Anda di halaman 1dari 28

TUGAS PORTOFOLIO DOKTER INTERNSIP

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Oleh:
Fitriana Kusuma Wardhani, dr.

Pembimbing:
Farida Chasidijah, dr., Sp.OG

BAGIAN ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RUMAH SAKIT UMUM DOKTER SOEROTO
NGAWI
2016
BAB I
PENDAHULUAN

Hipertensi dalam kehamilan merupakan istilah umum dari lima klasifikasi penyakit
dengan gejala hipertensi saat kehamilan, baik yang diderita sebelum hamil atau akibat
kehamilan tersebut. Klasifikasi tersebut meliputi hipertensi gestasional, preeklamsia,
eklamsia, hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsia, dan hipertensi kronik
(Aditiawarman, 2009).
Hipertensi merupakan salah satu masalah medis yang kerapkali muncul selama
kehamilan dan merupakan 5 – 15 % penyulit kehamilan. Hipertensi pada kehamilan dapat
menyebabkan morbiditas/kesakitan pada ibu (termasuk kejang eklamsia, perdarahan otak,
edema paru, gagal ginjal akut, dan penggumpalan/pengentalan darah di dalam pembuluh
darah serta morbiditas pada janin (termasuk pertumbuhan janin terhambat di dalam rahim,
kematian janin di dalam rahim, solusio plasenta/plasenta terlepas dari tempat melekatnya di
rahim, dan kelahiran prematur). Selain itu, hipertensi pada kehamilan juga masih merupakan
salah satu penyebab utama kematian pada ibu (Angsar, 2008).
Menurut Cunningham, dkk (2005) kehamilan dapat menyebabkan hipertensi pada
wanita yang sebelumnya dalam keadaan normal atau memperburuk hipertensi pada wanita
yang sebelumnya telah menderita hipertensi. Hipertensi sebagai penyulit dalam kehamilan
sering ditemukan dan merupakan salah satu dari tiga besar, selain pendarahan dan infeksi,
yang terus menjadi penyebab utama sebagian besar kematian ibu di Amerika serikat.
Lebih lanjut data kejadian hipertensi pada kehamilan juga diungkapkan oleh WHO
(2005) bahwa secara sistematis, 16% kematian ibu di negara-negara maju di seluruh dunia
disebabkan karena hipertensi. Persentase ini lebih besar dari tiga penyebab utama lainnya
yaitu perdarahan 13 %, aborsi 8 %, dan sepsis 2 %. Di Amerika Serikat pada tahun 1991-
1997, Berg dan rekan dalam Cuningham (2005) melaporkan bahwa hampir 16 % dari 3.201
kematian ibu berasal dari komplikasi hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan.
Dalam Profil Kesehatan Indonesia (2008) diketahui bahwa eklampsia (24%) adalah
persentase tertinggi kedua penyebab kematian ibu setelah perdarahan (28%). Kejang bisa
terjadi pada pasien dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) yang tidak terkontrol saat
persalinan. Hipertensi ini dapat terjadi karena kehamilan dan akan kembali normal bila
kehamilan sudah berakhir. Namun, ada juga yang tidak kembali normal setelah bayi lahir.
Kondisi ini akan menjadi lebih berat bila hipertensi sudah diderita ibu sebelum hamil.
Menurut Prof.Dr.H.Erry Gumilar Dachlan,dr.SpOG(K) (2008), berdasarkan data di
RSU Dr.Soetomo, kejadian preeklamsia tercatat 30 hingga 50 kasus per tahunnya. Dengan
prevalensi 1,08%, angka kejadian preeklamsia ini lima kali lebih tinggi daripada angka
kejadian di Bangkok dan 10 kali lebih besar dari Singapura (Gumilar, 2008).
Menurut Angsar (2008) cukup banyak teori tentang bagaimana hipertensi pada
kehamilan dapat terjadi sehingga disebut sebagai “disease of theory”. Beberapa landasan teori
yang dikemukakan yaitu teori kelainan vaskularisasi plasenta, teori iskemia plasenta, radikal
bebas, dan disfungsi endotel, teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin, teori adaptasi
kardiovaskularisasi genetic, teori defisiensi gizi, dan teori inflamasi.
Makalah ini bertujuan untuk memahami definisi, faktor resiko, patofisiologi,
perubahan pada organ dan sistem organ, hingga tatalaksana hipertensi dalam kehamilan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi


Hipertensi dalam kehamilan merupakan istilah umum dari lima klasifikasi penyakit
dengan gejala hipertensi saat kehamilan, baik yang diderita sebelum hamil atau akibat
kehamilan tersebut. Klasifikasi tersebut meliputi hipertensi gestasional, preeklamsia,
eklamsia, hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsia, dan hipertensi kronik
(Aditiawarman, 2009).
Hipertensi didiagnosa saat tekanan darah sistolik melebihi 140 mmHg atau diastolik
melebihi 90 mmHg. Korotkoff V digunakan untuk menentukan tekanan diastolic
(Cunningham et al, 2005).
Sebelumnya peningkatan tekanan darah dalam kehamilan sistolik 30 mmHg atau
diastolik 15 mmHg digunakan sebagai kriteria diagnosis, walaupun tekanan darahnya di
bawah 140/90 mmHg. Kriteria tersebut tidak lagi digunakan karena bukti menunjukkan
bahwa wanita tersebut tidak mengalami komplikasi kehamilan yang buruk. Dengan kata lain,
wanita yang memiliki peningkatan tekanan darah sistolik 30 mmHg dan diastolik 15 mmHg
harus diobservasi lebih lanjut (Cunningham et al, 2005).

Diagnosis Kehamilan Dengan Hipertensi

Hipertensi Gestasional:
 TD sistolik > 140 or TD diastolik > 90 mm Hg pertama kali selama
kehamilan
 Tidak ada proteinuria
 TD kembali ke normal sebelum 12 minggu post partum
 Diagnosis final hanya dibuat saat postpartum
 Bisa dengan tanda dan gejala preeklampsia lainnya, seperti nyeri epigastrik
atau trombositopenia
Preeclampsia:
Kriteria minimal:
 TD > 140/90 mm Hg setelah 20 minggu usia kehamilan
 Proteinuria > 300 mg/24 jam atau > 1+ dipstick
Peningkatan kemungkinan preeklampsia:
 BP > 160/110 mm Hg
 Proteinuria 2.0 g/24 jam atau > 2+ dipstick
 Serum kreatinin > 1.2 mg/dL kecuali sudah ada peningkatan sebelumnya
 Platelet < 100,000/uL
 Mikroangiopati hemolisis—peningkatan LDH
 Peningkatan level serum transaminase—ALT atau AST
 Sakit kepala atau kelainan cerebral lain atau gangguan visual yang menetap
 Nyeri epigatrik yang menetap
Eklampsia:

 Kejang yang tidak disebabkan oleh penyebab lain pada wanita dengan
preeklampsia
Hipertensi Kronis Superimposed Preeklampsia:
 Onset baru proteinuria > 300 mg/24 jam pada wanita hipertensi tetapi tanpa
proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu
 Peningkatan yang mendadak pada proteinuria atau tekanan darah atau jumlah
platelet < 100,000/uL pada wanita dengan hipertensi dan proteinuria sebelum
usia kehamilan 20 minggu
Hipertensi Kronis:
 TD > 140/90 mm Hg sebelum kehamilan atau sudahh didiagnosa sebelum
usia kehamilan 20 minggu
 Tidak terkait dengan penyakit trophoblastik gestasional
atau

 Hipertensi pertama kali didiagnosa setelah usia kehamilan 20 minggu dan


menetap setelah 12 minggu postpartum
ALT = alanin aminotransferase; AST = aspartat aminotransferase; TD = tekanan
darah; LDH = laktat dehidrogenase.

