Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

KOMPLIKASI EPILEPSI

Disusun oleh :
Dayu Dwi Deria - 1102014066

Pembimbing :
Dr. Tri Wahyu Pamungkas, Sp. S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU NEUROLOGI


RSUD ARJAWINANGUN
AGUSTUS 2018
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak
terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for
epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang
ditandai oleh adanya factor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi social yang diakibatkannya.
Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epileptik sebelumnya. Sedangkan
bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien)
akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.
Epilepsi adalah penyakit otak yang didefinisikan oleh salah satu kondisi berikut:
1. Setidaknya dua kejang tidak diprovokasi (atau refleks) terjadi> 24 jam yang berbeda.
2.Sebuah kejang tidak diprovokasi (atau refleks) dan kemungkinan terjadi kejang lebih
lanjut mirip dengan risiko kekambuhan umum (setidaknya 60%) setelah dua kejang tak
beralasan, terjadi selama 10 tahun ke depan.
3.Diagnosis sindrom epilepsy
Epilepsi dianggap dapat berakhir pada individu yang memiliki sindrom epilepsi age-
dependent tetapi sedang melewati usia yang berlaku atau mereka yang tetap bebas kejang
selama 10 tahun terakhir, tanpa obat kejang selama 5 tahun terakhir.

Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri
timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak
secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik Status epileptikus
merupakan kejang yang terjadi >30 menit atau kejang berulang tanpa disertai pemulihan
kesadaran diantara dua serangan kejang

EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis yang umum terjadi di seluruh
dunia (WHO, 2001). Insiden epilepsi di dunia masih tinggi yaitu berkisar antara 33-198 per
100.000 penduduk tiap tahunnya (WHO, 2006). Insiden epilepsi di negara maju ditemukan
sekitar 50/100.000 penduduk, sementara di negara berkembang mencapai 100/100.000
penduduk (WHO, 2001). Di Indonesia sendiri, prevalensi penderita epilepsi cukup tinggi yaitu
berkisar antara 0,5%- 2%. Jadi, apabila penduduk Indonesia berjumlah sekitar 200 juta jiwa,
maka kemungkinan penderita epilepsi sebanyak 1-4 juta jiwa. Sedangkan, insidensi epilepsi di
Indonesia berkisar antara 11-34 orang/ 100.000 penduduk (Anonim, 2006).
Epilepsi dapat terjadi pada pria maupun wanita dan pada semua umur. Sebagian besar
kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak (Purba, 2008). Insiden tertinggi terjadi pada umur
20 tahun pertama, menurun sampai umur 50 tahun, dan setelah itu meningkat lagi (Ikawati,
2011). Kajian Pinzon (2006) terhadap penelitian terdahulu menunjukkan insidensi epilepsi
pada anak-anak adalah tinggi dan memang merupakan penyakit neurologis utama pada
kelompok usia tersebut, bahkan dari tahun ke tahun ditemukan bahwa prevalensi epilepsi pada
anak-anak cenderung meningkat.
ETIOLOGI
Etiologi Epilepsi kemungkinan disebabkan oleh:
A. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak
B. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma otak pada
saat lahir atau cedera lain
C. Pada bayi → Penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir, trauma
intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi congenital pada otak, atau
infeksi
D. Pada anak-anak dan remaja → mayoritas adalah epilepsy idiopatik, pada umur 5-6 tahun
→ disebabkan karena febril
E. Pada usia dewasa → penyebab lebih bervariasi → idiopatik, karena birth trauma, cedera
kepala, tumor otak (usia 30-50 th), penyakit serebro vaskuler (> 50 th)

Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :


1. Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ±50% dari penderita epilepsi
anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetic, awitan biasanya pada usia
>3tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan alat-alat diagnostic yang
canggih kelompok ini semakin sedikit.
2. Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf pusat.
Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolic,
malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik serta kelainan neurodegenerative.
3. Epilepsy kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsy mioklonik.

