Oleh :
LAPORAN PENDAHULUAN
Oleh :
A. DEFINISI
Stadium 1. Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen
akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan
kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya
berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak
jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada
saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada
saat inspirasi.
Stadium 2. Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh
darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur
dan septa interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya
penumpukan cairan di jaringan kendor intersisial, akan lebih
memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh
karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks
bronkhokonstriksi.Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini
merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea
juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan
cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya
terdapat sedikit perubahan saja.
Stadium 3. Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat
terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak
sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan
volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left
intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia,
tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute
respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan
dengan hati-hati.Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard
Akut biasanya akibat hipertensi kapiler paru.Namun percobaan
pada anjing yang dilakukan ligasi arteriakoronaria, terjadi edema
paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang dapat dicegah
dengan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa
dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic phosphodiesterase
akan mengurangi edema' paru sekunder akibat peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler; pada manusia masih memerlukan
penelitian lebih lanjut. Kadangkadang penderita dengan Infark
Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya
normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan
edema secara radiografimeskipun tekanan kapiler paru sudah turun
atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi
sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung.
Pemeriksaan penunjang:
Radiologis. Pada foto toraks menunjukkan hilus yang melebar dan densitas
meningkat disertai tanda bendungan paru, akibat edema interstisial atau
alveolar.
Foto thoraks. Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada.
X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin
menunjukan lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang
paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari
pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan)
yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang
minimal dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini
mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary
edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang
minimal tentang penyabab yang mungkin mendasarinya.
Gambaran Radiologi yang ditemukan:
a. Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vascular di hilus)
b. Coarakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
c. Kranialisasi vaskuler
d. Hilus suram (batas tidak jelas)
e. Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil
atau nodul milier)
E. PENATALAKSANAAN
9. Bila TD > 100 mmHg, nitrogliserin paling efektif mengurangi edema paru
karena mengurangi preload, diberikan 2 tablet masing-masing 0,4 mg
sublingual atau semprot, dapat diulang 5-10 menit bila TD tetap >90-100
mmHg. Isosorbide semprot oral bisa diberikan tetapi nitrogliserin pasta
transkutan atau isosorbid oral kurang dianjurkan karena vasokonstriksi
perifer tidak memungkinkan penyerapan yang optimal.
10. Furosemide adalah obat pokok pada Edema paru, diberikan IV 0,5-1,0
mg/kg. Efek bifasik dicapai pertama dalam 5 menit terjadi venodilatasi
sehingga aliran (preload). Efek kedua adalah diuresis yang mencapai
puncaknya setelah 30-60 menit. Efektifitas furosemide tidak harus dicapai
dengan diuresis berlebihan. Bila furosemide sudah rutin diminum
sebelumnya maka dosis bisa digandakan. Bila dalam 20 menit belum
didapat hasil yang diharapkan, ulangi IV dua kali dosis awal dan dosis bisa
lebih tinggi bila retensi cairan menonjol dan bila fungsi ginjal terganggu.
11. Morfin sulfate diencerkan dengan 9cc NaCl 0,9%, berikan 2-4 mg IV bila
TD >100mmHg. Obat ini merupakan salah satu obat pokok pada edema
paru namun dianjurkan diberikan di rumah sakit. Efek venodilator
meningkatkan kapasitas vena, mengurangi aliran darah balik ke vena sentral
dan paru, mengurangi tekanan pengisian ventrikel kiri (preload), dan juga
mempunyai efek vasodilator ringan sehingga afterload berkurang. Efek
sedasi dari morfin sulfat menurunkan aktifitas tulang-otot dan tenaga
pernafasan.
F. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
1) Umur:
Klien dewasa dan bayi cenderung sering mengalami dibandingkan
remaja/dewasa muda
2) Riwayat masuk:
Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis
atau batuk-batuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran
kadang sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma.
Berbagai etiologi yang mendasar dengan masing-masik tanda klinik
mungkin menyertai klien
3) Riwayat penyakit dahulu:
Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis,
pancreatitis, Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan
serta penyakit ginjal mungkin ditemui pada klien.
