PENDAHULUAN
Cutaneus Larva Migran (CLM) merupakan suatu penyakit kulit yang merupakan
peradangan berbentuk linier atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh
invasi larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing. Larva cacing beredar dibawah
kulit manusia, yang ditandai dengan adanya erupsi kulit berupa garis papula kemerahan
(Shinta,2015).
Penyakit CLM ini sudah dikenal sejak tahun 1874. Kemudian pada tahun 1929
diketahui bahwa penyakit ini terkait dengan migrasi subkutan dari larva Ancylostoma sehingga
kemudian penyakit ini dikenal dengan Hookeorm-related cutaneous larva migrans (HrCLM).
Pada awalnya penyakit ini hanya ditemukan pada daerah-daerah tropical dan subtropical
beriklim hangat. Saat ini karna kemudahan transportasi keseluruh bagian dunia, penyakit ini
tidak lagi dikhususkan pada daerah-daerah tersebut (Shinta,2015).
Selama beberapa decade ini, istilahh HrCLM dan Creeping Eruption sering disama
artikan. Perbedanyaannya adalah HrCLM menggambarkan sindrom, sedangkan Cutaneous
Larva Migrans menggambarkan gejala klinis. Creeping eruption secara klinis diartikan sebagai
lesi yang linier atau sepiginosa, sedikit menimbul, dan kemerahan yang bermigrasi dalam pola
yang tidak beraturan (Shinta,2015).
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Definisi
2.1.2. Epidemiologi
2
Maupun pernah dilaporkan kematian akibat CLM. Invasi CLM yang bertahan
lama dan tidak diobati dapat menyebabkan infeksi skunder akibat garukan. Walaupun
jarang, namun dapat menyebabkan selulitis (Aisah, 2017).
1. Faktor perilaku
3
2. Faktor lingkungan
b) Cuaca atau iklim lingkungan Ada variasi musiman yang berbeda pada
kejadian CLM, dengan puncak kejadian selama musim hujan. Telur dan larva
bertahan lebih lama di tanah yang basah dibandingkan di tanah yang kering
dan dapat tersebar secara luas oleh hujan yang deras. Selain itu, iklim yang
lembab juga mengakibatkan peningkatan infeksi cacing tambang di anjing
dan kucing sehingga pada akhirnya meningkatkan jumlah tinja yang
terkontaminasi dan risiko infeksi pada manusia (Heukelbach dan Feldmeier,
2008).
c) Tinggal di daerah dengan keadaan pasir atau tanah yang lembab Telur
Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma
caninum dikeluarkan bersama tinja anjing dan kucing. Pada keadaan
lingkungan yang lembab dan hangat, telur akan menetas menjadi larva
rabditiform dan kemudian menjadi larva filariform yang infektif. Larva
filariform inilah yang akan melakukan penetrasi ke kulit dan menyebabkan
CLM (Heukelbach et al, 2008).
4
3. Faktor demografis
a) Usia CLM paling sering terkena pada anak berusia ≤4 tahun. Hal ini
disebabkan karena anak pada usia tersebut masih jarang menggunakan alas
kaki saat keluar rumah. Pada penelitian tersebut juga didapatkan bahwa usia
merupakan faktor demografis yang hubungannya paling signifikan dengan
kejadian CLM (p<0,0001) (Heukelbach et al,2008).
b) Pekerjaan Larva infektif penyebab CLM terdapat pada tanah atau pasir yang
lembab. Orang yang pekerjaannya sering kontak dengan tanah atau pasir
tersebut dapat meningkatkan risiko terinfeksi larva CLM. Pekerjaan yang
memiliki risiko teinfeksi larva penyebab CLM diantaranya petani, nelayan,
tukang kebun, pemburu, penambang pasir dan pekerjaan lain yang sering
kontak dengan tanah atau pasir (Aisah, 2010).
2.1.4. Etiologi
Penyebab utama CLM adalah larva cacing tambang dari kucing dan anjing
(Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum) dan
Strongyloides. Penyebab lain yang juga memungkinkan yaitu larva dari serangga
seperti Hypoderma dan Gasterophilus. Di Asia Timur, CLM umumnya disebabkan
oleh Gnasthostoma sp. pada babi dan kucing. Pada beberapa kasus ditemukan
Echinococcus, Dermatobia maxiales, Lucilia caesar (Aisah, 2010).
5
yang lebih dalam dan menimbulkan gejala klinis yang lain seperti enteritis eosinofilik.
