Docshare - Tips Laporan-Kasus
Docshare - Tips Laporan-Kasus
Oleh:
Fitriana Kusuma Wardhani, dr.
Pembimbing:
Farida Chasidijah, dr., Sp.OG
Hipertensi dalam kehamilan merupakan istilah umum dari lima klasifikasi penyakit
dengan gejala hipertensi saat kehamilan, baik yang diderita sebelum hamil atau akibat
kehamilan tersebut. Klasifikasi tersebut meliputi hipertensi gestasional, preeklamsia,
eklamsia, hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsia, dan hipertensi kronik
(Aditiawarman, 2009).
Hipertensi merupakan salah satu masalah medis yang kerapkali muncul selama
kehamilan dan merupakan 5 – 15 % penyulit kehamilan. Hipertensi pada kehamilan dapat
menyebabkan morbiditas/kesakitan pada ibu (termasuk kejang eklamsia, perdarahan otak,
edema paru, gagal ginjal akut, dan penggumpalan/pengentalan darah di dalam pembuluh
darah serta morbiditas pada janin (termasuk pertumbuhan janin terhambat di dalam rahim,
kematian janin di dalam rahim, solusio plasenta/plasenta terlepas dari tempat melekatnya di
rahim, dan kelahiran prematur). Selain itu, hipertensi pada kehamilan juga masih merupakan
salah satu penyebab utama kematian pada ibu (Angsar, 2008).
Menurut Cunningham, dkk (2005) kehamilan dapat menyebabkan hipertensi pada
wanita yang sebelumnya dalam keadaan normal atau memperburuk hipertensi pada wanita
yang sebelumnya telah menderita hipertensi. Hipertensi sebagai penyulit dalam kehamilan
sering ditemukan dan merupakan salah satu dari tiga besar, selain pendarahan dan infeksi,
yang terus menjadi penyebab utama sebagian besar kematian ibu di Amerika serikat.
Lebih lanjut data kejadian hipertensi pada kehamilan juga diungkapkan oleh WHO
(2005) bahwa secara sistematis, 16% kematian ibu di negara-negara maju di seluruh dunia
disebabkan karena hipertensi. Persentase ini lebih besar dari tiga penyebab utama lainnya
yaitu perdarahan 13 %, aborsi 8 %, dan sepsis 2 %. Di Amerika Serikat pada tahun 1991-
1997, Berg dan rekan dalam Cuningham (2005) melaporkan bahwa hampir 16 % dari 3.201
kematian ibu berasal dari komplikasi hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan.
Dalam Profil Kesehatan Indonesia (2008) diketahui bahwa eklampsia (24%) adalah
persentase tertinggi kedua penyebab kematian ibu setelah perdarahan (28%). Kejang bisa
terjadi pada pasien dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) yang tidak terkontrol saat
persalinan. Hipertensi ini dapat terjadi karena kehamilan dan akan kembali normal bila
kehamilan sudah berakhir. Namun, ada juga yang tidak kembali normal setelah bayi lahir.
Kondisi ini akan menjadi lebih berat bila hipertensi sudah diderita ibu sebelum hamil.
Menurut Prof.Dr.H.Erry Gumilar Dachlan,dr.SpOG(K) (2008), berdasarkan data di
RSU Dr.Soetomo, kejadian preeklamsia tercatat 30 hingga 50 kasus per tahunnya. Dengan
prevalensi 1,08%, angka kejadian preeklamsia ini lima kali lebih tinggi daripada angka
kejadian di Bangkok dan 10 kali lebih besar dari Singapura (Gumilar, 2008).
Menurut Angsar (2008) cukup banyak teori tentang bagaimana hipertensi pada
kehamilan dapat terjadi sehingga disebut sebagai “disease of theory”. Beberapa landasan teori
yang dikemukakan yaitu teori kelainan vaskularisasi plasenta, teori iskemia plasenta, radikal
bebas, dan disfungsi endotel, teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin, teori adaptasi
kardiovaskularisasi genetic, teori defisiensi gizi, dan teori inflamasi.
