4. TATALAKSANA
Nonfarmakologis Nutrisi : pada pasien non-dialisis dengan LFG <20 mL/menit,
evaluasi status nutrisi dari serum albumin dan/atau 2) berat
badan actual tanpa edema.
Protein :
- pasien non dialysis 0,6-0,75 gram/kgBB ideal/hari sesuai
dengan CCT dan toleransi pasien.
- pasien hemodialisis 1-1,2 gram/kgBB ideal/hari
- pasien peritoneal dialysis 1,3 gram/kgBB/hari
Pengaturan asupan lemak : 30-40% dari kalori total dan
mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh
dan tidak jenuh.
Pengaturan asupan karbohidrat : 50-605 dari kalori total
Natrium : <2 gram/hari (dalam bentuk garam <6 gram/hari)
Kalium : 40-70 mEq/hari
Fosfor : 5-10 mg/kgBB/hari. Paien HD : 17 mg/hari
Kalsium : 1400-1600 mg/hari (tidak melebihi 2000 mg/hari)
Besi : 10-18 mg/hari
Magnesium : 200-300 mg/hari
Asam folat pasein HD : 5 mg
Air : jumlah urin 24 jam + 500 ml (insensible water loss)
11
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
DIABETES MELITUS
1. Pengertian Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic
dengan karakteristik hiperglikemia kronik yang terjadi karena
sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Dalam praktik
sehari-hari DM tipe 2 yang paling sering ditemui, sehingga
pembahasan lebih banyak difokuskan pada DM tipe 2.
14
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
Pemeriksaan Fisik Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang
Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
Pemeriksaan funduskopi
Pemeriksaan jantung
Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat
penyuntikan insulin) dan pemeriksaan neurologis
Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah
dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya
hipotensi ortostatik, serta ankle brachial index (ABI), untuk
mencari kemungkinan penyakit pembuluh daraharteri tepi
Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe
lain
15
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
16
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
ISK sederhana/tak Berkomplikasi ISK yang terjadi tidak terdapat disfungsi srtuktural ataupun ginjal.
ISK Berkomplikasi ISK yang berlokasi selain divesika urinaria, ISK pada anak-anak,
laki-laki, atau ibu hamil.
2. PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis ISK bawah frekuensi, disuria terminal, polakisuria, nyeri
suprapubik.
ISK atas : nyeri pinggang, demam, menggil, mual dan muntah,
hemturia Anannesa adanya faktor risiko seperti disebutkan diatas
Pemeriksaan Fisik Febris, Nyeri tekan suprapublik, nyeri kwtok sudut kostovertebra,
demam
Pemeriksaan Penunjang DPL, tes resistensi kuman, tes fungsi ginjal, gula darah.
Kultur urin (+) : bakteriuria > 105 /ml urin
Foto BNO-IVP bila perlu
USG ginjal bila perlu
Farmakologis Antimikroba berdasarkan pola kuman yang ada; Bila hasil test
kuman sudah ada, pemberian antimikroba disesuaikan
2. PENDEKATAN DIAGNOSIS
17
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
Anamnesis Riwayat faktor risiko : wanita usia tua, paritas tinggi, status social
ekonomi rendah, riwayat ISK sebelumnya, abnormalitas fungsi dan
anatomi, memiliki penyakit diabetes mellitus atau sickle sell.
1. PENGERTIAN Infeksi simple : kultur urin ditemukan > 105 /ml organism.
Infeksi complex : melibatkan infeksi saluran kemih bagian atas dan
kultur darah positif. Infeksi jamur pada saluran kemih kebanyakan
adalah infeksi oportunistik. Yang paling sering menyebabkan
funguria adalah spesies Candida.
2. PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesa Penderita dapat tanpa gejala, disuria dan frekuensi. Adanya faktor
resiko: imunosupresan, diabetes, penggunaan antibiotika atau
kortikosteroid jangka panjang, penggunaan kateter urin jangka
panjang.
4. KOMPLIKASI Batu saluran kemih, obstruksi saluran kemih, sepsis, infeksi kuman
yang multiresisten, gangguan fungsi ginjal.
19
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
Tatalaksana atau tindakan Tindakan atau terapi hemostatik per endoscopic dengan
khusus adrenakin dan etoksisklerol atau obat fibrinogen thrombin atau
tindakan hemostatik dengan klipiping, heat probe atau terapi
laser atau terapi koagulasi listrik atau bipolar probe.
Pemberian obat somatostatin jangka pendek.
Terapi sembolisasi arteri melalui arteriograsi.
Terapi bedah atau operasi, bila setelah semua pengobatan
tersebut dilaksanakan tetap masuk dalam keadaan gawat I s.d II
maka pasien masuk dalam indikasi operasi .
21
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
HIPERTENSI
1. PENGERTIAN Hipertensi adalah keadaan di mana tekanan darah (TD) sama atau
melebihi 140mmHg sistolik dan/atau sama lebih dari 90mmHg
diastolic pada seseorang yang tidak sedang minum obat
antihipertensi.
2. PENDEKATAN DIAGNOSISI
Anamnesis 1. Durasi hipertensi
2. Riwayat terapi hipertensi sebelumnya dan efek sampingnya bila
ada
3. Riwayat hipertensi dan kardiovaskular pada keluarga
4. Kebiasaan makan dan psikososial
5. Faktor resiko lainnya, kebiasaan merokok, perubahan berat
badan, dislipidemia, diabetes, inaktivitas fisik
6. Bukti hipertensi sekunder : Riwayat penyakit ginjal, perubahan
penampilan, kelemahan otot (palpitasi, keringat berlebihan,
tremor), tidur tidak teratur, mengorok, somnolen disiang hari,
gejala hipo- atau hipertiroidisme, riwayat konsumsi obat yang
dapat menaikkan tekanan darah
7. Bukti kerusakan organ target : riwayat TIA, stroke, buta
sementara, penglihatan kabur tiba-tiba. angina, infark miokard,
gagal jantung, disfungsi seksual.
