Anda di halaman 1dari 27

KASUS SCHIZOPHRENIA

1. KASUS

Seorang mahasiswa S3 datang ke apotek anda. Dia mengeluhkan sedang stress berat
dan pusing, moodnya sering berubah secara dratis dan merasakan bahwa diseluruh tubuhnya
terasa seperti dikerubungi oleh serangga. Beberapa hari yang lalu merasakan sakit di seluruh
tubuhnya karena tetangganya menyiramkan cairan kimia kedalam apartement nya, dan dia
akan mendatangi tetangganya tersebut untuk melawan.

Mahasiswa tersebut menampung muntahannya dan membawanya kepada anda. Selain


itu anda merasakan bau badan yang tercium dari mahasiswa tersebut.

Oleh anda, mahasiswa tersebut disarankan untuk mendatangi dokter spesialis jiwa, dan
menurut diagnose, mahasiswa tersebut mengalami schizophrenia.

Pertanyaan:

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan penyakit schizophrenia


2. Jelaskan jenis-jenis schizophrenia
3. Jelaskan golongan obat untuk schizophrenia
4. Jelaskan mekanisme obat untuk penyakit schizophrenia
5. Jelaskan KIE pada pasien/keluarga pasien tersebut
6. Jelaskan monitoring obat pada pasien tersebut
7. Apakah terdapat potensi interaksi obat pada pasien tersebut
8. Jika terdapat obat injeksi, bagaimanakan pencampuran intravena pada pasien tersebut
2. SOAP

Subjek Objek
mengeluhkan stress berat dan pusing pusing, moodnya merasakan bau badan yang tercium
sering berubah secara dratis dan merasakan bahwa dari mahasiswa tersebut.
diseluruh tubuhnya terasa seperti dikerubungi oleh
serangga.
Assesment Planning
Mekanisme terjadinya stress Pengobatan Schizopernia
First-generation agents

-Perphenazine
D pasien RS : pasien RS 8-16 mg
selama 6-12 jam, DM: tidak lebih dari
64 mg/hari
D pasien rawat jln :4-8 mg, kurangi
sesegera mungkin ke dosis minimum
Mekanisme terjadinya pusing Mk: antipsikotik yang mengahambat
Cutaneous allodynia(CA) adalah nyeri yang reseptor dopaminergik mesinimbic
ditimibulkan oleh stimulus non noxious terhadap kulit pascainaptik di otak, memiliki efek
normal Saat serangan/migren 79% pasien menunjukkan antikolinergik moderat
cutaneus allodynia(CA) di daerah kepala ipsilateral ES: akasia, kebingungan, penurunan
Mekanisme terjadi mood yang berubah-ubah refleks muntah, parkinson, BB naik,
Mekanisme terjadinya muntah disfungsi ereksi, anoreksia, diare,

Thioridazine
I: schizoprenia, gangguan depresi,
D: awal 50-100 mg kemudian
ditingkatkan 200-800 /hari selama 6-
12 hari
Mk:antagonis reseptor D2
dopaminergik postinaptik di otak,
menurunkan pelepasan hormon
hipotalamus dan hipofisis
ES: insomnia, BB naik, ansietas,
agitasi, disfungsi ereksi, sakit kepala,
anoreksia, dispepsia, konstipasi
Trifluoperazine
I: kecemasan no psikotik,
Schizoprenia
D: rawat jalan (1-2 mg),
rawat inap (awal: 2-5 mg,
maintenance dose: 15-20 mg)
Mk: antagonis reseptor D2
dopaminergik postinaptik di otak,
menurunkan pelepasan hormon
hipotalamus dan hipofisis
ES: BB naik, insomnia, ansietas,
agitasi, depresi, sakit kepala,

Haloperidol
I: schizoprenia,
D:oral
moderate disease 0,5-2 mg, severe
disease 3-5 mg,DM: 30 mg/hari
IM lactate( prop-acting)
Awal: dosis im 10-20 kali setiap hari
diberikan setiap bulan, DM: 100 mg
Mk: antagonis reseptor D2
dopaminergik postinaptik di otak,
menurunkan pelepasan hormon
hipotalamus dan hipofisis
ES: akasia, parkinson, BB naik,
disfungsi ereksi,

Others
Loxapine
I: Schizoprenia
D: awal 10-25 mg, maintenace 60-100
mg, DM: 250 mg/hari
Mk:antipsikotik dibenzoxazepine,
memblok reseptor D! dan D2
mesolimbic di otak, juga memiliki
aktivitas 5HT2 anti-seretonin
ES: hipertensi, pusing, parkinson,
somnolen,

Molindone
I: Schizoprenia
D: awal 50-75 mg/hari, ditingkatkan
hingga 100mg/hari dalam 3-4 hari,
titrasi berdasarkan tingkat keparahan
pasien,
maintenance ringan 5-15 mg, moderate
10-25 mg, parah 225 mg/hari
modifikasi dosis: mulai dengan dosis
yang lebih rendah pada pasien usia
lanjut
pertimbangan dosis:saat
menghentikan antipsikotik, perlahan-
lahan dosis dikurangi selama 6-24
bulan untuk mengindari prngrmbalian
kembali
Mk: turunan dihydroindolone,
memblokir reseptor dopaminergik
pascasinaptik di nucleus accumbens,
stianum, dan area tegmental
ES: akasia, kantuk, mual, sindrom
parkinson, leukopenia, ruam
Thiothixene
I:Schizoprenia
D: ringan-moderat awalnya 2 mg dan
ditingkatkan menjadi 15 mg/hari,
parah 5 mg,
maintenance 20-30 mg/hari
DM: 60 mg/hari
Mk:antagonis reseptor dopamin D2
ES: konstipasi, agitasi, reaksi alergi,
BB naik, ansietas, depresi, sakit
kepala, insomnia, ruam,