Dilihat dari penyebabnya, sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya
(epilepsi idiopatik) dan 30% yang diketahui sebabnya (epilepsi simptomatik) (Perdossi, 2003).
Epilepsi dapat disebabkan oleh abnormalitas aktivitas syaraf akibat proses patologis yang
mempengaruhi otak, gangguan biokimia atau metabolik, dan lesi mikroskopik di otak akibat
trauma pada saat lahir, atau cedera lain (Ikawati, 2011).
Pada bayi, penyebab paling sering yaitu asfiksi atau hipoksia waktu lahir, gangguan
metabolik, trauma intrakranial waktu lahir, malformasi kongenital otak, atau infeksi. Penyebab
epilepsi pada usia 5-6 tahun umumnya karena febril/ demam tinggi. Sedangkan pada anak-anak
dan usia remaja kebanyakan berupa epilepsi idiopatik, yang tidak diketahui penyebabnya
(Ikawati, 2011). Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4%
anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya
epilepsi menjadi 20% - 30% (Gram dan Dam, 1995). Dan untuk usia dewasa, penyebab epilepsi
lebih variatif antara lain idiopatik, karena birth trauma, cedera kepala, tumor otak (usia 30-50
tahun), dan faktor risiko penyakit serebro vaskuler (> 50 tahun) (Ikawati, 2011).
Menurut Harsono (1999) dari penyebabnya epilepsi ada 2 golongan yaitu:
1.) Epilepsi primer (idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya. Pada epilepsi primer tidak
ditemukan adanya kelainan anatomik seperti trauma maupun neoplasma yang menimbulkan
kejang. Ada dugaan bahwa terjadi kelainan pada gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam
sel syaraf di area jaringan otak yang abnormal. Kejang yang terjadi dapat ditimbulkan karena
abnormalitas susunan syaraf pusat.
2.) Epilepsi sekunder
Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah sekunder atau akibat dari
adanya kelainan pada jaringan otak. Jadi pada epilepsi sekunder penyebabnya diketahui.
Kelainan jaringan otak dapat dikarenakan bawaan sejak lahir atau adanya jaringan parut
sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak. Gangguan
ini bersifat reversible, misalnya tumor, trauma, luka kepala, meningitis, dan lainnya. Obat
antiepilepsi diberikan hingga penyakit primer dapat disembuhkan.
Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut:
a.) Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin, seperti ibu pada saat hamil
menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin,minum alkohol, mengalami
infeksi, atau mengalami cedera.
b.) Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti hipoksia atau kerusakan karena
tindakan.
c.) Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan.
d.) Penyakit keturunan seperti Fenil Keto Uria (FKU), sklerosis tube rose, dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang yang berulang.
e.) Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
f.) Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak.
g.) Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
h.) Tumor otak.

KLASIFIKASI
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan klasifikasi
sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe bangkitan
(umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia dan situasi yang
berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi
berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.

Klasifikasi ILAE (1981) untuk tipe bangkitan epilepsi adalah :


1. Bangkitan parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik
b. Dengan gejala sensorik
c. Dengan gejala otonomik
d. Dengan gejala psikik

2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)


a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
 Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
 Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
 Dengan gangguan kesadaran saja
 Dengan automatisme

3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)
a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan berkembang
menjadi bangkitan umum

2. Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)

1) Bangkitan lena (absence) Lena (absence), sering disebut petitmal. Serangan terjadi secara
tiba-tiba, tanpa di dahului aura. Kesadaran hilangselama beberapa detik, di tandai dengan
terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan kosong, atau mata berkedip dengan cepat.
Hampir selalu pada anak-anak, mungkin menghilang waktu remaja atau diganti dengan
serangan tonik-klonik.

2) Bangkitan mioklonik Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang
singkat dan tiba-tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis atau asinkronis. Muncul akibat
adanya gerakan involuntar sekelompok otot skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya
hanya berlangsung sejenak. Biasanya tidak ada kehilangan kesadaran selama serangan.
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota
gerak yang berulang dan terjadinya cepat.

3) Bangkitan tonik Tonik, serangan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba meningkat dari
otot ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas. Berupa pergerakan tonik satu
ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai
deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Biasanya
kesadaran hilang hanya beberapa menit terjadi pada anak 1-7 tahun.

4) Bangkitan atonik/astatik Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh.
Keadaan ini bisa di menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut lemas, atau
kehilangan total dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta mendapatkan luka-luka. Biasanya
penderita akan kehilangan kekuatan otot dan terjatuh secara tiba-tiba. Bangkitan ini jarang
terjadi.

5) Bangkitan klonik, Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di sebebkan
aleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat. Keadaan ini diikuti sentakan
bilateral yang lamanya 1 menit sampai beberapa menit yang sering asimetris dan bisa
predominasi pada satu anggota tubh. Serangan ini bisa bervariasi lamanya, seringnya
dan bagian dari sentakan ini satu saat ke satu saat lain.

6) Bangkitan tonik-klonik Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis serang


klasik epilepsi serangan ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan atau pendengaran selama
beberapa saat yang diikuti oleh kehilangan kesadaran secara cepat. Secara tiba-tiba penderita
akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak kemudian diiukti oleh kekauan
tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan
relaksaki). Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya
sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara perlahan
dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya.

