Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Cutaneus Larva Migran (CLM) merupakan suatu penyakit kulit yang merupakan
peradangan berbentuk linier atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh
invasi larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing. Larva cacing beredar dibawah
kulit manusia, yang ditandai dengan adanya erupsi kulit berupa garis papula kemerahan
(Shinta,2015).

Penyakit CLM ini sudah dikenal sejak tahun 1874. Kemudian pada tahun 1929
diketahui bahwa penyakit ini terkait dengan migrasi subkutan dari larva Ancylostoma sehingga
kemudian penyakit ini dikenal dengan Hookeorm-related cutaneous larva migrans (HrCLM).
Pada awalnya penyakit ini hanya ditemukan pada daerah-daerah tropical dan subtropical
beriklim hangat. Saat ini karna kemudahan transportasi keseluruh bagian dunia, penyakit ini
tidak lagi dikhususkan pada daerah-daerah tersebut (Shinta,2015).

Selama beberapa decade ini, istilahh HrCLM dan Creeping Eruption sering disama
artikan. Perbedanyaannya adalah HrCLM menggambarkan sindrom, sedangkan Cutaneous
Larva Migrans menggambarkan gejala klinis. Creeping eruption secara klinis diartikan sebagai
lesi yang linier atau sepiginosa, sedikit menimbul, dan kemerahan yang bermigrasi dalam pola
yang tidak beraturan (Shinta,2015).

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cutaneous Larva Migrans

2.1.1. Definisi

Cutaneous larva migrans (CLM) merupakan kelainan kulit yang merupakan


peradangan yang berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif,
disebabkan oleh invasi cacing tambang yang berasal dari kucing dan anjing, yaitu
Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma ceylanicum
(Aisah, 2017). Selama beberapa dekade, istilah CLM dan creeping eruption sering
disamaartikan. Perbedaannya adalah, CLM menggambarkan sindrom, sedangkan
creeping eruption menggambarkan gejala klinis. Creeping eruption secara klinis
diartikan sebagai lesi yang linear atau serpiginius, sedikit menimbul, dan kemerahan
yang bermigrasi dalam pola yang tidak teratur (Shinta,2015).

Penyakit yang menimbulkan gejala berupa creeping eruption tapi tidak


disebabkan oleh parasit non-larva tidak disebut sebagai CLM, misalnya seperti pada
dracunculiasis, loiasis, skabies, schistosomiasis, ataupun onchocerciasis
(Shinta,2015).

2.1.2. Epidemiologi

Insidens yang sebenarnya sulit diketahui, di Amerika Serikat (pantai florida,


Texas, dan New Jersey) tercatat 6,7% dari 13,300 wisatawan mengalami CLM setalah
berkunjung ke daerah tropis. Hampir di semua Negara beriklim tropis dan subtropics,
misalnya Amerika tengah dan Amerika Selatan, Karibia, Afrika, Australia dan Asia
Tenggara termasuk Indonesia banyak ditemukan CLM. Pada invasi ini tidak terdapat
perbedaan ras, usia, maupun jenis kelamin (Aisah,2017).

2
Maupun pernah dilaporkan kematian akibat CLM. Invasi CLM yang bertahan
lama dan tidak diobati dapat menyebabkan infeksi skunder akibat garukan. Walaupun
jarang, namun dapat menyebabkan selulitis (Aisah, 2017).

2.1.3. Faktor Risiko

1. Faktor perilaku

Adapun faktor perilaku yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :

a) Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki Adanya bagian tubuh yang


berkontak langsung dengan tanah yang terkontaminasi akan
mengakibatkan larva dapat melakukan penetrasi ke kulit sehingga
menyebabkan CLM (Aisah, 2010).

b) Pengobatan teratur terhadap anjing dan kucing Penyebab utama CLM


adalah larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing (Aisah,
2010). Perawatan rutin anjing dan kucing, termasuk de-worming secara
teratur dapat mengurangi pencemaran lingkungan oleh telur dan larva
cacing tambang (Aisah, 2010).

c) Berlibur ke daerah tropis atau pesisir pantai Kondisi biogeografis yang


hangat dan lembab menyebabkan banyak terdapat larva penyebab
penyakit ini di daerah tropis. Selain itu, kebiasaan wisatawan untuk
berjalan di pesisir pantai tanpa menggunakan sandal dan berjemur di pasir
tanpa menggunakan alas menyebabkan banyaknya laporan kejadian CLM
dari wisatawan yang baru berlibur ke pantai (Heukelbach dan Feldmeier,
2007). Sebuah penelitian pada wisatawan international yang baru
meninggalkan Brazil bagian Timur Laut di bandara menunjukkan bahwa
semua wisatawan yang menderita CLM telah mengunjungi pantai selama
liburannya (Heukelbach et al, 2008).

