100
6.67
13.33
Meningkatkan sarana prasarana desa 6.67
Pernyataan
73.33
3.33
3.33
Memenuhi kebutuhan air pertanian 3.33 90
3.33
Tidak mengurangi produktivitas pertanian 03.33 93.33
0 20
Memberikan ganti rugi lahan masyarakat 0 80
Meningkatkan pendapatan rumah tangga 0 6.67 23.33
70
Gambar 26 Dampak ekonomi pembangunan PLTA Batang Toru menurut persepsi masyarakat
Desa Marancar Godang
0 16.67
Tidak mengganggu kebutuhan air keluarga 16.67 66.67
26.67 70
Meningkatkan sarana prasarana desa 03.33
Pernyataan
0 20
Memenuhi kebutuhan air pertanian 16.67 63.33
0 20
Tidak mengurangi produktivitas pertanian 16.67 63.33
03.33 96.67
Memberikan ganti rugi lahan masyarakat
0
20 53.33
Meningkatkan pendapatan rumah tangga
6.67 20
0.00 50.00 100.00 150.00
Tidak Tahu Tidak Setuju Netral Setuju Persentase (%)
Gambar 27 Dampak ekonomi pembangunan PLTA Batang Toru menurut persepsi masyarakat Desa
Bantar Tarutung
Berbeda dengan persepsi ekonomi yang sebagian besar menunjukkan respon yang
negatif, masyarakat Desa Aek Batang Paya lebih merespon positif dampak sosial dengan
adanya pembangunan PLTA Batang Toru (Gambar 28). Walaupun sebanyak 70%
masyarakat menyatakan bahwa pembangunan PLTA ini telah menyebabkan konflik dengan
masyarakat, namun di sisi lain, sebanyak 80% mengakui bahwa telah terjadi peningkatan
lapangan kerja sehingga membantu pemberdayaan masyarakat (60%). Secara keseluruhan
masyarakat di ketiga dusun yang membentuk Desa Aek Batang Paya, mendukung
pembangunan PLTA yang ditunjukkan oleh mayoritas respon (53.33%) dan hanya 16.67%
yang tidak mendukung. Tingginya asumsi bahwa pembangunan PLTA telah menyebabkan
79
konflik di masyarakat terutama karena respon negatif yang diberikan oleh masyarakat di
Dusun Pargodungan yang hampir semuanya menentang pembangunan PLTA ini. Hasil
wawancara menunjukkan bahwa tidak ada masyarakat di dusun ini yang terlibat sebagai
pekerja di proyek PLTA, hanya 1 orang yang bekerja sebagai bagian keamanan (anak dari
kadus). Selain itu mereka juga menyatakan bahwa mereka tidak pernah diajak berdiskusi
dalam penentuan keputusan, serta bahwa ada ganti rugi lahan yang tidak sepadan, sehingga
respon negatif terhadap pembangunan PLTA bisa saja disebabkan oleh hal-hal tersebut dan
bukan oleh dampak negatif pembangunan PLTA itu sendiri.
10 60
6.67 23.33
Mengurangi tingkat pengangguran 16.67 53.33
3.3310
Membuka lapangan kerja 6.67 80
10 20 60
Saya telah menerima ganti rugi atas lahan saya
10
13.33 30
Meningkatkan hubungan sosial masyarakat 6.67 50
10 86.67
Meningkatkan jumlah penduduk disekitarnya
0 3.33
0 20 40 60 80 100
Tidak Tahu Tidak setuju Netral Setuju Persentase (%)
Gambar 28 Dampak sosial pembangunan PLTA Batang Toru menurut persepsi masyarakat Desa
Aek Batang Paya
80
PLTA Batang Toru:
0 3.33
Didukung oleh masyarakat 0 96.67
6.67
Tidak menimbulkan konflik dengan masyarakat 0 3.33 90
0 6.67
Membantu pemberdayaan masyarakat
Pernyataan
0 93.33
6.67 16.67
Mengurangi tingkat pengangguran 0 76.67
3.33
Membuka lapangan kerja 0 6.67 90
0 63.33
Saya telah menerima ganti rugi atas lahan saya 0 36.67
6.67
3.33
Meningkatkan hubungan sosial masyarakat 13.33 76.67
6.67 30
Meningkatkan jumlah penduduk disekitarnya 3.33 60
0 20 40 60 80 100 120
Tidak Tahu Tidak setuju Netral Setuju Persentase (%)
Gambar 29 Dampak sosial pembangunan PLTA Batang Toru menurut persepsi masyarakat Desa
Marancar Godang
23.33
Didukung oleh masyarakat 0
33.33
43.33
56.67
Tidak menimbulkan konflik dengan masyarakat 0
3.33
40
40
Membantu pemberdayaan masyarakat 33.33
23.33
3.33
Pernyataan
23.33
Mengurangi tingkat pengangguran 56.67
13.33
6.67
40
Membuka lapangan kerja 13.33
23.33
23.33
100
Saya telah menerima ganti rugi atas lahan saya 0
0
0
36.67
Meningkatkan hubungan sosial masyarakat 26.67
30
6.67
33.33
Meningkatkan jumlah penduduk disekitarnya 46.67
10
10
0 20 40 60 80 100 120
Tidak Tahu Tidak setuju Netral Setuju Persentase (%)
Gambar 30 Dampak sosial pembangunan PLTA Batang Toru menurut persepsi masyarakat Desa
Bantar Tarutung
81
PLTA Batang Toru:
Tidak perlu dilakukan pembukaan hutan 13.33 76.67
0 10
Tidak mengganggu satwaliar 6.67 76.67
10
6.67
Dapat menjadi tempat tinggal satwa liar 10 66.67
1013.33
Tidak menyebabkan lahan pertanian… 3.33 46.67
20 30
Membantu menjaga kualitas dan volume air… 0 13.33 53.33
33.33
0
Pernyataan
93.33
Membantu menjaga kualitas dan volume air tanah
0
0
0 100
Tidak mencemari sungai
03
0 96.67
Membantu menjaga kualitas air sungai
0
03.33
96.67
Tidak mengganggu pertanian masyarakat
0 6.67
0 93.33
Tidak menyebabkan banjir
0
0
0 100
Tidak merusak lingkungan
6.67
10
3.33 80
0 50 100 150
Tidak Tahu Tidak setuju Netral Setuju
Persentase (%)
Gambar 32 Dampak lingkungan pembangunan PLTA Batang Toru menurut persepsi masyarakat
Desa Marancar Godang
82
PLTA Batang Toru:
Respon masyarakat di ketiga desa sangat positif bahwa pembangunan PLTA Batang
Toru tidak menyebabkan banjir (93.33% Aek Batang Paya, 100% Desa Marancar Godang
dan 46.67% Desa Bantar Tarutung), sehingga dari sudut pandang persepsi masyarakat,
tudingan bahwa pembangunan PLTA Batang Toru akan menyebabkan lahan
masyarakat kebanjiran adalah tidak benar. Demikian halnya dengan tudingan yang
menyatakan bahwa pembangunan PLTA Batang Toru menyebabkan lahan pertanian
menjadi kering. Walaupun lebih banyak masyarakat Desa Aek Batang Paya yang
menyatakan bahwa pembangunan pertanian menyebabkan lahan pertanian menjadi kering
(46.67%) dan mengganggu pertanian masyarakat (60%), namun sebanyak 30%-nya
menyatakan hal yang sebaliknya sementara di kedua desa lainnya mayoritas masyarakat
menyatakan pembangunan PLTA tidak menyebabkan kekeringan di lahan mereka (93.33%
Desa Marancar Godang dan 70% Desa Bantar Tarutung). Areal konstruksi PLTA adalah di
Desa Marancar Godang yang terletak di bawah Desa Aek Batang Paya, sehingga tudingan
bahwa pembangunan PLTA akan menyebabkan lahan masyarakat menjadi kering
adalah juga tidak beralasan.
Pembanguan PLTA juga dirasakan masyarakat tidak mencemari lingkungan (60%
Aek Batang Paya, 73.33% Desa Marancar Godang dan 96.67% Desa Bantar Tarutung),
membantu menjaga kualitas air sungai (53.33% Aek Batang Paya, 96.67% Desa Marancar
Godang dan 33.33% Desa Bantar Tarutung) dan membantu menjaga kualitas dan volume
air tanah (33.33% Aek Batang Paya, 100% Desa Marancar Godang dan 46.67% Desa Bantar
Tarutung). Dapat disimpulkan dari hasil yang didapat melalui wawancara terhadap persepsi
lingkungan, bahwa masyarakat Desa Aek Batang Paya yang paling memandang negatif
pembangunan PLTA ini dan yang paling merasa khawatir dengan penurunan produktivitas
pertanian mereka. Meskipun demikian, secara umum diketiga desa tersebut, masyarakat
menyatakan bahwa pembangunan PLTA tidak merusak lingkungan sebagaimana
dinyatakan oleh mayoritas responden di tiap desa yang dikaji (36.67% Aek Batang Paya,
80% Desa Marancar Godang dan 50% Desa Bantar Tarutung).
83
Verifikasi Tudingan 2 - Kebutuhan Listrik Masyarakat Sudah Cukup Sehingga Tidak
Membutuhkan PLTA
86
No. Persepsi Masyarakat Persentase (%)
Ada 6.67
Tidak Ada 63.33
11 Tanaman yang paling sering diganggu orangutan
Tidak Tahu 12.77
Durian 44.68
Petai 34.04
Coklat 2.13
Aren 4.26
Karet 2.13
12 Keberadaan papan informasi orangutan
Ada 13.33
Tidak Ada 86.67
13 Sosialisasi tentang orangutan
Ada 30
Tidak Ada 70
14 Pengetahuan status perlindungan orangutan
Mengetahui 76.67
Tidak Mengetahui 23.33
87
sedangkan sosialisasi pernah dilakukan oleh dinas kehutanan (BKSDA Sumatera Utara),
LSM asal Jakarta (2015) dan informasi dari masyarakat setempat yang bekerja di PLTA.
Gambar 34 Papan pengumuman desa yang pernah dipasang informasi tentang orangutan
oleh dinas kehutanan
Keuntungan, Kerugian dan Aspirasi Masyarakat Desa Aek Batang Paya, Marancar
Godang dan Bantar Tarutung terhadap Keberadaan PLTA Batang Toru
Kehadiran PLTA Batang Toru tentunya akan berdampak bagi masyarakat di sekitar
wilayah tersebut, oleh karenanya informasi mengenai persepsi masyarakat terhadap
keuntungan maupun kerugian (Tabel 34) serta aspirasi dengan kehadiran PLTA Batang
Toru (Tabel 35) diperlukan untuk meminimalisir konflik dan juga menunjukkan bahwa
perusahaan memberikan pertimbangan – pertimbangan terhadap keinginan dan harapan
masyarakat.
Tabel 34 Persepsi masyarakat terhadap keuntungan dan kerugian kehadiran PLTA Batang Toru
Dampak yang dirasakan Desa kajian (%)
masyarakat Aek Batang Paya Marancar Podang Bantar Tarutung
Keuntungan
1. Tidak ada 16.70 0 100
2. Terbukanya lapangan 43.33 73.33 0
pekerjaan dan
berkurangannya
jumlah pengangguran
3. Meningkatnya daya 33.33 20 0
beli masyarakat dan
perekonomian rumah
tangga
4. Desa kajian menjadi 6.67 6.67 0
lebih ramai
Kerugian
1. Tidak ada 0 96.67 100
2. Semakin banyak 68.67 0 0
hama
3. Sumber pendapatan 30 3.33 0
jangka panjang
(lahan garapan)
hilang
4. Debit air sungai 3.33 0 0
berkurang
88
Tabel 34, secara umum menyiratkan bahwa kehadiran PLTA Batang Toru diharapkan
bisa memperbaiki kondisi perekonomian masyarakat setempat. Melihat dari aspek
kerugian, masyarakat di Desa Marancar Gondang sebagian besar (96.67) menyatakan tidak
merasakan kerugian, sedangkan di sekitar desa mereka adalah tapak konstruksi . hal ini
menjadi penting karena justru di sekitar Desa Marancar Gondang yang seharusnya paling
banyak merasakan dampak pembangunan PLTA dan hampir semuanya tidak merasakan
dampak negatif. Bagi masyarakat Desa Bantar Tarutung, baik untuk kerugian maupun
keuntungan, semua (100%) menyatakan tidak tahu, karena memang mereka belum
mengetahui adanya pembangunan PLTA dan belum merasakan dampak yang disebabkan.
Aspirasi yang disampaikan masyarakat disajikan pada Tabel 33 di bawah ini. Dapat
dilihat bahwa aspirasi yang disampaikan lebih ditujukan kepada perusahaan PT. NSHE
bukan terhadap kehadiran PLTA itu sendiri. Dapat disimpulkan bahwa bagi masyarakat
PLTA Batang Toru adalah PT. NSHE
Tabel 35 Aspirasi masyarakat terkait PLTA Batang Toru
Aspirasi yang disampaikan Desa kajian (%)
masyarakat Aek Batang Paya Marancar Podang Bantar
Tarutung
Perusahaan lebih banyak
26.32 40 0
mempekerjakan putra daerah
Berkurangnya nepotisme dalam
perekrutan karyawan dan time line
yang jelas dalam penentuan 0 26.67 0
diterima atau tidaknya pendaftar di
PLTA
Perusahaan membantu masyarakat
memberantas hama babi hutan yang
57.89 0 0
merusak lahan garapan di Dusun
Paske dan Danu
Kegiatan yang bersifat bantuan dan
kekeluargaan dilakukan lebih 15.79 33.33 0
konsisten dan merata
Adanya informasi yang jelas
kepada masyarakat terkait
pembangunan PLTA yang 0 0 100
dikemudian hari akan berdampak
pada kehidupan masyarakat
D. Kesimpulan
Hasil wawancara langsung dengan masyarakat sekitar lokasi PLTA Batang Toru
menunjukkan bahwa tudingan pembangunan PLTA akan : (a) mengorbankan lahan
sumber mata pencaharian masyarakat sekitar; (b) membangun bendungan raksasa dan
menenggelamkan 9600 Ha; (c) mengakibatkan lahan masyarakat kebanjiran atau bahkan
kekeringan; (d) mengkibatkan gangguan pemenuhan kebutuhan air masyarakat; (e)
merusak lingkungan serta tudingan bahwa Sumatera Utara mengalami surplus energi
sehingga pembangunan PLTA Batang Toru tidak diperlukan, semuanya tidak benar.
