Anda di halaman 1dari 30

POLITIK UANG DAN

KONSOLIDASI DEMOKRASI INDONESIA1

Dr. Ali Nurdin2

I. PENDAHULUAN

Praktik politik uang (vote-buying) telah lama menjadi persoalan

serius dalam setiap pemilu di Indonesia, termasuk pada pemilu keempat

pasca Reformasi yang baru saja digelar 9 April 2014 lalu. Sejumlah

pemantau pemilu bahkan menilai praktik politik uang pada pemilu

legislatif kali ini jauh lebih masif, vulgar, bahkan brutal dibandingkan

pemilu-pemilu sebelumnya (Kompas.com, 27 Mei 2014). Masif karena

praktik politik uang ditemukan secara meluas di hampir semua provinsi di

Indonesia. Vulgar karena dilakukan secara terang-terangan menjelang

hari pencoblosan. Dan brutal karena partai-partai dan calon anggota

legislatif berlomba merayu pemilih dengan cara memberi iming-iming

berupa uang dalam amplop, barang, maupun jasa. Calon anggota legislatif

saling sikut dengan sesama calon satu partai demi mendapatkan suara

terbanyak.

Indonesian Corruption Watch (ICW) yang ikut menjadi pemantau

pemilu menerima laporan sebanyak 259 kasus politik uang di 15 provinsi

di Indonesia pada Pemilu 9 April 2014. Kasus yang dilaporkan terdiri atas

pemberian uang tunai sebanyak 104 kasus, pemberian barang 128 kasus,

1 Bahan Diskusi Oktober 2014


2 Dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten
1

dan pemberian jasa 27 kasus. Jumlah ini meningkat dari 62 kasus pada

Pemilu 1999, menjadi 115 kasus pada Pemilu 2004, dan 150 kasus pada

Pemilu 2009 (ICW, 2014: 13). Pemantau pemilu lainnya, Kemitraan (The

Partnership for Governance Reform) menerima laporan pembagian uang

dan barang dari 129 pemantau yang mereka tugaskan (dari 1.062

pemantau) di berbagai daerah di Indonesia (Kemitraan, Mei 2014).

Data tersebut di atas memberi indikasi bahwa politik uang telah

menjadi semacam “penyakit kronis” dalam perpolitikan Indonesia pasca

Orde Baru. Politik uang bukan hanya terjadi pada pemilu legislatif,

melainkan juga pada pemilihan umum presiden dan wakil presiden, serta

pemilihan kepala daerah baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota,

bahkan pemilihan kepala desa. Hampir dalam setiap momen pemilu lokal

maupun nasional kasus politik uang senantiasa muncul dan menjadi

perbincangan publik (Bunte dan Ufen, 2009: 127; Erb, 2005: 31).

Padahal praktik politik uang telah diatur dalam perundangan

sebagai perbuatan terlarang dalam pemilu. Pasal 86 Ayat 1 huruf j UU No

8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan bahwa

pelaksana, peserta, dan petugas pemilu dilarang “menjanjikan atau

memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.”

Menjanjikan atau memberikan iming-iming materi kepada calon pemilih

termasuk ke dalam tindak pidana pemilu yang ancaman hukumannya

maksimal 2 tahun penjara atau denda Rp24 juta rupiah (Pasal 299 UU No

8 Tahun 2012). Dalam UU Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

sanksi bagi pasangan calon dan tim kampanye yang dinyatakan terbukti

1
2

melakukan kecurangan dan praktik politik uang lebih berat lagi, yakni

dapat berupa pembatalan pencalonan atau diskualifikasi (Pasal 82 UU No

32 Tahun 2004).

Praktik politik uang sejatinya bukanlah gejala baru di Indonesia.

Praktik ini setidaknya dapat dilacak kepada kebiasaan menjelang pemilu

semasa Orde Baru, dimana partai penguasa yakni Golkar sering

menggunakan iming-iming materi untuk meraih sebanyak mungkin suara

(Suryadinata, 2007: 18). Karena sering diberikan pada malam hari

menjelang pemilihan, praktik iming-iming politik itu kemudian sering

dijuluki “serangan fajar”. Praktik ini kemudian terus berkembang dalam

hampir semua bentuk pemilihan di lingkungan partai politik semasa Orde

Baru (Tomsa, 2008: 88).