Pemeriksaan Penunjang Urinalisis, tes fungsi ginjal, eksresi albumin, serum BUN,
kreatinin, gula darah, elektrolit, profil lipid, foto toraks, EKG;
sesuai penyakit : asam urat, aktivitas rennin plasma, aldosteron,
katekolamin urin, USG pembuluh darah besar, USG ginjal
ekokardiografi
3. DIAGNOSA BANDING Peningkatan tekanan darah akibat white coat hypertensi, rasa nyeri,
peningkatan tekanan intraserbral, ensefalitis, akibat obat, dll
22
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
23
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
TUBERKULOSIS PARU
1. PENGERTIAN Tuberkulosis paru (TB paru) adalah infeksi paru yang menyerang
jaringan parenkim paru, disebabkan bakteri Mycobacterium
tuberculosis.
2. PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis Demam biasanya subfebril, batuk (dapat ditemukan batuk darah),
sesak napas, nyeri dada, berat badan menurun, keringat malam,
riwayat kontak penderita TB.
Pemeriksaan Fisik Demam, konjungtiva anemis, berat badan berkurang, auskultasi
suara napas bronchial, dapat ditemukan ronki basah/kasar/nyaring.
Bila infiltrat diliputi penebalan pleura, suara napas jadi vesikuler
melemah, bila terdapat kavitas besar ditemukan perkusi
hipersonor ertimpani, auskultasi suara amphorik.
Laboratorium Darah : LED meningkat
Mikrobiologis
BTA sputum positif minimal 2 dari 3 spesimen SPS
Kultur Mycobacterium tuberculosis positif (diagnosis pasti)
Foto toraks PA ± lateral (hasil bervariasi) : infiltrat,
pembesaran kelenjar getah bening (KGB) hilus/KGB
paratrakeal, milier, atelektasis, efusi pleura, kalsifikasi,
bronkiektasis, kavitas, destroyed lung.
Imuno-Serologis
Uji tuberculim : sensitivitas 93,6 %, spesifitas 98,4%. Kriteria
positif uji tuberculin dapat dilihat pada table 1.
Tes PAP, ICT-TB : positif
PCR – TB dari sputum (hanya menunjang klinis)
Pemeriksan adenosine deaminase pada tuberkulosis di cairan
pleura, pericardial dan peritoneal. Kriteria positif adalah 100
U/L untuk pleural TB, 92 U/L untuk peritoneal dan 90 U/L
untuk efusi pericardial. Sensivitas 100% dan spesifitas 94,6%
3. DIAGNOSA BANDING Pneumonia, tumor/keganasan paru, jamur paru, penyakit paru,
akibar kerja.
4. TATALAKSANA Suportif : istirahat, stop merokok, hindari polusi, tata laksana
komorbiditas, nutrisi, vitamin.
Medikamentosa : obat anti tuberkulosis (OAT)
1. Kategori 1. Pasien baru yaitu pasien yang belum pernah
mendapatkan terapi OAT atau pernah mendapatkan OAT
sebelumnya selama <1 bulan, maga rigimen terapinya adalah
2HRZE/4H. Dosis obat dapat dilihat pada table 2. Pada pasien
baru yang diketahui resisten isoniazid atau diketahui lingkungan
sekita risiko ringgi resisten isoniazid, msks beriksn
2HRZE/4HRE.
2. Kategori 2. Pasien yang sebelumnya pernah mendapat terapi
OAT
Kultur dan resistensi OAT atau drug susceptibility test (DST)
Jika hasil DST belum ada
o Pasien yang gagal terapi (sputum BTA atau kultur tetap
positif pada akhir bulan ke-5 pengobatan) Pasien yang
putus berobat (pasien yang putus bertobat selama >2 bulan
berturut-turut) atau kambuh, berikan
2HRZES/1HRZE/5HRE
24
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
Pemeriksaan Terapi Pada pasien yang sebelumnya telah mendapat OAT, periksa
hasilDST pada bulan kedua pengobatan, bila terdapat resistensi
ganti obat sesuai protocol MDR-TB
Cek sputum BTA pada akhir fase intensif (akhir bulan ke-2
terapi pada pasien baru dan akhir bulan ke-3 pada pasien yang
sebelumnya telah mendapat OAT)
Jika masih positif, cek ulang sputum BTA pada akhir bulan ke-3
terapi pada pasien baru dan akhir bulan ke-4 pada pasien yang
sebelumnya telah mendapat OAT.
Jika masih positf, pasien dinyatakan gagal terapi. Pada pasien
baru yang belum pernah mendapat OAT stop kategori 1 atau
mulai terapi kategori 2. Cek kultur dan DST pada pasien baru
cek bulan dan DST pasien yang selumnya telah mendapat OAT)
Jika hasil kultur dan DST positif ditemukan resistensi, maka
pasien mulai dulu protocol MDR-TB.
8.
