Dosen Pengampu :
Moh. Sain, S. Pd.I., M.Pd.I..
Disusun Oleh:
PAI VI B
Desi : 1209. 16. 07773
1 Ali Mushthofa Amin. 2017. Pemikiran Hadits Imam Ahmad Bin Hanbal dan
Relevansunya Terhadapa Sosio-Politik Pada Masanya. Surakarta: Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, hlm. 17-18.
Ahmad mempelajari fikih ahl al-ra'yi dari al Qadhi Abu Yusuf, murid Imam Abu
Hanifah. Tetapi tampaknya dia lebih cenderung mempelajari hadis, sehingga
ketika berguru kepada Abu Yusuf, Ahmad lebih memperhatikan aspek hadisnya.
Kecintaan Ahmad kepada hadis mendorongnya untuk melakukan rihlah
(perjalanan) mencari hadis. Ahmad menemui syaikh-syaikh hadis di berbagai
daerah untuk menerima periwayatan hadis. Dia mulai mempelajari hadis di
Baghdad tahun 179 H. Ketika masih berumur 15 tahun. Selama tujuh tahun dia
menekuni hadis di kota ini dengan menemui lebih dari 20 orang syaikh hadis,
antara lain Hasyim ibn Basyir. Tahun 186 H, dia belajar ke Bashrah. Setahun
kemudian dia pergi ke Hijaz. Selanjutnya dia melakukan perjalanan lagi ke
Bashrah, Kufah, Hijaz dan Yaman. Tercatat sebanyak lima kali Ahmad berkunjung
ke Bashrah dan lima kali pula ke Hijaz. Ketika pergi ke Mekah, Ahmad bertemu
untuk pertama kalinya dengan Imam Syafi'i dan Ahmad langsung berguru
kepadanya tentang fikih dan ushul fikih. Pertemuan selanjutnya antara mereka
terjadi ketika Syafi'i berkunjung ke Baghdad.2
Memasuki umur tiga puluhan, Imam Ahmad mulai mendapat apresiasi dari
beberapa ulama terkemuka pada masanya. Salah satunya adalah Imam Syafi’i.
Goldziher mengklaim bahwa Imam Ahmad pernah belajar dari Imam Syafi’i
selama tiga tahun. Pendapat lain, Wael Hallaq, menegaskan bahwa sumber-
sumber kisah tersebut hanya ada dipihak Syafi’i, dengan maksud untuk
membangun persepsi superioritas Imam Syafi’i atas Imam Ahmad. Pendapat ini
juga diikuti oleh Hurvits, setelah menjelaskan bias pada kisah tersebut,
menyampaikan bahwa keduanya memang mempunyai relasi yang saling
menguntungkan pada tahun 198 H.3
Setelah setahun menuntut ilmu dan memiliki perbendaharaan ilmu yang kaya,
terutama tentang hadis dan fikih, Ahmad mendirikan majelis sendiri di kota
Baghdad ketika usianya telah mencapai 40 tahun. Dia mulai berijtihad sendiri,
mengeluarkan fatwa dan mengajari murid-muridnya. Batas usia 40 tahun
dipandangnya sebagai ukuran kematangan pribadi dan pengetahuan seseorang.
Rasulullah saw. diangkat menjadi rasul ketika berumur 40 tahun dan Imam Abu
2 Marzuki. 2005. Jurnal Hunafa Ahmad Bin Hanbal Pemikiran Fikih dan Ushul Fikihnya.
Vol. 2. No. 2, hlm. 108-109.
3 Ali Mushthofa Amin. Op. cit, hlm. 18-19.
Hanifah mulai mendirikan majelis sendiri setelah mencapai usia tersebut.
Meskipun demikian bukan berarti Ahmad sama sekali tidak mengeluarkan fatwa
dan mengajarkan ilmu sebelum berumur 40 tahun. Dia telah juga melakukan
kegiatan tersebut secara terbatas dan tanpa mendirikan majelis sendiri.
Di dalam menuntut dan mengajarkan ilmu, Ahmad lebih percaya kepada dan
mengandalkan catatan dibandingkan dengan hafalan, meskipun semua orang
mengakui kekuatan daya hafalannya. Para muridnya dilarang menulis hadis
kecuali setelah dipastikan berasal dari catatannya. Akan tetapi Ahmad melarang
mencatat fatwa-fatwanya dan fatwa-fatwa orang lain. Kebijakan Ahmad ini
mungkin sebagai sikap hati-hati terhadap banyaknya paham dan fatwa yang
menyimpang ketika itu. Oleh karena itu, tidak ada koleksi fatwa Ahmad yang
ditulis sendiri maupun yang didiktekan kepada muridnya.