Dalam konteks pemilihan kepala daerah, pemberlakuan mekanisme

pemilihan langsung berdasarkan suara terbanyak (popular vote) sejak era

reformasi sejatinya dapat mengurang praktik politik uang. Namun dalam

kenyataannya, perubahan sistem pemilihan umum lokal menjadi

pemilihan langsung ternyata malah membuat praktik politik uang semakin

meluas di kalangan pemilih pada umumnya. Seperti dikatakan Bunte dan

Ufen (2009: 164), “the institution of direct elections at these levels did not

erase vote-buying but transferred it.” Politik uang, dalam berbagai

bentuknya, telah menjadi permainan politik utama di kota maupun desa di

Indonesia dewasa ini (Hadiz, 2010: 120).

Penggunaan uang secara ilegal dalam pemilu menjadi adalah

ancaman serius bagi kelangsungan demokrasi Indonesia. Banyaknya uang

2
3

yang mengalir ke dunia politik kini dinilai telah membawa polusi pada

demokrasi dan kehidupan publik (Kompas, 6 April 2010, hal 15). Uang

dapat menjadi instrumen membeli dukungan politik, menegasikan sistem

penilaian yang obyektif dan rasional, serta pada akhirnya melahirkan

kebijakan-kebijakan yang korup (Koran Tempo, 13 Januari 2011 hal 2).

Praktik iti membuat banyak figur yang potensial, memiliki kompetensi dan

pengalaman untuk memimpin, menjadi terganjal maju menjadi anggota

legislatif atau kepala daerah karena keterbatasan dukungan dana.

Maraknya politik uang dalam berbagai pemilu membuat penilaian

tentang proses demokratisasi Indonesia yang pada awalnya disambut

dengan optimisme, tetapi belakangan mulai dihinggapi pandangan

pesimis. Indonesia pasca Orde Baru pernah dianggap sebagai emerging

democracy (Platzdasch, 2009: 2), bahkan new democracy (Bird dan Hill,

2007: 17). Belakangan Indonesia lebih banyak dikategorikan sebagai

negara demokrasi transisi. Mietzner (Bunte dan Ufen, 2009: 124)

menyebut Indonesia sedang mengarah ke rejim demokrasi berkualitas

rendah atau low-quality democracy. Henk Schulte Nordholt (dalam

Harriss, dkk., 2005: 29) menyatakan bahwa alih-alih membuat

pemerintahan daerah lebih demokratis, desentralisasi yang berbasis

pemilihan langsung malah mengukuhkan budaya patrimonial di daerah.

Desentralisasi dan demokratisasi di tingkat daerah bahkan dianggap ikut

menyuburkan praktik premanisme (Hadiz, 2010: 119; Harriss, dkk., 2005:

51).

3
4

Makalah ini ingin menganalisis lebih lanjut kaitan antara politik

uang dengan prospek konsolidasi demokrasi di Indonesia.

II. KAJIAN TEORI

2.1. Politik Uang

Politik uang adalah istilah khas Indonesia. Istilah ini sering

digunakan untuk menggambarkan gejala politik serba uang dalam

pelaksanaan pemilihan umum. Yakni para pemilih diduga lebih

mempertimbangkan tawaran uang kontan atau materi lainnya agar

bersedia memilih calon tertentu, ketimbang melihat indikator-indikator

lain seperti kredibilitas kandidat, kepribadian, serta pengalamannya

dalam menduduki jabatan politik. Istilah politik uang sering

diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi money politics, suatu

istilah sebenarnya yang tidak dikenal dalam literatur politik di luar

Indonesia. Studi literatur yang dilakukan penulis terhadap sejumlah

referensi terkait tidak menemukan istilah money politics dengan

penjelasan yang memadai, karena itu konsep tersebut tidak digunakan

dalam studi ini.

Secara akademik, konsep yang biasa digunakan untuk menjelaskan

fenomena semacam politik uang di Indonesia adalah vote buying (Inggris)

yang secara harfiah berarti pembelian suara. Istilah lain yang biasa

digunakan untuk vote buying adalah compra de votos (Spanyol), achat de

voix (Prancis), dan stimmenkauf (Jerman) (Schaffer, 2007: 17). Karena

itu, untuk dapat menyerap pemahaman konseptual mengenai gejala

4
5

politik uang yang terjadi di Indonesia, maka dalam studi ini pengertian

politik uang diartikan sama dengan vote buying.