Second-generation agents
Aripiprazole
I: Schizoprenia
D: pasien yang belum pernah
menggunakan obat aripiprazole
:awalnya 400 mg IM sebulan sekali,
maintenance: selama 2 minggu
Lanjut aripiprazole oral 10-20 mg/hari
selama 14 hari setelah IM di awal, jika
terjadi reaksi merugikan dosis
dipertimbangan jadi 300/bulan sekali

Aristada
I: Kombinasi dengan aripiprazole utk
schizoprenia
D: gunakan dosis, aristada IM pertama
(411 mg, 662 mg, 882 mg atau 1064
mg)
MK: agonis parsial pada reseptor
dopamin D2 dan seretonin type 1 (5-
HT1A) antagonis pada reseptor
seetonin tipe 2 (5-HT2A) dan
memblokir aktivitas alpha
ES: BB naik, agitasi, insomnia,
ansietas, mual muntah, akasia,
konstipasi, dispepsia, dispepsia,
somnolen, tremor, sakit kepala

Clozapine
I : mengurangi resiko ingin bunuh diri
pada pasiaen Schizoprenia atau
gangguan skizoaktif kronis
D: 12,5 mg 1X1 hari dan ditingkatkan
menjadi 25-50 mg mungkin harus
ditingkatkan menjadi 600-900 mg/hari.
MK: menghambat norepinolitik
ES: hipertensi, takikardi, mual
muntah, BB naik, polipagi, insomnia,
depresi, sakit kepala,

Olanzapine
D: oral awalnya 5-10 mg/hari
Maintenance 10-20 mg/hari
IM dosis diperpanjang berdasarkan
dosis oral
Dosis oral: 10 mg/hari: IM 210 mg
setiap 2 minggu atau IM 405 mg 4
minggu
Dosis oral: 15 mg/hari: IM 300 mg
setiap 2 minggu, lalu 210 mg setiap 2
minggu atau 405 mg setiap 4 minggu
MK: kombinasi antagonis reseptor
dopamindan sretonin tipe 2
ES: hipertensi orthoastatic, BB naik,
hipertigliseridemia, hiperkolesterol,
somnolen, insomnia, dispepsia, tremor,

Quetiapine
I: Schizoprenia
Immediate release
D: hari ke1 = 50 mg, hari ke 2-3
ditingkatkan menjadi 25-50 mg, range
dosis: 150-750 mg/hari
Extended release
Hari-1: 300 mg/hari,
maintence(monoteraphy):: 400-800
mg/hari
MK:antagonisme reseptor
neurotransmitter di otak, termasuk
dopamin D1 dan D2, histamin H1,
alpha 1 dan alpha 2, adrenergik,
seretonin tipe 1 dan tipe 2, tidak
memiliki afinitas untuk reseptor
muskarinik benzodizepine dan
kolinergik
ES: konstipasi, meningkatkan TG dan
kolesterol, sakit kepala, somnolen,
tremor, takikardi,
Risperidone
I: Schizoprenia, posttraumatic stress
disorder, bipolar mania,
D oral (Rispedral atau risperidrone
M-Tabs) : 2mg/hari, rekomendasi
target dosis: 2-8 mg/hari
D IM (risperdal consta) : 12,5-50 mg
disuntikan ke dalam deltoid atau
gluteal setiap 2 minggu
SC(perseries) : 90 mg atau 120 mg SC
setiap bulan
MK:meningkatkan gejala psikosis
negatif dan mengurangi insiden EPS

Ziprasidone
I: Schizoprenia, agitasi akut dengan
Schizoprenia
D: 20 mg mungkin ditingkatkan setiap
hari PRN, DM: 80 mg
MK: antagonis dopamin D2 dan
seretonin tipe 1 dan 2
ES: somnolene, sakit kepala, mual,
ruam, konstipasi, dispepsia, takikardi,

