Anda di halaman 1dari 18

HALAMAN DEPAN

CASE REPORT
SEORANG WANITA USIA 66 TAHUN DENGAN PPOK

Disusun Oleh
Muhammad Dony Hermawan, S. Ked
J510185089

Pembimbing:
dr. Niwan Tristanto Martika, Sp. P

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT PARU


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
CASE REPORT
SEORANG WANITA USIA 66 TAHUN DENGAN PPOK

Yang diajukan oleh :

Muhammad Dony Hermawan


J510185089

Tugas ini dibuat untuk memenuhi persyaratan Program Kepaniteraan Umum

Pada hari ……, tanggal … Mei 2019.

Pembimbing:
dr. Niwan Tristanto Martika, Sp. P ` (............................)

Dipresentasikan dihadapan
dr. Niwan Tristanto Martika, Sp. P (............................)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT PARU


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019

ii
DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN DEPAN ................................................................................................................................... 1


LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................................................... 1
CASE REPORT .................................................................................................................................... 1
BAB II .................................................................................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................................ 1
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) ....................................................................... 1
A. Definisi .................................................................................................................................... 1
B. Epidemiologi .......................................................................................................................... 1
C. Etiologi .................................................................................................................................... 2
D. Patogenesis ............................................................................................................................. 3
E. Diagnosis................................................................................................................................. 6
F. Tata Laksana ......................................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 10

iii
BAB I

CASE REPORT

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. K
Umur : 66 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Alamat : Wonogiri
Suku : Jawa
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal Masuk RS : 3 Mei 2018
Tanggal Pemeriksaan : 3 Mei 2018
Diambil dari : Poli Konsulen BBKPM
B. Keluhan Utama:
Batuk berulang
C. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien merupakan pasien kontrol poli rawat jalan di BBKPM. Keluhan utama pasien
adalah batuk yang berulang dan terus menerus. Keluhan batuk ini sejak tahun 2016. Batuk
dirasakan setiap waktu dan keluhan diperberat ketika sedang tiduran. Dahak (+) kental,
bewarna putih dan tidak berbau. Keluhan lain sesak nafas (-), demam (-), nyeri dada (-),
kaki bengkak (-). Pasien sebelumnya berobat di Wonogiri sejak tahun 2016 namun tidak
membaik, dan sejak Desember 2018 pasien berobat di BBKPM. Nafsu makan baik, BAB
dan BAK normal. Pasien mengaku sering terpapar asap rokok.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat Penyakit Serupa : disangkal
b. Riwayat Hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat Asma : disangkal
e. Riwayat OAT : disangkal
f. Riwayat Penyakit Lain : tifoid (+)
g. Riwayat Alergi : disangkal

1
2

E. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat Penyakit Serupa : disangkal
 Riwayat Sakit Paru : diakui, suami sakit paru-paru dengan keluhan sesak
nafas
 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
F. Riwayat Kebiasaan
a. Riwayat sering terpapar asap rokok diakui
I. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum
KU : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
B. Vital Sign
TD : 130/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36, 6 °C
BB : 34 kg
TB : 151 cm
C. Status Generalis
1. Kepala : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), dyspnea (-), sianosis (-),
pursed lips breathing (-)
2. Hidung : Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan
baik, tidak ditemukan penyumbatan maupun pendarahan, pernapasan cuping hidung (-).
3. Leher : simetris(+), peningkatan JVP (-), pembesaran KGB (-).
4. Thoraks : Dada simetris pada kondisi statis, bentuk normal, pada kondisi dinamis
dada kanan dan kiri tidak ada yang tertinggal, retraksi suprasternal (-)
5. Paru - Paru
a. Inspeksi : simetris (+), pengembangan dada kanan dan kiri sama.
b. Palpasi : pergerakan dada kanan sama dengan dan kiri, fremitus
melemah, dada kanan sama dengan kiri, sela iga melebar (+)
c. Perkusi : sonor di kedua lapang paru.
3

d. Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) melemah di kedua lapang paru,


ronchi (-/-), wheezing (-/-).
6. Jantung
a. Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
b. Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
c. Perkusi
batas jantung dalam batas normal
d. Auskultasi : bunyi jantung I-II reguler, bising (-), gallop (-).
7. Abdomen
a. Inspeksi : distended (-)
b. Auskultasi : bising usus (+) normal
c. Perkusi : timpani pada semua region, pekak (+) pada hepar
d. Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
8. Ekstremitas
Atas : edema (-/-), akral hangat
Bawah : edema (-/-), akral hangat
9. Kulit
Warna sawo matang, agak kemerahan, turgor kembali cepat, ikterus pada kulit (-),
sianosis(-), scar (-), keringat umum (-), keringat setempat (-),pucat pada telapak tangan dan
kaki, pertumbuhan rambut normal.
4

II. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Rontgen thorax ( 20 Juli 2018)
Bacaan:

Pulmo: Corakan vasculer kasar, infiltrat di basal paru, diafragma turun

Cor: Normal

Kesan: bronchopneumonia.