(Cunningham et al, 2005)

2.2 Faktor Resiko


Frekuensi preeklampsia untuk tiap begara berbeda-beda karena faktor yang
mempengaruhinya. Frekuensinya dilaporkan berkisar antara 3-10%. Pada primigravida
frekuensi preeklampsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama
primigravida muda. Diabetes mellitus, mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis,
umur lebih dari 35 tahun, dan obesitas merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya
preeklampsia (Angsar, 2008).
Lebih jauh, Medscape (2014), mengambil dari buletin American College of
Obstetricians and Gynecologists tahun 1996, menyebutkan faktor resiko untuk preeklampsia
di antaranya sebagai berikut:
 Nullipara (3.1)
 Usia > 40 tahun (3:1)
 Ras kulit hitam (1,5:1)
 Riwayat penyakit keluarga (5:1)
 Penyakit ginjal kronis (20:1)
 Hipertensi kronis (10:1)
 Antiphospholipid syndrome (10:1)
 Diabetes mellitus (2:1)
 Kehamilan kembar (4:1)
 Obesitas (3:1)
(Medscape, 2014)
2.3 Patofisiologi

Penyebab hipertensi pada kehamilan hingga kini belum diketahui dengan jelas,
adapun teori-teori yang pada saat ini dianut adalah :