Pertanyaan

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan penyakit schizophrenia


Jawab:
Schizophrenia merupakan gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang mempengaruhi
fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal kognitif, mempengaruhi emosional
dan tingkah laku (Depkes RI, 2015). Gangguan jiwa skizofrenia sifatnya adalah
gangguan yang lebih kronis dan melemahkan dibandingkan dengan gangguan mental lain
(Puspitasari, 2009).
Skizofrenia adalah satu istilah untuk beberapa gangguan yang ditandai dengan kekacauan
kepribadian, distorsi terhadap realitas, ketidakmampuan untuk berfungsi dalam kehidupan
sehari-hari (Atkinson Dkk.,1992), perasaan dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya,
waham atau delusi, dan gangguan persepsi (PPDGJ, 1983). Skizofrenia adalah gangguan
mental kronis yang menyebabkan penderitanya mengalami delusi, halusinasi, pikiran kacau,
dan perubahan perilaku. Kondisi yang biasanya berlangsung lama ini sering diartikan
sebagai gangguan mental mengingat sulitnya penderita membedakan antara kenyataan
dengan pikiran sendiri.
Skizofrenia merupakan penyakit mental yang serius. Penyakit ini disebabkan oleh
gangguan konsentrasi neurotransmiter otak, perubahan reseptor sel-sel otak, dan kelainan
otak struktural, dan bukan karena alasan psikologis. Pasien akan memiliki pemikiran,
perasaan, emosi, ucapan, dan perilaku yang tidak normal, yang memengaruhi kehidupan,
pekerjaan, kegiatan sosial, dan kemampuan untuk mengurus diri mereka sehari-hari.
Beberapa pasien bersifat rentan dan mencoba atau melakukan tindakan bunuh diri. Orang
bisa menderita skizofrenia di berbagai tahapan usia, tetapi gejala penyakit ini biasanya
muncul dalam rentang usia 20 hingga 30 tahun. Tingkat kekambuhannya sangat tinggi jika
tidak dilakukan tindakan pengobatan dan perawatan yang tepat.
2. Jelaskan jenis-jenis schizophrenia!
Jawab:
 Jenis-jenis skizofrenia
Kraeplin (dalam Maramis, 2009) membagi skizofrenia menjadi beberapa jenis. Penderita
digolongkan ke dalam salah satu jenis menurut gejala utama yang terdapat padanya.
Akan tetapi batas-batas golongan-golongan ini tidak jelas, gejala-gejala dapat berganti-
ganti atau mungkin seorang penderita tidak dapat digolongkan ke dalam satu jenis.
Pembagiannya adalah sebagai berikut:
a. Skizofrenia paranoid
Jenis skizofrenia ini sering mulai sesudah mulai 30 tahun.Permulaanya mungkin
subakut, tetapi mungkin juga akut. Kepribadian penderita sebelum sakit sering dapat
digolongkan schizoid. Mereka mudah tersinggung, suka menyendiri, agak congkak dan
kurang percaya pada orang lain.
b. Skizofrenia hebefrenik
Permulaanya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa remaja atau
antara 15 – 25 tahun. Gejala yang mencolok adalah gangguan proses berpikir, gangguan
kemauan dan adanya depersonalisasi atau double personality. Gangguan psikomotor
seperti mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada
skizofrenia heberfrenik, waham dan halusinasinya banyak sekali.
c. Skizofrenia katatonik
Timbulnya pertama kali antara usia 15 sampai 30 tahun, dan biasanya akut serta sering
didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor
katatonik.
Gejala yang penting adalah gejala psikomotor seperti:
a) Mutisme, kadang-kadang dengan mata tertutup, muka tanpa mimik, seperti
topeng, stupor penderita tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang sangat
lama, beberapa hari, bahkan kadang-kadang beberapa bulan.
b) Bila diganti posisinya penderita menentan
c) Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga terkumpul di dalam mulut dan
meleleh keluar, air seni dan feses ditahan.
d) Terdapat grimas dan katalepsi.
d. Skizofrenia simplex
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas.Gejala utama pada jenis simplex adalah
kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya
sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali ditemukan.
e. Skizofrenia residual
Jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat sedikitnya satu episode
psikotik yang jelas dan gejala-gejala berkembang kea rah gejala negative yang lebih
menonjol. Gejala negative terdiri dari kelambatan psikomotor, penurunan aktivitas,
penumpukan afek, pasif dan tidak ada inisiatif, kemiskinan pembicaraan, ekspresi
nonverbal yang menurun, serta buruknya perawatan diri dan fungsi sosial.

3. Jelaskan golongan obat untuk schizophrenia


Jawab:
Obat-obat antipsikotik juga dikenal sebagai neuroleptik dan juga sebagai trankuiliser mayor.
Obat antipsikotik pada umumnya membuat tenang dengan mengganggu kesadaran dan tanpa
menyebabkan eksitasi paradoksikal (Anonim, 2000).
Mekanisme Kerja Antipsikotik menghambat (agak) kuat reseptor dopamine (D2) di sistem
limbis otak dan di samping itu juga menghambat reseptor D1/D2 α1 (dan α2) adrenerg,
serotonin, muskarin dan histamin. Akan tetapi pada pasien yang kebal bagi obat-obat klasik
telah ditemukan pula blokade tuntas dari reseptor D2 tersebut. Riset baru mengenai otak telah
menunjukkan bahwa blokade-D2 saja tidak selalu cukup untuk menanggulangi skizofrenia
secara efektif. Untuk ini neurohormon lainnya seperti serotonin (5HT2), glutamate dan GABA
(gamma-butyric acid) perlu dipengaruhi (Tjay dan Rahardja, 2007).
Golongan obat antipsikotik ada 2 macam yaitu:
1. Golongan antipsikotik tipikal : chlorpromazine, fluperidol, haloperidol, loxapine,
molindone, mesoridazine, perphenazine, thioridazine, thiothixene, trifluperezine.
2. Golongan antipsikotik atipikal : aripiprazole, clozapin, olanzapine, quetiapine,
risperidone, ziprasidone (Gunawan, 2007).

Obat dimulai dengan awal sesuai dengan dosis anjuran. dinaikkan dosisnya setiap 2-3
hari sampai mencapai dosis efektif (mulai timbul peredaan gejala). Evaluasi dilakukan
tiap dua minggu dan bila perlu dosis dinaikkan, sampai mencapai dosis optimal. Dosis ini
dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilitas), kemudian diturunkan setiap dua minggu,
sampai mencapai dosis pemeliharaan. dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi
masa bebas obat 1-2 hari/minggu). Kemudian tapering off, dosis diturunkan tiap 2-4
minggu dan dihentikan (Mansjoer dkk, 1999).

Obat antipsikosis long acting (flufenazin dekanoat 25mg/ml atau haloperidol dekanoat 50
mg/ml i.m, untuk 2-4 minggu) sangat berguna untuk pasien yang tidak mau atau sulit
teratur makan obat ataupun yang efektif terhadap medikasi oral. Dosis mulai dengan 0,5
ml setiap 2 minggu pada bulan pertama, kemudian baru ditingkatkan menjadi 1 ml setiap
bulan (Mansjoer dkk, 1999).