Vote buying memiliki beragam arti dan sering dipahami dalam

konteks yang berbeda-beda di sejumlah negara, tergantung kepada

beragam faktor seperti budaya, tradisi politik, dan model pemilihan yang

dijalankan (Schaffer, 2007: 25). Di Amerika Serikat, misalnya, politik uang

sering dilihat dalam konteks sumbangan uang dalam jumlah banyak ke

suatu partai politik atau calon presiden atau calon gubernur untuk

melindungi kepentingan bisnis sang donatur. Motif di balik sumbangan ini

adalah agar presiden/gubernur terpilih mengeluarkan kebijakan yang

menguntungkan sang donatur. Di Filipina, politik uang dapat diartikan

sebagai penggunaan uang atau imbalan dalam kegiatan pembelian suara

secara langsung untuk mempengaruhi suara pemilih agar mendukung

calon yang menyumbang dana (Forest dan Teresita, 2000: 94). Baik

politik uang model Amerika Serikat maupun model Filipina dugaan

penulis tidak jauh berbeda dengan tradisi pemilihan umum di Indonesia.

Salah satu definisi vote buying yang sering dikutip banyak kalangan

sebagaimana disampaikan Etzioni-Halevy adalah “pertukaran dukungan

politik dengan keuntungan material pribadi” (dalam Heidenheimer,

dkk.,1989: 287) atau “the use of money and direct benefits to influence

voters” (Bryan, 2005: 4). Dalam kedua pengertian tersebut vote buying

ditekankan pada tujuannya, yakni mendapatkan keuntungan materi yang

bersifat pribadi atau langsung kepada pemilih sebagai pertukaran dengan

dukungan politik. Praktik ini dapat terjadi baik dalam pemilihan umum

5
6

langsung maupun kompetisi politik yang lebih terbatas seperti pemilihan

pengurus partai politik.

Definisi yang hampir sama dinyatakan oleh Fox yang mengartikan

vote buying sebagai “exchanging political rights for material gains” (Fox,

1994:151-184). Dalam pengertian ini vote buying dapat terjadi dalam

pemilu maupun dalam kompetisi politik non-pemilu. Fox tidak terlalu

mementingkan tujuan vote buying, tetapi lebih menekankan aspek

pertukarannya antara keuntungan materi dengan dukungan politik. Kedua

pengertian vote buying baik yang disampaikan Etziony-Halevy maupun

Fox lebih menggambarkan fenomena yang terjadi di negara-negara

Amerika dan Eropa. Di Indonesia dan hampir semua negara demokrasi,

politik uang atau vote-buying adalah terlarang.

Dalam konteks Indonesia, Supriyanto (2005:3) menyajikan dua

pengertian mengenai politik uang. Pengertian yang pertama merujuk

kepada praktik politik uang secara umum, yang disebutnya sebagai

“pertukaran uang dengan posisi atau kebijakan atau keputusan politik.”

Pengertian yang kedua merujuk kepada praktik politik uang yang lebih

khusus yaitu “pembelian suara langsung kepada pemilih, bentuknya

berupa pemberian ongkos transportasi kampanye, janji membagi

uang/barang, pembagian sembako atau semen untuk membangun tempat

ibadah, ‘serangan fajar’, dan lain-lain”. Definisi yang pertama mengacu

kepada peristiwa atau kompetisi politik non-pemilu, yang tidak secara

langsung melibatkan pemilih. Sedangkan definisi yang kedua secara jelas

menunjuk kepada pemilihan umum, dengan aktor politik uang yang lebih

6
7

terbatas yakni kandidat politik dan pemilih, namun dengan bentuk

transaksi yang lebih beragam.