1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta


2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
4. Teori adaptasi kardiovaskularisasi genetic
5. Teori defisiensi gizi
6. Teori inflamasi
2.3.1 Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel troflobas pada lapisan otot
arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan arteri spiralis menjadi tetap kaku dan
keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan
vasodilatasi. Akibatnya, artesi spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan
remodeling arteri spiralis, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun dan terjadilah
hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan perubahan-
perubahan yang dapat menjelaskan patogenesis hipertensi dalam kehamilan selanjutnya.
Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron, sedangkan pada
preeklamsi rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal vasodilatasii lumen arteri spiralis dapat
meningkatkan 10x aliran darah ke utero plasenta (Angsar, 2008).
2.3.2 Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Plasenta yang mengalami iskemi dan hipoksia akan menghasilkan oksidan (radikal
bebas). Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil
yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Adanya
radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap sebagai bahan toksin yang beredar
dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilan disebut toxaemia (Angsar, 2008).
Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang banyak mengandung asam lemak
tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membran sel,
juga akan merusak nucleus, dan protein sel endotel. Membran sel endotel lenbih mudah
mengalami kerusakan oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung berhubungan dengan
aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Pada waktu terjadi kerusakan
sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi:
- Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel, adalah
memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin (PGE2): suatu
vasodilator kuat.
- Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi
trombosit memproduksi trombosit (TXA2) suatu vasokonstriktor kuat.
- Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular endotheliosis)
- Peningkatan permeabilitas kapiler.
- Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endothelin. Kadar NO
(vasodilator) menurun, sedangkan endothelin meningkat.
- Peningkatan faktor koagulasi (Angsar, 2008)
2.3.3 Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Bukti bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi :
- Primigravida mempunyai resiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan
dibandingkan dengan multigravida.
- Ibu multipara yang kemudian menikah lagi memiliki resiko lebih besar.
Pada perempuan hail normal, respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang
bersifat asing. Hal ini dikarenakan adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G).
Adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu. Pada
plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Karena berkurang
maka akan menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas sangat penting
agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi
arteri spiralis (Angsar, 2008)
2.3.4 Teori adaptasi kardiovaskularisasi genetik
Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan
vasopressor dan terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor. Artinya,
daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh darah
menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor. Peningkatan kepekaan terhadap bahan
vasopresor sudah terjadi sejak trisemester I. Peningkatan kepekaan akan menjadi hipertensi
dalam kehamilan, dan sudah ditemukan dalam kehamilan 20 minggu.
Secara genetik, genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan
secara familial dibandingkan dengan genotype janin. Pada 26% pada ibu yang mengalami
preeklampsia, anak perempuannya akan mengalami preeklamsia juga (Angsar, 2008)
2.3.5 Teori defisiensi gizi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi berperan dalam
terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat
produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah vasokonstriksi
pembuluh darah. Beberapa penelitian juga menganggap bahwa defisiensi kalsium pada diet
perempuan hamil mengakibatkan risiko terjadinya preeklamsia/eklamsia (Angsar, 2008)
2.3.6 Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah merupakan
rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris
trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi masih dalam batas normal.
Berbeda pada proses apoptosis pada preeklamsia terjadi peningkatan stress oksidatif,
sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Keadaan ini
menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar, dibanding
pada kehamilan normal. Respon inflamasi ini akan mengaktivai sel endotel, dan sel makrofag
yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala
preeklamsi pada ibu (Angsar, 2008).
2.4 Perubahan Sistem dan Organ pada Preeklampsia
2.4.1 Volume plasma
Pada preeklamsi terjadi penurunan volume plasma hingga 30%- 40% dibanding hamil
normal disebut hipovolemia. Hipovolemia diimbangi dengan vasokonstriksi, sehingga terjadi
hipertensi. Volume plasma yang turun memberi dampak yang luas pada organ-organ penting.
Preeklamsi sangat peka dengan pemberian cairan intravvena yang terlalu cepat dan peka
terhadap kehilangan darah, sehingga diperlukan observasi cairan masuk ataupun keluar
(Angsar, 2008)
2.4.2 Hipertensi
Pada preeklamsi peningkatan reaktivitas vaskular dimulai umur 20 minggu. Tekanan
darah yang tinggi bersifal labil dan mengikuti irama sirkadian normal. Tekanan darah menjadi
normal pasca persalinan kecuali pada beberapa kasus preeklamsi berat kembalinya tekanan
darah normal terjadi 2-4 minggu pasca persalinan.
Timbulnya hipertensi adalah akibat vasospasme menyeluruh dengan ukuran tekanan
darah ≥ 140/90 mmHg selang 6 jam (Angsar, 2008).
2.4.3 Fungsi ginjal
Perubahan fungsi ginjal disebabkan :
1. Menurunnya aliran darah sehingga terjadi oliguri hingga anuri
2. Kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya permeabilias membrane
basalis sehingga terjadi kebocoran dan menyebabkan proteinuri yang tejadi pada
akhir kehamilan
3. Terjadi Glomerular Capillary Endotheliosis akibat sel endotel glomeruler
membengkak
4. GGA akibat nekrosis tubulus ginjal.
5. Terjadi kerusakan jaringan intrinsik ginjal akibat vasospasme pembuluh darah.
Gejala penyakit ginjal, merupakan syarat untuk diagnosis preeklamsia. Dianggap
patologis jika ditemukan proteim pada urin >300 mg 24 jam, atau ditemukan +1 dalam urin.
Akibat hipovolemia, yang menyebabkan menurunnya aliran darah ginjal dan
mengakibatkan menurunnya filtrasi glomerulus, sehingga menurunnya sekresi asam urat.
Peningkatan asam urat bisa juga karena iskemi jaringan.
Pada preeklampsia, kreatinin plasma meningkat karena penurunan laju filtrasi
glomerulus sehingga terjadi penurunan sekresi kreatinin (Angsar, 2008).
2.4.4 Elektrolit
Pada hamil normal, terjadi penurunan kadar elektrolit total, pada preeklamsi kadar
elektrolit sama dengan kehamilan normal, kecuali bila diberi diuretikum banyak, restriksi
konsumsi garam, atau pemberian cairan oksitosin yang bersifat antidiuretik. Ini berarti pada
preeklampsia tidak diperlukan restriksi konsumsi garam.
Namun pada preeclampsia berat yang mengalami hipoksia dapat menimbulkan
gangguan keseimbangan asam basa. Pada waktu kejang eklampsia kadar bikarbonat menurun,
disebabkan timbulnya asidosis laktat dan akibat kompensasi hilangnya karbon dioksida
(Angsar, 2008)
2.4.5 Tekanan osmotik koloid plasma/tekanan onkotik
Pada kehamilan normal osmolaritas serum dan tekanan onkotik menurun pada umur
kehamilan 8 minggu, tetapi pada preeklampsia tekanan onkotik makin menurun karena
kebocoran protein dan peningkatan permeabilitas vascular (Angsar, 2008).
2.4.6 Koagulasi dan fibrinolisis
Pada preeklampsia terjadi peningkatan FDP, penurunan antitrombin III, dan
peningkatan fibronektin (Angsar, 2008)
2.4.7 Viskositas darah
Pada preeklampsia viskositas darah meningkat, mengakibatkan meningkatnya
resistensi perifer dan menurunnya aliran darah ke organ (Angsar, 2008)
2.4.8 Hematokrit
Pada preeklampsia, hematokrit meningkat karena hipovolemia yang menggambarkan
