Anda di halaman 1dari 13

TUGAS INDIVIDU

IBNU HANBAL: PEMIKIRAN TENTANG STATUS AL-QUR’AN

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“Ilmu Kalam dan Tasawuf ”

Dosen Pengampu :
Moh. Sain, S. Pd.I., M.Pd.I..
Disusun Oleh:
PAI VI B
Desi : 1209. 16. 07773

PROGRAM STUDY : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
AULIAURRASYIDIN
TEMBILAHAN
2019
IBNU HANBAL: PEMIKIRAN TENTANG STATUS AL-QUR’AN

A. Biografi Imam Ahmad Bin Hanbal


Nama lengkap Imam Ahmad adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin
Hilal bin Asad bin Idris bin ‘Abdillah bin Hayyan bin ‘Abdillah bin Anas bin
‘Awaf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban bin Zuhl bin Tsa’labah bin ‘Ukabah bin
Sa’b bin ‘Ali bin Bakr bin Wail al-Dzuhli al-Syaibani al-Marwazi al-Baghdadi.
Pada riwayat yang lain, jalur nasab Imam Ahmad ini sampai pada nabi Ismail dan
nabi Ibrahim. Para leluhur beliau merupakan orang Arab yang ikut dalam
penaklukan Irak dan Iran. Kakek beliau, Hanbal, seorang gubernur di kota
Sarakhs. Sedangkan ayahnya, Muhammad, adalah salah seorang pemimpin militer
di kota Marw, Khurasan. Orang tua Imam Ahmad pindah dari Khurasan menuju
Baghdad beberapa bulan sebelum kelahirannya. Beliau lahir pada bulan Rabi’ul
Awal tahun 164 H. Ibunya bernama Safiyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik
bin Suwadah bin Hindun al-Shaiban. Ayahnya meninggal ketika perang melawan
Bizantium. Sepeninggalan ayahnya, Imam Ahmad mewarisi dua rumah di
Baghdad.1
Ahmad lahir dalam keluarga yang sederhana. Ayahnya meninggal dunia
ketika Ahmad masih kecil, sehingga tanggung jawab pemelihraannya berada di
pundak ibunya. Kesederhanaan hidup tidaklah menyurutkan tekad Ahmad untuk
menuntut ilmu dan menempa diri. Ahmad mendapatkan pendidikan pertamanya di
kota Baghdad. Kota Baghdad ketika itu adalah pusat perkembangan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan, di samping sebagai pusat pemerintahan daulah
Abbasiyah, di kota tersebut terdapat pakar-pakar di bidang syari'ah, qiraat,
tasawuf, bahasa, filsafat, dan sebagainya. Atas kemauan sendiri ditambah dengan
dorongan dari keluarganya, Ahmad memilih menekuni bidang ilmu-ilmu agama,
khususnya ilmu hadis dan fikih. Di samping itu, dia juga menghafal Alquran dan
mempelajari ilmu-ilmu bahasa. Dia mendapati dua kecenderungan yang
berkembang ketika itu, yaitu manhaj al-fiqh dan manhaj alhadis. Pada mulanya