Definisi politik yang kedua dari Supriyanto ini hemat penulis relatif

lebih lengkap dan operasional dibandingkan dengan pengertian lainnya,

termasuk jika dibandingkan dengan pengertian politik uang uang dipakai

secara resmi dalam peraturan perundang-undangan mengenai pemilu di

Indonesia, yaitu: “menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi

lainnya untuk mempengaruhi pemilih” (Pasal 82 UU No 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah). Secara substansi, definisi dari Supriyanto

kurang lebih sama dengan definisi vote buying yang dinyatakan The

International Foundation for Electoral System (IFES), yaitu “suatu bentuk

penipuan politik yang dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah suara

yang diperoleh calon atau partai politik tertentu dalam pemilihan umum

dengan memberikan uang atau manfaat lainnya kepada konstituen sebagai

pertukaran untuk suara mereka” (Ohman dan Zainulbhai, 2009:112).

Pengertian ini juga sejalan dengan pandangan Schaffer dan Schedler

(2005:4) yang menyatakan vote-buying lebih banyak berhubungan

dengan pemilihan umum langsung untuk memperebutkan jabatan publik.

Dalam konteks pemilihan langsung di Indonesia, terdapat

sedikitnya empat lingkaran perputaran politik uang. Pertama, transaksi

antara elit ekonomi (pemilik uang) dengan pasangan calon kepala daerah

yang akan menjadi pengambil kebijakan/keputusan politik pasca-

Pemilukada. Kedua, transaksi antara pasangan calon kepala daerah

dengan partai politik yang mempunyai hak untuk mencalonkan. Praktik

7
8

seperti ini disimpulkan oleh Buehler dan Tan (2007: 67) sebagai “the

parties’ grubbing for money from prospective candidates”. Partai politik

cenderung memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan uang

sebanyak-banyaknya dari kandidat yang akan diusung atau dicalonkan.

Ketiga, transaksi antara pasangan calon dan tim kampanye dengan

petugas-petugas Pemilukada yang mempunyai wewenang untuk

menghitung perolehan suara. Tujuannya adalah agar kandidat memiliki

kesempatan untuk memperoleh tambahan suara guna memenangkan

pemilihan, dengan cara-cara yang tidak sah melalui bantuan dari otoritas

pelaksana pemilukada. Keempat, transaksi antara calon atau tim

kampanye dengan calon pemilih dalam bentuk pembelian suara. Kandidat

peserta pemilu memberi atau membagi-bagikan uang langsung kepada

calon pemilih dengan harapan mendapatkan suara secara instan

(Supriyanto, 2005: 4).

Keempat lingkaran politik uang tersebut melibatkan sedikitnya lima

aktor, yakni penyandang dana atau donor, kandidat politik dan timnya,

partai politik, penyelenggara pemilu, dan calon pemilih. Hubungan di

antara kelima aktor tersebut bersifat saling menguntungkan, yang

membuka peluang terjadinya tukar-menukar kepentingan, di mana

kandidat kepala daerah berada di posisi sentral untuk bertransaksi dengan

keempat aktor lainnya.

Kandidat berpotensi menerima sumbangan ilegal dalam bentuk

uang atau materi lainnya dari penyandang dana untuk ditukar dengan

kebijakan-kebijakan yang menguntungkan penyandang dana manakala

8
9

sang kandidat terpilih menjadi pejabat publik. Kandidat membutuhkan

dukungan partai politik agar bisa ikut pencalonan, dan dukungan politik

ini berpotensi untuk ditukar dengan sejumlah dana yang dibutuhkan

partai politik untuk menjalankan aktivitas organisasinya. Kandidat bisa

juga bertransaksi dengan penyelenggara pemilu untuk memanipulasi hasil

pemilihan agar menguntungkan sang kandidat. Terakhir, kandidat

membeli suara calon pemilih dengan uang atau materi lainnya agar calon

pemilih mendukungnya pada hari pemilihan.

Sedikitnya terdapat tiga argumen mengapa vote buying harus

dianggap sebagai praktik ilegal dalam kontestasi politik di sejumlah

negara (Ward, dkk, 2003: 2). Alasan pertama, yang paling mendasar, vote

buying dianggap dapat mereduksi implementasi prinsip keadilan dalam

pemilu. Rasionalitas pemilih dalam menilai kualitas kandidat (perorangan

maupun partai politik) dapat terganggu manakala peserta pemilu

menawarkan iming-iming berupa uang atau materi lainnya. Ketidakadilan

terjadi karena pemilih memiliki kemampuan ekonomi yang berbeda-beda

satu sama lain. Kandidat yang memiliki kekuatan ekonomi lebih tinggi

akan cenderung mengeksploitasi pemilih yang kemampuan ekonominya

lebih rendah, sehingga keputusan politik mereka dalam memilih juga ikut

tereksploitasi. Argumen ini didasarkan antara lain pada hasil studi

Buchanan dan Tullock (1990: 271-274) yang memaparkan kaitan antara

kemampuan ekonomi dan kemampuan politik dari persepektif seorang

pemilih.