89
90
BENARKAH PLTA BATANG TORU TELAH DAN
AKAN MENURUNKAN KEANEKARAGAMAN
JENIS MAMALIA DAN BURUNG ?
A. Pendahuluan
91
B. Metodologi
S
50 m
S
O O O
Arah lintasan pengamatan
50 m
S
1 km
Gambar 35 Bentuk transek pengamatan mamalia dan burung
Mamalia
Inventarisasi keanekaragaman jenis mamalia dilakukan dengan menggunakan metode
kombinasi transek garis (line transect) dan titik pengamatan (point observation) dengan
bantuan camera trap yang dipasang selama 3 x 24 jam pada lokasi C. Pengamatan (dengan
bantuan binokuler) dilakukan pagi hari (06:00-08:00 WIB) dan sore hari (15:30-17:30 WIB)
sebanyak 3 kali pengulangan. Data yang terkumpul kemudian dicatat dalam tally sheet
secara lengkap dan terstruktur. Objek yang telah ditemukan didokumentasikan
menggunakan kamera digital. Dokumentasi tersebut juga digunakan sebagai acuan untuk
identifikasi jenis mamalia yang belum dapat teridentifikasi secara langsung.
Burung
Pengamatan dilakukan pagi hari (06:00-08:00 WIB) dan sore hari (15:30-17:30 WIB)
sebanyak 3 kali pengulangan. Data yang dicatat meliputi: waktu perjumpaan, jenis satwa
yang ditemukan, jumlah individu setiap jenis yang ditemukan dan jejak satwa berupa suara.
Pengamatan dilakukan dengan bantuan binokuler agar memudahkan proses identifikasi
jenisnya. Data yang diperoleh dicatat dalam tally sheet secara lengkap dan terstruktur.
Analisis Data
Nilai Kekayaan Jenis dihitung dengan menggunakan Indeks Kekayaan Jenis
Margalef (species richness) yang berfungsi untuk mengetahui kekayaan jenis setiap spesies
dalam setiap komunitas yang dijumpai dengan rumus sebagai berikut (Magurran, 1988):
92
𝑆−1
𝐷𝑚𝑔 =
𝑙𝑛(𝑁)
Keterangan:
Dmg = Indeks kekayaan jenis
S = Jumlah jenis spesies
ln = Logaritma natural
N = Jumlah individu spesies
𝐻′
𝐸=
𝑙𝑛𝑆
Keterangan:
E = Indeks kemerataan
S = Jummlah jenis
ln = Logaritma natural
= Indeks keanekaragaman jenis
H’
Adapun nilai kesamaan komposisi jenis antar lokasi dihitung menggunakan indeks
kesamaan jenis Sorensen (Magurran 1988):
2𝐶
𝐼𝑆 =
𝐴+𝐵
Keterangan:
IS = Indeks Similaritas
A = Jumlah spesies di lokasi A
B = Jumlah spesies di lokasi B
C = Jumlah spesies yang berada pada kedua lokasi A dan B
93
Sipirok
94
A
B
D
Marancar
Gambar 36 Peta tapak kerja dan lokasi pembagian area survei
94
C. Hasil dan Pembahasan
Mamalia
Sebagian besar jenis mamalia (Gambar 36) yang ditemui merupakan jenis
yang termasuk dalam family Sciuridae (Gambar 37) seperti Bajing tiga warna,
jelarang hitam maupun musang luwak. Kami mencatat sebanyak 6-7 jenis mamalia
yang ditemukan pada lokasi tapak kegiatan yang terletak pada lokasi A, B dan D.
Sedangkan pada Lokasi C yang berada di luar tapak kegiatan dengan karakteristik
habitat layaknya hutan sekunder ditemukan sebanyak 6 jenis mamalia. Dari
keempat lokasi tersebut, jenis mamalia yang mendominasi yaitu jenis Beruk
(Macaca nemestrina) dengan jumlah individu sebanyak 20 individu. Adapun lokasi
95
dengan jumlah individu beruk terbanyak yaitu Lokasi D dengan jumlah individu
sebanyak 14 individu.
4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
Cercopith Cynocep Hylobatid Viverrida
Hominid Sciuridae
ecidae halidae ae e
jumlah 3 1 1 2 4 1
96
apabila setiap jenis memiliki jumlah individu yang sama, maka kemerataan jenis
pada komunitas tersebut memiliki nilai maksimum, tetapi apabila jumlah individu
pada masing-masing jenis berbeda jauh maka menyebabkan kemerataan jenis
memiliki nilai minimum
Analisis variasi menunjukkan bahwa kekayaan jenis pada masing-masing
lokasi berbeda secara signifikan seperti yang terlihat pada Gambar 38. Sedangkan
kemerataan jenisnya tidak bervariasi secara signifikan. Meskipun demikian,
perbandingan indeks kekayaan jenis pada lokasi A, B dan D dengan Lokasi C
berbeda secara signifikan. Lokasi C memiliki nilai kekayaan jenis yang lebih tinggi
daripada lokasi D dan lebih rendah daripada lokasi A dan B. Jenis mamalia
terbanyak yang ditemui pada lokasi C yaitu Siamang (Symphalangus syndactylus)
(Gambar 38). Siamang merupakan jenis mamalia yang pada umumnya tinggal di
hutan pedalaman Sumatera seperti daerah Sipirok, Batang Toru (Nurmansyah
2012).
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
Area A Area B Area C Area D
Marancar Sipirok
E 0.91 0.96 0.82 0.79
DMG 2.10 2.73 1.48 1.09
E DMG
Gambar 40 Jenis burung Rangkong badak (Buceros rhinoceros) yang ditemui pada
salah satu area sedang bertengger
Secara keseluruhan ditemukan sebanyak 33 jenis burung pada kedua lokasi
(Marancar dan Sipirok) seperti yang terlihat pada tabel 37. Variasi jenis burung
terbanyak ditemukan pada tebing kanan sungai Batang Toru yaitu lokasi C.
Sedangkan pada lokasi D hanya ditemukan sebanyak 3 jenis burung. jumlah jenis
burung terbanyak ditemukan pada Lokasi C dengan jenis burung yang mendominasi
yaitu Tangkar-uli sumatera (Dendrocitta occipitalis). Adapun jumlah jenis yang
ditemui pada lokasi A berbeda sedikit dengan jumlah jenis pada lokasi C yaitu 15
jenis burung dengan jenis burung Rangkong badak (Buceros rhinoceros) sebagai
jenis dominan.
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
Area A Area B Area C Area D
Marancar Sipirok
E 0.74 0.81 0.93 0.91
DMG 3.16 1.43 4.45 0.91
E DMG
98
Lokasi D memiliki kondisi lokasi yang sedang dilakukan pembukaan lahan
guna pembuatan jalan. Meskipun demikian masih terdapat tegakan-tegakan
vegetasi hutan pada lokasi tersebut. Hal tersebut mempengaruhi keberadaan satwa
jenis burung sebagaimana burung memiliki kesensitivan yang tinggi terhadap
adanya aktivitas manusia (Sekercioglu et al 2002). Meskipun demikian, tetap
ditemukan jenis Rangkong badak (Buceros rhinoceros) yang merupakan burung
jenis frugivore (pemakan buah) (Kitamura 2011). Burung ini juga memiliki
cakupan wilayah yang luas (Kitamura 2011) karena dapat menempuh perjalanan
selama berjam-jam (Leighton 1982; Poonswad dan Tsuji 1994). Sehingga kegiatan
pembukaan lahan tersebut belum mempengaruhi keberadaan jenis burung secara
signifikan. Sedangkan pembukaan hutan menjadi perkebunan menunjukkan adanya
perubahan jenis burung menjadi jenis burung generalis (Erniwati et al. 2016; Yule
2010; Dislich et al. 2016).
Tabel 37 Jumlah jenis burung pada masing-masing lokasi berikut status
perlindungannya
Bukan Area
Area Tapak
PerMen Tapak
Kegiatan
No Nama Jenis Nama Ilmiah LHK No. CITES IUCN Kegiatan
P.20 2018 Area Area Area
Area C
A B D
1 Burungmadu Cinnyris - - LC v
sriganti jugularis
2 Cekakak hutan Actenoides DL - NT v
melayu concretus
3 Bubut Centropus sp. - - LC v
4 Cica daun besar Chloropsis DL - VU v
sonnerati
5 Cica daun kecil Chloropsis DL - NT v
cyanopogon
6 Cucak bersisik Pycnonotus - - NT v
squamatus
7 Cucak kuricang Pycnonotus - - - v
atriceps
8 Cucak kutilang Pycnonotus - - LC v
aurigaster
9 Elang hitam Ictinaetus DL II LC v v
malaiensis
10 Elang Ular-bido Spilornis DL II LC v
cheela
… … … … … … … … … …
33 Walet sapi Collocalia - - LC v
esculenta
Grand Total 8 4 9 15 6 3 16
99
jenis burung yang termasuk dalam kategori dilingdungi dengan status berbeda beda.
Jumlah jenis burung yang tercatat sebagai jenis terancam (NT) yaitu 8 jenis dan 1
jenis burung berstatus vulnerable (VU) yaitu Cica daun besar.
Mamalia
Masing-masing lokasi memiliki komposisi jenis mamalia yang berbeda-
beda. Kesamaan komposisi terendah ditemukan antara lokasi C dan D. Kedua lokasi
tersebut berada di tebing yang berbeda, Lokasi C berada di tebing kanan sedangkan
Lokasi D di tebing kiri daerah Sipirok. Selain itu, kedua lokasi memiliki kondisi
habitat yang berbeda meskipun keduanya merupakan hutan sekunder. Lokasi C
memiliki tutupan tajuk yang lebih rapat dibandingkan dengan lokasi D. Lebih jauh
lagi, aktivitas manusia lebih banyak ditemukan pada lokasi D. Keberadaan aktivitas
manusia dapat memepengaruhi keberadaan satwa (Wanger et al.) yang mana juga
berpengaruh terhadap mamalia. Hal tersebut mempengaruhi ditemukannya jenis
yang berbeda maupun jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan lokasi
lainnya yang terdapat aktivitas manusia yang lebih sedikit.
Tabel 38 Nilai Indeks kesamaan komunitas antar lokasi
Lokasi A Lokasi B Lokasi C Lokasi D
Lokasi A 1 0.170 0.041 0.027
Lokasi B 1 0.143 0.038
Lokasi C 1 0
Lokasi D 1
Dengan demikian, nilai indeks kesamaan komposisi jenis mamalia pada area
kerja (A, B dan D) menunjukkan nilai yang menjauhi angka 1 (gambar 40).
Meskipun demikian, jumlah jenis mamalia yang sama dengan jenis mamalia yang
ditemukan pada area kerja mendekati sama. Grafik di bawah ini menunjukkan nilai
kesamaan komposisi antar kedua area yang mencapai 59%. Keberadaan 5 jenis
mamalia yang ditemukan pada keduua lokasi meningkatkan nilali kesamaan
tersebut. Hal ini juga menunjukkan bahwa kedua area memiliki kondisi habitat yang
masih relative sama bagi mamalia. Sehingga keberadaan tapak kegiatan pada area
ini tidak mempengaruhi kesamaan komposisi jenis mamalia.
100
1 0.588
1
index of similarity 0.588
Gambar 42 Nilai kesamaan komposisi jenis mamalia antara area tapak kegiatandan
bukan area tapak kegiatan
Burung
101
1 0.11
1
index of similarity 0.11
Gambar 43 Indeks kesamaan Komposisi jenis burung atar Area Kerja dan Bukan
Area Kerja
Adapun nilai kesamaan komposisi jenis antar Area kerja dan Bukan Area
Kerja menunjukkan nilai yang jauh dari 1. Hal tersebut menunjukan bahwa
komposisi jenis antar kedua tutupan lahan berbeda secara signifikan. Hanya
terdapat 11% jenis burung yang sama antara kedua lokasi tersebut. Presentase
tersebut menunjukkan bahwa hanya terdapat 2 jenis burung yang sama dari 33 jenis
burung yang ditemukan pada kedua area. Sehingga keberadaan proyek tersebut
menunjukkan adanya perubahan komposisi jenis burung.
D. Kesimpulan
1. Sampai saat ini kegiatan pembangunan PLTA Batang Toru tidak menurunkan
keanekaragaman jenis mamalia, namun menurunkan keanekaragaman jenis
burung.
2. Kegiatan pembangunan PLTA Batang Toru mengakibatkan perubahan
komposisi jenis burung pada lokasi tapak kegiatan dengan lebih banyak
ditemukannya jenis burung generalis daripada jenis burung yang bergantung
terhadap keberadaan hutan. Sebaliknya, komposisi jenis mamalia tidak
mengalami perubahan yang signifikan.
102
KESIMPULAN DAN
REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Protes/tudingan negatif beberapa peneliti dan Lembaga Swadaya
Masyarakat terhadap PLTA Batang Toru itu tidak benar sehingga diyakini bahwa
para pegiat lingkungan tersebut telah mendapat data-informasi yang keliru. Dengan
demikian pembangunan PLTA Batang Toru dan kelestarian orangutan tapanuli
beserta keanekaragaman hayati lainnya bukanlah suatu pilihan yang hanya boleh
dipilih salah satu melainkan satu paket program yang saling berkaitan satu sama
lain, saling melengkapi dan saling menunjang. Sebagai salah satu proyek strategis
nasional dalam rangka pemenuhan kebutuhan pasokan listrik, menggunakan
teknologi “ramah lingkungan” (“Run off River Hydropower”) sehingga tidak
memerlukan lahan luas untuk daerah genangannya, terletak pada lahan “non-
kawasan hutan”/areal penggunaan lain (APL) dengan tutupan lahan sebagian besar
didominasi oleh hutan sekunder dan kebun campuran harus tetap dilanjutkan dan
perlu didorong oleh seluruh pemangku kepentingan untuk mempercepat
penyelesaiannya. Adapun kelestarian ekosistem hutan beserta kekayaan kehati
103
didalamnya adalah suatu tuntutan “inherent” yang harus dilakukan untuk menjaga
kesinambungan PLTA Batang Toru itu sendiri.