3
2. Faktor lingkungan

Adapun faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :

a) Keberadaan anjing dan kucing Anjing dan kucing merupakan hospes


definitif dari cacing Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan
Ancylostoma caninum. Tinja anjing dan kucing yang terinfeksi dapat
mengandung telur cacing Ancylostoma braziliense, Ancylostoma
ceylanicum dan Ancylostoma caninum. Telur tersebut dapat berkembang
menjadi stadium larva yang infektif (filariform) pada tanah dan pasir yang
terkontaminasi. Larva filariform dari cacing tersebut apabila kontak dengan
kulit manusia, dapat menembus kulit dan menyebabkan CLM (Heukelbach
et al, 2008).

b) Cuaca atau iklim lingkungan Ada variasi musiman yang berbeda pada
kejadian CLM, dengan puncak kejadian selama musim hujan. Telur dan larva
bertahan lebih lama di tanah yang basah dibandingkan di tanah yang kering
dan dapat tersebar secara luas oleh hujan yang deras. Selain itu, iklim yang
lembab juga mengakibatkan peningkatan infeksi cacing tambang di anjing
dan kucing sehingga pada akhirnya meningkatkan jumlah tinja yang
terkontaminasi dan risiko infeksi pada manusia (Heukelbach dan Feldmeier,
2008).

c) Tinggal di daerah dengan keadaan pasir atau tanah yang lembab Telur
Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma
caninum dikeluarkan bersama tinja anjing dan kucing. Pada keadaan
lingkungan yang lembab dan hangat, telur akan menetas menjadi larva
rabditiform dan kemudian menjadi larva filariform yang infektif. Larva
filariform inilah yang akan melakukan penetrasi ke kulit dan menyebabkan
CLM (Heukelbach et al, 2008).

4
3. Faktor demografis

Adapun faktor demografis yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :

a) Usia CLM paling sering terkena pada anak berusia ≤4 tahun. Hal ini
disebabkan karena anak pada usia tersebut masih jarang menggunakan alas
kaki saat keluar rumah. Pada penelitian tersebut juga didapatkan bahwa usia
merupakan faktor demografis yang hubungannya paling signifikan dengan
kejadian CLM (p<0,0001) (Heukelbach et al,2008).

b) Pekerjaan Larva infektif penyebab CLM terdapat pada tanah atau pasir yang
lembab. Orang yang pekerjaannya sering kontak dengan tanah atau pasir
tersebut dapat meningkatkan risiko terinfeksi larva CLM. Pekerjaan yang
memiliki risiko teinfeksi larva penyebab CLM diantaranya petani, nelayan,
tukang kebun, pemburu, penambang pasir dan pekerjaan lain yang sering
kontak dengan tanah atau pasir (Aisah, 2010).

c) Tingkat pendidikan Suatu penelitian tentang prevalensi dan faktor risiko


CLM di Brazil menunjukkan, dari 1114 penduduk pedesaan, didapati 23 dari
354 (6,5%) penduduk dengan tingkat pendidikan rendah menderita CLM,
sedangkan pada penduduk dengan tingkat pendidikan tinggi, didapati 34 dari
760 (4,5%) orang menderita CLM (Heukelbach et al,2008).

2.1.4. Etiologi

Penyebab utama CLM adalah larva cacing tambang dari kucing dan anjing
(Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum) dan
Strongyloides. Penyebab lain yang juga memungkinkan yaitu larva dari serangga
seperti Hypoderma dan Gasterophilus. Di Asia Timur, CLM umumnya disebabkan
oleh Gnasthostoma sp. pada babi dan kucing. Pada beberapa kasus ditemukan
Echinococcus, Dermatobia maxiales, Lucilia caesar (Aisah, 2010).