9
10

Alasan kedua, vote buying dianggap dapat mencemari proses

pemilu sehingga mempengaruhi kualitas demokrasi secara keseluruhan.

Adanya iming-iming uang dapat membuat pemilih mengabaikan evaluasi

terhadap indikator-indikator objektif-rasional yang seharusnya melekat

pada partai politik atau kandidat perorangan. Indikator objektif rasional

tersebut misalnya: integritas dan track-record, program yang ditawarkan,

kemampuan dan kualitas kepemimpinan, serta komitmen terhadap

demokrasi dan kemajuan masyarakat. Tidak peduli seberapa sempurna

kualitas penyelenggaraan pemilihan umum di suatu negara negara,

seberapa aktif masyarakat sipil, persaingan partai politik, dan tanggung

jawab otoritas lokal, peran uang (yang tidak dikontrol) dalam politik tidak

diragukan lagi telah mempengaruhi kualitas demokrasi dan tata

pemerintahan (Ward, dkk., 2003: 5). Pemilihan yang dilakukan tanpa

mempertimbangkan faktor objektif-rasional dapat membuat pemilihan

umum kehilangan fungsinya sebagai alat untuk memperoleh pemimpin

politik yang kredibel dan berkualitas. Padahal salah satu fungsi pemilu

adalah memberikan kesempatan kepada warga untuk memilih pemimpin

yang dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya dalam jabatan politik

(“Election”, Encyclopedia Britannica, 2010). Karena itu tidak berlebihan

jika politik uang atau praktik jual-beli suara dalam pemilu dianggap

semacam penyakit kotor pemilu (Schaffer, 2005: 1), sejenis dengan

intimidasi kepada pemilih, pemberian suara ganda, manipulasi daftar

pemilih dan manipulasi hasil pemilu.

10
11

Alasan ketiga, yang lebih praktikal, penggunaan uang yang tidak

legal dapat mendorong terjadinya korupsi dan penyalahgunaan

kekuasaan. Pengalaman di sejumlah negara Afrika Barat menunjukkan

bahwa uang yang digunakan untuk membeli suara pemilih sering berasal

dari prakek-praktik yang tidak sah seperti penyelundupan dan

penggelapan (Vicente dan Wantchekon, 2009: 17). Di negara-negara Asia

Timur dan Tenggara seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Filipina, dan

Thailand, praktik politik uang sering dikaitkan dengan masalah korupsi

dan penyalahgunaan kekuasaan (Austin dan Tjernström, 2004: 55-67).

Bahkan di Amerika Latin praktik jual-beli suara pemilih sering dilakukan

oleh kelompok-kelompok kartel narkotika yang berusaha menempatkan

orang-orangnya dalam jabatan publik melalui pemilihan umum (Hodess,

2004: 76-82).

2.2. Konsolidasi Demokrasi

Munculnya istilah konsolidasi demokrasi dilatarbelakangi oleh

perkembangan global sejak tahun 1970-an sampai 1990-an dimana

terdapat lebih dari 60 negara di dunia yang beralih dari rezim

authoritarian berubah menjadi rezim demokrasi atau yang mengklaim

sebagai demokrasi. Huntington (1991) menyebutnya sebagai “gelombang

ketiga demokratisasi di penghujung abad ke-20” sesuai dengan judul

bukunya The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth

Century yang terbit pertama kali tahun 1991.

11
12

Peralihan dari rezim authoritarian menjadi demokrasi ini

menimbulkan sejumlah masalah tersendiri seperti pengembangan

kelembagaan demokrasi, penumbuhan budaya politik, penguatan

masyarakat sipil, dan pada akhirnya kualitas demokrasi itu sendiri.