B. Rekomendasi
104
DAFTAR PUSTAKA
[PT.NSHE dan IPB] PT. North Sumatra Hydro Energy dan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor. 2018. Sosial and environmental impact assessment
proyek PLTA Batang Toru. PT. NSHE, Tapanuli Selatan.
Akcakaya, H.R. 2002. Estimating the variance of survival and fecundities. Animal
Conservation 5, 333-336.
Ancrenaz, M. 2004. Orangutan nesting behavior in disturbed forest of Sabah,
Malaysia: Implications for nest sensus. Journal Primatology 25, 983–1000.
Bastviken, D., Cole, J., Pace, M., and Tranvik, L, 2004. Methane emissions from
lakes: Dependence of lake characteristics, two regional assessments, and a
global estimate, Global Biogeochem. CY. 18, GB4009,
doi:10.1029/2004gb002238.
Blake, S., Hedges, S. 2004. Sinking the flagship: the case of forest elephants in Asia
and Africa. Conservation Biology 18, 1191-1202.
Buij, R., Wich, S.A., Lubis, A.H., Sterck, E.H.M. 2002. Seasonal movement in the
Sumatran Orangutan (Pongo pygmaeus abelii) and consequences biological
for conservation. Biological Conservation 107, 83–87.
Brown PH, Xu K. 2010. Hydropower development and resettlement policy on
China’s Nu River. Journal of Contemporary China 19(66):777–797
Canterbury GE, Martin OE, Petit DR, Petit LJ, Bradford DF. 2000. Bird
Communities and Habitat as Ecological Indicators of Forest Condition in
Regional Monitoring. Conservation Biology. 14(2): 544-558.
105
Darmawan MP. Keanekaragaman Jenis Burung Pada Beberapa Tipe Habitat Di
Hutan Lindung Gunung Lumut Kalimantan Timur. (Skripsi). Bogor (ID) .
2006. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Deemer, Bridget & Harrison, John & Li, Siyue & Beaulieu, Jake & DelSontro, Tonya
& Barros, Nathan & Bezerra-Neto, José & Powers, Stephen & dos Santos,
Marco & Vonk, Jan. 2016). Greenhouse Gas Emissions from Reservoir Water
Surfaces: A New Global Synthesis. Bioscience. 66. 10.1093/biosci/biw117
Dislich C, A.C. Keyel, J. Salecker, Y. Kisel, K.M. Meyer, M. Auliya, A.D. Barnes,
M.D. Corre, K. Darras, H. Faust, B. Hess, S. Klasen, A. Knohl, H. Kreft, A.
Meijide, F. Nurdiansyah, F. Otten, G. Pe’er, S. Steinebach, S. Tarigan,
M.H.Tölle, T. Tscharntke, K. Wiegand, 2016. Biol. Rev, 92, 1539
Djojoasmoro, R., Simanjuntak, C.N., Galdikas, B.M.F., Wibowo, T. 2004.
Orangutan distribution in North Sumatra. Jurnal Primatologi Indonesia 4, 2–
6.
Donald PF, Green RE, Heath MF. 2001. Agricultural intensification and the collapse of
Europe's farmland bird populations. Biological Science. DOI:
10.1098/rspb.2000.1325
Emma Hällqvist. 2012. Methane emissions from three tropical hydroelectrical
reservoirs. Committee of Tropical Ecology, Uppsala University, Sweden
Erniwati, Zuhud EAM, Santosa Y, Anas I. 2016. Bird diversity at smallholding and
large scale palm oil plantation in different age class at Riau province.
Biodiversitas. 17(12): 791-798.
Evans A, Strezov V, Evans TJ. Assessment of sustainability indikators for
renewable energy technologies. Renewable Sustainable Energy Rev
2009;13:1082–8
Felton AM, Engström LM, Felton A & Knott CD. 2003. Orangutan population
density, forest structure and fruit availability in han-logged and unlogged peat
swamp forests in West Kalimantan, Indonesia. Biological Conservation,
114(1), 91–101. doi:10.1016/s0006-3207(03)00013-2
Fevre, Chris Le, 2017. Methane Emissions: from blind spot to spotlight. OIES
PAPER: NG 122. Oxford Institute for Energy Studies. ISBN 978-1-78467-
088-7
Gassman, P.W. Reyes, M. R, Green C.H. and Arnold J.G. 2007. The Soil and Water
Assesment Tool: Historical Development, Application, and Future Research
Directions American Society of Agricultural and Biological Engineers ISSN
0001-2351 Vol 50 (4) 12111-1250.
Global Intersistem 2014. Rencana Pembangunan Pembangkit Listrik Tanaga Air
(PLTA) Kapasitas 500 MW dan jaringan Transmisi 275 KVA dari PLTA
Batang Toru sampai Desa Parsalakan Kecamatan Angkola Barat Kab
Tapanuli Selatan,Propinsi Sumatera Utara. Medan
106
Gruca-Rokosz, R., E. Czerwieniec, J. A. Tomaszek. 2011). Methane Emission from
the Nielisz Reservoir, Environment Protection Engineering. Vol. 37, 2011,
No. 3
Guthiga, P. M. (2008). Understanding local communities’ perceptions of existing
forest management regimes of a kenyan rainforest. International Journal of
Sosial Forestry, 1(2), 145-166
Hunter, Lori M, Strife, Susie, Twine, Wayne. 2010. Environmental Perceptions of
Rural South African Residents: The Complex Nature of Environmental
Concern', Society & Natural Resources, 23: 6, 525 — 541
Husson, S.J., Wich, S.A., Marshall, A.J., Dennis, R.D., Ancrenaz, M., et al. 2009.
Orangutan distribution, density, abundance and impacts of disturbance. In:
Wich, S.A., Utami Atmoko, S., Mitra Setia, T., van Schaik, C.P, editors.
Orangutans: Geographic Variation in Behavioral Ecology and Conservation.
New York: Oxford University Press; pp. 77–96.
Huttrer GW. The status of world geothermal power generation 1995–2000.
Geothermics 2001;30:1–27.
IPCC (International Panel on Climate Change). 2006. 2006 IPCC guidelines for
national greenhouse gas inventories. Volume 4 on agriculture, forestry and
other land use. Japan: IGES.
IPCC, 2014: Summary for Policymakers. In: Climate Change 2014: Mitigation of
Climate Change. Contribution of Working Group III to the Fifth Assessment
Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Edenhofer, O., R.
Pichs-Madruga, Y. Sokona, E. Farahani, S. Kadner, K. Seyboth, A. Adler, I.
Baum, S. Brunner, P. Eickemeier, B. Kriemann, J. Savolainen, S. Schlömer,
C. von Stechow, T. Zwickel and J.C. Minx (eds.)]. Cambridge University
Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.
Isaacman A. 2005. Displaced people, displaced energy, and displaced memories:
The case of Cahora Bassa, 1970–2004. International Journal of African
Historical Studies 38(2):201–238. http://www.jstor.org/stable/ 40034919.
Kaltenborn BP, Mayengo M, Nyahongo JW. 2003. People and Wildlife Interactions
around Serengeti National Park, Tanzania. Norwegia (NO): Norwegian
Institute for Nature Research
Kellert SR, Westervelt MO. 1983. Children’s attitudes, knowledge and behaviors
toward animals (Phase S). Washington, DC: U.S. Fish 8c Wildlife Service.
Kellert, S. R., Wilson, E. O. (Eds.). 1993. The biophilia hypothesis. Washington,
DC: Island Press.
Kirschke, S., Bousquet, P., Ciais, P., Saunois, M., Canadell, J. G., Dlugokencky, E.
J., Bergamaschi, P., Bergmann, D., Blake, D. R., Bruhwiler, L., Cameron-
Smith, P., Castaldi, S., Chevallier, F., Feng, L., Fraser, A., Heimann, M.,
Hodson, E. L., Houweling, S., Josse, B., Fraser, P. J., Krummel, P. B.,
Lamarque, J. F., Langenfelds, R. L., Le Quere, C., Naik, V., O’Doherty, S.,
Palmer, P. I., Pison, I., Plummer, D., Poulter, B., Prinn, R. G., Rigby, M.,
107
Ringeval, B., Santini, M., Schmidt, M., Shindell, D.T., Simpson, I. J., Spahni,
R., Steele, L. P., Strode, S. A., Sudo, K., Szopa, S., van der Werf, G. R.,
Voulgarakis, A., van Weele, M., Weiss, R. F., Williams, J. E., and Zeng, G.:
Three decades of global methane sources and sinks, Nat. Geosci., 6, 813–823,
doi:10.1038/ngeo1955, 2013.
Kitamura S. 2011. Frugivory and seed dispersal by hornbills (Bucerotidae) in
tropical forests. Acta Oecologica. 37(6): 0-541.
Koch FH. 2002. Hydropower—the politics of water and energy: Introduction and
overview. Energy Policy 30(14):1207–1213.
Krisnawati H, Adinugroho WC, Imanuddin R. 2012. Monograf Model-Model
Alometrik untuk Pendugaan Biomassa Pohon pada Berbagai Tipe Ekosistem
Hutan di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan,
Departemen Kehutaan. Bogor
Kuswanda, W., Sugiarti. 2005. Potensi habitat dan pendugaan populasi orangutan
(Pongo abelii, Lesson 1827) di Cagar Alam Dolok Sibual-buali. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 2, 555-566.
Kuswanda, W. 2007. Ancaman terhadap kelangsungan hidup orangutan sumatra
(Pongo abelii Lesson). Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 4, 409-
417.
Kuswanda, W. 2014. Orangutan Batang Toru: Kritis di Ambang Punah. Balai
Penelitian Kehutanan Aek Nauli, Forda Press, Sumatera Utara.
Laurance WF, Sayer J, Cassman KG. 2014. Agricultural expansion and its impacts
on tropical nature. Trends Ecol Evol 29: 107-116
Lawler J J, White D, Sifneos J C and Master L L 2002 Rare species and the use of
indicator groups for conservation planning Conservation Biology 17(3): 875-
882
Leonard, R.A., W.G. Knisel, and D.A. Still. 1987. GLEAMS: Groundwater loading
effects of agricultural management sytems. Trans. ASAE 30(5):1403-1418
Le Yang, Fei Lu, Xiaoping Zhou, Xiaoke Wang, Xiaonan Duan, Binfeng Sun. 2014.
Progress in the studies on the greenhouse gas emissions from reservoirs. Acta
Ecologica Sinica, Volume 34, Isue 4. Pages 204-212. ISSN 1872-2032.
https://doi.org/10.1016/j.chnaes.2013.05.011.
Lubis, A.H., Wich, S.A., Sterck, E.H.M., Buij, R. 2001. Population Estimates and
Seasonal Movement in Sumatran Orangutan (Pongo pygmaeus abelii).
Proseding Seminar Primatologi Indonesia 2000. Fakultas Kedokteran Hewan
dan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and
Computing. New York (US). John Wily and Sons.
Machlis GE. 1992. The Contribution of Sociology to Biodiversity Research and
Management. Biological Conservation 62:161-70.
Mäkinen, K. and Khan, S. 2010. Policy considerations for greenhouse gas emissions
from freshwater reservoirs. Water Alternatives 3(2): 91-105
108
Meijaard E, Mengersen K, Buchori D, Nurcahyo A, Ancrenaz M, et al. 2011. Why
Don’t We Ask? A Complementary Method for Assessing the Status of Great
Apes. PLoS ONE 6(3): e18008. doi:10.1371/journal.pone.0018008
MED India networking for Health 2007. Capture-and-Burn-Methane-in-Dams-a-
New-Proposition-to-Counter-Global-Warming.
Mngumi L, Shemdoe RS, Liwenga E. 2013. Community perceptions and
willingness to accept and execute REDD+ initiative: The case of Pugu and
Kazimzumbwi Forest Reserves, Tanzania. Cross-Cultural Communication,
9(3), 48-54.
Murray, A.R., Kisin, E., Leonard, S.S., Young, S.H., Kommineni, C., Kagan, V.E.,
Castranova, V., Shvedova, A.A. 2009. Oxidative stress and inflammatory
response in dermal toxicity of single-walled carbon nanotubes. Toxicology
257, 161-171.
Nash, J.E. and Sutcliffe J.V. 1970. River Flow Forecasting Through Conceptual
Models Part I-aDiscussion of Principles. Journal of Hydrology, 10(3),282-
290
Nater, A., Mattle-Greminger, M.P., Nurcahyo, A., Nowak, M.G., de Manuel, M.,
Desai, T., Groves, C., Pybus, M., Sonay, T.B., Roos, C., Lameira, A.R., Wich,
S.A., Askew, J., Davila-Ross, M., Fredriksson, G., de Valles, G., Casals, F.,
Prado-Martinez, J., Goossens, B., Verschoor, E.J., Warren, K.S., Singleton,
I., Marques, D.A., Pamungkas, J., Perwitasari-Farajallah, D., Rianti, P.,
Tuuga, A., Gut, I.G., Gut, I.G., Orozco-terWengel, P., van Schaik, C.P.,
Bertranpetit, J., Anisimova, M., Scally, A., Marques-Bonet, T., Meijaard, E.,
Krützen, M. 2017. Morphometric, Behavioral, and Genomic Evidence for a
New Orangutan Species. Current Biology 27, 3487-3498.
Newbold T, Hudson LN, Hill, SLL, Contu S, Lysenko I, Senior RA, Börger L,
Bennett DJ, Choimes A, Collen B. 2015. Global effects of land use on local
terrestrial biodiversity. Nature 520: 45-50
Pearce, J., and L. Vernier. 2005. Small mammals as bioindicators of sustainable
boreal forest management. Forest Ecology and Management. 208:153–175.
Perbatakusuma, E.A, Supriatna, J., Siregar, R.S.E., Wurjanto, D. Sihombing, L.,
Sitaparasti, D. 2006. Mengarustamakan Kebijakan Konservasi Biodiversitas
dan Sistem Penyangga Kehidupan di Kawasan Hutan Alam Sungai Batang
Toru Provinsi Sumatra Utara. Laporan Teknik Program Konservasi
Orangutan Batang Toru. Conservation International Indonesia- Departemen
Kehutanan. Pandan.