4) Pemeriksaan fisik
a. Sistem Integumen
Subyektif: -
Obyektif: kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi
sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
b. Sistem Pulmonal
Subyektif : sesak nafas, dada tertekan
Obyektif: pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu
pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju
pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru,
c. Sistem Cardiovaskuler
Subyektif: sakit dada
Obyektif: denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi,
kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung
tambahan
d. Sistem Neurosensori
Subyektif: gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif: GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
e. Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif: tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan
penggunaan otot aksesoris pernafasan
f. Sistem genitourinaria
Subyektif :-
Obyektif : produksi urine menurun/normal,
g. Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare
5) Studi Laboratorik :
a) Hb : menurun/normal
b) Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar
oksigen darah, kadar karbon darah
meningkat/normal
c) Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal
b. Diagnosa yang mungkin muncul
Insufisiensi Unkwnown
ARSD limfatik
Ketidakseimbangan
Staling Force
Defisit
Pengambilan perawatan
Gangguan Kelelahan Gangguan Resiko
O2 ↑ diri
perfusi komunikasi tinggi
jaringan verbal infeksi
Ketidakefektifan Intoleransi
pola nafas aktivitas
Rencana Tindakan
No Diagnosa Tujuan & KH Intervensi Rasional
1 Ketidakefektifan pola nafas Pola nafas kembali efektif 1. Berikan penkes pada pasien 1. Informasi yang adekuat dapat
berhubungan dengan setelah dilakukan tindakan tentang penyakitnya membawa pasien lebih
keadaan tubuh yang lemah keperawatan selama 3 × 24 jam, 2. Atur posisi semi fowler kooperatif dalam memberikan
dengan kriteria hasil: 3. Observasi tanda dan gejala terapi
sianosis 2. Jalan nafas yang longgar dan
Tidak terjadi hipoksia atau 4. Berikan terapi oksigenasi tidak ada sumbatan proses
hipoksemia 5. Observasi tanda-tanda vital respirasi dapat berjalan dengan
Tidak sesak 6. Observasi timbulnya gagal lancar.
RR normal (16-20 × / menit) nafas. 3. Sianosis merupakan salah satu
Tidak terdapat kontraksi otot 7. Kolaborasi dengan tim medis tanda manifestasi
bantu nafas dalam memberikan ketidakadekuatan suply O2 pada
Tidak terdapat sianosis pengobatan jaringan tubuh perifer .
4. Pemberian oksigen secara
adequat dapat mensuplai dan
memberikan cadangan oksigen,
sehingga mencegah terjadinya
hipoksia.
5. Dyspneu, sianosis merupakan
tanda terjadinya gangguan nafas
disertai dengan kerja jantung
yang menurun timbul takikardia
dan capilary refill time yang
memanjang/lama.
6. Ketidakmampuan tubuh dalam
proses respirasi diperlukan
intervensi yang kritis dengan
menggunakan alat bantu
pernafasan (mekanical
ventilation).
7. Pengobatan yang diberikan
berdasar indikasi sangat
membantu dalam proses terapi
keperawatan
2 Gangguan pertukaran Gas Fungsi pertukaran gas dapat 1. Berikan penkes pada pasien 1. Informasi yang adekuat dapat
berhubungan dengan distensi maksimal setelah dilakukan tentang penyakitnya membawa pasien lebih
kapiler pulmonar tindakan keperawatan selama 3 2. Atur posisi pasien semi kooperatif dalam memberikan
× 24 jam dengan kriteria hasil: fowler terapi
3. Bantu pasien untuk 2. Jalan nafas yang longgar dan
Tidak terjadi sianosis melakukan reposisi secara tidak ada sumbatan proses
Tidak sesak sering respirasi dapat berjalan dengan
RR normal (16-20 × / menit) 4. Berikan terapi oksigenasi lancer
Nilai AGD normal: 5. Observasi tanda – tanda 3. Posisi yang berbeda menurunkan
A.partial pressure of oxygen vital resiko perlukaan akibat
(PaO2): 75-100 mm Hg 6. Kolaborasi dengan tim imobilisasi
B. partial pressure of carbon medis dalam memberikan 4. Pemberian oksigen secara
dioxide (PaCO2): 35-45
mm Hg pengobatan adequat dapat mensuplai dan
C. oxygen content (O2CT): memberikan cadangan oksigen,
15-23% sehingga mencegah terjadinya
D. oxygen saturation (SaO2): hipoksia
94-100% 5. Dyspneu, sianosis merupakan
E. bicarbonate (HCO3): 22- tanda terjadinya gangguan nafas
26 mEq/liter disertai dengan kerja jantung
F. pH: 7.35-7.45 yang menurun timbul takikardia
dan capilary refill time yang
memanjang/lama.
6. Pengobatan yang diberikan
berdasar indikasi sangat
membantu dalam proses terapi
keperawatan
3 Resiko tinggi infeksi Infeksi tidak terjadi setelah 1. Berikan penkes pada pasien 1. Informasi yang adekuat dapat
berhubungan dengan area dilakukan tindakan keperawatan tentang kondisi yang membawa pasien lebih
invasi mikroorganisme selama 3 × 24 jam, dengan dialaminya kooperatif dalam memberikan
sekunder terhadap kriteria hasil: 2. Observasi tanda-tanda vital. terapi
pemasangan selang 1. Pasien mampu mengurangi 3. Observasi daerah 2. Meningkatnya suhu tubuh dapat
endotrakeal kontak dengan area pemasangan selang dijadikan sebagai indicator
pemasangan selang endotrakheal terjadinya infeksi
endotrakeal 4. Lakukan tehnik perawatan 3. Kebersihan area pemasangan
2. Suhu normal (36,5oC) secara aseptik selang menjadi factor resiko
5. Kolaborasi dengan tim medis masuknya mikroorganisme
dalam memberikan 4. Meminimalkan organisme yang
pengobatan kontak dengan pasien dapat
menurunkan resiko terjadinya
infeksi
5. Pengobatan yang diberikan
berdasar indikasi membantu
dalam proses keperawatan
DAFTAR PUSTAKA