Bab Iv Hasil Dan Pembahasan: 4.1 Sifat Fisik
Bab Iv Hasil Dan Pembahasan: 4.1 Sifat Fisik
30
4.2 Retensi
Berdasarkan hasil pengujian dan perhitungan retensi pada sampel bambu petung
diperoleh nilai retensi untuk beberapa sampel setiap kondisi perlakuan yang berbeda
seperti pada Gambar 4.2 seperti berikut.
25
20.297
20 17.360
Retensi ( Kg/m³)
15.287
15
10.366
10
6.294
5
0
10% 15& 20% 25% 30%
Konsentrasi Filtrat Umbi Gadung
Gambar 4.1 Hubungan Retensi Dengan Filtrat Umbi Gadung Pada Berbagai
Konsentrasi
Dari Gambar 4.2 di atas dapat dilihat bahwa konsentrasi filtrat umbi gadung
berkorelasi linear dengan besarnya nilai retensi, dimana nilai retensi berbanding lurus
dengan kenaikan konsentrai bahan pengawet. Hasil menunjukkan dari konsentrasi 10%
sampai 30% nilai cenderung bertambah, ada kemungkinan jika dilanjutkan untuk
konsentrasi 35% dan seterusnya, nilai retensi akan meningkat juga, namun dapat pula
sebaliknya. Pada gambar di atas konsentari 30% mempunyai nilai retensi yang paling
besar yaitu sebesar 20,297 kg/m³ dan untuk retensi yang terendah pada konsentrasi
larutan 10% dengan nilai retensi sebesar 6,294 kg/m³. Hasil analisa menunjukkan bahwa
semakin besar konsentrasi bahan pengawet, maka semakin besar pula retensi yang
terjadi. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Martawijaya (1964) dalam
Bonifasius Sipayung (2007) yang menyatakan bahwa retensi bahan pengawet pada kayu
dan bambu pada umumnya menjadi bertambah baik jika konsentrasi bahan pengawet
diperbesar.
4.3 Penetrasi
Pada pengujian tingkat penetrasi ini digunakan metode pengamatan langsung
yang sederhana yaitu dengan membelah bambu secara horizontal dan vertikal menjadi
31
beberapa bagian bambu. Dari hasil pengujian dan pengukuran pada sampel bambu
petung didapatkan tingkat penetrasi terlihat pada Gambar 4.2 berikut.
60 54.294
48.066 50.335
50 46.231
40.059
Penetrasi (%)
40
30
20
10
0
10% 15% 20% 25% 30%
Konsentrasi Filtrat Umbi Gadung
Gambar 4.2 Hubungan Penetrasi dengan Filtrat Umbi Gadung Pada Berbagai
Konsentrasi
Dari Gambar 4.2, dapat dilihat bahwa konsentrasi filtrat umbi gadung
berkolerasi linear dengan besarnya nilai penetrasi, dimana nilai penetrasi berbanding
lurus dengan kenaikan konsentrasi bahan pengawet, hasil menunjukkan dari konsentrasi
10% sampai 30%, nilai penetrasi cenderung bertambah. Nilai penetrasi terkecil ada pada
bambu dengan konsentrasi bahan pengawet sebesar 10% dengan nilai penetrasi
40,059% dan untuk nilai penetrasi terbesar pada konsentrasi 30% dengan nilai penetrasi
sebesar 54,294%. Perbedaan penetrasi diduga terjadi karena bahan pengawet dengan
konsentrasi lebih tinggi cenderung berdifusi lebih cepat dibandingkan bahan pengawet
yang memiliki konsentrasi lebih rendah. Pergerakan bahan pengawet dalam bambu
cenderung untuk menyamakan konsentrasi senyawa biologis yang ada dalam bambu
tersebut, sehingga semakin tinggi konsentrasi bahan pengawet maka cenderung akan
menningkatkan nilai penetrasi (Susanti, 2001).
32
Dalam kasus ini, hasil positif ditunjukkan pada nilai retensi dan penetrasi bahan
pengawet dimana nilai retensi dan penetrasi cenderung bertambah seiring dengan
kenaikan konsentrasi filtrat umbi gadung. Nilai retensi dan penetrasi bahan pengawet
yang maasuk ke dalam bambu sudah cukup tinggi walaupun dengan konsentrasi yang
cukup besar yaitu 30%. Pada konsentrasi 30% tidak terjadi penggumpalan yang sangat
besar, sehingga filtrat umbi gadung dapat masuk dan meresap ke dalam bambu. Ada
kemungkinan jika konsentrasi filtrat umbi gadung diperbesar akan terjadi
penggumpalan bahan pengawet yang dapat mengurangi nilai retensi dan penetrasi.