1 Ali Mushthofa Amin. 2017. Pemikiran Hadits Imam Ahmad Bin Hanbal dan
Relevansunya Terhadapa Sosio-Politik Pada Masanya. Surakarta: Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, hlm. 17-18.
Ahmad mempelajari fikih ahl al-ra'yi dari al Qadhi Abu Yusuf, murid Imam Abu
Hanifah. Tetapi tampaknya dia lebih cenderung mempelajari hadis, sehingga
ketika berguru kepada Abu Yusuf, Ahmad lebih memperhatikan aspek hadisnya.
Kecintaan Ahmad kepada hadis mendorongnya untuk melakukan rihlah
(perjalanan) mencari hadis. Ahmad menemui syaikh-syaikh hadis di berbagai
daerah untuk menerima periwayatan hadis. Dia mulai mempelajari hadis di
Baghdad tahun 179 H. Ketika masih berumur 15 tahun. Selama tujuh tahun dia
menekuni hadis di kota ini dengan menemui lebih dari 20 orang syaikh hadis,
antara lain Hasyim ibn Basyir. Tahun 186 H, dia belajar ke Bashrah. Setahun
kemudian dia pergi ke Hijaz. Selanjutnya dia melakukan perjalanan lagi ke
Bashrah, Kufah, Hijaz dan Yaman. Tercatat sebanyak lima kali Ahmad berkunjung
ke Bashrah dan lima kali pula ke Hijaz. Ketika pergi ke Mekah, Ahmad bertemu
untuk pertama kalinya dengan Imam Syafi'i dan Ahmad langsung berguru
kepadanya tentang fikih dan ushul fikih. Pertemuan selanjutnya antara mereka
terjadi ketika Syafi'i berkunjung ke Baghdad.2
Memasuki umur tiga puluhan, Imam Ahmad mulai mendapat apresiasi dari
beberapa ulama terkemuka pada masanya. Salah satunya adalah Imam Syafi’i.
Goldziher mengklaim bahwa Imam Ahmad pernah belajar dari Imam Syafi’i
selama tiga tahun. Pendapat lain, Wael Hallaq, menegaskan bahwa sumber-
sumber kisah tersebut hanya ada dipihak Syafi’i, dengan maksud untuk
membangun persepsi superioritas Imam Syafi’i atas Imam Ahmad. Pendapat ini
juga diikuti oleh Hurvits, setelah menjelaskan bias pada kisah tersebut,
menyampaikan bahwa keduanya memang mempunyai relasi yang saling
menguntungkan pada tahun 198 H.3
Setelah setahun menuntut ilmu dan memiliki perbendaharaan ilmu yang kaya,
terutama tentang hadis dan fikih, Ahmad mendirikan majelis sendiri di kota
Baghdad ketika usianya telah mencapai 40 tahun. Dia mulai berijtihad sendiri,
mengeluarkan fatwa dan mengajari murid-muridnya. Batas usia 40 tahun
dipandangnya sebagai ukuran kematangan pribadi dan pengetahuan seseorang.
Rasulullah saw. diangkat menjadi rasul ketika berumur 40 tahun dan Imam Abu

2 Marzuki. 2005. Jurnal Hunafa Ahmad Bin Hanbal Pemikiran Fikih dan Ushul Fikihnya.
Vol. 2. No. 2, hlm. 108-109.
3 Ali Mushthofa Amin. Op. cit, hlm. 18-19.
Hanifah mulai mendirikan majelis sendiri setelah mencapai usia tersebut.
Meskipun demikian bukan berarti Ahmad sama sekali tidak mengeluarkan fatwa
dan mengajarkan ilmu sebelum berumur 40 tahun. Dia telah juga melakukan
kegiatan tersebut secara terbatas dan tanpa mendirikan majelis sendiri.
Di dalam menuntut dan mengajarkan ilmu, Ahmad lebih percaya kepada dan
mengandalkan catatan dibandingkan dengan hafalan, meskipun semua orang
mengakui kekuatan daya hafalannya. Para muridnya dilarang menulis hadis
kecuali setelah dipastikan berasal dari catatannya. Akan tetapi Ahmad melarang
mencatat fatwa-fatwanya dan fatwa-fatwa orang lain. Kebijakan Ahmad ini
mungkin sebagai sikap hati-hati terhadap banyaknya paham dan fatwa yang
menyimpang ketika itu. Oleh karena itu, tidak ada koleksi fatwa Ahmad yang
ditulis sendiri maupun yang didiktekan kepada muridnya.
Di samping menghasilkan karya di bidang fikih dan hadis, Imam Ahmad juga
menyampaikan pemikiran-pemikiran di bidang lain seperti di bidang aqidah dan
politik. Pemikiran dan pendiriannya tentang Alquran sebagai kalam Allah yang
qadim menyebabkan dia disiksa dan dipenjara pada masa pemberlakukan mihnah
pada masa khalifah al-Ma'mun, al-Mu'tashim, dan al-Watsiq. Ketiga khalifah itu
menyetujui pendapat Mu'tazilah tetang kemakhlukan Alquran dan memaksakan
pendapatnya kepada umat Islam, terutama para qadhi dan ulama.4
Imam Ahmad fokus menimba ilmu dan tidak menikah hingga ia umur empat
puluh tahun. Ia mempunyai dua istri. Pernikahan pertamanya pada tahun 204 H,
dengan orang Arab bernama ‘Abbasah. Yang kemudian melahirkan seorang putra,
Salih, yang kelak tumbuh menjadi seorang Qadi. Kemudian, ia menikah lagi
dengan Rayhanah. Dari hasil pernikahannya yang kedua ini ia punya seorang anak
bernama ‘Abdullah, yang tumbuh menjadi kolektor utama dari pendapat-pendapat
dan hadits Imam Ahmad. Imam Ahmad juga mempunyai seorang budak, Husn,
yang melahirkan beberapa anak: Umm ‘Ali (nama lainnya adalah Zaynab), Hasan
dan Husain (anak kembar), Hasan, Muhammad, dan Sa’id (yang tumbuh menjadi
seorang wakil Qadi di Kufah).5
B. Riwayat Keilmuan Imam Ahmad bin Hanbal