Prairie YT, Alm J, Harby A, Mercier-Blais S, Nahas R. 2017. The GHG Reservoir
Tool (Gres) Technical documentation, UNESCO/IHA research project on the
GHG status of freshwater reservoirs. Version 1.1. Joint publication of the
UNESCO Chair in Global Environmental Change and the International
Hydropower Association. 76 pages.
109
PT North Sumatera Hydro Energy. 2016. Addendum ANDAL, RKL-RPL
Pembangunan PLTA Batang Toru. Medan
Rallison, R.E. and N. Miller. 1981. Past, present and future SCS runoff procedure.
p. 353-364. In V.P. Singh (ed.). Rainfall runoff relationship. Water Resources
Publication, Littleton, CO.
Rijksen, H.D. 1978. A Field Study on Sumatran Orangutans (Pongo pygmaeus abelii
Lesson, 1872): Ecology, Behavior and Conservation. H. Veenman & Zonen,
Wegeningen.
Saunois et al., 2016. The global methane budget 2000–2012. Earth Syst. Sci. Data,
8, 697–751, 2016 (www.earth-syst-sci-data.net/8/697/2016/
doi:10.5194/essd-8-697-2016)
van Schaik, C.P., Priatna, A., Priatna, D. 1995. Population Estimates and Habitat
Preferences of Orangutans Based on Line Transects of Nest. Plenum Press.
New York and London.
Sari E. 2017. Persepsi masyarakat sekitar tentang dampak perkebunan sawit PT
Surya Agrolika Reksa dan PT Adimulya Agrolestari. Skripsi pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.
Sekercioglu CH, Daily GC, Ehrlich PR. 2004. Ecosystem consequences of bird
declines. Proceedings of the National Academy of Sciences, USA. 101(2004):
18042–18047.
Sharma HK dan Rana PK. “Assessing the Impact of Hydroelectric Project
construction on the Rivers of District Chamba of Himachal Pradesh in the
Northwest Himalaya, India”, International Research Journal of Sosial
Sciences, 3(2), pp.21-25, 2014. Available at
http://www.isca.in/IJSS/Archive/v3/i2/4.ISCAIRJSS-2013-213.pdf
Simorangkir, R.A. 2009. Kajian Habitat dan Estimasi Populasi Orangutan (Pongo
abelii Lesson) di Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatra Utara. Tesis Program
Pascasarjana. Institit Pertanian Bogor. Bogor.
Singleton, I., Wich, S.A., Griffiths, M. 2008. Pongo abelii. The IUCN Red List of
Threatened Species. Version 2014.3. <www.iucnredlist.org>. Downloaded
on 18 September 2018.
Siregar YF. 2018. Potensi Cadangan Karbon Hutan Nabundong, KPH Wilayah VI
Sumatera Utara. Tesis Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor
Smith, L. K. and Lewis, W. M, 1992. Seasonality of methane emissions from five
lakes and associated wetlands of the Colorado Rockies, Global Biogeochem.
Cy., 6, 323–338, 1992.
Snoussi, M. L., Kitheka, J., Shaghude, Y., Kane, A., Arthurton, R., Tissier, M., &
Virji, H. (2007). Downstream and coastal impacts of damming and water
abstraction in Africa. Environmental Management, 39, 587–600.
doi:10.1007/s00267-004-0369-2
110
Sofia, Y., Tontowi., Brahmana, S.S., Rahayu, S. 2013. Emisi Gas Metana dari
Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Jurnal Sumber Daya Air, Vol. 9 No. 2,
November 2013 : 131-142
St Louis, V.L.; Kelly, C.A.; Duchemin, E.; Rudd, J.W.M. & Rosenberg, D.M.
(2000). Reservoir surfaces as sources of greenhouse gases to the atmosphere:
A global estimate. Bioscience, Vol.50. No.9, Sep, pp. 766-775, 0006-3568
Sugardjito, J. 1986. Ecological Constrains on the Behaviour of Sumatran Orangutan
in the Gunung Leuser National Park, Indonesia. Thesis Utrecht.
Synohydro.2017. Hydrological Study for Batang Toru Project, Update
Tefera B dan Sterk G. 2008. Hydropower-induced land use change in Fincha’a
watershed, western Ethiopia: Analysis and impacts. Mountain Research and
Development 28(1):72–80.
Trussart S, Messier D, Roquet V, Aki S. 2002. Hydropower projects: A review of
most effective mitigation measures. Energy Policy 30(14):1251–1259.
UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change. 2006.
Thresholds and criteria for the eligibility of hydroelectric power plants with
reservoirs as CDM project activities. Annex 5 to the report of the 23rd
meeting of the Executive Board of the Clean Development Mechanism.
http://cdm.unfccc.int/EB/023/eb23_repan5.pdf (diakses 8 September 2009)
US-EPA, 2017. Greenhouse Gas Emissions,
https://www.epa.gov/ghgemissions/global-greenhouse-gas-emissions-data
(diakses 10 September 2018) BSN [Badan Standarisasi Nasional]. 2011. SNI
7724:2011:Pengukuran dan Perhitungan Cadangan Karbon – Pengukuran
Lapangan untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan (Ground based Forest
Carbon Accounting).Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Wich, S., Riswan, Jonsen, J., Refisch, J., Nellemann, C (Editor). 2011a. Orangutan
dan Ekonomi Pengelolaan Hutan Lestari di Indonesia. Alih Bahasa : Gunung
Gea. UNEP. Penerbit Barragraphia. Hal: 1–83.
Welty J.C. 1982. The Life of Bird. Philadelphia (US): Saunders College Publishing
Yüksel, I. (2009). Dams and hydropower for sustainable development. Energy
Sources, Part B: Economics, Planning, and Policy, 4, 100–110. doi:
10.1080/15567240701425808
111
112
LAMPIRAN
Lampiran 1 Tallest Dam
Year
Name Height Type Country River
completed
Jinping-I Dam 305 m Concrete arch China Yalong 2013
(1,001 ft)
Nurek Dam 300 m Embankment, Tajikistan Vakhsh 1980
(980 ft)[1][2][ earth-fill
3]
113
Year
Name Height Type Country River
completed
Chirkey Dam[6] 232.5 m Concrete arch Russia Sulak River 1976
(763 ft)
Goupitan Dam 232.5 m Concrete China Wu Jiang 2009
(763 ft) double-arch River
Karun-4 Dam 230 m Concrete arch- Iran Karun 2010
(750 ft) gravity
Bhakra Dam[6] 226 m Concrete gravity India Sutlej 1963
(741 ft)
Luzzone Dam[6] 225 m Concrete arch Switzerland Lago di 1963
(738 ft) Luzzone
Hoover Dam 221.46 m Concrete arch- United States Colorado 1936
(726.6 ft) gravity River
Jiangpinghe Dam 221 m Embankment, China Loushui River 2012
(725 ft) concrete-face
rock-fill
Contra Dam 220 m Concrete arch Switzerland Verzasca River 1965
(720 ft)
La Yesca Dam 220 m Embankment, Mexico Rio Grande de 2012
(720 ft) concrete-face Santiago
rock-fill
Mratinje Dam 220 m Concrete arch- Montenegro Piva 1976
(720 ft) gravity
Dworshak Dam 218.6 m Concrete gravity United States NF Clearwater 1973
(717 ft) River
Longtan Dam 216.5 m Roller- China Hongshui 2009
(710 ft) compacted River
concrete gravity
Glen Canyon Dam 216.4 m Concrete arch- United States Colorado 1966
(710 ft) gravity River
Toktogul Dam 215 m Concrete gravity Kyrgyzstan Naryn 1974
(705 ft)
Daniel-Johnson Dam 214 m Concrete Canada Manicouagan 1970
(702 ft) multiple-arch River
gravity
Dagangshan Dam 210 m Concrete arch China Dadu River 2015
(690 ft)
Keban Dam 210 m Combined: rock- Turkey Euphrates 1974
(690 ft) fill and concrete River
gravity
San Roque Dam 210 m Embankment Philippines Agno River 2003
(690 ft)
Ermenek Dam 210 m Concrete Turkey Göksu 2009
(690 ft) double-arch
Irapé Dam 208 m Embankment, Brazil Jequitinhonha 2006
(682 ft) rock-fill River
Bakun Dam 205 m Embankment, Malaysia Balui River 2011
(673 ft) concrete-face
rock-fill
Karun-3 Dam 205 m Concrete arch- Iran Karun River 2005
(673 ft) gravity
Zimapán Dam 203 m Concrete arch- Mexico Moctezuma 1993
(666 ft) gravity River
Dez Dam 203 m Concrete arch- Iran Dez River 1963
(666 ft) gravity
Almendra Dam 202 m Concrete arch Spain Tormes River 1970
(663 ft)
Campos Novos Dam 202 m Embankment, Brazil Canoas River 2006
(663 ft) concrete-face
114
Year
Name Height Type Country River
completed
rock-fill
Berke Dam 201 m Concrete arch- Turkey Ceyhan River 2001
(659 ft) gravity
Guangzhao Dam 200.5 m Concrete gravity China Beipan River 2008
(658 ft)
Kölnbrein Dam 200 m Concrete Austria Streams in 1977
(660 ft) double-arch upper Malta
gravity
Shahid Abbaspour 200 m Concrete Iran Karun River 1976
Dam (Karun 1) (660 ft) double-arch
New Bullards Bar Dam 196.6 m Concrete arch- United States Yuba River 1969
(645 ft) gravity
Itaipu Dam 196 m Concrete gravity Brazil / Para Paraná River 1984
(643 ft) guay
Altinkaya Dam[6] 195 m Embankment, Turkey Kizil Irmak 1988
(640 ft) rock-fill
Boyabat Dam 195 m Concrete gravity Turkey Kizilirmak 2012
(640 ft) River
Kárahnjúkastífla Dam 193 m Embankment, Iceland Jökulsá 2009
(633 ft) concrete-face
rock-fill
New Melones Dam 190.5 m Embankment, United States Stanislaus 1979
(625 ft) earth/rock-fill River
W.A.C. Bennett Dam 190.5 m Embankment, Canada Peace River 1968
(625 ft) earth-fill
Sogamoso Dam 190 m Embankment, Colombia Sogamoso 2014
(620 ft) concrete-face
rock-fill
Arkun Dam 188 m Embankment, Turkey Çoruh River 2014
(617 ft) earth-fill
Miel 1 Dam 188 m Roller- Colombia Miel River 2002
(617 ft) compacted
concrete gravity
Aguamilpa Dam 187 m Embankment, Mexico Rio Grande de 1993
(614 ft) concrete-face Santiago
rock-fill
Kurobe Dam 186 m Concrete arch- Japan Kurobe River 1963
(610 ft) gravity
Pubugou Dam 186 m Embankment, China Yalong River 2010
(610 ft) concrete-face
rock-fill
Zillergründl Dam 186 m Concrete arch Austria Ziller 1986
(610 ft)
Sanbanxi Dam 185.6 m Embankment, China Yuanshui 2006
(609 ft) concrete-face River
rock-fill
Oymapinar Dam 185.5 m Concrete arch Turkey Manavgat 1984
(609 ft) River
Barra Grande Dam 185 m Embankment, Brazil Pelotas River 2005
(607 ft) concrete-face
rock-fill
Katse Dam 185 m Concrete Lesotho Malibamat'so 1996
(607 ft) double-arch River
Tekeze Dam 189 m Concrete Ethiopia Tekeze River 2009
(620 ft) double-arch
Three Gorges Dam 181 m Concrete gravity China Yangtze River 2008
(594 ft)
Mossyrock Dam 184.7 m Concrete arch- United States Cowlitz River 1968
115
Year
Name Height Type Country River
completed
(606 ft) gravity
Shasta Dam 183.5 m Concrete arch- United States Sacramento 1945
(602 ft) gravity River
Techi Dam (Deji, 181 m Concrete arch- Taiwan Dajia (Tachia) 1974
Tachian)[6] (594 ft) gravity
Artvin Dam 180 m Concrete arch- Turkey Çoruh River 2016
(590 ft) gravity
Tignes Dam[6] 180 m Concrete arch- France Lac du Chevril 1952
(590 ft) gravity
Dartmouth Dam 180 m Embankment, Australia Mitta Mitta 1979
(590 ft) earth/rock-fill River
Emosson Dam 180 m Concrete arch Switzerland Barberini 1973
(590 ft)
Amir Kabir Dam 180 m Concrete arch Iran Karaj 1961
(590 ft)
Piedra del Águila Dam 180 m Concrete gravity Argentina Rio Limay 1993
(590 ft)
Upper Gotvand Dam 180 m Embankment, Iran Karun 2012
(590 ft) rock-fill
Hongjiadu Dam 179.5 m Embankment, China Liuchong 2005
(589 ft) concrete-face River
rock-fill
Longyangxia Dam 178 m Concrete arch- China Yellow River 1992
(584 ft) gravity
Tianshengqiao Dam 178 m Embankment, China Nanpan River 2000
(584 ft) concrete-face
rock-fill
El Cajón 178 m Embankment, Mexico Rio Grande de 2007
(584 ft) concrete-face Santiago
rock-fill