Di epidermis, larva Ancylostoma brazilense akan bermigrasi dan


menyebabkan CLM selama beberapa minggu sebelum larva tersebut mati. Di sisi lain,
larva Ancylostoma caninum dan Ancylostoma ceylanicum dapat melakukan penetrasi

5
yang lebih dalam dan menimbulkan gejala klinis yang lain seperti enteritis eosinofilik.
(Aisah, 2010)

2.1.5. Morfologi

Ancylostoma caninum mempunyai tiga pasang gigi (Supali et al, 2009).


Panjang cacing jantan dewasa Ancylostoma caninum berukuran 11-13 mm dengan
bursa kopulatriks dan cacing betina dewasa berukuran 14-21 mm. Cacing betina
meletakkan rata-rata 16.000 telur setiap harinya (Shinta, 2015).

Morfologi Ancylostoma braziliense mirip dengan Ancylostoma caninum,


tetapi kapsul bukalnya memanjang dan berisi dua pasang gigi sentral. Gigi sebelah
lateral lebih besar, sedangkan gigi sebelah medial sangat kecil. Selain itu, pada
Ancylostoma braziliense juga terdapat sepasang gigi segitiga di dasar bukal kapsul.
Cacing betina berukuran 6-9 mm dan cacing jantan berukuran 5-8 mm. Cacing betina
dapat mengeluarkan telur 4.000 butir setiap hari (Shinta, 2015). Morfologi
Ancylostoma ceylanicum juga hampir sama dengan A. braziliense dan A. caninum,
hanya saja pada rongga mulut A. ceylanicum terdapat terdapat dua pasang gigi yang
tidak sama besarnya (Shintaa, 2015).

6
Gambar 2.2. Larva filariform ( larva stadium tiga) cacing tambang

2.1.6. Siklus Hidup

Telur keluar bersama tinja pada kondisi yang menguntungkan (lembab,


hangat, dan tempat yang teduh). Setelah itu, larva menetas dalam 1-2 hari. Larva
rabditiform tumbuh di tinja dan/atau tanah, dan menjadi larva filariform (larva stadium
tiga) yang infektif setelah 5 sampai 10 hari. Larva infektif ini dapat bertahan selama 3
sampai 4 minggu di kondisi lingkungan yang sesuai. Pada kontak dengan pejamu
hewan (anjing dan kucing), larva menembus kulit dan dibawa melalui pembuluh darah
menuju jantung dan paru-paru.

Larva kemudian menembus alveoli, naik ke bronkiolus menuju ke faring dan


tertelan. Larva mencapai usus kecil, kemudian tinggal dan tumbuh menjadi dewasa.
Cacing dewasa hidup dalam lumen usus kecil dan menempel di dinding usus. Beberapa
larva ditemukan di jaringan dan menjadi sumber infeksi bagi anak anjing melalui
transmammary atau transplasenta. Manusia juga dapat terinfeksi dengan cara larva
filariform menembus kulit. Pada sebagian besar spesies, larva tidak dapat berkembang
lebih lanjut di tubuh manusia dan bermigrasi tanpa tujuan di epidermis. Beberapa larva
dapat bertahan pada jaringan yang lebih dalam setelah bermigrasi di kulit (Shinta,
2015).

7
2.1.7. Patogenesis

Telur pada tinja menetas di permukaan tanah dalam waktu 1 hari dan
berkembang menjadi larva infektif tahap ketiga setelah sekitar 1 minggu. Larva dapat
bertahan hidup selama beberapa bulan jika tidak terkena matahari langsung dan berada
dalam lingkungan yang hangat dan lembab. Kemudian jika terjadi kenaikan suhu,
maka larva akan mencari pejamunya. Setelah menempel pada manusia, larva merayap
di sekitar kulit untuk tempat penetrasi yang sesuai. Akhirnya, larva menembus ke
lapisan korneum epidermis. Larva infektif mengeluarkan protease dan hialuronidase
agar dapat bermigrasi di kulilt manusia (Heukelbach et al, 2008). Selanjutnya, larva
bermigrasi melalui jaringan subkutan membentuk terowongan yang menjalar dari satu
tempat ke tempat lainnya (Heukelbach et al, 2008)

Pada hewan, larva mampu menembus dermis dan melengkapi siklus hidupnya
dengan berkembang biak di organ dalam. Pada manusia, larva tidak memiliki enzim
kolagenase yang cukup untuk menembus membran basal dan menyerang dermis,
sehingga larva tersebut tidak dapat melanjutkan perkembangan siklus hidupnya.
Akibatnya, selamanya larva terjebak di jaringan kulit penderita hingga masa hidup dari
cacing ini berakhir (Juzych, 2012; Palgunadi, 2010).