Makalah ini bertujuan untuk memahami definisi, faktor resiko, patofisiologi,
perubahan pada organ dan sistem organ, hingga tatalaksana hipertensi dalam kehamilan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hipertensi Gestasional:
TD sistolik > 140 or TD diastolik > 90 mm Hg pertama kali selama
kehamilan
Tidak ada proteinuria
TD kembali ke normal sebelum 12 minggu post partum
Diagnosis final hanya dibuat saat postpartum
Bisa dengan tanda dan gejala preeklampsia lainnya, seperti nyeri epigastrik
atau trombositopenia
Preeclampsia:
Kriteria minimal:
TD > 140/90 mm Hg setelah 20 minggu usia kehamilan
Proteinuria > 300 mg/24 jam atau > 1+ dipstick
Peningkatan kemungkinan preeklampsia:
BP > 160/110 mm Hg
Proteinuria 2.0 g/24 jam atau > 2+ dipstick
Serum kreatinin > 1.2 mg/dL kecuali sudah ada peningkatan sebelumnya
Platelet < 100,000/uL
Mikroangiopati hemolisis—peningkatan LDH
Peningkatan level serum transaminase—ALT atau AST
Sakit kepala atau kelainan cerebral lain atau gangguan visual yang menetap
Nyeri epigatrik yang menetap
Eklampsia:
Kejang yang tidak disebabkan oleh penyebab lain pada wanita dengan
preeklampsia
Hipertensi Kronis Superimposed Preeklampsia:
Onset baru proteinuria > 300 mg/24 jam pada wanita hipertensi tetapi tanpa
proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu
Peningkatan yang mendadak pada proteinuria atau tekanan darah atau jumlah
platelet < 100,000/uL pada wanita dengan hipertensi dan proteinuria sebelum
usia kehamilan 20 minggu
Hipertensi Kronis:
TD > 140/90 mm Hg sebelum kehamilan atau sudahh didiagnosa sebelum
usia kehamilan 20 minggu
Tidak terkait dengan penyakit trophoblastik gestasional
atau
Penyebab hipertensi pada kehamilan hingga kini belum diketahui dengan jelas,
adapun teori-teori yang pada saat ini dianut adalah :
2.10.2 Penatalaksanaan
Penatalaksaan pada hipertensi kronik dapat dilakukan dengan memberikan terapi.
Strategi terapi dapat dilakukan adalah:
1. terapi nonfarmakologi
2. terapi farmakologi.
1. Terapi nonfarmakologi
Terapi nonfarmakologis merupakan terapi tanpa obat yang umum dilakukan pada
wanita hamil, terutama pada hipertensi kronik ringan (tekanan diastolik kurang dari 110
mmHg). Penatalaksanaan yang dilakukan antara lain pembatasan aktivitas, banyak istirahat,
pengawasan ketat, pembatasan konsumsi garam, mengurangi makan makanan berlemak,
tidak merokok, dan menghindari minuman beralkohol.
Jika keadaan memburuk, dokter akan mempertimbangkan untuk segera melahirkan
bayi demi keselamatan ibu dan bayi
2. Terapi farmakologi.
Alasan utama untuk mengobati hipertensi pada kehamilan adalah untuk mengurangi
morbiditas ibu terkait hipertensi. Sebuah metaanalisis termasuk 28 uji acak membandingkan
pengobatan dengan antihipertensi baik dengan plasebo maupun tanpa pengobatan
menunjukan bahwa pengobatan dengan antihipertensi secara signifikan mengurangi
hipertensi berat. Namun pengobatan tidak mengurangi resiko preeklampsiaaa berlapis,
abrupsi plasenta atau pembatasan pertumbuhan janin, juga tidak memberikan manfaat pada
neonatus.
Terapi farmakologis dapat dilakukan dengan penggunaan obat-obatan antihipertensi
golongan α2-agonis sentral (metildopa), β-bloker (labetalol), vasodilator (hidralazin), dan
diuretik (tiazid). Obat antihipertensi golongan Angiotensin-Converting Enzym Inhibitor
(ACE Inhibitor) dan Angiotensin II Receptor Blockers (ARBs) mutlak dikontraindikasikan
pada ibu hamil dengan hipertensi. Meskipun ACE Inhibitor dan ARBs memiliki factor resiko
kategori C pada kehamilan trimester satu, dan kategori D pada trimester dua dan tiga, namun
obat tersebut berpotensi menyebabkan tetatogenik.
Metildopa, obat ini termasuk golongan α2-agonis sentral yang mempunyai
mekanisme kerja dengan menstimulasi reseptor α2-adrenergik di otak. Stimulasi ini akan
mengurangi aliran simpatik dari pusat vasomotor di otak. Dosis pemakaian sebesar 250-1500
mg dua kali perhari peroral.
Metildopa ini merupakan agen antihipertensi yang paling banyak didukung dengan
data penelitian tentang khasiat dan keamanan penggunaannya pada wanita hamil. Obat ini
telah digunakan sejak tahun 1960-an. Dalam sebuah studi, metildopa tidal menimbulkan efek
yang merugikan pada anak-anak yang dilahirkan. Karenanya metildopa sering dijadikan
sebagai terapi lini pertama hipertensi pada wanita hamil. Namun, metildopa sering
menyebabkan kantuk yang membatasi tolerabilitasnya.
Labetalol, yang merupakan kombinasi alfa dan beta bloker. Dosis 2x100-1200 mg
peroral. Sering menjadi terapi lini pertama. Obat ini dapat memperburuk asma. Formulasi
intravena tersedia untuk pengobatan darurat hipertensi.
