Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit tuberkulosis saat ini menjadi masalah kesehatan utama di berbagai


Negara di dunia. Penanganan TB yang substandard (di bawah standard) akan
berakibat terjadinya kegagalan pengobatan, transmisi kuman TB yang
berkelanjutan kepada anggota keluarga dan masyarakat yang lain serta
menimbulkan resistensi obat yang dikenal sebagai kasus Multi Drug Resistance
Tuberculosis (TB MDR).1 Badan kesehatan dunia (World Health Organization /
WHO) menyatakan bahwa pada tahun 2008 terdapat sekitar 440.000 kasus TB
yang resisten terhadap INH rifampisin (TB MDR) dan pada tahun 2011 sekitar
500.000 kasus TB MDR dengan angka kematian sekitar 150.000 setiap tahunnya.
Dari jumlah tersebut baru 10 % yang telah ditemukan dan diobati.2,3
Resistensi terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terlebih lagi multi drug
resistant tuberculosis (MDR TB) telah menjadi masalah kesehatan yang serius di
beberapa negara termasuk Indonesia.3 Indonesia telah melakukan beberapa survey
resistensi OAT di berbagai wilayah yang ada di Indonesia dengan mendapatkan
angka persentasi yang berbeda-beda. WHO tahun 2011 untuk memperkirakan
jumlah kasus TB MDR di Indonesia menggunakan angka 2 % untuk data kasus
TB MDR diantara kasus baru, dan 12 % untuk kasus TB MDR pada TB yang
pernah diobati sebelumnya.4
Resistensi obat terjadi akibat penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
yang tidak tepat dosis pada pasien yang masih sensitif terhadap rejimen OAT.
Ketidaksesuaian ini bisa ditimbulkan oleh berbagai sebab seperti pemberian
rejimen yang tidak tepat oleh tenaga kesehatan atau karena kegagalan dalam
memastikan pasien menyelesaikan seluruh tahapan pengobatan. Dengan
demikian, kejadian resistensi obat banyak meningkat di wilayah dengan kendali
program TB yang kurang baik.1
Angka resistensi / TB-MDR paru dipengaruhi oleh kinerja program
penanggulangan TBC paru terutama ketepatan diagnosis mikroskopik untuk
menetapkan kasus dengan BTA (+), dan penanganan kasus termasuk peran
1
pengawas minum obat (PMO) yang dapat berpengaruh pada tingkat kepatuhan
penderita untuk minum obat dan ketersediaan OAT yang cukup dan berkualitas.5

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tuberkulosis Multi Drug Resistance adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh kuman M.tuberculosis yang resisten terhadap rifampisin dan
isoniazid dengan atau tanpa obat TB lainnya. TB MDR dapat berupa primer dan
dapat juga berupa sekunder. Resistensi primer ialah resistensi yang terjadi pada
pasien yang belum pernah mendapat OAT sebelumnya sedangkan resistensi
sekunder ialah resistensi yang didapat selama pengobatan yang sebelumnya
sensitif terhadap OAT.6
Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap OAT7 :
 Mono-resistance : kekebalan terhadap salah satu OAT
 Poly-resistance : kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain
kombinasi isoniazid dan rifampisin
 Multidrug-resistance (MDR) : kekebalan terhadap sekurang-kurangnya
isoniazid dan rifampisin
 Extensive drug-resistance (XDR) : TB-MDR ditambah kekebalan terhadap
salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari
OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).
2.2 Epidemiologi
Resisten obat anti TB (OAT) menjadi ancaman besar dalam mengontrol
kasus TB di dunia. Pada akhir tahun 2013, data resisten OAT ditemukan pada 144
negara, dan perkiraan kasus TB mencapai 95 % dari populasi dunia. Pada
umumnya di dunia perkiraan 3,5 % dari kasus baru dan 20,5 % dari kasus
sebelumnya adalah TB MDR. Pada tahun 2013 diperkirakan 480.000 orang kasus
baru TB MDR di dunia 210.000 orang diantaranya meninggal dunia. Analisis
terbaru yang dilakukan dari tahun 2008-2013 menunjukkan bahwa proporsi dari
kasus baru TB MDR tidak mengalami perubahan, namun TB MDR tetap menjadi
masalah yang serius karena epidemi di beberapa Negara berkembang.8