Penggunaan klorpromazin injeksi sering menimbulkan hipotensi ortostatik. Efek samping


ini dapat dicegah dengan tidak langsung bangun setelah suntik atau tiduran selama 5-10
menit. Haloperidol sering menimbulkan gejala eksrapiramidal, maka diberikan tablet
triheksifenidil (Artane®) 3-4 x 2 mg/hari atau sulfus atropine 0,5-0,75 mg i.m.

4. Jelaskan mekanisme obat untuk penyakit schizophrenia!


Jawab :
Mekanisme Kerja Antipsikotik menghambat (agak) kuat reseptor dopamine (D2) di
sistem limbis otak dan di samping itu juga menghambat reseptor D1/D2, α1 (dan α2)
adrenerg, serotonin, muskarin dan histamin. Akan tetapi pada pasien yang kebal bagi
obat-obat klasik telah ditemukan pula blokade tuntas dari reseptor D2 tersebut. Riset baru
mengenai otak telah menunjukkan bahwa blokade-D2 saja tidak selalu cukup untuk
menanggulangi skizofrenia secara efektif. Untuk ini neurohormon lainnya seperti
serotonin (5HT2), glutamate dan GABA (gamma-butyric acid) perlu dipengaruhi (Tjay
dan Rahardja, 2007).
Golongan obat antipsikotik ada 2 macam yaitu :
1. Golongan antipsikotik tipikal : chlorpromazine, fluperidol, haloperidol, loxapine,
molindone, mesoridazine, perphenazine, thioridazine, thiothixene, trifluperezine.
2. Golongan antipsikotik atipikal : aripiprazole, clozapin, olanzapine, quetiapine,
risperidone, ziprasidone (Gunawan, 2007).
 Chlorpromazine dan thioridazine : menghambat α1 adrenoreseptor lebih kuat dari
reseptor D2. Kedua obat ini juga menghambat reseptor serotonin 5-HT2 dengan kuat.
Tetapi afinitas untuk reseptor D1 seperti diukur dengan penggeseran ligan D1 yang
selektif, relatif lemah (Katzung, 1998).
 Perphenazine : bekerja terutama pada reseptor D2; efek pada reseptor 5-HT2 dan α1
ada tetapi pada reseptor D1 dapat dikesampingkan (Katzung, 1998).
 Risperidone: bekerja dengan menghambat reseptor-D2 dan -5HT2, dengan
perbandingan afinitas 1:10, juga dari reseptor-α1,-α2, dan –H1. Blokade α1 dan α2
dapat menimbulkan masing-masing hipotensi dan depresi sedangkan blokade H1
berkaitan dengan sedasi (Tjay dan Rahardja, 2007).
 Klozapin : bekerja dengan menghambat reseptor-D2 agak ringan (k.I.20%)
dibandingkan obat-obat klasik (60-75%). Namun efek antipsikotisnya kuat, yang bias
dianggap paradoksal. Juga afinitasnya pada reseptor lain dengan efek antihistamin,
antiserotonin, antikolinergis dan antiadrenergis adalah relative tinggi. Menurut
perkiraan efek baiknya dapat dijelaskan oleh blokade kuat dari reseptor-D2,-D4, dan -
5HT2. Blokade reseptor-muskarin dan –D4 diduga mengurangi GEP, sedangkan
blokade 5HT2 meningkatkan sintesa dan pelepasan dopamin di otak. Hal ini
meniadakan sebagian blokade D2, tetapi mengurangi risiko GEP (Tjay dan Rahardja,
2007).
Risperidone : bekerja dengan menghambat reseptor-D2 dan -5HT2, dengan
perbandingan afinitas 1:10, juga dari reseptor
α1,-α2, dan –H1. Blokade α1 dan α2 dapat menimbulkan masing-masing hipotensi
dan depresi sedangkan blokade H1 berkaitan dengan sedasi (Tjay dan Rahardja,
2007).
Olanzapine : menghambat semua reseptor dopamine (D1s/d D5) dan reseptor H1,-
5HT2,-adrenergis dan –kolinergis, dengan afinitas lebih tinggi untuk reseptor 5-HT2
dibandingkan D2 (Tjay dan Rahardja, 2007).
 Olanzapine : menghambat semua reseptor dopamine (D1s/d D5) dan reseptor H1,-
5HT2,-adrenergis dan –kolinergis, dengan afinitas lebih tinggi untuk reseptor 5-HT2
dibandingkan D2 (Tjay dan Rahardja, 2007).

5. Jelaskan KIE pada pasien/keluarga pasien tersebut!


Jawab:
a. Keluarga atau orang terdekat harus memberi support kepada pasien.
b. Pasien harus menyibukkan diri atau mengalihkan perhatian ke hal yang positif seperti
memelihara hewan peliharaan.
c. Hindari hal-hal yang dapat memicu stress.
d. Banyak bersosialisasi dengan orang lain atau lingkungan.
e. Lakukan psikoterapi terhadap pasien
f. Melakukan olahraga
g. Ajak berkomunikasi

6. Jelaskan monitoring obat pada pasien tersebut!


Jawab:
a. Monitoring Efektivitas obat
Dilihat apakah ada perubahan dari prilaku pasien (mood, sikap, prilaku)
b. Monitoring efek samping obat
Untuk melihat adanya efek samping dari penggunaan obat menggunakan Naranjo
Scale
c. Monitoring kepatuhan obat