Metoprolol, sebuah beta bloker dengan dosis 2x25-200 mg peroral. Obat ini dapat
memperburuk asma dan kemungkinan berhubungan dengan penghentian pertumbuhan janin.
Beta bloker lainnya misal: pindolol dan propranolol dapat dipakai secara aman. Beberapa ahli
merekomendasikan untuk menghindari penggunaan atenolol.
Nifedipin (kerja panjang), sebuah pemblok kanal kalsium. Dosis 30-120 mg perhari.
Nifedipin kerja cepat tidak direkomendasikan untuk terapi ini, mengingat kemungkinan
resiko hipotensi. Pemblok kanal kalsium lainnya dapat digunakan secara aman.
Hidralazin, merupakan sebuah vasodilator perifer. Dosis 50-300 mg perhari dalam
dosis terbagi 2 atau 4. Sediaan hidralazin intravena tersedia untuk terapi darurat hipertensi.
Hidroklorotiazid, sebuah diuretik dengan dosis 12,5-50 mg sekali perhari. Ada
kekhawatiran sehubungan penggunaan obat ini, namun tidak ada data studi yang mendukung.
2.10. 3 Hipertensi Kronik dengan superimposed preeclampsia
Diagnosis superimposed preeclampsia sulit, apalagi hipertensi kronik disertai kelainan
ginjal dengan proteinuria.
Tanda-tanda superimposed preeclampsia pada hipertensi kronik, adalah a) adanya
proteinuria, gejala-gejala neurologik, nyeri kepala hebat, gangguan visus, edema patologik
yang menyeluruh (anasarka), oliguria, edema paru. b) kelainan laboratorium berupa kenaikan
serum kreatinin, trombositopenia, kenaikan transaminase serum hepar.
2.10.3 Persalinan pada kehamilan dengan hipertensi kronik
Sikap terhadap kehamilan ditentukan oleh derajat tekanan darah dan perjalanan klinik.
Bila didapatkan tekanan darah yang terkendali, perjalanan kehamilan normal, pertumbuhan
janin normal, dan volume amnion normal, maka dapat diteruskan sampai aterm.
Bila terjadi komplikasi dan kesehatan janin bertambab buruk, maka segera diterminasi
dengan induksi persalinan, tanpa memandang umur kehamilan. Secara umum persalinan
diarahkan pervaginam, termasuk hipertensi dengan superimposed preeklampsia dan
hipertensi kronis yang tambah berat.
2.10.4 Perawatan pasca persalinan
Perawatan pasca persalinan sama seperti preeklampsia. Edema serebri, edema paru,
gangguan ginjal, dapat terjadi 24 – 36 jam pasca persalinan. Setelah persalinan, enam jam
pertama resistensi (tahanan) perifer meningkat. Akibatnya, terjadi peningkatan kerja ventrikel
kiri. Bersamaan itu akumulasi cairan interstitial masuk ke dalam intravaskular. Perlu terapi
lebih cepat dengan atau tanpa diuretik. Bila terjadi perdarahan pasca persalinan, sangat
berbahaya bila diberi cairan kristaloid ataupun koloid, karena lumen pembuluh darah telah
mengalami vasokontriksi. Terapi terbaik bila terjadi perdarahan ialah pemberian tranfusi
darah (Angsar, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Abadi Agus, et al., 2008, Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kebidanan dan
Penyakit Kandungan : Pre-eklamsia ringan, Surabaya,Rumah Sakit Umum Dokter
Soetomo.
Aditiawarman, 2009, Kuliah Hipertensi Kehamilan, unpublished.
Angsar, Muh Dikman,2008, Hipertensi Dalam Kehamilan, Edisi IV-2008. Bag/SMF Ilmu
Kebidanan dan Penyakit Kandungan
Angsar, Muh Dikman, 2008, Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo, Edisikeempat, Jakarta:
PT Bina Pustaka.
Brett C Young, Levine R, et al., 2010, The Annual Review of Pathology : Mechanism of
Disease ‘Pathogenesis of Preeklampsiaa’. Diakses dari www.annualreviews.org.
Cunningham FC, Gant NF, Lenevo KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Hypertensive disorders in
pregnancy. In : William Obstetriks 22nd ed, New York: McGraw Hill: 2005 : 567-618.
Departemen Kesehatan RI, 2008, Profil Kesehatan Indonesia 2007, Jakarta.
Gumilar, Erry. 2008. Waspadai Preeklampsiaaa Pada Kehamilan. Accessed at:
http://unair.ac.id/unair_v1/gurubesar.unair.php?id=48.
WHO,2005, Make every mother and child count, in The world health report 2005. Accessed
at: http://www.who.int/whr/2005/whr2005_en.pdf.
Kee-Hak Lim. 2014. Preeklampsiaa. Accessed at:
http://emedicine.medscape.com/article/1476919-overview.