Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PEMIKIRAN KALAM MODREN. ABDUH, AHMAD KHAN, DAN IQBAL

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mandiri Mata Kuliah

Dosen Pengampu:

Moh. Sain, S.Pd.I., M.Pd.I..

Disusun Oleh:

PAI V B

Kelompok VI:

Ardian Saputra

Eka Ardila

PROGRAM STUDY: PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

AULIAURRASYIDIN

TEMBILAHAN

2018/2019
BAB I

A. Latar Belakang Munculnya


1. Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh- nama lengkapnya Muhammad bin Abduh bin
Hasan Khairullah- dilahirkan di desa Mahallat Nashr kabupaten Al-Buhairah,
Mesir, pada tahun 1849 M. ia bukan berasal darii keturunan yang kaya dan bukan
pula keturunan bangsawan. Namun demikian, ayahnya dikenal sebagai orang
terhormat yang suka memberi pertolongan. Kekerasan yang diterapkan penguasa-
penguasa Muhammad Ali dalam memungut pajak menyebabkan penduduk
berpindah-pindah tempat untuk mengindarinya. Abduh sendiri dilahirkan dalam
kondisi yang penuh kecemasan ini.
Mula-mula Abduh dikirim ayahnya ke Mesjid Al-Ahmadi Tanta belakang
tempat ini menjadi pusat kebudayaan selain Al-Azhar. Namun system pengajaran
di sana, ia memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-
saudara serta kerabatnya. Ketika kebali ke desa, ia dikawinkan. Pada saat itu ia
berumur 16 tahun. Semula ia bersikeras untuk tidak melanjutkan studinya, tetapi
ia kembali belajar atas dorongan pamannya, Syekh Darwish, yang banyak
mempengaruhi kehidupan Abduh sebelum bertemu dengan Jamalludin Al-
Afghani.
2. Ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi pada Tahun 1817. Menurut suatu
keterangan, ia berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW.
Melalui Fatimah dan Ali. Neneknya, Sayyid Hadi, adalah pembesar istana pada
zaman Alamgir II (17541759). Sejak kecil, Ahmad Khan mendapat didikan
tradisional dalam pengetahuan agama. Dia belajar bahasa Arab di Persia. Ia rajin
membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ketika berusia delapan
belas tahun, ia bekerja pada Serikat India Timur. Kemudian bekerja pula sebagai
haki, tetapi pada tahun 1846 ia kembali ke Delhi dan mempergunakan kesempatan
itu untuk belajar.
3. Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Ia berasal dari
keluarga kasta. Brahmana Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang
terkenal saleeh. Guru pertama Iqbal adalah ayahnya sendiri kemudian ia
dimasukkan ke sebuah maktab untuk mempelajari Al-Qur`an. Seelah itu, ia
dimasukkan Scottish Mission School. Di awah bimbingan Mir Hasan, ia diplajaran
agaa, bahasa Arab, dan bahasa Persia. Setelah menyelesaikan sekolah nya di
Sialkot, ia pergi ke Lahore, sebuah kota besr di india ntk melanjutkan belajarnya
di Government Colege. disini ia bertemu dengan Thomas Arnold, seorang
orientalis yang menjadi guru besar dalam bidang filsafat pada universitas tersebut.
Pada tahuu 1905 setelah mendapat gelar M.A. di Goverment Colege .disini
ia bertemu dengan Thomas Arnol, seorang orientalis yang menjdiguru besar
dalam bidang filsafat pada univeritas tersebut. Pada tahun 1905 setelah mendapat
gelar M.A. di Goverment Colege iqbal pergi ke Inggris untuk belajar filsafat pada
Universitas Cambridge. Dua tahun kemudian ia pindah ke Munich, Jerman. Di
Univeritas ini, ia memperoleh gelar Ph. Didalam tasawuf dengan disertainnya
yang berjudul The Develoment of Metaphysics in Persia (Perkembangan
Metafisika di Persia).