3
2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi resistensi obat
Adapun yang menjadi faktor penyebab munculnya resistensi kuman
terhadap OAT ialah tatalaksana pengobatan pasien TB yang tidak dilaksanakan
dengan baik (tidak adekuat). Penatalaksanaan pasien TB yang tidak adekuat
tersebut dapat dinilai dari sisi:4
a. Pemberi jasa/petugas kesehatan, dikarenakan:
 Diagnosis tidak tepat
 Pengobatan tidak menggunakan panduan yang tepat
 Dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu pengobatan tidak adekuat
 Penyuluhan kepada pasien yang tidak adekuat
b. Pasien, yaitu karena:
 Tidak mematuhi anjuran dokter/ petugas kesehatan
 Tidak teratur menelan panduan OAT
 Menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya
 Gangguan penyerapan obat
c. Program pengendalian TB, dikarenakan:
 Persediaan OAT yang kurang
 Kualitas OAT yang disediakan rendah.
Menurut Program Nasional, terdapat 9 kriteria pasien yang menjadi suspek
TB-MDR yaitu7:
1. Kasus kronik atau pasien gagal pengobatan kategori 2
2. Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah bulan ke 3 dengan
kategori 2
3. Pasien yang pernah diobati TB termasuk OAT lini kedua seperti kuinolon dan
kanamisin
4. Pasien gagal pengobatan kategori 1
5. Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan
kategori 1
6. Kasus TB kambuh
7. Pasien yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau
kategori 2

4
8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR
konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas di bangsal TB-MDR.
9. Ko-infeksi TB-HIV yang tidak respon dengan pemberian OAT
Bagi pasien yang memenuhi kriteria suspek harus dirujuk ke Rumah Sakit
rujukan TB MDR dan krmudian dikirim ke laboratorium rujukan TB MDR yang
ditunjuk untuk dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat.

2.4 Mekanisme resistensi M. tuberculosis9


Berbeda dengan resistensi pada kebanyakan bakteri terhadap antibiotika
dimana resistensi yang didapat dengan cara transformasi, transduksi atau
konyugasi gen, resistensi yang didapat basil Mycobacterium tuberculosis adalah
pada mutasi kromosom utama. Basil tuberkulosis mempunyai kemampuan secara
spontan melakukan mutasi kromosom yang mengakibatkan basil tersebut resisten
terhadap obat antimikroba. Mutasi yang terjadi adalah unlinked, oleh karenanya
resistensi obat yang terjadi biasanya tidak berkenaan dengan obat yang tidak
berhubungan. Munculnya resistensi obat menggambarkan peninggalan dari mutasi
sebelumya, bukan perubahan yang disebabkan karena terpapar dengan
pengobatan. Mutasi yang bersifat unlinked ini menjadi dasar utama dalam prinsip
pengobatan tuberkulosis modern.
Mutan basil yang resisten terhadap suatu obat timbul secara alamiah dan
diseleksi oleh pengobatan yang tidak adekuat. Pengobatan yang tidak adekuat ini
meliputi penggunaan satu macam obat saja (direct monotherapy) atau penggunaan
terapi kombinasi tetapi strain kuman hanya sensitif terhadap satu macam obat
saja, sebagai hasilnya timbul resistensi sekunder terhadap satu obat. Mutasi yang
baru pada populasi basil yang berkembang ini akhirnya dapat menimbulkan MDR
apabila pengobatan yang tidak adekuat dilanjutkan. Penderita tuberkulosis dengan
resistensi sekunder bisa menularkan kuman yang sudah resisten tersebut kepada
orang lain yang kemudian disebut resistensi primer. Resistensi primer, sama
seperti resistensi sekunder dapat ditularkan kepada orang lain sehingga terjadi
penyebaran penyakit resisten obat pada masyarakat.

5
2.4.1 Resistensi terhadap INH9
Isoniazid adalah derivat nikotinamid yang juga dikenal dengan
isonikotinic acid hydrazide (INH) dengan rumus kimia 4-pyridinecarboxylic acid
hidrazide. Target kerja isoniazid sebagai antituberkulosis sama dengan
mekanisme terjadinya resistensi isoniazid. Sacchetiniand Blachard menunjukkan
bahwa isoniazid bekerja menghambat enoyl-acyl carier protein reductase, yang
diperlukan dalam biosintesa asam mikolat dinding sel kuman tuberkulosis.
Isoniazid menghambat pembentukan dinding sel kuman dalam bentuk isoniazid
aktif yaitu setelah mengalami oksidasi. Aktivasi isonizid memerlukan enzim
catalase-periksidase (gen katG) dan hidrogen peroksida yang dihasilkan kuman
TB. KatG adalah satu-satunya enzim yang dapat mengaktifkan isoniazid, dengan
demikian mutasi gen katG strain kuman TB merupakan kuman yang resisten
terhadap isoniazid. Demikian juga mutasi gen inhA yang diperlukan dalam
pembentukan asam mikolat pada kuman TB akan menjadikan kuman resisten
terhadap isoniazid.
2.4.2 Resistensi terhadap Rifampisin9
Rifampisin menghambat proses transkripsi RNA kuman TB dengan
berikatan pada sub unit beta (RpoB) RNA polimerase dan mencegah
pembentukan RNA. Mutasi pada gen RpoB menyebabkan kuman TB resisten
terhadap rifampisin. Resisten terhadap rifampisin dapat dianggap mewakili MDR
–TB sejak dijumpai paling banyak strain kuman TB yang resisten terhadap
rifampisin juga resisten terhadap isoniazid.
2.4.3 Resistensi terhadap Pirazinamid9
Pirazinamid sama seperti isoniazid juga menghambat sintesa dinding sel
kuman TB, namun mekanisme kerjanya secara pasti belum diketahui. Pirazinamid
hanya efektif membunuh kuman TB apabila kuman tersebut menghasilkan
nikotinamidase dan pirazinamidase, yaitu enzim yang diperlukan dalam
mengubah pirazinamid menjadi asam pirazinoat. Scorpio dan Zhang mengisolasi
gen pncA mikobakteria, kode untuk enzim amidase, menunjukkan mutasi gen
pncA bertanggung jawab terhadap terjadinya resistensi kuman TB terhadap
pirazinamid