Untuk mengetahui efek dari bahan pengawet fitrat umbi gadung dilakukan
pengujian efektifitas bahan pengawet. Pada pengujian ini, bambu dimasukkan ke dalam
tiap-tiap wadah pengumpanan yang berisi rayap kayu kering. Dalam tiap-tiap wadah
hanya dimasukkan bambu yang telah diawetkan dengan berbagai variasi konsenrasi
bahan pengawet. Untuk mengetahui hasil pengujian daya tahan bambu dapat dilihat
pada Tabel 4.2 berikut.
Pada Tabel 4.2 di atas menunjukkan hasil pengujian keawetan bambu, dimana
tanda rumput yang ada pada kolom minggu menunjukkan pada minggu keberapa rayap
mulai mati. Variasi konsentrasi 10% sudah sangat ampuh untuk membunuh rayap,
dimana pada minggu pertama rayap sudah mulai mati. Sama halnya dengan konsentrasi
30% , rayap mati pada minggu pertama.
33
Pengujian selanjutnya adalah moralitas rayap, yaitu berapa rayap yang mati
selama masa pengumpanan selama 2 bulan. Hasil pengamatan moralitas rayap dapat
dlihat pada Tabel 4.3 berikut.
Dari hasil pengamatan dapat dilihat moralitas rayap dengan konsentrasi 10% dan
30% memiliki tingkat persentase moralitas serangga rayap kayu kering yang sama yaitu
sebesar 100%. Untuk konsentrasi 0% menunjukan persentase moralitas rayap sebesar
0% dimana rayap-rayap yang diumpankan pada bambu tidak mengalami kematian.
Dalam kasus ini diduga rayap mati karena keracunan memakan bambu yang telah diberi
filtart umbi gadung. Selain itu ada kemungkinan lain yaitu rayap tidak memakan bambu
karena rasa manis dari pati bambu telah berubah sehingga rayap mati karena tidak ada
makanan lain. Dengan demikian konsentrasi filtrat umbi gadung 10% saja sudah cukup
efektif dalam menambah daya tahan bambu petung terhadap rayap kayu kering.
34
Tabel 4.4 Kehilangan Berat Sampel Setelah Diumpan Selama 2
Bulan
Kehilangan
No Konsentrasi Kode Sampel Rata-Rata
Berat (%)
KB0-1 14.679
1 0% 13.420
KB0-2 12.161
KB10-1 14.632
2 10% 10.938
KB10-2 7.244
KB15-1 11.285
3 15% 9.384
KB15-2 7.483
KB20-1 10.805
4 20% 8.999
KB20-2 7.192
KB25-1 9.924
5 25% 8.208
KB25-2 6.492
KB30-1 11.180
6 30% 7.937
KB30-2 4.695
Dari hasil pengujian terlihat bahwa semakin besar konsentrasi filtrat umbi
gadung maka semakin baik pula efektifitas bahan pengawet dalam menambah daya
tahan bambu. Kehilangan berat terjadi karena rayap kayu kering memakan benda uji
walaupun pada pengujian moralitas rayap minggu pertama saja rayap sudah mulai mati.
Kehilangan berat terbesar ditunjukkan oleh sampel bambu tanpa perlakuan yatu sebesar
13,420%. Terlihat bahwa bambu dengan konsentrasi 30% menunjukkan hasil yang
paling baik diantara konsentrasi yang lain dengan rata-rata kehilangan berat sebesar
7,937%. Berdasarkan hasil pegujian menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi
bahan pengawet maka cenderung meningatkan daya tahan bambu tersebut. Hal ini
diduga terjadi karena bambu yang telah diawetkan dengan filtrat umbi gadung membuat
rayap menjadi kehilangan nafsu makan karena rasa pati bambu yang telah berubah,
sehingga rayap mati karena tidak ada makanan lain. Selain itu diduga pula rayap yang
telah memakan bambu mengalami keracunan sehingga lama-kelamaan menjadi mati.
35
4.5.1 Kuat tekan bambu
Pengujian kuat tekan bambu dilakukan dengan menggunakan mesin uji tekan
(Compression Testing Machine). Hasil yang digunakan dalam menentukan kekuatan
tekan bambu adalah hasil pembacaan pada saat bambu runtuh atau mengalami
kegagalan yang tertera pada alat uji tekan dengan satuan kN. Kemudian data tersebut
dikonversikan ke dalam satuan Newton (N), dan akan diperoleh hasil kuat tekan bambu.