4 Marzuki. Op. cit, hlm. 109-110.


5 Ali Mushthofa Amin. Op. cit, hlm 19.
Imam Ahmad bin Hanbal menerima pendidikan pertama di Baghdad, kota
yang penuh dengan macam manusia, berbagai macam adat istiadatnya dan
kecenderungan-kecenderungan, kota yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Disini
ada ahli qira‟at, ahli hadits, ahli tasawuf, ahli lughah, dan ahli filsafah. Untuk itu
keluarga Imam Ahmad bin Hanbal telah mengharapkan agar Imam Ahmad bin
Hanbal menjadi orang yang terkemuka. Maka kepadanya diberikan segala rupa
ilmu yang memungkinkannya menjadi imam besar yaitu lughah, hadits, fiqh.
Imam Ahmad bin Hanbal, pendidikannya diawali dengan belajar Al-Qur‟an
dan ilmu-ilmu agama pada ulama-ulama di Baghdad sampai usia 16 tahun.
Kemudian beliau memperdalam ilmu agama dengan mengunjungi ulam-ulama
ternama di berbagai tempat. Seperti Kuffah, Basra, Syam (Suriah), Yaman,
Mekkah, dan Madinah. Sesudah Imam Ahmad bin Hanbal menghafal Al-Qur‟an
dan mempelajari bahasa, ia pun mulai mendatangi rumah perguruan untuk belajar
bahasa arab, menulis dan mengarang. Ahmad pada waktu itu telah berumur 14
tahun. Pada waktu itu, Imam Ahmad bin Hanbal harus memilih antara menempuh
jalan ahli fiqh dan menempuh jalan ahli hadits. Dimasa Imam Ahmad bin Hanbal,
kedua jalan telah nyata masing-masing. Maksudnya telah nyata mana yang
dikatakan ahli fiqh mengeluarkan fatwa dan putusan dan mana yang dikatakan
ahli hadits menyiapkan materi dalil untuk ahli fiqh.6
Pada masa itu fiqh yang terkenal di Baghdad adalah ahli fiqh Iraki yang
dikembangkan oleh Muhammad Ibn Al-Hasan, Al-Hasan Ibn Ziyad, AL-Lu‟lui
dan lain-lain. Ahmad memilih jalan hadits, sebelum itu ia telah menempuh jalan
yang dilalui para fuqaha yang mengumpulkan antara dua jalan itu. Ia belajar pada
Al-Qadli Abu Yusuf. Namun demikian akhirnya Ahmad condong kepada hadits.
Imam Ahmad bin Hanbal mempelajari hadits yang tersebar di berbagai kota.
Ada di Basrah, Kuffah, Baghdad dan Hijaz. Ahmad menerima hadits mulai tahun
179 H hingga tahun 186 H di Baghdad. Sejak umur 16 tahun Imam Ahmad bin
Hanbal mempelajari hadits. Imam Ahmad bin Hanbal dalam mempelajari hadits
itu mempunyai dua metode, yaitu:

6 Nur Makki. 2015. Studi Analisis Pendapat Imam Ahmad Bin Hanbal Tentang
Penggantian Harta Wakaf. Semarang: Muamalah Fakultas Syari’ah, hlm. 44-45
1. Imam Ahmad bin Hanbal mencatat segala hadits yang didengar, tidak hanya
didengar, tidak hanya menghafal saja. Apabila disampaikan kepada orang
lain, dipergunakan catatannya untuk menghindari kelupaan.
2. Ilmu yang dihadapinya sebagai pelajaran pokok ialah hadits, fatwa-fatwa
sahabat dan hasil ijtihad mereka.
Para guru Imam Ahmad bin Hanbal adalah Imam Ismail bin Aliyyah, Hasyim
bin Basyir, Hammad bin Hallid, Mansur bin Salamah, Mudlafar bin Mudrik,
Usman bin Umar, Hasyim bin Qasim, Abu Said banu Hasyim, Muhammad bin
Zayyid, Muhammad bin Ash, Yazin bin Harun, Muhammad bin Jafar, Ghundur,
Yahya bin Said, Abdurrahman bin Mahdi, Basyar bin Fadl, Muhammad bin Bakar,
Abu Dawud, Ruh bin Ubaidah, Wati bin Jarrah, Muawiyah Al-Aziz, Abdullah bin
Muwamir, Abu Usamah, Sufyan bin Uyainah, Yahya bin Salim, Muhammad bin
Idris Asy-Syafi‟I, Ibrahim bin Sa‟id, Abdurrazaq bin Humam, Musa bin Thariq,
Wahid bin Mulim, Abu Mashar Ad-Dhimasqy, Ibnu Yaman, Muttammar bin
Sulaiman, Yahya bin Ziadah, dan Abu Yusuf Al-Qardhi.7
Inilah diantara guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal, yang terdiri
dari ahli fiqh, ahli ushul, ahli kalam, ahli tafsir, ahli ilmu hadits, ilmu tarikh dan
ilmu lughah. Beliau kenal dan berguru pada Imam Syafi‟I ketika beliau
berkunjung dan menetap di Baghdad dan beliau kagum melihat kepandaian Imam
Syafi‟i. Adapun murid-muridnya yang terkenal adalah: Imam Hasan bin Musa,
Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Abi Dawud, Imam Abu Zu‟rah Ad-
Dimasqy, Imam Hanbal bin Ishak Asy-Syaibany, Imam Shalih dan Imam
Abdullah. Dua yang terakhir adalah putranya sendiri yang juga berhasil menjadi
ulama besar pada masanya.
Imam Ahmad bin Hanbal menuntut dan mempelajari hadits-hadits Nabi SAW
adalah sejak berusia 16 tahun dan selanjutnya beliau senantiasa mencari,
menuntut, mempelajari dan menghafalkan hadits-hadits dengan rajin. Sehingga
ketika menjadi seorang alim beliau dapat menghafal di luar kepala sebanyak
sejuta hadits, sebagaimana telah dikatakan oleh Imam Abu Zuriah.8
Lalu dijelaskan pula, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal semenjak tahun 179 H-
186 H yakni sejak mempelajari dan menuntut hadits-hadits Nabi dari satu demi