beratnya preeklampsia (Angsar, 2008).
2.4.9 Edema
Edema terjadi karena hipoalbuminemia atau kerusakan sel endotel kapiler (Angsar,
2008).
2.4.10 Hematologik
Perubahan hematologik disebabkan oleh hipovolemia akibat vasospasme,
hipoalbuminemia hemolisis mikroangiopati akibat spasme arteriol dan hemolisis akibat
kerusakan endotel arteriol. Perubahan tersebut dapat berupa peningkatan hematokrit akibat
hipovolemia, peningkatan viskositas darah, trombositopenia, dan gejala hemolisis
mikroangiopatik (Angsar, 2008)
2.4.11 Mata
Gangguan visus akibat spasme arteri dan edema retina dapat berupa: pandangan
kabur, skotomata, amaurosis yaitu kebutaan tanpa jelas adanya kelainan dan ablasio retina
(retinal detachment).
2.4.12 Hepar
Dasar perubahan pada hepar ialah vasospasme, iskemi dan perdarahan. Subkapsular
hematoma menimbulkan rasa nyeri di daerah epigastrium dan dapat menimbulkan rupture
hepar, sehingga perlu pembedahan (Angsar, 2008).
2.4.13 Neurologik
Perubahan neurologik dapat berupa:
 Nyeri kepala akibat hiperperfusi otak, sehingga menimbulkan vasogenik edema.
 Dapat terjadi gangguan visus akibat spasme arteri retina dan edema retina.
 Hiperrefleksi
 Dapat timbul kejang eklamptik, yang disebabkan edema serebri, vasospasme
serebri dan iskemia serebri.
 Perdarahan intrakranial (jarang) (Angsar, 2008).
2.4.14 Kardiovaskular
Perubahan kardiovaskular disebabkan oleh peningkatan cardiac afterload akibat
hipertensi dan penurunan cardiac preloadd akibat hipovolemia (Angsar, 2008).
2.4.15 Paru
Preeklampsia beresiko besar terjadi edema paru, yang disebabkan payah jantung kiri,
kerusakan sel endotel pada pembuluh darah kapiler paru, dan menurunnya dieresis (Angsar,
2008)
2.4.16 Janin
 IUGR dan oligohidramnion
 Kenaikan morbiditas dan mortalitas janin, secara tidak langsung akibat
intrauterine growth restriction, prematuritas, oligohidramnion, dan solusio
plasenta (Angsar,2008).
2.5 Pencegahan Preeklampsia
Yang dimaksud pencegahan ialah upaya untuk mencegah terjadinya preeklampsia
pada perempuan hamil yang mempunyai risiko terjadinya preeklampsia. Pencegahan dapat
dilakukan dengan nonmedikal dan medikal.
2.5.1 Pencegahan dengan nonmedikal
Pencegahan nonmedikal adalah pencegahan dengan tidak memberikan obat. Cara
yang paling sederhana adalah melakukan tirah baring. Restriksi garam tidak terbukti
mencegah terjadinya preeklampsia.
Hendaknya diet ditambah suplemen yang mengandung (a) minyak ikan yang
mengandung asam lemak tak jenuh misalnya omega-3 PUFA, (b) antioksidan: vitamin C,
vitamin E, β karoten, CoQ10, N-Asetilsistein, asam lipoik, dan (c) elemen logam berat yaitu
zinc, magnesium, dan kalsium (Angsar, 2008).
2.5.2 Pencegahan dengan medikal
Pencegahan dapat pula dilakukan dengan pemberian obat meskipun belum ada bukti
yang kuat dan sahih. Pemberian kalsium 1500 – 2000 mg/hari dapat dipakai sebagai
suplemen pada resiko tinggi terjadinya preeklampsia. Selain itu dapat pula diberikan zink 200
mg/hari magnesium 365 mg /hari. Obat antitrombotik yang dianggap dapat mencegah
preeklampsia adalah aspirin dosis rendah rata-rata di bawah 100 mg/hari. Dapat pula
diberikan obat-obat antioksidan, misalnya vitamin C, vitamin E, β karoten, CoQ 10, N-
Asetilsistein, asam lipoik (Angsar, 2008).
2.6 Preeklampsia Ringan
2.6.1 Definisi Preeklampsia Ringan
Preeklampsia ringan adalah suatu sindroma spesifik kehamilan dengan menurunnya
perfusi organ yang berakibat terjadinya vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel
(Angsar,2008).
2.6.2 Diagnosis Preeklampsia Ringan
Diagnosis preeklampsia ringan ditegakkan berdasar atas timbulnya hipertensi disertai
proteinuria dan/atau edema setelah kehamilan kehamilan 20 minggu.
- Hipertensi : sistolik/diastolik > 140/90. Kenaikan sistolik >30mmHg dan kenaikan
diastolik >15mmHg tidak dipakai lagi sebagai kriteria preeklampsia
- Proteinuria >300mmHg/24jam atau >1 +dipstick
Edema : edema local tidak dimasukkan dalam kriteria preeklampsia, kecuali edema
pada lengan, muka dan perut, edema generalisata.
2.6.3 Manajemen Umum
Pada setiap kehamilan disertai penyulit suatu penyakit, maka selalu dipertanyakan
bagaimana :
- Sikap terhadap penyakitnya, berarti pemberian obat-obatan, atau terapi
medikamentosa
- Sikap terhadap kehamilannya, berarti mau diapakan kehamilan ini :
 Apakah kehamilan akan diteruskan sampai aterm?
Disebut perawatan kehamilan “konservatif” atau “ekspektatif”
 Apakah kehamilan akan diakhiri (diterminasi)?
Disebut perawatan kehamilan “aktif” atau “agresif”
Belum ditemukan terapi untuk preeklampsia kecuali melahirkan plasenta. Tujuan
utama perawatan preeklampsia adalah mencegah kejang, perdarahan intrakranial, mencegah
gangguan fungsi organ vital, dan melahirkan bayi sehat (Angsar, 2008). Preeklampsia ringan
dapat dirawat secara ekspektatif hingga umur kehamilan 37 minggu (Brett, 2010).
RSUD dr Sutomo dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Pre-eklampsia Ringan
(Abadi, 2008) memaparkan penanganan kasus preeklampsia ringan, sebagai berikut :
1. Rawat Jalan
1. Banyak istirahat (berbaring/tidur miring)
2. Diet sedapat mungkin tinggi protein, rendah karbohidrat
3. Dilakukan pemeriksaan penilaian kesejahteraan janin pada kehamilan > 30-32
minggu, dan diulangi sekurang-kurangnya dalam 2 minggu.
a. USG (ultrasonografi)
b. NST (Non-Stress tes)
4. Pemeriksaan Laboratorium
a. PCV,Hb
b. Asam urat darah
c. Trombosit
5. Obat-obat yang diberikan
a. Roboransia, vitamin kombinasi
b. Aspirin dosis rendah sekali sehari (87,5mg)
6. Kunjungan ulang 1 minggu
Keterangan : Ibu hamil dengan preeklampsia ringan dapat dirawat secara rawat jalan.
Dianjurkan ibu hamil banyak istirahat (berbaring/tidur miring), tetapi tidak harus mutlak
selalu tirah baring. Pada umur kehamilan di atas 20 minggu, tirah baring dengan posisi miring
menghilangkan tekanan rahim pada v.kava inferior, sehingga meningkatkan aliran darah balik
dan akan menambah curah jantung. Hal ini berarti pula meningkatkan aliran darah ke organ-
organ vital. Penambahan aliran darah ke ginjal akan meningkatkan filtrasi glomerolur dan
meningkatkan diuresis. Diuresis dengan sendirinya meningkatkan ekskresi natrium,
menurunkan reaktivitas kardiovaskular, sehingga mengurangi vasospasme. Peningkatan curah
jantung akan meningkatkan pula aliran darah rahim, menambah oksigenasi plasenta dan
memperbaiki kondisi janin dalam rahim. Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan restriksi
garam sepanjang fungsi ginjal masih bagus, sehingga tidak perlu restriksi garam.
Diet yang mengandung 2 gram natrium atau 4-6g NaCl (garam dapur) adalah cukup.
Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam lewat ginjal, tetapi pertumbuhan janin
justru membutuhkan lebih banyak konsumsi garam. Bila konsumsi garam hendak dibatasi,
hendaknya diimbangi dengan konsumsi cairan yang banyak, berupa susu atau air buah. Diet
diberikan cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya dan roborantia
prenatal.
Tidak diberikan obat-obatan diuretik, antihipertensi, dan sedatif. Dilakukan
pemeriksaan laboratorium Hb, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap dan fungsi ginjal.
2. Rawat Tinggal
1. Kriteria untuk Rawat tinggal bagi penderita preeklampsia ringan
a. Hasil penilaian kesejahteraan janin ragu-ragu atau jelek (pemeriksaan pada kehamilan >
30-32 minggu)
b. Kecenderungan menuju gejala preeklampsia berat (timbul salah satu / lebih gejala
preeklampsia berat)
c. Tidak ada perbaikan tekanan darah, kadar proteinuria selama 2 minggu.
2. Pengobatan dan evaluasi selama rawat tinggal
a. Penderita tirah baring total
b. Obat-obat :
- Roborantia, vitamin kombinasi
- Aspirin dosis rendah sehari 1 kali
c. Pemeriksaan laboratorium :
- Hb, PCV
- Asam urat darah
- Trombosit
- Fungsi Ginjal/hepar
- Urin lengkap
d. Dilakukan penilaian kesejahteraan janin
Berupa pemeriksaan USG dan Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin
dan jumlah cairan amnion. Pemeriksaan NST dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi
dengan bagian mata, jantung dan lain-lain (Angsar, 2008)
3. Evaluasi hasil pengobatan
Pada dasarnya evaluasi pengobatan dilakukan berdasarkan hasil dari penilaian
kesejahteraan janin, bila didapatkan hasil :
a. Jelek : terminasi kehamilan dengan sectio sesaria (pada kehamilan > 30-32 minggu)
b. Ragu-ragu : dilakukan evaluasi ulang dari NST 1 hari kemudian
c. Baik : penderita dirawat sekurang-kurangnya 4 hari, bila kehamilan prematur,