B. Pemeriksaan Lab
GDP: 80,47
2 jam post prandial: 109
C. Spirometri
%KV: 55%
%KVP: 55%
%VEP 1: 57%
VEP 1%: 79
Uji Bronkodilator:
%VEP 1: 63%
Kenaikan VEP 1: 10 %
5

G. RESUME
Pada Anamnesis, keluhan utama pasien adalah batuk yang berulang dan terus
menerus. Keluhan batuk ini sejak tahun 2016. Batuk dirasakan setiap waktu dan keluhan
diperberat ketika sedang tiduran. Dahak (+) kental, bewarna putih dan tidak berbau.
Keluhan lain sesak nafas (-), demam (-), nyeri dada (-), kaki bengkak (-). Pasien memiliki
riwayat sering terpapar asap rokok.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum sedang, kesadaran kompos
mentis (E4V5M6), tanda vital dalam batas normal, region kepala, leher, dan ekstremitas
tidak didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan fisik paru ditemukan fremitus melemah,
dada kanan sama dengan kiri, sela iga melebar (+), auskultasi suara dasar vesikuler (+/+)
melemah di kedua lapang paru
Pada pemeriksaan rontgen thorax didapatkan Corakan vasculer kasar, infiltrat di
basal paru, diafragma turun. Pada pemeriksaan spirometri didapatkan %KVP: 55% dan
%VEP 1: 57%

H. ASSESSMENT
Diagnosis Kerja : PPOK
Diagnosis Banding :
- Bronkiektasis
- Bronkhopneumonia

I. Penatalaksanaan
Nonfarmakologis

 Istirahat
 Menghindari paparan asap rokok

Farmakologis

 Salbutamol tab 4 mg 3x1


 Methyl Prednisolone tab 2x4 mg
 NAC caps 2x1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK)

A. Definisi
Menurut WHO yang dituangkan dalam Panduan Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2010, Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD) atau Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) didefenisikan sebagai penyakit yang
dikarakterisasi oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak reversible
sepenuhnya. Sumbatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan
respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya. Dua
gangguan yang terjadi pada PPOK adalah bronkitis kronis atau emfisema.

Bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik
berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut -turut, tidak
disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan emfisema merupakan suatu kelainan anatomis paru
yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan
dinding alveoli. Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan
obstruksi jalan napasyang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.

B. Epidemiologi
Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus merupakan
suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini menunjukkan bahwa batuk
kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53%
pada pria paruh umur, dengan prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%.

WHO memperkirakan pada tahun 2020 prevalensi PPOK akan terus meningkat dari
urutan 6 menjadi peringkat ke-3 di dunia penyebab kematian tersering. Prevalensi PPOK
meningkat dengan meningkatnya usia. Prevalens ini juga lebih tinggi pada pria daripada
wanita. Prevalensi PPOK lebih tinggi pada negara-negara di mana merokok merupakan gaya
hidup, yang menunjukkan bahwa rokok merupakan faktor risiko utama, dimana angka
kesakitannya meningkat dengan usia dan lebih besar pada pria daripada wanita. Kematian

1
akibat PPOK sangat rendah pada pasien usia di bawah 45 tahun, dan meningkat dengan
bertambahnya usia.
Indonesia sendiri belum memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya
Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama
dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di
Indonesia.

C. Etiologi
Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan
menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan
lingkungan antara lain adalah
a. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan risiko 30 kali lebih besar
pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab dari 85-90% kasus
PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan mengalami PPOK. Kematian akibat PPOK terkait
dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan status merokok yang terakhir
saat PPOK berkembang. Namun demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok. Kurang
lebih 10 % orang yang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK. Perokok pasif (tidak
merokok tetapi sering terkena asap rokok) juga berisiko menderita PPOK.
b. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang terpapar debu
silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu gandum, toluene diisosianat, dan asbes,
mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang bekerja di tempat selain yang disebutkan di
atas.
c. Polusi udara
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk gejalanya dengan adanya
polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah seperti asap pabrik, asap kendaraan
bermotor, dll, maupun polusi dari dalam rumah misalnya asap dapur.
d. Infeksi
Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu pemicu inflamasi
neurotofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan rokok. Adanya kolonisasi bakteri
menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur dari peningkatan jumlah
sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepatan penurunan fungsi paru, yang semua
ini meningkatkan risiko kejadian PPOK.
e. Usia

