Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

SPACE OCCUPYING LESION

Oleh :
Dayu Dwi Deria
1102014066

Penguji :
dr. M. Tri Wahyu Pamungkas, M.Kes. Sp.S

ILMU KEPANITRAAN SYARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD ARJAWINANGUN
2018
LAPORAN KASUS

A. STATUS PASIEN

 Identitas
 Nama : Tn. S
 Usia : 34 tahun 2 bulan ( 06/11/1984)
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Alamat : Desa Kalianyar, Panguragan
 Pekerjaan :-
 Pendidikan : SMA
 Agama : Islam

 Masuk Rumah sakit : 18 November 2018


 Waktu Pemeriksaan : 19 November 2018

B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama
Kejang sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

2. Riwayat Penyakit Sekarang (autoanamnesis)


Tn. S Datang ke IGD Rumah Sakit Arjawinangun, diantar oleh keluarganya
dengan keluhan utama kejang. Kejang dimulai sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit dan dirasakan semakin sering dan tidak membaik beberapa jam sebelum
masuk Rumah Sakit. Selama dirumah kejang terjadi beurlang sebanyak kurang
lebih 6 kali , dan durasi kejang kurang lebih 5 menit setiap kejangnya, kemudian
dibawa ke RSUD Arjawinangun. Pasien mengatakan setiap kejang diawali dengan
kaku atau baal tangan sebelah kiri, lalu kejang tangan sebelah kiri kemudian diikuti
kejang seluruh tubuh. Menurut pengakuan keluarga, saat pasien kejang terlihat pada
seluruh tubuh dan pasien kembali sadar setiap setelah serangan kejang hilang. Tidak
terdapat keluhan sakit kepala, mual, muntah, pandangan kabur, kelemahan salah

2
satu bagian tubuh, dan demam. Sebelumnya pasien hanya melakukan rutinitas biasa
dirumah dan sudah tidak bekerja atau melakukan aktivitas berat sejak kurang lebih
3 tahun yang lalu. Keluhan kejang berulang seperti ini sudah sering terjadi pada
pasien semenjak dilakukan operasi pada bagian otak sebelah kanan pasien. Pasien
memiliki riwayat operasi pada bagian kepala sebanyak 2 x, pertama pada mei tahun
2015, kedua pada agustus tahun 2015 dan pasien menyebutkan bahwa indikasi
operasi adalah adanya penyempitan aliran di otak, tapi tidak mengetahui nama
penyakitnya apa. Pasien mengaku sebelum operasi pertama terdapat gejala
kelemahan pada kaki sebelah kiri dan muntah beberapa kali. Keluarga pasien
mengatakan terdapat riwayat kejang demam saat pasien berumur 1 tahun. Pasien
dapat melakukan aktivitas biasa apabila dalam keadaan tidak kejang.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
 Riwayat Hipertensi disangkal
 Riwayat DM disangkal
 Riwayat Kolesterol tinggi disangkal
 Riwayat trauma disangkal
 Riwayat penyakit Jantung disangkal
 Riwayat penyakit paru disangkal
 Riwayat asam urat disangkal.
 Riwayat kejang demam pada umur 1 tahun

4. Riwayat Penyakit Keluarga


 Dikeluarga tidak ada yang memiliki riwayat penyakit serupa.
 Ayah pasien memiliki riwayat hipertensi. Riwayat DM tipe II, penyakit
jantung, dan paru disangkal. Ayah pasien meninggal karena riwayat
stroke.
 Ibu pasien tidak memiliki riwayat hipertensi. Riwayat DM tipe II,
penyakit jantung, dan paru disangkal.

C. PEMERIKSAAN FISIK
( Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 19 November 2018, pukul 08.30)

3
 Keadaan Umum : Sakit Sedang
 Kesadaran : GCS 15 (E4M6V5)

 Tanda Vital
 Tekanan Darah : 110/70 mmHg
 Nadi : 85 x/menit
 Pernafasan : 20 x/menit
 Suhu : 37,50C
 Saturasi O2 : 97 % tanpa oksigen.

1. Status generalis
 Kepala
 Bentuk : normosefal, simetris.
 Fraktur : (-)
 Nyeri tekan : (-)
 Hematom : (-)
 Terdapat deformitas bentuk kepala pada bagian frontal
 Mata
 Konjuntiva anaemis (-/-)
 Sklera ikterik (-/-)
 Ptosis -/-
 Pupil isokor, bulat, reflex cahaya langsung +/+, reflex cahaya tidak
langsung +/+
 Leher
 Benjolan (-)
 Pembesaran KGB (-)
 Kaku kuduk (-)
 Thoraks
 Paru
Inspeksi : Dada tampak simetris pada thoraks dextra dan sinistra,
tidak terlihat retraksi intercosta