New Don Pedro Dam 178 m Embankment, United States Tuolumne 1971
(584 ft) earth-fill River
Danjiangkou Dam 176.6 m Concrete gravity China Han River 1973
(579 ft)
Takase Dam 176 m Embankment, Japan Shinano 1978
(577 ft) rock-fill
Marun Dam 175 m Embankment Iran Marun River 1998
(574 ft)
Hasan Ugurlu Dam[6] 175 m Embankment, Turkey Yesilirmak 1981
(574 ft) rock-fill
Karakaya Dam 173 m Concrete arch- Turkey Euphrates 1987
(568 ft) gravity River
Alpe Gera Dam[7] 174 m Concrete gravity Italy Cormor 1964
(571 ft)
Revelstoke Dam 174 m Concrete gravity Canada Columbia 1984
(571 ft) River
Thissavros Dam 172 m Embankment, Greece Nestos 1996
(564 ft) rock-fill
Hungry Horse Dam 171.9 m Concrete arch- United States Flathead River 1953
(564 ft) gravity
Cahora Bassa Dam 171 m Concrete arch- Mozambique Zambezi River 1974
(561 ft) gravity
Denis-Perron Dam[8] 171 m Embankment, Canada Sainte- 2002
(561 ft) rock-fill Marguerite
River
Kajiwa Dam 171 m Embankment, China Muli River
(561 ft) concrete-face
rock-fill
116
Year
Name Height Type Country River
completed
Kığı Dam 170 m Embankment, Turkey Peri River
(560 ft) rock-fill
Paute Dam 170 m Concrete arch- Ecuador Paute River
(560 ft) gravity
Atatürk Dam 169 m Embankment, Turkey Euphrates
(554 ft) rock-fill with River
clay-core
Daryan Dam 169 m Embankment, Iran Sirvan River
(554 ft) rock-fill
Idukki Dam 168 m Concrete arch India Periyar 1973
(551 ft)
Bruno Creek Tailings 168 m Embankment, United States Bruno Creek
Dam (551 ft) earth-fill
Charvak Dam[6] 168 m Embankment, Uzbekistan Chirchik 1970
(551 ft) earth/rock-fill
Guandi Dam 168 m Concrete gravity China Yalong River
(551 ft)
Gura Apelor Dam 168 m Embankment, Romania Raul Mare
(551 ft) rock-fill
Seven Oaks Dam 168 m Embankment, United States Santa Ana
(551 ft) earth/rock-fill River
Dongfeng Dam 168 m Concrete arch China Wu
(551 ft)
Grand Coulee Dam 167.6 m Concrete gravity United States Columbia
(550 ft) River
Koldam Dam 167 m Embankment, India Sutlej 2015
(548 ft) rock-fill
Mazar Dam[6] 166 m Embankment, Ecuador Paute River
(545 ft) concrete-face
rock-fill
Vidraru Dam 166 m Concrete arch Romania Arges
(545 ft)
Kremasta Dam 165 m Embankment, Greece Achelous
(541 ft) earth-fill River
Thomson Dam 165 m Embankment, Australia Thomson
(541 ft) earth-fill River
Wujiangdu Dam 165 m Concrete arch- China Wujiang River
(541 ft) gravity
Trinity Dam 164 m Embankment, United States Trinity River
(538 ft) earth-fill
Masjed Soleyman Dam 164 m Embankment, Iran Karun
(538 ft) concrete-face
rock-fill with
clay-core
Sardar Sarovar Dam 163 m Concrete gravity India Narmada 2017
(535 ft)
Guri Dam 162 m Concrete gravity Venezuela Río Caroní
(531 ft)
Talbingo Dam 162 m Embankment, Australia Tumut River
(531 ft) earth-fill
Huites Dam 162 m Concrete arch- Mexico Fuerte
(531 ft) gravity
Robert-Bourassa Dam[9] 162 m Embankment, Canada La Grande
(531 ft) earth-fill River
Tankeng Dam 162 m Embankment, China Ou River
(531 ft) concrete-face
rock-fill
Tokuyama Dam 161 m Embankment Japan Ibi River
117
Year
Name Height Type Country River
completed
(528 ft)
Xiangjiaba Dam 161 m Concrete gravity China Jinsha River
(528 ft)
Bento Munhoz da Rocha 160 m Embankment, Brazil Iguazu River
Netto Dam (520 ft) concrete-face
rock-fill
Grand'Maison Dam 160 m Embankment, France Eau d'Olle
(520 ft) rock-fill
Jinanqiao Dam 160 m Concrete gravity China Jinsha River
(520 ft)
Los Leones Dam 160 m Embankment, Chile Los Leones
(520 ft) earth-fill
Ranjit Sagar Dam 160 m Embankment India Ravi River
(520 ft)
Ross Dam 160 m Concrete thin- United States Skagit River
(520 ft) arch
Yellowtail Dam 160 m Concrete arch- United States Bighorn River
(520 ft) gravity
Guanyinyan Dam 159 m Roller- China Jinsha River
(522 ft) compacted
concrete gravity
Pai Querê Dam 158 m Embankment, Brazil Pelotas River
(518 ft) concrete-face
rock-fill
Cougar Dam 158 m Embankment, United States McKenzie
(518 ft) rock-fill River
Emborcação Dam 158 m Embankment, Brazil Rio Paranaíba
(518 ft) earth-fill
Naramata Dam 158 m Embankment, Japan Naramata
(518 ft) rock-fill
Pangduo Dam[10] 158 m Embankment, China Lhasa River 2013
(518 ft) rock-fill
Rudbar Lorestan Dam 158 m Concrete gravity Iran Rudbar River 2016[11]
(518 ft)
Geheyan Dam 157 m Concrete arch China Qingjiang
(515 ft) River
Dongjiang Dam 157 m Concrete arch China Lishui River
(515 ft)
Jilintai I Dam 157 m Embankment, China Kashi River
(515 ft) concrete-face
rock-fill
Okutadami Dam 157 m Concrete gravity Japan Tadami River
(515 ft)
Speccheri Dam 157 m Concrete arch Italy Vallarsa
(515 ft)
Malutang Dam 156 m Embankment, China Panlong River
(512 ft) concrete-face
rock-fill
Miyagase Dam 156 m Concrete gravity Japan Nakatsu River
(512 ft)
Shatuo Dam[12] 156 m Concrete arch China Wu River 2009
(512 ft)
Nukui Dam 156 m Concrete arch Japan Takayama
(512 ft)
Swift Dam 156 m Embankment, United States Lewis River
(512 ft) earth-fill
Urayama 156 m Roller- Japan Arakawa River
(512 ft) compacted
118
Year
Name Height Type Country River
completed
concrete gravity
Zeuzier Dam 156 m Concrete arch Switzerland Lienne
(512 ft)
Zipingpu Dam 156 m Embankment China Min River
(512 ft)
Nagawado Dam (Tepco 155.5 m Concrete arch Japan Azumi River
Upper Azumi) (510 ft)
Sakuma Dam 155.5 m Concrete gravity Japan Tenryū River
(510 ft)
Bashan Dam 155 m Embankment, China Ren River
(509 ft) concrete-face
rock-fill
Lijiaxia Dam 155 m Concrete arch- China Yellow River
(509 ft) gravity
Göscheneralp Dam 155 m Embankment, Switzerland Göschenerreus
(509 ft) earth-fill s
Place Moulin Dam[13] 155 m Concrete arch Italy Buthier
(509 ft)
Kenyir Dam 155 m Embankment Malaysia Kenyir
(509 ft)
Ralco Dam 155 m Roller- Chile Biobío River
(509 ft) compacted
concrete gravity
Turkwel Dam 155 m Concrete arch Kenya Turkwel
(509 ft)
Liyuan Dam 155 m Embankment, China Jinsha River
(509 ft) concrete-face
rock-fill
Bhumibol Dam 154 m Concrete arch Thailand Ping River
(505 ft)
Serra da Mesa Dam 154 m Embankment Brazil Tocantins
(505 ft)
Xiaolangdi Dam 154 m Embankment, China Yellow River
(505 ft) rock-fill
Gepatsch Dam 153 m Embankment, Austria Faggenbach, I
(502 ft) rock-fill nn River
Curnera Dam 153 m Concrete arch Switzerland Curnera
(502 ft)
Monteynard-Avignonet 153 m Concrete arch France Drac
Dam (502 ft)
Santa Giustina Dam 153 m Concrete arch Italy Noce
(502 ft)
Tedorigawa Dam 153 m Embankment Japan Tedori
(502 ft)
Flaming Gorge Dam 153 m Concrete thin- United States Green River
(502 ft) arch
Alqueva Dam 152 m Concrete arch- Portugal Guadiana
(499 ft) gravity
Torul Dam 152 m Embankment, Turkey Harşit River
(499 ft) concrete-face
rock-fill
Fierza Dam (Fierze) 152 m Embankment, Albania Drin River
(499 ft) rock-fill
Menzelet Dam 151 m Embankment Turkey Ceyhan River
(495 ft)
Zervreila Dam 151 m Concrete arch Switzerland River Rhine
(495 ft)
119
Year
Name Height Type Country River
completed
Porce III Dam 151 m Embankment, Colombia Porce
(495 ft) concrete-face
rock-fill
New Exchequer Dam 150 m Embankment, United States Merced River
(490 ft) concrete-face
rock-fill
Messochora Dam[14] 150 m Embankment, Greece Achelous
(490 ft) concrete-face River
rock-fill
Roselend Dam 150 m Concrete France Roselend
(490 ft) gravity-arch-
buttress
Canelles Dam 150 m Concrete arch Spain Noguera
(490 ft) Ribagorzana
Dongjing Dam 150 m Embankment, China Beipan River
(490 ft) concrete-face
rock-fill
Baishan Dam 149.5 m Concrete arch- China Second
(490 ft) gravity Songhua River
El Infiernillo Dam 149 m Embankment, Mexico Balsas
(489 ft) rock-fill
Moiry Dam 148 m Concrete arch Switzerland Gougra
(486 ft)
Salvajina Dam 148 m Embankment, Colombia Rio Cauca
(486 ft) concrete-face
rock-fill
Santa Giustina Dam 148 m Concrete arch Italy Santa Giustina
(486 ft)
Gigerwald 147 m Concrete arch Switzerland Tamina
(482 ft)
Liujiaxia Dam 147 m Concrete gravity China Yellow River
(482 ft)
Maoergai Dam 147 m Embankment, China Heishui River
(482 ft) rock-fill
Mangla Dam 147 m Embankment Pakistan Jehlum River 1967
(482 ft)
Longshou II Dam 146.5 m Embankment, China Heihe River
(481 ft) concrete-face
rock-fill
Jilebulake Dam 146.3 m Embankment, China Haba River
(480 ft) concrete-face
rock-fill
Fontana Dam 146.3 m Concrete gravity United States Little
(480 ft) Tennessee
River
Belisario Domínguez 146 m Embankment Mexico Grijalva River
(Angostura) Dam (479 ft)
Limmern Dam 146 m Concrete arch Switzerland Limmern
(479 ft)
Hassan I Dam 145 m Embankment, Morocco Lakhdar River
(476 ft) earth-fill
Mohale Dam 145 m Embankment, Lesotho Sequnyane
(476 ft) concrete-face River
rock-fill
Srisailam Dam 145 m Concrete gravity India Krishna
(476 ft)
Tagokura Dam 145 m Concrete gravity Japan Tadami River
(476 ft)
120
Year
Name Height Type Country River
completed
Ney Braga 145 m Embankment, Brazil Iguazu River
(476 ft) concrete-face
rock-fill
Virdnejávri Dam 145 m Concrete arch Norway Alta-
(476 ft) Kautokeino
River
Vacha Dam 144.5 m Concrete gravity Bulgaria Vacha
(474 ft)
Adiguzel Dam 144 m Embankment, Turkey Buyuk
(472 ft) earth/rock-fill Menderes
Özlüce Dam 144 m Embankment, Turkey Peri River
(472 ft) concrete-face
rock-fill
Tarbela Dam 143.3 m Embankment Pakistan Indus River 1976
(470 ft)
Lei Dam 143 m Concrete arch Italy Lei River
(469 ft)
Morrow Point Dam 143 m Concrete United States Gunnison
(469 ft) double-arch River
Murum Dam 143 m Roller- Malaysia Murum River
(469 ft) compacted
concrete gravity
Takhtakorpu Dam[15] 142.5 m Embankment, Azerbaijan Samur River 2013
(468 ft) rock-fill with
clay-core
Oddatjørn Dam 142 m Embankment Norway Ulladalsåna
(466 ft)
Warragamba Dam 142 m Concrete gravity Australia Warragamba
(466 ft) River
Valle di Lei Dam 141 m Concrete arch Switzerland Graubünden
(463 ft)
Detroit Dam 141 m Concrete gravity United States North Santiam
(463 ft) River
Aldeadávila Dam 140 m Concrete arch- Spain/ Portu Douro River
(460 ft) gravity gal
Gordon Dam 140 m Concrete arch Australia Gordon River
(460 ft)
Xingó Dam 140 m Embankment, Brazil São Francisco
(460 ft) concrete-face River
rock-fill
Bath County PS Upper 140 m Embankment, United States Back Creek
Dam (460 ft) earth/rock-fill
Arimine Dam 140 m Concrete gravity Japan Wada River
(460 ft)
Bureya Dam 140 m Concrete gravity Russia Bureya 2003[16]
(460 ft)
Gissarak Dam[17] 140 m Embankment, Uzbekistan Aksu River 1988
(460 ft) rock-fill
Chamera Dam 140 m Concrete gravity India Ravi
(460 ft)
Srinagarind Dam 140 m Embankment Thailand River Khwae
(460 ft) Yai
Jiangkou Dam 139 m Concrete arch China Furong River
(456 ft)
Anderson Ranch Dam 139 m Embankment, United States Boise River
(456 ft) earth/rock-fill
