Anda di halaman 1dari 15

Kajian Status Hukum Taman Nasional

Ringkasan Eksekutif
Taman Nasional Kutai (TNK) terletak di kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur (yakni
Kecamatan Bontang Utara, Bontang Selatan, Muara Badak, dan Marang). yakni 0 – 400 m diatas
permukaan laut. Secara administrartif sebelumnya berada Kabupaten Kutai dan Kota Bontang,
secara geografis berada diantara 0º 7 ’ 54 ” - 0º 33 ” 53 ” LU dan 116 º 58 ”48 ”-117 º 35 ’ 29 ” BT.
Luasan TNK berdasarkan surat Menteri Kehutanan No. 997/Menhut-II/1997 luasan Taman
Nasional Kutai menjadi 198.604 Ha, merupakan hasil dari pengurangan kawasan TNK sejak
penunjukan tahun 1995, untuk perluasan Kota Bontang sekitar 25 Ha.

Taman Nasional Kutai (selanjutnya disebut TNK) merupakan kawasan hutan hujan tropis dataran
rendah yang memiliki potensi sumberdaya alam hayati yang memiliki sejarah panjang status
hukum sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan
yang dilindungi sejak 7 Mei 1934 oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan sebutan ‘forestry reserve’
melalui SK (GB) No. 3843/z/1934, sejak itu ada berbagai status hukum untuk kawasan ini, hingga
kemudian tahun 1995 melalui SK Menteri Kehutanan No. 352/1995 menjadi Taman Nasional Kutai.
TNK berada dalam 4 wilayah administrative kecamatan di Kabupaten Kutai Timur, yakni
Kecamatan Bontang Utara, Bontang Selatan, Muara Badak, dan Marang.

Sejak ditetapkan sebagai suaka margasatwa dan kemudian sebagai Taman nasional, keutuhan
kawasan banyak terkikis baik itu oleh perambahan maupun pinjam pakai kawasan untuk berbagai
keperluan di luar keperluan konservasi. Selain itu, perkembangan pengelolaan kawasan TNK
diikuti dengan berbagai permasalahan perubahan sistem pemerintahan dalam bentuk desentralisasi
atau disebut otonomi membawa dampak pada persepsi penentuan dan pemanfaatan kawasan
Taman Nasional oleh masyarakat lokal dan pemerintah daerah. perubahan sistem pemerintahan
dalam bentuk desentralisasi atau disebut otonomi daerah, membawa pemerintahan dalam bentuk
desentralisasi atau disebut otonomi daerah, membawa dampak pada persepsi penentuan dan
pemanfaatan kawasan Taman Nasional oleh masyarakat lokal dan pemerintah daerah.

Meski kewenangan pengelolaan TNK masih berada di Pusat, dalam hal ini Departemen Kehutanan,
yang dilaksanakan Balai TNK, tidak serta merta bisa menyelesaikan persoalan yang muncul seperti;
terbentuknya desa desa definif oleh Daerah, semakin hari terjepit dengan kawasan pengusahaan
hutan (HPH, HTI) dan perusahaan tambang, pembukaan jalan, pinjam pakai kawasan, dan
kejelasan tata batas akibat banyaknya izin yang dikeluarkan di sekitar dan di dalam kawasan TNK.

Masih berhubungan dengan permasalahan hukum, adalah keberadaan masyarakat yang ada
sebelum adanya status hukum TNK ditetapkan, , juga telah masuk pendatang pendatang baru yang
berasal dari luar kawasan dan berusaha dalam kawasan TNK, serta kelompok masyarakat adat yang
memiliki konsep gilir balik, kembali ke kawasan tersebut sebagai bagian pola gilir balik mereka.

Studi mengenai Status Hukum Taman Nasional Kutai (TNK) dan Dampaknya terhadap Pengelolaan
Kawasan dilakukan oleh Institut Hukum Sumber Daya Alam (IHSA) dengan dukungan CIFOR dan
TNC bermaksud mengkaji a) bagaimana hubungan antara kepastian hukum status kawasan TNK
dengan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan, terutama dengan
kegiatan-kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan yang saat ini marak di TNK; b)
bagaimana kewenangan pengelolaan TNK jika dihubungkan dengan otonomi daerah, dimana
misalnya terdapat keinginan yang kuat dari Pemkab Kutai Timur untuk membangun permukiman
dan beberapa fasilitas lainnya dalam kawasan TNK; c) serta bagaimana perspektif para pihak dan
keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan TNK.

Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut di atas maka telah dilakukan, 1) pengumpulan data
sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder maupun tersier yang terkait dengan kawasan
konservasi, khususnya taman nasional 2) wawancara dengan para pihak yang dinilai sebagai bagian
dari pemangku kepentingan di kawasan TNK guna mengidentifikasi persoalan yang sedang
dihadapi oleh TNK, baik pada saat ini maupun masa yang akan datang. Data yang telah terkumpul
akan dianalisis melalui dua tahap. Pada tahap pertama menggunakan strategi analisis umum yang
disebut strategi mengandalkan proposisi-proposisi teoritis (relying on theoritical propositions), dan
pada tahap berikutnya menggunakan teknik analisis yang disebut dengan explanation building.

Status hukum TNK dan Dampaknya terhadap pengelolaan kawasan


Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan taman nasional adalah kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan
untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan
rekreasi. Adapun ketentuan mengenai penetapan suatu kawasan sebagai taman nasional diatur
dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam.

Berkenaan dengan penetapan kawasan, dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa suatu kawasan ditetapkan
sebagai taman nasional, setelah melalui tahapan berikut:
a. Penunjukan kawasan beserta fungsinya
b. Penataan batas kawasan;
c. Penetapan kawasan.