7. Apakah terdapat potensi interaksi obat pada pasien tersebut


1) Interaksi Obat Berdasarkan Level Serius
a. Haloperidol – Trifuoperazin
Penggunaan secara bersamaan menyebabkan terjadinya peningkatan QTc interval.
Terjadi interaksi secara farmakodinamik dengan efek adisi. Interaksi ini berpotensi
membahayakan pasien. Hal ini mengakibatkan penggunaan kedua obat perlu
dimonitoring secara ketat (Medscape, 2016).
b. Haloperidol – Fluoxetin
Penggunaan secara bersamaan haloperidol dan fluoxetin menyebabkan terjadinya
peningkatan kadar haloperidol dengan mempengaruhi metabolisme enzim CYP2D6
di hati. Interaksi ini bersifat serius (Medscape, 2016). Terjadi interaksi secara
farmakokinetik dengan efek antagonis (Setiawati et al., 2002). Pengatasannya
adalah dengan mengamati respon klinis pasien. Memonitor konsentrasi serum
clozapin dan menyesuaikan dosis clozapin saat penggunaan fluoxetin dimulai atau
dihentikan (Tatro, 2001).
c. Haloperidol – Chlorpromazin
Penggunaan bersamaan antara haloperidol dengan chlorpromazin menyebabkan
keduanya mengalami meningkatkan QTc interval (Medscape, 2016) yaitu suatu
bentuk aritmia jantung terjadi perpanjangan interval QT sehingga dapat
menyebabkan takikardi yang dapat berakibat fatal pada pasien bila tidak tertangani
(Naibaho, 2008). Interaksi yang terjadi secara farmakodinamik dengan efek
antagonis (Setiawati et al., 2002).
d. Trifluoperazin – Chlorpromazin
Penggunaan trifluoperazin dan chlorpromazin secara bersamaan menyebabkan
terjadinya peningkatan QTc interval. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi
farmakodinamik dengan efek antagonis (Setiawati et al., 2002). Hal ini
mengakibatkan penggunaan kedua obat perlu dimonitoring secara ketat (Medscape,
2016).