25
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
26
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
EPISTAKSIS
1. Pengertian Pendarahan yang keluar dari lubang hidung, rongga hidung dan
nasofaring
2. Anamnesis 1. Ditanyakan hidung sebelah kiri atau kanan atau keduanya
2. Apakah darah mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) atau
keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak,
spontan atau karena kecelakaan
3. Lamanya pendarahan dan frekuensinya
4. Riwayat pendarahan sebelumnya, riwayat gangguan pendarahan
dalam keluarga dan adanya penyakit – penyakit seperti
hipertensi, diabetes mellitus,. Penyakit hati, trauma hidung,
penggunaan obat - obatan
3. Pemeriksaan fisik Setelah memastikan kondisi jalan nafas, pernafasan dan
hemodinamik dalam keadaan baik, harus dilakukan pemeriksaan
fisik yang lengkap pada hidung dan nasofaring dimana dijumpai
pendarahan. Hal ini dapat dilakukan dengan bantuan topikal
anasteso dan vasokonstiktor. Dengan melakukan pemeriksaan
langsung atau dengan menggunakan nasofaringoskopi dapat dilihat
lokasi pendarahan di anterior atau posterior, luka, tumor dan lain -
lain
4. Kriteria Diagnosis 1. Inspeksi
2. Pemeriksaan THT Rutin
3. Pemeriksaan Nasoendoskopi
4. Pemeriksaan Radiologi
5. Diagnosis Epistaksis
6. Diagnosa Banding EpistaksisecTrauma/infeksi/bendaasing/Tumor/Lingkungan/Idiopatik
Epistaksis Ec Penyakit Sistemik
7. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan laboratorium seperti hematologi, gula darah, fungdi
hati, fungsi ginjal, EKG
Pemeriksaan nasoendoskopi
Pemeriksaan radiologi seperti foto sinus paranasal, nasofaring, CT
Scan dan angiografi diperlukan untuk mencari faktor penyebab
8. Terapi/ tindakan 1. Medikamentosa dengan anti pendarahan dan antibiotik
2. Tampon anterior
3. Tampon Belloqc
4. Ligasi arteri karotis eksterna
9. Edukasi Epistaksis merupakan gejala bukan suatu penyakit karena itu perlu
dicari faktor penyebabnya untuk mendapatkan pengobatan yang
sesuai
Bila keluar darah dalam jumlah banyak segera ke rumah sakit
10. Prognosis 90% kasus epistaksis dapat berhenti sendiri. Pada pasien dengan
hipertensi biasanya pendarahan hebat, sering kambuh dan
prognosisnya buruk
27
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
28
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
SEPTUM DEVIASI
1. Pengertian Septum deviasi adalah suatu pembengkokan septum yang banyak
terjadi dan pada derajat tertentu dapat menimbulkan gangguan
berupa obstruksi hidung
2. Anamnesis Gejala klinis
1. Obstruksi hidung
2. Perubahan mukosa
3. Hiposmia/anosmia yang disebabkan oleh obstruksi
4. Nyeri
3. Pemeriksaan fisik Septum deviasi di bagian anterior atau posterior
Deformitas hidung
4. Kriteria Diagnosis 1. Inspeksi
2. Nasoendoskopi
3. Xray Paranasal
5. Diagnosis Septum Deviasi
6. Diagnosa Banding 1. Fraktur os nasal
2. Perforasi septum
7. Pemeriksaan penunjang Foto Polos paranasal
CT Scan Paranasal
8. Terapi/ tindakan 1. Pada septum deviasi yang ringan tidak menyebabkan gejala
dilakukan observasi
2. Pada septum deviasi yang memberikan gejala obstruksi
dilakukan pembedahan septoplasti
9. Edukasi Anjurkan pasien untuk tidak mengosok – gosok hidung
Hindari trauma pada hidung
10. Prognosis 1. Pada pasien deviasi septum nasal akan baik bila cepat ditangani
dengan tindakan yang tepat dan belum adanya komplikasi
2. Bila sudah terdapat komplikasi maka harus diterapi dan terapi
dilakukan sesudah rekonstruksi septum
11. Tingkat evidanse I/II/III/IV
12. Tingkat rekomendasi A
13. Penelaah kritis Rinsosinusitis, sumbatan hidung, konka hipertropi sakit kepala
14. Indikator medis
15. Kepustakaan 1. Bailey B.J Jhonson J.T Head and Neck Surgery-
Otolaryngology,Fourth edition, volume one, Lippicont Williams
& Wilkins 2006p : 307-334
2. Maran A.G lund V.J Clinical Rhinology, Thieme Medical
Publisher,Inc.,New York,1990. P: 5-15, 82
3. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery,
International edition Mc. Graw-Hill, 2003
4. Behrbohm H.,Tardy M.E JR, Essentials of Septorhinoplasty,
Philosophy-Approaches-Techinques,Thieme Medical Publisher
,Inc, New York, 2004
29
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
KONKA HIPERTROPI
1. Pengertian Pembesaran pada struktur konka yang terdiri dari tulang yang
dibatasi mukosa epitel kolumnar pseudostratified bersilia dengan sel
goblet dan banyak mengandung pembuluh darah dan kelenjar lender
2. Anamnesis Hidung tersumbat, sekret pada hidung, sakit kepala, nyeri pada
hidung
3. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terdapat pembesaran konka