Di samping menghasilkan karya di bidang fikih dan hadis, Imam Ahmad juga
menyampaikan pemikiran-pemikiran di bidang lain seperti di bidang aqidah dan
politik. Pemikiran dan pendiriannya tentang Alquran sebagai kalam Allah yang
qadim menyebabkan dia disiksa dan dipenjara pada masa pemberlakukan mihnah
pada masa khalifah al-Ma'mun, al-Mu'tashim, dan al-Watsiq. Ketiga khalifah itu
menyetujui pendapat Mu'tazilah tetang kemakhlukan Alquran dan memaksakan
pendapatnya kepada umat Islam, terutama para qadhi dan ulama.4
Imam Ahmad fokus menimba ilmu dan tidak menikah hingga ia umur empat
puluh tahun. Ia mempunyai dua istri. Pernikahan pertamanya pada tahun 204 H,
dengan orang Arab bernama ‘Abbasah. Yang kemudian melahirkan seorang putra,
Salih, yang kelak tumbuh menjadi seorang Qadi. Kemudian, ia menikah lagi
dengan Rayhanah. Dari hasil pernikahannya yang kedua ini ia punya seorang anak
bernama ‘Abdullah, yang tumbuh menjadi kolektor utama dari pendapat-pendapat
dan hadits Imam Ahmad. Imam Ahmad juga mempunyai seorang budak, Husn,
yang melahirkan beberapa anak: Umm ‘Ali (nama lainnya adalah Zaynab), Hasan
dan Husain (anak kembar), Hasan, Muhammad, dan Sa’id (yang tumbuh menjadi
seorang wakil Qadi di Kufah).5
B. Riwayat Keilmuan Imam Ahmad bin Hanbal
6 Nur Makki. 2015. Studi Analisis Pendapat Imam Ahmad Bin Hanbal Tentang
Penggantian Harta Wakaf. Semarang: Muamalah Fakultas Syari’ah, hlm. 44-45
1. Imam Ahmad bin Hanbal mencatat segala hadits yang didengar, tidak hanya
didengar, tidak hanya menghafal saja. Apabila disampaikan kepada orang
lain, dipergunakan catatannya untuk menghindari kelupaan.
2. Ilmu yang dihadapinya sebagai pelajaran pokok ialah hadits, fatwa-fatwa
sahabat dan hasil ijtihad mereka.
Para guru Imam Ahmad bin Hanbal adalah Imam Ismail bin Aliyyah, Hasyim
bin Basyir, Hammad bin Hallid, Mansur bin Salamah, Mudlafar bin Mudrik,
Usman bin Umar, Hasyim bin Qasim, Abu Said banu Hasyim, Muhammad bin
Zayyid, Muhammad bin Ash, Yazin bin Harun, Muhammad bin Jafar, Ghundur,
Yahya bin Said, Abdurrahman bin Mahdi, Basyar bin Fadl, Muhammad bin Bakar,
Abu Dawud, Ruh bin Ubaidah, Wati bin Jarrah, Muawiyah Al-Aziz, Abdullah bin
Muwamir, Abu Usamah, Sufyan bin Uyainah, Yahya bin Salim, Muhammad bin
Idris Asy-Syafi‟I, Ibrahim bin Sa‟id, Abdurrazaq bin Humam, Musa bin Thariq,
Wahid bin Mulim, Abu Mashar Ad-Dhimasqy, Ibnu Yaman, Muttammar bin
Sulaiman, Yahya bin Ziadah, dan Abu Yusuf Al-Qardhi.7
Inilah diantara guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal, yang terdiri
dari ahli fiqh, ahli ushul, ahli kalam, ahli tafsir, ahli ilmu hadits, ilmu tarikh dan
ilmu lughah. Beliau kenal dan berguru pada Imam Syafi‟I ketika beliau
berkunjung dan menetap di Baghdad dan beliau kagum melihat kepandaian Imam
Syafi‟i. Adapun murid-muridnya yang terkenal adalah: Imam Hasan bin Musa,
Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Abi Dawud, Imam Abu Zu‟rah Ad-
Dimasqy, Imam Hanbal bin Ishak Asy-Syaibany, Imam Shalih dan Imam
Abdullah. Dua yang terakhir adalah putranya sendiri yang juga berhasil menjadi
ulama besar pada masanya.
Imam Ahmad bin Hanbal menuntut dan mempelajari hadits-hadits Nabi SAW
adalah sejak berusia 16 tahun dan selanjutnya beliau senantiasa mencari,
menuntut, mempelajari dan menghafalkan hadits-hadits dengan rajin. Sehingga
ketika menjadi seorang alim beliau dapat menghafal di luar kepala sebanyak
sejuta hadits, sebagaimana telah dikatakan oleh Imam Abu Zuriah.8
Lalu dijelaskan pula, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal semenjak tahun 179 H-
186 H yakni sejak mempelajari dan menuntut hadits-hadits Nabi dari satu demi
Artinya: yaitu yang Maha Pengasih. Yang Bersemayam di atas Arsy (Q.S.
Thaha:5)
12 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar. 2001. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, hlm.
109-117.
A. Peta Konsep
IBNU HANBAL
Ibn Hanbal tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-
Qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak
Dalam memahami ayat Al-Quran Ibnu Hanbal lebih suka
diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang
menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) dari pada pendekatan
menyerahkan ayat-ayat yang berhubunga dengan sifat Allah
ta’wil. Dengan demikian ayat Al- Quran yang mutasyabihat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagi Ahmad bin Hanbal, iman
diartikan sebagaimana adanya, hanya saja penjelasan tentang
adalah perkataan dan perbuatan yang dapat berkurang dan
tata cara (kaifiat) dari ayat tersebut diserahkan kepada Allah
bertambah, dengan kata lain iman itu meliputi perkataan dan
SWT.
perbuatan, iman bertambah dengan melakukan perbuatan yang
baik dan akan berkurang bila mengerjakan kemakiatan
Daftar Pustaka
Marzuki. 2005. Jurnal Hunafa Ahmad Bin Hanbal Pemikiran Fikih dan Ushul
Fikihnya. Vol. 2. No. 2.
Mushthofa, Amin Ali. 2017. Pemikiran Hadits Imam Ahmad Bin Hanbal dan
Relevansunya Terhadapa Sosio-Politik Pada Masanya. Surakarta: Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Dakwah.
Nur Makki. 2015. Studi Analisis Pendapat Imam Ahmad Bin Hanbal Tentang
Penggantian Harta Wakaf. Semarang: Muamalah Fakultas Syari’ah.
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar. 2001. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.