4
Palpasi : Gerakan dinding dada teraba simetris pada thoraks dextra
dan sinistra, fremitus taktil dan vokal teraba simetris pada
thoraks dextra dan sinistra
Perkusi : sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Wheezing (-/-), Rhonki (-/-), vs (+/+)
 Jantung
Inpeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Batas jantung : dalam batas normal
Auskultasi : S1/S2 normal, thrill (-), gallop (-), murmur (-)
 Abdomen
 Inpeksi :
 Bentuk datar
 Massa (-)
 Palpasi :
 Hepar tidak teraba
 Lien tak teraba
 Nyeri tekan epigastrium (-)
 Nyeri tekan abdomen (-)
 Perkusi : Timpani di seluruh abdomen
 Auskultasi : Peristaltik usus normal
 Ekstremitas atas dan bawah
 Edema (-)
 Sianosis (-)
 Hangat
1. Status Neurologicus
a. Kesadaran
Kompos mentis, GCS (E4V5M6)
b. Pupil
Kanan Kiri

Bentuk Bulat Bulat

5
Diameter 3 mm 3 mm

Refleks cahaya langsung + +

Refleks cahaya tak langsung + +

c. Tanda Rangsang Meningeal


Kanan Kiri

Kaku kuduk -

Brudzinski I - -

Laseque <70° <70°

Kernig <135° <135°

Brudzinski II - -

d. Pemeriksaan Saraf Kranialis


Pemeriksaan Saraf Kranialis Kanan Kiri
Olfaktorius (I)
 jeruk Dalam batas normal Dalam batas normal
 kopi Dalam batas normal Dalam batas normal
Optikus (II)
 Tajam penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Lapang pandang Dalam batas normal Dalam batas normal
 Melihat warna Dalam batas normal Dalam batas normal
Okulomotorius (III)
 Pergerakan mata kearah (+) (+)
superior, medial, inferior, torsi
inferior
 Ptosis (-) (-)
 Refleks cahaya langsung (-) (-)
 Refleks cahaya tidak langsung (-) (-)
 Bentuk pupil Bulat, isokor Bulat, isokor
 Ukuran ± 3 mm ± 3 mm

6
Troklearis (IV)
 Pergerakan mata torsi superior (+) (+)
Trigeminus (V)
 Membuka mulut Dalam batas normal
 Mengunyah Dalam batas normal
 Menggigit Dalam batas normal
 Reflex kornea Tidak dilakukan
 Sensibilitas muka Dalam batas normal Dalam batas normal

Abdusens (VI)
 Pergerakan mata ke lateral (+) (+)
Fasialis (VII)
 Mengerutkan dahi (+) (-)
 Menutup mata (+) (+)
 Memperlihatkan gigi Simetris
 Tersenyum Simetris
 Perasa lidah (subyektif) baik
Vestibulokoklearis (VIII)
 Fungsi pendengaran (Subjektif) baik baik
 Detik arloji baik baik
 Suara berbisik (subjektif) baik baik
Glossofaringeus (IX)
 Perasa lidah - bagian belakang ( Dalam batas normal
subjektif)
 uvula ditengah
Vagus (X)
 Bicara (+)
 Menelan (+)
Assesorius (XI)
 Mengangkat bahu (+) (+)
 Menolehkan kepala (+) (+)
Hipoglossus (XII)

7
 Menjulurkan lidah Dalam batas normal
 Atrofi papil (-)

e. Ekstremitas
Kanan Kiri

Kekuatan otot
 Ekstremitas atas 5555 5555
 Ekstremitas bawah 5555 5555

Refleks fisiologis
 Biceps ++ +
 Triceps ++ +
 Patella ++ ++
 Achilles ++ ++

Refleks patologis
 Hoffman - -
 Tromner - -
 Babinski - -
 Chaddok - -
 Oppenheim - -
 Gordon - -
 Gorda - -

f. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium

LAB RESULT UNIT NORMAL

DARAH LENGKAP

Hb 16,1 (H) g/dl 11,7-15,5

Ht 47.3 (H) % 35-47

Leukosit 19400 (H) 10^3/uL 3,6-11

8
Eritrosit 5.500.000 ( mm3 3,8-5,2
H)
Trombosit 225.000 10^3/ 150.0-440.0

INDEKS ERITROSIT

MCV 81.8 Fl 80-100

MCH 30 Pg 26-34

MCHC 32.3 g/dl 32-36

RDW 14,6 % 11.5-14.5

MPV 9.6 fL 7,0-11,0

HITUNG JENIS

Eosinofil 3.7 % 2-4

Basofil 2 % 0-1

Limfosit 4.3% (L) % 25-40

Monosit 6.1 % 2-8

Neutrofil segmen 90.8 % (H) % 28-78

KIMIA KLINIK

Glukosa 120 mg/dl 75-140


Sewaktu

CT Scan
Kesan :
 Suggestive encephalomalacia cyst di frontal lobe kanan disertai ex vacuo
dilating anterior horn ventrikel lateral ipsilateral sqa.
 Defect frontal bone kanan

D. RESUME
Subyektif
 Pasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun diantar oleh keluarga pada

9
tanggal 03 Me18 Novemberi 2018 pukul 18.00 dengan keluhan kejang
sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Kejang berulang selama dirumah
sebanyak kurang lebih 6x/hari, durasi kurang lebih 5 menit dan setiap
setelah kejang pasien sadar kembali. Kejang diawali oleh kaku dan baal
ditangan sebelah kiri lalu kejang tangan sebelah kiri kemudian seluruh
tubuh ikut kejang.
 Keluhan kejang berulang seperti ini sudah sering terjadi pada pasien pasca
dilakukannya kraniotomi.
 Tidak terdapat keluhan lain yang menyebabkan pasien datang kerumah
sakit.
 Pasien memilik riwayat craniotomy sebanyak 2x pada 2015, yang menurut
penjelasan pasien dan keluarganya karena sumbatan aliran
diotak/hidrosefalus.