Ahai Dam 138 m Concrete gravity China Jinsha River
(453 ft)
121
Year
Name Height Type Country River
completed
Frera (Belviso) Dam 138 m Concrete arch- Italy Frera River
(453 ft) gravity
Shahid Rajaee Dam 138 m Concrete Iran Tajan River
(453 ft) double-arch
Wawushan Dam 138 m Embankment, China Zhougonghe
(453 ft) concrete-face River
rock-fill
Wuluwati Dam 138 m Embankment, China Kalakashi
(453 ft) concrete-face River
rock-fill
Union Valley Dam 138 m Embankment, United States Silver Creek
(453 ft) earth/rock-fill
Malpaso Dam 137.5 m Embankment Mexico Grijalva River
(451 ft)
Çine Dam 136.5 m Roller- Turkey Çine
(448 ft) compacted
concrete gravity
Jiudianxia Dam 136.5 m Embankment, China Tao River
(448 ft) concrete-face
rock-fill
Caracoles Dam 136 m Concrete gravity Argentina San Juan
(446 ft)
Cancano Dam 136 m Concrete arch- Italy Adda
(446 ft) gravity
Los Reyunos Dam 136 m Embankment Argentina Diamante
(446 ft) River
Minamiaiki Dam 136 m Embankment, Japan Minamiaiki
(446 ft) rock-fill
Cabril Dam 136 m Concrete arch Portugal Zêzere River
(446 ft)
Carters Dam 136 m Embankment, United States Coosawattee
(446 ft) earth-fill River
Sauris Dam 136 m Concrete Italy Lumiei
(446 ft) double-arch
Alicura Dam 135 m Embankment, Argentina Limay River
(443 ft) concrete-face
rock-fill
Dongping Dam 135 m Concrete arch China Zhong River
(443 ft)
Longma Dam 135 m Embankment, China Lixian River
(443 ft) concrete-face
rock-fill
Ilisu Dam 135 m Embankment, Turkey Tigris River 2018
(443 ft) earth-fill
122
Lampiran 2 Largest Dam
Surface
Name Country Dam Outflow Surface area (km2 area
(mi2)
Kenya, Tanzania, Owen Falls 66,400 25,600
Lake Victoria[n 1] White Nile
Uganda Dam
Irkutsk Reservoir– Irkutsk Angara 32,000 12,000
Russia
Lake Baikal Dam River
Jenpeg Nelson 24,420 9,430
Lake Winnipeg[n 3] Canada
Dam River
Akosombo 8,500 3,300
Lake Volta Ghana Volta River
Dam
Smallwood Churchill 6,527 2,520
Canada Multiple
Reservoir River
Whitesand Reindeer 6,500 2,500
Reindeer Lake[n 4] Canada
Dam River
Kuybyshev Zhiguli Volga 6,450 2,490
Russia
Reservoir Dam River
Kariba Zambezi 5,580 2,150
Lake Kariba Zambia, Zimbabwe
Dam River
Bukhtarma Bukhtarma 5,490 2,120
Kazakhstan Irtysh River
Reservoir[n 5] Dam
Angara 5,470 2,110
Bratsk Reservoir Russia Bratsk Dam
River
Aswan 5,200 2,000
Lake Nasser Egypt Nile
Dam
Rybinsk Volga 4,550 1,760
Rybinsk Reservoir Russia
Dam River
Caniapiscau Caniapiscau 4,318 1,667
Canada Multiple
Reservoir River
Caroni 4,250 1,640
Lake Guri Venezuela Guri Dam
River
São 4,225 1,631
Sobradinho Sobradinho
Brazil Francisco
Reservoir Dam
River
Volgograd Volga 3,117 1,203
Russia Volga Dam
Reservoir River
Tucuruí Tocantins 2,875 1,110
Lago Tucuruí Brazil
Dam River
Robert- 2,815 1,087
Robert-Bourassa La Grande
Canada Bourassa
Reservoir River
Dam
Tsimlyansk Tsimlyansk 2,702 1,043
Russia Don River
Reservoir y Dam
Cahora Zambezi 2,665 1,029
Cahora Bassa Lake Mozambique
Bassa Dam River
La Grande-3 La Grande- La Grande 2,536 979
Canada
Reservoir 3 Dam River
Vilyuy Vilyuy 2,501 966
Vilyuy Reservoir Russia
Dam River
Balbina Uatumã 2,360 910
Balbina Reservoir Brazil
Dam River
Sanmenxia Yellow 2,350 910
Sanmenxia Reservoir China
Dam River
Boguchany Boguchany Angara 2,326 898
Russia
Reservoir Dam River
Sérgio Motta Eng Sérgio Paraná 2,250 870
Brazil
Reservoir Motta Dam River
123
Surface
Name Country Dam Outflow 2
Surface area (km area
(mi2)
Kremenchuk Kremenchu Dnieper 2,250 870
Ukraine
Reservoir k Dam River
Cheboksary Cheboksary Volga 2,190 850
Russia
Reservoir Dam River
Kakhovka Dnieper 2,155 832
Kakhovka Reservoir Ukraine
Dam River
Ord River 2,072 800
Lake Argyle Australia Ord River
Dam
Krasnoyarsk Krasnoyarsk Yenisei 2,000 770
Russia
Reservoir Dam River
Daniel- 1,973 762
Manicouagan Manicouaga
Canada Johnson
Reservoir n River
Dam
Ust-Ilimsk Angara 1,922 742
Ust-Ilimsk Reservoir Russia
Dam River
1,915 739
Kama Reservoir Russia Kama Dam Kama River
Kapchagay Kapchagay 1,847 713
Kazakhstan Ili River
Reservoir Dam
Balakovo Volga 1,831 707
Saratov Reservoir Russia
Dam River
W.A.C. 1,773 685
Williston Lake Canada Bennett Peace River
Dam
Yacyretá Paraná 1,600 620
Yacyretá Reservoir Argentina, Paraguay
Dam River
Garrison Missouri 1,539 594
Lake Sakakawea United States
Dam River
Missouri 1,515 585
Lake Oahe United States Oahe Dam
River
Brokopondo Afobaka Suriname 1,500 580
Suriname
Reservoir Dam River
Furnas Grande 1,473 569
Furnas Reservoir Brazil
Dam River
Paraná 1,350 520
Itaipu Reservoir Brazil, Paraguay Itaipu Dam
River
Laforge-1 Laforge 1,288 497
Laforge-1 Reservoir Canada
Dam River
Kenney Nechako 1,200 460
Nechako Reservoir Canada
Dam River
Ilha 1,195 461
Ilha Solteira Paraná
Brazil Solteira
Reservoir River
Dam
Votkinsk 1,120 430
Votkinsk Reservoir Russia Kama River
Dam
Nizhnekamsk Nizhnekams 1,084 419
Russia Kama River
Reservoir k Dam
Three 1,084 419
Three Gorges Yangtze
China Gorges
Reservoir River
Dam
Novosibirsk Novosibirsk 1,072 414
Russia Ob River
Reservoir Dam
Jebel Aulia Jebel Aulia 1,051 406
Sudan White Nile
Reservoir Dam
Danjiangkou Danjiangko 1,050 410
China Han River
Reservoir u Dam
124
Surface
Name Country Dam Outflow 2
Surface area (km area
(mi2)
São 1,040 400
Três Marias Três Marias
Brazil Francisco
Reservoir Dam
River
Pipmuacan Bersimis-1 Betsiamites 978 378
Canada
Reservoir Dam River
Fort Peck Missouri 976 377
Fort Peck Lake United States
Dam River
Dnieper 922 356
Kiev Reservoir Ukraine Kiev Dam
River
Chardara 900 350
Chardara Reservoir Kazakhstan Syr Darya
Dam
El Chocón Limay 860 330
El Chocón Reservoir Argentina
Dam River
Harry S. 848 327
Osage
Truman Reservoir United States Truman
River
Dam
Luiz São 828 320
Luiz Gonzaga
Brazil Gonzaga Francisco
Reservoir
Dam River
Atatürk Euphrates 817 315
Lake Atatürk Dam Turkey
Dam River
Srisailam Krishna 800 310
Srisailam Reservoir India
Dam River
Itumbiara Itumbiara Paranaíba 778 300
Brazil
Reservoir Dam River
La Grande-4 La Grande- La Grande 765 295
Canada
Reservoir 4 Dam River
Hirakud Mahanadi 743 287
Hirakud Reservoir India
Dam River
Toledo Bend Toledo Sabine 736 284
United States
Reservoir Bend Dam River
Emborcação Emborcaçã Paranaíba 703 271
Brazil
Reservoir o Dam River
Glen 689 266
Colorado
Lake Powell United States Canyon
River
Dam
Dnieper 675 261
Kaniv Reservoir Ukraine Kaniv Dam
River
675 261
Keban Reservoir Turkey Keban Dam Euphrates
São Simão São Simão Paranaíba 674 260
Brazil
Reservoir Dam River
Hoover Colorado 659 254
Lake Mead United States
Dam River
Água 650 250
Água Vermelha Grande
Brazil Vermelha
Reservoir River
Dam
Outardes-4 Outardes-4 Outardes 625 241
Canada
Reservoir Dam River
610 240
Lake Assad Syria Tabqa Dam Euphrates
Mingachevir Mingachevir 605 234
Azerbaijan Kura River
Reservoir Dam
Eastmain Eastmain 603 233
Canada Multiple
Reservoir River
Kamianske Kamianske Dnieper 567 219
Ukraine
Reservoir Dam River
125
Surface
Name Country Dam Outflow 2
Surface area (km area
(mi2)
Kayrakkum Kayrakkum 523 202
Tajikistan Syr Darya
Reservoir Dam
Capivara Capivara Paranapane 515 199
Brazil
Reservoir Dam ma River
126
Lampiran 3 Biggest Volume
Nominal
Rank Name of dam Reservoir River Country Year volume
km³
1 Kariba Dam Lake Kariba Zambezi Zambia 1959 180.6
River and
Zimbab
we
2 Bratsk Dam Bratsk Angara Russia 1964 169
Reservoir River
3 Akosombo Lake Volta Volta River Ghana 1965 150
Dam
4 Daniel-Johnson Manicouagan Manicouag Canada 1968 141.851
Dam Reservoir an River
5 Guri Dam Lake Guri Caroní River Venezuela 1986 135
6 Aswan Lake Nasser Nile River Egypt 1971 132
High
Dam
7 Grand Blue Ethiopia under 79
Ethiopian Nile constr
Renaissance River ucti on
Dam
8 W. A. C. Williston Lake Peace River Canada 1967 74.3
Bennett Dam
9 Krasnoya Krasnoyars Yenisei Russia 1967 73.3
rsk Dam k Reservoir River
(ru)
10 Zeya Zeya Zeya River Russia 1978 68.4
Hydroelectric Reservoir
Station(ru)
11 Robert- Robert- La Grande Canada 1981 61.715
Bourassa Bourassa River
generating Reservoir
station
12 La Grande-3 La Grande-3 La Grande Canada 1981 60.02
generat Nord River
ing Reservoir
station
13 Ust-Ilimsk Ust- Angara Russia 1977 59.3
Dam Ilimsk River
Reservo
ir
14 Boguchany Bogucha Angara Russia 1989 58.2
Dam ny River
Reservoi
r
15 Zhiguli Kuybyshev Volga River Russia 1955 58
Hydroelectric Reservoir
Station
16 Cahora Cahora Bassa Zambezi Mozambique 1974 55.8
Bassa Dam River
17 Serra da Serra da Tocantins Brazil 1998 54.4
Mesa Dam Mesa River
Reservoir
18 Brisay Caniapiscau Caniapiscau Canada 1981 53.8
generating Reservoir River
127
Nominal
Rank Name of dam Reservoir River Country Year volume
km³
station
128
Nominal
Rank Name of dam Reservoir River Country Year volume
km³
35 Churchill Falls Smallwood Churchill Canada 1971 32.64
Reservoir River
36 Jenpeg Dam Lake Canada 1975 31.79
Winnipeg
outl et
37 Keban Dam Keban Euphrates Turkey 1971 31.5
Dam
Lake
38 Volga Volgograd Volga River Russia 1958 31.5
Hydroelect Reservoir
ric Station
39 Sayano– Sayano– Yenisei Russia 1990 31.3
Shushensk Shushensko River
aya Dam ye
Reservoir
(ru)
40 Garrison Dam Lake Missouri United States 1953 30.2203
Sakakawea River 1
41 Kossou Dam Lake Kossou Bandama Ivory Coast 1961 30
River
42 Iroquois Dam St. Canada 1958 29.9590
Lawrence 1
River
43 Oahe Dam Lake Oahe Missouri United States 1966 29.1101
River 8
44 Itaipu Dam Lake Itaipu Paraná River Brazil and 1983 29
(pt) Paragu ay
45 Rybinsk Dam Rybinsk Volga River Russia 1941- 25.4
Reservoir 1947
46 Sanmenxia Sanmenxia Yellow People's 1962 16.2
Dam Reservoir River Republic of
China
47 Mingachevir_ Mingachevir Kura River Azerbaijan 1953 15.73
Da m reservoir
48 Merowe Dam Nile River Sudan 2009 12.5
129
Lampiran 4 Input model G-res Skenario 1
https://56.datatrium.com/fmi/webd#G-Res%20Tool
130
Lampiran 5 Input model G-res Skenario 2
https://56.datatrium.com/fmi/webd#G-Res%20Tool
131
Lampiran 6 Output model G-res Skenario 1
https://56.datatrium.com/fmi/webd#G-Res%20Tool
132
Lampiran 7 Output model G-res Skenario 2
https://56.datatrium.com/fmi/webd#G-Res%20Tool
133
Lampiran 8 Daftar Jenis Tumbuhan Bawah di Tebing Kanan, Kecamatan Marancar
134
Lampiran 9 Daftar Jenis Semai di Tebing Kanan, Kecamatan Marancar
135
No. Nama Latin Famili Jumlah
42 Embelia ribes Burm.f. Primulaceae 9
43 Ziziphus angustifolia (Miq.) Hatus. ex Steenis Rhamnaceae 33
44 Ixora javanica (Blume) DC. Rutaceae 19
45 Melicope accendens (Blume) T.G. Hartley Rutaceae 16
46 Meliosma pinnata (Roxb.) Meissn. Sabiaceae 147
47 Meliosma simplicifolia (Roxb.) Walp. Sabiaceae 4
48 Nephelium cuspidatum Blume Sapindaceae 43
49 Eurycoma longifolia Simaroubaceae 47
50 Symplocos fascifulata Zoll. Symplocaceae 32
51 Jenis 10 1
52 Jenis 11 1