Periode peralihan atau transisi inilah yang kemudian dikenal sebagai

periode konsolidasi demokrasi. Adalah Guillermo O'Donnell yang

pertamakali secara eksplisit menyebutkan istilah konsolidasi demokrasi

pada akhir tahun 1980-an. Dalam sebuah essai yang berjudul

"Transitions, Continuities, and Paradoxes" O’Donnell membahas

kemungkinan terjadinya ancaman kemunduran dari negara demokrasi

menjadi semi-demokrasi dan mengkategorikan ancaman tersebut sebagai

bagian dari konsolidasi demokrasi. Esai tersebut kemudian dimuat dalam

buku Mainwaring, et. al, (eds) berjudul “Issues in Democratic

Consolidation: The New South American Democracies in Comparative

Perspective” yang diterbitkan tahun 1992.

Menurut O’Donnell, awalnya istilah konsolidasi demokrasi

dimaksudkan untuk menggambarkan tantangan untuk membuat

demokrasi yang baru tumbuh dapat berjalan aman, mampu

memperpanjang harapan hidup mereka dalam jangka panjang, dan

membuat mereka kebal terhadap ancaman regresi otoriter. Tantangan-

tantangan tersebut antara lain berupa legitimasi berdasarkan pemilihan,

difusi nilai-nilai demokrasi, netralisasi aktor birokrasi, supremasi sipil atas

militer, penghapusan kantong otoriter, keberadaan gedung partai politik,

adanya organisasi kepentingan fungsional, stabilisasi aturan pemilu,

12
13

desentralisasi kekuasaan negara, pengenalan mekanisme demokrasi

langsung, reformasi peradilan, pengentasan kemiskinan, dan stabilisasi

ekonomi (Mainwaring, et. al,. 1992: 92-93).

Untuk mengkur kualitas demokrasi suatu negara, O’Donnell (1996:

35) setuju dengan tujuh atribut demokrasi yang disampaikan oleh Robert

Dahl3 yaitu: 1) elected officials – pejabat terpilih; 2) free and fair elections

– pemilu yang adil dan bebas; 3) inclusive suffrage – hak pilih inklusif; 4)

the right to run for office – hak untuk mencalonkan diri; 5) freedom of

expression – kebebasan menyatakan pendapat; 6) alternative information

– informasi alternatif; and 7) associational autonomy – kebebasan

berserikat. Namun O’Donnell (1996: 37) memberikan kritik terhadap

istilah consolidated democracy (demokrasi terkonsolidasi) yang sering

disematkan ke negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Sebutan

“consolidated”, dianggap menimbulkan kerancuan terhadap pengertian

konsolidasi demokrasi, seolah-olah istilah “democracy” diperhadapkan

dengan istilah “consolidation”. Menurutnya istilah yang lebih tepat adalah

institutionalized (pelembagaan) karena faktanya dari tujuh atribut

demokrasi di atas implementasinya di berbagai negara berbeda-beda, ada

yang sudah terlembaga dengan baik dan ada yang masih dalam tahap

awal.

III. METODE KAJIAN

3 Dalam A Preface to Democratic Theory, terbit pertama kali tahun 1956

13
14

Metode kajian makalah ini sepenuhnya mengandalkan studi

kepustakaan dengan pendekatan kualitatif berdasarkan data sekunder

yang diperoleh dari buku, jurnal, penelitian terdahulu, maupun

pemberitaan media massa. Pemilihan sumber-sumber data dan bacaan

terutama didasarkan kepada kata kunci yang digunakan dalam makalah

ini, yakni "politik uang" dan "konsolidasi demokrasi". Namun demikian

bahan referensi lain yang relevan dengan tema makalah ini tetap dijadikan

bahan rujukan sepanjang dapat memperkuat argumen-argumen pokok

untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah diajukan.

Untuk menjaga keandalan data dan sumber referensi dilakukan

triangulasi berdasarkan sumber data (Denzin, 1978 dalam Creswell, 2007:

272) dimana argumen-argumen pokok yang dibangun dalam makalah ini

hanya dianggap valid jika dinyatakan oleh sedikitnya dua sumber referensi

yang berbeda.

