Dilema Toleransi Bagi Sang Petahana
Dilema Toleransi Bagi Sang Petahana
Masyarakat begitu intens mempersoalkan ucapan “politik” Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok yang membawa-bawa salah satu ayat di Al Quran. Entah mengapa efek ucapan Ahok
mengenai Al Maidah ayat 51 begitu kentara memancing perdebatan bukan hanya antar-umat
beragama saja tetapi juga kalangan ulama dari umat Islam itu sendiri. Setelah “Fatwa” MUI yang
menegaskan jika Ahok benar melakukan “suatu tindakan penistaan agama”, antitesis justru muncul
dari ulama-ulama lain yang mengimbau masyarakat untuk menahan diri, dengan acuan tidak perlu
melakukan aksi demo 4 November dan menjaga toleransi dengan menyerahkan sepenuhnya pada
proses hukum yang dilakukan aparat kepolisian yang tengah berjalan. Tapi toh masyarakat sudah
telanjur gerah dengan proses hukum yang terkesan lambat dalam penanganannya sehingga aksi
demo 4 November tetap terlaksana dengan damai meski ada beberapa insiden vandalisme yang
dimotori beberapa pihak tak bertanggung jawab. Lantas benarkah sikap paling benar mengenai
penistaan agama adalah dengan menjaga toleransi dan tidak mempermasalahkannya selain lewat
proses hukum?
Jika dapat berterus terang, dapat saya katakan jika yang Ahok lakukan itu “melampaui
batas” norma kesusilaan yang telah dijaga oleh masyarakat sejak dulu. Ahok telah melempar bola
api yang sulit untuk dipadamkan. Masyarakat tidak pernah menginginkan adanya upaya politisasi
yang membawa unsur agama, terlebih ini dilakukan dalam suatu kunjungan kerja sebagai seorang
gubernur yang juga dilakukan sebelum masa kampanye dimulai. Agama adalah hal sakral dan suci
yang menuntut adanya penjagaan atas nilai-nilai yang dibawa masing-masing agama sehingga
orang akan paham jika agama bukanlah hal yang pantas jika dibawa untuk ajang debat, baik itu
dalam suasana damai maupun tidak. Lagipula hal itu bukanlah wilayah Ahok untuk mengangkat
isu agama dalam kunjungan dinas yang ia lakukan.
Kemudian Ahok berkilah jika dirinya hanya mengimbau masyarakat agar tidak termakan
omongan pihak-pihak tertentu yang pernah menyudutkan dirinya tatkala ia mencalonkan diri
menjadi Bupati Belitung Timur beberapa tahun silam. Ia pernah menemukan poster yang
menyebutkan jika umat Islam memilih yang bukan berasal dari kalangan umat Islam alias non-
muslim, maka orang tersebut dianggap murtad karena dianggap telah mengikuti jejak
pemimpinnya. Maka Ahok berinisiatif untuk memberitahukannya pada masyarakat agar tidak lagi
terhasut apabila menjumpai kasus yang sama. Namun tetap alasan ini tidak dapat dibenarkan
karena ia telah menafsirkan isi Al Quran yang notabene-nya bukan wilayah dirinya sehingga
menyebabkan tafsir yang dapat menyesatkan. Tentu saja Ahok berusaha menimbau warga karena
ia merasa terpojok apabila dalam pemilihan nanti tidak banyak umat Islam yang akhirnya
meninggalkannya sehingga ia akan kalah dalam pilkada. Sekali lagi, apa yang telah dikatakan
Ahok cenderung bertendensi politis.
Jadi kita tidak mungkin menerapkan aspek toleransi dalam kasus penistaan agama yang
menyeret sosok petahana ini, terlebih karena Ahok sendirilah yang telah menciptakan blunder
dengan membawa-bawa aspek agama dalam upaya politiknya menjadi gubernur DKI Jakarta. Ia
secara tidak sengaja telah memulai perbuatan intoleransi ke tengah masyarakat luas sehingga
masyarakat tidak merasa perlu untuk menegakkan nilai toleransi – toh Ahok telah memulainya
lebih dahulu. Tetapi memang proses hukum mengenai kasus ini tidak boleh tidak diproses lebih
lanjut, mengingat urgensinya yang luas demi kepentingan ketertiban dan ketenteraman kehidupan
beragama negeri ini.