2
Semakin bertambah usia, semakian besar risiko menderita PPOK. Pada pasien yang
didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita gangguan genetik
berupa defisiensi α1-antitripsin. Namun kejadian ini hanya dialami <1% pasien PPOK.
f. Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait dengan kebiasaan
merokok pada pria. Namun ada kecendrungan peningkatan prevalensi PPOK pada wanita karena
meningkatnya jumlah wanita yang merokok.
g. Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya
PPOK, misalnya defisiensi Immunoglobulin A (IgA/ hypogammaglubulin) atau infeksi pada masa
kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Orang yang pertumbuhan parunya tidak normal
karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih besar untuk mengalami PPOK.

D. Patogenesis
Proses potogenesis PPOK

.
Gambar 1. Gambaran Epitel saluran nafas pada PPOK dan orang sehat

3
Belakangan ini banyak bukti terhadap inflamasi sistemik pada PPOK peningkatan
kadar sitokin pro inflamasi dan protein fase akut tampak pada PPOK yang stabil, dimana
sebelumnya memang sudah diketahui luas bahwa kedua faktor inflamasi itu terkait dengan
eksaserbasi pada PPOK. Inflamasi ini kemudian akan mempengaruhi banyak sistem sehingga
menelurkan pendapat bahwa PPOK sebagai penyakit multi komponen.
Selain menyebabkan inflamasi pada saluran nafas, asap rokok sendiri secara
independen menyebabkan efek ekstra pulmoner seperti kejadian kardiovaskular dan inflamasi
sistemik melalui stres oksidatif sistemik dan disfungsi endotel vaskular perifer dan
menariknya kejadian ini juga akan dialami oleh perokok pasif meski hanya terpapar beberapa
tahun.
Begitu juga pada orang sehat yang dipaparkan akan produk bakterial yang pro
inflamasi, lipopolisakarida memang menunjukkan adanya proses inflamasi lokal berupa
kenaikan temperatur tubuh, reaktifitas saluran nafas dan penurunan FEV1, hanya saja terjadi
perbedaan dimana memang inflamasi sistemik tampak pada subjek yang mengalami demam,
tetapi tidak pada subjek yang hanya mengalami gangguan saluran nafas tanpa demam.
Mekanisme ketiga yang diduga adalah hipoksia, dan ini merupakan masalah berulang pada
PPOK, dimana hipoksia yang terjadi akibat penyempitan saluran nafas, akan mengaktivasi
sistem TNF dan makrofag yang menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi pada sirkulasi
perifer.
1. Bronkitis Kronis

Secara normal silia dan mukus di bronkus melindungi dari inhalasi iritan, yaitu
dengan menangkap dan mengeluarkannya. Iritasi yang terus-menerus seperti asap rokok atau
polutan dapat menyebabkan respon yang berlebihan pada mekanisme pertahanan ini. Asap
rokok menghambat pembersihan mukosiliar (mucociliary clearance). Faktor yang
menyebabkan gagalnya mukosiliar adalah adanya proliferasi sel goblet dan pergantian epitel
yang bersilia dengan yang tidak bersilia. Hiperplasia dan hipertrofi kelenjar penghasil mukus
menyebabkan hipersekresi mukus di saluran nafas. Iritasi asap rokok juga menyebabkan
inflamasi bronkiolus (bronkilolitis) dan alveoli (alveolitis). Akibatnya makrofag dan neutrofil
berinfiltrasi ke epitel dan memperkuat tingkat kerusakan epitel. Bersama dengan adanya
produksi mukus, terjadi sumbatan bronkiolus dan alveoli. Dengan banyaknya mukus yang
kental dan lengket serta menurunnya pembersihan mukosiliar menyebabkan meningkatnya
risiko.
Inflamasi yang terjadi pada bronkitis kronis dengan pengeluaran mukus dan
penyempitan lumen, juga diikuti fibrosis dan ketidakteraturan dari saluran pernafasan yang
kecil, yang makin mempersempit saluran pernafasan. Autopsi menunjukkan bahwa pasien
dengan bronkitis kronis mempunyai diameter jalur pernafasan yang kurang dari 0,4 mm.