E. DIAGNOSIS
 Diagnosis Klinis : kejang parsial kompleks 1 hari sebelum masuk RS
 Diagnosis Topis : hemisfer dextra
 Diagnosis Etiologis : epilepsy sekunder et causa Space occupying lesion

F. DIAGNOSA BANDING
 Tumor otak
 Abses serebri
 Epilepsy primer

G. PENATALAKSANAAN
 RL20 tetes permenit
 Inj. Dexametason 4x2 amp.
 Ranitidin inj. 2x1 amp.
 Ceftriaxone inj. 2x1gram
 Citicolin inj. 2x500 mg
 Diazepam 5 mg prn

10
H. PROGNOSIS
 Quo ad vitam : Dubia ad bonam
 Quo ad functionam : Dubia ad malam
 Quo ad sanationam : Dubia ad malam

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

SPACE OCCUPYING LESION (SOL)

A. Definisi
Lesi desak ruang atau space occupying lesions (SOL) kranium adalah lesi
yang menempati ruang, yang biasanya ditempati oleh otak. Ini termasuk vaskular,
neoplastik, lesi inflamasi. Gambaran klinis Intra kranial space occupying lesions
(ICSOL) berhubungan dengan lokasi lesi dan perluasannya. Mekanisme yang
menyertainya menghasilkan tanda dan gejala.1) efek lokal pada jaringan serebral
yang berdekatan 2) meningkatkan tekanan intrakranial 3) kejang 4) localizing signs
yang abnormal.
Space Occupying Lession merupakan generalisasi masalah tentang adanya
lesi pada ruang Intrakranial khususnya yang mengenai otak. Banyak penyebab yang
dapat menimbulkan lesi pada otak seperti kuntusio serebri, hematoma, infark, abses
otak dan tumor intra kranial.
Space occupying lesion(SOL) merupakan lesi yang meluas atau menempati
ruang dalam otak termasuk tumor, hematoma dan abses. Karena cranium
merupakan tempat yang kaku dengan volume yang terfiksasi maka lesi-lesi ini akan
meningkatkan tekanan intrakranial.
Tekanan Intrakranial adalah tekanan dalam ruang tengkorak. Dimana ruang
tengkorak terdiri atas (2-10%), cairan serebrospinal (9-11%) dan jaringan otak (s.d
88%).
Peningkatan tekanan Intrakranial adalah suatu peningkatan diatas normal
dari tekanan cairan serebrospinal di dalam ruang subaraknoid. Normalnya tekanan
Intrakranial adalah 80-180 mm air atau 0-15 mmHg.

B. Epidemiologi

12
C. Etiologi
Penyebab peningkatan tekanan Intrakranial yaitu :
1. Space occupying lesion yang meningkatkan volume jaringan :

13
a. Kontusio serebri
Konstusio serebral merupakan cedera kepala berat, dimana otak
mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi.
Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Gejala akan muncul dan
lebih khas. Pasien terbaring kehilangan gerakan; denyut nadi lemah,
pernapasan dangkal, kulit dingin dan pucat. Sering terjadi defekasi dan
berkemih tanpa disadari. Pasien dapat diusahakan untuk bangun tetapi
segera masuk kembali ke dalam keadaan tidak sadar. Tekanan darah dan
suhu subnormal dan gambaran sama dengan syok.
Umumnya, invidu yang mengalami cedera luas mengalami fungsi
motorik abnormal, gerakan mata abnormal,dan peningkatan TIK
mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya, pasien dapat mengalami
pemulihan kesadaran komplet dan mungkin melewati tahap rangsang
serebral.
b. Hematoma
Hematoma (pengumpulan darah) yang terjadi di dalam kubah cranial
adalah akibat paling serius dari cidera kepala. Hematoma disebut
sebagai epidural, subdural atau intraserebral, bergantung pada
lokasinya. Efek utama adalah seringkali lambat sampai hematoma
tersebut cukup besar untuk menyebabkan distorsi dan herniasi otak serta
peningkatan TIK.
c. Infark
Sebuah infark serebral adalah iskemik jenis stroke karena gangguan di
pembuluh darah yang menyuplai darah ke otak. Sebuah infark otak
terjadi bila pembuluh darah yang memasok bagian dari otak tersumbat
atau kebocoran terjadi di luar dinding pembuluh. Ini kehilangan hasil
suplai darah dalam kematian yang area dari jaringan.
d. Abses
Abses otak merupakan kumpulan dari unsur-unsur infeksius dalam
jaringan otak. Ini dapat terjadi melalui invasi otak langsung dari trauma
Intrakranial atau pembedahan.; melalui penyebaran infeksi dari daerah
lain seperti sinus, telinga dan gigi (infeksi sinus paranasal, otitis media,,