B. Tokoh Pelopornya
1. Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh- nama lengkapnya Muhammad bin Abduh bin Hasan
Khairullah- dilahirkan di desa Mahallat Nashr kabupaten Al-Buhairah, Mesir, pada
tahun 1849 M.
2. Ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi pada Tahun 1817. Menurut suatu keterangan, ia
berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW. Melalui Fatimah dan
Ali. Neneknya, Sayyid Hadi, adalah pembesar istana pada zaman Alamgir II
(1754-1759).
3. Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Ia berasal dari keluarga kasta.
Brahmana Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh. Guru
pertama Iqbal adalah ayahnya sendiri kemudian ia dimasukkan ke sebuah maktab
untuk mempelajari Al-Qur`an.
C. Dasar Pemikiran
1. Pemikiran-pemikiran Kalam Muhammad Abduh
a. Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh,
sebagaimana diakuinya sendiri, yaitu:
1. Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat
perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haknya salaf al-ummah
(ulama sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan yakni
memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Qur`an.
2. Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan
resmi di kantor-kantor pemerintah maupun dalam tulisan-tulisan di media
massa.
3. Kebahagiaan jiwa di akghirat terggantung pada upaya mengenal tuhann dan
berbuat baik, sedangkan kesengsaraan bergantung pada sikap tidak mengenal
tuhan dan melakukan perbuatan jahat.
4. Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk
kebahagian di akhirat.
2. Pemikiran kalam Sayyid Ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan mempunyai kesamaan pemikiran dengan Muhammad Abduh di
Mesir setelah Abduh berpisah dengan Jamaluddin Al-Afghani dan kembali dari
pengasingan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ide yang dikemukakannya, terutama
tentang akal yang mendapat penghargaan tinggi dalam pandanganya. Meskipun
demikian, sebagai penganut ajaran Islam yang taat dan percaya akan kebenaran wahyu, ia
berpendapat bahwa akal bukanlah segalanya dan kekuatan akal pun terbatas.
Keyakinan kekuatan dan kebebasan akal menjadikan Khan percaya bahwa manusia
bebas untuk menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Ini berarti bahwa ia
mempunyai faham yang sama dengan faham Qadariah. Menurutnya, manusia telah
dianugerahi Tuhan berbagai macam daya, di antaranya adalah daya berpikir berupa akal,
dan daya fisik untuk merealisasikan kehendaknya. Karena kuatnya kepercyaan terhadap
hukum alam dan kerasnya mempertahankan konsep hokum alam, ia dianggap kafir oleh
sebagian umat islam. Bahkan, ketika datang ke India pada tahun 1869, Jamaluddin Al-
Afghani menerima keluhan itu. Sebagai tanggapan atas tuduhan tersebut, Jamaluddin
mengarang sebuah buku yang berjudul Ar-Radd Ad-Dahriyah (Jawaban Bagi Kaum
Materialis).
Sejalan dengan faham Qadariyah yang dianutnya, ia menentang keras faham taklid.
Khan berpendapat bahwa umat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti
perkembangan zaman. Gaung peradaban Islam klasik masih melenakan mereka sehingga
tidak menyadari peradaban baru telah timbul di Barat. Peradaban baru ini timbul dengan
berdasar pada ilmu pengetahuan dan teknologi, dan inilah penyebab utama bagi kemajuan
dan kekuatan orang Barat.
Selanjutnya, Khan mengemumakakan bahwa Tuhan telah menentukan tabiat atau
nature (Sunnatullah) bagi setiap Makhluk Nya yang tetap dan tidak pernah berubah.
Menurutnya, Islam adalah agama yang paling sesuai dengan hokum alam, karena hokum
alam adalah ciptaan Tuhan dan Al-Qur`an adalah firman nya maka sudah tentu keduanya
seiring sejalan dan tidak ada pertentangan.
Sejalan dengan keyakinan tentang ketentuan akal dan hokum alam, Khan tidak mau
pemikirannya terganggu otoritas Hadis dan Fiqh. Segala sesuatu diukurnya dengan kritik
rasional. Ia pun menolak semua yang bertentangan dengan logika dan hokum alam. Ia
hanya mau mengambil Al-Qur`an sebagai pedoman bagi Islam, sedangkan yang lain
hanya bersifat membantu dan kurang begitu penting. Alasan penolakan terhadap Hadis
adalah karena Hadis berisi Moralitas sosial dari masyarakat Islam pada abad pertama atau
kedua sewaktu hadis tersebut dikumpulkan. Sedangkan hokum fiqh, menurutnya, berisi
moralitas masyarakat berikutnya sampai saat timbulnya mazhab mazhab. Ia menolak
taklid dan membawa Al-Qur`an untuk menguraikan relevansinya dengan masyarakat baru
pada zaman itu.
Sebagai konsekuensi dari penolakannya terhadap taklid, Khan memandang perlu
diadakan ijtihad-ijtihad baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan
siatuasi dan kondisi masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.
*Dalam pemikiran kalam ia berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan
dalam berkehendak dan berbuat. Allah menyerahkan sepenuhnya kepada manusia apa
yang dia kehendaki dan apa yang dia akan perbuat. Dalam pada itu, karena ia memberi
kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat, maka akal dalam pandangan
Sayyid Ahmad Khan mempunyai daya yang besar. Akal adalah potensi yang telah
diugrahkan Allah kepada manusia. Oleh sebab itu akal dalam pandangan Sayyid Ahmad
Khan haruslah digunakan semaksimal mungkin.

3. Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal


Dibandingkan sebagai teolog, Muhamad Iqbal Sesungguhnya lebih terkenal sebagi
seoran Filsof Eksistensialis. Oleh karena itu, agak sulit untuk menemukan pandanganya
mengenai wacana-wacana kalam klasik, seperti fungsi akal dan wahyu, perbuatan Tuhan,
perbuatan manusia, dan kewajiban-kewajiban tuhan. Itu bukan berarti bahwa ia sama
sekali tidak menyinggung Ilmu Kalam. Bahkan, ia sering menyinggung beberapa alran
kalam yang pernah muncul dalam sejarah Islam.
Sebagai seorang pembaharu, Iqbal menyadari perlunya umat Islam untuk melakukan
pembaharuan agar keluar dari kemundurannya. Kemunduran umat Islam katanya,
disebabkan kebekuan umat Islam dalam pemikiran dan ditutupnya pintu Ijtihad. Mereka,
seperti kaum konservatif, menolak kebiasaan berpikir rasional kaum mu`tazilah karena
hal tersebut dianggapnya membawa disentegrasi umat Islam dan membahayakan
kestabilan politik mereka. Hal inilah yang dianggapnya sebagai penyimpangan dari
semangat Islam, semangat dinamis dan kreatif. Islam tidak statis, tetapi dapat disesuaikan
dengan perkembangan zaman. Pintu ijtihat tidak pernah tertutup karena ijtihad
merupakan cirri dari dinamika yang harus dilambangkan dalam Islam. Lebih jauh ia
menegaskan bahwa syariat pada prinsipnya tidak statis, tetapi merupakan alat untuk
merespon kebutuhan individu dan masyarakat karena islam selalu mendorong
terwujudnya perkembangan.
Islam dalam pandangan Iqbal menolak konsep lama yang mengatakjan bahwa alam
bersifat statis. Islam, katanya, mempertahan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak
perubahan dalam kehidupan sosial manusia. Oleh karena itu manusia dengan kemampuan
khudinya harus menciptakan perubahan.
a. Hakikat Teologi
Secara umum dia melihat teolog sebagai ilmu yang berdemensi keimanan,
mendasarkan pada esensi tauhid (Universal dan Inklusivistik). Didalamnya
terdapat jiwa yang bergerak berupa” persamaan, kesetiakawanan dan
kebebasmerdekaan.
b. Pembuktian Tuhan
Dalam membuktikan Eksistensi Tuhan, Iqbal menolak argumen kosmologis
maupun ontologis. Ia juga menolak argumen teleologis yang berusaha
membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaannya dari sebelah luar.
c. Jati Diri Manusia
Faham dinamisme Iqbal berpengaruh besar terhadap jati diri manusia.
Penelusuran terhadap pendapatnya tentang persoalan ini dapat dilihat dari
konsepnya tentang Ego, ide central dalam pemikiran filosofisnya. Kata itu
diartikan dengan kpribadian. Manusia hidup untuk mengetahui kepribadianya.
Serta menguatkan dan mengembangkan bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yakni
melemahkan pribanya, seperti yang dilakukan oleh para sufi yang menundukan
jiwa sehingga pana dengan Allah.
d. Dosa
Iqbal secara tegas menyatakan dalam seluruh kuliahnya bahwa Al-Qur`an
menampilkan ajaran tentang kebebasn ego manusia yang bersifat kreatif. Dalam
hubungan ini, ia mengembangkan cerita tentang kejatuhan Adam (karena
memakan buah terlarang) sebagai kisah yang berisi pelajaran tentang
“kebangkitan manusia dari kondisi primitif yang dikuasai oleh hawa nafsu
naluriah kepada pemilikan kepribdian bebas yang diperolehnya secara sadar,
sehingga mampu mengatasi keseimbangan dan kecendrungan untuk
membangkang “dan “timbulnya ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk
memilih.
e. Surga dan Neraka
Surga dan neraka, kata iqbal adalah keadaan, bukan tempat. Gambaran-gambaran
tentang keduanya didalam Al-Qur`an adalah Api Allah yang menyala-nyala dan
yang membumbung keatas hati, Pernyataan yang menyakitkan mengenai
kegagalan manusia. Surge adalah kegembiraan Karena mendapatkan kemenangan
dalam mengatasi berbagai dorongan yang menuju kepada perpecaghan.
BAB II
A. PEMBAHASAN
1. Pokok Pemikiran Kalam Ulama Modern
a. Syekh Muhammad Abduh
Riwayat singkat Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh- nama lengkapnya Muhammad bin Abduh bin
Hasan Khairullah- dilahirkan di desa Mahallat Nashr kabupaten Al-Buhairah,
Mesir, pada tahun 1849 M. ia bukan berasal darii keturunan yang kaya dan
bukan pula keturunan bangsawan. Namun demikian, ayahnya dikenal sebagai
orang terhormat yang suka memberi pertolongan. Kekerasan yang diterapkan
penguasa-penguasa Muhammad Ali dalam memungut pajak menyebabkan
penduduk berpindah-pindah tempat untuk mengindarinya. Abduh sendiri
dilahirkan dalam kondisi yang penuh kecemasan ini.