inferior meupun konka media
4. Kriteria Diagnosis Anamnesa
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan radiologi
5. Diagnosis Konka Hipertropi
6. Diagnosa Banding Polip nasi
Tumor kavum nasi
7. Pemeriksaan penunjang Foto Polos paranasal
CT Scan Paranasal
8. Terapi/ tindakan Dengan medikamentosa, bila tidak berhasil dilakukan pembedahan
(turbinektomi, turbinoplasty, reseksi submukosa, radiofrekuensi
9. Edukasi Menghindari faktor penyebab, yaitu alergi non alergi
10. Prognosis
30
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
ABSES SEPTUM
1. Pengertian Pus yang terkumpulnya diantara tulang rawan dan
mukoperikondrium atau tulang septum dengan mukoperiostium
yang melapisinya
2. Anamnesis 1. Hidung tersumbat yang progresif
2. Rasa nyeri terutama di dorsum nasi
3. Demam dan sakit kepala
3. Pemeriksaan fisik Anamnesisi : Perlu dipertanyakan adakah riwayat operasi hidung
sebelumnya gejala peradangan hidung dan sinus paranasal,
furungkel intra nasa, penyakit gi dan penyakit sistemik
Rinoskopi anterior : tampak pembengkakan unilateral ataupun
bilateral, mulai tepa di belakang kolumella meluas ke posterior
dengan jarak yang bervariasi
4. Kriteria Diagnosis Anamnesa
Pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Abses Septum
6. Diagnosa Banding Tumor sinus paranasal
Tumor Cavum nasi
7. Pemeriksaan penunjang FNAB dan laboratorium rutin
Foto polos paranasal
CT Scan Paranasal
8. Terapi/ tindakan 1. Drainase
2. Antibiotic parenteral
3. Rekonstruksi defek septum
9. Edukasi Anjurkan pasien untuk tidak menggosok – gosok hidung
Hindari trauma pada hidung
10. Prognosis Abses septum dapat berakibat nekrosis kartilago septum
11. Tingkat evidanse I/II/I/ II/ III/ IV
12. Tingkat rekomendasi A
13. Penelaah kritis Perforasi septum
14. Indikator medis
31
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
RINTIS ALERGI
1. Pengertian Suatu peradangan pada mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE
2. Anamnesis Rinore (hidung beringus yang encer dan banyak), besin-bersin,
hidung tersumbat dan hidung gatal. Gejala ini paling tidak terjadi
selama dua hari berturut – turut atau lebih selama > 1 jam sehari.
Gejala tersebutbersifatmenahun dan hilang timbul terkait dengan
paparn alergen. Gejala lain adalah penciuman berkurang.
Menghilang, lendir dibelakang hidung, batuk - batuk
3. Pemeriksaan fisik 1. Rinoskopi anterior :
Mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya
sekret encer yan banyak. Bila gejala persisten, konka inferior
tampak hipertrofi
2. Nasoendoskopi anterior :
Mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya
sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior
tampak hipertrofi
3. Pada anak dapat dijumpai tanda alergi seperti : Allergic shiner,
allergic salute, allergic crease atau fascies adenoid.
4. Kriteria Diagnosis 1. Berdasarkan lama penyakit :
Intermiten : yaitu jika penderita mempunyai gejala selama
kurang dari 4 hari dalam 1 minggu, atau penyakitnya baru
berlangsung selama 4 minggu
Persisten : bila penderita mempunyai gejala selama lebih
dari 4 minggu
2. Berdasarkan beratnya penyakit :
Ringan, jika tidak terdapat salah satu dari gangguan
sebagai berikut :
Gangguan tidur, gangguan aktivitas harian dan gangguan
pekerjaan atau sekolah
Sedang,berat, jika gejala hidungnya mengakibatkan
gangguan pada satu atau lebih aktifitas sebagai berikut :
Gangguan tidur, gangguan aktivitas jharian dan gangguan
pekerjaan atau sekolah
5. Diagnosis Rinitis alergi
6. Diagnosa Banding 1. Rinitis Infeksi (virus/bakteri atau jamur)
2. Rinitis akibat kerja
3. Rinitis medikamentosa
4. Rinitis hormonal
5. Non- allergic Rhinitis Eosinophilic Syndrome (NARES)
7. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan darah/ laboratorium : Hitung jenis, jumlah eosinofil
meningkat, IgE serum total dan IgE serum spesifik meningkat
2. Kerokan mukosa hidung : Eosinofil dominan
3. Uji tusuk kulit/prick test dengan jarum tunggal atau multiple prick
test. Dapat dilanjutkan dengan uji kulit intra dermal pengencern
berganda
4. Foto polos sinus paranasal (bila dicurigai ada komplikasi sinusitis,
bila tidak ada respon terhadap terapi atau direncanakan untuk
tindakan operasi)
5. Pemeriksaan sitologis atau histologis, bila diperlukan untuk
menindaklanjuti respons terhadap terapi atau melihat perubahan
morfologik dari mukosa hidung
32
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
15. Kepustakaan 1. ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma). ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) report 2010.