(Aisah, 2010)
2.1.5. Morfologi
6
Gambar 2.2. Larva filariform ( larva stadium tiga) cacing tambang
7
2.1.7. Patogenesis
Telur pada tinja menetas di permukaan tanah dalam waktu 1 hari dan
berkembang menjadi larva infektif tahap ketiga setelah sekitar 1 minggu. Larva dapat
bertahan hidup selama beberapa bulan jika tidak terkena matahari langsung dan berada
dalam lingkungan yang hangat dan lembab. Kemudian jika terjadi kenaikan suhu,
maka larva akan mencari pejamunya. Setelah menempel pada manusia, larva merayap
di sekitar kulit untuk tempat penetrasi yang sesuai. Akhirnya, larva menembus ke
lapisan korneum epidermis. Larva infektif mengeluarkan protease dan hialuronidase
agar dapat bermigrasi di kulilt manusia (Heukelbach et al, 2008). Selanjutnya, larva
bermigrasi melalui jaringan subkutan membentuk terowongan yang menjalar dari satu
tempat ke tempat lainnya (Heukelbach et al, 2008)
Pada hewan, larva mampu menembus dermis dan melengkapi siklus hidupnya
dengan berkembang biak di organ dalam. Pada manusia, larva tidak memiliki enzim
kolagenase yang cukup untuk menembus membran basal dan menyerang dermis,
sehingga larva tersebut tidak dapat melanjutkan perkembangan siklus hidupnya.
Akibatnya, selamanya larva terjebak di jaringan kulit penderita hingga masa hidup dari
cacing ini berakhir (Juzych, 2012; Palgunadi, 2010).
Pada saat larva masuk ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas di tempat
larva melakukan penetrasi. Rasa gatal yang timbul terutama terasa pada malam hari,
jika digaruk dapat menimbulkan infeksi sekunder (Aisah, 2017). Mula-mula akan
timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau
berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan.
Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah berada
di kulit selama beberapa jam atau hari. Perkembangan selanjutnya, papul merah ini
menjalar seperti benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul, dan
membentuk terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa sentimeter (Aisah,
2010) . Pada stadium yang lebih lanjut, lesi-lesi ini akan lebih sulit untuk diidentifikasi,
hanya ditandai dengan rasa gatal dan nodul-nodul (Aisah, 2017).
8
Lesi tidak hanya berada di tempat penetrasi. Hal ini disebabkan larva dapat
bergerak secara bebas sepanjang waktu. Umumnya, lesi berpindah ataupun bertambah
beberapa milimeter perhari dengan lebar sekitar 3 milimeter. Pada CLM, dapat
dijumpai lesi tunggal atau lesi multipel, tergantung pada tingkat keparahan infeksi
(Aisah, 2010).
CLM biasanya ditemukan pada bagian tubuh yang berkontak langsung dengan
tanah atau pasir. Tempat predileksi antara lain di tungkai, plantar, tangan, anus,
bokong, dan paha (Aisah, 2010). Pada kondisi sistemik, gejala yang muncul antara lain
eosinofilia perifer (sindroma Loeffler), infiltrat pulmonar migratori, dan peningkatan
kadar imunoglobulin E, namun kondisi ini jarang ditemui (Heukelbach et al, 2008).
9
2.1.9. Diagnosis
Jika ditinjau dari terowongan yang ada, CLM harus dibedakan dengan skabies.
Pada skabies, terowongan yang terbentuk tidak sepanjang pada CLM. Namun, apabila
dilihat dari bentuknya yang polisiklik, penyakit ini sering disalahartikan sebagai
dermatofitosis. Pada stadium awal, lesi pada CLM berupa papul, karena itu sering
diduga dengan insects bite. Bila invasi larva yang multipel timbul serentak, lesi berupa
papul-papul sering menyerupai herpes zoster stadium awal (Aisah, 2010). Diagnosis
banding yang lain antara lain Dermatofitosis dan tinea pedis,
10
2.1.11. Terapi
a) Terapi Umum
Mencegah bagian tubuh untuk berkontak langsung dengan tanah atau
pasir yang terkontaminasi
Menjaga kebersihan kulit dengan mandi 2 kali sehari dengan
menggunakan sabun
Melakukan pengobatan secara teratur
b) Terapi Khusus
Prinsip dari pengobatan khusus ini adalah mematikan larva cacing,
terdapat beberapa obat/tindakan yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi
sebagai berikut (Perdoskin, 2017) :
1. Topical
a. Salap albendazol 10% dioleskan 3 kali sehari selama
7-10.
b. Salap Tiabendazol 10-15% dioleskan 3 kali sehari
selama 5-7 hari. Dapat diberikan pada anak usia
kurang dari 2 tahun atau berat badan kurang dari 15
kg.