Mula-mula Abduh dikirim ayahnya ke Mesjid Al-Ahmadi Tanta belakang tempat
ini menjadi pusat kebudayaan selain Al-Azhar. Namun system pengajaran di sana, ia
memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara serta
kerabatnya. Ketika kebali ke desa, ia dikawinkan. Pada saat itu ia berumur 16 tahun.
Semula ia bersikeras untuk tidak melanjutkan studinya, tetapi ia kembali belajar atas
dorongan pamannya, Syekh Darwish, yang banyak mempengaruhi kehidupan Abduh
sebelum bertemu dengan Jamalludin Al-Afghani.
Setelah menyelesaikan studinya di bawah bimbingan pamanya, Abduh
melanjutkan studi di Al-Afghani tiba di Mesir. Ketika itu Abduh masih menjadi
mahasiswa Al-Azhar menyambut kedatangnya. Ia selalu menghadiri pertemuan
pertemuan ilmiahnya dan ia puun menjadi murid kesayangan Al-Afghani. Al-Afghani
pulalah yang mendorong Abduh aktif menulis dalam bidang sosial dan politik. Artikel-
artikel pembaharuannya banyak dimuat pada surat kabar Al-Ahram dikairo.
Setelah menyelesaikan studinya di Al-Azhar pada tahun 1877 dengan gelar Alim,
Abduh mulai mengejar di Al-Azhar, di Dar Al-Ulum dan dirumahnya sendiri. Ketika Al-
Afghani diusir dari Mesir pada tahun 1879 karena dituduh mengadakan gerakan
perlawanan terhadap khedewi Taufiq, Abduh juga dituduh ikut campur di dalamnya. Ia
dibuang keluar dari kota Kairo. Namun, pada tahun 1880, ia diperbolehkan kembali
keibukota, kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi itu memuat artikel-
artikel tentang urgenitas nasional Mesir, di samping berita-berita resmi.
Setelah revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Abduh-ketika itu
masih memimpin surat kabar Al-Waqa`i-dituduh terlibat dalam revolusi besar tersebut
sehingga pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama tia tahun
dengan memberi hak kepadanya untuk memilih tempat pengasingannya, dan Abduh
memilih Suriah. Di negeri ini, ia menetap selama setahun. Kemudian ia menyusul
gurunya, Al-Afghani, yang ketika itu ia berada di Paris. Di sana mereka menerbitkan
surat kabar Al-Urwah Al-Wustqa, yang bertujuan mendirikan Islam menentang
penjajahan Barat, khususnya Inggris. Tahun 1885, Abduh diutus oleh surat kabar tersebut
ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh Negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir.
Tahun 1899, Abduh diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi itu dipegangnya
sampai iq meningal unia tahun 1905.
4. Pemikiran-pemikiran Kalam Muhammad Abduh
b. Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh,
sebagaimana diakuinya sendiri, yaitu:
5. Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat
perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haknya salaf al-ummah
(ulama sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan yakni
memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Qur`an.
6. Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan
resmi di kantor-kantor pemerintah maupun dalam tulisan-tulisan di media
massa.
7. Kebahagiaan jiwa di akhirat terggantung pada upaya mengenal tuhann
dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraan bergantung pada sikap tidak
mengenal tuhan dan melakukan perbuatan jahat.
8. Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat
untuk kebahagian di akhirat.
Dua persolan pokok itu muncul ketika ia meratapi perkembangan umat Islam pada
masanya. Sebagaimana dijelaskan Sayyid Qutub, kondisi umat Islam saat itu dapat
digambarkan sebagai suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu
ijtihad mengabaikan peranan akal dalam memahami syari`at Allah atau meng-istinbat-kan
hokum-hukum, Karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya
yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta berdasarkan khurafat-khurafat.
Atas dasar kedua focus fikiran itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang
sangat besar kepada akal. Begitu besarnya peranan yang diberikan olehnya sehingga
Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih
tinggi kepada akal daripada Mu`taziah. Menurut Abduh, akal dapat mengetahui hal-hal
berikut ini:
1. Tuhan dan sifat-sifatnya.
2. Keberadaan hidup di akhirat.
3. Kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat
baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan
dan melakukan perbuatan jahat.
4. Kewajiban manusia mengenal Tuhan.
5. Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk
kebahagiaan Akhirat.
6. Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.

Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal di


atas, dapat diketahui pula bagaimana fungsi wahyu baginya. Baginya, wahyu adalah
penolong (al-mu`in). Kata ini ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal
manusia. Wahyu, katanya, menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan
alam akhirat, mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum
dibawanya menyempurnakan pengetahuan akal tentang tuhan dan sifat-sifatnya dan
mengetahui cara beribadah serta berterimakasih kepada Tuhan. Dengan demikian, wahyu
bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan
pengetahuan akal dan informasi.
Lebih jauh Abduh memandang bahwa menggunakan akal merupakan salah satu
dasar islam. Imam seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal. Islam,
katanya, adalah agama yang pertama kali mengikat persaudraan antara akal dan agama.
Menurutnya, kepercayaan kepada eksistensi Tuhan juga berdasarkan akal. Wahyu yang
dibawa nabi tidak mungkin bertentangan dengan akal. Kalau ternyata antara keduanya
terdapat pertentangan, menurutnya, terdapat penyimpangan dalam tataran interprestasi
sehingga diperlukan interprestasi lain yang mendorong pada penyesuaian.
c. Kebebasan Manusia dan Fatalisme
Bagi Abduh, di sampng mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai
kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia.
Kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, ia bukan manusia lagi, tetapi makhlik lain.
Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang
dilakukannya, kemudan menambil keputusan dengan kemauanya sendiri, dan selanjutnya
mewujudkan perbutannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.
Karena manusia menurut hokum alam dan sunnatullah mempunyai kebebasan
dalam menentukan kemaua da daya untuk mewujudkan kemauan, faham perbuatan yang
dipaksakan manusia atau Jabariah tidak sejalan dengan pandangan hidup Muhammad
Abduh. Manusia, menurutnya, mempunyai kemampuan berpikir dan kebebasan dalam
memilih, namun tidak memiliki kebebasan Absolut. Ia menyebut orang yang mengatakan
manusia mempunyai kebebasan mutlak sebagai orang yang angkuh.
d. Sifat-sifat Tuhan
Dalam risalah, ia menyebutkan sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai masalah
apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan atauu yang lain. Ia menjelaskan bahwa hal itu
terletak diluar kemampuan manusia. Sungguh demikian, Harun Nasution melihal bahwa
Ab duh cenderung kepada pendapat bahwa sfat termasuk esensi Tuhan walaupun tidak
secara tegas menegakkannya.
e. Kehendak Mutlak Tuhan
Karena Yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa
Tuhan tidak bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlak nya dengan
memberi kebebasan dan kesanggupan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-
perbuatanya. Kehendak mutlak Tuhan pun dibatasi oleh sunnatullah secara umum. Ia
tidak mungkin menyimpang dari sunatullah yang telah ditetapkannya. Di dalamnya
terkandung arti bahwa Tuhan dengan kemauannya sendiri telah membatasi kehendaknya
dengan sunnatullah yang diciptakan untuk mengatur ala mini.
f. Keadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar akal dan kebebasan manusia, Abduh mempunyai
kecenderungan untuk memahami dan meninjau ala mini bukan hanya dari segi kehendak
mutlak Tuhan, tetapi juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat
bahwa alam ini diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak satupun ciptaan Tuhan
yang tidak membawa manfaat bagi manusia. Adapun masalah keadilan Tuhan, ia
memandangnya bukan hanya dari segi kemahasempurnaannya, tetapi juga dari pemikiran
rasional manusia. Sifat ketidakadilan tidak dapat diberikan kepada Tuhan karena
ketidakadilan tidak sejalan dengan kesempurnaan aturan alam semesta.
g. Antropomorfisme
Karena Tuhan termasuk dalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima faam
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di
ala mini. Kata-kata wajah, tangan, duduk, dan sebagainya mesti difahami sesuai dengan
pengertian yang diberikan orang Arab kepadanya. Dengan demikian, katanya, kata al-
arsy dalam Al-Qur`an berarti kerajaan atau kekuasaan, kata al-kursy berarti pengetahuan.
h. MelihatTuhan
Muhammad Abduh tidak menelaskan pendaptnya apaah Tuhan yang bersifat
rohani itu dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya di hari perhitungan kelak. Ia
hanya menyebutkan bahwa orang yang percaya pada tanzih( keyakinan bahwa tidak ada
satu pun dari makhluk yang menyerupai Tuhan) sepakat mengatakan bahwa Tuhan tak
dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat TUuhan
dianugrahkan hanya kepada orang-orang tertentu di akhirat.
i. Perbuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sefaham
dengan Mu`tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa
yang terbaik bagi manusia.
B. Sayyid Ahmad Khan
1. Riwayat singkat Sayyid Ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi pada Tahun 1817. Menurut suatu keterangan, ia
berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW. Melalui Fatimah dan Ali.
Neneknya, Sayyid Hadi, adalah pembesar istana pada zaman Alamgir II (1754-1759). Sejak
