I. PENDAHULUAN
pasca Reformasi yang baru saja digelar 9 April 2014 lalu. Sejumlah
legislatif kali ini jauh lebih masif, vulgar, bahkan brutal dibandingkan
berupa uang dalam amplop, barang, maupun jasa. Calon anggota legislatif
saling sikut dengan sesama calon satu partai demi mendapatkan suara
terbanyak.
di Indonesia pada Pemilu 9 April 2014. Kasus yang dilaporkan terdiri atas
pemberian uang tunai sebanyak 104 kasus, pemberian barang 128 kasus,
dan pemberian jasa 27 kasus. Jumlah ini meningkat dari 62 kasus pada
Pemilu 1999, menjadi 115 kasus pada Pemilu 2004, dan 150 kasus pada
Pemilu 2009 (ICW, 2014: 13). Pemantau pemilu lainnya, Kemitraan (The
dan barang dari 129 pemantau yang mereka tugaskan (dari 1.062
Orde Baru. Politik uang bukan hanya terjadi pada pemilu legislatif,
melainkan juga pada pemilihan umum presiden dan wakil presiden, serta
bahkan pemilihan kepala desa. Hampir dalam setiap momen pemilu lokal
perbincangan publik (Bunte dan Ufen, 2009: 127; Erb, 2005: 31).
8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan bahwa
maksimal 2 tahun penjara atau denda Rp24 juta rupiah (Pasal 299 UU No
sanksi bagi pasangan calon dan tim kampanye yang dinyatakan terbukti
1
2
melakukan kecurangan dan praktik politik uang lebih berat lagi, yakni
32 Tahun 2004).
Ufen (2009: 164), “the institution of direct elections at these levels did not
2
3
yang mengalir ke dunia politik kini dinilai telah membawa polusi pada
demokrasi dan kehidupan publik (Kompas, 6 April 2010, hal 15). Uang
Praktik iti membuat banyak figur yang potensial, memiliki kompetensi dan
democracy (Platzdasch, 2009: 2), bahkan new democracy (Bird dan Hill,
51).
3
4
yang secara harfiah berarti pembelian suara. Istilah lain yang biasa
4
5
politik uang yang terjadi di Indonesia, maka dalam studi ini pengertian
beragam faktor seperti budaya, tradisi politik, dan model pemilihan yang
suatu partai politik atau calon presiden atau calon gubernur untuk
calon yang menyumbang dana (Forest dan Teresita, 2000: 94). Baik
Salah satu definisi vote buying yang sering dikutip banyak kalangan
dkk.,1989: 287) atau “the use of money and direct benefits to influence
voters” (Bryan, 2005: 4). Dalam kedua pengertian tersebut vote buying
dukungan politik. Praktik ini dapat terjadi baik dalam pemilihan umum
5
6
vote buying sebagai “exchanging political rights for material gains” (Fox,
Pengertian yang kedua merujuk kepada praktik politik uang yang lebih
menunjuk kepada pemilihan umum, dengan aktor politik uang yang lebih
6
7
Definisi politik yang kedua dari Supriyanto ini hemat penulis relatif
kurang lebih sama dengan definisi vote buying yang dinyatakan The
yang diperoleh calon atau partai politik tertentu dalam pemilihan umum
antara elit ekonomi (pemilik uang) dengan pasangan calon kepala daerah
7
8
seperti ini disimpulkan oleh Buehler dan Tan (2007: 67) sebagai “the
pemilihan, dengan cara-cara yang tidak sah melalui bantuan dari otoritas
aktor, yakni penyandang dana atau donor, kandidat politik dan timnya,
uang atau materi lainnya dari penyandang dana untuk ditukar dengan
8
9
dukungan partai politik agar bisa ikut pencalonan, dan dukungan politik
membeli suara calon pemilih dengan uang atau materi lainnya agar calon
negara (Ward, dkk, 2003: 2). Alasan pertama, yang paling mendasar, vote
satu sama lain. Kandidat yang memiliki kekuatan ekonomi lebih tinggi
lebih rendah, sehingga keputusan politik mereka dalam memilih juga ikut
pemilih.
9
10
jawab otoritas lokal, peran uang (yang tidak dikontrol) dalam politik tidak
politik yang kredibel dan berkualitas. Padahal salah satu fungsi pemilu
jika politik uang atau praktik jual-beli suara dalam pemilu dianggap
10
11
bahwa uang yang digunakan untuk membeli suara pemilih sering berasal
Timur dan Tenggara seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Filipina, dan
2004: 76-82).
11
12
12
13
35) setuju dengan tujuh atribut demokrasi yang disampaikan oleh Robert
Dahl3 yaitu: 1) elected officials – pejabat terpilih; 2) free and fair elections
– pemilu yang adil dan bebas; 3) inclusive suffrage – hak pilih inklusif; 4)
the right to run for office – hak untuk mencalonkan diri; 5) freedom of
yang sudah terlembaga dengan baik dan ada yang masih dalam tahap
awal.
13
14
bahan referensi lain yang relevan dengan tema makalah ini tetap dijadikan
hanya dianggap valid jika dinyatakan oleh sedikitnya dua sumber referensi
yang berbeda.
IV. PEMBAHASAN
bentuk pemerintahan yang berasal dari rakyat, dipilih oleh rakyat, dan
bekerja untuk rakyat”. Salah satu ciri negara demokrasi yang relatif
14
15
(2006: 68) yang menyatakan bahwa demokrasi identik dengan “civil and
(full democracies) dan mana yang termasuk negara demokrasi baru (new
karena Indonesia sejak 1999 menghadapi banyak sekali pemilu (mulai dari
pemilu dan pemilu serta tidak konsisten antara satu pemilu dengan
pemilu lainnya. Aturan tentang sanksi bagi pelaku politik uang, misalnya,
2012) dan pemilu presiden (UU No 42 Tahun 2008) tidak ada sanksi
15
16
2004.
diberi skor antara 1 sampai 7. Skor 1 sampai 2,5 dianggap bebas (free),
skor 3 sampai 5 dianggap bebas sebagian (partly free), dan skor 5,5
16
17
pemerintahan, (3) partisipasi politik, (4) budaya politik, dan (5) kebebasan
sipil (The Economist Intelligence Unit, 2013: 6). Bedanya The Economist
skor 6 sampai 7,9 dianggap sebagai negara demokrasi yang cacat (flawed
pada tahun 2012 menempatkan Indonesia pada ranking 53 dari 167 negara
dunia. Menurut The Economist, “these countries also have free and fair
17
18
bebas dan adil dan bahkan jika ada masalah (seperti pelanggaran terhadap
2013: 27).
mencapai 5,63 dan yang paling tinggi adalah variabel kebebasan sipil yaitu
7,65. Variabel budaya politik ini antara lain dibentuk oleh indikator (1)
melalui pemilihan umum yang adil dan bebas; (2) tingkat dukungan
18
19
pemimpin yang hanya memiliki pengalaman dan intergritas yang baik tapi
sudah terpilih menduduki jabatan publik, para pejabat itu belum tentu
4 Majalah Tempo edisi awal April 2014 menurunkan laporan mengenai 12 calon anggota
legislatif di sejumlah daerah yang dianggap memiliki track-record dan dedikasi yang baik,
dan terbukti tidak ada satupun dari caleg yang dinominasikan itu mendapatkan suara
terbanyak.
19
20
tawaran politik uang karena menganggap hal itu bagian dari upaya calon
yang royal memberikan uang dan barang kepada pemilih. Hal ini jelas
demokratis.
anggota DPR atau DPRD. Sebagian dari mereka relatif tidak memiliki
kesempatan yang luas kepada para pemilik modal besar untuk ikut
20
21
urut 1 tetap saja lebih diuntungkan karena lebih mudah dikenali oleh
yang sangat besar sebagai modal awal, dimana modal tersebut harus dapat
menghabiskan dana antara Rp5 milyar sampai Rp15 milyar. Kasus politik
uang tunai antara Rp5 ribu sampai Rp25 ribu (ICW, 2014: 12).
21
22
Indonesia berada di peringkat 114 dari 177 negara di dunia dengan skor
CPI sebesar 32 -- sama dengan skor yang diraih pada tahun 2012 namun
peringkatnya 118 dari 174 negara. Menurut survei tersebut, skor CPI di
22
23
demokrasi. Padahal budaya politik yang egaliter selama ini menjadi satu
budaya clientelism (Brusco, et. al. 2004: 66). Hal yang sama juga terjadi di
2007: 177).
pemilih yang terbukti menerima politik uang, perlu diterapkan. Untuk itu
penyelengaraan pemilu yang adil dan bebas sebagai salah satu syarat
demokrasi.
23
24
V. KESIMPULAN
bebas dan adil, serta pada yang saat sama memberantas korupsi secara
serius termasuk korupsi yang terkait dengan pemilu seperti politik uang.
yang tegas dan dilaksanakan secara konsisten oleh aparat penegak hukum.
pihak, yakni pemberi dan penerima politik uang, maka sanksi hukum
semestinya tidak hanya berlaku bagi pemberi politik uang namun juga
pemilih atau warga biasa. Dengan penegakan hukum yang kuat, warga
akan berpikir ulang untuk menerima tawaran politik uang dari kandidat
24
25
DAFTAR PUSTAKA
Adetula, Victor A.O. (ed). 2008. Money and Politics in Nigeria. Abuja:
IFES-Nigeria.
Agustino, Leo dan Yusoff, Mohamad Agus. 2009. “Pemilihan Umum dan
Perilaku Pemilih: Analisis Pemilihan Presiden 2009 di Indonesia.”
POELITIK, Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan,
Volume 5 Nomor 10, hal. 555-582.
Bryan, Shari dan Baer, Denise. 2005. Money in Politics: A Study of Party
Financing Practices in 22 Countries. Washington: National
Democratic Institute for International Affairs (NDI).
25
26
Harris, Syamsuddin (ed). 2007. Partai dan Parlemen Lokal Era Transisi
Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia.
26
27
Harriss, John, dkk. 2005. Politicising Democracy: The New Local Politics
of Democratization. New York: Palgrave MacMillan.
Hodess, Robin, dkk. (eds). 2004. Global Corruption Report 2004: Special
Focus Political Corruption. London: Transparency International.
Lehoucq, Fabrice. 2007. “When Does a Market for Votes Emerge?” dalam
Schaffer, Frederic Charles (ed). Elections for Sale: The Causes and
Consequences of Vote Buying, hal 33-45. Manila: Ateneo De Manila
University Press.
27
28
Nuryati, Sri. 2005. “Antara Uang dan Ketokohan: Kasus Kota Medan dan
Kabupaten Simalungun” dalam Kleden, Ignes dan Haris,
Syamsuddin (eds), Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 205-242
28
29
Schaffer, Frederic Charles (ed). 2007. Elections for Sale: The Causes and
Consequences of Vote Buying. Manila: Ateneo De Manila University
Press.
Sugiarto, Bima Arya. 2009. “Politik Uang dan Pengaturan Dana Politik di
Era Reformasi” dalam Wijayanto dan Zachrie, Ridwan. Korupsi
Mengkorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek
Pemberantasan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 473-502.
Surbakti, Ramlan. 2009. “Reformasi Pemilu Kepala Daerah Jilid II” dalam
Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 31 Tahun 2009, hal. 54-66.
29