14
sepsis gigi); atau melalui penyebaran infeksi melalui penyebaran infeksi
dari organ lain (abses paru-paru, endokarditis infektif); dan dapat
menjadi komplikasi yang berhubungan dengan beberapa bentuk
meningitis. Abses otak merupakan komplikasi yang dikaitkan dengan
beberapa bentuk meningitis. Abses otak adalah komplikasi yang
meningkat pada pasien yang system imunnya disupresi baik karena
terapi atau penyakit. Untuk mencegah abses otak maka perlu dilakukan
pengobatan yang tepat pada otitis media, mastoiditis,sinusitis,infeksi
gigi dan infeksi sistemik.
e. Tumor Intrakranial
Tumor Intrakranial meliputi lesi desak ruang jinak maupun ganas yang
tumbuh di otak, meningen, dan tengkorak. Klien tumor Intrakranial
datang dengan berbagai gejala yang membingungkan oleh karena itu
penegakkan diagnosis menjadi sukar. Tumor Intrakranial dapat terjadi
pada semua umur, tidak jarang menyerang anank-anak dibawah usia 10
tahun, tetapi paling sering terjadi pada orang dewasa pada usia 50-an
dan 60-an. Klasifikasi tumor saraf pusat oleh World Health
Organization (WHO), yaitu :
1) Tumor neuroepitelial
1) Tumor glial
a. Astrositoma
- Astrositoma pilositik
- Astrositoma difus
- Astrositoma anaplastik
- Glioblastoma
- Xantoastrositoma pleomorfik
- Astrositoma subependimal sel raksasa
b. Tumor oligodendroglial
- Oligodendroglioma
- Oligodendroglioma anaplastik
c. Glioma campuran (mixed glioma)
- Oligoastrositoma

15
- Oligoastrositoma anaplastik
d. Tumor ependimal
- Ependimoma myxopapilari
- Subependimoma
- Ependimoma
- Ependimoma anaplastik
e. Tumor neuroepitelial lainnya
- Astroblastoma
- Glioma koroid dari ventrikel III
- Gliomatosis serebri
2) Tumor neuronal dan campuran neuronal-glial
a. Gangliositoma
b. Ganglioglioma
c. Astrositoma desmoplastik infantil
d. Tumor disembrioplastik neuroepitelial
e. Neurositoma sentral
f. Liponeurositoma serebelar
g. Paraganglioma
3) Tumor non-glial
a. Tumor embrional
- Ependimoblastoma
- Meduloblastoma
- Tumor primitif neuroektodermal supratentorial
b. Tumor pleksus khoroideus
- Papiloma pleksus khoroideus
- Karsinoma pleksus khoroideus
c. Tumor parenkim pineal
- Pineoblastoma
- Pineositoma
- Tumor parenkim pineal dengan diferensiasi intermediet
4) Tumor meningeal
a. Meningioma

16
b. Hemangoperisitoma
c. Lesi melanositik
5) Tumor germ cell
a. Germinoma
b. Karsinoma embrional
c. Tumor sinus endodermal (yolk sac)
d. Khoriokarsinoma
e. Teratoma
f. Tumor germ cell campuran
6) Tumor sella
a. Adenoma hipofisis
b. Karsinoma hipofisis
c. Kraniofaringioma
7) Tumor dengan histogenesis yang tidak jelas
Hemangioblastoma kapiler
8) Limfoma system saraf pusat primer
9) Tumor nervus perifer yang mempengaruhi SSP
10) Tumor metastasis
2. Masalah serebral :
 Peningkatan produksi cairan serebrospinal
 Bendungan system ventricular
 Menurun absorbsi cairan serebrospinal
3. Edema serebral :
 Penggunaan zat kontras yang merubah homestatis otak
 Hidrasi yang berlebihan dengan menggunakan larutan hipertonik
 Pengaruh trauma kepala

D. Patofisiologi
Peningkatan tekanan Intrakranial adalah suatu mekanisme yang diakibatkan
oleh beberapa kondisi neurologi. Ini sering terjadi secara tiba-tiba dan memerlukan
intervensi pembedahan.
Isi dari cranial adalah jaringan otak, pembuluh darah dan cairan
serebrospinal. Bila terjadi peningkatan satu dari isi cranial mengakibatkan