Selanjutnya dalam Pasal 10 disebutkan bahwa setelah Menteri menunjuk kawasan tertentu sebagai
taman nasional maka akan dilakukan penataan batas oleh sebuah Panitia Tata Batas yang
keanggotaan dan tata kerjanya ditetapkan oleh Menteri. Dan selanjutnya Menteri menetapkan
kawasan taman nasional, berdasarkan Berita Acara Tata Batas yang direkomendasikan oleh Panitia
Tata Batas.

Dalam kaitannya dengan pengelolaan taman nasional, dalam Pasal 32 Undang-undang No. 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya disebutkan bahwa Kawasan
taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan
zona lain sesuai dengan keperluan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan ini terdapat dalam
Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam (selanjutnya KSA dan KPA), khususnya Pasal 31 ayat (2),(3), dan (4). Lebih lanjut dalam Pasal
37 disebutkan bahwa kawasan taman nasional dikelola dengan melakukan upaya pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, yang dilaksanakan sesuai dengan
sistem zonasi pengelolanya (Pasal 38). Upaya pengawetan berdasarkan sistem zonasi ini diatur
dalam Pasal 39-41 sementara pemanfaatan kawasan taman nasional menurut Pasal 48 dilakukan
sesuai dengan sistem zonasi pengelolaannya.

Dalam kasus TNK terlihat bahwa status kawasan tersebut adalah penunjukan atau dengan kata lain
masih berada pada tahap pertama dalam proses penatapan kawasan selain penataan batas dan
penetapan kawasan. Hal itu juga tercermin dari belum adanya pembagian mintakat sebagaimana
dimaksud dalam UUKH dan PP No. 68 Tahun 1998 tentang KSA dan KPA. Padahal, zonasi
merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditawar bagi sebuah taman nasional, sebab sebagai hutan
dengan fungsi konservasi, upaya pengawetan dan pemanfaatan kawasan mempersyaratkan adanya
zonasi.

Persoalan status hukum di atas, bukan saja berimplikasi pada pengelolaan TNK itu sendiri, tetapi
juga merebak pada kegiatan penggunaan kawasan TNK untuk kepentingan lain di luar kehutanan.
Secara umum persoalan yang dihadapi oleh TNK dapat kelompokkan dalam 2 (dua) kategori
sebagai berikut:
1. Sebelum kawasan tersebut ditunjuk sebagai taman nasional pada tahun 1995.
Ketika Indonesia merdeka, status kawasan secara yuridis tidak berubah, hal ini didasarkan pada
ketentuan yang terdapat dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini.” Dalam perjalanannya, melalui SK Mentan No. 110/UN/1957,
tanggal 14 Juni 1957, kawasan tersebut kembali ditetapkan sebagai Kawasan Suaka Margasatwa
Kutai. Status kawasan juga tidak mengalami perubahan, karena dalam Pasal 20 UUPK ditegaskan
bahwa “hutan yang telah ditetapkan sebagai Hutan Tetap, Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, berdasarkan
Peraturan Perundangan yang berlaku sebelum berlakunya Undang-undang ini, dianggap telah ditetapkan
sebagai Kawasan Hutan dengan peruntukkan dan fungsi sesuai dengan penetapannya.”
Sebagai suaka margasatwa, menurut Pasal 9 ayat (2) Pemerintah ini diwajibkan untuk ditata dan
dibuat Rencana Karya. Lebih lanjut dalam ayat (4) dijelaskan bahwa penata-gunaan Hutan Suaka
Alam bertujuan untuk melindungi keadaan alam untuk menghindarkan kemusnahan dan/atau
demi kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Pada derajat ini, tidak ditemukan informasi mengenai apakah Suaka Margastawa Kutai (SMK)
memiliki Rencana Karya atau tidak. Tanpa adanya suatu rencana karya, maka dapat dikatakan
bahwa pengelolaan kawasan SMK berjalan tanpa arah yang jelas. “Celah hukum” inilah yang
kemudian membuka peluang bagi hadirnya (kembali) kegiatan pertambangan di kawasan itu. Pada
tahun 1971, Pemerintah menerbitkan Keppres No. 50 Tahun 1971 yang antara lain menetapkan
wilayah kuasa pertambangan Pertamina seluas ± 768,75 km². Dan pada tanggal 4 Mei 1977
ditetapkan SKB Dirjen Kehutanan dan Dirjen Migas No. 45/Kpts/DJ/I/1977; No.
39/Kpts/DJ/Migas/1977, dimana dinyatakan bahwa Dirjen Kehutanan memberi persetujuan
terhadap dilaksanakannya eksplotasi dan eksplorasi minyak dan gas pada zona I.
Pada tahun 1982, melalui SK Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982 ditetapkan 11 kawasan
suaka alam sebagai calon taman nasional, salah satunya adalah SMK dengan luas 200.000 ha.
Dalam perjalanannya, ketiadaan rencana karya kawasan SMK membuat kawasan ini rentan
terhadap ancaman. Pada tanggal 5 Oktober 1990, Pemerintah Daerah Tingkat I Kalimantan
Timur membangun jalan Bontang -Sangatta sepanjang kurang lebih 60 km. Jalan tersebut, menurut
Subarudi, unik karena di "design" dengan membelah areal SMK sehingga memakan luas areal
sebesar 48 ha yang terkena pelebaran jalan berikut isinya.

Di tahun 1994, tepatnya tanggal 12 November 1994, Menteri Kehutanan mengeluarkan surat No.
178/Menhut-VI/1994 yang berisi persetujuan penggunaan Taman Nasional Kutai untuk kegiatan
pemboran 4 sumur di lapangan minyak Sangatta yang kemudian ditindaklanjuti dengan perjanjian
pinjam pakai kawasan hutan No. 016/KWL/PTGH-3/1995 tanggal 16 Maret 1995 antara Pertamina
Sangatta dan Kanwil Kehutanan Departemen Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.