Bangkitan Epileptik yang Tidak Tergolongkan


Klasifikasi ILAE (1989) untuk tipe epilepsy dan sindrom epilepsi adalah :
1. Fokal / Partial (localized related)
1.1. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1.1.1. Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal (childhood
epilepsy with centrotemporal spikes)
1.1.2. Epilepsy benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital
1.1.3. Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)
1.2. Simtomatik
1.2.1. Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada anak – anak
(Kojenik ow’s Syndrome)
1.2.2. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan (kurang
tidur, alcohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsy, stimulasi fungsi
kortikal tinggi, membaca)
1.2.3. Epilepsi lobus temporal
1.2.4. Epilepsi lobus frontal
1.2.5. Epilepsi lobus parietal
1.2.6. Epilepsi lobus oksipital
1.3. Kriptogenik

2. Epilepsi Umum
2.1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1. Kejang neonatus familial benigna
2.1.2. Kejang neonatus benigna
2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.4. Epilepsi lena pada anak
2.1.5. Epilepsi lena pada remaja
2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik – klonik pada saat terjaga
2.1.8. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas
2.1.9. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik

2.2. Kriptogenik atau Simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)


2.2.1. Sindrom West (spasme infantiil dan spasme salam)
2.2.2. Sindrom Lencox – Gastaut
2.2.3. Epilepsi Mioklonik astatic
2.2.4. Epilepsi mioklonik lena

2.3. Simtomatik
2.3.1. Etiologi non spesifik
 Ensefalopati mioklonik dini
 Ensefalopati pada infantiil dini dengan burst supresi
 Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk di atas
2.3.2. Sindrom Spesifik
2.3.3. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain

3. Epilepsi dan Sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1.Bangkitan Umum dan fokal
3.1.1. Bangkitan neonatal
3.1.2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
3.1.4. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau – Kleffner)
3.1.5. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi diatas
3.2.Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

4. Sindrom Khusus
4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1. Kejang demam
4.1.2. Bangkitan kejang / status epileptikus yang timbul hanya sekali( isolated)
4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau toksis,
alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non ketotik
4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)

Klasifikasi Kejang dan Tipe Epilepsi


Berdasarkan tanda klinik dan data EEG (Electroencephalography), kejang dibagi menjadi 4
yaitu:
1.) Kejang umum (generalized seizure), yaitu kejang yang terjadi jika aktivasi terjadi pada
kedua hemisfer otak secara bersama-sama.
2.) kejang parsial/ fokal yaitu kejang yang terjadi jika aktivasi dimulai dari daerah
tertentu dari otak.
3.) Unclassified seizures yaitu semua jenis kejang yang tidak dapat diklasifikasikan
karena ketidaklengkapan data atau tidak dapat dimasukan dalam kategori klasifikasi
yang tersebut di atas (Ikawati, 2011).
4.) Status epileptikus, yaitu kejang yang terjadi terus menerus selama 5 menit atau lebih
atau kejadian kejang 2 kali atau lebih tanpa pemulihan kesadaran di antara dua kejang
tersebut. Status epileptikus merupakan kondisi darurat yang memerlukan pengobatan
secara tepat untuk meminimalkan kerusakan neurologik permanen maupun kematian
(Ikawati, 2011). Status ini mungkin bisa terjadi sebagai epilepsi pertama bagi pasien,
atau dapat dipicu oleh penghentian antikonvulsan secara tibatiba (WHO, 2002).
PATOFISIOLOGI 

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi
yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi
(inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan
hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di
antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat,
norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah
gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas
muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat,
membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh
sel akan melepas muatan listrik. 
 Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik,
dapat merubah atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah
dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan
mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak
teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara
sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah
bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi
ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga sistem-sistem
inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus
berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu
serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang
penting untuk fungsi otak.

Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000


GEJALA

Kejang parsial simplek
Seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa:
 “deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya. 

 Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan
 Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubih
tertentu. 

 Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu 

 Halusinasi

Kejang parsial (psikomotor) kompleks


 Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama.
Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu
serangan. Gejalanya meliputi:
- Gerakan seperti mencucur atau mengunyah 

- Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan 
 pakaiannya 

- Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling 
 dalam keadaan
seperti sedang bingung 

- Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang 

- Berbicara tidak jelas seperti menggumam. 


Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal)


Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik
atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya
mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura. Aura
merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa: merasa sakit perut,
baal, kunang-kunang, telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan
kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak
tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik:
terjaadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar
yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa
lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini. 

DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan
hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis
menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan obat-obatan
tertentu.
 Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
a) Pola / bentuk serangan 

b) Lama serangan 

c) Gejala sebelum, selama dan paska serangan 

d) Frekueensi serangan 

e) Faktor pencetus 

f) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang 

g) Usia saat serangan terjadinya pertama 

h) Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan 

i) Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya 

j) Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga 


2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis


Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-
anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal
gangguan pertumbuhan otak unilateral.

3. Pemeriksaan penunjang
a) Elektro ensefalografi (EEG)
 Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien
epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi EEG bukanlah gold standard untuk
diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan
fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan
adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik
atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal:
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak. 

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya
misal gelombang delta. 

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
b) Rekaman video EEG
 Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang
penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan
lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara
fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali
gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita
yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus
epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat
diperlukan pada persiapan operasi.
c.)Pemeriksaan Radiologis
 Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging
bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan
dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci.
MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk
membantu terapi pembedahan.

TERAPI
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari
serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan
sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus menerus maka
kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya
kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang
harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi
dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat
dicegah atau dikontrol dengan obatobatan sampai pasien tersebut 2 tahun bebas kejang.
Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu :
1) Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi
yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di
Indonesia adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat.
Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi
secara efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap
diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat maupun tanda-tanda
keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan
dosis terendah yang dapat mengatasi kejang.
2) Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang
menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan. Diindikasikan
terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini
merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi :
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi

3) Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat yang kurang
dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi toksisitas
dari obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak penderita epilepsi.
Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik dalam menghambat kejang masih belum
diketahui secara pasti, tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan
mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak prasekolah karena anak-
anak mendapat pengawasan yang lebih ketat dari orang tua di mana efektivitas diet
berkaitan dengan derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan yang diberikan adalah
makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak terhadap kombinasi karbohidrat dan
protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori harian diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk
pengendalian kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat antiepilepsi.

Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien. Prinsip
terapi farmakologi epilepsi yakni:
• OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat
minimal dua kali bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah
mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya. 

• Terapi dimulai dengan monoterapi 

• Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap
sampai 
 dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam
plasma 
 ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif. 

• Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat
mengontrol bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah
mencapai 
 kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-
lahan. 

• Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan
tidak 
 dapat diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila
kemungkinan kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas
pada EEG, terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala
disertai penurunan kesadaran, bangkitan pertama merupakan status epileptikus.

Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :


• Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)

+ 2+ + -
• Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na , Ca , K , dan Cl atau
aktivitas neurotransmiter.


Epilepsi yang merupakan penyakit saraf kronik kejang masih tetap merupakan problem
medik dan sosial. Masalah medic yang disebabkan oleh gangguan komunikasi neuron
bisa berdampak pada gangguan fisik dan mental dalam hal gangguan kognitif. Dilain
pihak obat-obat antiepilepsi juga bisa berefek terhadap gangguan kognitif. Oleh sebab
itu pertimbangan untuk pemberian obat yang tepat adalah penting mengingat efek obat
yang bertujua untuk menginhibisi bangkitan listrik tapi juga bisa berefek pada gangguan
memori. Levetirasetam salah satu obat antiepilepsi mempunyai keistimewaan dalam hal
ikatan dengan protein SVA2 di presinaptik. Selain itu sampai sekarang ini belum
ditemukan efek gangguan kognitif dan dapat digunakan pada penderita epilepsy yang
mengidap penyakit termasuk ansietas dan depresi. Prinsip penanggulangan bangkitan
epilepsi dengan terapi farmaka mendasar pada beberapa faktor antara lain blok kanal
natrium, kalsium, penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi
transmisi eksitatorik glutamat.6,7 Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok
inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antie- pilepsi yang dikenal sampai sekarang ini
antara lain karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium), klonazepam (Klonopin),
felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin (Lamiktal), levetirasetam
(Keppra), oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital (Luminal), fenitoin (Dilantin),
pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril), topiramat (Topamax), asam valproat
(Depakene, Convulex) (Brodie and Dichter, 1996).
Protokol penanggulangan terhadap status epilepsy dimulai dari terapi benzodiazepine
yang kemudian menyusul fenobarbital atau fenitoin. Fenitoin bekerja menginhibisi
hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok loncatan listrik.
Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai efek samping,
juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap gangguan kognitif
ringan dan sedang. Melihat banyaknya efek samping dari obat antiepilepsi maka memilih
obat secara tepat yang efektif sangat perlu mengingat bahwa epilepsi itu sendiri berefek
pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan otak. Glutamat salah satunya yang
berpotensi terhadap kerusakan neuron sebagai activator terhadap reseptor NMDA dan
reseptor alpha-amino-3-hydroxy- 5-methyl-4isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan
glutamate dengan reseptor NMDA dan AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium
masuk kedalam sel yang bisa menstimulasi kematian dari sel.

Penghentian pemberian OAE


Pada OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun bebas serangan .
Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut:
• Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau 
 keluarganya setelah minimal 2
tahun bebas bangkitan.
• Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis 
 semula, setiap bulan
dalam jangka waktu 3-6 bulan.


