Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asfiksia neonatorum merupakan suatu kejadian kegawatdaruratan
yang berupa kegagalan bernafas secara spontan segera setelah lahir dan sangat
berisiko untuk terjadinya kematian dimana keadaan janin tidak spontan
bernapas dan teratur sehingga dapat menurunkan oksigen dan makin
meningkatkan karbondioksida yang menimbulkan akibat buruk dalam
kehidupan berlanjut (Manuaba, 2010).
Menurut laporan dari organisasai kesehatan dunia (WHO) setiap
tahunnya 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi lahir mengalami asfiksia hampir 1
juta bayi ini kemudian meninggal pada masa BBL (IACMEG, 2007).
Kematian BBL di Indonesia terutama disebabkan oleh prematuritas (32%),
asfiksia (30%), infeksi (22%), kelainan kongenital (7%), lain-lain (9%)
(WHO, 2007).
Di Indonesia dari seluruh kematian bayi sebanyak 57% meninggal
pada masa BBL (usia dibawah 1 tahun). Setiap 6 menit terdapat satu BBL
meninggal (JNPK-KR 2008). Pada tahun 2011 jumah angka kematian bayi
baru lahir (neonatal) di negaranegara ASEAN di Indonesia mencapai 31 per
1000 kelahiran hidup. Angka itu 5,2 kali lebih tinggi dibandingkan Filipina
dan 2,4 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan Thailand karena itu
masalah ini harus menjadi perhatian serius (Ngastiyah, 2007).
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 di
Indonesia dalam periode 5 tahun terakhir yaitu tahun 2003-2007 sebesar 34
per 1000 kelahiran hidup. Banyak faktor yang mempengaruhi angka kematian
tersebut yaitu salah satunya asfiksia sebesar 37% yang merupakan penyebab
kedua kematian bayi baru lahir (Depkes, RI 2008).

1
Usaha pemerintah Indonesia untuk menanggulangi dalam mengurangi
angka kematian bayi (AKB) adalah menciptakan pelayanan kesehatan dasar
yaitu pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan antenatal, pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan dan kompetensi kebidanan, deteksi resiko,
penanganan komplikasi yang meliputi asfiksia, tetanus neonatorum, sepsis,
trauma lahir, BBLR, dan sindroma gangguan pernapasan dan kelainan
neonatal yang mendapat pelayanan oleh tenaga kesehatan yang terlatih yaitu
dokter dan bidan di polindes, puskesmas, rumah bersalin dan rumah sakit.
Dimana tenaga kesehatan mampu untuk menjalankan manajemen asuhan
kebidanan sesuai dengan pelayanan dan masalah yang terjadi (Kesehatan
Depkes RI). Penyebab kematian bayi antara lain: bayi berat lahir rendah,
asfiksia, trauma jalan lahir, tetanus neonatorum, infeksi lain dan kelainan
kongenital. Banyak faktor yang mempengaruhi angka kematian tersebut
diantarannya asfiksia 27% yang bayi baru lahir rendah (Depkes 2008). Angka
kematian bayi merupakan angka jumlah kematian perinatal dikalikan 1000
dan kemudian dibagi dengan jumlah bayi lahir hidup dan lahir mati. 3
Menurut National Centre for Health Statistics (NCHS) pada tahun 2002
asfiksia neonatorum mengakibatkan 1 juta kematian di seluruh dunia.
Sementara sekitar 900.000 bayi di Indonesia lahir dengan asfiksia dan
merupakan penyebab nomor dua kematian bayi.
Asuhan keperawatan anak yang di berikan seorang perawat
profesional sangat mempengaruhi kualitas pelayanan seperti upaya pelayanan
kesehatan pada anak. Mengingat kompleksnya permasalahan kesehatan ini
maka perlu sumberdaya manusia yang professional dan sehingga mampu
memberikan tindakan tepat terhadap permasalahan kesehatan yang ada.