Apabila persetujuan itu dikaitkan dengan status kawasan, ada 2 (dua) hal yang menarik untuk
dicermati:
a. Surat persetujuan tersebut menggunakan istilah Taman Nasional Kutai, padahal secara hukum
statusnya masih kawasan Suaka Margasatwa Kutai. Meski pada tahun 1982 dideklarasikan sebagai
calon taman nasional tapi status tersebut belum definitif. Pada sisi lain, apabila memang kawasan
tersebut diakui sebagai taman nasional—sebagaimana disebutkan dalam surat Menteri Kehutanan
No. 178/Menhut-VI/1994—maka berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Surat
Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor
969.K/05/M.PE/1989. 429/Kpts-II/1989 tentang Pedoman Pengaturan Pelaksanaan Usaha
Pertambangan dan Energi dalam Kawasan Hutan, seharusnya kawasan tersebut tidak bisa
dilakukan kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi.
b. Apabila mengacu pada status hukum kawasan yang masih merupakan suaka margasatwa, maka
surat Menteri Kehutanan No. 178/Menhut-VI/1994 mempunyai landasan berpijak, karena dalam
Pasal 3 SKB itu disebutkan bahwa usaha pertambangan dan energi dapat dilaksanakan dalam
daerah Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, Taman Buru, Hutan Lindung, Hutan Produksi
Terbatas, Hutan Produksi dengan izin penggunaan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan.
Adapun status tanah kawasan hutan yang digunakan untuk usaha pertambangan dan energi,
menurut Pasal 4, adalah tetap sebagai kawasan hutan dan penggunaannya bersifat pinjam pakai.

2. Setelah ditunjuk sebagai taman nasional.


Pada tanggal 29 Juni 1995, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 325/Kpts.II/95 status SMK
berubah menjadi Taman Nasional Kutai dengan luas 198.629 Ha. Pasca penetapan sebagai taman
nasional, ada beberapa kegiatan di dalam kawasan yang tidak sesuai dengan fungsi
kawasan.Kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pertambangan umum atau pertambangan minyak dan gas bumi.


Dalam hubungannya dengan kegiatan pertambangan umum atau pertambangan minyak dan gas
bumi, analisis mengenai hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari keberadaan PT. Pertamina dan PT.
Tambang Damai.
Pasca penetapan sebagai taman nasional, kegiatan PT. Pertamina di kawasan TNK dipayungi oleh:
1) Surat persetujuan Menhut No. 1238/Menhut-VI/1996 tanggal 12 September 1996 yang kemudian
ditindaklanjuti dengan perjanjian pinjam pakai antara Pertamina Sangatta dan Kanwil Departemen
Kehutanan Provinsi Kaltim. Masa pinjam pakai adalah 5 tahun sedang lahan yang dipakai seluas
11,5697 ha untuk 4 (empat) sumur eksploitasi.
2) Perpanjangan pinjam pakai kawasan hutan No.016/KWL/PTGH-3/1995 tanggal 16 Maret 1995
antara Pertamina Sangatta dan Kanwil Kehutanan Departemen Kehutanan Provinsi Kalimantan
Timur.
Jika merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam SKB Menteri Pertambangan dan Energi dan
Menteri Kehutanan No. 969.K/05/M.PE/1989. 429/Kpts-II/1989 tentang Pedoman Pengaturan
Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi dalam Kawasan Hutan, khususnya Pasal 2 ayat (3)
maka seharusnya lokasi dimana terdapat kegiatan tersebut dikeluarkan dari penetapan Taman
Nasional. Ketika lokasi tersebut tidak dikeluarkan dari kawasan TNK maka akan terdapat
pertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, karena dalam Pasal 33
UUKH secara tegas melarang adanya kegiatan yang mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan
zona inti atau kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona lainnya. Selain itu dalam Pasal 2 ayat
(1) SKB Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor 969.K/05/M.PE/1989.
429/Kpts-II/1989 tentang Pedoman Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi
dalam Kawasan Hutan secara tegas menyatakan bahwa kegiatan pertambangan umum atau
pertambangan minyak dan gas bumi tidak dapat dilakukan di kawasan taman nasional.
Dalam kasus Pertamina, apabila masa perjanjian pinjam pakai kawasan telah selesai, maka
yang diberlakukan adalah ketentuan yang terdapat dalam Permenhut No. P.64/Menhut-
II/2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Jika mengacu pada ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 6, maka perjanjian tersebut tidak dapat diperpanjang karena pada Pasal
itu ditentukan bahwa kawasan hutan yang dapat diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan
adalah kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
Pembangunan Base Tower Server (BTS) Saat ini terdapat 16 menara telekomunikasi dalam
kawasan TNK, pembangunan BTS tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, baik ketentuan yang terdapat dalam UUKH maupun Permenhut No. P.64/Menhut-
II/2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.

Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dan fasilitas umum lainnya. Pada prinsipnya,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 Permenhut No. P.64/Menhut-II/2006 tentang Pedoman
Pinjam Pakai Kawasan Hutan, dimana dinyatakan bahwa kawasan hutan yang dapat diberikan izin
pinjam pakai kawasan hutan adalah kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung, maka
kehadiran SPBU dan fasilitas umum lainnya ilegal.

Apabila pelanggaran terhadap berbagai ketentuan tersebut dikaitkan dengan status kawasan akan
terlihat bahwa terdapat kesulitan untuk melakukan penegakkan hukum terhadap pelanggaran
tersebut, karena sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UUKH semuanya dihubungkan dengan
zonasi. Dengan kata lain, kegiatan yang dapat dipidana apabila kegiatan itu menganggu atau tidak
sesuai dengan fungsi zona (inti, rimba dan pemanfaatan). Tanpa adanya zonasi, maka akan sulit
melakukan krimininalisasi terhadap pelanggaran yang terjadi.