penderita dipulangkan dan rawat jalan. Pada kehamilan aterm dengan skor pelvic yang
matang (> 5) dilakukan induksi dengan drip oksitosin (dosis regimen). Bila skor pelvic
belum matang (< 5) penderita dipulangkan dan rawat jalan, kontrol 1 minggu.
d. Terminasi kehamilan juga dikerjakan bila didapatkan tanda-tanda dari impending
eklampsia dari ibunya.
3. Perawatan Obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya
Pada kehamilan preterm (<37 minggu), bila tekanan darah mencapai normotensif,
selama perawatan, persalinannnya ditunggu sampai aterm. Sementara itu, pada kehamilan
aterm (>37minggu), persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau
dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal persalinan.
Persalinan dapat dilakukan secara spontan, bila perlu memperpendek kala II (Angsar, 2008).
Indikasi perawatan konservatip ialah bila kehamilan preterm < 37 minggu tanpa
disertai tanda-tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik. Diberikan pengobatan
yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada pengelolaan secara aktip. Di bagian
Kebidanan RSU Dr Soetomo Surabaya, pada perawatan konservatip preeklampsia, loading
dose MgSO4 tidak diberikan secara i.v. cukup i.m. saja. Selama perawatan konservatip; sikap
terhadap kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktip,
hanya kehamilan tidak diakhiri. Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-
tanda preeklampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam.Bila setelah 24 jam
tidak ada perbaikan, maka keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan
medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh dipulangkan bila penderita kembali ke
gejala-gejala atau tanda-tanda preeklampsia ringan (Angsar, 2008).
2.7 Preeklampsia Berat
2.7.1 Definisi
Preeklampsia berat adalah preeklampsia dengan tekanan darah ≥160/110 mmHg, disertai
proteinuria ≥5 g/24 jam atau 3+ atau lebih (Angsar, 2008).
2.7.2 Diagnosis
Diagnosis preeklampsia berat menurut Angsar (2008) dalam Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo, ditegakkan bila ditemukan salah satu atau lebih tanda/gejala berikut:
1. TD ≥ 160/110 mmHg
2. Proteinuria ≥5 g/24 jam; 3 atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.
3. Oliguria yaitu produksi urin kurang dari 500cc/24jam
4. Kenaikan kadar kreatinin plasma
5. Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma
dan pandangan kabur.
6. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen.
7. Edema paru-paru dan sianosis
8. Hemolisis mikroangiopatik
9. Trombositopenia berat: <100.000 sel/mm3atau penurunan trombosit dengan
cepat.
10. Gangguan fungsi hepar
11. Pertumbuhan janin intra uterin yang terhambat
12. Sindrom HELLP
2.7.3 Penyulit
a) Ibu
 SSP: perdarahan, trombosis, edema, encefalopati, edema retina, ablasio, dan
kebutaan
 GIT/hepatik: subcapsular hematom, rupture
 Ginjal: GGA, nekrosis
 Hematologik: DIC, trombositopenia
 Kardiopulmonar: edema, arrest, ischemia
 Lain-lain: ascites, edema, hipertensi krisi
b) Janin
 IUGR
 IUFD
 Solusio
 Prematuritas
 Perdarahan intraventrikular
 NEC
 Cerebral palsy
 Sepsis (Angsar, 2008)
2.7.4 Penatalaksanaan
Pada perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan preeklampsia
ringan, maka dibagi menjadi dua unsur, yaitu sikap terhadap penyakitnya dan sikap terhadap
kehamilannya.
2.7.4.1 Sikap Terhadap Penyakitnya: Pengobatan Medikamentosa
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan
dinjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri)
Perawatan yang penting pada preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan, karena
penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya edema paru
dan oliguria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, namun faktor yang sangat
menentukan terjadinya edema paru dan oliguria ialah: hipovolemia, vasospasme, kerusakan
sel endothel, penurunan gradient tekanan onkotik koloid / pulmonary capillary wedge
pressure.
Oleh karena itu monitoring input cairan (melalui oral maupun infuse ) dan output
cairan (melalui urine) menjadi sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara
tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urine. Bila terjadi
tanda-tanda edema paru segera dilakukan tindakan koreksi.
Cairan yang diberikan, dapat berupa : a) 5 % Ringer-dectrose atau cairan garam faali
jumlah tetesan : < 125 cc/jam b) Atau Infuse Dextrose 5%. yang tiap 1 liternya diselingi
dengan infuse Ringer lactate (60-125 cc/jam) 500 cc.
Dipasang Foley Catheter untuk mengukur pengeluaran urine.
Oliguria terjadi bila produksi urine < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam.
Diberikan antasida untuk menetraliser asam lambung,sehingga bila mendadak kejang, dapat
menghindari risiko aspirasi asam lambung yang sangat asam.Diet yang cukup protein: rendah
karbohidrat, lemak dan garam.
Obat anti kejang yang diberikan adalah :
a. Golongan MgSO4
b. Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk anti kejang-kejang :
1) Diasepam
2) Fenitoin
Difenihidantoin obat anti kejang untuk epilepsi telah banyak dicoba pada penderita
eklampsia. Beberapa peneliti telah memakai bermacam - macam regimen. Fenitoin sodium
mempunyai khansiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk jaringan otak dan efek anti
kejang terjadi 3 menit setelah injeksi intra vena. Fenitoin sodium diberikan dalam dosis 15
mg/kg berat badan dengan pemberian intra vena 50 mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari
magnesium sulphate. Pengalaman pemakaian fenitoin di beberapa senter di dunia masih
sedikit.
Obat anti kejang yang banyak dipakai di Indonesia adalah magnesium sulfat
(:MgSO4.7H2O). Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serat syaraf dengan menghambat transmisi neuromuskuler. Transmisi
neorumuskuler membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, maka
magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi inhibisi
kompetitif antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar kalsium yang tinggi dalam darah
dapat menghambat kerja magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi
pilihan pertama untuk anti kejang pada preeklampsia atau eklampsia. Banyak cara pemberian
Magnesium sulfat
Cara pemberian :
a. Loading dose : initial dose
4 gram MgSO4 : intravena, (20% dalam 20 cc) selama 1 gram/menit (ke-emasan 20%
dalam 25 cc larutan MgSO4). 4 atau 5 gram di bokong kiri dan 4-5 gram di bokong kanan.
(40 % dalam 10 cc atau 40 % dalam 12,5 cc).
b. Maintenance dose” :
Diberikan 4 atau 5 gram i.m., 40% setelah 6 jam pemberian loading dose. Selanjutnya
maintenance dose diberikan 4 gram i.m. tiap 4-6 jam
c. Syarat-syarat pemberian MgSO4:
1. Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu Calcium gluconas
10% = 1 gr. (10% dalam 10 cc) diberikan I,V, 3 menit.
2. Refleks patella (+) kuat.
3. Frekuensi pernafasan > 16 + / menit, tidak ada tanda2 distress nafas.
4. Produksi urine > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya. (0,5 cc/kg.bb./jam)
d. Magnesium sulfat dihentikan bila:
1. Ada tanda-tanda intoksikasi
2. Setelah 24 jam pasca persalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir
e. Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
1. Dosis tearpeutik 4 -7 mEq/liter 4,8 – 8,4 mg/dl
2. Hilangnya refleks tendon 10 mEq/liter 12 mg/dl
3. Terhentinya pernafasan 15 mEq /liter 18 mg/dl
4. Terhentinya jantung >30 mEq/liter >36 mg/dl
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru, payah jantung
kongestip atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah furosemida. Pemberian diuretikum
dapat memberi kerugian, yaitu: memperberat hipovolemia, memperburuk perfusi utero-
plasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi pada janin, dan penurunan
berat janin.
Pemberian anti hipertensi : Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang
penentuan batas (cut off) desakan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort
mengusulkan cut off yang dipakai adalah 160/110 mmHg dan MAP 126 mmHg. Di RSU Dr
Soetomo Surabaya, batas desakan darah pemberian antihipertensi, ialah apabila desakan
sistolik 180 mmHg dan atau desakan diastolic 110 mmHg Desakan darah diturunkan secara
bertahap, yaitu penurunan awal 25 % dari desakan sistolik dan desakan darah diturunkan
mencapai < 160/105 atau MAP < 125 Jenis antihipertensi yang diberikan sangat bervariasi
Pada preeklampsia berat, dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payah jantung
ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non-kardiogenik (akibat kerusakan sel
endothel pembuluh darah kapiler paru). Prognosis preeklampsia berat menjadi buruk bila
edema paru disertai oliguria.
Pemberian glucocorticoid untuk pematangan paru janin, tidak merugikan ibu.
Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2 X 24 jam.
2.7.4.2 Sikap Terhadap Kehamilannya
1. Aktip (aggressive management). Indikasi perawatan aktip, ialah bila
didapatkan satu / lebih keadaan dibawah ini:
1) Ibu :
a) Umur kehamilan ≥ 37 minggu.
b) Adanya tanda2 /gejala2 impending eklampsia
c) Kegagalan terapi pada perawatan konservatip, yaitu: keadaan klinik dan laboratorik
memburuk
d) Diduga terjadi solusio plasenta.
e) Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
2) Janin :
a) Adanya tanda-tanda fetal distress
b) Adanya tanda-tanda IUGR ( Intra uterine growth restriction}
c) NST non reaktif dengan profil biofisik abnormal
d) Terjadinya oligohidramnion
3) Laboratorik
a) Adanya tanda2 “Sindroma HELLP” khususnya menurunnya trombosit dengan
cepat
2. Konservatip (ekspektativ) berarti : kehamilan tetap dipertahankan bersamaan
memberi pengobatan medikamentosa
Indikasi perawatan konservatip ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu tanpa
disertai tanda-tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik. Diberikan pengobatann
yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada pengelolaan secara aktip. Di bagian
Kebidanan RSU Dr Soetomo Surabaya, pada perawatan konservatip preeklampsia, loading
dose MgSO4 tidak diberikan secara i.v. cukup i.m. saja. Selama perawatan konservatip; sikap
terhadap kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktip,
hanya kehamilan tidak diakhiri. Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-
tanda preeklampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam.Bila setelah 24 jam
tidak ada perbaikan, maka keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan
medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh dipulangkan bila penderita kembali ke
gejala gejala atau tanda-tanda preeklampsia ringan (Angsar, 2008).
2.8 Eklampsia
2.8.1 Definisi
Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti "halilintar". Kata tersebut
dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului
oleh tanda-tanda lain. Secara defenisi eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan
kejangtonik klonik disusul dengan koma. Menurut saat timbulnya, eklampsia dibagi atas:
1. Eklampsia antepartum (eklampsia gravidarum), yaitu eklampsia yang terjadi
sebelum masa persalinan 4-50%.
2. Eklampsia intrapartum (eklampsia parturientum), yaitu eklampsia yang terjadi pada
masa persalinan (Cunningham,2005).
2.8.2 Gejala dan Tanda
Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya preeklampsia dan
terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual yang
hebat, nyeri epigastrium, dan hiperreflexia. Bila keadaan ini tidak dikenal dan tidak segera
diobati, akan timbul kejang.
Konvulsi eklampsia dibagi dalam 4 tingkat, yakni :
1. Stadium Invasi (tingkat awal atau aura)
Mula-mula gerakan kejang dimulai pada daerah sekitar mulut dan gerakan-gerakan
kecil pada wajah. Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata dan tangan bergetar.
Setelah beberapa detik seluruh tubuh menegang dan kepala berputar ke kanan dan ke kiri. Hal
ini berlangsung selama sekitar 30 detik.
2. Stadium kejang tonik
Seluruh otot badan menjadi kaku, wajah kaku, tangan menggenggam dan kaki
membengkok ke dalam, pernapasan berhenti, muka mulai kelihatan sianosis, dan lidah dapat
tergigit. Stadium ini berlangsung kira-kira 20 - 30 detik
3. Stadium kejang klonik
Spasmus tonik menghilang. Semua otot berkontraksi berulang-ulang dalam tempo
yang cepat. Mulut terbuka dan menutup, keluar ludah berbusa, lidah dapat tergigit,
mata melotot, muka kelihatan kongesti, dan sianotik. Kejang klonik ini dapat demikian
hebatnya hingga penderita dapat terjatuh dari tempat tidurnya. Setelah berlangsung selama 1 -
2 menit, kejang klonik berhenti dan penderita tidak sadar, menarik napas seperti mendengkur.
4. Stadium koma
Koma berlangsung beberapa menit hingga beberapa jam. Secara perlahan-lahan
penderita mulai sadar kembali. Kadang-kadang antara kesadaran timbul serangan baru dan
akhirnya penderita tetap dalam keadaan koma (Wiknjosastro, 1999).
2.8.3 Perawatan Eklampsia
Perawatan dasar eklampsia yang utama ,ialah terapi suportif untuk stabilisasi fungsi
vital, yang harus selalu diingat ABC (Airway, Breathing, Circulation), mengatasi dan
mencegah kejang, mengatasi hipoksemia dan acidemia mencegah trauma pada pasien pada
waktu kejang, mengendalikan desakan darah, khusunya pada waktu krisis hipertensi,
melahirkan janin pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat. Perawatan
medikamentosa dan perawatan suportif eklampsia, merupakan perwatan yang sangat penting
Tujuan utama dari pengobatan medikamentosa eklampsia ialah mencegah dan menghentikan,
kejang, mencegah dan mengatasi penyulit, khususnya ; hipertensi krisis, mencapai stabilisasi
ibu seoptimal mungkin, sehingga dapat melahirkan janin pada saat dan dengan cara yang
tepat (Angsar, 2008).
2.8.4 Pengobatan Medikamentosa
a. Obat anti kejang
Obat anti kejang yang menjadi pilihan pertama ialah magnesium sulfat. Bila dengan
jenis obat ini kejang masih sukar diatasi, maka dapat dipakai obat jenis lain, misalnya:
thiopental. Diazepam dapat dipakai sebagai alternatif pilihan, namun mengingat dosis yang
diperlukan sangat tinggi, maka pemberian diazepam hanya dilakukan oleh mereka yang telah
berpengalaman. Pemberian diuretikum hendaknya selalu disertai dengan memonitor plasma
elektrolit. Obat kardiotonika ataupun obat-obat anti hipertensi hendaknya selalu disiapkan
dan diberikan benar-benar atas indikasi.
b. Magnesium sulfat (MgSO4)
Pemberian magnesium sulfat pada dasarnya sama seperti pemberian magnesium sulfat
pada preeklampsia berat. Pengobatan suportif terutama ditujukan untuk gangguan fungsi
organ-organ penting, misalnya: tindakan-tindakan untuk memperbaiki asidosis,
mempertahankan ventilasi paru, mengatur desakan darah, mencegah decompensasi cordis dan
sebagainya. Pada penderita yang mengalami kejang dan koma, maka nursing care sangat
penting, misalnya meliputi cara-cara perawatan penderita dalam suatu kamar isolasi,
mencegah aspirasi, mengatur infus penderita, monitoring produksi urin, dan lain-lain.
c. Perawatan pada waktu kejang
Pada penderita yang mengalami kejang, tujuan pertama pertolongan ialah mencegah
penderita mengalami trauma akibat kejang tersebut. Penderita dirawat di kamar isolasi cukup
terang, tidak di kamar gelap, agar bila terjadi sianosis segera dapat diketahui .Penderita
dibaringkan di tempat tidur yang lebar, dengan rail tempat tidur harus dipasang dan dikunci
dengan kuat. Selanjutnya dimasukkan sudap lidah ke dalam mulut penderita dan jangan
mencoba melepas sudap lidah yang sedang tergigit, karena dapat mematahkan gigi. Kepala
direndahkan dan daerah orofaring dihisap. Hendaknya dijaga agar kepala dan ekstrimitas
penderita yang kejang tidak terlalu kuat menghentak-hentak benda keras disekitarnya. Fiksasi
badan pada tempat tidur harus cukup kendor, guna menghindari fraktur.
d. Perawatan koma
Perlu diingat bahwa penderita koma tidak dapat bereaksi atau mempertahankan diri
terhadap : suhu yang ekstrem, posisi tubuh yang menimbulkan nyeri, dan aspirasi karena
hilangnya refleks muntah. Bahaya terbesar yang mengancam penderita koma, ialah
terbuntunya jalan napas atas. Setiap penderita eklampsia yang jatuh dalam koma, harus
dianggap bahwa jalan napas atas terbuntu, kecuali dibuktikan lain. Oleh karena itu tindakan
pertama-tama pada penderita yang jatuh koma (tidak sadar), ialah menjaga dan
mengusahakan agar jalan napas atas tetap terbuka. Untuk menghindari terbuntunya jalan
napas atas oleh pangkal lidah dan epiglotis dilakukan tindakan sebagai berikut. Cara yang
sederhana dan cukup efektif dalam menjaga terbukanya jalan napas atas, ialah dengan
maneuver head tilt-neck lift, yaitu kepala direndahkan dan leher dalam posisi ekstensi
kebelakang atau head tilt-chain lift, dengan kepala direndahkan dan dagu ditarik keatas, atau
jaw-thrust, yaitu mandibula kiri kanan diekstensikan ke atas sambil mengangkat kepala ke
belakang. Tindakan ini kemudian dapat dilanjutkan dengan pemasangan oropharyngeal