Pengujian kuat tekan bambu petung dibedakan menjadi dua macam, yaitu
pengujian kuat tekan pada bambu tanpa nodia (tanpa buku) dan bambu bernodia
(dengan buku). Masing-masing pengujian memakai spesimen yang berasal dari bagian
pangkal, tengah, dan ujung bambu. Hasil dari pengujian kuat tekan bambu petung dapat
dilihat pada Tabel 4.5.
32.309 30.730
30.001 28.495
30
20
10
0
Pangkal Tengah Ujung
Bagian Bambu
Dari Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa untuk bambu tanpa nodia yang telah
diawetkan memiliki kuat tekan rata-rata lebih tinggi dari bambu yang tidak diawetkan.
Untuk bambu yang tidak diawetkan kuat tekan rata-ratanya adalah 36,958 N/mm² pada
36
bagian pangkal bambu, 30,001 N/mm² pada bagian tengah bambu, dan 28,495 N/mm²
pada bagian ujung bambu. Sedangkan untuk bambu yang diawetkan kuat tekan rata-
ratanya adalah 39,711 N/mm² pada bagian pangkal bambu, 32,309 N/mm² pada bagian
tengah bambu, dan 30,730 N/mm² pada bagian ujung bambu. Dapat dinyatakan bahwa
kuat tekan bambu petung tanpa nodia semakin menurun dari bagian pangkal menuju ke
bagian ujung, yaitu sebesar 22,90% untuk bambu yang tidak diawetkan, dan 22,62%
untuk bambu yang diawetkan.
Kuat tekan rata-rata bambu petung tanpa nodia pada bagian pangkal bambu
dapat meningkat sebesar 7,45% setelah diawetkan dengan filtrat umbi gadung. Pada
bagian tengah bambu juga mengalami peningkatan sebesar 7,69% setelah diawetkan
dengan filtrat umbi gadung. Sedangkan untuk bagian ujung bambu juga mengalami
peningkatan setelah diawetkan dengan filtrat umbi gadung, yaitu sebesar 7,84%.
Variasi di sepanjang batang bambu menunjukkan bahwa kuat tekan rata-rata
tertinggi untuk bambu petung tanpa nodia terdapat pada bagian pangkal bambu, yaitu
sebesar 36,958 N/mm² untuk bambu yang tidak diawetkan, dan 39,711 N/mm² untuk
bambu yang diawetkan. Hal ini berbanding terbalik dengan hasil penelitian Morisco
(1999) yang menunjukkan bahwa kuat tekan bambu petung yang paling kuat berada
pada bagian ujungnya. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh faktor kelembaban suhu
bambu itu sendiri yang dimana mungkin terjadi perbedaan waktu penebangan bambu.
37
Tidak Diawetkan
40 37.352 38.531 Diawetkan
20
10
0
Pangkal Tengah Ujung
Bagian Bambu
Kuat tekan rata-rata bambu petung dengan nodia pada bagian pangkal
mengalami peningkatan sebesar 3,16% setelah diawetkan dengan filtrat umbi gadung.
Pada bagian tengah bambu petung juga mengalami peningkatan setelah diawetkan
dengan filtrat umbi gadung, yaitu sebesar 12,73%. Pada bagian ujung bambu sebesar
11,63%.
Variasi di sepanjang batang bambu juga menunjukkan bahwa kuat tekan rata-
rata tertinggi untuk bambu petung dengan nodia terdapat pada bagian pangkal bambu,
yaitu sebesar 37,352 N/mm² untuk bambu yang tidak diawetkan, dan 38,531 N/mm²
untuk bambu yang sudah diawetkan. Sama halnya dengan bambu tanpa nodia, bambu
yang bernodia juga berbanding terbalik dengan hasil penelitian Gunawan (2014) yang
menunjukkan bahwa kuat tekan bambu petung yang paling kuat berada pada bagian
ujungnya. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh faktor kelembaban suhu bambu itu sendiri
yang dimana mungkin terjadi perbedaan waktu penebangan bambu.
Kuat tekan bambu petung tanpa nodia disetiap bagian lebih besar jika
dibandingkan dengan kuat tekan bambu petung dengan nodia. Hal ini disebabkan oleh
nodia itu sendiri, bambu dengan nodia akan memilki serat-serat bambu yang berbelok
pada bagian nodianya, sehingga serat-serat bambu yang ada pada bagian atas nodia
tidak langsung menyambung dengan serat-serat bambu pada bagian bawah nodia.
Sedangkan pada bambu tanpa nodia memiliki serat yang lurus dan menyambung.