2) Intetaksi Obat Berdasarkan Level Signifikan


a. Haloperidol – Trihexyfenidil
Efek dari penggunaan bersama haloperidol dan trihexyfenidil adalah memperburuk
gejala skizofrenia, meningkatkan efek trihexyfenidil, dan perkembangan ke arah
tardive dyskinesia (Stockley, 2008). Innteraksi yang terjadi melalui mekanisme
farmakodinamik dengan efek potensiasi (Setiawati et al., 2002). Pengatasannya
adalah menggunakan trihexyfenidil ketika secara jelas diperlukan. Memonitor
pasien secara rutin, dan menghentikan penggunaan Trihexyfenidil atau
menyesuaikan haloperidol jika dibutuhkan (Tatro, 2001).
b. Haloperidol – Diazepam, alprazolam, dan lorazepam
Terjadi interaksi melalui mekanisme farmakodinamik dengan efek sinergisme
(Setiawati et al., 2002). Penggunaan bersamaan haloperidol dengan diazepam,
alprazolam, dan lorazepam menyebabkan meningkatkan efek sedasi saat ansiolitik
dan hipnotik diberikan bersamaan dengan antipsikotik (Medscape, 2016).
Kombinasi ini menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma haloperidol (Ismail et
al., 2012).
c. Haloperidol – Risperidon, dan quetiapin
Interaksi yang terjadi berdasarkan mekanisme adalah farmakodinamik dengan efek
adisi (Setiawati et al., 2002). Haloperidol digunakan secara bersamaan dengan
dengan risperidone dan quetiapin menyebabkan peningkatan antidopaminergik
karena antagonisme aditif dopamin baik dari haloperidol dan risperidon (Medscape,
2016).
d. Haloperidol – Clozapin
Penggunaan Haloperidol dan clozapin bersama-sama dapat menyebabkan
Neuroleptic Malignant Syndrome (Stockley, 2008). Interaksi yang terjadi melalui
mekanisme farmakodinamik dengan efek sinergisme (Setiawati et al., 2002).
Neuroleptic Malignant Syndrome jarang terjadi tetapi mengancam jiwa, reaksi
idiosinkratik pada pengobatan neuroleptik. Neuroleptic Malignant Syndrome
dikarakteristikkan dengan demam, kekakuan otot, perubahan status mental, dan
disfungsi autonomik (Benzer, 2010).
e. Trifluoperazin – Fluoxetin
Penggunaan secara bersamaan antara fluoxetin dengan trifluoperazin menyebabkan
terjadi interaksi secara farmakodinamik dengan efek potensiasi (Setiawati et al.,
2002). Kombinasi keduanya menyebabkan terjadinya gejala ekstrapiramidal seperti
parkinson atau akhatisia. Pada kasus lain, pasien yang mendapatkan kombinasi ini
mengalami efek samping antimuskarinik yang parah, selain itu juga mengalami
tremor dan akhatisia. Kondisi pasien biasanya membaik setelah satu minggu
pemberian kedua obat ini dihentikan (Stockley, 2008). Kombinasi tersebut perlu
dimonitoring secara ketat terhadap efek ekstrapiramidal yang mungkin dialami
pasien (Philip et al., 2000).
f. Trifluoperazin – Trihexyfenidil
Kombinasi keduanya menyebabkan interaksi secara farmakodinamik dengan efek
yang ditimbulkan potensiasi (Setiawati et al., 2002). Penggunaan bersamaan
trifluoperazin dan trihexyfenidil secara bersamaan menyebabkan konstipasi dan
adynamic ileus. Antikolinergik menurunkan peristaltic yang ekstrimnya dapat
berakibat pada total gut stasis. Efek tambahan dapat terjadi jika dua atau lebih obat
antikolinergik diberikan pada pasien (Stockley, 2008).
g. Trifluoperazin – Diazepam
Kombinasi keduanya menyebabkan interaksi secara farmakodinamik dengan efek
yang ditimbulkan potensiasi (Setiawati et al., 2002). Penggunaan secara bersamaan
antara trifluoperazin dengan diazepam dapat menyebabkan meningkatan efek
sedasi. Peningkatan efek sedasi dengan meningkatkan efek neurotransmitter GABA
dengan mengikatkan benzodiazepin pada reseptor GABA A mengarah ke sistem
syaraf pusat (Angelica and Fong, 2008). Pemberian kedua obat ini memiliki potensi
interaksi yang besar sehingga perlu di monitoring (Medscape, 2016).
h. Trifluoperazin – Risperidon
Kombinasi keduanya menyebabkan interaksi secara farmakodinamik dengan efek
yang ditimbulkan antagonis (Setiawati et al., 2002). Penggunaan secara bersamaan
antara trifluoperazin dengan risperidon menyebabkan keduanya meningkatkan QTc
interval. Interaksi ini berpotensi membahayakan pasien. Hal ini mengakibatkan
penggunaan kedua obat ini perlu mendapatkan perhatian dan dimonitor secara ketat
(Medscape, 2016). Trifluoperazin berpengaruh moderat terhadap prolongasi QTc
sedangkan risperidon berpengaruh secara severe sehingga kombinasi keduanya
berpengaruh signifikan terhadap peningkatan QTc interval (Zygmunt et al., 2002).
i. Trifluoperazin – Alprazolam, dan lorazepam
Kombinasi keduanya menyebabkan interaksi secara farmakodinamik dengan efek
yang ditimbulkan potensiasi (Setiawati et al., 2002). Penggunaan bersamaan
trifluoperazin dengan alprazolam, dan lorazepam menyebabkan meningkatkan efek
sedasi saat ansiolitik dan hipnotik diberikan bersamaan dengan antipsikotik
(Medscape, 2016).
j. Trifluoperazin – Quetiapin
Kombinasi keduanya menyebabkan interaksi secara farmakodinamik dengan efek
yang ditimbulkan potensiasi (Setiawati et al., 2002). Penggunaan secara bersamaan
trifluoperazin dan quetiapin menyebabkan terjadinya antidopaminergik (Medscape,
2016). Antidopaminergik bekerja dengan mengurangi fungsi dari neuron-neuron
dopaminergik (Wibowo and Gofir, 2001).
k. Trihexyfenidil – Risperidon, dan clozapin
Kombinasi keduanya menyebabkan interaksi secara farmakokinetik dengan efek
yang ditimbulkan antagonis (Setiawati et al., 2002). Penggunaan trihexyfenidil
dengan risperidon, dan clozapin secara bersamaan menyebabkan terjadinya
peningkatan efek dari trihexyfenidil dengan mempengaruhi enzim CYP2D6.
Interaksi bersifat signifikan sehingga perlu dimonitor secara ketat. Penurunan dosis
trihexyfenidil yang dimetabolisme oleh CYP2D6 diperlukan apabila kedua obat ini
digunakan secara bersamaan (Medscape, 2016).
l. Trihexyfenidil – Chlorpromazin
Kombinasi keduanya menyebabkan interaksi secara farmakodinamik dengan efek
yang ditimbulkan potensiasi (Setiawati et al., 2002). Penggunaan Chlorpromazin
dan trihexifenidil secara bersamaan menyebabkan konstipasi dan adynamic ileus.
Antikolinergik menurunkan peristaltic yang ekstrimnya dapat berakibat pada total
gut stasis. Efek tambahan dapat terjadi jika dua atau lebih obat antikolinergik
diberikan pada pasien (Stockley, 2008).
m. Trihexyfenidil – Quetiapin
Kombinasi keduanya menyebabkan interaksi secara farmakodinamik dengan efek
yang ditimbulkan potensiasi (Setiawati et al., 2002). Penggunaan secara bersamaan
antara trihexyfenidil dengan quetiapin akan menyebabkan peningkatan kadar
trihexyfenidil. Interaksi ini besifat signifikan (Medscape, 2016).