2. Sistemik
a. Albendazol 400 mg untuk anak usia >2 tahun atau
>10kg selama 3-7 hari berturut-turut.
b. Thiabendazol 50mg/kg/hari selama 2-4 hari
c. Ivermectin 200 µg/kg/BB dosis tunggal, dosis kedua
diberikan bila gagal. Sebaiknya tidak diberikan pada
anak usia kurang dari 5 tahun atau berat badan kurang
dari 15 kg.
3. Cara terapi lain ialah dengan cryotherapy yakni menggunakan
CO2 snow (dry ice) dengan penekanan selama 45 detik sampai
1 menit, dua hari berturutturut. Selain itu, dapat juga dilakukan
dengan menggunakan nitrogen liquid dan penyemprotan
kloretil sepanjang lesi. Akan tetapi, ketiga cara tersebut sulit
11
karena sulit untuk mengetahui secara pasti dimana larva
berada. Di samping itu, cara ini dapat menimbulkan nyeri dan
ulkus. Pengobatan dengan cara ini sudah lama ditinggalkan
(Aisah, 2010).
2.1.12. Pencegahan
2.1.13 Prognosis
Penyakit ini sebenarnya bersifat self limiting disease setelah 1-3 bulan karena
rasa gatal yang lama dan berat jika digaruk beresiko terjadi infeksi sekunder
12
BAB III
ILUSTRASI KASUS
ANAMNESIS (Autoanamnesis)
KELUHAN UTAMA
Pasien datang dengan keluhan timbulnya lesi berwarna putih berbentuk seperti
benang pada jari tengah kiri pasien sejak 3 hari yang lalu, pasien juga mgeluhkan resi terasa
bergerak pada saat malam hari sejak 3 hari yang lalu.
Pasien datang kepoli kulit dengan keluhan timbulnya lesi berwarna putih seperti benang,
berkelok kelok dan terasa gatal dijari kiri tengah pasien pada saat malam hari sejak 3 hari
yang lalu. Pasien juga mengeluhkan lesi terasa bergerak pada saat malam hari sejak 3 yang
lalu. Lesi tidak disertai dengan rasa pana dan rasa sakit, keluhan terjadi terus menerus sejak 3
hari yang lalu. Pasien mengatakan bahwa 4 hari yang lalu pasien membersihkan halaman
rumah tanpa menggunakan sarung tangan. Pasien belum pernah mengobati keluhan tersebut
namun pasien hanya merendam jari dengan air hangat pada saat malam hari sebelum
13
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Dahulu belum pernah sakit seperti ini
RIWAYAT PENGOBATAN
Belum pernah diobati sebelumnya namun untuk menghilangkan rasa gatal pasien merendam
jarinya dengan air hangat pada malam hari
RIWAYAT KEBIASAAN
STATUS GENERALIS
14
STATUS DERMATOLOGIS
15
PEMERIKSAAN LABORATURIUM: Tidak dilakukan pemeriksaan laboraturium
RESUME :
Pasien datang kepoli kulit dengan keluhan timbulnya lesi berwarna putih seperti
benang, berkelok kelok dan terasa gatal dijari kiri tengah pasien pada saat malam hari sejak 3
hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan lesi terasa bergerak pada saat malam hari sejak 3
yang lalu. Lesi tidak disertai dengan rasa pana dan rasa sakit, keluhan terjadi terus menerus
sejak 3 hari yang lalu. Pasien mengatakan bahwa 4 hari yang lalu pasien membersihkan
halaman rumah tanpa menggunakan sarung tangan. Pasien belum pernah mengobati keluhan
tersebut namun pasien hanya merendam jari dengan air hangat pada saat malam hari sebelum
DIAGNOSIS
DIAGNOSIS BANDING
Skabies
Dermatofitosis
TERAPI
Umum
Khusus
16
PROGNOSIS
Quo ad sanam : Dubia ad Bonam
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Fungtionam : Dubia ad bonam
Quo ad Kosmetikum : Dubia ad bonam
17
Daftar Pustaka
1. Aisah S. Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;2010
2. Aisah S. Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;2017
3. Juzych LA. Cutaneous Larva Migrans. New York: Medscape LLC;2012
4. Heukelbach J, Feldmeier H. epidemiological and clinical characteristics of hookworm
related cutaneous larva migrans. Lacet Infect Dis. 2008;8:302-9
5. Perdoski. Panduan Praktik Klinik. Jakarta, 2017
6. Shinta Nareswari. Hookworm-Related Cutaneous Larva Migrans, 2015
18