7 Ibid, hlm. 45-47.


8 Ibid.
satu beliau mencatat, menghimpun dan menyusunnya. Setelah dihimpun dan
disusun sedemikian rupa itu, menjadi beberapa jilid, tebal dan dinamakannya “Al-
Musnad”. Kitab Al-Musnad sepanjang penyelidikan para ahli berisi 40.000 hadits,
diantara sekian banyak itu yang 10.000 hadits diriwayatkan berulang-ulang, jadi
yang tidak berulang-ulang sebanyak 30.000 hadits.
Selain Al-Musnad, Imam Ahmad bin Hanbal juga mengarang beberapa kitab:
Tafsir Al-Qur‟an, Kitab an-Nasukh wa al-Mansukh (kitab mengenai ayat-ayat
yang menghapuskan dan dihapuskannya hukumnya), kitan Jawaban Al-Qur‟an,
kitab al-Muqaddam wa al-Mu‟akhkhar fi Al-Qur‟an (buku tentang ayat-ayat yang
terdahulu dan yang kemudian diturunkan), kitab at-Tarikh (buku sejarah), kitab al-
Manasikh as-Sagir (buku kecil tentang ayat-ayat yang dihapuskan), kitab al-
Manasikh al-Kabir (buku besar tentang ayat-ayat yang dihapuskan), kitab al-„Illah
(buku tentang sebab-sebab hukum), kitab Ta‟at ar-Rasul (buku mengenai ketaatan
kepada Rasul), kitab as-Salah dan kitab al-Wara‟ (buku mengenai ketakwaan).
Imam Ahmad bin Hanbal adalah imam dalam bidang hadits dan melalui jalan
keahliannya ini, dia menjadi imam pula dalam bidang fiqh, walaupun fiqhnya
sebenarnyaatsar. Ibnu Jarir tidak menggolongkan Ahmad bin Hanbal ke dalam
kalangan para pihak. Akan tetapi penelitian yang mendalam tentang peninggala-
peninggalan Imam Ahmad bin Hanbal dan studinya mengharuskan kita
menetapkan bahwasannya Imam Ahmad bin Hanbal seorang ahli hukum yang
berpedoman atsar. Dihadapan kita sekarang terdapat sejumlah fatwanya dan
sejumlah riwayat dari padanya, baik berbedabeda atau tidak semuanya itu
membuktikan bahwasannya Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam dalam
bidang hukum.9
Imam Ahmad bin Hanbal dalam memberikan fatwa tentang urusan agama dan
hukum-hukum yang berkenaan dengan agama sangat berhati-hati, baik dalam
menjawab atau menjelaskan hukumnya. Bahkan seringkali beliau memberikan
jawaban: “saya tidak tahu atau belum tahu atau belum saya periksa”, kalau
memang belum jelas benar tentang perkara yang ditanyakan kepada beliau. Inilah
salah satu pernyataan tentang cara-cara Imam Ahmad bin Hanbal memberikan
fatwa atau jawaban tentang persoalan yang ia hadapi, baik masalah hukum atau

9 Ibid, hlm. 48-49.


masalah-masalah yang baru terjadi dalam lingkungan masyarakat, tidak sekalipun
beliau terburu-buru menjawabnya sebelum menyelidiki dan memperoleh
keterangan yang jelas yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya
Karena masalah hukum yang bersangkut pautan dengan agama itu tidak
mudah dan sangat sulit, maka Imam Ahmad bin Hanbal memberikan pimpinan
atau pesan bagi siapa saja yang hendak member fatwa atau jawaban kepada orang
lain tentang masalah-masalah keagamaan, hendaklah mengerti tentang Al-Qur‟an,
As-Sunnah, mengerti akan perkataan-perkataan orangorang terdahulu. Singkatnya
bahwa orang yang hendak memberikan fatwa itu hendaklah orang yang
mempunyai persediaan alat-alat yang lengkap dan pengertian yang cukup.
Imam Ahmad bin Hanbal tidak menulis kitab dalam bidang fiqh yang dapat
dijadikan pegangan pokok dan dari padanyalah kita ambil Mazhabnya. Oleh
karena Imam Ahmad bin Hanbal tidak membukukan fiqhnya dalam suatu kitab,
tidak pula mendiktekannya kepada murid-muridnya sebagaimana yang dilakukan
oleh Abu Hanifah. Maka pegangan kita dalam penulisan fiqhnya adalah kegiatan
murid-muridnya.10
Bahwa fiqh Imam Ahmad bin Hanbal dibangun atas lima landasan:
1. Nash (Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi SAW).
2. Fatwa sahabat, baik yang tidak diketahui adanya perbedaan dikalangan
mereka maupupn yang diperselisihkan.
3. Hadits mursal.
4. Hadits dlaif.
5. Qiyas.
Sebelum wafat Imam Ahmad bin Hanbal selalu merenungkan pemikirannya
sendiri mengenai masalah-masalah “penciptaan Al-Qur‟an” (mengenai pendapat
golongan bahwa Al-Qur‟an itu makhluk), pada akhirnya ia berpendapat orang
yang beranggapan bahwa Al-Quran itu makhluk adalah kafir dan orang yang
beranggapan bahwa Al-Qur‟an itu bukan makhluk adalah mubtadi‟ (ahlul
bid‟ah). Al-Qur‟an, baik yang bunyi hurufnya hurufnya maupun makna-
maknanya adalah kalam (firman) Allah, bukan makhluk. Al-Qur‟an termasuk
ilmu Allah (pengetahuan Allah mengenai segala sesuatu) dan pengetahuan-Nya
bukanlah mahluk-Nya.