2
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Tujuan dari laporan pendahuluan dan Asuhan Keperawatan ini untuk
mengetahui masalah pasien Bayi Ny.”T” dengan diagnosa Asfiksia.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui definisi asfiksia
b. Untuk mengetahui etiologi asfiksia
c. Untuk mengetahui manifestasi asfiksia
d. Untuk mengetahui patofisiologi asfiksia
e. Untuk mengetahui klasifikasi asfiksia
f. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang asfiksia
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan pasien dengan asfiksia
h. Untuk mengetahui komplikasi asfiksia
i. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pasien bayi Ny.”T”.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) menurut IDAI (Ikatatan Dokter Anak
Indonesia) adalah kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir
atau beberapa saat setelah lahir (Prambudi, 2013).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan gawat bayi yang tidak dapat bernafas
spontan dan teratur, sehingga dapat meurunkan oksigen dan makin
meningkatkan karbon dioksida yang menimbulkan akibat buruk dalam
kehidupan lebih lanjut (Manuaba, 2007).

B. Etiologi
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan asfiksia menurut Depkes (2009) antara
lain :
1. Faktor ibu
a. Preeklampsia dan eklampsia
b. Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
c. Partus lama atau partus macet
d. Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
e. Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
2. Faktor Tali Pusat
a. Lilitan tali pusat
b. Tali pusat pendek
c. Simpul tali pusat
d. Prolapsus tali pusat

4
3. Faktor bayi
a. Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
b. Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu,
c. ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)
d. Kelainan bawaan (kongenital)
e. Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan).

C. Manifestasi Klinis
Asfiksia biasanya merupakan akibat hipoksia janin yang menimbulkan tanda-
tanda klinis pada janin atau bayi berikut ini :
1. DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak teratur
2. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala
3. Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot, dan organ
lain
4. Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen
5. Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada
otot-otot jantung atau sel-sel otak
6. Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung,
kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta
sebelum dan selama proses persalinan
7. Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru
atau nafas tidak teratur/megap-megap h. Sianosis (warna kebiruan) karena
kekurangan oksigen didalam darah
8. Penurunan terhadap spinkters
9. Pucat (Depkes RI, 2007).

5
D. Klasifikasi
Menurut Mochtar (2008), klasifikasi klinis asfiksia dibagi dalam 2 macam,
yaitu sebagai berikut :
1. Asfiksia Livida yaitu asfiksia yang memiliki ciri meliputi warna kulit
kebiru-biruan, tonus otot masih baik, reaksi rangsangan masih positif,
bunyi jantung reguler, prognosis lebih baik.
2. Asfiksia Pallida yakni asfiksia dengan ciri meliputi warna kulit pucat,
tonus otot sudah kurang, tidak ada reaksi rangsangan, bunyi jantung
irreguler, prognosis jelek.

Berikut ini adalah tabel APGAR score untuk menentukan Asfiksia (Ghai,
2010).

Menurut Mochtar (2008) setiap bayi baru lahir dievaluasi dengan nilai
APGAR, tabel tersebut di atas dapat digunakan untuk menentukan tingkat
atau derajat asfiksia, apakah ringan, sedang, atau asfiksia berat dengan
klasifikasi sebagai berikut:
1. Asfiksia berat (nilai Apgar 0-3) Memerlukan resusitasi segera secara aktif,
dan pemberian oksigen terkendali. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
frekuensi jantung 100X/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan
terkadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.

6
2. Asfiksia sedang (nilai Apgar 4-6) Memerlukan resusitasi dan pemberian
oksigen sampai bayi dapat bernapas kembali. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan frekuensi jantung 10 lebih dari 100X/menit, tonus otot kurang
baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.
3. Bayi normal atau sedikit asfiksia (nilai Apgar 7-10) Bayi dianggap sehat
dan tidak memerlukan tindakan istimewa.