Kewenangan pengelolaan TNK dalam Bingkai OtonomiDaerah


Dalam konteks Taman Nasional Kutai, Pemerintah Pusat berwenang menunjuk dan menetapkan
status kawasan Hutan. Sedangkan mengenai pengelolan Taman Nasional, diserahkan kepada
lembaga pengelola, yang disebut Balai Taman Nasional, namun seiring dengan berlakunya UU No.
22 Tahun 1999, adanya daerah daerah otonom yang juga memiliki kewenangan untuk mengelola
kawasan yang ada dalam wilayah administratifnya, membawa pengaruh pada pengelolan TNK.
Dimana muncul inisiatif inisiatif untuk melakukan pengelolaan.

Dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentanng Pemerintahan Daerah dengan Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah
Daerah, telah dengan detail membagi urusan Pusat dan Daerah, mulai dari urusan administrasi
hingga Pengelolaan sumberdaya alam. UU ini mengatur urusan Kehutanan sebagai urusan pilihan
oleh daerah sebagaimana tercantum dalam pasal 7 ayat 3 dan 4, yang menyatakan bahwa urusan
pilihan Pemerintah Daerah, meliputi: Kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, energi dan
sumberdaya mineral dan pariwisata. Selanjutnya dalam bagian Lampiran PP dijelaskan bahwa sub
bidang perencanaan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota hanya memberi pertimbangan teknis
pengesahan rencana jangka pendek, menengah dan jangka panjang untuk cagar alam, suaka
margasatwa, taman nasional, tamana wisata alam dan taman buru skala Kabupaten/ Kota.
Urusan pengelolaan kawasan konservasi suaka alam dan pelestarian alam, salah satunya termasuk
Taman Nasional, dilakukan melalui pengaturan konservasi setingkat undang-undang sebelumnya
menggunakan pengaturan warisan Kolonial Belanda, sejumlah peraturan warisan Pemerintahan
Belanda yang berkaitan dengan perburuan, perlindungan binatang liar, maupun perlindungan alam
tersebut selanjutnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Hingga diundangkannya UU No. 5
Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dimana dalam bagian
Penjelasan menyatakan bahwa UU ini merupakan dasar hukum bagi pengelolaan kawasan
Konservasi Sumberdaya hayati. Sehingga dengan berlakunya UU ini, urusan pengelolaan
konservasi berada pada Pemerintah Pusat, dengan sedikit mencantumkan peran daerah.

Dengan berlakunya UU No. 32 tahun 2004 dan PP No. 38 tahun 2007, Daerah otonom memiliki
kewenangan, secara umum kewenangan tersebut meliputi: kewenangan teknis pengelolaan SDA
dalam bentuk izin untuk penyediaan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan SDA di daerah
dan kewenangan mengatur dan mengurus SDA yang merupakan satu kesatuan yang utuh baik
pengelolaan yang meliputi perencanaan, pemanfaatan/pengelolaan, pemulihannya. Untuk bidang
kehutanan, termasuk ke dalam kelompok kewenangan pilihan. Pemerintah Daerah dapat
mengeluarkan produk hukum daerah seperti Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan atau Surat
Keputusan Bupati untuk mendukung kegiatan konservasi dan pengelolaan konservasi bersama
Balai Taman Nasional. Pemberlakukan ini, ditujukan untuk melakukan reorganisasi hubungan
Pemerintah Pusat Daerah pasca UU No. 22 Tahun 1999, yang menghasilkan rangkaian
permasalahan kewenangan, tumpang tindih peraturan dan penyelenggaran pemerintahan sebagai
daerah otonom.

Namun apakah reorganisasi hubungan kewenangan ini turut membantu menyelesaikan


permasalahan pengelolaan Taman Nasional? Ternyata belum, melihat kondisi TNK sekarang,
pemberlakuan UU No. 32 Tahun 2004 serta PP. No. 38 Tahun 2007 justru semakin mengurangi
peran Pemerintah Daerah/ Kabupaten untuk ikut mengelola kawasan TNK, meski Pasal 17 UU ini
mencantumkan bahwa hubungan dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya
lainnya antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat 4 dan
ayat 5, meliputi: a. Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaaatan, pemeliharaan, pengendalian
dampak budidaya dan pelestarian; b. bagi hasil atas atas pemanfaatan sumberdaya alam dan
sumberdaya lainnya; dan, c. Penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.

Meski telah ada rangkaian peraturan teknis yang memberi peluang untuk pengelolaan bersama
antara Balai TNK, Pemerintah Daerah dan Masyarakat. namun hanya sebatas pemberian
rekomendasi untuk rencana pengelolaan jangka pendek, menengah dan panjang (Lampiran
pembagian urusan kehutanan sub bidang Perencanaan).

Kewenangan Daerah untuk Pemekaran Wilayah Vs Kewenangan ‘Enclave” Kawasan Hutan oleh
Departemen Kehutanan.
Secara hukum, permasalahan TNK berkaitan kewenangan Pemerintah Daerah serta masyarakat,
ditandai dengan terbitnya SK Gubenur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur No.
140/SK.406.A 1996 tertanggal 30 September 1996 Tentang Penetapan Desa Desa Persiapan, yakni
Sangatta Selatan, Sangkima dan Teluk Pandan Kec. Sangatta Kabupaten Daerah Tingkat II Kutai,
diproses selama 1 tahun dan ditetapkan menjadi Desa Definitif melalui SK Gubenur Kepala Daerah
Tingkat I Kalimantan Timur tahun 1997. Sebagai daerah otonom, Pemekaran desa merupakan salah
satu kewenangan daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan Pemerintahan daerahnya.
Kewenangan Daerah, menurut Bagian Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah merupakan urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan Pemerintahan yang
penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama Pemerintah dan
Pemerintah daerah. Dengan demikian, setiap urusan yang bersifat concurrentsenantiasa ada bagian
urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan kepada
Propinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota. Mengingat terbatasnya
sumber daya dan sumber dana yang dimiliki oleh daerah, maka prioritas penyelenggaraan urusan
pemerintahan difokuskan pada urusan wajib dan urusan pilihan yang benar-benar mengarah pada
penciptaan kesejahteraan masyarakat disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan kekhasan daerah
yang bersangkutan.