n. Risperidon – Alprazolam, diazepam, dan lorazepam


Kombinasi keduanya menyebabkan interaksi secara farmakodinamik dengan efek
yang ditimbulkan sinergisme (Setiawati et al., 2002). Penggunaan bersamaan
risperidon dengan alprazolam, diazepam, dan lorazepam menyebabkan
peningkatkan efek sedasi. Pemberian kedua obat ini memiliki potensi interaksi yang
besar sehingga perlu monitoring terhadap penggunaan keduanya (Medscape, 2016).
o. Risperidon – Aripiprazole
Kombinasi keduanya menyebabkan interaksi secara farmakodinamik dengan efek
yang ditimbulkan sinergisme (Setiawati et al., 2002). Penggunaan risperidon dan
aripiprazole bersama-sama dapat menyebabkan Neuroleptic Malignant Syndrome
(Stockley I.H, 2008). Neuroleptic Malignant Syndrome jarang terjadi tetapi
mengancam jiwa, reaksi idiosinkratik pada pengobatan neuroleptik. Neuroleptic
Malignant Syndrome dikarakteristikkan dengan demam, kekakuan otot, perubahan
status mental, dan disfungsi autonomik (Ewald Howarth et al., 2004).
p. Risperidon – Quetiapin
Kombinasi keduanya menyebabkan interaksi secara farmakodinamik dengan efek
yang ditimbulkan potensiasi (Setiawati et al., 2002). Risperidone merupakan
antagonis monoaminergik selektif dengan afinitas tinggi terhadap reseptor
serotoninergik 5-HT2 dan antidopaminergik D2. Dalam penggunaannya secara
bersamaan dengan quetiapin menyebabkan efek antidopaminergik (Medscape,
2016).
q. Risperidon – Metformin, dan glimepirid
Kombinasi keduanya menyebabkan interaksi secara farmakodinamik dengan efek
yang ditimbulkan antagonis (Setiawati et al., 2002). Penggunaan risperidon dengan
metformin, dan glimepirid bila digunakan secara bersamaan menyebabkan
hiperglikemi, yang dapat mengubah kontrol glukosa darah, sehingga
penggunaannya perlu dimonitoring dengan ketat (Medscape, 2016). Penyebab
hiperglikemi karena risperidon mempunyai aksi yang menyebabkan gangguan
resintansi insulin seluler dan meningkatkan kadar trigliseriga melalui aksinya pada
reseptor yang dikenal sebagai reseptor serotonin 5HT-2C, muskarinik-3, dan
histamin-1 (Plasky, 2005).
r. Diazepam – Lorazepam, alprazolam, chlorpromazin, dan quetiapin
Kombinasi keduanya menyebabkan interaksi secara farmakokinetik dengan efek
yang ditimbulkan potensiasi (Setiawati et al., 2002). Diazepam bila digunakan
secara bersamaan dengan lorazepam, alprazolam, chlorpromazin, dan quetiapin
sama-sama dimetabolisme oleh enzim CYP3A4 sehingga kompetisi antar keduanya
untuk menduduki reseptor enzim tersebut meyebabkan peningkatan efek sedasi
(Ewald Howarth et al., 2004).
s. Alprazolam – Chlorpromazin, quetiapin, dan aripiprazole
Kombinasi keduanya menyebabkan interaksi secara farmakodinamik dengan efek
yang ditimbulkan potensiasi (Setiawati et al., 2002). Penggunaan secara bersamaan
antara alprazolam dengan chlorpromazin, quetiapin, dan aripiprazole dapat
menyebabkan peningkatan efek sedasi. Peningkatan efek sedasi dengan
meningkatkan efek neurotransmitter GABA dengan mengikatkan benzodiazepin
pada reseptor GABA A mengarah ke sistem syaraf pusat (Angelica and Fong,
2008). Pemberian kedua obat ini memiliki potensi interaksi yang besar sehingga
perlu monitoring terhadap penggunaan keduanya (Medscape, 2016).
t. Quetiapin – Chlorpromazin
Kombinasi keduanya menyebabkan interaksi secara farmakodinamik dengan efek
yang ditimbulkan potensiasi (Setiawati et al., 2002). Dalam penggunaannya secara
bersamaan dengan quetiapin menyebabkan efek antidopaminergik. Risperidone
merupakan antagonis monoaminergik selektif dengan afinitas tinggi terhadap
reseptor serotoninergik 5-HT2 dan antidopaminergik D2 (Medscape, 2016).
u. Quetiapin – Metformin, dan glimepirid
Kombinasi keduanya menyebabkan interaksi secara farmakodinamik dengan efek
yang ditimbulkan antagonis (Setiawati et al., 2002). Penggunaan risperidon dengan
metformin, dan glimepirid bila digunakan secara bersamaan menyebabkan
hiperglikemi, yang dapat mengubah kontrol glukosa darah, sehingga
penggunaannya perlu dimonitoring dengan ketat (Medscape, 2016). Penyebab
hiperglikemi karena quetiapin mempunyai aksi yang menyebabkan gangguan
resintansi insulin seluler dan meningkatkan kadar trigliseriga melalui aksinya pada
reseptor yang dikenal sebagai reseptor serotonin 5HT-2C, muskarinik-3, dan
histamin-1 (Plasky, 2005).

8. Jika terdapat obat injeksi, bagaimanakan pencampuran intravena pada pasien tersebut
1) Definisi
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan
psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek,
dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap
terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock,
2003).

2) Etiologi
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab skizofrenia,
antara lain :
1. Faktor Genetik
Menurut Maramis (1995), faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia.
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut
quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan
oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh
kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada
orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa
risiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya
jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini (Durand & Barlow, 2007).
2. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang disebut
neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron
berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal
dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagianbagian tertentu
otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli
yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk
skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine
tampaknya juga memainkan peranan (Durand, 2007).
3. Faktor Psikologis dan Sosial
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama semakin
kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang tuaanak yang
patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga (Wiraminaradja & Sutardjo,
2005).
Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga
mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic mother
kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat
dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada
anak-anaknya (Durand & Barlow, 2007).

3) Gejala

Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok, yaitu gejala
positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi, kekacauan pikiran,
gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan.