6
2.4.4 Resistensi terhadap Etambutol9
Sampai saat ini mekanisme kerja ethambutol serta dasar genetik resistensi
belum diketahui secara jelas. Spesifik etambutol untuk spesies mikobakteria
diindikasikan bahwa target yang dituju menyangkut pengrusakan dinding sel.
Etambutol mencegah pembentukan dinding sel dengan menghambat
arabinosyltransferase yang menyangkut dalam biosintesa arabinogalactan dan
lipoarabinomannan. Resistensi terhadap etambutol ternyata berhubungan dengan
perubahan pada gen embCAB arabinosyltransferase, dengan kode protein embA,
embB dan embC. Protein ini berperan dalam produksi komponen dinding sel
arabinogalactan dan lipoarabinomannan. Alcaide dkk menunjukkan bahwa mutasi
pada embB sangat berhubungan dengan resistensi kuman TB terhadap etambutol.
2.4.5 Resistensi terhadap Streptomisin9
Streptomisin merupakan obat antituberkulosis yang telah lama ditemukan
dan dikenal sangat aktif membunuh kuman TB dengan mengganggu pembacaan
kode amicoacyl-tRNA, sehingga menghambat penerjemahan mRNA. Salah satu
yang umum sebagai tambahan mekanisme resistensi kuman terhadap streptomisin
adalah asetilasi obat oleh enzim modifikasi aminoglycoside, namun ini tidak
dijumpai pada kuman TB. Resistensi TB terhadap streptomisin dihubungkan
dalam dua kelas mutasi yang berbeda, yaitu mutasi pada point S12 protein
ribosom dengan kode gen rpsL dan mutasi pada 16S rRNA dengan kode gen rrs.
Mutasi pada rpsL dan rrs dapat menyebabkan resistensi kuman TB terhadap
streptomisin.

2.5 Diagnosis4
Diagnosis TB MDR dipastikan berdasarkan uji kepekaan M.tuberculosis baik
secara konvensional dengan menggunakan media padat atau cair, maupun metode
cepat (rapid test). Semua fasilitas pelayanan kesehatan yang terlibat dalam
pelaksanaan manajemen terpadu pengendalian TB resisten obat akan merujuk
semua suspek TB MDR ke Rumah Sakit Rujukan TB MDR untuk selanjutnya
akan dirujuk ke laboratorium yang telah ditunjuk oleh Kemenkes RI untuk
diperiksa dahaknya dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan biakan dan uji

7
kepekaan. Jika hasil uji kepekaan terdapat yang resisten minimal terhadap
rifampisin dan INH, maka dapat ditegakkan diagnosis TB MDR.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah:
a. Pemeriksaan mikroskopik BTA dengan pewarnaan Ziehl Neelsen
b. Biakan M.tuberculosis dapat dilakukan pada media padat maupun media cair.
Masing-masing media tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
masing.
c. Uji kepekaan M.tubeculosis terhadap OAT. Ketepatan uji kepekaan tergantung
pada jenis obat yang diuji. Untuk lini pertama ketepatan tertinggi dimulai dari
rifampisin, INH, sterptomisin dan etambutol. Sedangkan pirazinamid tidak
dianjurkan karena tingkat kepercayannya masih rendah. Untuk lini kedua,
aminoglikosida dan floroquinolon memiliki tingkat kepercayaan dan
keterulangan yang baik. Metode yang tersedia yang sudah direkomendasikan
oleh WHO ialah Line Probe Assay (LPA) dan geneXpert test.

2.6 Penatalaksanaan TB MDR4


Sebelum memulai pengobatan saat diagnosis TB MDR telah ditegakkan
maka harus dilakukan terlebih dahulu persiapan awal. Persiapan awal yang
dilakukan ialah melakukan persiapan penunjang yang bertujuan untuk mengetahui
data awal berbagai fungsi organ (ginjal, hati, jantung) dan elektrolit. Adapun
persiapan awal (pra terapi MDR) adalah:
1. Konsultasi VCT dan psikolog
2. Konsultasi THT
3. Cek lab: Hb, hematokrit, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, LED,
asam urat, GDP, protein total, albumin, SGOT, SGPT, ureum, kreatinin,
kolesterol total, kolesterol LDL, HDL, trigliserida, CRP kuantitatif,
HbSAg, IgM, elektrolit, T3, T4, TSH.
4. Cek lab BTA sedian langsung pewarnaan BTA.

a. Pengelompokan OAT yang digunakan dalam pengobatan TB-MDR


Digunakan secara hirarki secara berurutan dimulai dari kelompok satu sampai
kelompok lima.

8
Tabel 2.1. Pengelompokan OAT
Golongan Jenis Obat
Golongan-1 Obat lini pertama  Isoniazid (H)
 Rifampisin (R)
 Etambutol (E)
 Pirazinamid (Z)
 Streptomisin (S)
Golongan-2 Obat suntik lini kedua  Kanamisin (Km)
 Amikasin (Am)
 Kapreomisin (Cm)
Golongan-3 Golongan florokuinolon  Levofloksasin(Lfx)
 Moksifloksasin (Mfx)
 Ofloksasin (Ofx)
Golongan-4 Obat bakteriostatik lini  Etionamit (Eto)
kedua  Protionamid (Pto)
 Sikloserin (Cs)
 Terizidon (Trd)
 Para amino salisilat
(PAS)
Golongan-5 Obat yang belum terbukti  Amoksilin/asam
efikasinya dan tidak klavulanat (Amx/
direkomendasikan oleh Clv)
WHO untuk pengobatan
rutin TB MDR
Dikutip dari: Pedoman manajemen terpadu Pengendalin Tuberkulosis Resisten Obat.
Kemenkes RI.2013

b. Paduan obat TB MDR yang ada di Indonesia


Pilihan paduan OAT TB MDR saat ini adalah paduan standart pada permulaan
pengobatan akan diberikan sama kepada semua pasien TB MDR. Adapun paduan
yang akan diberikan ialah:
 Km-Eto-Lfx-Cs-Z-E / Eto-Lfx-Cs-Z-E. Paduan ini diberikan kepada
pasien yang sudah dikonfirmasi TB MDR secara laboratories.
 Jika terbukti resisten terhadap kanamisin, maka paduan standar
disesuaikan sebagai berikut : Cm-Lfx-Eto-Cs-Z-E / Lfx-Eto-Cs-Z-E
 Jika terbukti resisten terhadapa kuinolon, maka paduan standar
disesuaikan sebagai berikut: Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-E / Mfx-Eto-Cs-
PAS-Z-E.
Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan
tahap lanjutan. Tahap awal ialah tahap dengan pemberian suntikan paling sedikit
9
selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap lanjutan ialah
pemberian panduan OAT tanpa pemberian suntikan setelah menyelesaikan tahap
awal. Pada fase awal obat oral diminum setiap hari (7 hari dalam seminggu),
suntikan diberikan 5 hari dalam seminggu (senin-jumat). Sedangkan pada fase
lanjutan obat peroral diminum selama 6 hari dalam seminggu (hari minggu pasien
tidak minum obat). Lama pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan paling sedikit
selama 18 bulan setelah terjadi konversi biakan.
Adapun perhitungan dosis OAT TB MDR dapat dilihat pada table berikut:
Tabel.2.2. Perhitungan dosis OAT TB MDR
OAT BB < 33 kg BB 33-50 kg BB 51-70 kg BB > 70 kg
Pirazinamid 20-30 750-1500 mg 1500-1750 1750-2000
mg/kgBB/hari mg mg
Kanamisin 15-20 500-750 mg 1000 mg 1000 mg
mg/kgBB/hari
Etambutol 20-30 800-1200 mg 1200-1600 1600-2000
mg/kgBB/hari mg mg
Kapreomisin 15-20 500-750 mg 1000 mg 1000 mg
mg/kgBB/hari
Levofloksasin 7,5-10 750 mg 750 mg 750-1000
(dosis standar) mg/kgBB/hari mg
Levofloksasin 1000 mg 1000 mg 1000 mg 1000 mg
(dosis tinggi)
Moksifloksasin 7,5-10 400 mg 400 mg 400 mg
mg/kgBB/hari
Sikloserin 15-20 500 mg 750 mg 750-1000
mg/kgBB/hari mg
Etionamid 15-20 500 mg 750 mg 750-1000
mg/kgBB/hari mg
PAS 150 8g 8g 8g
mg/kgBB/hari
Dikutip dari: Pedoman manajemen terpadu Pengendalin Tuberkulosis Resisten Obat.
Kemenkes RI.2013

Pengobatan tambahan
a. Pendukung nutrisi
Pasien TB-MDR sering mengalami malnutrisi, selain itu OAT lini kedua dapat
menyebabkan penurunan nafsu makan. Vitamin B6, vitamin A dan mineral
sebaiknya ditambahkan dalam diet sehari-hari.
b. Kortikosteroid

10
Diberikan pada gangguan pernapasan berat, keterlibatan SSP atau perikard.
Prednison diberikan mulai 1 mg/kgbb, dosis diturunkan secara bertahap apabila
akan diberikan dalam jangka lama.

2.7 Prognosis
Dari beberapa studi ada yang menyebutkan bahwa adanya keterlibatan
ekstrapulmoner, usia tua, malnutrisi, infeksi HIV, riwayat menggunakan OAT
dengan jumlah yang cukup banyak sebelumnya, terapi yang tidak adekuat (<2
macam obat yang aktif) dapat menjadi petanda prognosis buruk pada pasien
tersebut.10

11
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identifikasi

Nama lengkap : Tn. M

Umur : 66 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Dusun II, batun baru, jejawi, OKI

Pekerjaan : Buruh

Agama : Islam

Status Pernikahan : Menikah

No. RM : 56-74-26

Tanggal Masuk Rumah Sakit : 06 Januari 2019

3.2. Anamnesis (Autoanamnesis & Alloanamnesis, 07 Januari 2019)

a. Keluhan Utama:
Sesak nafas dan batuk sejak kurang lebih 2 minggu SMRS.

b. Riwayat Perjalanan Penyakit:


Sekitar 6 tahun yang lalu pasien pernah didiagnosis oleh dokter
menderita penyakit TB dan disarankan untuk minum obat anti TB selama
6 bulan namun pasien hanya minum obat tersebut selama lebih kurang 3
bulan, tidak teratur dan putus obat.

Satu tahun SMRS pasien mengeluhkan batuk berdahak berwarna


putih kehijauan. Pasien berobat ke rumah sakit Muhammadiyah
12
Palembang dan dilakukan pemeriksaan dahak. Hasil pemeriksaan
didapatkan BTA Sputum (+1) dan pasien tidak meminum obat secara
teratur lagi.

Sejak 2 minggu SMRS pasien mengeluhkan sesak napas yang


terasa semakin memberat, sesak tidak dipengaruhi oleh aktivitas dan
tidak dipengaruhi oleh cuaca dingin, tidak ada bunyi mengi.

Sejak 2 minggu SMRS pasien juga mengeluh batuk berdahak yang


semakin lama semakin memberat. Dahak berwarna kuning kehijauhan.
Ketika batuk pasien merasakan nyeri pada dada, nyeri hilang timbul
hanya dirasakan ketika batuk dan tidak menjalar ke lengan kiri maupun
ke punggung.

Pasien juga mengeluhkan demam yang hilang timbul dalam 2


minggu terakhir. Demam tidak terlalu tinggi dan disertai dengan keringat
pada malam hari. Nafsu makan pasien menurun dan terdapat penurunan
berat badan. Pasien mengeluh mual, muntah (-), BAK dan BAB tidak ada
keluhan.

Tiga hari terakhir pasien merasa sesak semakin bertambah, demam,


batuk berdahak berwarna kuning kehijauan semakin memberat, nafsu
makan makin menurun dan berat badan juga menurun, lalu pasien datang
ke IGD Rumah Sakit Palembang Bari.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit yang sama sebelumnya : Ada
Riwayat penyakit paru (TB) : Ada
Riwayat penyakit jantung : Tidak ada
Riwayat Hipertensi : Tidak ada
Riwayat DM : Tidak ada
Riwayat penyakit ginjal : Tidak ada

13
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit yang sama : Tidak ada
Riwayat penyakit paru (TB) : Tidak ada
Riwayat hipertensi : Tidak ada
Riwayat penyakit jantung : Tidak ada
Riwayat DM : Tidak ada
Riwayat penyakit ginjal : Tidak ada

e. Riwayat Sosial Ekonomi


Pekerjaan : Buruh
Perumahan : Rumah sendiri
Keuangan : Cukup, golongan ekonomi sedang

3.3. Pemeriksaan Fisik

Dilakukan pada tanggal 07 Januari 2019

Keadaan Umum:

1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang


2. Kesadaran : Compos mentis
3. Habitus : Astenikus
4. Tekanan darah : 110/70 mmHg
5. Nadi : 89x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup,
gelombang reguler dan kualitas cukup
6. Pernafasan : 25x/menit, irama reguler, tipe thorako abdominal
7. Suhu : 37.6oC
8. Berat Badan : 39 Kg
9. Tinggi Badan : 150 cm

14
Keadaan Spesifik:

1. Kulit
Warna sawo matang, hiperpigmentasi tidak ada, ikterus kulit tidak ada,
kulit teraba kering dan hangat, pucat pada telapak tangan dan kaki tidak
ada, sianosis tidak ada.

2. Kelenjar Getah Bening


Kelenjar getah bening submandibular, leher, axilla, dan inguinal tidak
ada pembesaran, nyeri tekan tidak ada.

3. Kepala:
Bentuk bulat, simetris, deformitas tidak ada, nyeri tekan tidak ada.

4. Mata:
Eksoftalmus tidak ada, hiperemis palpebra kedua mata tidak ada,
konjungtiva palpebra kedua mata pucat (-), sklera ikterik kedua mata (-),
pupil isokor, refleks cahaya baik, penglihatan kabur tidak ada, gerakan
bola mata ke segala arah dan simetris, lapangan penglihatan baik.

5. Telinga
Kedua liang telinga terdapat sekret kuning cair menutupi meatus
akustikus, nyeri tekan tragus (-), pendengaran menurun.

6. Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, deviasi septum tidak ada, tidak ditemukan
adanya penyumbatan dan perdarahan, pernapasan cuping hidung tidak
ada.

7. Mulut
Lidah tidak tampak rhagaden, gusi berdarah tidak ada, stomatitis tidak
ada, tonsil tidak ada pembesaran.

15
8. Leher
Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada, pembesaran kelenjar tiroid
tidak ada, JVP 5-2 cmH2O

9. Thorax
a. Paru Depan
- Inspeksi
Simetris : kanan dan kiri sama
Dinamis : tidak ada yang tertinggal, retraksi intercostal (-), sela
Iga melebar (-), benjolan (-).
- Palpasi : Stem fremitus sama pada kanan dan kiri, benjolan (-).
- Perkusi : sonor paru kanan dan kiri, nyeri ketok (-), batas paru
Hepar bisa dinilai.
- Auskultasi :Vesikuler (+) normal, ronkhi (+/+),wheezing (-/-).
b. Paru Belakang
- Inspeksi
Simetris : kanan dan kiri sama
Dinamis : tidak ada yang tertinggal, retraksi intercostal (-),sela
Iga melebar (-), benjolan (-).
- Palpasi :Stem fremitus sama pada kanan dan kiri, benjolan (-).
- Perkusi : sonor paru kanan dan kiri, nyeri ketok (-)
- Auskultasi :Vesikuler (+) normal, ronkhi (+/+),wheezing (-/-).
c. Jantung
- Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
- Perkusi : Atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
Kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
- Auskultasi : HR: 80x/menit, bunyi jantung I dan II (+) normal,
murmur (-), gallop (-)

16
10. Abdomen
1. Inspeksi : Cembung, simetris, distensi (-), caput medusa (-), spider
naevi (-), benjolan (-)
2. Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba
3. Perkusi : Tympani (+), undulasi (-), shifting dullness (-),
nyeri ketok CVA (-)
4. Auskultasi : Bising usus (+) normal.

11. Ekstremitas
- Superior :Kedua ekstremitas atas tidak tampak pucat, palmar eritem
(-), nyeri otot dan sendi (-), gerakan ke segala arah,
kekuatan 5, jari tabuh (-), eutoni, atrofi (-), tremor (-),
edema pada kedua lengan dan tangan (-), teraba lembab.

- Inferior :Kedua ekstremitas bawah tidak tampak pucat, nyeri otot


dan sendi (+) pada tungkai kiri, kekuatan 5, eutoni, jari
tabuh (-), edema pada tungkai kiri, teraba lembab.

3.4. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium
Tanggal 06 Januari 2019

Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Normal

Hematologi
Hemoglobin 14,6 14,0 – 16,0 g/dl
Leukosit 17,6 5,0 – 10,0 x103/uL
Trombosit 701 150,0 – 400,0 x103/uL
Hematokrit 44 40,0 – 48,0%
Eritrosit 5,17 4,5 – 5,5 x 106/uL
Basofil 0 0.0 – 1.0%
Eosinofil 2 1.0 – 3.0%
Batang 2 2,0 – 6,0%
Segmen 83 50,0 – 70,0%
Limfosit 5 20,0 – 40,0%
Monosit 8 2,0 – 8,0%

17
Kimia Darah
GDS 165 < 180,0 mg/dL
Ureum 72 20,0 – 40,0 mg/dL
Kreatinin 1,2 0,9 – 1,3 mg/dL

2. Pemeriksaan EKG
Tanggal 08 Januari 2019

Gambar. Hasil EKG Tn.M


Kesan:
 Irama sinus takikardi
 Laju QRS :102 x/menit, regular
 Interval PR pendek
 Aksis: normal
 Gelombang P normal
 Kompleks QRS normal
 Tidak ada kelainan segmen ST

18
3. Pemeriksaan Paru
Tanggal 06 Januari 2019

Gambar. Hasil Foto Thorak Tn.M

Dari foto toraks di atas diambil secara PA, identitas dan marker
ada, kekerasan foto cukup, tulang dan jaringan lunak baik, sudut
kostofrenikus kiri dan kanan lancip. Bercak putih inhomogen pada
lapangan paru kanan dan pada lapangan paru kiri.

4. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobilogis pada tanggal 07 Januari 2019 didapatkan hasil
BTA sputum +1.

5. Pemeriksaan Gen expert sputum


Hasil pemeriksaan geneXpert didapatkan hasil MTB detected medium
dan rifampisin resistance detected.

3.6 Diagnosis Kerja


Multi drug resistant tuberculosis

19
3.7 Diagnosis Banding

1. Multi drug resistant tuberculosis


2. Pneumonia
3. PPOK

3.8 Penatalaksanaan
a. Non farmakologi
- Bed rest
- Selalu memakai masker
- Diet tinggi kalori tinggi protein
b. Farmakologi
- IVFD Nacl 0,9% 500 ml + drip aminophilin 1 ½ amp gtt 20x/menit
- Oksigen 2 liter/menit
- Ceftriaxone 2x1gr (iv)
- Ambroxol syr 3x1 cth
- Paracetamol 500mg (k/p)
c. Perencanaan
- Kultur/ uji sensitifitas terhadap OAT
- Perencanaan pemberian terapi OAT MDR
- Edukasi keluarga

3.9 Prognosis

 Quo ad vitam : ad bonam


 Quo ad fungtionam : ad bonam
 Quo ad sanationam : ad bonam

20
3.10 Follow up

07 Januari 2019 S: Os mengeluh agak sesak, batuk (+)


Jam 07.00 O : KU : tampak sakit ringan
TD : 110/70 mmHg
N : 72 x/menit
HR : 72 x/menit
RR : 27x/menit
T : 37,0 oC
Kepala : Normocephali, konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+).

Leher : Simetris, pembesaran KGB dan tiroid(-).

Pulmo :
Inspeksi : Simetris, retraksi (-).
Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama, normal
Perkusi : Sonor lapangan paru kanan dan kiri.
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, Ronkhi (-/-)
Wheezing (-/-)

Cor : Inspeksi : Iktus cordis terlihat di ICS V LMCS


Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS V LMCS,
thrill (-)
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal.
Auskultasi : BJ I/II normal, murmur (-), gallop
(-).

Abdomen : datar, lemas, hepar tidak teraba, lien tidak


teraba, nyeri tekan epigastrium (-)

Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema (-), CRT < 2


A: Susp. MDR TB
P: - IVFD Nacl 0,9% 500 ml + drip aminophilin
1 ½ amp gtt 20x/menit

21
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr/iv
- Ambroxol syr 3x1 cth
- Paracetamol 500mg (k/p)
- Cek sputum BTA
- Cek Gen expert sputum

08 Januari 2017 S: Sesak nafas sudah mulai berkurang, batuk (+)


Jam 07.00 O : KU : tampak sakit ringan
TD : 120/80 mmHg
N : 78 x/menit
HR : 78x/menit
RR : 24x/menit
T : 37,3 oC
Kepala : Normocephali, konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+).

Leher : Simetris, pembesaran KGB dan tiroid(-).

Pulmo :
Inspeksi : Simetris, retraksi (-).
Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama, normal
Perkusi : Sonor lapangan paru kanan dan kiri.
Auskultasi: Vesikuler (+), Ronkhi (+/+) ,Wheezing (-
/-)

Cor : Inspeksi : Iktus cordis terlihat di ICS V LMCS


Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS V LMCS,
thrill (-)
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal.
Auskultasi : BJ I/II normal, murmur (-), gallop
(-).

Abdomen : datar, lemas, hepar tidak teraba, lien tidak


22
teraba, nyeri tekan epigastrium (-)

Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema (-), CRT < 2

Hasil Pemeriksaan Sputum BTA :


(+) 1
Hasil Pemeriksaan Gen Expert Sputum :
Hasil pemeriksaan geneXpert didapatkan hasil MTB
detected medium dan rifampisin resistance detected

A: MDR TB
P: - IVFD RL gtt xx/menit
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr/iv
- Ambroxol syr 3x1 cth
- Paracetamol 500mg (k/p)
- Rencana pengobatan OAT MDR TB

09 Januari 2018 S: Sesak nafas berkurang, batuk (+)

Jam 07.00 O : KU : tampak sakit ringan

TD : 110/70 mmHg

N : 68 x/menit

HR : 68x/menit

RR : 23x/menit

T : 36,8 oC

Kepala : Normocephali, konjungtiva anemis (-/-),

sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+).

Leher : Simetris, pembesaran KGB dan tiroid(-).

Pulmo :

Inspeksi : Simetris, retraksi (-).

23
Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama, normal

Perkusi : Sonor lapangan paru kanan dan kiri.

Auskultasi: Vesikuler (+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

Cor :

Inspeksi : Iktus cordis terlihat di ICS V LMCS

Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS V LMCS, thrill (-)

Perkusi : Batas jantung dalam batas normal.

Auskultasi : BJ I/II normal, murmur (-), gallop (-).

Abdomen : datar, lemas, hepar tidak teraba, lien tidak


teraba, nyeri tekan epigastrium (-)

Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema (-), CRT < 2

A: MDR TB

P: - Pasien boleh pulang


- Rawat Jalan
- Rencana pengobatan MDR TB

24
BAB IV

ANALISIS MASALAH

Diagnosis TB MDR pada pasien ini ditegakkan berdasarkan Anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan teori pasien TB paru
memiliki gejala klinis berupa gejala respiratorik dan gejala sistemik. Adapun
gejala respiratorik dapat berupa batuk yang lebih dari tiga minggu, batuk berdahak
dan dapat disertai darah, sesak napas dan nyeri dada. Gejala sistemik berupa
demam, malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun. Pada pasien
ini dari anamnesis ditemukan batuk berdahak, sesak napas, nyeri dada,
berkeringat malam, penurunan berat badan, penurunan napsu makan dan demam
yang tidak terlalu tinggi.
Pada TB MDR, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama
daerah apex dan segmen posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik,
suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma &
mediastinum. Pada pasien didapatkan ronk basah positif dan suara napas
melemah.
Untuk pemeriksaan penunjang TB MDR ditemukan kuman tuberkulosis
yaitu dengan cara pemeriksaan BTA sputum, pada pasien ini telah dilakukan
pemeriksaan sputum BTA dan ditemukan BTA positif satu, dan pada pemeriksaan
radiologis terlihat infiltrat pada paru kiri dan kanan, hal ini sesuai dengan gejala
klinis pasien yaitu pasien mengeluhkan sesak nafas. Dari hasil pemeriksaan gen
expert sputum menunjukkan MTB detected medium dan rifampisin resistance
detected.

Tatalaksana yang diberikan untuk mengurangi sesak nafas penderita yaitu


dengan IVFD Nacl 0,9% 500 ml + drip aminophilin 1 ½ amp gtt 20x/menit, saat
sesak nafas sudah berkurang dan menghilang infus diganti dengan RL gtt
xx/menit. Sedangkan untuk mengobati infeksi dari dalam, diberikan antibiotik
injeksi berupa ceftriaxone 2 x 1 g/iv. Untuk mengurangi gejala batuk diberikan
25
Ambroxol syr 3 x 1 cth, dan untuk menghilangkan demam diberikan Paracetamol
500mg. Setelah perbaikan pasien diperbolehkan pulang dengan rawat jalan dan
rencana pengobatan OAT MDR TB.

Rencana pengobatan MDR TB diberikan berdasarkan paduan baku OAT


untuk pasien TB dengan MDR saat ini adalah Km-Eto-Lfx-Cs-Z-E,
Kanamisin 750 mg, Levofloxacin 750 mg, Sikloserin 500 mg, Etionamid 500 mg,
Pirazinamid 1500 mg, dosis diberikan berdasarkan berat badan. Lalu dapat
ditambahkan Vitamin B6 100 mg karena pasien MDR TB sering mengalami
malnutrisi, , selain itu OAT lini kedua dapat menyebabkan penurunan nafsu
makan.

26
BAB V

KESIMPULAN

Prevalensi kasus TB dengan resistensi OAT terutama TB-MDR terus


meningkat. Factor penyebab terbanyak adalah akibat pengobatan TB yang tidak
adekuat dan penularan dari pasien TB-MDR. Oleh karena itu pada setiap pasien
harus dilakukan penilaian resiko kemungkinan terjadinya resistensi OAT.
Selanjutnya terapi empiris harus segera diberikan pada pasien dengan resiko
tinggi resistensi OAT, terutama pada pasien dengan keadaan penyakit yang berat.
Pemilihan regimen OAT yang tepat sangat diperlukan untuk keberhasilan
pengobatan dan mencegah bertambah banyaknya kasus TB-MDR maupun TB-
XDR dan TB-TDR.

Terapi yang dianjurkan dengan memberikan 4 sampai 6 macam obat.


Pilihan obat yang diberikan yaitu obat lini pertama yang masih sensitif disertai
obat lini kedua berdasarkan aktivitas intrinsik terhadap kuman M.tuberculosis.
Pembedahan perlu dipertimbangkan bila setelah 3 bulan terapi OAT tidak terjadi
konversi negatif sputum. Pemberian nutrisi yang baik dapat membantu
keberhasilan terapi.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Burhan, Erlina. Tuberkulosis Multi Drug Resistance (TB-MDR). FKUI;


2010
2. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2013
Tentang Menajement Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resisten obat;
2013
3. Wright A, Zignol M. Anti-Tuberculosis Drug Resistance in The World.
Fourth Global Report. Wright A, Zignol M, Dye C.etds. Geneva: WHO;
2012
4. Petunjuk Teknis Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resisten
Obat. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Dirjen P2PL; 2013
5. Gitawati R, Isnawati A, Raini M. Proporsi resistensi ganda (MDR) TB
paru di Kabupaten dan kota pekalongan berdasarkan survey. Jakarta:
Balitbangkes; 2006
6. Syahrini, Heny. Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatra Utara. 2008
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Paru Indonesia;
2011
8. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2014. France.
WHO/HTM/TB/2014.08
9. Riyanto BS, Wilhan. Management of MDR TB Current and Future dalam
Sebuah tinjauan kepustakaan MDR TB. FK-UNSYAH. 2012
10. Sharma SK, Mohan A. Multidrug-Resistant Tuberculosis : A menace That
Threatens To Destabilize Tuberculosis Control. CHEST 2006; 130:261-
272

28

Anda mungkin juga menyukai