Rangkaian pemekaran daerah tersebut ditindak lanjuti melalui Keputusan Bupati Kutai Timur No.
81 Tahun 2001 Tentang “Enclave Desa Sangatta, Singa Geweh, Sangkima dan Teluk Pandan sebagai
Desa Definitif yang telah dilepaskan dari Kawasan TNK. Dalam Peraturan Bupati ini, ada
perbedaan isi dan bentuk peraturan Judul peraturan adalah Peraturan Bupati,namun isinya dan
bagian awal menyebutkan “Peraturan Daerah”. Keputusan Bupati No. 81 Tahun 2001 ini, secara
sistematika sebuah peraturan tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum
Daerah dan tidak sesuai pula dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 16 tahun 2006 Tentang
Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah sebagai pengganti dari Keputusan No. 23 Tahun
2000 tersebut. Sistematika keputusan menurut Permendagri No. 15 Tahun 2006, terdiri dari bagian
Menimbang, Mengingat, Menetapkan dengan struktur : KESATU, KEDUA, KETIGA dan
seterusnya. Kemudian secara substansi Peraturan No. 81 Tahun 2001, cendrung mengarah pada
sistematika dan substansi sebuah Peraturan Daerah.

SK No. 16 tahun 2006, dalam pasal menyatakan bahwa Produk hukum daerah bersifat pengaturan
dan penetapan. Dan dalam pasal 3 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan bersifat Pengaturan,
meliputi: Peraturan daerah atau sebutan lain; peraturan kepala daerah; dan peraturan bersama
kepala daerah. Sedangkan yang bersifat penetapan meliputi: Keputusan kepala daerah; dan
Instruksi kepala daerah. Dari sisi kewenangan, Bupati sebagai kepada daerah otonom tidak
memiliki wewenang untuk menetapkan ‘enclave Desa Sangatta, Singa Geweh, Sangkima dan Teluk
Pandan sebagai Desa Definitif yang telah dilepaskan dari Kawasan TNK’ karena keputusan untuk
penetapan dan pemekaran desa harus ditetapkan bersama dengan DPRD dalam bentuk Peraturan
Daerah, hal ini dapat dilihat pada Pasal 4 “Ketentuan lebih lanjut mengenai Pembentukan,
Penghapusan dan Penggabungan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diatur dengan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan Menteri”(PP No. 71 Tahun
2005 Tentang Desa) yang sebelumnya adalah Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2001 Tentang
Pedoman Pengaturan Desa. Kebijakan pemekaran desa dan pemekaran kecamatan merupakan
kewenangan daerah yang dibentuk melalui Peraturan Daerah, hal ini di dasari oleh UU No. 22
Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah.
Sedangkan kebijakan untuk memutuskan ‘enclave’ suatu kawasan hutan merupakan kebijakan dari
Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan. namun sesungguhnya apa itu ‘enclave’
dalam kawasan Taman Nasional menurut peraturan perundangan dan peraturan pelaksananya,
dapatkah ‘enclave’ dilakukan?. Istilah sejenis, dapat ditemukan dalam peraturan menteri atau surat
keputusan Menteri adalah “pelepasan kawasan”, Tukar menukar kawasan’, pengurangan kawasan,
kawasannya pun berstatus hutan produksi, dan dimungkinkan di hutan lindung jika mengacu UU
No 1 Tahun 2004 (perubahan dari UU No. 41 Tahun 1999) yang mengatur tentang pertambangan
dalam kawasan hutan (khusus 14 perusahaan tambang yang tercantum dalam Keppres No. 14
Tahun 2004).

Melihat dari rangkaian perundangan, memang tidak ditemukan pengaturan mengenai ‘enclave’
dalam Kawasan Taman Nasional, sehingga keputusan menentukan ‘enlave’ dalam suatu kawasan
Lindung dan Konservasi merupakan suatu bentuk kebijaksanaan yang disebut Peraturan
Kebijaksanaan. Keputusan diambil dengan pertimbangan telah adanya kegiatan, penetapan, dan
bukti bukti yang memenuhi syarat. Dari berbagai literature mengenai enclave, umumnya dilakukan
untuk proses melakukan tata batas, dan kepastian suatu kawasan. Dari rangkaian surat menyurat
dan proses yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan dalam hal ini Dirjen PHKA, sejak tahun
2000 hingga surat Menteri Kehutanan tahun 2002, terus menyatakan bahwa enclave yang dimaksud
dalam kawasan Taman Nasional tetap dipertahankan dalam Kawasan Hutan dan tidak dilepas.

Pemeritahan Daerah kabupaten Kutai Timur berwenang menetapkan desa desa dan kecamatan
melalui Peraturan Daerah berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2004 Tentang Desa, namun Pemerintah Pusat dalam hal ini
Departemen Kehutanan juga berwenang untuk menetapkan kawasan Hutan termasuk kawasan
Pelestarian Alam (Taman Nasional) berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 dan UU No. 5 Tahun 1990
tentang KSDHE, serta PP No. 68 Tahun 1998 Tentang KSA dan KPA, namun dari perspektif hukum
normatif, manakah yang lebih kuat, UU Kehutanan berlaku lex specialis, merupakan perundangan
yang bersifat khusus untuk kehutanan, sedangkan UU No. 32 tahun 2004 dalam Dasar Pemikiran,
bagian Penjelasannya menyatakan bahwa otonomi dilakukan untuk mensejahterakan rakyatnya dan
yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah harus mampu menjamin hubungan yang serasi
antar Daerah dengan Pemerintah.