Komplikasi
Kejang pada Status Epileptikus dapat menyebabkan banyak komplikasi. Perubahan
otonom dan cardiac pada SE, yang dapat menjadi serius, termasuk hipertensi, takikardia,
aritmia, diaphoresis, hipertermia, dan muntah. Aritmia jantung dapat dipicu oleh asidosis laktat
dan katekolamin tinggi. Hipertermia dapat terjadi akibat kontraksi otot konvulsif yang
berlebihan serta dari efek hipotalamus. Elektrokardiogram (EKG) mungkin menunjukkan
kelainan konduksi atau pola iskemik. Disfungsi otonom dan aritmia jantung dapat menjelaskan
banyak kematian SE dan beberapa kematian mendadak yang tidak dapat dijelaskan pada pasien
epilepsi.Aliran darah dan metabolisme otak meningkat pada awal SE tetapi akhirnya menurun,
dan metabolisme yang berlebihan dari pengeluaran neuron dapat melebihi suplai oksigen dan
glukosa. Saat kejang berlanjut, autoregulasi dapat rusak dan berkontribusi pada edema serebral,
terutama pada anak-anak. Perubahan fisiologis kompensatori pada awal SE tampaknya
menurun setelah sekitar 30 menit, dengan hipotensi berikutnya, hipoksemia, hipoglikemia, dan
meningkatnya asidosis dan hiperkalemia. Hipotensi dan bradikardia dapat diperburuk lebih
lanjut oleh antikonvulsan dan obat lain. Hipotensi atau penipisan volume dapat memperumit
gangguan medis dan metabolisme atau menyebabkan stasis vena dan bahkan trombosis vena
serebral.Inhibitory reseptor GABA secara progresif semakin hilang, yang dapat membantu
menentukan periode kritis di mana SE menjadi lebih refrakter terhadap pengobatan dan lebih
berbahaya secara fisiologis.SE meminta pelepasan kortisol dan prolaktin, meskipun prolaktin
dapat menjadi lelah dan kembali ke tingkat normal pada SE yang berkepanjangan.Leukositosis
dan pleositosis cairan tulang belakang dapat terjadi, tetapi masalah ini tidak boleh dikaitkan
dengan SE sendiri sampai infeksi atau beberapa penyebab peradangan lain telah
dikeluarkan.Pneumonia aspirasi sering terjadi jika proteksi jalan napas tidak terjamin.
Kegagalan pernapasan mungkin lebih sering karena obat daripada SE itu sendiri. Edema
pulmonal juga dapat terjadi.Rhabdomyolysis dapat terjadi setelah kejang kejang berulang.
Bersama dengan hipotensi, dapat menyebabkan gagal ginjal.