TOTAL INDIVIDU 1063
136
Lampiran 10 Daftar Jenis Pancang di Tebing Kanan, Kecamatan Marancar
No. Nama Latin Famili Jumlah
1 Aglaia simplicifolia (Bedd.) Harms Meliaceae 5
2 Aglaia sp. Meliaceae 2
3 Alstonia macrophylla Wall. ex G. Don Apocynaceae 7
4 Anisophyllea disticha (Jack.) Baill. Anisophyleaceae 1
5 Archidendron microcarpum (Benth.) I.C. Nielsen Leguminosae 6
6 Artabotrys suaveolens (Blume) Blume Annonaceae 11
7 Calophyllum venulosum Zoll. Clusiaceae 9
8 Chisocheton patens Blume Meliaceae 3
9 Coelostegia borneensis Becc. Malvaceae 26
10 Dehaasia caesia Blume Lauraceae 2
11 Dehaasia sumatrana Kosterm. Lauraceae 31
12 Eurycoma longifolia Simaroubaceae 15
13 Fissistigma latifolium (Blume) Merr. Annonaceae 13
14 Garcinia rigida Miq. Clusiaceae 2
15 Goniothalamus sp. Annonaceae 7
16 Hydnocarpus kunstleri (King) Warb. Achariaceae 2
17 Ixora javanica (Blume) DC. Rutaceae 3
18 Knema cinerea (Poir.) War. Myristicaceae 8
19 Macaranga triloba (Thunb.) Muell. Arg. Euphorbiaceae 1
20 Melicope accendens (Blume) T.G. Hartley Rutaceae 3
21 Nephelium cuspidatum Blume Sapindaceae 2
22 Parkia speciosa Hassk. Leguminosae 3
23 Podocarpus neriifolius D. Don Podocarpaceae 2
Total Individu 164
137
Lampiran 11 Daftar Jenis Tiang di Tebing Kanan, Kecamatan Marancar
No. Nama Latin Famili Jumlah
1 Aglaia odoratissima Blume Meliaceae 13
2 Anaxagorea javanica Blume Annonaceae 3
3 Archidendron ellipticum (Blume) I.C. Nielsen Leguminosae 3
4 Ardisia macrophylla Reinw.ex Blume Primulaceae 3
5 Ardisia purpurea Reinw.ex Blume Primulaceae 3
6 Canarium caudatum King Burseraceae 1
7 Elaeocarpus nitidus Jack Elaeocarpaceae 1
8 Embelia ribes Burm.f. Primulaceae 1
9 Eurya acuminata DC. Pentaphylaceae 4
10 Goniothalamus sp. Annonaceae 2
11 Knema laurina Warb. Myristicaceae 2
12 Neouvaria acuminatissima (Miq.) Airy Shaw Annonaceae 5
13 Nephelium cuspidatum Blume Sapindaceae 1
14 Parkia speciosa Hassk. Leguminosae 1
15 Pimelodendron griffithianum (Muell. Arg) Benth.ex Euphorbiaceae 1
Hook.f
16 Rourea minor (Gaertn.) Alston Connaraceae 1
17 Ryparosa hullettii King Achariaceae 1
18 Spathodea campanulata Beauv. Bignoniaceae 1
Total Individu 47
138
Lampiran 12 Daftar Jenis Pohon di Tebing Kanan, Kecamatan Marancar
139
No. Nama Latin Famili Jumlah
42 Palaquium gutta (Hook.) Baill. Sapotaceae 1
43 Paropsis vareciformis (Griff.) Mast. Passifloraceae 1
44 Timonius wallichianus (Korth.) Valeton Rubiaceae 1
45 Uvaria hirsuta Jack Annonaceae 1
Total Individu 108
140
Lampiran 13 Daftar Jenis Tumbuhan Bawah di Tebing Kiri, Kecamatan Marancar
No. Nama Latin Famili Jumlah
1 Albertisia papuana Becc. Menispermaceae 12
2 Alpinia malaccensis (Burm.f.) Roscoe Zingiberaceae 33
3 Amorphophallus paeoniifolius Araceae 10
4 Ampelocisus imperialis (Miq.) Planch. Vitaceae 54
5 Appendicula sp. Orchidaceae 8
6 Arcypteris irregularis Tetrariaceae 462
7 Arenga pinnata Arecaceae 25
8 Astronia spectabilis Blume Melastomataceae 9
9 Cheilocostus speciosus Costaceae 149
10 Clidemia hirta Melastomataceae 3
11 Colocasia esculenta Araceae 2
12 Cycas sp. Cycadaceae 2
13 Cyclosorus sp. Thelypteridaceae 10
14 Daemonorops draco (Willd.) Blume Arecaceae 5
15 Garcinia nervosa Miq. Clusiaceae 75
16 Goniophlebium percussum Polypodiaceae 58
17 Homalomena cordata Schott. Araceae 70
18 Jenis 1 13
19 Jenis 3 Araceae 61
20 Jenis 4 Araceae 3
21 Jenis 5 7
22 Mapania cuspidata (Miq.) Uitt. Cyperaceae 115
23 Memecylon paniculatum Jack Melastomataceae 19
24 Mitrephora teysmannii Scheff. Annonaceae 12
25 Mycetia cauliflora Reinw. Rubiaceae 9
26 Pinanga sp. Arecaceae 1
27 Piper crocatum Ruiz. & Paz. Piperaceae 32
28 Piper porphyrophyllum N.E.Br Piperaceae 56
29 Piper sp. Piperaceae 55
30 Piper umbellatum L. Piperaceae 1
31 Selaginella plana Selaginellaceae 11
32 Selaginella willdenowii (Desv. Ex Poir) Baker Selaginellaceae 165
33 Taenitis blechnoides Rubiaceae 273
Jumlah Individu 1820
141
Lampiran 14 Daftar Jenis Semai di Tebing Kiri, Kecamatan Marancar
No. Nama Latin Famili Jumlah
1 Agelaea macrophylla (Zoll.) Leenh. Connaraceae 9
2 Aglaia eximia Miq. Meliaceae 6
3 Aglaia odoratissima Blume Meliaceae 151
4 Alphonsea javanica Scheff. Annonaceae 9
5 Ardisia macrophylla Reinw.ex Blume Primulaceae 133
6 Ardisia sanguinolenta Blume Primulaceae 11
7 Astronia spectabilis Blume Melastomataceae 28
8 Baccaurea lanceolata (Miq.) Muell. Arg Phyllanthaceae 7
9 Canarium caudatum King Burseraceae 6
10 Desmos chinensis Lour. Annonaceae 75
11 Drypetes longifolia (Blume) Pax & K. Hoffm. Putranjivaceae 6
12 Dysoxylum arborescens (Blume) Miq. Meliaceae 118
13 Ficus botryocarpa Miq. Moraceae 9
14 Jenis 2 23
15 Jenis 8 12
16 Leea sp. Vitaceae 43
17 Lepisanthes senegalensis (Poir.) Leenh. Sapindaceae 150
18 Macaranga recurvata Gage Euphorbiaceae 11
19 Macaranga tanarius Euphorbiaceae 78
20 Microcos tomentosa Malvaceae 3
21 Myristica maxima Warb. Myristicaceae 4
22 Oreocnide rubescens (Blume) Miq. Urticaceae 30
23 Orophea sp. Annonaceae 5
24 Piper macropiper Piperaceae 374
25 Pipturus sp. Urticaceae 130
26 Pometia pinnata J.R.& G. Forst. Sapindaceae 11
27 Pterospermum javanicum Jungh. Malvaceae 10
28 Saurauia sp. Actinidiaceae 6
29 Toxidendron radicans Anacardiaceae 36
30 Ziziphus angustifolia (Miq.) Hatus. ex Steenis Rhamnaceae 131
Jumlah Individu 1625
142
Lampiran 15 Daftar Jenis Pancang di Tebing Kiri, Kecamatan Marancar
No. Nama Latin Famili Jumlah
1 Aglaia eximia Miq. Meliaceae 10
2 Aglaia odoratissima Blume Meliaceae 121
3 Alstonia macrophylla Wall. ex G. Don Apocynaceae 2
4 Antidesma leucopodum Miq. Phyllanthaceae 2
5 Ardisia macrophylla Reinw.ex Blume Primulaceae 70
6 Artocarpus heterophyllus Lam. Moraceae 7
7 Baccaurea lanceolata (Miq.) Muell. Arg Phyllanthaceae 5
8 Cinnamomum burmanni (Nees & T.Nees) Blume Lauraceae 16
9 Drypetes longifolia (Blume) Pax & K. Hoffm. Putranjivaceae 5
10 Dysoxylum arborescens (Blume) Miq. Meliaceae 38
11 Embelia ribes Burm.f. Primulaceae 2
12 Ficus variegata Blume Moraceae 7
13 Jenis 2 6
14 Lepisanthes senegalensis (Poir.) Leenh. Sapindaceae 98
15 Magnolia gigantifolia (Miq.) Noot. Magnoliaceae 4
16 Myristica villosa Warb. Myristicaceae 31
17 Neesia altissima (Blume) Blume Malvaceae 3
18 Nephelium uncinatum Leenh. Sapindaceae 18
19 Piper macropiper Piperaceae 47
20 Pipturus sp. Urticaceae 73
21 Pometia pinnata J.R.& G. Forst. Sapindaceae 12
22 Pterospermum javanicum Jungh. Malvaceae 13
23 Toxicodendron radicans (L.) Kuntze Anacardiaceae 32
24 Ziziphus angustifolia (Miq.) Hatus. ex Steenis Rhamnaceae 34
Jumlah Individu 656
143
Lampiran 16 Daftar Jenis Tiang di Tebing Kiri, Kecamatan Marancar
No. Nama Latin Famili KBH
1 Acalypha caturus Blume Euphorbiaceae 1
2 Aglaia eximia Miq. Meliaceae 2
3 Aglaia odoratissima Blume Meliaceae 23
4 Aglaia simplicifolia (Bedd.) Harms Meliaceae 1
5 Aglaia tomentosa Teijsm. & Binn. Meliaceae 4
6 Anaxagorea javanica Blume Annonaceae 1
7 Antidesma leucopodum Miq. Phyllanthaceae 2
8 Ardisia macrophylla Reinw.ex Blume Primulaceae 5
9 Bhesa robusta (Roxb.) Ding Hou Celastraceae 5
10 Canarium caudatum King Burseraceae 1
11 Diospyros macrophylla Blume Ebenaceae 1
12 Drypetes longifolia (Blume) Pax & K. Hoffm. Putranjivaceae 1
13 Ficus drupacea Thunb. Moraceae 1
14 Jenis 6 1
15 Jenis 7 1
16 Lepisanthes senegalensis (Poir.) Leenh. Sapindaceae 14
17 Lepisanthes tetraphylla Radlk. Sapindaceae 1
18 Lithocarpus elegans (Blume) Hatus. ex soepadmo Fagaceae 2
19 Macaranga bancana (Miq.) Mull. Arg. Euphorbiaceae 1
20 Macaranga tanarius Euphorbiaceae 1
21 Myristica maxima Warb. Myristicaceae 1
22 Myristica villosa Warb. Myristicaceae 3
23 Neoscortechinia sp. Euphorbiaceae 1
24 Pipturus sp. Urticaceae 1
25 Polyalthia rumphii (Blume ex Hench.) Merr. Annonaceae 2
26 Pometia pinnata J.R.& G. Forst. Sapindaceae 1
Total Individu 78
144
Lampiran 17 Daftar Jenis Pohon di Tebing Kiri, Kecamatan Marancar
No. Nama Latin Famili Jumlah
1 Adinandra sarosanthera Miq. Pentaphylaceae 1
2 Aglaia eximia Miq. Meliaceae 4
3 Aglaia odoratissima Blume Meliaceae 15
4 Aglaia simplicifolia (Bedd.) Harms Meliaceae 1
5 Aglaia tomentosa Teijsm. & Binn. Meliaceae 1
6 Alphonsea javanica Scheff. Annonaceae 2
7 Alstonia macrophylla Wall. ex G. Don Apocynaceae 2
8 Anaxagorea javanica Blume Annonaceae 2
9 Antidesma leucopodum Miq. Phyllanthaceae 3
10 Aquilaria malaccensis Thymelaeaceae 1
11 Ardisia macrophylla Reinw.ex Blume Primulaceae 5
12 Ardisia sanguinolenta Blume Primulaceae 2
13 Artocarpus elasticus Reinw. ex Blume Moraceae 2
14 Baccaurea sp. Phyllanthaceae 2
15 Bhesa robusta (Roxb.) Ding Hou Celastraceae 1
16 Coelostegia borneensis Becc. Malvaceae 3
17 Cryptocarya infectoria (Blume) Miq. Lauraceae 2
18 Diospyros macrophylla Blume Ebenaceae 2
19 Drypetes longifolia (Blume) Pax & K. Hoffm. Putranjivaceae 1
20 Dysoxylum arborescens (Blume) Miq. Meliaceae 8
21 Embelia ribes Burm.f. Primulaceae 2
22 Eurya acuminata DC. Pentaphylaceae 1
23 Ficus drupacea Thunb. Moraceae 1
24 Goniothalamus sp. Annonaceae 2
25 Jenis 8 1
26 Knema laurina Warb. Myristicaceae 1
27 Lansium parasiticum (Osbeck) K.C. Sahni & Bennet Meliaceae 1
28 Lasianthus stipularis Blume Rubiaceae 7
29 Lepisanthes senegalensis (Poir.) Leenh. Sapindaceae 9
30 Lepisanthes tetraphylla Radlk. Sapindaceae 2
31 Myristica villosa Warb. Myristicaceae 1
32 Neesia altissima (Blume) Blume Malvaceae 4
33 Neouvaria acuminatissima (Miq.) Airy Shaw Annonaceae 2
34 Nephelium uncinatum Leenh. Sapindaceae 9
35 Palaquium gutta (Hook.) Baill. Sapotaceae 1
36 Pometia pinnata J.R.& G. Forst. Sapindaceae 5
37 Pterospermum javanicum Jungh. Malvaceae 3
38 Symplocos sp. Symplocaceae 1
Total individu 113
145
Lampiran 18 Daftar Jenis Tumbuhan Bawah di Kebun Campuran, Kecamatan
Marancar
No. Nama Latin Famili Jumlah
1 Acranthera sp. Rubiaceae 7
2 Ampelocisus imperialis (Miq.) Planch. Vitaceae 13
3 Arcypteris irregularis Tetrariaceae 174
4 Arenga pinnata Arecaceae 62
5 Bauhinia semibifida Roxb. Leguminosae 7
6 Clibadium surinamense L. Compositae 5
7 Clidemia hirta Melastomaceae 162
8 Codiaeum variegatum (L.) Rumph. Ex A.Juss. Euphorbiaceae 10
9 Colocasia esculenta Araceae 11
10 Cyclosorus sp. Thelypteridaceae 333
11 Daemonorops sp. 1 Arecaceae 64
12 Daemonorops sp. 2 Arecaceae 5
13 Donax Canniformis (G. Forst.) K. Schum Maranthaceae 157
14 Freycinetia insignis Blume Pandanaceae 11
15 Garcinia nervosa Miq. Clusiaceae 47
16 Homalomena cordata Schott. Araceae 18
17 Jenis 12 Araceae 5
18 Jenis 5 75
19 Jenis 7 Araceae 15
20 Jenis 9 Melastomataceae 32
21 Korthalsia sp. Arecaceae 3
22 Molineria latifolia (Dryand. ex W.T. Aiton) Herb. ex Hypoxydaceae 12
Kurz.