2.1.8. Gejala Klinis

Pada saat larva masuk ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas di tempat
larva melakukan penetrasi. Rasa gatal yang timbul terutama terasa pada malam hari,
jika digaruk dapat menimbulkan infeksi sekunder (Aisah, 2017). Mula-mula akan
timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau
berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan.
Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah berada
di kulit selama beberapa jam atau hari. Perkembangan selanjutnya, papul merah ini
menjalar seperti benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul, dan
membentuk terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa sentimeter (Aisah,
2010) . Pada stadium yang lebih lanjut, lesi-lesi ini akan lebih sulit untuk diidentifikasi,
hanya ditandai dengan rasa gatal dan nodul-nodul (Aisah, 2017).

8
Lesi tidak hanya berada di tempat penetrasi. Hal ini disebabkan larva dapat
bergerak secara bebas sepanjang waktu. Umumnya, lesi berpindah ataupun bertambah
beberapa milimeter perhari dengan lebar sekitar 3 milimeter. Pada CLM, dapat
dijumpai lesi tunggal atau lesi multipel, tergantung pada tingkat keparahan infeksi
(Aisah, 2010).

Pada infeksi percobaan dengan 50 larva, didapati gejala mulai muncul


beberapa menit setelah tusukan, diikuti dengan munculnya papul-papul setelah 10
menit. Beberapa jam kemudian, bercak awal mulai digantikan oleh papul kemerahan.
Papul-papul kemudian bergabung membentuk erupsi eritematopapular, yang
kemudian akan menjadi vesikel yang sangat gatal setelah 24 jam. Lesi berbentuk linear
atau berkelok-kelok mulai muncul 5 hari setelah infeksi (Heukelbach et al, 2008).

CLM biasanya ditemukan pada bagian tubuh yang berkontak langsung dengan
tanah atau pasir. Tempat predileksi antara lain di tungkai, plantar, tangan, anus,
bokong, dan paha (Aisah, 2010). Pada kondisi sistemik, gejala yang muncul antara lain
eosinofilia perifer (sindroma Loeffler), infiltrat pulmonar migratori, dan peningkatan
kadar imunoglobulin E, namun kondisi ini jarang ditemui (Heukelbach et al, 2008).

9
2.1.9. Diagnosis

Diagnosis CLM ditegakkan berdasarkan gejala klinisnya yang khas yakni


terdapatnya kelainan seperti benang yang lurus atau berkelok-kelok, menimbul, dan
terdapat papul atau vesikel diatasanya, dan disertai dengan riwayat berjemur, berjalan
tanpa alas kaki di pantai atau aktivitas lainnya di daerah tropis, biopsi tidak diperlukan
(Aisah, 2017).

Prosedur invasif jarang digunakan untuk mengindentifikasi parasit pada


CLM. Hal ini disebabkan karena ujung anterior lesi tidak selalu menunjukkan tempat
dimana larva berada. Pada pemeriksaan lab, eosinofilia mungkin ditemukan, namun
tidak spesifik. Dalam sebuah penelitian di Jerman pada wisatawan dengan CLM, hanya
pada 8 (20%) dari 40 orang didapatkan eosinofilia. Namun, peningkatan kadar
eosinofil dapat mengindikasikan perpindahan larva cacing ke visceral, tetapi ini
termasuk komplikasi yang jarang terjadi (Heukelbach dan Feldmeier, 2008).

CLM yang disebabkan oleh Ancylostoma caninum dapat dideteksi dengan


ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay). Sekarang ini, mikroskop
epiluminesens telah digunakan untuk memvisualisasikan pergerakan larva, namun
sensitivitas metode ini belum diketahui (Heukelbach dan Feldmeier, 2008).