E. Patofisiologi
Pernapasan spontan bayi baru lahir tergantung pada keadaan janin
pada masa hamil dan persalinan. Proses kelahiran sendiri selalu menimbulkan
asfiksia ringan yang bersifat sementara. Proses ini sangat perlu untuk
merangsang hemoreseptor pusat pernapasan untuk terjadinya usaha
pernapasan yang pertama yang kemudian akan berlanjut menjadi pernapasan
yang teratur. Pada penderita asfiksia berat usaha napas ini tidak tampak dan
bayi selanjutnya dalam periode apneu. Pada tingkat ini disamping penurunan
frekuensi denyut jantung (bradikardi) ditemukan pula penurunan tekanan
darah dan bayi nampak lemas (flasid).
Pada asfiksia berat bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak
menunjukan upaya bernapas secara spontan. Pada tingkat pertama gangguan
pertukaran gas/transport O2 (menurunnya tekanan O2 darah) mungkin hanya
menimbulkan asidosis respiratorik, tetapi bila gangguan berlanjut maka akan
terjadi metabolisme anaerob dalam tubuh bayi sehingga terjadi asidosis
metabolik, selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler. Asidosis dan
gangguan kardiovaskuler dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel-sel otak,
dimana kerusakan sel-sel otak ini dapat menimbulkan kematian atau gejala
sisa (squele) (Depkes RI, 2005).

7
F. Pathway

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum pada bayi baru lahir dengan asfiksia menurut
Saifuddin (2009) adalah sebagai berikut:
1. Pengawasan suhu
Bayi baru lahir secara relatif kehilangan panas yang diikuti oleh
penurunan suhu tubuh, sehingga dapat mempertinggi metabolisme sel

8
jaringan sehingga kebutuhan oksigen meningkat, perlu diperhatikan untuk
menjaga kehangatan suhu bayi baru lahir dengan:
a. Mengeringkan bayi dari cairan ketuban dan lemak.
b. Menggunakan sinar lampu untuk pemanasan luar.
c. Bungkus bayi dengan kain kering.
2. Pembersihan jalan nafas
Saluran nafas bagian atas segera dibersihkan dari lendir dan cairan
amnion, kepala bayi harus posisi lebih rendah sehingga memudahkan
keluarnya lendir.
3. Rangsangan untuk menimbulkan pernafasan
Rangsangan nyeri pada bayi dapat ditimbulkan dengan memukul kedua
telapak kaki bayi, menekan tendon achilles atau memberikan suntikan
vitamin K. Hal ini berfungsi memperbaiki ventilasi.

H. Pemeriksaan Diagnostik
1. Rontgen dada
2. USG kepala
3. Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, serum elektrolit.
4. Penilaian APGAR score
5. CT-Scan

I. Komplikasi
Komplikasi yang muncul pada afiksia menurut Maryunani (2009) antara lain :
1. Otak : hipoksia iskemik ensefalopati, edema cerebri, dan cerebral palsy
2. Jantung dan paru : perdarahan paru, edema paru, dan hipertensi
pulmonalis persisten, hipotensi
3. Gastrointestinal : enterocolitis nekrotikans
4. Ginjal : nekrosis tubuler akut
5. Hematologi : Hipoglikemia, dan anemia.

9
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Fokus
1. Pernafasan Observasi pergerakan dada dan masukan udara dengan cermat.
Lakukan auskultasi bila perlu lalu kaji pola pernafasan abnormal, seperti
pergerakan dada asimetris, nafas tersengal, atau mendengkur. Tentukan
apakah pernafasannya adekuat (frekuensi baik dan teratur), tidak adekuat
(lambat dan tidak teratur), atau tidak sama sekali.
2. Denyut jantung
Kaji frekuensi jantung dengan mengauskultasi denyut apeks atau
merasakan denyutan umbilicus. Klasifikasikan menjadi >100 atau <100
kali per menit. Angka ini merupakan titik batas yang mengindikasikan ada
atau tidaknya hipoksia yang signifikan.
3. Warna
Kaji bibir dan lidah yang dapat berwarna biru atau merah muda. Sianosis
perifer (akrosianosis) merupakan hal yang normal pada beberapa jam
pertama bahkan hari. Bayi pucat mungkin mengalami syok atau anemia
berat. Tentukan apakah bayi berwarna merah muda, biru, atau pucat.
Ketiga observasi tersebut dikenal dengan komponen skor apgar. Dua
komponen lainnya adalah tonus dan respons terhadap rangsangan
menggambarkan depresi SSP pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia
kecuali jika ditemukan kelainan neuromuscular yang tidak berhubungan.