Canada : World Health Organization; 2010
2. Dhingra PL. Allergic Rhinitis. In: Disease of Ear, Nose and
Throat, 4th Edition. Noida : Elsivier, 2009.p. 157-9
3. Pinto JM. Naclerio RM. Allergic Rhinitis. In : Snow JB,
Ballenger JJ editors. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and
Neck Surgery, 16th Ed. New York : BC Dokter; 2003.p. 708-39
33
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
RINOSINUSITIS
1. Pengertian Penyakit inflamasimukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasal
2. Anamnesis 1. Riwayat rinore purulen yang berlangsung lebih dari 7 hari
2. Sumbatan hidung
3. Nyeri/ rasa tekanan pada wajah
4. Nyeri kepala
5. Demam
6. Nyeri periorbital
7. Nyeri gigi
8. Nyeri telinga
3. Pemeriksaan fisik 1. Rinoskopi anterior :
2. Nasoendoskopi anterior tampak adanya sekret purulen di
nasofaring (post nasal trip)
4. Kriteria Diagnosis No Kriteria Rinosinusitis akut Rinosinusitis kronis
Dewasa Anak Dewasa Anak
1 Lama gejala < 12 <12 ≥ 12 ≥12
dan tanda minggu minggu minggu minggu
2 Jlh episode <4x/tahun <6x/tahun ≥4x/tahun ≥6x/tahun
serangan
akut, masing-
masing
berlangsung
minimal 10
hari
3 Reversibilitas Dapat sembuh Tidak dapat sembuh
smukosa sempurna dengan sempurna dengan
pengobatan pengobatan
medikamentosa medikamentosa
5. Diagnosis Rinosinusitis
6. Diagnosa Banding 1. Rinitisakut (common cold)
2. Neuralgia trigeminal
3. Rinovirus
4. Polip nasal
5. Infeksisalurannafasatas
6. Rinitisalergi
7. Polip nasal
7. Pemeriksaan penunjang 1. Nasoendoskopi
2. Rinofaringolaringoskopi
3. Pemeriksaan Kemosensori Penghidu (Sniffin Stick Test)
4. Pemeriksaan menegakkan adanya gangguan penghidu
5. Foto rontgen Polosposisi Waters, Schedel PA dan Schedel Lateral
pada sinusitis akut yang tidak respon dengan terapi medikamentosa
selama 7 hari
6. Tomografi komputer sinus Paranasal
7. Pemeriksaan tomografi komputer sinus merupakan standar baku
emas diagnosis rinosinusitis akut dengan komplikasi dan kronik
karena mampu menilai factor risiko yang berupa variasi anatomi atau
perluasan penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruha.
Umumnya dikerjakan sebagai penunjangdiagnosis kronik yang tidak
membaik dengan pengobatan atau pra operasi sebagai panduan
operator saat melakukan operasi sinus
8. Pemeriksaan mikrobilogik dan tes resistensi (bila tidak ada perbaikan
34
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
15. Kepustakaan 1. Pinheiro AD, facer GW, kern EB, Rinosinusitis: current concept and
management Bailey Calhoun KH Healy GB Billsbury HC JT, Tardy
ME, Jackler RK eds. Head and neck surgeryotolaryngology
Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins 2001: 345-57
2. Mangunkusumo E, Nusjirwan R. Sinusitis. Dalam : Soepardi ES,
Iskandar eds. Buku ajar ilmukesehatan telinga-hidung-tenggorok
kepala leher. Edisi ke 5 jakarta : Balai penerbit FK UI ; 2001 120-4
35
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
36
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
10. Prognosis
37
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
ANGIOFIBROMA NASOFARING
1. Pengertian Tumor jinak nasofaring yang secara histiologik jinak dan secara
klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi
tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal,
pipi, mata dan tengkorak serta sangat mudahberdarah yang sulit
dihentikan
2. Anamnesis Gejala klinis yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang
progressif dan penderita akhirnya bernafas melalui mulut dan
epistaksis berulang massif. Timbul rinora konik dan dari hidung
keluar ingus yang purulenta dan diikuti gangguan penciuman,
rinolalia dan anosmia. Tuli atau otalgia, tinitus akibat okulasi pada
tuba eusthacius dapat terjadi otitis media. Sefalgia hebat terjadi bila
tumor sedah meluas ke intrakranial, sakit kepala yang timbul akibat
dari tumor mengadakan ekspansi ke dasar tengkorak yang
mengakibatkan penekanan pada cabang nervus trigeminus
kemudian muncul berbagai macam paralysisi dari syaraf yang
terkena
3. Pemeriksaan fisik Dilakukan dengan bantuan alat, yaitu ro\inoskopi posterior
ditemukan massa tumor yang konsistensinya kenyal, warna abu –
abu sampai merah muda, bagian tumor yang terlihat biasanya
diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian
yang keluar nasofaring berwarna putih atau abu – abu, mukosanya
mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukannya
adanya ulserasi
4. Kriteria Diagnosis Diagnosis angiofibroma nasofaring biasanya ditegakkan
berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan penunjang juga menunjang
diagnosis
5. Diagnosis Angiofibroma nasofaring
6. Diagnosa Banding Karsinoma nasofaring
7. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan radiologik konvensional (foto kepala potongan
anterior, posterior, lateral, posisi waters) akan terlihat gambaran
colman miller yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke
belakang, sehingga fisura pterigopalatna akan melebar, akan terlihat
juga massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat
mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang disekitar
nasofaring
Pada CT Scan dengan zat kontras akan tampak perluasan massa
tumor serta destruksi tulang ke jaringan sekitarnya
Pada pemeriksaan arteriografi, arteri karotis interna akan
memperlihatkan vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari
cabang a. maksila interna homolateral