kecil, Ahmad Khan mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan agama. Dia belajar
bahasa Arab di Persia. Ia rajin membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Ketika berusia delapan belas tahun, ia bekerja pada Serikat India Timur. Kemudian bekerja
pula sebagai haki, tetapi pada tahun 1846 ia kembali ke Delhi dan mempergunakan
kesempatan itu untuk belajar.
Di kota Delhi iniilah ia dapat melihat langsung peninggalan-peninggalan kejayaan
Islam dan bergaul dengan tokok-tokoh dan pemukaan muslim, seperti Nawab Ahmad Baksh,
Nawab Mustafa Khan, Hakim Mahmud Khan, dan Nawab Aminuddin. Semasa di Delhi, ia
mulai mengarang. Karya pertamanya adalah Asar As-Sanadid pada tahun 1855, ia pindah e
Bijnero. Di tempat ini, ia tetap mengarang buku-buku penting Islam di India. Pada tahun
1857 terjadi pemberontakan dan kekacauan politik di Delhi yang menyebabkan timbulnya
kekerasan terhadap orang India. Ketika melihat keadaan rakyat Delhi, ia sempat berpikir
untuk meninggalkan India menuju Mesir, tetapi ia sadar bahwa ia harus memperjuangkan
umat Islam India agar menjadi maju. Ia berusaha mencegah teradinya kekerasan dan banyak
menolong orang Inggris dari pembunuhan, hingga diberi gelar Sir, tetapi ia menolaknya.
Pada tahun 1861 ia mendirikan sekolah Inggris di Muradabad. Hingga akhir hayatnya ia
selalu mementingkan pendidikan umat Islam India. Pada tahun 1878 ia juga mendirikan
sekolah Moammedan Anglo Oriental Collee (MAOC) di Aligah yang merupakan karyanya
yang paling bersejarah dan berpengaruh untuk memajukan umat Islam India.
2. Pemikiran kalam Sayyid Ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan mempunyai kesamaan pemikiran dengan Muhammad Abduh di
Mesir setelah Abduh berpisah dengan Jamaluddin Al-Afghani dan kembali dari
pengasingan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ide yang dikemukakannya, terutama tentang
akal yang mendapat penghargaan tinggi dalam pandanganya. Meskipun demikian, sebagai
penganut ajaran Islam yang taat dan percaya akan kebenaran wahyu, ia berpendapat bahwa
akal bukanlah segalanya dan kekuatan akal pun terbatas.
Keyakinan kekuatan dan kebebasan akal menjadikan Khan percaya bahwa manusia
bebas untuk menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Ini berarti bahwa ia
mempunyai faham yang sama dengan faham Qadariah. Menurutnya, manusia telah
dianugerahi Tuhan berbagai macam daya, di antaranya adalah daya berpikir berupa akal, dan
daya fisik untuk merealisasikan kehendaknya. Karena kuatnya kepercyaan terhadap hukum
alam dan kerasnya mempertahankan konsep hokum alam, ia dianggap kafir oleh sebagian
umat islam. Bahkan, ketika datang ke India pada tahun 1869, Jamaluddin Al-Afghani
menerima keluhan itu. Sebagai tanggapan atas tuduhan tersebut, Jamaluddin mengarang
sebuah buku yang berjudul Ar-Radd Ad-Dahriyah (Jawaban Bagi Kaum Materialis).
Sejalan dengan faham Qadariyah yang dianutnya, ia menentang keras faham taklid.
Khan berpendapat bahwa umat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti
perkembangan zaman. Gaung peradaban Islam klasik masih melenakan mereka sehingga
tidak menyadari peradaban baru telah timbul di Barat. Peradaban baru ini timbul dengan
berdasar pada ilmu pengetahuan dan teknologi, dan inilah penyebab utama bagi kemajuan
dan kekuatan orang Barat.
Selanjutnya, Khan mengemumakakan bahwa Tuhan telah menentukan tabiat atau
nature (Sunnatullah) bagi setiap Makhluk Nya yang tetap dan tidak pernah berubah.
Menurutnya, Islam adalah agama yang paling sesuai dengan hokum alam, karena hokum
alam adalah ciptaan Tuhan dan Al-Qur`an adalah firman nya maka sudah tentu keduanya
seiring sejalan dan tidak ada pertentangan.
Sejalan dengan keyakinan tentang ketentuan akal dan hokum alam, Khan tidak mau
pemikirannya terganggu otoritas Hadis dan Fiqh. Segala sesuatu diukurnya dengan kritik
rasional. Ia pun menolak semua yang bertentangan dengan logika dan hokum alam. Ia hanya
mau mengambil Al-Qur`an sebagai pedoman bagi Islam, sedangkan yang lain hanya bersifat
membantu dan kurang begitu penting. Alasan penolakan terhadap Hadis adalah karena Hadis
berisi Moralitas sosial dari masyarakat Islam pada abad pertama atau kedua sewaktu hadis
tersebut dikumpulkan. Sedangkan hokum fiqh, menurutnya, berisi moralitas masyarakat
berikutnya sampai saat timbulnya mazhab mazhab. Ia menolak taklid dan membawa Al-
Qur`an untuk menguraikan relevansinya dengan masyarakat baru pada zaman itu.
Sebagai konsekuensi dari penolakannya terhadap taklid, Khan memandang perlu
diadakan ijtihad-ijtihad baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan
siatuasi dan kondisi masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.
Dalam pemikiran kalam ia berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan
dalam berkehendak dan berbuat. Allah menyerahkan sepenuhnya kepada manusia
apa yang dia kehendaki dan apa yang dia akan perbuat. Dalam pada itu, karena ia
memberi kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat, maka akal
dalam pandangan Sayyid Ahmad Khan mempunyai daya yang besar. Akal adalah
potensi yang telah diugrahkan Allah kepada manusia. Oleh sebab itu akal dalam
pandangan Sayyid Ahmad Khan haruslah digunakan semaksimal mungkin.