10 Ibid, hlm. 49-50.


Mazhab Hanbali mula-mula kurang mendapat sambutan, hal ini disebabkan
karena Imam Ahmad bin Hanbal sangat keras berpegang pada riwayat dan benar-
benar dalam menahan diri dari berfatwa dengan selain nash. Penyebar Mazhab
Hanbali diantaranya adalah Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani, Ishak
bin Ibrahim, Ahmad bin Muhammad bin Hajjaj al Maiwasi, yang selanjutnya
diteruskan oleh Samsuddin bin Qudamah Al-Maqsidi pengarang Al-Syarah Al-
kabir, Ibnu Taimiyah pengarang kitab Al-Fatwa, Muwaffaqqudin bin Qudamah
Al-Maqsidi pengarang Al-Mughni dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah pengarang I‟lam
Al-Muwaqqi‟in.
Mazhab Hanbali pertama-tama berkembang di Baghdad, lalu di Iraq dan
Mesir. Dibandingkan dengan Mazhab-Mazhab fiqh besar lainnya. Mazhab
Hanbali dalam perkembangannya lebih sedikit pengikutnya. Ada beberapa faktor
yang menghambat penyebaran Mazhab Hanbali, antara lain karena Mazhab
Hanbali muncul setelah tersebarnya tiga Mazhab fiqh lainnya di wilayah
kekuasaan Islam dan karena pengikut Mazhab Hanbali tidak suka memegang
jabatan di pemerintahan, sehingga perkembangan Mazhab ini tidak didukung oleh
kekuasaan.11

C. Pemikiran Teologi Imam Ahmad Ibn Hanbal


1. Tentang Ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam memahami ayat Al-Quran Ibnu Hanbal lebih suka menerapkan
pendekatan lafdzi (tekstual) dari pada pendekatan ta’wil. Dengan demikian
ayat Al- Quran yang mutasyabihat diartikan sebagaimana adanya, hanya saja
penjelasan tentang tata cara (kaifiat) dari ayat tersebut diserahkan kepada
Allah SWT. Ketika beliau ditanya tentang penafsiran surat Thaha ayat 5
berikut ini :

Artinya: yaitu yang Maha Pengasih. Yang Bersemayam di atas Arsy (Q.S.
Thaha:5)

Dalam hal ini, Ibnu Hanbal menjawab :