17
peningkatan tekanan Intrakranial, sebab ruang cranial keras, tertutup, tidak bisa
berkembang.
Peningkatan satu dari beberapa isi cranial biasanya disertai dengan
pertukaran timbal balik dalam satu volume yang satu dengan yang lain. Jaringan
otak tidak dapat berkembang, tanpa berpengaruh serius pada aliran dan jumlah
cairan serebrospinal dan sirkulasi serebral. Space occupying lesion (SOL)
menggantikan dan merubah jaringan otak sebagai suatu peningkatan tekanan.
Peningkatan tekanan dapat secara lambat (sehari/minggu) atau secara cepat, hal ini
tergantung pada penyebabnya. Pada pertama kali satu hemisphere dari otak akan
dipengaruhi, tetapi pada akhirnya kedua hemisphere akan dipengaruhi.
Peningkatan tekanan Intrakranial dalam ruang cranial pada pertama kali
dapat dikompensasi dengan menekan vena dan pemindahan cairan serebrospinal.
Bila tekanan makin lama makin meningkat, aliran darah ke serebral akan menurun
dan perfusi menjadi tidak adekuat, maka akan meningkatkan PCO2 dan
menurunkan PO2 dan pH. Hal ini akan menyebabkan vasodilatasi dan edema
serebri. Edema lebih lanjut akan meningkatkan tekanan Intrakranial yang lebih
berat dan akan menyebabkan kompresi jaringan saraf.
Pada saat tekanan melampaui kemampuan otak untuk berkompensasi, maka
untuk meringankan tekanan, otak memindahkan ke bagian kaudal atau herniasi ke
bawah. Sebagian akibat dari herniasi, batang otak akan terkena pada berbagai
tingkat, yang mana penekanannya bisa mengenai pusat vasomotor, arteri serebral
posterior, saraf okulomotorik, traktus kortikospinal dan serabut-serabut saraf
ascending reticular activating system. Akibatnya akan mengganggu mekanisme
kesadaran, pengaturan tekanan darah, denyut nadi, pernafasan dan temperatur
tubuh.

E. Manifestasi Klinik
1. Gejala klinik umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial,
meliputi :
a) Nyeri kepala
Nyeri bersifat dalam, terus menerus, tumpul dan kadang-kadang bersifat
hebat sekali, biasanya paling hebat pada pagi hari dan diperberat saat

18
beraktivitas yang menyebabkan peningkatan TIK, yaitu batuk,
membungkung, dan mengejan.
b) Nausea atau muntah
Muntah yang memancar (projectile vomiting) biasanya menyertai
peningkatan tekanan intrakranial.
c) Papil edema
Titik buta dari retina merupakan ukuran dan bentuk dari papilla optik atau
diskus optik. Karena tekanan intrakranial meningkat, tekanan ditransmisi ke
mata melalui cairan cerebrospinal sampai ke diskus optik. Karena
meningens memberi refleks kepada seputar bola mata, memungkinkan
transmisi tekanan melalui ruang-ruang oleh cairan cerebrospinal.Karena
diskus mata membengkak retina menjadi tertekan juga. Retina yang rusak
tidak dapat mendeteksi sinar.
2. False lokalizing signs dan tanda lateralisasi
False lokalizing signs ini melibatkan neuroaksis kecil dari lokasi tumor yang
sebenarnya. Sering disebabkan karena peningkatan tekanan intrakaranial,
peregeseran dari struktur-struktur intrakranial atau iskemi. Lesi pada salah satu
kompartemen otak dapat menginduksi pergeseran dan kompresi dibagian otak yang
jauh dari lesi primer. Suatu tumor intra cranial dpat menimbulkan manifestasi yang
tidak sesuai dengan fungsi area yang ditempatinya. Tanda tersebut adalah:
a. Kelumpuhan saraf otak. Karena desakan tumor, saraf dapat tertarik atau
tertekan. Desakan itu tidak harus langsung terhadap saraf otak. Saraf yang
sering terkena tidak langsung adalah saraf III dan IV
b. Refleks patologis yang positif pada kedua sisi, dapat ditemukan pada tumor
yang terdapat di dalam salah satu hemisferium saja.
c. Gangguan mental
d. Gangguan endokrin dapat juga timbul SOL di daerah hipofise.
3. Gejala klinik lokal
Manifestasi lokal terjadi pada tumor yang meneyebabkan destruksi parenkim,
infark atau edema. Juga akibat pelepasan faktor-faktor kedaerah sekitar tumor
(contohnya: peroksidase, ion hydrogen, enzim proteolitik dan sitokin), semuanya
dapat meyebabkan disfungsi fokal yang reversibel.

19
a. Tumor Lobus Frontal
Tumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum yang diikuti
paralisis
b. Tumor Lobus Temporalis
Gejala tumor lobus temporalis antara lain disfungsi traktus kortikospinal
kontralateral, perubahan kepribadian, disfungsi memori dan kejang parsial
kompleks
c. Lobus Parietal
Dapat menimbulkan gejala modalitas sensori, kortikal hemianoksi
homonym
d. Tumor Lobus Oksipital
Tumor lobus oksipital sering menyebabkan hemianopsia homonym yang
kongruen.
e. Tumor pada Ventrikel Tiga
Tumor didalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga menghambat ventrikel
atau aquaduktus dan menyebabkan hidrosepalus.
f. Tumor Batang Otak
Terutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek lapangan pandang,
nistagmus, ataksia dan kelemahan ekstremitas
g. Tumor Serebellar
Muntah Berulang dan sakit kepala dibagian oksiput merupakan gejala yang
sering ditemukan pada tumor serebellar.
h. Tumor Hipotalamus
Gangguan perkembangan seksual pada anak-anak, gangguan cairan
cerebrospinal.
i. Tumor Fosa Posterior
Gangguan berjalan nyeri kepala dan muntah disertai dengan nistagmus.