C. Muhammad Iqbal
1. Riwayat hidup Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Ia berasal dari keluarga kasta.
Brahmana Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh. Guru
pertama Iqbal adalah ayahnya sendiri kemudian ia dimasukkan ke sebuah maktab untuk
mempelajari Al-Qur`an. Seelah itu, ia dimasukkan Scottish Mission School. Di awah
bimbingan Mir Hasan, ia diplajaran agaa, bahasa Arab, dan bahasa Persia. Setelah
menyelesaikan sekolah nya di Sialkot, ia pergi ke Lahore, sebuah kota besr di india ntk
melanjutkan belajarnya di Government Colege. disini ia bertemu dengan Thomas Arnold,
seorang orientalis yang menjadi guru besar dalam bidang filsafat pada universitas
tersebut.
Pada tahuu 1905 setelah mendapat gelar M.A. di Goverment Colege .disini ia bertemu
dengan Thomas Arnol, seorang orientalis yang menjdiguru besar dalam bidang filsafat
pada univeritas tersebut. Pada tahun 1905 setelah mendapat gelar M.A. di Goverment
Colege iqbal pergi ke Inggris untuk belajar filsafat pada Universitas Cambridge. Dua
tahun kemudian ia pindah ke Munich, Jerman. Di Univeritas ini, ia memperoleh gelar Ph.
Didalam tasawuf dengan disertainnya yang berjudul The Develoment of Metaphysics in
Persia (Perkembangan Metafisika di Persia)
Iqbal tinggal di Eropa kurang lebih selama tiga tahun. Sekembalinya dari Munich, ia
menjadi advokat dan juga menjadi dosen . buku yang berjudul the reconstruction of
religius Thought in Islam adalah kumpulan dari ceramah-ceramahnya sejak tahun1982
dan merupkan kayanya terbesar dalam bidang filsafat.,,
Pada tahun 1930, iqbal memasuki bidang politik dan menjadi ketua konferensi
tahunan Liga Muslim di Allahabad, kemudian pada tahun 1931 dan tahun 1932, ia ikut
dalam Koferensi meja bundar di London yang membahas konsititusi baru bagi India. Pada
bulan Oktober tahun 1933, Ia diundang ke Afganistan untuk membicarakan pembentukan
Universitas Kabul. Pada tahun 1935, ia jatuh sakit dan bertambah parah setelah istrinya
meninggal dunia pada tahun itu pula, dan ia meninggal pada tganggal 20 April 1935.
2. Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
Dibandingkan sebagai teolog, Muhamad Iqbal Sesungguhnya lebih terkenal sebagi
seoran Filsof Eksistensialis. Oleh karena itu, agak sulit untuk menemukan pandanganya
mengenai wacana-wacana kalam klasik, seperti fungsi akal dan wahyu, perbuatan Tuhan,
perbuatan manusia, dan kewajiban-kewajiban tuhan. Itu bukan berarti bahwa ia sama sekali
tidak menyinggung Ilmu Kalam. Bahkan, ia sering menyinggung beberapa alran kalam yang
pernah muncul dalam sejarah Islam.
Sebagai seorang pembaharu, Iqbal menyadari perlunya umat Islam untuk melakukan
pembaharuan agar keluar dari kemundurannya. Kemunduran umat Islam katanya,
disebabkan kebekuan umat Islam dalam pemikiran dan ditutupnya pintu Ijtihad. Mereka,
seperti kaum konservatif, menolak kebiasaan berpikir rasional kaum mu`tazilah karena hal
tersebut dianggapnya membawa disentegrasi umat Islam dan membahayakan kestabilan
politik mereka. Hal inilah yang dianggapnya sebagai penyimpangan dari semangat Islam,
semangat dinamis dan kreatif. Islam tidak statis, tetapi dapat disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Pintu ijtihat tidak pernah tertutup karena ijtihad merupakan cirri dari
dinamika yang harus dilambangkan dalam Islam. Lebih jauh ia menegaskan bahwa syariat
pada prinsipnya tidak statis, tetapi merupakan alat untuk merespon kebutuhan individu dan
masyarakat karena islam selalu mendorong terwujudnya perkembangan.
Islam dalam pandangan Iqbal menolak konsep lama yang mengatakjan bahwa alam
bersifat statis. Islam, katanya, mempertahan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak
perubahan dalam kehidupan sosial manusia. Oleh karena itu manusia dengan kemampuan
khudinya harus menciptakan perubahan.
a. Hakikat Teologi
Secara umum dia melihat teolog sebagai ilmu yang berdemensi keimanan,
mendasarkan pada esensi tauhid (Universal dan Inklusivistik). Didalamnya
terdapat jiwa yang bergerak berupa” persamaan, kesetiakawanan dan
kebebasmerdekaan.
b. Pembuktian Tuhan
Dalam membuktikan Eksistensi Tuhan, Iqbal menolak argumen kosmologis
maupun ontologis. Ia juga menolak argumen teleologis yang berusaha
membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaannya dari sebelah luar.
c. Jati Diri Manusia
Faham dinamisme Iqbal berpengaruh besar terhadap jati diri manusia.
Penelusuran terhadap pendapatnya tentang persoalan ini dapat dilihat dari
konsepnya tentang Ego, ide central dalam pemikiran filosofisnya. Kata itu
diartikan dengan kpribadian. Manusia hidup untuk mengetahui kepribadianya.
Serta menguatkan dan mengembangkan bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yakni
melemahkan pribanya, seperti yang dilakukan oleh para sufi yang menundukan
jiwa sehingga pana dengan Allah.
d. Dosa
Iqbal secara tegas menyatakan dalam seluruh kuliahnya bahwa Al-Qur`an
menampilkan ajaran tentang kebebasn ego manusia yang bersifat kreatif. Dalam
hubungan ini, ia mengembangkan cerita tentang kejatuhan Adam (karena
memakan buah terlarang) sebagai kisah yang berisi pelajaran tentang
“kebangkitan manusia dari kondisi primitif yang dikuasai oleh hawa nafsu
naluriah kepada pemilikan kepribdian bebas yang diperolehnya secara sadar,
sehingga mampu mengatasi keseimbangan dan kecendrungan untuk
membangkang “dan “timbulnya ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk
memilih.
e. Surga dan Neraka
Surga dan neraka, kata iqbal adalah keadaan, bukan tempat. Gambaran-gambaran
tentang keduanya didalam Al-Qur`an adalah Api Allah yang menyala-nyala dan
yang membumbung keatas hati, Pernyataan yang menyakitkan mengenai
kegagalan manusia. Surge adalah kegembiraan Karena mendapatkan kemenangan
dalam mengatasi berbagai dorongan yang menuju kepada perpecaghan.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahsan diatas dapat disimpulkan bahwa, banyak pendapat
mengenai ilmu kalam modern. Diantaranya, pendapat Muhammad Abduh yaitu
mendasarkan ilmu kalam modern kepada akal seperti kaum Mu`tazilah sehingga
pemuka-pemuka kalam modern lainnya setuju dan sependapat dengnnya ia
banyak mengemukakan tentang tuhan.
Sama halnya dengan Muhammad Abduh,Sayyid Ahmad Khan juga
sependapat dengannya, tetapi tidak dengan Muhammad Iqbal berbeda pendapat
dengan keduanya karena ia menolak pemikiran tersebut. Dari ketiga tokoh ulama
ini kita dapat mengambil pelajaran dimana para ulama tersebut rela berkorban
dalam menyebar luaskan pemikiran-pemikirannya didunia islam yang mana pada
masa umat islam pada masa hidup para ulama ini sampai sekarang sudah lalai
dengan kenikmatan dunia.

Anda mungkin juga menyukai