4
Bronkitis kronik berkembang selama beberapa tahun, perubahan pada saluran nafas kecil
menyebabkan berkurangnya ventilasi (V), dimana perfusi (Q) tetap, sehingga terjadi
ketidakseimbangan V/Q dan hipoksemia. Hipoksemia mengakibatkan hipertensi pulmonary
dengan berikutnya terjadi gagal jantung kanan (cor pulmonale). Pasien dengan hipertensi
pulmonari mengalami peningkatan persentasi intima dan media pada arteri pulmonari.
2. Emfisema

Emfisema khususnya melibatkan asinus yaitu bagian dari paru-paru yang


bertanggung jawab untuk pertukaran gas. Asinus terdiri: respiratory bronkiolus, duktus
alveolus dan kantong alveolar. Pada emfisema terjadi kerusakan dinding dalam asinus
sehingga permukaan untuk pertukaran gas berkurang. Ada beberapa tipe emfisema
berdasarkan pola asinus yang terserang, tetapi yang paling berkaitan dengan PPOK adalah
emfisema sentrilobular. Emfisema tipe ini secara selektif menyerang bagian bronkiolus.
Dinding-dinding mulai berlubang, membesar dan bergabung dan cenderung menjadi satu
ruang. Mula-mula duktus alveolaris dan kantung alveolaris yang lebih distal dapat
dipertahankan. Penyakit ini seringkali lebih berat menyerang pada bagian atas paru-paru,
tetapi akhirnya cenderung tersebar tidak merata. Emfisema sentrilobular lebih banyak
ditemukan pada orang yang merokok, dan jarang dijumpai pada orang yang tidak merokok.

Gambar 2. Mekanisme terjadinya emfisema

Asap rokok dan polusi udara dapat menyebabkan inflamasi paru-paru. Inflamasi
menyebabkan rekrutmen neutrofil dan makrofag ke tempat inflamasi yang akan melepaskan
enzim proteolitik (elastase, kolagenase). Pada orang normal, kerja enzim ini akan dihambat

5
oleh α1-antitripsin, namun pada kondisi dimana terjadi defisiensi α1-antitripsin,
enzim proteolitik akan menyebabkan kerusakan pada alveous menyebabkan emfisema.

E. Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat. Pada
pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK di tegakkan
berdasarkan:
1. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan.
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi
saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara, batuk berulang dengan atau
tanpa dahak, sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.
2. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
a) Inspeksi
 Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu).
 Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding).
 Penggunaan otot bantu napas.
 Hipertropi otot bantu napas.
 Pelebaran sela iga.
 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema
tungkai.
b) Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
c) Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong
ke bawah.
d) Auskultasi
 Suara napas vesikuler normal, atau melemah.
 Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa.
 Ekspirasi memanjang.
 Bunyi jantung terdengar jauh.
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Radiologi

6
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada emfisema
terlihat gambaran:
 Hiperinflasi
 Hiperlusen
 Ruang retrosternal melebar
 Diafragma mendatar
 Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik:
 Normal
 Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

Diagnosis PPOK harus dipertimbangkan pada setiap pasien kronis, produksi dahak atau
dispnea dan yang memiliki faktor risiko penyakit ini. Adanya keterbatasan aliran udara dapat
dijelaskan lebih lanjut dengan spirometri. Spirometri merupakan penilaian komprehensif dari
kapasitas dan volume paru. Spirometri yang dikombinasikan dengan pemeriksaan fisik dapat
meningkatkan akurasi diagnosis PPOK. Spirometri juga digunakan untuk menentukan tingkat
keparahan penyakit, bersama dengan penilaian gejala dan adanya komplikasi. Keuntungan utama
dari spirometri adalah dapat mengidentifikasi individu yang memiliki kemampuan farmakoterapi
untuk mengurangi eksaserbasi.

Indikator kunci untuk mempertimbangkan diagnosis PPOK adalah sebagai berikut:

1. Batuk kronis: terjadi berselang atau setiap hari, dan seringkali terjadi sepanjang hari.
2. Produksi sputum secara kronis
3. Bronkitis akut: terjadi secara berulang.
4. Sesak nafas (dispnea): bersifat progresif sepanjang waktu, terjadi setiap hari, memburuk jika
berolahraga, dan memburuk jika terkena infeksi pernafasan.
5. Riwayat paparan terhadap faktor risiko: merokok, partikel dan senyawa kimia, asap dapur.

F. Tata Laksana
a. Terapi Non-Farmakologis
1. Berhenti merokok adalah strategi yang paling efektif untuk mengurangi risiko PPOK dan satu-
satunya intervensi yang terbukti mempengaruhi penurunan FEV1 jangka panjang dan
memperlambat perkembangan PPOK.
2. Terapi oksigen jangka panjang. Penggunaan terapi oksigen dapat meningkatkan kualitas hidup
pasien PPOK dengan hipoksemia kronis.