F. Diagnosis 7
Untuk menegakkan diagnosis pada penderita yaitu melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik neurologik yang teliti serta pemeriksaan penunjang. Dari
anamnesis kita dapat mengetahui gejala-gejala yang dirasakan seperti ada tidaknya

20
nyeri kepala, muntah dan kejang. Sedangkan melalui pemeriksaan fisik neurologik
ditemukana adanya gejala seperti edema papil dan defisit lapangan pandang.
Perubahan tanda vital pada kasus SOL intrakranial meliputi:
a. Denyut nadi
Denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan TIK,
terutama pada anak-anak. Bradikardi merupakan mekanisme yang mungkin
terjadi untuk mensuplai darah ke otak dan mekanisme ini dikontrol oleh
tekanan pada mekanisme refleks vagal yang terdapat dimedulla.
b. Pernapasan
Pada saat kesadaran menurun, korteks serebri akan lebih tertekan daripada
batang otak pada pasien dewasa, perubahan pernapasan ini normalnya akan
diikuti dengan penurunan level dari kesadaran. Perubahan pola pernapasan
adalah hasil dari tekanan langsung pada batang otak.
c. Tekanan darah
Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari
peningkatan tekanan intrakranial, terutama pada anak-anak. Dengan
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial, tekanan darah akan meningkat
sebagai mekanisme kompensasi, sehingga terjadi penurunan dari denyut
nadi disertai dengan perubahan pola pernapasan. Apabila kondisi ini terus
berlangsung, maka tekanan darah akan mulai turun.
d. Suhu tubuh
Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan TIK, suhu tubuh akan
tetap stabil. Ketika mekanisme dekompensasi berubah, peningkatan suhu
tubuh akan muncul akibat dari disfungsi dari hipotalamus atau edema pada
traktus yang menghubungkannya.
e. Reaksi pupil
Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi pupil
yang lebih lambat dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi yang
menyebabkan penekanan pada nervus okulomotorius, seperti edema otak
atau lesi pada otak.

Nyeri kepala, edema papil dan muntah secara umum dianggap sebagai
karakteristik peninggian TIK. Demikian juga, dua pertiga pasien SOL memiliki

21
semua gambaran tersebut. Walau demikian, tidak satupun dari ketiganya khas untuk
peninggian tekanan, kecuali edema papil, banyak penyebab lain yang menyebabkan
masing-masing berdiri sendiri dan bila mereka timbul bersama akan memperkuat
dugaan adanya peninggian TIK.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Head CT-Scan
CT-Scan merupakan merupakan alat diagnostik yang penting dalam
evaluasi pasien yang diduga menderita tumor otak. CT-Scan merupakan
pemeriksaan yang mudah, sederhana, non invasif, tidak berbahaya, dan
waktu pemeriksaan lebih singkat. Ketika kita menggunakan CT-Scan
dengan kontras, kita dapat mendeteksi tumor yang ada. CT-Scan tidak
hanya dapat mendeteksi tumor, tetapi dapat menunjukkkan jenis tumor apa,
karena setiap tumor intrakranial menunjukkan gambar yang berbeda pad
CT-Scan.
a. Gambaran CT-Scan pada tumor otak, umumnya tampak sebagai lesi
abnormal berupa massa yang mendorong struktur otak disekitarnya.
Biasanya tumor otak dikelilingi jaringan oedem yang terlihat jelas
karena densitasnya lebih rendah. Adanya kalsifikasi, perdarahan atau
invasi mudah dibedakan dengan jaringan sekitarnya karena sifatnya
hiperdens. Beberapa jenis tumor akan terlihat lebih nyata bila pada
waktu pemeriksaan CT-Scan disertai dengan pemberian zat kontras.
Kekurangan CT-Scan adalah kurang peka dalam mendeteksi massa
tumor yang kecil, massa yang berdekatan dengan struktur tulang
kranium, maupun massa di batang otak.
b. Pada subdural akut CT-Scan kepala (non kontras) tampak sebagai suatu
massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang
bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat pada
konveksitas otak didaerah parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih
sedikit didaerah bagian atas tentorium serebeli.
Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan
gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan
menyesuaikan CT window width. Pegeseran garis tengah (middle shift)