Pemeriksaan histopatologik jaringan tumor pasca bedah : tumor
terdiri dari unsur pembuluh darah dan jaringan ikat, pada
pemeriksaan PA tidak dapat dilakukan sebelum pasca pembedahan
karena biopsi merupakan kontaindikasi sebab akan mengakibatkan
pendarahan massif
Selain itu harus pula diperhatikan faktor umur, jenis kelamin,
keadaan tumor serta eksistensinya
Untuk menentukan peluasan tumor dibuat penderajatan sebagai
berikut
38
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
10. Prognosis Prognosis tumor ini jelek kalau tidak secara dini dan dilakukan
pengobatan dan penanganan yang tepat dan umumnya prognosisnya
ditentukan oleh beberapa faktor :
- Keadaan umum penderita
39
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
13. Penelaah kritis Anemia berat akibat epistaksis yang hebat dan berulang – ulang
Bila tumor telah mengadakan eksitensi ke daerah sekitarnya, maka
kemungkinan akan terdapat kelainan –kelainan :
40
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
FARINGITIS AKUT
1. Pengertian Radang akut yang mengenai mukosa faring dan jaringan limfoid
dinding faring
2. Etiologi Penyebab tersering adalah virus. Dapat juga oleh kuman S. pyogene
3. Patofisiologi Penularan secara “droplet infection”, atau melalui
makanan/minuman. Dapat sebagai gejala permulaan dari penyakit
lain misalnya : morbili, influensa,pnemoni,parotitis, dsb. Seringkali
bersama – sama dengan penyakit saluran nafas atas lainnya yakni :
rinitis akut, nasofaringitis, laringitisdsb
4. Diagnosis 1. Anamnesis :
- Tenggorok rasa kering dan panas kemudian timbul nyeri
menelan di bagian tengah tenggorok
- Demam, sakit kepala, malaese
2. Pemeriksaan
- Mukosa faring tampak merah dan udim, terutama di
daerah “ lateral band”
- Granula tampak lebih besar dan merah
- Kadang – kadang didapati pembesaran kelenjar regional
yang nyeri tekan
5. Diagnosa Banding Tonsilitis akut
6. Penyulit Bila daya tahan tubuh baik, jarang terjadi penyulit
Dapat terjadi penyebaran ke bawah, seperti : laringitis, trakeitis,
bronkitis,pnemoni atau ka atas melewati tuba Eusthaksius
menimbulkan otitis media akut
Bila penyebabnya S. pyogenesisi dapat terjadi komplikasi seperti
pada tonsilitis akut
7. Terapi Istirahat
Banyam minum hangat
Analgestik/antipiretik
Gargarisma kan
Tidak diperlukan antibiotik
8. Kepustakaan 1. Ballenger JJ. Disease of the nose, throat, ear head and neck.
13th external ear. In : Philadelphia : Lea & Febiger, 1985:270
2. Jalisi M, Zaidi SH.A short book of ear, nose and throat disease,
Karaci : Amazosons, 1985:198-202
3. Hebbert J. Acute infections of the phariynx and tonsils in :
Evans JNG,ec. Scott Brown’s otolaryngology. 5th ed. London :
Butterworths, 1987:368-83
41
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
FARINGITIS KRONIS
1. Pengertian Proses inflamasi kronik pada membran mukosa faring yang
berlokasi di saluran nafas atas, disebabkan mukosa faring yang
berlokasi di saluran nafas atas disebabkan oleh proses infeksi
ataupun noninfeksi yang terus – menerus
2. Anamnesis Faringitis kronik nonspesifik
tidak nyeri
Stadium sekunder : terdapat eritema pada dinding faring
yang menjalar ke arah laring
Stadium tersier : terdapat guma terutama pada tonsil
dan paltum. Jarang pada dinding posterior faring, jika
terdapat guma pada dinding posterior dapat menyebar
ke vertebra servikal dan bila pecah dapat menyebabkan
kematian
4. Kriteria Diagnosis Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Faringitis Kronis
6. Diagnosis banding 1. Faringitis Difteri
2. Angina Plaut Vincent (Stomatis Ulseromembranosa)
3. Karsinoma Faring
4. Aktinomikosis faring
5. Mononukleosis Infeksiosa
7. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan darah, kultur, sputum,
hapusan mujkosa faring, serologik marker
2. Foto thorax untuk melihat proses spesifik (TB, dll)
8. Terapi/ tindakan 1. Pemberian antibiotik adekuat sesuai hasil kultur
mikroorganisme dan uji sensivitas (faringitis Tuberkulosis ->
penicillin)
2. Pemberian tablet hisap atau obat kumur desinfektan
3. Pemberian steroid jangka pendek
4. Pemberian analgestik
5. Pengangkatan sekuester
9. Edukasi 1. Istirahat yang cukup
2. Menghindari paparan iritan seperti debu, asap rokok
3. Konsumsi cairan yang banyak
4. Diet ringan yang bergizi
5. Berhenti merokok dan konsumsi alkohol
6. Menjaga kebersihan gigi dan mulut
7. Menghindari asupan makanan yang pedas dan berminyak
10. Prognosis Prognosis baik, bergantung pada keadaan sosial ekonomi, pasienm
sanitasi, asupan makanan, kebiasaan hidup sehat dan ketekunan
berobat
11. Tingkat evidens IV (sering kambuh)
12. Tingkat rekomendasi A/B/C
13. Penelaah kritis
15. Kepustakaan 1. Centor R.M. Allison, JJ and cohen S.J 2007 Pharyngitis
management definingthe contraversy. J Gen Intern Med;
22:127
2. Centor,R.M 2009. Expand the pharyngitis paradigm for
adolescent and young adult. Ann Intern Med : 151:812
3. Wessels, M.R 2011 Clinical practice streptocococcal
pharyingitis. N Engl j Med; 364:648
4. Pichireco, M.E, 2000. Controversiers in the treatment of
streptocccal Pharyngitis. Am Fam Physician ; 42:156.7
43
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
TONSILITIS AKUT
1. Pengertian Infeksi akut pada tonsil
2. Etiologi Kuman S. Pygenes (50%) dan virus
3. Patofisiologi Banyak terjadi pada anak , terbanyak pada usia 5 dan 10 tahun
Terjadi radang pada folikel tonsil timbul udim dan eksudasi .