10
Nilai Apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit
sesudah bayi lahir. Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai segera
sesudah bayi lahir. Apabila bayi memerlukan intervensi berdasarkan
penilaian pernafasan, denyut jantung atau warna bayi, maka penilaian ini
harus dilakukan segera. Intervensi yang harus dilakukan jangan sampai
terlambat karena menunggu hasil penilaian Apgar 1 menit. Kelambatan
tindakan akan membahayakan terutama pada bayi yang mengalami
depresi berat. Walaupun Nilai Apgar tidak penting dalam pengambilan
keputusan pada awal resusitasi, tetapi dapat menolong dalam upaya
penilaian keadaan bayi dan penilaian efektivitas upaya resusitasi. Jadi nilai
Apgar perlu dinilai pada 1 menit dan 5 menit. Apabila nilai Apgar kurang
dari 7 penilaian nilai tambahan masih diperlukan yaitu tiap 5 menit sampai
20 menit atau sampai dua kali penilaian menunjukkan nilai 8 dan lebih
(Saifuddin, 2009).

11
B. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi mukus banyak
2. Pola nafas tidak efektif b.d hipoventilasi/ hiperventilasi
3. Kerusakan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi ventilasi
4. Risiko cedera
5. Ketidakseimbangan suhu tubuh b.d kurangnya suplai O2 dalam darah

C. Intervensi
No. Diagnosa Intervensi Rasional
Keperawatan dan
Tujuan
1. Bersihan jalan nafas 1. Tentukan 1. Untuk memungkinkan
tidak efektif b.d kebutuhan reoksigenasi.
produksi mukus
banyak oral/ suction

Tujuan : Setelah tracheal. 2. Pernapasan bising,


dilakukan tindakan 2. Auskultasi ronki dan mengi
keperawatan, bersihan
suara nafas menunjukkan
jalan nafas kembali
efektif. sebelum dan tertahannya secret.
Dengan kriteria hasil : sesudah
suction. 3. Membantu
a. Tidak
3. Beritahu memberikan informasi
menunjukkan
keluarga yang benar pada
demam
tentang keluarga.
b. Tidak
suction. 4. Mencegah
menunjukkan
4. Bersihkan obstruksi/aspirasi.
cemas
daerah bagian
c. Rata-rata repirasi
tracheal
dalam batas normal

12
d. Pengeluaran setelah 5. Membantu untuk
sputum melalui suction mengidentifikasi
jalan nafas selesai perbedaan status
e. Tidak ada suara dilakukan. oksigen sebelum dan
nafas tambahan 5. Monitor sesudah suction.
f. Mudah dalam status oksigen
bernafas. pasien, status
g. Tidak hemodinamik
menunjukkan segera
kegelisahan. sebelum,
h. Tidak adanya selama dan
sianosis. sesudah
i. PaCO2 dalam batas suction
normal.
j. PaO2 dalam batas
normal.
k. Keseimbangan
perfusi ventilasi
2. Pola nafas tidak efektif 1. Pertahankan 1. Untuk menghilangkan
b.d hipoventilasi/ kepatenan mucus yang
hiperventilasi
jalan nafas terakumulasi dari
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan dengan nasofaring, tracea.
keperawatan selama melakukan
proses keperawatan
pengisapan
diharapkan pola nafas
menjadi efektif lender 2. Bunyi nafas
Kriteria hasil : 2. Auskultasi menurun/tak ada bila
jalan nafas jalan nafas obstruksi
a. Pasien
untuk sekunder. Ronki dan
menunjukkan pola

13
nafas yang efektif mengetahui mengi menyertai
b. Ekspansi dada adanya obstruksi jalan
simetris penurunan nafas/kegagalan
c. Tidak ada bunyi ventilasi pernafasan.
nafas tambahan 3. Memaksimalkan
d. Kecepatan dan 3. Berikan bernafas dan
irama respirasi oksigenasi menurunkan kerja
dalam batas normal sesuai nafas.
kebutuhan
3. Kerusakan pertukaran 1. Kaji bunyi 1. Penurunan bunyi nafas
gas b.d paru, dapat menunjukkan
ketidakseimbangan
perfusi ventilasi frekuensi atelektasis. Ronki,