22
akan tampak pada perdarahan subdural yang sedang atau besar
volumenya. Bila tidak ada middle shift harus dicurigai adanya massa
kontralateral dan bila middle shift hebat harus dicurigai adanya edema
serebral yang mendasarinya.
c. Pada fase akut subdural menjadi isodens terhadap jaringan otak
sehingga lebih sulit dinilai pada gambaran CT-Scan, oleh karena itu
pemeriksaan CT-Scan dengan kontras atau MRI sering dipergunakan
pada kasus perdarahan subdural dalam waktu 48-72 jam setelah trauma.
Pada pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan tampak
jelas dipermukaan otak dan membatasi subdural hematoma dan jaringan
otak. Perdarahan subdural akut sering juga berbentuk lensa (bikonveks)
sehingga membingungkan dalam membedakannya dengan epidural
hematoma.
d. Pada fase kronik lesi subdural pada gambaran CT-Scan tanpa kontras
menjadi hipodens dan sangat mudal dilihat. Bila pada CT-Scan kepala
telah ditemukan perdarahan subdural, sangat penting untuk memeriksa
kemungkinan adanya lesi lain yang berhubungan seperti fraktur
tengkorak, kontusio jaringan otak dan perdarahan subarakhnoid.
e. Pada abses, CT-Scan dapat digunakan sebagai pemandu untuk
dilakukannya biopsi. Biopsi aspirasi abses ini dilakukan untuk
keperluan diagnostik maupun terapi.
2. MRI
MRI merupakan pemeriksaan yang paling baik terutama untuk mendeteksi
tumor yang berukuran kecil ataupun tumor yang berada dibasis kranium,
batang otak dan di fossa posterior. MRI juga lebih baik dalam memberikan
gambaran lesi perdarahan, kistik, atau, massa padat tumor intrakranial.
3. Darah Lengkap
Pemeriksaan darah lengkap dapat dijadikan salah satu kunci untuk
menemukan kelainan dalam tubuh. kelainan sitemik biasanya jarang terjadi,
walaupun terkadang pada abses otak sedikit peningkatan leukosit
4. Foto Thorak

23
Dilakukan untuk mengetahui apakah ada tumor dibagian tubuh lain,
terutama paru yang merupakan tempat tersering untuk terjadinya metastasis
primer paru. Pada hematoma, mendeteksi perubahan struktur tulang
(fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan /edema), dan fragmen
tulang.
5. USG Abdomen
Dilakukan untuk mengetahui aakah ada tumor dibagian tubuh lain. Pada
orang dewasa. Tumor otak yang merupakan metastase dari tumor lain lebih
sering daripada tumor primer otak.
6. Biopsi
Untuk tumor otak, biopsi dilakukan untuk mengetahui jenis sel tumor
tersebut, sehingga dapat membantu dokter untuk mengidentifikasi tipe dan
stadium tumor dan menentukan pengobatan yang tepat seperti apakah akan
dilakukan pengangkatan seluruh tumor ataupun dilakukan radioterapi.
7. Lumbal Pungsi
Pemeriksaan ini hanya dilakukan untuk beberpa jenis tumor otak tertentu.
Dengan mengambil cairan serebro spinal, diharapkan dapat diketahui jenis
sel dari tumor otak tersebut. Jika tekanan intrakranial terlalu tinggi,
pemeriksaan ini kontraindikasi untuk dilakukan
8. Analisa Gas Darah
Untuk mendeteksi ventilasi atau masalah pernapasan jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial.
9. Angiography
Angiography tidak sealu dilakukan, tetapi pemeriksaan ini perlu dilakukan
untuk beberapa jenis tumor. pemeriksaan ini membantu ahli bedah untuk
mengetahui pembuluh darah mana saja yang mensuplai area tumor,
terutama apabila terlibat embuluh darah besar. Pemeriksaan ini penting
dilakukan terutama untuk tumor yang tumbuh ke bagian sangat dalam dari
otak.

H. Penalataksanaan
1. Pembedahan

24
Jika hasil CT-Scan didapati adanya tumor, dapat dilakukan pembedahan.
Ada pembedahan total dan parsial, hal ini tergantung jenis tumornya. Pada
kasus abses seperti loculated abscess, pembesran abses walaupun sudah
diberi antibiotik yang sesuai, ataupun terjadi impending herniation.
Sedangkan pada subdural hematoma, operasi dekompresi harus segera
dilakukan jika terdapat subdural hematoma akut dengan middle shift > 5
mm. Operasi juga direkomendasikan pada subdural hematoma akut dengan
ketebalan lebih dari 1 cm.
2. Radioterapi
Ada beberapa jenis tumor yang sensitif terhadap radioterapi, seperti low
grade glioma. Selain itu radioterapi juga digunakan sebagai lanjutan terapi
dari pembedahan parsial.
3. Kemoterapi
Terapi utama jenis limpoma adalah kemoterapi. Tetapi untuk
oligodendroglioma dan beberapa astrocytoma yang berat, kemoterapi hanya
digunakan sebagai terapi tambahan.
4. Antikolvusan
Mengontrol kejang merupakan bagian terapi yang penting pada pasien
dengan gejala klinis kejang. Pasien SOL sering mengalami peningkatan
tekanan intrakranial, yang salah satu gejala klinis yang sering terjadi adalah
kejang.
Phenytoin adalah yang paling umum digunakan. Selain itu dapat juga
digunakan carbamazepine, phenobarbital dan asam valproat.
5. Antibiotik
Jika dari hasil pemeriksaan diketahui adanya abses, maka antibiotik
merupakan salah satu terapi yang harus diberikan. Berikan antibiotik
intravena, sesuai kultur ataupun sesuai data empiris yang ada. Antibiotik
diberikan 4-6 minggu atau lebih, hal ini disesuaikan dengan hasil
pencitraan, apakah ukuran abses sudah berkurang atau belum. Carbapenem,
fluorokuinolon, aztreonam memiliki penetrasi yang bagus ke sistem saraf
pusat, tetapi harus memperhatikan dosis yang diberikan (tergantung berat
badan dan fungsi ginjal) untuk mencegah toksisitas.