Kewenangan menetapkan dan memutuskan ‘enclave” dalam kawasan hutan harusnya dapat
dipahami dan dimengerti oleh Daerah dan kewenangan Pemerintah Daerah dalam peningkatan
kesejahteraan dan pelayanan masyarakat juga harus dipahami oleh Pemerintah Pusat. Kedua
kewenangan tersebut didasari oleh UU yang sama sama memiliki dasar berpikir yang kuat untuk
kehutanan dan rakyat, namun untuk menjawab permasalahan ‘enclave’, pilihan yang paling
mungkin adalah melakukan perubahan kawasan yakni melepaskan kawasan hutan batas yang jelas
sebagai kawasan enclave yang berfungsi sebagai kawasan penyangga bagi TNK. Kegiatan
penduduk di dalamnya dibatasi dan disesuaikan dengan fungsi kawasan penyangga menurut UU 5
Tahun 1990 dan keputusan ini termasuk ke dalam peraturan kebijaksanaan.
Perspektif para pihak terhadap Pengelolaan Taman Nasional Kutai
Pemerintah
Perlu diketahui bahwa hingga saat ini di dalam TNK terdapat 4 (empat) desa definitif. Oleh karena
itu pemerintah wajib memperlakukan mereka sama dengan desa yang lain dan juga mereka berhak
mendapat KTP. Untuk itu diharpkan agar melihat kenyataan yang ada secara obyektif dan tidak
mengabaikan 16 ribu jiwa yang bermukim dalam kawasan TNK. Enclave penting di tetapkan agar
ke empat desa defenitif yang ada dalam kawasan TNK menjadi jelas, kemudian penduduk yang
berada diluar enclave kita sarankan untuk bergabung ke dalam desa-desa yang sudah di-
enclave. Apabila menolak bergabung ke dalam 4 desa definitif, dapat memilih untuk di relokasikan
ke kawasan jalan Maloy (Sangkulirang-Wahau) sebagai petani plasma dalam
perkebunan-perkebunan besar yang akan dibuka, dengan mendapat lahan masing-masing 2 ha per
KK. H. Abdul Ajarsian, (Anggota Legislatif) menambahkan dalam persoalan ini ada 2 (dua)
persepsi yang timbul, pertama pemerintah berkewajiban melindungi TNK dan mengamankan
sebagaimana mestinya. Disatu sisi pemerintah juga harus memperhatikan 16 ribu jiwa yang
tergabung dalam 4 (empat) desa tersebut, jadi alangkah lebih baiknya jika memperhatikan
keduanya. Pentingnya batas definitif juga harus diperrhatikan untuk membedakan dimana batas
TNK dan dimana pemukiman yang harus diberikan supaya tidak terjadi suatu masalah, sebab
sekarang masyarakat ini betul-betul menunggu kepastian hukum kapan bisa dilaksanakan. Kurang
lebih 30 tahun yang lalu Teluk Pandan sudah ada SD Negeri itu berarti cukup lama adanya Teluk
Pandan dan daerah lain termasuk 4 desa tadi.

Penegasan enclave juga disampaikan oleh Isran Noor (Bupati Kutai Timur), menegaskan akan
terus berjuang agar usulan pemerintah Kabupaten Kutim yang menghendaki sebagian Taman
Nasional Kutai (TNK) yang masuk wilayah Kecamatan Sengata Selatan dijadikan kawasan enclave
atau kantung pemukiman dapat dikabulkan. TNK yang ditetapkan pusat sebagai paru-paru dunia,
jauh hari sebelumnya sudah ada penduduk tinggal di sana. Oleh karenanya, Pemkab Kutim
dibawah kepemimpinannya didukung Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak akan terus
memperjuangkan agar sebagian kawasan TNK dijadikan enclave, jika pemerintah pusat tetap
mempertahankan, lantas apa manfaatnya bagi masyarakat? Tetapi jika kawasan TNK dijadikan
enclave, maka sudah pasti pemanfaatan lahan tersebut oleh masyarakat dapat dilakukan dengan
jelas. Petani bisa menggarap lahan dengan tenang. Pembangunan bisa dilaksanakan secara lancar,
dan kesejahteraan masyarakat bakal bisa diwujudkan. Oleh karena itu, enclave TNK adalah harga
mati, tak bisa ditawar.

Iman Hidayat (Kepala bidang fisik dan prasarana BAPPEDA Kabupaten Kutai Timur). arah
pembangunan Kabupaten Kutai Timur yang juga didalamnya ada Taman Nasional Kutai,
kedepannya pemerintah tidak harus melanggar peraturan yang sudah ada, tetapi aturan yang
sudah ada harus juga melihat kondisi realita yang ada di lapangan sekarang ini. Dalam hal
kewenangan Pemerintah Pusat yang diwakili Balai Taman Nasional Kutai dengan Pemerintah
Kabupaten Kutim hendaknya ada pemahaman kewenangan dan kewenangan tersebut dibuat
berdasarkan aturan yang jelas serta berdasarkan kesepakatan-kesepakatan khususnya dalam hal
yang berkaitan dengan TNK hal ini untuk kejelasan penegakan aturan itu sendiri.

Masyarakat
Pada intinya masyarakat menginginkan mempercepat proses tata batas hal ini untuk memperjelas
hak-hak masyarakat. Disamping itu pula pihak masyarakat sangat mengharapkan supaya ada tapal
batas yang jelas agar bisa hidup berdampingan dengan TN itu sendiri dan juga ada kedamaian.
Dalam hal perambahan hutan masyarakat meminta agar masyarakat jangan selalu dijadikan
kambing hitam sebab sangat jelas kami melihat bahwa bukan masyarakat yang merusak hutan dan
kawasan tersebut tetapi petugas Taman nasional itu sendiri.