Eksudat keluar permukaan, sehingga terjadi penumpukan pada
kripte yang disebut detritus. Hal ini terjadi pada infeksi kuman
streptokokus
4. Diagnosis 1. Anamnesis
- Mula –mula tenggorok kering
- Disusul timbulnya nyeri telan yang makin hebat
- Anak tidak mau makan
- Nyeri menjalar ke telinga (“reffered pain)
- Demam (dapat sangat tinggi)nyeri kepala
2. Pemeriksaan
- Suara penderita seperti mulut penuh makanan (“plummy
voice”)
- Mulut berbau busuk
- Ptialismus
- Tonsil hiperemi dan membengkak, banyak detritus
- Ismus fausium menyempit
- Palatum mole, arkus anterior danm posterior tonsil udim
dan hiperemi
- Kelenjar getah bening jugulodigastikus membesar dan
nyeri tekan
5. Penyulit 1. Lokal ;
- Peritonsilitis 4-5 hari kemudian menjadi abses peritonsil
- Abses parafaring
- Otitis media supuratif akut (pada anak –anak)
2. Sistemik : bila penyebabnya S. Pyogenes
- Glomerulonefritis akut
- Demam rematik, rematoid artritis
- Endokardritisbakterial sub akut
6. Terapi 1. Istrirahat, makan lunak, minum hangat. Obat kumur (gargarisma
kan ). Analgesti/ antipiretik : Asetosal, Parasetamol, 3-4 x sehari
500mg, 3-5 hari
2. Pemberian antibiotik pada tonsilitis karena streptokokus
- Untuk kasus berat (sulit menelan), diberikan :
Pensilin Prokain 2x0.6-1,2 juta IU/hari, i.m, diteruskan
denganfemoksimetil penisilin 4x500mg/hari secara oral.
Pengobatan diberikan selama 5-10 hari
- Untuk kasus ringan pengobatan langsung dengan
Fenoksimetil penisilin 4x500mg/hari (anak – anak : 12,5
mg/kg BB/dosis, 4xsehari). Diberikan selama 5-10 hari
- Bila terjadi komplikasi abses peritonsil/parafaring,
dilakukan insisi
44
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
TONSILITIS KRONIS
1. Pengertian Infeksi atau peradangan pada tonsil palatina yang merupakan bagian
dari clincin waldeyer
2. Anamnesis 1. Rasa ada yang mengganjal ketika menelan
2. Riwayat tidur mengorok
3. Pemeriksaan fisik 1. Tonsil dapat membesar bervariasi
2. Kripta membesar
3. Pilar anterior tampak lebih kemerahan dibanding dengan mukosa
faring
4. Pembesaran kelenjar limfa submandibula
4. Kriteria diagnosis 1. Inspeksi
2. Pemeriksaan mikrobiologi
3. Pemeriksaan histopatologi
5. Diagnosis Tonsilitis kronis
6. Diagnosis banding 1. Abses peritonsil
2. Tumor tonsil
7. Pemeriksaan penunjang 1. Laboratorium darah : Hb,Hct,AL,AT,BT,CT, HbsAg
2. Foto rontgen dada, EKG, SGOT/SGPT untuk usia lebih dari 40
tahun
8. Terapi/ tindakan 1. Medikamentosa dengan memberikan antibiotic sesuai kultur
2. Pembedahan (tonsilektomi)
9. Edukasi 1. Menjaga kebersihan mulut
2. Menganjurkan kepala pasien untuk tidak merokok
3. Bila ada gangguan sakit menelan segera diterapi agar
mengurangi infeksi
10. Prognosis Pada umumnya prognosis tonsillitis kronis baik apabila dapat
didiagnosis dan diterapi secara tepat dan cepat
11. Tingkat evidens IV
12. Tingkat rekomendasi A/B/C
13. Penelaah kritis Rinitis kronis
Sinusitis
Otitis media
Endokarditis
Nefritis
14. Indikator medis
15. Kepustakaan 1. Adams G.L. penyakit-penyakit nasofaring dan Orofaring. Dalam
: Highler B.A boeis Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta.
ECG.197:327-40
2. Bailey B.J. Tonsilitis, Tonsillectomy and adenoidectomy. In :
Head and Neck surgery Otolaryngology. Fourth Edition. Texas.