2.1.10. Diagnosis Banding

Jika ditinjau dari terowongan yang ada, CLM harus dibedakan dengan skabies.
Pada skabies, terowongan yang terbentuk tidak sepanjang pada CLM. Namun, apabila
dilihat dari bentuknya yang polisiklik, penyakit ini sering disalahartikan sebagai
dermatofitosis. Pada stadium awal, lesi pada CLM berupa papul, karena itu sering
diduga dengan insects bite. Bila invasi larva yang multipel timbul serentak, lesi berupa
papul-papul sering menyerupai herpes zoster stadium awal (Aisah, 2010). Diagnosis
banding yang lain antara lain Dermatofitosis dan tinea pedis,

10
2.1.11. Terapi

a) Terapi Umum
 Mencegah bagian tubuh untuk berkontak langsung dengan tanah atau
pasir yang terkontaminasi
 Menjaga kebersihan kulit dengan mandi 2 kali sehari dengan
menggunakan sabun
 Melakukan pengobatan secara teratur
b) Terapi Khusus
Prinsip dari pengobatan khusus ini adalah mematikan larva cacing,
terdapat beberapa obat/tindakan yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi
sebagai berikut (Perdoskin, 2017) :
1. Topical
a. Salap albendazol 10% dioleskan 3 kali sehari selama
7-10.
b. Salap Tiabendazol 10-15% dioleskan 3 kali sehari
selama 5-7 hari. Dapat diberikan pada anak usia
kurang dari 2 tahun atau berat badan kurang dari 15
kg.
2. Sistemik
a. Albendazol 400 mg untuk anak usia >2 tahun atau
>10kg selama 3-7 hari berturut-turut.
b. Thiabendazol 50mg/kg/hari selama 2-4 hari
c. Ivermectin 200 µg/kg/BB dosis tunggal, dosis kedua
diberikan bila gagal. Sebaiknya tidak diberikan pada
anak usia kurang dari 5 tahun atau berat badan kurang
dari 15 kg.
3. Cara terapi lain ialah dengan cryotherapy yakni menggunakan
CO2 snow (dry ice) dengan penekanan selama 45 detik sampai
1 menit, dua hari berturutturut. Selain itu, dapat juga dilakukan
dengan menggunakan nitrogen liquid dan penyemprotan
kloretil sepanjang lesi. Akan tetapi, ketiga cara tersebut sulit

11
karena sulit untuk mengetahui secara pasti dimana larva
berada. Di samping itu, cara ini dapat menimbulkan nyeri dan
ulkus. Pengobatan dengan cara ini sudah lama ditinggalkan
(Aisah, 2010).

2.1.12. Pencegahan

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadian CLM antara


lain: - Mencegah bagian tubuh untuk berkontak langsung dengan tanah atau pasir yang
terkontaminasi (Heukelbach dan Feldmeier, 2008)

- Saat menjemur pastikan handuk atau pakaian tidak menyentuh tanah


(Heukelbach dan Feldmeier, 2008)

- Melakukan pengobatan secara teratur terhadap anjing dan kucing dengan


antihelmintik

- Wisatawan disarankan untuk menggunakan alas kaki saat berjalan di pantai


dan menggunakan kursi saat berjemur (Heukelbach et al, 2008)

Akan tetapi, pada masyarakat yang kurang mampu, keterbatasan


finansial mengakibatkan sulitnya masyarakat untuk memberikan
pengobatan yang teratur terhadap anjing dan kucing. Sehingga pada
akhirnya, pemberantasan cacing tambang pada binatang hanya bisa
dilakukan dengan cara melakukan pengontrolan yang terintegrasi antara
pihak kesehatan masyarakat, antropologis medis, dokter hewan, dan
masyarakat (Heukelbach et al, 2008).

2.1.13 Prognosis

Penyakit ini sebenarnya bersifat self limiting disease setelah 1-3 bulan karena
rasa gatal yang lama dan berat jika digaruk beresiko terjadi infeksi sekunder

 Quo ad sanam :bonam


 Quo ad vitam : bonam
 Quo ad fuctionam : bonam

12
BAB III

ILUSTRASI KASUS

Nama Pasien : Ernita Pendidikan: S1


Umur/tanggal lahir: 23 tahun, 31-10-1994 Agama : islam
Jenis kelamin : Perempuan Suku : Melayu
Pekerjaan : Mahasiswa No. RM :
Alamat : jl. Flaminggo Tanggal : 05 Mei 2018
Status pernikahan : belum menikah

ANAMNESIS (Autoanamnesis)