7
b. Terapi Farmakologis
Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi PPOK stabil perlu disesuaikan dengan
keparahan penyakitnya.

Obat-obat yang digunakan adalah:


1. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan pengobatan simtomatik utama pada PPOK. Obat ini bisa digunakan
sesuai kebutuhan untuk melonggarkan jalan nafas ketika terjadi serangan, atau secara reguler
untuk mencegah kekambuhan atau mengurangi gejala.
Beberapa contoh bronkodilator untuk PPOK adalah sbb:
 Antikolinergik
Digunakan sebagai terapi lini pertama untuk pasien PPOK yang stabil. Termasuk golongan
ini adalah ipratropium dan oksitropium (beraksi pendek), dan tiotropium bromida (beraksi
panjang).
 Simpatomimetik
Obat golongan simpatomimetik yang selektif terhadap reseptor adrenergik β-2 bersifat
bronkodilator. Golongan ini juga mungkin meningkatkan pembersihan mukosiliar.Efek
bronkodilatasi β-agonis aksi cepat umumnya berakhir setelah 4-6 jam, sedangkan β-agonis
aksi panjang seperti salmeterol dan formoterol menunjukkan durasi aksi sampai 12 jam atau
lebih, tanpa berkurangnya efektivitas pada malam hari atau dengan penggunaan teratur pada
pasien PPOK.
 Kombinasi antikolinergik dan simpatomimetik
Kombinasi antara suatu β-agonis aksi pendek maupun panjang dengan antikolinergik
terbukti dapat meningkatkan efek perbaikan gejala dan fungsi paru. Sebuah studi
melaporkan bahwa kombinasi tiotropium bromide dengan formoterol memberikan perbaikan
fungsi paru yang lebih baik daripada kombinasi salmeterol dengan flutikason.
 Metilxantin
Teofilin dan aminofilin dapat menghasilkan bronkodilatasi. Penggunaan kronis teofilin pada
PPOK menunjukkan perbaikan dalam fungsi paru termasuk kapasitas vital dan FEV1.
2. Kortikosteroid
Secara teori, kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi dan mempunyai
keuntungan pada penanganan PPOK yaitu: mereduksi permeabilitas kapiler untuk
mengurangi mukus, menghambat pelepasan enzim proteolitik dari leukosit, dan
menghambat prostaglandin.
3. Terapi Oksigen jangka panjang (long term)

8
Penggunaan oksigen berkesinambungan (>15 jam sehari) dapat meningkatkan harapan hidup
bagi pasien-pasien yang mengalami kegagalan respirasi kronis, dan memperbaiki tekanan
arteri pulmonar, polisitemia (hematokrit > 55%), mekanik paru, dan status mental.
4. Antibiotik
Sebagian besar eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh infeksi, baik infeksi virus atau bakteri.
5. Mukolitik
Penggunaan mukolitik seperti ambroksol, karbosistein, dan gliserol teriodinasi telah diteliti
pada sejumlah studi dan menunjukkan hasil yang kontroversial. Meskipun mungkin
penggunaannya memberikan manfaat bagi sebagian pasien, tetapi secara keseluruhan
manfaatnya sangat kecil.

9
DAFTAR PUSTAKA

Amin, M. 2005. Patogenesis dan pengobatan pada penyekit paru obstruksi kronik. Kongres Nasional
X PDPI. Solo. P: 1-7.
Anthariksa, Budhi. 2009. Penyakit paru obstruksi kronik. Departemen pulmonologi dan ilmu
kedokteran respirasi FKUI. RS Persahabatan Jakarta. Upload 29 april 2009.
GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease). 2010. Executive summary global
strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease
update 2010.
Hisyam. 2001. Pola Microba pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Eksaserbasi di RS. Dr
Sarjito. Jurnal Penelitian Universitas Gajah Mada Vol 33. No 1. Yogyakarta
Ikawati, Z, 2011,Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya,Bursa Ilmu, Yogyakarta.
Mangunnegoro, H. 2001. PPOK pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia .Jakarta
W. Sudoyo, Aru. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Universitas Indonesia PDPI. 2006. PPOK
Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.Jakarta.1-18.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2011. PPOK (Penyakit Paru ObstruksiKronik) Pedoman
Praktis Diagnosis Dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Sukandar, Ellin Yulinah. et al, 2008,ISO Farnakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta.

10

Anda mungkin juga menyukai