1. Post ictal psychosis (PIP)


Kondisi psikosis yang terjadi dalam satu minggu setelah serangan kejang. PIP
merupakan salah satu komplikasi epilepsi yang jarang terjadi. Komplikasi epilepsi yang
berkaitan dengan psikosis (POE) antara lain, ictal psikosis, post ictal psikosis dan
interictal psikosis. Faktor resiko utama terjadinya PIP pada pasien epilepsi antara lain
lamanya epilepsi, kejang lobus temporal, epilepsi berulang, tipe kejang multiple,
politerapi, dan tingkat kepatuhan yang rendah. Faktor resiko lain post ictal psychosis
(PIP) antara lain adanya serangkaian kejang (clucter seizure), insomnia dalam 1 minggu
terutama dalam 1-3 hari, epilepsi dengan durasi > 10 tahun, generalized tonic-clonic
seizures atau complex partial secondarily generalized, riwayat PIP sebelumnya,riwayat
rawat inap karena gangguan psikiatri atau riwayat psikosis, bilateral independent
seizure foci (terutama temporal), riwayat trauma otak atau encephalitis, fungsi
intellectual rendah, dan pada pasien dengan epilepsi kronik dengan faktor resiko diatas.
Diagnosa postictal psikosis ditegakkan berdasarkan evaluasi gejala klinis
(terutama jumlah kejang), kadar plasma obat antiepilepsi (OAE) dan
electroencephalogram (EEG).6 Postictal psychosis ditandai adanya lucid interval yang
berlangsung sampai 72 jam setelah terjadi serangan kejang yang diikuti terjadinya
psikosis yang berlangsung kurang dari 1minggu setelah kejang dan jarang lebih dari 2
minggu. Psikosis adalah gangguan psikiatri yang ditandai adanya dilusi, halusinasi,
bicara atau berfikir yang tidak tersusun, atau sikap katatonik. PIP merupakan
komplikasi kejang yang ditandai adanya halusinasi visual dan auditorik, dilusi,
paranoia, perubahan afek dan agresif. Perbedaan PIP dengan psikosis klasik adalah
adanya riwayat kejang sebelumnya dan ada batasan waktu keluhan yang timbul.
PIP dapat sembuh sendiri selama kejang terkontrol, sehingga terapi suportif
penting,tetapi bila psikosis cukup berat maka perlu pemberian terapi farmakologi,
biasanya berespon dengan pemberian benzodiazepine atau antipsikosis atipikal dosis
rendah4. Selama MRS pasien tidak kejang dengan pemberian obat anti kejang Fenitoin
dan carbamazepin dan psikosis membaik dalam 5 hari dengan pemberian obat
antipsikotik haloperidol . Secara teori PIP bisa dicegah selama kejang terkontrol, tetapi
bila PIP berulang dapat berkembang menjadi CIP ( Chronic Interictal Psychosis). CIP
menyerupai skizofrenia atau yang juga disebut Schizophrenia like psychosis of epilepsy
(SLPE). (Kusumati, S. 2017)
2. Chronic encephalopathy and brain atrophy
Pada GCSE pada 6% hingga 15% pasien, mungkin sebagai akibat dari cedera
difus kortikal. Terdapat bukti anatomi, radiologi, dan biokimia bahwa General
convulsive Status epileptikus (GCSE) menyebabkan cedera neuronal yang identik
bahwa dari sclerosis temporal mesial (MST). Otopsi serial melaporkan nekrosis
neuronal yang khas di daerah hippocampal CA1 pada pasien yang meninggal selama
General convulsive Status epileptikus (GCSE) yang identic dengan pola kehilangan sel
pada sklerosis temporal mesial (MTS) pada pasien dengan epilepsi lobus temporalis
biasa(45). DeGiorgio dkk. (46) melaporkan secara kuantitatif bukti hilangnya sel di
daerah hippocampal CA1, CA3, dan subiculum dalam spesimen otopsi dari pasien yang
meninggal selama GCSE dibandingkan dengan kontrol yang sehat dankontrol yang
meninggal dengan hipoksia, meskipun perbedaan yang terakhir tidak signifikan secara
statistik. Beberapa seri kasus dan laporan telah mendokumentasikan atrofi hippocampal
progresif dan sclerosis.
3. Gangguan tidur
Beberapa penelitian telah mengkonfirmasi bahwa gangguan tidur umum terjadi
pada epilepsi. De Haas dkk.menunjukkan bahwa pasien dengan epilepsi parsial
memiliki prevalensi dua kali lipat gangguan tidur subjektif selama 6 bulan terakhir
sebagai kontrol (39% vs 18%) dan kehadiran gangguan tidur lebih lanjut dikaitkan
dengan memburuknya kualitas hidup melebihi yang hanya memiliki epilepsi [1]. Selain
itu, penelitian besar ini menunjukkan bahwa adanya gangguan tidur pada pasien
dengan epilepsi parsial tidak terkait secara signifikan pada jumlah obat antiepilepsi
(AED) yang diminum,menunjukkan bahwa gangguan tidur pada epilepsi parsia
lSetidaknya, sebagian, tidak terkait pada pengobatan dan mungkin berasal dari
gangguan itu sendiri. Malow dkk. [2] menggunakan Epworth sleepiness Scale (ESS)
untuk menunjukkan bahwa pasien dengan epilepsi mengalami peningkatan mengantuk
pada siang hari dibandingkan dengan kontrol (pasien tanpa epilepsi). Penelitian serupa
dilakukan secara prospektif pada anak-anak oleh Stores et al. [3] menggunakan
kuisoner tidur yang belum terstadarisasi dan Conners Revised Parent Rating Scale.
Anak-anak dengan epilepsi menunjukkan skor yang lebih tinggi untuk kualitas tidur
yang buruk, kecemasan saat tidur, dan gangguan pernafasan. Temuan serupa terlihat
dalam survei yang diberikan kepada orang tua dari 89 anak epilepsi idiopatik [4]. Anak-
anak dengan epilepsi memiliki lebih banyak masalah tidur daripada kontrol, dan ini
terkait dengan frekuensi kejang, usia, aktivitas paroksismal pada EEG, durasi penyakit,
dan masalah perilaku.
4. Depresi
banyak Komplikasi psikiatrik dari epilepsi dan MERUPAKAN hasil dari
interaksi kompleks antara endogen, genetik, terapeutik, dan faktor lingkungan.
Hubungan antara epilepsi dan gangguan kejiwaan mungkin jauh lebih dekat daripada
yang sebelumnya diketahui. Studi terbaru menunjukkan adanya hubungan dua arah
antara depresi dan epilepsi, di mana pasien dengan epilepsi memiliki risiko lebih tinggi
daripada populasi umum menderita depresi, tidak hanya setelah, tetapi juga sebelum
timbulnya epilepsi. Selanjutnya, perubahan neurotransmiter yang sama telah
diidentifikasi pada depresi dan epilepsi, menunjukkan kemungkinan bahwa kedua
gangguan ini memiliki mekanisme patogenik yang serupa. Meskipun manifestasi klinis
gangguan kejiwaan pada epilepsi sering tidak dapat dibedakan dari pasien nonepilepsi,
jenis depresi dan gangguan psikotik tertentu dapat hadir dengan karakteristik klinis
yang khusus untuk pasien epilepsi. Ini termasuk psikosis epilepsi, gangguan psikotik
postiktal, psikosis alternatif (atau normalisasi paksa), dan bentuk-bentuk tertentu
gangguan depresi interiktal.
5. Demensia
Usia adalah faktor umum untuk epilepsi dan demensia.Prevalensi demensia
diperkirakan sekitar6-8% setelah usia 65 tahun dan bisa meningkat menjadi 20–30%
pada subjek yang lebih tua dari 85 tahun di Eropa [1-3]. Meskipun Penyakit Alzheimer
(AD) adalah yang paling umum dari bentuk demensia, penyebab lainnya juga termasuk,
indescending order, penyakit vaskular, penyakit tubuh Lewy dan frontallobe demensia
[4].Kejang epilepsi adalah manifestasi klinis yang dihasilkandari pengeluaran neuron
yang abnormal dan berlebihan(International League against Epilepsy Commission
Report), yang dapat menghasilkan gejala tiba-tiba, beragam, sementara. termasuk
kesadaran yang berubah dan / atau motorik, sensorik atau psikiatri. Kejang simtomatik
baik yang tidak diprovokasi maupun akut umum terjadi pada orang tua. Insiden kejang
pertama adalah 50 / 100.000 orang yang berusia 40-59 tahun, dan meningkat ke 127 /
100.000 pada mereka yang lebih tua dari 60 tahun [6].Prevalensi terus meningkat
seiring bertambahnya usia dan diperkirakan menjadi 5 / 1.000 antara 20 dan 50 tahun,
7 / 1.000 antara 55 dan 64 tahun dan 12 / 1.000 antara 85 dan 94 tahun. 4etiologi paling
umum untuk kejang pada orang lanjut usia adalah penyakit serebrovaskular, etiologi
toksik dan metabolik, demensia dan tumor otak. Dipasien dengan demensia, kejadian
kejang adalah 5–10kali lebih besar dari yang diperkirakan pada populasi referensi.
Ditinjauan literatur, Mendez dan Lim [9] melaporkan bahwa antara 10 dan 22% pasien
AD memiliki setidaknya 1 kejang tak beralasan. Sebagian besar penelitian dalam
demensia telah retrospektif mengevaluasi prevalensi serangan epilepsi pada pasien
dengan AD yang terbukti autopsi [10-12]. Dalam sebuah penelitian dipopulasi psikiatri
yang berusia 55 tahun dengan demensia(kebanyakan menderita AD, tetapi beberapa
dengan demensia vaskular),McAreavey dkk. [13] melaporkan bahwa 9% dari pasien
pernah mengalami kejang. Insidensi tahunan epilepsi meningkat dari 110 /
100.000orang antara usia 65 dan 69 hingga lebih dari160 / 100.000 pada mereka yang
berusia lebih dari 80 tahun. pada usia 65 tahun, demensia dan neurodegeneratif lainnya
penyakit terhitung 9-17% epilepsi yang terlihat pada orang lebih tua.