25
6. Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema peritumoral dan mengurangu tekana
intrakranial. Efeknya mengurangi sakit kepala dengan cepat.
Dexamethasone adalah kortikosteroid yang dipilh karena aktivitas
mineralkortikoid yang minimal. Dosisnya dapat diberikan mulai dari dosis
minimal, tetapi dosisnya dapat ditambahkan maupun dikurangi untuk
mencapai dosis yang dibutuhkan untuk mengontrol gejala neurologik.
7. Head up 30-45˚
Berfungsi untuk mengoptimalkan venous return dari kepala, sehingga akan
membantu mengurangi TIK.
8. Menghindari Terjadinya Hiperkapnia
PaCO2 harus dipertahankan dibawah 40 mmHg, karena hiperkapnia dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah ke otak sehingga terjadi
peningkatan TIK, dengan cara hiperventilasi ringan disertai dengan analisa
gas darah untuk menghindari global iskemia pada otak.
9. Diuretika Osmosis
Manitol 20% diberikan cepat dalam 30-60 menit untuk membantu
mengurangi peningakatan TIK dan dapat mencegah edema serebri.

I. Komplikasi
1. Gangguan fungsi neurologis
2. Gangguan kognitif
3. Gangguan tidur dan mood
4. Disfungsi seksual

J. Prognosis
SOL intrakranial tergantung pada penyebabnya. Berdasarkan data di
negara-negara maju, dengan diagnosis dini dan juga penanganan yang tepat melalui
pembedahan dilanjutkan dengan radioterapi, angka ketahanan hidup 5 tahun
berkisar 50-60 % dan angka ketahanan hidup 10 tahun berkisar 30-40 %. Terapi
SOL yang disebabkan oleh tumor intrakranial di Indonesia secara umum
prognosisnya masih buruk, berdasarkan tindakan operatif yang dilakukan pada
beberapa rumah sakit di Jakarta.

26
BAB III
KESIMPULAN

1. Space occupying lesion (SOL) merupakan lesi yang meluas atau menempati
ruang dalam otak termasuk tumor, hematoma dan abses. Karena cranium
merupakan tempat yang kaku dengan volume yang terfiksasi maka lesi-lesi
ini akan meningkatkan tekanan Intrakranial.
2. Trias klasik peningkatan tekanan intrakranial : Nyeri kepala, Nausea atau
muntah, Papil edema.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Ejaz M, Saeed A, Naseer A, Chaudrhy, Qureshi G.R, 2005. Intra-cranial


Space Occupying Lesions A Morphological Analysis. Department of
Pathology, Postgraduate Medical Institute, Lahore – Pakistan. Biomedica
Vol. 21
2. Kaptigau, W. Matui ,Ke Liu. Space-occupying lesions in Papua New
Guinea – the CT era. Port Moresby General Hospital, Papua New Guinea
and Chongqing Emergency Medical Centre, Chongqing City, China. PNG
Med J 2007 Mar-Jun;50(1-2):33-43
3. Wulandari, A., 2012. Space Occupaying Lesion (SOL). Available from:
http://www.scribd.com/doc/181664046/Sol [Last accessed 20th november
2018]
4. Kleihus P. Burger PC, Scheithauer. Histological typing of tumours of the
Central nerbus system. WHO Histological clasification of tumour. Second
edition. Springer-Verlag, Berlin Heidelber.1993. Hal 1-20.
5. Ningrum, F.Y., 2013. Space Occupaying Lesion ( SOL). Available from:
http://www.scribd.com/doc/123949291/referat-SOL [Last accessed 20th
november 2018]
6. Widyalaksono, A., 2012. SOL Space Occupayimg Lesion. Available from:
http://www.scribd.com/doc/129372631/CR-SOL [Last accessed 20th
november 2018]
7. Meagher, R.J., & Lutsep, H.L. 2013. Subdural Hematoma. Dipetik
Desember 10, 2013, dari http://emedicine.medscape.com/article/113720.
[Last accessed 20th november 2018]
8. Japardi, I. 2004 Cedera Kepala: Memahami Aspek-Aspek Penting dalam
Pengelolaan Penderita Cedera Kepala. Jakarta Barat: Bhuana Ilmu
Populer.
9. Lombardo MC. 2006. Cedera Sistem Saraf Pusat. Dalam: Price SA, Wilson
LM, eds. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6.
Volume 2. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
10. Wilkinson, Iain. 2005. Brain Tumour. Essential Neurology, 4th Edition.
Page 50-52.

28

Anda mungkin juga menyukai