KELUHAN UTAMA

Pasien datang dengan keluhan timbulnya lesi berwarna putih berbentuk seperti
benang pada jari tengah kiri pasien sejak 3 hari yang lalu, pasien juga mgeluhkan resi terasa
bergerak pada saat malam hari sejak 3 hari yang lalu.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien datang kepoli kulit dengan keluhan timbulnya lesi berwarna putih seperti benang,
berkelok kelok dan terasa gatal dijari kiri tengah pasien pada saat malam hari sejak 3 hari
yang lalu. Pasien juga mengeluhkan lesi terasa bergerak pada saat malam hari sejak 3 yang
lalu. Lesi tidak disertai dengan rasa pana dan rasa sakit, keluhan terjadi terus menerus sejak 3
hari yang lalu. Pasien mengatakan bahwa 4 hari yang lalu pasien membersihkan halaman
rumah tanpa menggunakan sarung tangan. Pasien belum pernah mengobati keluhan tersebut
namun pasien hanya merendam jari dengan air hangat pada saat malam hari sebelum

13
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Dahulu belum pernah sakit seperti ini

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Dikeluarga juga tidak ada yang pernah mengalami hal yang sama

RIWAYAT PENGOBATAN
Belum pernah diobati sebelumnya namun untuk menghilangkan rasa gatal pasien merendam
jarinya dengan air hangat pada malam hari

RIWAYAT KEBIASAAN

Kebiasaan membersihkan halaman rumah tanpa menggunakan sarung tangan

STATUS GENERALIS

Keadaan Umun : Tampak baik


Kesadaran : Kompos mentis
Tanda Vital : Tidak diperiksa
Tekanan Darah : Tidak diperiksa
Nadi : Tidak diperiksa
Nafas : Tidak diperiksa
Suhu : Tidak diperiksa
Keadaan Gizi : Tidak diperiksa
Pemeriksaan thoraks : Tidak diperiksa
Pemeriksaan Abdomen : Tidak diperiksa

14
STATUS DERMATOLOGIS

Lokasi : Regio Digiti medius sinistra


Distribusi : Regional, serpiginosa
Bentuk : tidak dapt dinilai
Susunan : linier,
Batas : difus
Ukuran : tidak teratur
Efloresensi : macula, hipopigmentasi

KELAIAN SELAPUT/MUKOSA : TIdak diperiksa


KELAINAN MATA : Tidak terdapat kelainan
KELAINAN KUKU : Tidak terdapat kelainan
KELAINAN RAMBUT : Tidak diperiksa
KELAINAN KGB : Tidak diperiksa

15
PEMERIKSAAN LABORATURIUM: Tidak dilakukan pemeriksaan laboraturium

RESUME :

Pasien datang kepoli kulit dengan keluhan timbulnya lesi berwarna putih seperti
benang, berkelok kelok dan terasa gatal dijari kiri tengah pasien pada saat malam hari sejak 3
hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan lesi terasa bergerak pada saat malam hari sejak 3
yang lalu. Lesi tidak disertai dengan rasa pana dan rasa sakit, keluhan terjadi terus menerus
sejak 3 hari yang lalu. Pasien mengatakan bahwa 4 hari yang lalu pasien membersihkan
halaman rumah tanpa menggunakan sarung tangan. Pasien belum pernah mengobati keluhan
tersebut namun pasien hanya merendam jari dengan air hangat pada saat malam hari sebelum

DIAGNOSIS

Cutaneous Larva Migran

DIAGNOSIS BANDING

 Skabies
 Dermatofitosis

TERAPI
Umum

 Pasien dianjurkan untuk tidak berkontak langsung dengan pajanan


 Pasien dianjurkan untuk menggugnakan sarung tangan dan sepatu bots saat
membersihkan halaman rumah.
 Berobat dengan teratur kedokter.

Khusus

Albendazol 400 mg diberikan 3 hari berturut-turut

16
PROGNOSIS
Quo ad sanam : Dubia ad Bonam
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Fungtionam : Dubia ad bonam
Quo ad Kosmetikum : Dubia ad bonam

17
Daftar Pustaka

1. Aisah S. Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;2010
2. Aisah S. Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;2017
3. Juzych LA. Cutaneous Larva Migrans. New York: Medscape LLC;2012
4. Heukelbach J, Feldmeier H. epidemiological and clinical characteristics of hookworm
related cutaneous larva migrans. Lacet Infect Dis. 2008;8:302-9
5. Perdoski. Panduan Praktik Klinik. Jakarta, 2017
6. Shinta Nareswari. Hookworm-Related Cutaneous Larva Migrans, 2015

18

Anda mungkin juga menyukai