23 Mycetia cauliflora Reinw. Rubiaceae 8
24 Neesia altissima (Blume) Blume Malvaceae 10
25 Oncosperma tigillarium Arecaceae 17
26 Pinanga sp. Arecaceae 20
27 Piper crocatum Ruiz. & Paz. Piperaceae 8
28 Piper porphyrophyllum N.E.Br Piperaceae 8
29 Piper sp. Piperaceae 47
30 Rhaphidophora korthalsii Schott. Araceae 5
31 Rhynchospora corymbosa (L.) Britton Cyperaceae 47
32 Rubus chrysophyllus Reinw.ex Miq. Rosaceae 39
33 Salacca zalazza Arecaceae 5
34 Sauropus androgynus Phyllanthaceae 46
35 Selaginella plana Selaginellaceae 460
36 Selaginella willdenowii (Desv. Ex Poir) Baker Selaginellaceae 40
37 Syzygium sp.1 Myristicaceae 8
38 Taenitis blechnoides Pteridaceae 77
Total individu 2073
146
Lampiran 19 Daftar Jenis Semai di Kebun Campuran, Kecamatan Marancar
No. Nama Latin Famili Jumlah
1 Aglaia odoratissima Blume Meliaceae 12
2 Antidesma leucopodum Miq. Phyllanthaceae 7
3 Aquilaria malaccensis Lam. Thymelaeaceae 33
4 Archidendron ellipticum (Blume) I.C. Nielsen Leguminosae 1
5 Archidendron microcarpum (Benth.) I.C. Nielsen Leguminosae 12
6 Artocarpus elasticus Reinw. ex Blume Moraceae 4
7 Artocarpus nitidus Trec. Moraceae 2
8 Baccaurea macrophylla (Muell. Arg.) Muell. Arg. Phyllanthaceae 9
9 Canarium caudatum King Burseraceae 2
10 Cinnamomum burmanni (Nees & T.Nees) Blume Lauraceae 5
11 Clausena excavata Burm.f. Rutaceae 8
12 Coelostegia borneensis Becc. Malvaceae 2
13 Coffea sp. Rubiaceae 55
14 Eurya acuminata DC. Pentaphylaceae 18
15 Ficus drupacea Thunb. Moraceae 2
16 Ficus variegata Blume Moraceae 2
17 Garcinia parvifolia (Miq.) Miq. Clusiaceae 17
18 Glochidion lutescens Blume Phyllanthaceae 5
19 Hevea brasiliensis (Willd. ex A.Juss.) Müll.Arg. Euphorbiaceae 18
20 Hydnocarpus kunstleri (King) Warb. Achariaceae 125
21 Leea sp. Vitaceae 146
22 Lepisanthes senegalensis (Poir.) Leenh. Sapindaceae 11
23 Lepisanthes tetraphylla Radlk. Sapindaceae 37
24 Litsea robusta Blume Lauraceae 21
25 Macaranga hypoleuca (Rchb.f. & Zoll.) Muell. Arg. Euphorbiaceae 11
26 Macaranga recurvata Gage Euphorbiaceae 27
27 Macaranga triloba (Thunb.) Muell. Arg. Euphorbiaceae 6
28 Microcos antidesmifolia (King) Burret Malvaceae 26
29 Oreocnide rubescens (Blume) Miq. Urticaceae 13
30 Podocarpus neriifolius D. Don Podocarpaceae 6
31 Pometia pinnata J.R.& G. Forst. Sapindaceae 3
32 Quercus gemmeliflora Blume Fagaceae 14
33 Ryparosa hullettii King Achariaceae 7
34 Salacia sp. Celastraceae 9
35 Ziziphus angustifolia (Miq.) Hatus. ex Steenis Rhamnaceae 37
Total individu 713
147
Lampiran 20 Daftar Jenis Pancang di Kebun Campuran, Kecamatan Marancar
No. Nama Latin Famili Jumlah
1 Aglaia odoratissima Blume Meliaceae 2
2 Aglaia tomentosa Teijsm. & Binn. Meliaceae 119
3 Alangium havilandii Bloemb. Cornaceae 6
4 Alstonia macrophylla Wall. ex G. Don Apocynaceae 2
5 Aquilaria malaccensis Thymelaeaceae 31
6 Archidendron ellipticum (Blume) I.C. Nielsen Leguminosae 3
7 Ardisia macrophylla Reinw.ex Blume Primulaceae 58
8 Baccaurea lanceolata (Miq.) Muell. Arg Phyllanthaceae 5
9 Baccaurea macrocarpa (Miq.) Muell. Arg. Phyllanthaceae 9
10 Baccaurea macrophylla (Muell. Arg.) Muell. Arg. Phyllanthaceae 3
11 Bruinsmia styracoides Boerl. & Koord. Styraxaceae 9
12 cinnamomum burmannii Lauraceae 1
13 Clausena excavata Burm.f. Rutaceae 7
14 Coelostegia borneensis Becc. Malvaceae 6
15 Coffea sp. Rubiaceae 6
16 Dillenia excelsa (Jack) Martelli ex Gilg. Dilleniaceae 33
17 Drypetes longifolia (Blume) Pax & K. Hoffm. Putranjivaceae 13
18 Dysoxylum arborescens (Blume) Miq. Meliaceae 37
19 Eurya acuminata DC. Pentaphylaceae 1
20 Ficus fistulosa Reinw. ex Blume Moraceae 10
21 Ficus obscura Blume Moraceae 5
22 Ficus variegata Blume Moraceae 1
23 Garcinia atroviridis Griff. ex T. Anderson Clusiaceae 1
24 Glochidion lutescens Blume Phyllanthaceae 4
25 Hevea brasiliensis Euphorbiaceae 25
26 Lepisanthes senegalensis (Poir.) Leenh. Sapindaceae 96
27 Litsea robusta Blume Lauraceae 2
28 Macaranga bancana (Miq.) Mull. Arg. Euphorbiaceae 2
29 Macaranga gigantea (Rchb.f. & Zoll.) Muell. Arg. Euphorbiaceae 19
30 Macaranga hypoleuca (Rchb.f. & Zoll.) Muell. Euphorbiaceae 2
Arg.
31 Macaranga recurvata Gage Euphorbiaceae 13
32 Macaranga tanarius Euphorbiaceae 1
33 Microcos antidesmifolia (King) Burret Malvaceae 2
34 Myristica maxima Warb. Myristicaceae 4
35 Neonauclea excelsa (Blume) Merr. Rubiaceae 31
36 Nephelium uncinatum Leenh. Sapindaceae 18
37 Parkia speciosa Hassk. Leguminosae 3
38 Persea rimosa Zoll.ex Meissn. Lauraceae 1
39 Polyalthia cauliflora Hook.f. & Thomson Annonaceae 18
40 Polyosma ilicifolia Blume Escaloniaceae 63
148
No. Nama Latin Famili Jumlah
41 Pometia pinnata J.R.& G. Forst. Sapindaceae 7
42 Pterospermum javanicum Jungh. Malvaceae 11
43 Rourea mimosoides Planch. Connaraceae 3
44 Ryparosa hullettii King Achariaceae 2
45 Saurauia sp. Actinidiaceae 3
46 Styrax benzoind Dryand. Styraxaceae 3
47 Symplocos fascifulata Zoll. Symplocaceae 7
48 Timonius wallichianus (Korth.) Valeton Rubiaceae 47
49 Toxidendron radicans Anacardiaceae 31
Total individu 786
149
Lampiran 21 Daftar Jenis Tiang di Kebun Campuran, Kecamatan Marancar
No. Nama Latin Famili Jumlah
1 Aglaia sp. Meliaceae 1
2 Alstonia macrophylla Wall. ex G. Don Apocynaceae 2
3 Aquilaria malaccensis Thymelaeaceae 1
4 Archidendron microcarpum (Benth.) I.C. Nielsen Leguminosae 6
5 Ardisia sanguinolenta Blume Primulaceae 1
6 Artocarpus heterophyllus Lam. Moraceae 2
7 Artocarpus nitidus Trec. Moraceae 1
8 Baccaurea macrophylla (Muell. Arg.) Muell. Arg. Phyllanthaceae 1
9 Bhesa robusta (Roxb.) Ding Hou Celastraceae 1
10 Durio zibethinus L. Malvaceae 1
11 Garcinia atroviridis Griff. ex T. Anderson Clusiaceae 1
12 Hevea brasiliensis (Willd. ex A.Juss.) Müll.Arg. Euphorbiaceae 44
13 Jenis 8 1
14 Macaranga bancana (Miq.) Mull. Arg. Euphorbiaceae 11
15 Macaranga gigantea (Rchb.f. & Zoll.) Muell. Arg. Euphorbiaceae 1
16 Macaranga hypoleuca (Rchb.f. & Zoll.) Muell. Arg. Euphorbiaceae 9
17 Myristica maxima Warb. Myristicaceae 1
18 Neouvaria acuminatissima (Miq.) Airy Shaw Annonaceae 1
19 Pipturus sp. Urticaceae 1
20 Symplocos fascifulata Zoll. Symplocaceae 6
Total individu 93
150
Lampiran 22 Daftar Jenis Pohon di Kebun Campuran, Kecamatan Marancar
No. Nama Latin Famili Jumlah
1 Aglaia simplicifolia (Bedd.) Harms Meliaceae 2
2 Archidendron microcarpum (Benth.) I.C. Nielsen Leguminosae 2
3 Baccaurea lanceolata (Miq.) Muell. Arg Phyllanthaceae 1
4 Baccaurea sp. Phyllanthaceae 1
5 Canarium caudatum King Burseraceae 1
6 Durio zibethinus L. Malvaceae 2
7 Eurya acuminata DC. Pentaphylaceae 1
8 Hevea brasiliensis (Willd. ex A.Juss.) Müll.Arg. Euphorbiaceae 53
9 Macaranga bancana (Miq.) Mull. Arg. Euphorbiaceae 9
10 Macaranga hypoleuca (Rchb.f. & Zoll.) Muell. Arg. Euphorbiaceae 7
11 Nephelium uncinatum Leenh. Sapindaceae 1
12 Polyalthia lateriflora (Blume) Kurz. Annonaceae 1
13 Ryparosa hullettii King Achariaceae 1
14 Saurauia sp. Actinidiaceae 1
15 Spathodea campanulata Beauv. Bignoniaceae 1
Total individu 84
151
Lampiran 23 Dokumentasi sarang Orangutan
Sarang Orangutan
1 Sarang yang ditemukan di
Orangutan area C
Sarang Orangutan
Sarang yang ditemukan di
3 Orangutan area D
Sarang Orangutan
Sarang yang ditemukan di
4 Orangutan area A
152
Lampiran 24 Dokumentasi Orangutan dan satwa lain yang ditemui
Ditemukan di
1. Bunglon
seluruh area studi
Ditemukan di
2 Tepekong rangkang
seluruh area studi
Ditemukan di
3 Rangkong Badak
seluruh area studi
Ditemukan di
4 Orangutan
seluruh area studi
Ditemukan di
5 Siamang
seluruh area studi
153
No Nama Jenis Dokumentasi Keterangan
Ditemukan di
6 Kubung
seluruh area studi
Ditemukan pada
7 Kadalan saweh
area C
154
Lampiran 25 Dokumentasi kegiatan pengambilan data
Kegiatan yang
3 Pengamatan vegetasi
dilakukan di lokasi D
Persiapan sebelum
4 Marancar
berangkat ke lapanggan
155
No Nama Kegiatan Dokumentasi Keterangan
156
Lampiran 26 Daftar jenis burung yang ditemukan pada seluruh area
Bukan
PerMen LHK Area Tapak Kegiatan Tapak
No Nama Jenis Nama Ilmiah CITES IUCN Kegiatan
No. P.20 2018
Area A Area B Area D Area C
1 Burungmadu sriganti Cinnyris jugularis - - LC v
Actenoides
2 Cekakak hutan melayu DL - NT v
concretus
3 Bubut Centropus sp. - - LC v
Chloropsis
4 Cica daun besar DL - VU v
sonnerati
Chloropsis
5 Cica daun kecil DL - NT v
cyanopogon
Pycnonotus
6 Cucak bersisik - - NT v
squamatus
7 Cucak kuricang Pycnonotus atriceps - - - v
Pycnonotus
8 Cucak kutilang - - LC v
aurigaster
Ictinaetus
9 Elang hitam DL II LC v v
malaiensis
10 Elang Ular-bido Spilornis cheela DL II LC v
11 Empuloh janggut Alophoixus bres - - LC v
Alophoixus
12 Empuloh ragum - - LC v
ochraceus
Zosterops
13 Kacamata biasa - - LC v
palpebrosus
Phaenicophaeus
14 kadalan saweh - - NT v
sumatranus
Alophoixus
15 Kedasi hitam - - LC v
ochraceus
16 Kuau sp. Polyplectron sp. - - - v
17 Layang-layang sp. Hirundo sp. - - - v v
Harpactes
18 Luntur putri DL - NT v
orrhophaeus
Pycnonotus
19 Merbah Cerukcuk - - LC v
goiavier
Pycnonotus
20 merbah gunung - - LC v
plumosus
21 Pelatuk ayam Dryocopus javensis - I LC v
Chrysocolaptes
22 Pelatuk tunggir emas - - LC v
lucidus
23 Pelatuk-kumis Kelabu Picus chlorolophus - - LC v
24 Perenjak jawa Prinia familiaris - - LC v
Udang punggung
25 Ceyx rufidorsa - - LC v
merah
26 Rangkong badak Buceros rhinoceros - II NT v v v v
Eurylaimus
27 Sempur-hujan darat - - NT v v
ochromalus
Ficedula
28 Sikatan Emas - - LC v
zanthopygia
Dicrurus
29 Srigunting batu - - LC v
paradiseus
Psilopogon
30 Takur warna-warni DL - NT v
mystacophanos
Dendrocitta
31 Tangkar-uli Sumatera DL - LC v
occipitalis
32 Tepekong rangkang Hemiprocne comata - - LC v
Collocalia
33 Walet sapi - - LC v
esculenta
Grand Total 8 4 9 15 6 3 16
157