38
4.5.2 Kuat tarik bambu
Pengujian kuat tarik bambu petung menggunakan spesimen yang berasal dari
bagian pangkal, tengah, dan ujung bambu. pengujian ini dibedakan berdasarkan
pengujian terhadap bambu tanpa nodia dan dengan nodia. Pengujian ini dilakukan untuk
mengetahui pengaruh pengawetan bambu petung dengan filtrat umbi gadung terhadap
kuat tariknya. Alat yang digunakan dalam pengujian kuat tarik bambu ini adalah
Universal Testing Machine (UTM) merk Controls dengan kapasitas maksimum 300 KN,
yang bekerja secara computerize. Hasil pengujian kuat tarik bambu dapat dilihat pada
Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Kuat tarik rata-rata bambu petung
Kuat Tarik Rata-rata (N/mm²)
Tanpa Nodia Dengan Nodia
Bagian Bambu
Tidak Tidak
Diawetkan Diawetkan
Diawetkan Diawetkan
Pangkal 131,761 137,263 67,188 51,801
Tengah 117.557 106,771 58,773 36,404
Ujung 99,013 134,251 37,581 40,509
Tidak Diawetkan
160 Diawetkan
131.761137.263 134.251
Kuat Tarik (N/mm²)
117.557
120 106.771
99.013
80
40
0
Pangkal Tengah Ujung
Bagian Bambu
39
bambu, dan 99,013 N/mm² pada bagian ujung bambu. Sedangkan untuk bambu yang
diawetkan kuat tarik rata-ratanya adalah 137,263 N/mm² pada bagian pangkal bambu,
106,771 N/mm² pada bagian tengah bambu, dan 134,251 N/mm² pada bagian ujung
bambu.
Kuat tarik bambu petung tanpa nodia mengalami penurunan sebesar 9,18%
setelah diawetkan dengan filtrat umbi gadung pada bagian tengah bambu. Hal positif
justru terlihat pada bagian pangkal dan ujung bambu, kuat tarik bambu petung pada
bagian ini mengalami peningkatan masing-masing sebesar 4,18% dan 35,59%. Dapat
dinyatakan juga bahwa kuat tarik bambu petung tanpa nodia yang tidak diawetkan
mengalami penurunan dari bagian pangkal ke bagian ujung bambu, sedangkan untuk
bambu yang diawetkan mengalami penurunan dari bagian pangkal bambu hingga bagian
tengah bambu, namun mengalami peningkatan dari bagian tengah bambu ke bagian
ujung bambu.
Variasi disepanjang bagian batang bambu petung tanpa nodia menunjukkan
bahwa bambu yang tidak diawetkan memiliki kuat tarik tertinggi pada bagian
pangkalnya, yaitu sebesar 131,761 N/mm². Sedangkan untuk bambu petung yang sudah
diawetkan dengan filtrat umbi gadung memiliki kuat tarik tertinggi pada bagian
pangkalnya juga, yaitu sebesar 137,263 N/mm².
Dari Gambar 4.6 dapat dilihat bahwa kuat tarik terendah bambu petung tanpa
nodia ada pada bagian ujung bambu. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya
perbedaan ukuran serat bambu, semakin ke ujung maka serat bambu akan semakin
kecil. Ini tentu berpengaruh pada kekuat tarik bambu, semakin kecil serat bambu maka
semakin kecil pula kuat tariknya, begitu pula sebaliknya.
40
4.5.2.2 Bagian dengan nodia
Tidak Diawetkan
80 Diawetkan
67.188
Kuat Tarik (N/mm²)
58.773
60 51.801
36.404 37.58140.509
40
20
0
Pangkal Tengah Ujung
Bagian Bambu
41
pangkalnya, yaitu sebesar 67,188 N/mm². Sedangkan untuk bambu petung yang sudah
diawetkan dengan filtrat umbi gadung memiliki kuat tarik tertinggi pada bagian
pangkalnya juga, yaitu sebesar 51,801 N/mm².
Kuat tarik bambu petung tanpa nodia lebih besar jika dibandingkan dengan kuat
tarik bambu petung dengan nodia. Hal ini disebabkan oleh nodia itu sendiri, bambu
dengan nodia akan memilki serat-serat bambu yang berbelok pada bagian nodianya,
sehingga serat-serat bambu yang ada pada bagian atas nodia tidak langsung
menyambung dengan serat-serat bambu pada bagian bawah nodia. Sedangkan pada
bambu tanpa nodia memiliki serat yang lurus dan menyambung.
42