6. Komplikasi kehamilan dan komplikasi persalinan


Wanita epilepsi lebih cenderung memperoleh komplikasi obstetrik adlam masa
kehamilan dari pada wanita penduduk rata-rata. Pengaruh epilepsi terhadap
kehamilan yaitu:
1. Melahirkan bayi prematur, didapat 4-11%
2. Berat badan lahir rendah, kurang dari 2500 gr, ditemukan pada 7 –
10%
3. Mikrosefali
4. Apgar skor yang rendah (Yerby, 1991)

Neonatus oleh wanita epilepsi yang hamil mengalami lebih banyak resiko karena
kesukaran yang akan dialami ketika partus berjalan. Partus prematur lebih sering terjadi
pada wanita epilepsi. Penggunaan obat anti epilepsi mengakibatkan kontraksi uterus yang
melemah, ruptur membran yang terlalu dini. Oleh karena itu maka partus wanita epilepsi
hampir selalu harus dipimpin oleh pakar obstetrik. Penggunaan firsep atau vakum sering
dilakukan dan juga seksio saesar. (dikutip dari Warta Epilepsi. 1992) Teramo dan kawan-
kawan (1985) menemukan, tak seorangpun dari 170 bangkitan umum pada 48 kehamilan
yang diikuti selama 24 jam menunjukkan komplikasi obstetrik (laidlaw, 1988).
Komplikasi persalinan baik untuk ibu dan bayi adalah:
 Frekuensi bangkitan meningkat 33%
 Perdarahan post partum meningkat 10%
 Bayi mempunyai resiko 3% berkembang menjadi epilepsi
 Apabila tanpa profilaksis vitamin K yang diberikan pada ibu, terdapat resiko 1)%
terjadi perdarahan perinatal pada bayi (Johnston, 1992)

Komplikasi umum dari epilepsi yang mungkin terjadi termasuk:

 Kecelakaan mobil: Kejang dapat terjadi kapan saja - bahkan saat Anda sedang di jalan. Jika
Anda mengalami kejang kronis, Anda dapat mempertimbangkan metode lain untuk
bepergian.
 Tenggelam: Mayo Clinic memperkirakan bahwa orang dengan epilepsi memiliki
kemungkinan 19 kali lebih banyak untuk tenggelam daripada orang yang tidak memiliki
kelainan. Tenggelam bisa terjadi saat berenang atau mandi.
 Tantangan emosional: Epilepsi dapat secara emosional luar biasa. Beberapa obat epilepsi
juga dapat menyebabkan efek samping yang dapat mempengaruhi kesejahteraan
emosional Anda.
 Jatuh: Anda juga dapat berisiko jatuh jika serangan kejang saat Anda berjalan atau terlibat
dalam aktivitas lain saat berdiri. Tergantung pada tingkat keparahan jatuhnya, patah
tulang dan cedera serius lainnya dapat terjadi.
 Peradangan hati: Ini disebabkan oleh obat antiseizure.
 Masalah kehamilan: Wanita hamil tidak dapat mengambil obat antiseizure karena
kemungkinan cacat lahir, namun kejang juga dapat menimbulkan bahaya bagi bayi.
 Status epilepticus: Ini adalah komplikasi serius yang diakibatkan oleh kejang berulang.
Anda mungkin memiliki kejang back-to-back yang mungkin berlangsung selama lima
menit atau lebih dalam satu waktu. Status epilepticus adalah komplikasi epilepsi yang
sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kerusakan otak permanen. Kematian juga
merupakan kemungkinan.

Ada komplikasi lain yang mungkin, meskipun relatif jarang. Ini disebut kematian
mendadak yang tidak dapat dijelaskan dalam epilepsi (SUDEP). Menurut Mayo Clinic, ini
terjadi pada 1 persen kasus epilepsi. Meskipun penyebab pasti SUDEP tidak sepenuhnya
dipahami, diperkirakan bahwa jantung atau masalah pernapasan yang tiba-tiba dapat
berkontribusi. Risiko SUDEP lebih tinggi jika epilepsi tidak diobati.Masa kanak-kanak adalah
salah satu tahap kehidupan yang paling umum ketika orang mengembangkan epilepsi. Namun,
anak-anak tidak rentan terhadap beberapa komplikasi yang sama dibandingkan dengan orang
dewasa. Beberapa anak mungkin dapat mengatasi gangguan saat mereka bertambah tua.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In : Kapita


Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2005. p119-127.
2. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder, Pediatric Neurology:
st
Essentials for General Practice. 1 ed. 2007 

3. Kusumawati1,S and Zakiyah, R. Post ictal psikosis berulang pada penderita
epilepsy. 2017. In: JIMR - Journal of Islamic Medicine Research. Pages: 96 – 102.
2017.
4. Octaviana F. Epilepsi. In: Medicinus Scientific Journal of pharmaceutical
development and medical application. Vol.21 Nov-Des 2008. p.121-2. 

5. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and Therapy in
nd
Children and Adults.2 ed. America: Blackwell Publishing Ltd. 2005 

6. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed:
6. Jakarta: EGC 

th
7. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6 ed. New York: McGraw-Hill. 

th
8. Wilkinson I. Essential neurology. 4 ed. USA: Blackwell Publishing. 2005 

9. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008 

10. Jan Sudir Purba Epilepsi :permasalahan di reseptor atau neotransmiter.Departemen
Neurologi/RSCM, FK UI Jakarta 

11. Gilman,Godman. Dasar farmakologi terapi. edisi 10 jilid 1. EGC : Jakarta .
2008
12. Fountain, Nathan B. 2000. Status Epilepticus: Risk Factors and Complications.
Epilepsia, Vol. 41, Suppl. 2, 2000.
13. Holmes, G. L. (1991). The long-term effects of seizures on the developing brain:
Clinical and laboratory issues. Brain and Development, 13(6), 393–409.
14. Bazil, C. W. (2003). Epilepsy and sleep disturbance. Epilepsy & Behavior, 4, 39–
45.
15. Drislane, Frank W. Complications of Status Epilepticus. 2004. (sumber:
https://www.epilepsy.com/learn/professionals/resource-
library/tables/complications-status-epilepticus diakses pada tanggal 27
November 2018)
16. Andres M. Kanner. 2002. Neuropsychiatric complications of epilepsy. July 2002,
Volume 2, Issue 4, pp 365–372.
17. Hommet, C., Mondon, K., Camus, V., De Toffol, B., & Constans, T. (2008).
Epilepsy and Dementia in the Elderly. Dementia and Geriatric Cognitive Disorders,
25(4), 293–300.

Anda mungkin juga menyukai