Gejala negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau
isolasi diri dari pergaulan, ‘miskin’ kontak emosional (pendiam, sulit diajak bicara),
pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan dorongan kehendak
atau inisiatif.

a. Gejala Positif Skizofrenia :


1) Delusi atau Waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional. Meskipun telah
dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinannya itu tidak rasional, namun
penderita tetap meyakini kebenarannya.
2) Halusinansi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan. Misalnya
penderita mendengar bisikan - bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari
bisikan itu.
3) Kekacauan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya. Misalnya
bicaranya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya.
4) Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan
semangat dan gembira berlebihan.
5) Merasa dirinya “Orang Besar”, merasa serba mampu, serba hebat dan sejenisnya.
6) Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap
dirinya.
7) Menyimpan rasa permusuhan (Hawari, 2007).

b. Gejala negatif skizofrenia :


1) Alam perasaan “tumpul” dan “mendatar”. Gambaran alam perasaan ini dapat
terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi.
2) Menarik diri atau mengasingkan diri tidak mau bergaul atau kontak dengan orang
lain, suka melamun.
3) Kontak emosional amat “miskin”, sukar diajak bicara, pendiam.
4) Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.
5) Sulit dalam berfikir abstrak.
6) Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak dan tidak ada inisiatif dan serba malas
(Hawari, 2007)

4) Faktor resiko
Penyalahgunaan NAPZA dapat menyebabkan munculnya gejala psikotik diantaranya
halusinasi dan waham. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian Pahlasari (2013)
menunjukkan 73,38% pengguna NAPZA mengalami gejala psikotik yaitu gejala
halusinasi (45,8%) dan waham (45,8%). NAPZA menyebabkan susunan saraf pusat
(SSP) mengalami depresi yang mengakibatkan munculnya gejala psikotik (Taylor &
Stuart, 2016).
Faktor prenatal pada skizofrenia adalah faktor non genetik, endogen dan eksogen pada
masa kehamilan dan kelahiran yang dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya
skizofrenia. Faktor endogen adalah yang berasal dari dalam tubuh ibu, uterus, dan fetus;
sedangkan faktor eksogen adalah yang berasal dari luar tubuh ibu dan janin. Faktor
endogen antara lain terdiri dari diabetes pada ibu, inkompatibilitas rhesus, tumbuh
kembang fetus yang abnormal, perdarahan dan preeklamsia, umur parental, dan
komplikasi persalinan. Faktor eksogen bisa berupa musim kelahiran, infeksi di masa
kehamilan, gangguan nutrisi, dan stress pada ibu. (King, St-Hilaire, dan Heidkamp 2010)

5) Patofisiologi

Pada dasarnya patofisiologi SCZ kurang dipahami. Beberapa bukti melibatkan


neuroplastisitas terganggu dalam patofisiologi SCZ yaitu perubahan dalam sistem
neurotransmitter dan konektivitas kortikal. Neuroplastisitas mengacu pada kemampuan
otak untuk menata kembali dan menghasilkan jalur neuronal baru pada respon terhadap
rangsangan internal dan eksternal. Kekuatan koneksi saraf di jalur aktif disebut long-term
potentiation (LTP). Kelemahan jalur neuronal yang tidak mampu diaktifkan disebut long-
term depression (LTD). Long-term potentiation dan LTD dianggap mekanisme saraf
yang mendasari pembelajaran dan memori. Glutamatergic Nmetil-d-aspartat (NMDA)
reseptor berperan penting dalam proses molekuler dari LTP dan LTD. Beberapa
penelitian telah menghubungkan NMDA reseptor hipofungsi sehingga memberikan
dukungan bagi teori reseptor NMDA hipofungsi dan gangguan plastisitas di skizoprenia.
Asam gamma amino butyric-(GABA) juga memainkan kritis peran dalam modulasi
plastisitas sinaptik. NMDA reseptor diketahui memodulasi tingkat GABAergic
interneuron. Bukti terganggunya GABAergic neurotransmisi di skizoprenia telah
dibuktikan melalui beberapa postmortem yang telah menunjukkan baik penurunan
kepadatan interneuron GABAergic di beberapa daerah korteks serta perubahan dalam
asam glutamat enzim GABA-sintesis dekarboksilase pada pasien skizoprenia

Faktor pencetus stres tersebut di antaranya mencakup masalah dengan keluarga maupun
teman kerja, pekerjaan yang terlalu berat, hingga masalah ekonomi yang dapat
mempengaruhi perkembangan emosional [1,2,5]. Stres dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan sekresi neurotransmitter glutamat (senyawa prekursor GABA) pada sistem
limbik sehingga menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan neurotransmitter.
Ketidakseimbangan neurotransmitter glutamat itu sendiri dapat mencetuskan terjadinya
skizofrenia.
6) Manifestasi
7) Penatalaksanaan
a. Non farmakologi
1) Terapi psikososial
2) Dengan terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali
beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri,
mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban
bagi keluarga atau masyarakat, pasien diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak
melamun, banyak kegiatan dan kesibukan dan banyak bergaul.
3) Terapi psikoreligius
Terapi keagaman terhadap penderita skizofrenia ternyata mempunyai manfaat
misalnya, gejala-gejala klinis gangguan jiwa skizofrenia lebih cepat hilang. Terapi
keagamaan yang dimaksudkan adalah berupa kegiatan ritual keagamaan seperti
sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan, ceramah
keagamaan dan kajian kitab suci.
4) Terapi fisik berupa olahraga.
5) Berbagai kegiatan seperti kursus atau les (Sinaga, 2007).

b. Farmakologi
Obat-obat antipsikotik juga dikenal sebagai neuroleptik dan juga sebagai trankuiliser
mayor. Obat antipsikotik pada umumnya membuat tenang dengan mengganggu
kesadaran dan tanpa menyebabkan eksitasi paradoksikal (Anonim, 2000).
Antipsikotik pada terapi psikosis akut maupun kronik, suatu gangguan jiwa yang
berat. Ciri terpenting obat antipsikotik adalah:
1) Berguna mengatasi agresivitas, hiperaktivitas dan labilitas emosional pada pasien
psikotik.
2) Dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam ataupun anesthesia.
3) Dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversibel atau ireversibel.
4) Tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan fisik dan psikis
(Gunawan, 2007).

Anda mungkin juga menyukai