airway. Hal penting kedua yang perlu diperhatikan ialah, bahwa penderita koma, akan
kehilangan refleks muntah sehingga kemungkinan terjadinya aspirasi bahan lambung adalah
sangat besar. Lambung ibu hamil harus selalu dianggap sebagai lambung penuh. Oleh karena
itu, semua benda-benda yang ada dalam rongga mulut dan tenggorokan, baik berupa lendir,
maupun sisa makanan harus segera dihisap secara intermitten. Penderita ditidurkan dalam
posisi stabil untuk drainage lendir. Monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai
“Glasgow–Coma Scale”. Pada perawatan koma; perlu diperhatikan pencegahan decubitus
dan makanan penderita Pada koma yang lama, bila nutrisi tidak mungkin; dapat diberikan
dengan NGT (Naso Gastric Tube)
e. Perawatan edema paru
Bila terjadi edema paru, maka sebaiknya penderita dirawat di ICU, karena
membutuhkan perawatan animasi dengan respirator (Angsar, 2008).
2.8.5 Pengobatan Obstetrik
Sikap terhadap kehamilan.,ialah semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri,
tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Persalinan diakhiri, bila sudah
mencapai : stabilisasi (pemulihan) hemodinamika dan metabolisme ibu. Pada perawatan
pasca persalinan, bila persalinan terjadi pervaginam monitoring tanda-tanda vital dilakukan
sebagaimana lazimnya.
2.8.6 Prognosa
Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan, maka gejala perbaikan
akan tampak jelas setelah kehamilannya diakhiri. Segera setelah persalinan berakhir
perubahan patofisiologik akan segera pula mengalami perbaikan. Diuresis terjadi 12 jam
kemudian setelah persalinan. Keadaan ini merupakan tanda prognose yang baik, karena hal
ini merupakan gejala pertama penyembuhan. Desakan darah kembali normal dalam beberapa
jam kemudian. Eklampsia tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya, kecuali pada janin dari
beberapa ibu yang sudah mempunyai hipertensi kronik. Prognosa janin pada penderita
eklampsia juga tergolong buruk. Seringkali janin mati intra uterin atau mati pada fase
neonatal karena memang kondisi bayi sudah sangat inferior (Angsar, 2008).
2.9 Sindroma HELLP
2.9.1 Definisi
Sindroma HELLP adalah sekumpulan gejala yang muncul pada wanita hamil, dengan
ciri: H (hemolysis/ pemecahan sel darah merah), EL (Elevated Liver enzyme/peningkatan
enzim hepar), dan LP (Low Platelet count/hitung jumlah platelet yang rendah
(trombositopeni) (Cunningham, 2005).
2.9.2 Diagnosis
Banyak wanita memiliki tekanan darah tinggi dan didiagnosis dengan preeklampsiaaa
sebelum berkembang menjadi sindromaa HELLP. Namun dalam beberapa kasus sindromaa
HELLP merupakan peringatan awal dari preeklampsiaaa.
Diagnosis Sindromaa HELLP secara obyektif lebih berdasarkan hasil laboratorium,
sedangkan manifestasi klinis bersifat subyektif, kecuali jika keadaan sindromaa HELLP
semakin berat. Berdasarkan hasil laboratorium dapat ditemukan anemia hemolisis, disfungsi
hepar, dan trombositopeni.
1. Hemolisis
Tanda hemolisis dapat dilihat dari ptekie, ekimosis, hematuria dan secara laboratorik
adanya Burr cells dan helmet cells pada apusan darah tepi. Hemolisis ini mengakibatkan
peningkatan kadar bilirubin dan lactate dehydrogenase (LDH).
2. Elevated liver enzymes
Disfungsi hepar direfleksikan dari peningkatan enzim hepar yaitu aspartate
transaminase (AST/GOT), alanin transaminase (ALT/GPT), dan juga peningkatan LDH.
Peningkatan SGOT, SGPT (> 70 iu) dan LDH (> 600 iu) merupakan tanda degenerasi hati
akibat vasospasme luas. LDH > 1400 iu, merupakan tanda spesifik akan kelainan klinik.
3. Low platelets
Jumlah trombosit < 100.000/mm3 merupakan tanda koagulasi intravaskuler. bila
keadaan semakin parah dimana trombosit sampai dibawah 50.000 /ml biasanya akan
didapatkan hasil-hasil degradasi fibrin dan aktivasi antitrombin III yang mengarah terjadinya
disseminated intravascular coagulopathy (DIC). Insidens DIC pada sindromaa hellp 4-38%.
Klasifikasi Sindromaa HELLP berdasarkan klasifikasi Missisippi, terdiri dari kelas I
bila trombosit dibawah sampai dengan 50.000/ml, kelas II trombosit antara >50.000-
100.000/ml, dan kelas III trombosit antara >100.000-150.000/ml. Kelas I Sindromaa HELLP
mengakibatkan insiden morbiditas dan mortalitas perinatal dan periode pemulihan post
partum yang memanjang.
2.9.3 Penatalaksanaan
Pasien sindroma HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier dan pada
penanganan awal harus segera diterapi sama seperti pasien preeclampsia-eklampsia dengan
melakukan monitoring trombosit tiap 12 jam. Bila trombosit < 50.000/ml atau adanya tanda
koagulopati konsumtif, maka harus diperiksa waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial,
dan fibrinogen.
Pemberian dexamethasone rescue, pada antepartum diberikan dalam bentuk double
strength dexamethasone (double dose). Kegunaan pemberian double strength dexamethasone
ialah untuk (1) kehamilan preterm, meningkatkan pematangan paru janin dan (2) untuk
sindroma HELLP sendiri dapat mempercepat perbaikan gejala klinik dan laboratorik
Jika didapatkan kadar trombosit < 100.000/ml atau trombosit 100.000-150.000/ml
dengan disertai tanda-tanda eklampsia, hipertensi berat, nyeri epigastrium, maka diberikan
dexamethasone 10 mg iv tiap 12 jam 2 kali, kemudian diikuti 5 mg iv tiap 12 jam 2 kali.
Terapi dexametason dihentikan, bila telah terjadi perubahan laboratorium, yaitu trombosit >
100.000/ml dan penurunan LDH serta perbaikan tanda dan gejala-gejala klinik preeklampsia-
eklampsia. Dapat dipertimbangkan pemberian tranfusi trombosit, bila kadar trombosit <
50.000/ml.
Sikap terhadap kehamilan pada sindroma HELLP ialah aktif, yaitu kehamilan diakhiri
(diterminasi) tanpa memandang umur kehamilan. Persalinan dapat dilakukan pervaginam
atau perabdominam (Angsar, 2008)
2.10 Hipertensi Kronik dalam Kehamilan
2.10.1 Definisi
Hipertensi kronik atau biasa disebut dengan hipertensi esensial adalah penyakit
hipertensi yang disebabkan oleh faktor herediter, faktor emosi dan lingkungan. Wanita hamil
dengan hipertensi esensial memiliki tekanan darah sekitar 140/90 mmHg sampai 160/100
mmHg. Gejala-gejala lain seperti kelainan jantung, arteriosklerosis, perdarahan otak, dan
penyakit ginjal akan timbul setelah dalam waktu yang lama dan penyakit terus berlanjut.
Hipertensi esensial dalam kehamilan akan berlangsung normal sampai usia kehamilan aterm.
Sekitar 20% dari wanita hamil akan menunjukkan kenaikan tekanan darah (Cunningham,
2005)
Hipertensi kronik dalam kehamilan sendiri didefinisikan sebagai tekanan darah
sistolik lebih atau sama dengan 140 mmhg dan atau tekanan darah diastolik lebih atau sama
dengan 90 mmhg yang telah ada sebelum kehamilan, yang bertahan sampai lebih dari 20
minggu pasca partus 1 atau setelah 12 minggu menurut kepustakaan yang lain (Cunningham,
2005)
2.10.2 Diagnosis
Hipertensi kronis muncul mendahului kehamilan atau bisa nampak jelas sebelum usia
kehamilan 20 minggu. Beberapa wanita tanpa riwayat hipertensi kronis dapat hamil berulang
kali dimana hipertensi transien muncul hanya pada akhir kehamilan dan regresi pospartum.
Hal ini bisa dianggap sebagai bukti hipertensi kronis laten.
Pada kebanyakan wanita dengan hipertensi yang mendahului kehamilan, peningkatan
tekanan darah merupakan satu hal yang bisa ditemukan. Namun beberapa kasus didapatkan
komplikasi yang meningkat selama kehamilan yang berakibat memperpendek angka harapan
hidup, termasuk diantaranya hipertensi atau penyakit jantung iskemik, insufisiensi renal, atau
penyakit serebrovaskular. Penyakit-penyakit ini sering muncul pada wanita lanjut usia.
Diagnosis pada hipertensi kronik bila ditemukan pada pengukuran tekanan darah ibu
≥ 140/90 mmhg sebelum kehamilan atau pada saat kehamilan mencapai 20 minggu serta
didasarkan atas faktor risiko yang dimiliki ibu, yaitu : pernah eklampsia, umur ibu > 40
tahun, hipertensi > 4 tahun, adanya kelainan ginjal, adanya diabetes mellitus, kardiomiopati,
riwayat pemakaian obat anti hipertensi. Diperlukan juga adanya pemeriksaan tambahan
berupa pemeriksaan laboratorium ( darah lengkap, ureum, kreatinin, asam urat, SGOT,
SGPT ), EKG, Opthalmology, USG).
Dahulu direkomendasikan bahwa yang digunakan sebagai kriteria diagnosis adalah
peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 30 mmhg atau diastolik 15 mmhg, bahkan apabila
angka absolut dibawah 140/90 mmhg. Kriteria ini tidak lagi dianjurkan. Namun, wanita yang
mengalami peningkatan tekanan darah sistolik 30 mmhg atau diastolik 15 mmhg perlu
diawasi dengan ketat.

Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah Orang Dewasa (JNC7)


Kategori Tekanan Darah
Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120 – 139 80 – 89
Stage 1 hipertensi 140 – 159 90 – 99
Stage 2 hipertensi ≥ 160 ≥ 100

2.10.2 Penatalaksanaan
Penatalaksaan pada hipertensi kronik dapat dilakukan dengan memberikan terapi.
Strategi terapi dapat dilakukan adalah:
1. terapi nonfarmakologi
2. terapi farmakologi.
1. Terapi nonfarmakologi
Terapi nonfarmakologis merupakan terapi tanpa obat yang umum dilakukan pada
wanita hamil, terutama pada hipertensi kronik ringan (tekanan diastolik kurang dari 110
mmHg). Penatalaksanaan yang dilakukan antara lain pembatasan aktivitas, banyak istirahat,
pengawasan ketat, pembatasan konsumsi garam, mengurangi makan makanan berlemak,
tidak merokok, dan menghindari minuman beralkohol.
Jika keadaan memburuk, dokter akan mempertimbangkan untuk segera melahirkan
bayi demi keselamatan ibu dan bayi
2. Terapi farmakologi.
Alasan utama untuk mengobati hipertensi pada kehamilan adalah untuk mengurangi
morbiditas ibu terkait hipertensi. Sebuah metaanalisis termasuk 28 uji acak membandingkan
pengobatan dengan antihipertensi baik dengan plasebo maupun tanpa pengobatan
menunjukan bahwa pengobatan dengan antihipertensi secara signifikan mengurangi
hipertensi berat. Namun pengobatan tidak mengurangi resiko preeklampsiaaa berlapis,
abrupsi plasenta atau pembatasan pertumbuhan janin, juga tidak memberikan manfaat pada
neonatus.
Terapi farmakologis dapat dilakukan dengan penggunaan obat-obatan antihipertensi
golongan α2-agonis sentral (metildopa), β-bloker (labetalol), vasodilator (hidralazin), dan
diuretik (tiazid). Obat antihipertensi golongan Angiotensin-Converting Enzym Inhibitor
(ACE Inhibitor) dan Angiotensin II Receptor Blockers (ARBs) mutlak dikontraindikasikan
pada ibu hamil dengan hipertensi. Meskipun ACE Inhibitor dan ARBs memiliki factor resiko
kategori C pada kehamilan trimester satu, dan kategori D pada trimester dua dan tiga, namun
obat tersebut berpotensi menyebabkan tetatogenik.
Metildopa, obat ini termasuk golongan α2-agonis sentral yang mempunyai
mekanisme kerja dengan menstimulasi reseptor α2-adrenergik di otak. Stimulasi ini akan
mengurangi aliran simpatik dari pusat vasomotor di otak. Dosis pemakaian sebesar 250-1500
mg dua kali perhari peroral.
Metildopa ini merupakan agen antihipertensi yang paling banyak didukung dengan
data penelitian tentang khasiat dan keamanan penggunaannya pada wanita hamil. Obat ini
telah digunakan sejak tahun 1960-an. Dalam sebuah studi, metildopa tidal menimbulkan efek
yang merugikan pada anak-anak yang dilahirkan. Karenanya metildopa sering dijadikan
sebagai terapi lini pertama hipertensi pada wanita hamil. Namun, metildopa sering
menyebabkan kantuk yang membatasi tolerabilitasnya.
Labetalol, yang merupakan kombinasi alfa dan beta bloker. Dosis 2x100-1200 mg
peroral. Sering menjadi terapi lini pertama. Obat ini dapat memperburuk asma. Formulasi
intravena tersedia untuk pengobatan darurat hipertensi.
Metoprolol, sebuah beta bloker dengan dosis 2x25-200 mg peroral. Obat ini dapat
memperburuk asma dan kemungkinan berhubungan dengan penghentian pertumbuhan janin.
Beta bloker lainnya misal: pindolol dan propranolol dapat dipakai secara aman. Beberapa ahli
merekomendasikan untuk menghindari penggunaan atenolol.
Nifedipin (kerja panjang), sebuah pemblok kanal kalsium. Dosis 30-120 mg perhari.
Nifedipin kerja cepat tidak direkomendasikan untuk terapi ini, mengingat kemungkinan
resiko hipotensi. Pemblok kanal kalsium lainnya dapat digunakan secara aman.
Hidralazin, merupakan sebuah vasodilator perifer. Dosis 50-300 mg perhari dalam
dosis terbagi 2 atau 4. Sediaan hidralazin intravena tersedia untuk terapi darurat hipertensi.
Hidroklorotiazid, sebuah diuretik dengan dosis 12,5-50 mg sekali perhari. Ada
kekhawatiran sehubungan penggunaan obat ini, namun tidak ada data studi yang mendukung.
2.10. 3 Hipertensi Kronik dengan superimposed preeclampsia
Diagnosis superimposed preeclampsia sulit, apalagi hipertensi kronik disertai kelainan
ginjal dengan proteinuria.
Tanda-tanda superimposed preeclampsia pada hipertensi kronik, adalah a) adanya
proteinuria, gejala-gejala neurologik, nyeri kepala hebat, gangguan visus, edema patologik
yang menyeluruh (anasarka), oliguria, edema paru. b) kelainan laboratorium berupa kenaikan
serum kreatinin, trombositopenia, kenaikan transaminase serum hepar.
2.10.3 Persalinan pada kehamilan dengan hipertensi kronik
Sikap terhadap kehamilan ditentukan oleh derajat tekanan darah dan perjalanan klinik.
Bila didapatkan tekanan darah yang terkendali, perjalanan kehamilan normal, pertumbuhan
janin normal, dan volume amnion normal, maka dapat diteruskan sampai aterm.
Bila terjadi komplikasi dan kesehatan janin bertambab buruk, maka segera diterminasi
dengan induksi persalinan, tanpa memandang umur kehamilan. Secara umum persalinan
diarahkan pervaginam, termasuk hipertensi dengan superimposed preeklampsia dan
hipertensi kronis yang tambah berat.
2.10.4 Perawatan pasca persalinan
Perawatan pasca persalinan sama seperti preeklampsia. Edema serebri, edema paru,
gangguan ginjal, dapat terjadi 24 – 36 jam pasca persalinan. Setelah persalinan, enam jam
pertama resistensi (tahanan) perifer meningkat. Akibatnya, terjadi peningkatan kerja ventrikel
kiri. Bersamaan itu akumulasi cairan interstitial masuk ke dalam intravaskular. Perlu terapi
lebih cepat dengan atau tanpa diuretik. Bila terjadi perdarahan pasca persalinan, sangat
berbahaya bila diberi cairan kristaloid ataupun koloid, karena lumen pembuluh darah telah
mengalami vasokontriksi. Terapi terbaik bila terjadi perdarahan ialah pemberian tranfusi
darah (Angsar, 2008).
DAFTAR PUSTAKA

Abadi Agus, et al., 2008, Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kebidanan dan
Penyakit Kandungan : Pre-eklamsia ringan, Surabaya,Rumah Sakit Umum Dokter
Soetomo.
Aditiawarman, 2009, Kuliah Hipertensi Kehamilan, unpublished.
Angsar, Muh Dikman,2008, Hipertensi Dalam Kehamilan, Edisi IV-2008. Bag/SMF Ilmu
Kebidanan dan Penyakit Kandungan
Angsar, Muh Dikman, 2008, Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo, Edisikeempat, Jakarta:
PT Bina Pustaka.
Brett C Young, Levine R, et al., 2010, The Annual Review of Pathology : Mechanism of
Disease ‘Pathogenesis of Preeklampsiaa’. Diakses dari www.annualreviews.org.
Cunningham FC, Gant NF, Lenevo KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Hypertensive disorders in
pregnancy. In : William Obstetriks 22nd ed, New York: McGraw Hill: 2005 : 567-618.
Departemen Kesehatan RI, 2008, Profil Kesehatan Indonesia 2007, Jakarta.
Gumilar, Erry. 2008. Waspadai Preeklampsiaaa Pada Kehamilan. Accessed at:
http://unair.ac.id/unair_v1/gurubesar.unair.php?id=48.
WHO,2005, Make every mother and child count, in The world health report 2005. Accessed
at: http://www.who.int/whr/2005/whr2005_en.pdf.
Kee-Hak Lim. 2014. Preeklampsiaa. Accessed at:
http://emedicine.medscape.com/article/1476919-overview.

Anda mungkin juga menyukai