Lippincott Williams & Wilkins. 2006:1183-97
3. Rusmarjono, Soepardi E. Penyakit Serta Kelainan Faring dan
Tonsil. Dalam : Soepardi E, Iskandar N. Buku ajar ilmu
Kesehatan THT-KL. Ed 5 Jakarta. Balai Penerbit FKUI,
2001:183-4
4. Ballenger J.J Tonsil. Dalam : Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13. Jakart. Binarupa
Aksara. 1994:352-7
45
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
LARINGITIS KRONIS
1. Pengertian Inflamasi pada membrane mukosa laring yang terjadi lebih dari 3
minggu
2. Anamnesis 1. Suaraparau yang menetap
2. Rasa tersangkut/ seperti ada benda asing di tenggorokan
3. Sering berdehem akan tetapi dahak tidak keluar
3. Pemeriksaan fisik 1. Mukosa laring menebal
2. Permukaan laring tidak rata
3. Hiperemis pada laring
4. Kriteria diagnose 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Latingitis kronis
6. Diagnosa banding 1. Kista pita suara
2. Stenosis subglotik
3. Sulkus vokalis
4. Lringitis ulseratif idiopatik
7. Terapi/ tindakan 1. Mengobati factor predisposisi
2. Tidak banyak berbicara (Vocal rest)
8. Edukasi 1. Pasien mengistirahatkan suara
2. Dihindarkan menggunakan suara yang berlebihan untuk
sementara waktu
9. Prognosis Tergantung dari penyebab laryngitis kronis
10. Tingkat evidens III
11. Tingkat rekomendasi A/B/C
12. Penelaah kritis Stenosis Laring
13. Indikator medis
14. Kepustakaan 1. Bambang Hermani. Dalam: Buku ilmu kesehatan telinga
tenggorok kepala & leher. Edisi ke 6, Jakarta : Balai penerbit
FK-UI, 2007: p 237
2. Kenneth W Altman Jamie A. koufiman. Laryngopharyngeal and
Laryngeal Infections and Manifestation of Systematic Diseases,
In : Ballenger Snow JB, editors. Otorhinolaryngologi head and
neck surgery. Ontario : BC Decker Inc; 2009. P.885
46
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
ABSES PERITONSILER
1. Pengertian Merupakan kumpulan nanah pada daerah peritonsil yang terjadi
sebagai komplikasi dari tonsillitis kronis
2. Anamnesis 1. Nyeri menelan
2. Nyeri yang menjalar ke telinga
3. Mulut berbau
3. Pemeriksaan fisik 1. Palatum mole membengkak dan menonjol ke depan
2. Terdapat fluktuasi
3. Uvula membengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral
4. Tonsil membengkak
5. Kriteria diagnose 1. Anamnese
2. Pemeriksaan fisik
6. Diagnosis Abses peritonsilar
7. Diagnosa banding 1. Tonsilitis kronis
2. Tumor tonsil
8. Pemeriksaan penunjang
9. Terapi/ tindakan 1. Pemberian obat – obatan seperti antibiotic, analgetik dan anti
radang
2. Insisi abses
3. Tonsilektomi
10. Edukasi 1. Menjaga kebersihan mulut
2. Istirahat cukup
3. Memberikan nutrisi & cairan yang cukup
11. Prognosis Baik
12. Tingkat evidens II
13. Tingkat rekomendasi A/B/C
14. Penelaah kritis 1. Perdarahan
2. Aspirasi paru
3. Abses parafaring
4. Mediatinitis
5. Penjalaran intrakarnial
15. Indikator medis
47
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
48
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
Biopsi :
Biopsi laring melalui operasi mikrolaring
5. Diagnosis Tumor ganas laring
6. Diagnosa banding Tuberkulosis Lring, Tumor jinak laring (papiloma, kista, polip)
7. Pemeriksaan penunjang 1. Laringoskopi optik
2. Aspirasi biopsi benjolan leher
3. Lab : Darah lengkap, HST, KGD ad random, LFT, RFT,
Elektrolit
49
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
4. Foto Tghhorax PA
5. EKG
6. CT Scan laring potongan axial dengan kontras IV
7. Biopsi laring (operasi mikrolaring)
8. Terapi/ tindakan 1. Sesak nafas : Trakeostomi (Emergensi) atau trakeostomi dan
mikrolaring (elektif)
2. Stadium I : Radiasi, bila gagal dilanjutkan dengan laringektomi
total
3. Stadium II : Laringektomi total
4. Stadium III : Dengan atau tanpa N1 (Node) : Laringektomi
diikuti radiasi
5. Stadium IV : raditerapi dan kemoterapi
9. Edukasi 1. Berhenti merokok
2. Inform concent kegunaan, efek dan komplikasi operasi
trakeostomi tidak tersumbat dan memperhatikan kebersihan
kanul trakeostomi tidak tersumbat dan memperhatikan
kebersihan kanul trakeostomi
3. Rutin kontrol dan menjalani kemoradioterapi sesuai jadwal
4. Menjaga asupan gizi yang baik
10. Prognosis a. Supraglottic 5 year relative survival rates
Stage I 59%
Stage II 59%
Stage III 53%
Stage IV 34%
b. Glottic 5 year relative survival rates
Stage I 90%
Stage II 74%
Stage III 56%
Stage IV 44%
c. Subglottic 5 Year relative survival rates
Stage I 65%
Stage II 56%
Stage III 47%
Stage IV 32%
11. Tingkat evidens
15. Kepustakaan 1. Eibling DE, Surgery for Glottic Carcinoma, In :EN Myers,ed
Operative Otolaryngology Head and Neck Surgery Vol 1, WB
Saunders, Philadelphia 1997, PP 416-42
2. Jhonson JT. Surgery for Supragiottic Cancer. In: EN
Myers,ed.Operative Otolaryngology Head and Neck Surgery Vol
1 WB Saunders. Philadelphia 1997, pp. 403-15
3. Gopal HV, Frankenthaler R, Fried MP. Advanced cancer of the
Larynx. In : BJ Bailey, et al.,eds. Head and Neck Surgery
Otolaryngology. Vol2.3rd Ed. Philadelphia. Lippincott Williams
& Wilkins. 2001,pp.1505-22
4. Mulyarjo. Berbagai masalah dalam pengolahan kanker laring di
50
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
51
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
52
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN
Medan,.......... 2015
Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan
Mengetahui Koordinator Penyusun
Disahkan Oleh
53