LSM dan akademisi


BIKAL (Lembaga Swadaya Masyarakat) Dalam hal ini BIKAL memandang bahwa interaksi
masyarakat dengan TNK perlu dipecahkan bersama melalui suatu pendekatan win-win
solutiondengan mendasarkan pada perundangan yang berlaku. Perlu pengembangan Zona
Pemanfaatan Tradisonal (ZPT). Dalam hal ini masyarakat sasaran tetap diperbolehkan untuk
mengelolah suatu kawasan tertentu dalam taman nasional dimana mereka juga dilibatkan untuk
berpartisipasi langsung dalam pengelolaan taman nasional. BIKAL juga memandang perlu upaya-
upaya konkrit dalam menyelesaikan persolan kompleks yang melanda Taman Nasional Kutai.
Upaya-upaya itu diantaranya penentuan tapal batas harus menjadi prioritas utama, upaya
penegakan hukum dan perbaikan kebijakan, dan pemberdayaan sosial dan ekonomi masyarakat di
kawasan Taman Nasional Kutai.

Akademisi
TNK harus diselamatkan dan masyarakat didalamnya juga perlu diselamatkan. Untuk
menyelamatkan TNK bersama rakyat didalamnya, harus dilaksanakan secara terpadu oleh semua
stakeholders yang berkompeten terhadap pembinaan dan pengelolaan TNK. Dalam pelaksanaan
langkah penyelamatan perlu ditegakkan kepastian dan supremasi hukum secara tegas, kontinyu
dan komprehensif.
1. Untuk kegiatan yang lebih teknis pelaksanaan enclave dilaksanakan oleh Tim Enclave secara
berjenjang dari Tim Tingkat Kabupaten hingga Tim Tingkat Desa (Tim Enclave sudah ditetapkan).
2. Dengan adanya kewenangan yang lebih besar pada Pemkab Kutai Timur maka penyelesaian
masalah-masalah TNK perlu dilakukan produk-produk hukum (PERDA) dengan melibatkan DPRD
yang segera akan dibentuk.
3. Penetapan dan perhitungan luasan harus mengakomodasi dari beberapa kepentingan stakeholders
terutama kepentingan masyarakat.
4. Perlu adanya review terhadap penetapan kawasan konservasi & Tata Ruang kawasan TNK
(termasuk pembagian zona-zonanya), review tersebut dilakukan antara lain dengan telah
mempertimbangkan:
a. Fisik wilayah sesuai dengan indikator-indikator tentang kawasan konservasi.
b. Perkembangan penduduk seiring perjalanan waktu.
Sehingga penyelesaian review tersebut memberikan hasil dari optimasi dan maksimalisasi dari 2 hal
tersebut diatas.
5. Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penanganan kawasan koservasi
perlu dibicarakan lebih lanjut, karena riil saat ini TNK sudah tidak mampu lagi

Kesimpulan
1. Status hukum kawasan TNK berpengaruh kepada penegakan hukum terhadap pelanggaran yang
terjadi. Belum jelasnya tata batas dan zonasi dalam TNK berdampak pada sulitnya penjatuhan
sanksi. Karena sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UUKH semuanya dihubungkan dengan
zonasi. Dengan kata lain, kegiatan yang dapat dipidana apabila kegiatan itu menganggu atau tidak
sesuai dengan fungsi zona (inti, rimba dan pemanfaatan). Tanpa adanya zonasi, maka akan sulit
melakukan krimininalisasi terhadap pelanggaran yang terjadi.
2. Keberadaan Pertamina dalam kawasan TNK, melalui perjanjian pinjam pakai kawasan sejak tahun
1996 telah selesai, jika akan diperpanjang maka yang berlaku adalah ketentuan yang terdapat dalam
Permenhut No. P.64/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Jika
mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6, maka perjanjian tersebut tidak dapat
diperpanjang karena pada Pasal itu ditentukan bahwa kawasan hutan yang dapat diberikan izin
pinjam pakai kawasan hutan adalah kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
3. Kebijakan untuk memutuskan ‘enclave’ suatu kawasan hutan merupakan kebijakan dari Pemerintah
Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan. Sementara pemekaran desa merupakan salah satu
kewenangan daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan Pemerintahan daerahnya. Kewenangan
Daerah, menurut Bagian Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
merupakan urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan Pemerintahan yang
penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama Pemerintah dan
Pemerintah daerah.
4. Pada dasarnya masyarakat menginginkan mempercepat proses tata batas untuk memperjelas hak-
hak masyarakat. Kepastian tata batas juga dapat membuat masyarakat hidup berdampingan dengan
TNK itu sendiri dan juga ada kedamaian.

Saran
1. Departemen Kehutanan dan Balai TNK harus mempercepat kepastian tata batas dan membuat
zonasi dalam kawasan TNK, sehingga penegakkan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi
dalam kawasan dapat ditindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Diperlukan adanya penghentian sementara semua kegiatan di luar kepentingan kehutanan yang
sedang berjalan dalam kawasan TNK (moratorium), sampai status TNK dikukuhkan;
3. Departemen Kehutanan melakukan perubahan kawasan yakni melepaskan kawasan TNK
dengan batas yang jelas sebagai kawasan enclave yang berfungsi sebagai kawasan penyangga bagi
TNK dan kegiatan penduduk di dalamnya dibatasi dan disesuaikan dengan fungsi kawasan
penyangga menurut UU 5 Tahun 1990;
4. Departemen Kehutanan tidak memberikan persetujuan untuk memperpanjang perjanjian pinjam
pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh Pertamina;