Tujuan : Setelah nafas, mengi menunjukkan


dilakukan tindakan kedalaman akumulasi
keperawatan selama
nafas dan secret/ketidakmampua
proses keperawatan
diharapkan pertukaran produksi n untuk membersihkan
gas teratasi sputum jalan nafas yang dapat
Kriteria hasil : menimbulkan
a. Tidak sesak nafas peningkatan kerja
b. Fungsi paru dalam pernafasan.
batas normal 2. Penurunan kandungan
oksigen (PaO2)
2. Pantau
dan/atau saturasi atau
saturasi O2
peningkatan PaCO2
dengan
menunjukkan
oksimetri
kebutuhan untuk
intervensi/perubahan
program terapi.

14
3. Berikan 3. Alat dalam
oksigen memperbaiki
tambahan hipoksemia yang
yang sesuai. dapat terjadi sekunder
terhadap penurunan
ventilasi/menurunnya
permukaan alveolar
paru.
4. Risiko cedera 1. Cuci tangan 1. Mengurangi
Tujuan : Setelah setiap kontaminasi silang.
dilakukan tindakan sebelum dan
keperawatan selama
proses keperawatan sesudah
diharapkan risiko merawat bayi 2. Mencegah penyebaran
cidera dapat dicegah
2. Pakai sarung infeksi/kontaminasi
Kriteria hasil : tangan steril silang.
a. Bebas dari cidera/ 3. Untuk mengetahui
komplikasi 3. Lakukan apakah ada kelainan
b. Mendeskripsikan pada bayi.
pengkajian
aktivitas yang tepat fisik secara
dari level rutin terhadap
perkembangan 4. Membantu keluarga
bayi baru
anak untuk mendapatkan
lahir,
pendidikan dan
c. Mendeskripsikan perhatikan
pengetahuan yang benar
teknik pertolongan pembuluh
tentang tanda dan gejala
pertama darah tali infeksi begitu juga
pusat dan dengan penanganan
adanya yang benar.
anomaly

15
4. Ajarkan
keluarga 5. Membantu memberi
tentang tanda kekebalan anak
dan gejala terhadap agen infeksi.
infeksi dan
melaporkann
ya pada
pemberi
pelayanan
kesehatan
5. Berikan agen
imunisasi
sesuai
indikasi
(imunoglobul
in hepatitis B
dari vaksin
hepatitis B
bila serum
ibu
mengandung
antigen
permukaan
hepatitis B
(Hbs Ag),
antigen inti
hepatitis B
(Hbs Ag) atau

16
antigen E
(Hbe Ag).
5. Ketidakseimbangan 1. Hindarkan 1. Menghindari
suhu tubuh b.d pasien dari terjadinya hipitermia.
kurangnya suplai O2
dalam darah kedinginan

Tujuan : Setelah dan


dilakukan tindakan tempatkan
keperawatan selama
pada
proses keperawatan 2. Mengetahui terjadinya
diharapkan suhu tubuh lingkungan
hipotermi.
normal yang hangat.
Kriteria hasil : 2. Monitor
3. Perubahan tanda-tanda
a. Temperatur badan temperatur
vital yang signifikan
dalam batas normal dan warna
akan mempengaruhi
b. Tidak terjadi kulit.
proses regulasi
distress pernafasan 3. Monitor
ataupun metabolisme
c. Tidak gelisah TTV.
dalam tubuh.
d. Perubahan warna
4. Menghindari
kulit
terjadinya hipitermia.
e. Bilirubin dalam
batas normal 4. Jaga
temperatur
5. Mambantu BBL tetap
suhu tubuh
berada pada keadaan
bayi agar
yang sesuai dengan
tetap hangat.
keadaannya.
5. Tempatkan
BBL pada
inkubator bila
perlu.

17
18

Anda mungkin juga menyukai