Anda di halaman 1dari 6

Pengertian Riba

Riba secara bahasa berarti tambahan. Dalam pengertian lain bermakna


tumbuh dan membesar. Dalam istilah teknis riba berarti pengambilan tambahan
dari harta pokok atau modal secara bathil (Anthonio, 1999). Yang dimaksud bathil
disini adalah ketidakadilan yang ditimbulkan dari sebuah transaksi. Ketidakadilan
disini hadir karena tidak adnya penyeimbang (risk sharing) ketika transaksi itu
terjadi. Dalam sistem ribawi peminjam Cuma mempunya kesempatan dan faktor
waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Penyeimbang yang
hilang adalah risk sharing dimana si peminjam diwajibkan (dengan asumsi)
untuk sekaku, tidak boleh tidak, harus mutlak dan pasti untung dalam penggunaan
setiap kesempatan tersebut.1

Menurut Anthonio (2001) terdapat beberapa jenis riba. Secara garis besar riba
di kelompokkan menjadi dua bagian besar. Riba utang-pitang dan riba jual beli.
Riba utang piutang dibagi menjadi riba qrdh dan riba jahiliyah. Sedangkan riba
jual beli dibagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba Qardh: suatu manfaat
atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang
(muqtaridh)

1. Riba Jahiliyah: utang di bayar lebih dari pokoknya disebabkan si


peminjam tidak mampu membayar utangnya tepat pada waktu yang
ditetapkan.
2. Riba Fadhl: pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran
yang berbeda. Sedangkan barang yang dipertukarkan tersebut jenis barang
yang ribawi.
3. Riba Nasi’ah: penangguhan penyerahan barang atau penerimaan jenis
barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya.
Riba nasi’ah muncul akibat perbedaan perubahan dan tambahan yang
diserahkan saat ini dengan diserahkan kemudian.2

1
Jeni Susanti, Operasional Keuangan Syariah, (Malang: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi,
2015)hlm. 9
2
Ibid hlm . 10
Tabel 2: Perbedaan Antara Bungan dan Bagi Hasil (Sistem Syariah)3

BUNGA BAGI HASIL


 Penentuan bunga dibuat pada  Penentuan besarnya
waktu akad dengan asumsi rasio/nisbah dibuat pada
harus selalu untung (certain waktu akad dengan
condition) berpedoman pada
 Besarnya persentase kemungkinan untung rugi
berdasarkan pada jumlah uang (uncertain condition)
(modal) yang dipinjamkan.  Besarnya rasio bagi hasil
 Pembayaran bunga tetap tergantung pada jumlah
seperti yang dijanjikan tanpa keuntungan yang diperoleh.
pertimbangan apakah proyek  Bagi hasil bergantung pada
yang dijalankan oleh pihak keuntungan proyek yang
nasabah untung atau rugi. dijlankan. Bila merugi maka
 Jumlah pembayaran bunga kerugian akan ditanggung
tidak meningkat sekalipun oleh kedua belah pihak.
jumlah keuntungan berlipat (profit sharing risk
atau keadaan ekonomi sedang assurance)
booming.  Jumlah pembagian laba
 Eksistensi sistem bunga (profitvatau revenue)
dikecam secaran moral oleh meningkat sesuai dengan
semua agama termasuk Islam peningkatan jumlah
pendapatan.
 Tidak ada yang meragukan
keabsahan sistem bagi hasil.

Elemen-elemen Fundamental yang Dilarang dalam Keuangan Islam

Larangan Riba

3
Jeni Susanti, Operasional Keuangan Syariah, (Malang: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi,
2015)hlm. 11
Secara harfiah, riba berarti kelebihan ekspansi, kenaikan, tambahan, atau
petumbuhan. Secara teknis, riba dapat didefinisikan sebagai perolehan tidak
sah, yang diperoleh dari ketidak sertaan kuantitatif nilai-nilai yang
dipertukarkan dai dalam transaksi apapun, yang bertujuan mempengaruhi
pertukaran dua atau lebih jenis barang yang termasuk dalam genus yang sama,
serta diatur menurut sebab efisien yang sma. Penanggunahn penyelesaian
pertkaran semacam itu juga mungkin sama dengan riba, entah penangguhan
tersebut disertai atau tidak disertai kenaikan salah satu nilai kontra lawan yang
dipertukarkan.4

Oleh sebab itu, riba tidak dibatasi hanya menyangkut kenaikan didalam
transaksi peminjaman yang dikarenakan penangguhan waktu pembayaran
karena riba juga mungkin ada dalam bentuk segala ketidak tepatan kelebihan
yang melampaui syarat modal. Entah dalam perdagangan (dengan komoditas-
komoditas serupa).

Merujuk pada makna komprehensif riba, hadis yang utama adalah yang
diriwayatkan pleh ‘Ubadah bin Samit, yakni Nabi Saw. Bersabda:”emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jeli dengan jelai,
kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, serupa dengan serupa,
setara dengan setara, dan dari tangan ke tangan” jika komoditas-
komoditasnya berbeda, maka kamu boleh menjual seperti keinginanmu,
asalkan pertukaran tersebut dari tangan-ke-tangan” (Sahih al-Muslim).

Hadist ini mengindikasika dua kriteria utama yang merupakan Riba,


yang pertama adalah penangguhan waktu pertukaran, dan yang kedua, selisih
nilai-nilai kontra di dalam pertukaran dua jenis barang ribawi (komoditas-
komoditas yang terperinci di dalam hadis tersebut) yang serupa. Ini berarti
dalam rangka menghindari riba di dalam pertukaran dua komoditas serupa,
berlaku dua kaidah:

1. Pertukaran tersebut harus meruapakan transaksi kontra, jika salah satu


komoditas tertunda, maka terdapat riba al-buyu’.
4
Asraf Wajdi Dusuki, Sistem Keuangan Islam: Prinsip dan Operasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo,
2015) hlm.
2. Pertukaran tersebut harus mempunyai nilai kontra yang setara. Ini
bermaksud mengatakan bahwa, contohnya, di dalam transaksi barter, jika
para pihak ingin mempertukarkan gandum dengan gandum, maka
transaksi tersebut harus merupakan pertukaran yang setara, misalnya 2 kg
gandum dengan 2 kg gandum.

Harus disampaikan bahwa hadits ini telah secara jelas


menunjukkan bahwa Bungan masa modern adalah riba, karena melibatkan
pertukaran uang dan melanggar kedua kaidah ini, karena pinjaman ini
diberikan untuk mendapatkan “bayaran kembali ekastra” yang harus
dilunasi pada masa mendatang.

Dasar Logis Pelarang Riba

Sumber utama (Al-Qur’an dan Sunah) tidak memeberikan dasar pemikiran


mendetail atas pelarangan riba (bunga) yang menyebut bunga sebagai bagian dari
ketidakadilan. Para cendekiawaian muslim kontemporer, khususnya para
ekononom, telah memberikan beberapa dasar pemikiran bagi pelarangan ini
dengan menunjukkan secara tidak langsung konsekuensi dari eksistensi Bungan
pada masyarakat modern, atau dengan berpendapat bahwa kebijakan dan
pemahaman manusia amat berbatas jika dibandingkan dengan pengetahuan Allah
SWT. dan karena setiap usaha untuk memahami secara penuh dasar pemikiran
pelarangan riba bisa jadi tidak memberikan pemahaman yang optimal.5

Riba dan Ekonomi dan Keadilan Sosial

Salah satu dasar pemikiran utama yang paling sering di kemukakan oleh
para cendekiawaian muslim adalah keberadaan riba (bunga) dalam ekonomi
merupakan bentuk eksploitasi social dan ekonomi, yang merusak inti ajaran Islam
tentang keadilan social. Karena itu, penghapusan bunga dari system ekonomi
ditujukan untuk memberikan keadilan ekonomi, keadilan social, dan perilaku
ekonomi yang benar secara etis dan moral.6

5
Zamir Iqbal&Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 81
6
Ibid hlm. 82
Dasar pemikiran dari mengapa Al-Quran mewahyukan ayat yang tegas
melarang riba adalah karena Islam menentang setiap bentuk eksploitasi dan
mendukung system ekonomi yang bertujuan mengamankan keadilan
sosioekonomi yang luas. Karena itu, Islam mengutuk semua bentuk eksploitasi,
khususnya ketidakadilan yakni dimana pemberi pinjaman dijamin mendapatkan
pengembalin positif tanpa mempertimbangkan pembagian risiko dengan
peminjam, atau dengan kata lain peminjam menanggung semua jenis resiko.
Dengan pertimbangan bahwa kekayaan merupakan hal yang saklar. Karena itu,
apabila kekayaan tersebut diambil denan cara yang tidak pantas, maka berarti ada
ketidakadilan yang menodai kesucian manusia.

Ditambahkan pula bahwa eksistensi riba tidak sesuai dengan system nilai
Iskam, yang melarang semua bentuk penarian kekayaan yang tidak bisa di
benarkan (akl amwal an-nas bil baathil/ memakan kekayaan orang lain dengan
jalan yang bathil. Riba, yang mempresentasikan keuntungan keuangan yang tidak
setara dan karena itu tidak dibenarkan, adalah berbeda dari perdagangan, yang
menghasilkan pertukaran nilai yang setara. Dengan menghilangkan riba, tiap
pihak dalam akad mendapatkan imbalan yang adil dan setara, yang pada akhinya
akan mengarah kepada distribusi penghasilan yang setara dan kemudian kepada
system ekonomi yang lebih adil.

Tata Kelola dan Transparasi

Tata kelola Syariah dan transparasi merupakan bidang yang sangat kritis
dalam keuangan Islam, dan tidak kalah penting dari tata kelola korporasi bagi
lembaga manapun. Namun, tat kelola syariah itu khusus bagi keuangan Islam,
karena meruapakan mekanisme yang menentukan “ke-Islam-an” lembaga bisnis
Islam atau lembaga keuangan Islam manapun, serta sistemnya secara keseluruhan.
Signifikasi tata kelola Syariah terbukti via perannya memastikan adanya
keyakinan tentang industry keuangan Islam dimata public. Yang lebih penting lagi,
tata kelola syariah memastikan bahwa industry ini setiap saat sesuai dengan
keinginan dan hukum Yang Mahakuasa, dengan memastikan keabsahan produk-
produk yang ditawarkan.
Keefektifan tata kelola Syariah mensyaratkan penetapan suatu kerangka
yang jelas dan komprehensif guna meregulasi industry keuangan Islam dan
memandu pengembangannya. Yang fundamental dalam proses ini adalah
pendefinisian para aktr utamanya, yaitu para penasihat Syariah, dan berbagai
tanggung jawab mereka serta peran-peran yang perlu mereka usahakan demi
kesejahteraan seluruh sector keuangan Islam. Aspek-aspek lain tata kelola Syariah
berupa inisiatif –inisiatif pendukung yang dapat membantu meningkatkan kualitas
kinerja penasihat Syariah, seperti mandate yang sah, secretariat Syariah, dll.

Menyangkut isu transparansi, IFIs harus menuruti dan menaati persyaratan


regulasi yang sama terkait isu penyingkapan. Ini akan memastikan kelancaran
manajemen IFIs.

Anda mungkin juga menyukai