Rani Yeppo
Rani Yeppo
Menurut Anthonio (2001) terdapat beberapa jenis riba. Secara garis besar riba
di kelompokkan menjadi dua bagian besar. Riba utang-pitang dan riba jual beli.
Riba utang piutang dibagi menjadi riba qrdh dan riba jahiliyah. Sedangkan riba
jual beli dibagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba Qardh: suatu manfaat
atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang
(muqtaridh)
1
Jeni Susanti, Operasional Keuangan Syariah, (Malang: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi,
2015)hlm. 9
2
Ibid hlm . 10
Tabel 2: Perbedaan Antara Bungan dan Bagi Hasil (Sistem Syariah)3
Larangan Riba
3
Jeni Susanti, Operasional Keuangan Syariah, (Malang: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi,
2015)hlm. 11
Secara harfiah, riba berarti kelebihan ekspansi, kenaikan, tambahan, atau
petumbuhan. Secara teknis, riba dapat didefinisikan sebagai perolehan tidak
sah, yang diperoleh dari ketidak sertaan kuantitatif nilai-nilai yang
dipertukarkan dai dalam transaksi apapun, yang bertujuan mempengaruhi
pertukaran dua atau lebih jenis barang yang termasuk dalam genus yang sama,
serta diatur menurut sebab efisien yang sma. Penanggunahn penyelesaian
pertkaran semacam itu juga mungkin sama dengan riba, entah penangguhan
tersebut disertai atau tidak disertai kenaikan salah satu nilai kontra lawan yang
dipertukarkan.4
Oleh sebab itu, riba tidak dibatasi hanya menyangkut kenaikan didalam
transaksi peminjaman yang dikarenakan penangguhan waktu pembayaran
karena riba juga mungkin ada dalam bentuk segala ketidak tepatan kelebihan
yang melampaui syarat modal. Entah dalam perdagangan (dengan komoditas-
komoditas serupa).
Merujuk pada makna komprehensif riba, hadis yang utama adalah yang
diriwayatkan pleh ‘Ubadah bin Samit, yakni Nabi Saw. Bersabda:”emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jeli dengan jelai,
kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, serupa dengan serupa,
setara dengan setara, dan dari tangan ke tangan” jika komoditas-
komoditasnya berbeda, maka kamu boleh menjual seperti keinginanmu,
asalkan pertukaran tersebut dari tangan-ke-tangan” (Sahih al-Muslim).
Salah satu dasar pemikiran utama yang paling sering di kemukakan oleh
para cendekiawaian muslim adalah keberadaan riba (bunga) dalam ekonomi
merupakan bentuk eksploitasi social dan ekonomi, yang merusak inti ajaran Islam
tentang keadilan social. Karena itu, penghapusan bunga dari system ekonomi
ditujukan untuk memberikan keadilan ekonomi, keadilan social, dan perilaku
ekonomi yang benar secara etis dan moral.6
5
Zamir Iqbal&Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 81
6
Ibid hlm. 82
Dasar pemikiran dari mengapa Al-Quran mewahyukan ayat yang tegas
melarang riba adalah karena Islam menentang setiap bentuk eksploitasi dan
mendukung system ekonomi yang bertujuan mengamankan keadilan
sosioekonomi yang luas. Karena itu, Islam mengutuk semua bentuk eksploitasi,
khususnya ketidakadilan yakni dimana pemberi pinjaman dijamin mendapatkan
pengembalin positif tanpa mempertimbangkan pembagian risiko dengan
peminjam, atau dengan kata lain peminjam menanggung semua jenis resiko.
Dengan pertimbangan bahwa kekayaan merupakan hal yang saklar. Karena itu,
apabila kekayaan tersebut diambil denan cara yang tidak pantas, maka berarti ada
ketidakadilan yang menodai kesucian manusia.
Ditambahkan pula bahwa eksistensi riba tidak sesuai dengan system nilai
Iskam, yang melarang semua bentuk penarian kekayaan yang tidak bisa di
benarkan (akl amwal an-nas bil baathil/ memakan kekayaan orang lain dengan
jalan yang bathil. Riba, yang mempresentasikan keuntungan keuangan yang tidak
setara dan karena itu tidak dibenarkan, adalah berbeda dari perdagangan, yang
menghasilkan pertukaran nilai yang setara. Dengan menghilangkan riba, tiap
pihak dalam akad mendapatkan imbalan yang adil dan setara, yang pada akhinya
akan mengarah kepada distribusi penghasilan yang setara dan kemudian kepada
system ekonomi yang lebih adil.
Tata kelola Syariah dan transparasi merupakan bidang yang sangat kritis
dalam keuangan Islam, dan tidak kalah penting dari tata kelola korporasi bagi
lembaga manapun. Namun, tat kelola syariah itu khusus bagi keuangan Islam,
karena meruapakan mekanisme yang menentukan “ke-Islam-an” lembaga bisnis
Islam atau lembaga keuangan Islam manapun, serta sistemnya secara keseluruhan.
Signifikasi tata kelola Syariah terbukti via perannya memastikan adanya
keyakinan tentang industry keuangan Islam dimata public. Yang lebih penting lagi,
tata kelola syariah memastikan bahwa industry ini setiap saat sesuai dengan
keinginan dan hukum Yang Mahakuasa, dengan memastikan keabsahan produk-
produk yang ditawarkan.
Keefektifan tata kelola Syariah mensyaratkan penetapan suatu kerangka
yang jelas dan komprehensif guna meregulasi industry keuangan Islam dan
memandu pengembangannya. Yang fundamental dalam proses ini adalah
pendefinisian para aktr utamanya, yaitu para penasihat Syariah, dan berbagai
tanggung jawab mereka serta peran-peran yang perlu mereka usahakan demi
kesejahteraan seluruh sector keuangan Islam. Aspek-aspek lain tata kelola Syariah
berupa inisiatif –inisiatif pendukung yang dapat membantu meningkatkan kualitas
kinerja penasihat Syariah, seperti mandate yang sah, secretariat Syariah, dll.