DAFTAR PUSTAKA
Subarudi, “Upaya Penyelematan Taman Nasional Kutai”Info Sosial Ekonomi , Vol. 2 No.1
(2001)
Hadjon, Philipus M. et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1994)
Atmosudirdjo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986)
Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan
Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi Sumber daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam
Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2001 tentang Pembagian Kewenangan dan Urusan
Pemerintahan Pusat dan Daerah
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan dan Urusan
Pemerintahan Pusat dan Daerah

http://fadlimohnoch.blogspot.com/2010/04/kajian-status-hukum-taman-nasional.html

Pertanyaan:
Sanksi Hukum Jika Tidak Memiliki Izin
Mendirikan Bangunan
Di daerah saya di Jl. Rawa Simpruk, Kec. Kebayoran Lama - Jakarta Selatan . Banyak sekali bangunan
atau melakukan kegiatan membangun tanpa memiliki IMB. Sementara di tempat terbisa seperti di
daerah/wilayah Jakarta Utara atau Barat sangat riskan atau berisiko kalau membangun tidak memiliki
IMB. Apakah di tempat saya tersebut kurang kesadaran dari warga atau masyarakatnya, atau
mentang-mentang mereka merasa orang Jakarta asli? Terima kasih atas penjelasannya.
AGUSPRIHATIN



Jawaban:
ILMAN HADI, S.H.
Kami asumsikan istilah IMB yang Saudara maksud adalah Izin Mendirikan Bangunan. Kami
juga asumsikan lokasi pendirian rumah-rumah tersebut merupakan wilayah yang memang
diperuntukan untuk hunian.

Berdasarkan ketentuan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“UUBG”),


rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret, rumah susun, dan rumah tinggal sementara
untuk hunian termasuk dalam kategori bangunan gedung.

Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis
sesuai dengan fungsi bangunan gedung (Pasal 7 ayat [1] UUBG). Persyaratan
administratif bangunan gedung meliputi persyaratan status hak atas tanah, status
kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan (Pasal 7 ayat [2] UUBG).

Pembangunan suatu gedung (rumah) dapat dilaksanakan setelah rencana teknis bangunan
gedung disetujui oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk izin mendirikan bangunan (Pasal
35 ayat [4] UUBG). Memiliki IMB merupakan kewajiban dari pemilik bangunan gedung
(Pasal 40 ayat [2] huruf b UUBG).

Pengaturan mengenai IMB diatur lebih lanjut dalam PP No. 36 Tahun 2005 tentang
Peraturan Pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“PP
36/2005”). Setiap orang yang ingin mendirikan bangunan gedung harus memiliki Izin
Mendirikan Bangunan yang diberikan oleh pemerintah daerah (Pemda) melalui proses
permohonan izin (Pasal 14 ayat [1] dan [2] PP 36/2005). Permohonan IMB kepada
harus dilengkapi dengan (Pasal 15 ayat [1] PP 36/2005):
a. tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau tanda bukti perjanjian pemanfaatan
tanah;
b. data pemilik bangunan gedung;
c. rencana teknis bangunan gedung; dan
d. hasil analisis mengenai dampak lingkungan bagi bangunan gedung yang menimbulkan
dampak penting terhadap lingkungan.

Untuk wilayah DKI Jakarta, mengenai IMB diatur dalam Pergub DKI Jakarta No. 85
Tahun 2006 tentang Pelayanan Penerbitan Perizinan Bangunan(“Pergub 85/2006”).
Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Pergub 85/2006, pemberian IMB diterbitkan berdasarkan
Permohonan Izin Mendirikan Bangunan-Penggunaan Bangunan yang disampaikan melalui
Seksi Dinas Kecamatan atau Suku Dinas. Selanjutnya, IMB diterbitkan oleh Seksi Dinas
Kecamatan atau Suku Dinas atau Dinas (Pasal 3 ayat [3] Pergub 85/2006). Dinas yang
dimaksud adalah Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan Provinsi DKI Jakarta.

Bagaimana jika pemilik rumah tidak memenuhi kewajiban persyaratan pembangunan rumah
termasuk memiliki IMB? Pemilik rumah dalam hal ini dapat dikenai sanksi administratif
dikenakan sanksi penghentian sementara sampai dengan diperolehnya izin mendirikan
bangunan gedung (Pasal 115 ayat [1] PP 36/2005). Pemilik bangunan gedung yang
tidak memiliki izin mendirikan bangunan gedung dikenakan sanksi perintah pembongkaran
(Pasal 115 ayat [2] PP 36/2005). Selain sanksi administratif, pemilik bangunan juga
dapat dikenakan sanksi berupa denda paling banyak 10% dari nilai bangunan yang sedang
atau telah dibangun (Pasal 45 ayat [2] UUBG).
Kemudian, bagaimana jika bangunan tersebut sudah terlanjur berdiri tetapi belum memiliki
IMB? Berdasarkan Pasal 48 ayat (3) UUBG disebutkan bahwa:
“Bangunan gedung yang telah berdiri, tetapi belum memiliki izin mendirikan
bangunan pada saat undang-undang ini diberlakukan, untuk memperoleh izin
mendirikan bangunan harus mendapatkan sertifikat laik fungsi berdasarkan
ketentuan undang-undang ini.”

Jadi, kewajiban untuk melengkapi setiap pembangunan rumah dengan IMB berlaku kepada
setiap orang, dan tidak ada pengecualian tertentu untuk penduduk asli Jakarta sekalipun.
Memang dalam pratiknya, pelaksanaan kewajiban untuk melengkapi pembangunan rumah
dengan IMB berkaitan dengan kesadaran hukum masyarakat dan juga penegakan hukum
dari pihak pemerintah daerah.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
2. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
3. Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 85 Tahun 2006
tentang Pelayanan Penerbitan Perizinan Bangunan

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50a86f56c173c/sanksi-hukum-jika-tidak-memiliki-izin-
mendirikan-bangunan

Anda mungkin juga menyukai