11 Ibid, hlm. 50-52.


Artinya: Istilah di atas Arasy terserah kepada Allah dan bagaimana saja
dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup
menyifatinya.
Dan dalam menanggapi Hadits nuzul (Tuhan turun ke langit dunia),
ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan di akhirat), dan hadits tentang
telapak kaki Tuhan, Ibnu Hanbal berkata: “Kita mengimani dan
membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya. Dari
pernyataan di atas tampak bahwa Ibnu Hanbal bersikap menyerahkan
(tafwidh) makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada Allah dan
Rasul-Nya serta tetap mensucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Ia
sama sekali tidak menakwilkan pengertian lahirnya
2. Tentang Status Al-Quran
Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal, yang kemudian
membuatnya dipenjara beberapa kali, adalah tentang status al-Qur’an, apakah
diciptakan (mahluk) yang karenanya hadits (baru) ataukah tidak diciptakan
yang karenanya qodim? Faham yang diakui oleh pemerintah, yakni Dinasti
Abbasiyah di bawah kepemimpina khalifah Al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-
Watsiq, adalah faham Mu’tazilah, yakni al-Qur’an tidak bersifat qodim, tetapi
baru dan diciptakan. Faham adanya qodim disamping Tuhan, berarti
menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah Syirik dan dosa
besar yang tidak diampuni Tuhan.
Ibnu Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut di atas. Oleh karena
itu, ia kemudian diuji dalam kasus mihnah oleh aparat pemerintah.
Pandangannya tentang status Al-Qur’an dapat dilihat dari dialognya dengan
Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Irak:
Ishaq bertanya : Bagaimana pendapatmu tentang Al-Qur’an?
Ahmad bin Hambal : Ia adalah kalam Allah.
Ishaq : Apakah ia makhluk?
Ibn Hambal : Ia adalah kalam Allah, aku tidak menambahnya lebih
dari itu.
Ishaq : Apakah arti bahwa Allah itu Maha Mendengar dan
Maha Melihat?
Ibn Hambal : Itu seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri-Nya.
Ishaq : Apakah maksudnya?
Ibn Hambal : Aku tidak tahu, Dia seperti apa yang Dia sifatkan kepada
dirinya.
Ibn Hanbal, berdasarkan dialog di atas, tidak mau membahas lebih lanjut
tentang status Al-Qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak
diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat
yang berhubunga dengan sifat Allah kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagi
Ahmad bin Hanbal, iman adalah perkataan dan perbuatan yang dapat
berkurang dan bertambah, dengan kata lain iman itu meliputi perkataan dan
perbuatan, iman bertambah dengan melakukan perbuatan yang baik dan akan
berkurang bila mengerjakan kemakiatan.12

12 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar. 2001. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, hlm.
109-117.
A. Peta Konsep

IBNU HANBAL

1. Pemikiran Tentang Ayat-ayat Mutasyabihat 2. Pemikiran Tentang Status Al-Quran

Ibn Hanbal tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-
Qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak
Dalam memahami ayat Al-Quran Ibnu Hanbal lebih suka
diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang
menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) dari pada pendekatan
menyerahkan ayat-ayat yang berhubunga dengan sifat Allah
ta’wil. Dengan demikian ayat Al- Quran yang mutasyabihat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagi Ahmad bin Hanbal, iman
diartikan sebagaimana adanya, hanya saja penjelasan tentang
adalah perkataan dan perbuatan yang dapat berkurang dan
tata cara (kaifiat) dari ayat tersebut diserahkan kepada Allah
bertambah, dengan kata lain iman itu meliputi perkataan dan
SWT.
perbuatan, iman bertambah dengan melakukan perbuatan yang
baik dan akan berkurang bila mengerjakan kemakiatan
Daftar Pustaka
Marzuki. 2005. Jurnal Hunafa Ahmad Bin Hanbal Pemikiran Fikih dan Ushul
Fikihnya. Vol. 2. No. 2.
Mushthofa, Amin Ali. 2017. Pemikiran Hadits Imam Ahmad Bin Hanbal dan
Relevansunya Terhadapa Sosio-Politik Pada Masanya. Surakarta: Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Dakwah.
Nur Makki. 2015. Studi Analisis Pendapat Imam Ahmad Bin Hanbal Tentang
Penggantian Harta Wakaf. Semarang: Muamalah Fakultas Syari’ah.
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar. 2001. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai