Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


EDEMA PARU DI RUANG ICU/ICCU
BLUD ULIN BANJARMASIN

Oleh :

Bernadino Oktavianus Manembu, S. Kep


NIM. I1B110209

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2015
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


EDEMA PARU DI RUANG ICU/ICCU
BLUD ULIN BANJARMASIN

Tanggal 09 November s.d 14 November 2015

Oleh :

Bernadino Oktavianus Mnembu, S. Kep


NIM. I4B111209

Banjarmasin, November 2015


Mengetahui,
Koordinator Keperawatan Kritis dan Gawat Darurat

Abdurrahman Wahid, S.Kep.,Ns, M.Kep


NIP. 19831111 200812 1 002

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

Ifa Hafifah, S.Kep.,Ns, M.Kep Erwin Setiadi, S.Kep.,Ns


NIK. 1990.2013.1.124
LAPORAN PENDAHULUAN
EDEMA PARU

A. DEFINISI

Edema paru adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya cairan


ekstravaskular yang patologis pada jaringan parenkim paru. Edema paru
disebabkan karena akumulasi cairan di paru-paru yang dapat disebabkan oleh
tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan
permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan
terjadinya ekstravasasi cairan. Pada sebagian besar edema paru secara klinis
mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan
permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan tekanan pada mikrosirkulasi atau
sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk menetapkan faktor mana
yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan.
Edema paru terjadi dikarenakan aliran cairan dari pembuluh darah ke
ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan
kembali ke darah atau melalui saluran limfatik. Edema paru terjadi ketika
cairan yang disaring ke paru lebih cepat dari cairan yang dipindahkan.
Penumpukan cairan menjadi masalah serius bagi fungsi paru karena efisiensi
perpindahan gas di alveoli tidak bisa terjadi. Struktur paru dapat menyesuaikan
bentuk edema dan yang mengatur perpindahan cairan dan protein di paru
menjadi masalah yang klasik.
B. ETIOLOGI
Edema paru kardiogenik merupakan gejala yang sering terjadi pada
gagal jantung kiri. Hal ini diakibatkan oleh gangguan pada jalur keluar atrium
kiri, peningkatan volume yang berlebihan di ventrikel kiri, disfungsi diastolic
atau sistolik dari ventrikel kiri atau obstruksi pada pada jalur keluar pada
ventrikel kiri. Peningkatan tekanan di atrium kiri dan tekanan baji paru
mengawali terjadinya edema paru kardiogenik tersebut. Akibat akhir yang
ditimbulkan adalah keadaan hipoksia berat. Bersamaan dengan hal tersebut
terjadi juga rasa takut pada pasien karena kesulitan bernafas, yang berakibat
peningkatan denyut jantung dan tekanan darah sehingga mengurangi
kemampuan pengisian dari ventrikel kiri. Dengan peningkatan rasa tidak
nyaman dan usaha bernapas yang harus kuat akan menambah beban pada
jantung sehingga fungsi kardiak akan semakin menurun, dan diperberat oleh
keadaan hipoksia. Bila kejadian ini tidak diatasi dengan segera, tingkat
mortalitas edema paru kardiogenik masih tinggi.
Secara patofisiologi penyakit dasar penyebab edema paru kardiak dibagi
menjadi 3 kelompok : Peningkatan afterload (Pressure overload) : terjadi
beban yang berlebihan terhadap ventrikel pada saat sistolik. Contohnya ialah
hipertensi dan stenosis aorta; Peningkatan preload (Volume overload) : terjadi
beban yang berlebihan saat diastolik. Contohnya ialah insufisiensi mitral,
insufisiensi aorta, dan penyakit jantung dengan left-to-right shunt (ventricular
septal defect); Gangguan kontraksi otot jantung primer : pada infark miokard
akut jaringan otot yang sehat berkurang, sedangkan pada kardiomiopati
kongestif terdapat gangguan kontraksi otot jantung secara umum.
Penyebab edema paru non kardiak secara patofisiologi dibagi menjadi :
Peningkatan permeabilitas kapiler paru (ARDS) : tenggelam, inhalasi bahan
kimia, dan trauma berat; Peningkatan tekanan kapiler paru : pada sindrom
vena kava superior, pemberian cairan berlebih, dan transfusi darah; penurunan
tekanan onkotik plasma : sindrom nefrotik dan malnutrisi.
C. KLASIFIKASI
Edema paru dapat disebabkan oleh banyak faktor yang berbeda. Ia
dapat dihubungkan dengan gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary
edema (edema paru kardiak), atau dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk
sebagai non-cardiogenic pulmonary edema (edema paru nonkardiak).

Diagnosis Banding Edema Paru Kardiak dan Nonkardiak


Edema paru kardiak Edema paru nonkardiak
Riwayat Penyakit :
Penyakit Jantung Akut Penyakit Dasar di luar Jantung
Pemeriksaan Klinik :
Akral dingin Akral hangat
S3 gallop/Kardiomegali Pulsasi nadi meningkat
Distensi vena jugularis Tidak terdengar gallop
Ronki basah Tidak ada distensi vena jugularis
Ronki kering
Tes Laboratorium :
EKG : Iskhemia/infark EKG : biasanya normal
Ro : distribusi edema perihiler Ro : distribusi edema perifer
Enzim jantung mungkin meningkat Enzim jantung biasanya normal
Tekanan Kapiler Paru > 18mmHg Tekanan Kapiler Paru < 18mmHg
Intrapulmonary shunting : meningkat Intrapulmonary shunting : sangat
ringan meningkat
Cairan edema/protein serum < 0,5 Cairan edema/serum protein > 0,7

D. MANIFESTASI KLINIK EDEMA PARU KARDIOGENIK

Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan


radiografi (foto toraks).Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun
kenyataannya secara klinik sukar dideteksi dini.Secara patofisiologi edema
paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan dengan kandungan protein
yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan
sebagian kapiler paru.Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada
permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang
terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hipoksemia dan sesak
nafas.Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda.

Stadium 1. Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen
akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan
kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya
berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak
jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada
saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada
saat inspirasi.
Stadium 2. Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh
darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur
dan septa interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya
penumpukan cairan di jaringan kendor intersisial, akan lebih
memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh
karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks
bronkhokonstriksi.Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini
merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea
juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan
cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya
terdapat sedikit perubahan saja.

Stadium 3. Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat
terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak
sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan
volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left
intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia,
tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute
respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan
dengan hati-hati.Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard
Akut biasanya akibat hipertensi kapiler paru.Namun percobaan
pada anjing yang dilakukan ligasi arteriakoronaria, terjadi edema
paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang dapat dicegah
dengan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa
dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic phosphodiesterase
akan mengurangi edema' paru sekunder akibat peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler; pada manusia masih memerlukan
penelitian lebih lanjut. Kadangkadang penderita dengan Infark
Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya
normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan
edema secara radiografimeskipun tekanan kapiler paru sudah turun
atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi
sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung.

Pemeriksaan penunjang:

Anamnesis.Edema paru kardiak berbeda dari ortopnea dan paroksismal


nocturnal dyspnea, karena kejadiannya yang bisa sangat cepat dan
terjadinya hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini
merupakan pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena mereka
merasa ketakutan, batu-batuk dan seperti seorang yang akan tenggelam.
Pasien biasnaya dalam posisi duduk agar dapat mempergunakan otot-
otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi, atau sedikit
membungkuk ke depan, sesak hebat, mungkin disertai sianosis, sering
berkeringat dingin, batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan
(frothy sputum).

Pemeriksaan fisik. Dapat ditemukan frekuensi nafas yang meningkat, dilatasi


alae nasi, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela intercostal dan fossa
supraklavikula yang menunjukkan tekanan negative intrapleural yang
besar dibutuhkan pada saat inspirasi. Pemeriksaan pada paru akan
terdengar ronki basah kasar setengah lapangan paru atau lebih, sering
disertai wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan protodiastolik
gallop, bunyi jantung II pulmonal mengeras, dan tekanan darah dapat
meningkat.

Radiologis. Pada foto toraks menunjukkan hilus yang melebar dan densitas
meningkat disertai tanda bendungan paru, akibat edema interstisial atau
alveolar.

Foto thoraks. Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada.
X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin
menunjukan lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang
paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari
pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan)
yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang
minimal dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini
mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary
edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang
minimal tentang penyabab yang mungkin mendasarinya.
Gambaran Radiologi yang ditemukan:
a. Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vascular di hilus)
b. Coarakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
c. Kranialisasi vaskuler
d. Hilus suram (batas tidak jelas)
e. Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil
atau nodul milier)

Laboratorium. Kelainan pemeriksan laboratorium sesuai dengan penyakit


dasar. Uji diagnostic yang dapat dipergunakan untuk membedakan
dengan penyakit lain misalnya asma bronkial adalah pemeriksaan kadar
BNP (brain natriuretic peptide) plasma. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan dengan cepat dan dapat menyingkirkan penyebab dyspnea
lain seperti asma bronkial akut. Pada kadar BNP plasma yang
menengah atau sedang dan gambaran radiologis yang tidak spesifik,
harus dipikirkan penyebab lain yang dapat mengakibatkan terjadinya
gagal jantung tersebut, misalnya restriksi pada aliran darah di katup
mitral yang harus dievaluasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti
ekokardiografi.

EKG. Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda


iskemia atau infark pada infark miokard akut dengan edema paru.Pasien
dengan krisis hipertensi gambaran elektrokardiografi biasanya
menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema
paru kardiogenik tetapi yang non-iskemik biasanya menunjukkan
gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang
khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan
menghiland dalam 1 minggu. Penyebab dari keadaan non-iskemik ini
belum diketahui tetapi ada beberapa keadaan yang dikatakan dapat
menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan
akut tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat
perubahan metabolik atau katekolamin.

Ekokardiografi. Gambaran penyebab gagal jantung: kelainan katup, hipertrofi


ventrikel (hipertensi), segmental wall motion abnormally (Penyakit
Jantung Koroner), dan umumnya ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan
atrium kiri. Alat-alat diagnostiklain yang digunakan dalam menilai
penyebab yang mendasari dari pulmonary edema termasuk pengukuran
dari plasma B-type natriuretic peptide (BNP) atau N-terminal pro-
BNP. Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz) adalah tabung yang
panjang dan tipis (kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena
besar dari dada atau leher dan dimajukan melalui kamar-
kamar sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-
kapiler paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang
kecil dari pembuluh-pembuluhdarah dari paru-paru).Alat ini
mempunyai kemampuan secara langsung dalam pembuluh-
pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge
pressure.Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah
konsisten dengan cardiogenic pulmonary edema, sementara wedge
pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya menyokong non-
cardiogenic cause of pulmonary edema. Penempatan kateter Swan-Ganz
dan interpretasi data dilakukan hanya pada intensive care unit (ICU)
setting.

E. PENATALAKSANAAN

1. Letakkan pasien dalam posisi duduk sehingga meningkatkan volume dan


kapasitas vital paru, mengurangi usaha otot pernafasan, dan menurunkan
aliran darah vena balik ke jantung.

2. Sungkup O2 dengan dosis 6-10 L/menit diberikan bersamaan dengan


pemasangan jalur IV dan monitor EKG (O, I, M). Nonrebreather mask with
reservoir O2 dapat menyalurkan 90-100% O2.
3. Oksimetri denyut dapat memberi informasi keberhasilan terapi walaupun
saturasi O2 kurang akurat karena terjadi penurunan perfusi perifer. Oleh
karena itu, dianjurkan melakukan pemeriksaan analisis gas darah untuk
mengetahui ventilasi dan asam basa.

4. Tekanan ekspirasi akhir positif (positive end expiratory pressure) dapat


diberikan untuk mencegah kolaps alveoli dan memperbaiki pertukaran gas.

5. Kantung nafas-sungkup muka menggantikan simple mask bila terjadi


hipoventilasi.

6. Continuous positive airway pressure diberikan bila pasien bernafas spontan


dengan sungkup muka atau pipa endotrakea.

7. Intubasi dilakukan bila PaO2 tidak dapat dipertahankan di atas 60 mmHg


walau telah diberikan O2 100%, munculnya gejala hipoksi serebral,
meningkatnya PCO2 dan asidosis secara progresif.

8. Bila TD 70-100 mmHg disertai gejala-gejala dan tanda syok, berikan


Dopamin 2-20mcg/kgBB/menit IV. Bila tidak membaik dengan Dopamin
dosis >20 mcg/kg/mnt segera tambahkan Norephinephrine 0,5-30
mcg/menit IV, sedangkan Dopamine diturunkan sampai 10
mcg/kgBB/menit. Bila tanpa gejala syok berikan Dobutamine 2-20
mcg/kgBB/menit IV.

9. Bila TD > 100 mmHg, nitrogliserin paling efektif mengurangi edema paru
karena mengurangi preload, diberikan 2 tablet masing-masing 0,4 mg
sublingual atau semprot, dapat diulang 5-10 menit bila TD tetap >90-100
mmHg. Isosorbide semprot oral bisa diberikan tetapi nitrogliserin pasta
transkutan atau isosorbid oral kurang dianjurkan karena vasokonstriksi
perifer tidak memungkinkan penyerapan yang optimal.

10. Furosemide adalah obat pokok pada Edema paru, diberikan IV 0,5-1,0
mg/kg. Efek bifasik dicapai pertama dalam 5 menit terjadi venodilatasi
sehingga aliran (preload). Efek kedua adalah diuresis yang mencapai
puncaknya setelah 30-60 menit. Efektifitas furosemide tidak harus dicapai
dengan diuresis berlebihan. Bila furosemide sudah rutin diminum
sebelumnya maka dosis bisa digandakan. Bila dalam 20 menit belum
didapat hasil yang diharapkan, ulangi IV dua kali dosis awal dan dosis bisa
lebih tinggi bila retensi cairan menonjol dan bila fungsi ginjal terganggu.

11. Morfin sulfate diencerkan dengan 9cc NaCl 0,9%, berikan 2-4 mg IV bila
TD >100mmHg. Obat ini merupakan salah satu obat pokok pada edema
paru namun dianjurkan diberikan di rumah sakit. Efek venodilator
meningkatkan kapasitas vena, mengurangi aliran darah balik ke vena sentral
dan paru, mengurangi tekanan pengisian ventrikel kiri (preload), dan juga
mempunyai efek vasodilator ringan sehingga afterload berkurang. Efek
sedasi dari morfin sulfat menurunkan aktifitas tulang-otot dan tenaga
pernafasan.

F. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
1) Umur:
Klien dewasa dan bayi cenderung sering mengalami dibandingkan
remaja/dewasa muda
2) Riwayat masuk:
Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis
atau batuk-batuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran
kadang sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma.
Berbagai etiologi yang mendasar dengan masing-masik tanda klinik
mungkin menyertai klien
3) Riwayat penyakit dahulu:
Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis,
pancreatitis, Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan
serta penyakit ginjal mungkin ditemui pada klien.
4) Pemeriksaan fisik
a. Sistem Integumen
Subyektif: -
Obyektif: kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi
sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
b. Sistem Pulmonal
Subyektif : sesak nafas, dada tertekan
Obyektif: pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu
pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju
pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru,
c. Sistem Cardiovaskuler
Subyektif: sakit dada
Obyektif: denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi,
kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung
tambahan
d. Sistem Neurosensori
Subyektif: gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif: GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
e. Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif: tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan
penggunaan otot aksesoris pernafasan
f. Sistem genitourinaria
Subyektif :-
Obyektif : produksi urine menurun/normal,
g. Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare
5) Studi Laboratorik :
a) Hb : menurun/normal
b) Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar
oksigen darah, kadar karbon darah
meningkat/normal
c) Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal
b. Diagnosa yang mungkin muncul

A. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan dan


pemasangan alat bantu nafas
B. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler
pulmonar
C. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan area invasi mikroorganisme
sekunder terhadap pemasangan selang endotrakeal
D. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan
kontraktilitas otot jantung
E. Disfungsi respon penyapihan ventilator berhubungan dengan
kurangnya pengetahuan terhadapprosedur medis
F. Resiko terjadi trauma berhubungan dengan kegelisahan sekunder
terhadap pemasangan alat bantu nafas
G. Ansietas berhubungan dengan ancaman integritas biologis aktual
sekunder terhadap pemasangan alat bantu nafas
H. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan
selang endotrakeal
PATHWAY

Faktor kardiogenik Faktor non-kardiogenik

Insufisiensi Unkwnown
ARSD limfatik

Gagal jantung kiri  Pnemonia  Post. Lung  Pulmonary


transplant Embolism
 Aspirasi As.
 Lymphangitic  Eclamasia
Lambung carsinomiclos  High
is altitude
 Bahan Toksik
 Silicosis Pulmonary
inhalan edema

Ketidakseimbangan

Staling Force

Tekanan Tekanan Tekanan Tekanan


Kapiler
Onkotik Negative Onkotik
Paru ↑
Plasma ↓ Interstitial ↑ Interstitial ↑
Cairan berpindah
ke interstitial

Akumulasi cairan berlebih (transudat / eksudat)

Alveoli terisi Cardiac ouput Pemasangan alat


cairan ↓ bantu nafas
(ventilator)

Gangguan O2 jaringan↓ Bed rest Pemasangan Area


pertukaran gas
fisik selang invasi
endotrakheal
M.O

Defisit
Pengambilan perawatan
Gangguan Kelelahan Gangguan Resiko
O2 ↑ diri
perfusi komunikasi tinggi
jaringan verbal infeksi

Ketidakefektifan Intoleransi
pola nafas aktivitas
Rencana Tindakan
No Diagnosa Tujuan & KH Intervensi Rasional
1 Ketidakefektifan pola nafas Pola nafas kembali efektif 1. Berikan penkes pada pasien 1. Informasi yang adekuat dapat
berhubungan dengan setelah dilakukan tindakan tentang penyakitnya membawa pasien lebih
keadaan tubuh yang lemah keperawatan selama 3 × 24 jam, 2. Atur posisi semi fowler kooperatif dalam memberikan
dengan kriteria hasil: 3. Observasi tanda dan gejala terapi
sianosis 2. Jalan nafas yang longgar dan
 Tidak terjadi hipoksia atau 4. Berikan terapi oksigenasi tidak ada sumbatan proses
hipoksemia 5. Observasi tanda-tanda vital respirasi dapat berjalan dengan
 Tidak sesak 6. Observasi timbulnya gagal lancar.
 RR normal (16-20 × / menit) nafas. 3. Sianosis merupakan salah satu
 Tidak terdapat kontraksi otot 7. Kolaborasi dengan tim medis tanda manifestasi
bantu nafas dalam memberikan ketidakadekuatan suply O2 pada
 Tidak terdapat sianosis pengobatan jaringan tubuh perifer .
4. Pemberian oksigen secara
adequat dapat mensuplai dan
memberikan cadangan oksigen,
sehingga mencegah terjadinya
hipoksia.
5. Dyspneu, sianosis merupakan
tanda terjadinya gangguan nafas
disertai dengan kerja jantung
yang menurun timbul takikardia
dan capilary refill time yang
memanjang/lama.
6. Ketidakmampuan tubuh dalam
proses respirasi diperlukan
intervensi yang kritis dengan
menggunakan alat bantu
pernafasan (mekanical
ventilation).
7. Pengobatan yang diberikan
berdasar indikasi sangat
membantu dalam proses terapi
keperawatan

2 Gangguan pertukaran Gas Fungsi pertukaran gas dapat 1. Berikan penkes pada pasien 1. Informasi yang adekuat dapat
berhubungan dengan distensi maksimal setelah dilakukan tentang penyakitnya membawa pasien lebih
kapiler pulmonar tindakan keperawatan selama 3 2. Atur posisi pasien semi kooperatif dalam memberikan
× 24 jam dengan kriteria hasil: fowler terapi
3. Bantu pasien untuk 2. Jalan nafas yang longgar dan
 Tidak terjadi sianosis melakukan reposisi secara tidak ada sumbatan proses
 Tidak sesak sering respirasi dapat berjalan dengan
 RR normal (16-20 × / menit) 4. Berikan terapi oksigenasi lancer
 Nilai AGD normal: 5. Observasi tanda – tanda 3. Posisi yang berbeda menurunkan
A.partial pressure of oxygen vital resiko perlukaan akibat
(PaO2): 75-100 mm Hg 6. Kolaborasi dengan tim imobilisasi
B. partial pressure of carbon medis dalam memberikan 4. Pemberian oksigen secara
dioxide (PaCO2): 35-45
mm Hg pengobatan adequat dapat mensuplai dan
C. oxygen content (O2CT): memberikan cadangan oksigen,
15-23% sehingga mencegah terjadinya
D. oxygen saturation (SaO2): hipoksia
94-100% 5. Dyspneu, sianosis merupakan
E. bicarbonate (HCO3): 22- tanda terjadinya gangguan nafas
26 mEq/liter disertai dengan kerja jantung
F. pH: 7.35-7.45 yang menurun timbul takikardia
dan capilary refill time yang
memanjang/lama.
6. Pengobatan yang diberikan
berdasar indikasi sangat
membantu dalam proses terapi
keperawatan
3 Resiko tinggi infeksi Infeksi tidak terjadi setelah 1. Berikan penkes pada pasien 1. Informasi yang adekuat dapat
berhubungan dengan area dilakukan tindakan keperawatan tentang kondisi yang membawa pasien lebih
invasi mikroorganisme selama 3 × 24 jam, dengan dialaminya kooperatif dalam memberikan
sekunder terhadap kriteria hasil: 2. Observasi tanda-tanda vital. terapi
pemasangan selang 1. Pasien mampu mengurangi 3. Observasi daerah 2. Meningkatnya suhu tubuh dapat
endotrakeal kontak dengan area pemasangan selang dijadikan sebagai indicator
pemasangan selang endotrakheal terjadinya infeksi
endotrakeal 4. Lakukan tehnik perawatan 3. Kebersihan area pemasangan
2. Suhu normal (36,5oC) secara aseptik selang menjadi factor resiko
5. Kolaborasi dengan tim medis masuknya mikroorganisme
dalam memberikan 4. Meminimalkan organisme yang
pengobatan kontak dengan pasien dapat
menurunkan resiko terjadinya
infeksi
5. Pengobatan yang diberikan
berdasar indikasi membantu
dalam proses keperawatan
DAFTAR PUSTAKA

1. NANDA International. Nursing Diagnosis: Definition and Classification


2012-2014. USA: Willey Blackwell Publication, 2012.
2. Brunner, Suddarth. Keperawatan Medikal-Bedah Volume 2 Edisi 8. Jakarta:
EGC, 2001.
3. Price SA, Lorraine W. Patofisiologi Volume 1 Edisi 6. Jakarta: EGC, 2005.
4. Sudoyo AW, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S. Ilmu penyakit dalam
Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI, 2006.

Anda mungkin juga menyukai