IV. PEMBAHASAN

Demokrasi sesungguhnya memiliki bermacam-macam pengertian

dan makna, meski secara sederhana sering diartikan sebagai “suatu

bentuk pemerintahan yang berasal dari rakyat, dipilih oleh rakyat, dan

bekerja untuk rakyat”. Salah satu ciri negara demokrasi yang relatif

disepakati bersama adalah adanya kompetisi politik yang sehat yang

memungkinkan terjadinya sirkulasi elite kepemimpinan pada semua level

pemerintahan. Pandangan ini antara lain merujuk kepada pendapat Dahl

14
15

(2006: 68) yang menyatakan bahwa demokrasi identik dengan “civil and

political rights plus fair, competitive, and inclusive elections.”

Pada kenyataannya masing-masing negara di dunia memiliki

praktik demokrasi yang berbeda-beda, yang antara lain dilatarbelakangi

oleh kondisi sosial masyarakatnya, serta sejarah dan pengalaman negara

tersebut dalam menjalankan demokrasi. Karena itu sejumlah lembaga

berusaha merumuskan “alat ukur” yang bersifat universal untuk menilai

praktik demokrasi suatu negara dan membandingkannya satu sama lain,

sehingga didapat klasifikasi mana negara yang dianggap termasuk ke

dalam demokrasi mapan (established democracies) atau demokrasi penuh

(full democracies) dan mana yang termasuk negara demokrasi baru (new

democracies) atau demokrasi transisi (transition democracies).

Dengan melihat tantangan-tantangan yang dinyatakan oleh

O’Donnell (1992), demokrasi Indonesia jelas masih berada dalam tahap

konsolidasi. Stabilisasi aturan pemilu adalah salah satu yang krusial

karena Indonesia sejak 1999 menghadapi banyak sekali pemilu (mulai dari

pemilihan kepala desa, pemilihan bupati/walikota, pemilihan gubernur,

pemilihan anggota legislatif di tiga tingkatan, serta pemilihan presiden

dan wakil presiden), sementara aturannya seringkali berubah-ubah dari

pemilu dan pemilu serta tidak konsisten antara satu pemilu dengan

pemilu lainnya. Aturan tentang sanksi bagi pelaku politik uang, misalnya,

berbeda antara pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah – keduanya

diatur oleh UU yang berbeda. Dalan pemilu legislatif (UU No 8 Tahun

2012) dan pemilu presiden (UU No 42 Tahun 2008) tidak ada sanksi

15
16

pembatalan pencalonan (diskualifikasi) bagi kandidat yang terbukti

melakukan praktik politik uang. Sanksi pembatalan pencalonan hanya ada

dalam pemilihan kepala daerah sebagaimana ditaur UU No 32 tahun

2004.

Kualitas demokrasi Indonesia sendiri tercermin dari survei yang

dilakukan Freedom House dan The Economist. Freedom House

menggunakan dua variabel untuk mengukur kualitas demokrasi

(kebebasan) suatu negara, yakni hak-hak politik (political rights) dan

kebebasan sipil (civil liberties). Kedua variabel tersebut dibagi ke dalam

sejumlah dimensi (sub-variabel) yang lebih operasional. Hak-hak politik

terdiri atas sub-variabel proses elektoral, partisipasi dan pluralisme

politik, serta fungsi pemerintahan. Sedangkan variabel kebebesan sipil

terdiri atas sub-variabel kebebasan beragama dan berekspresi, hak untuk

berserikat dan berkumpul, penegakan hukum, dan jaminan atas hak-hak

individu. Masing-masing sub-variabel tersebut kemudian diturunkan ke

dalam sejumlah indikator terukur sehingga dapat digunakan untuk

menilai keadaan suatu negara. Seluruhnya terdapat 27 indiaktor yang

diberi skor antara 1 sampai 7. Skor 1 sampai 2,5 dianggap bebas (free),

skor 3 sampai 5 dianggap bebas sebagian (partly free), dan skor 5,5

sampai 7 dianggap tidak bebas (not free) (Puddington, 2013: 27).

Tahun 2012 Freedom House menyurvei 195 negara dimana

Indonesia mendapat nilai 2 untuk hak-hak politik dan 3 untuk kebebasan

sipil (Puddington, 2013: 15). Dengan skor rata-rata 2,5 Indonesia

dikelompokkan ke dalam negara yang bebas, namun skor tersebut sangat

16
17

dekat untuk masuk ke dalam kelompok negara-negara yang dianggap

sebagian bebas. Dengan kata lain, Indonesia dianggap sebagai negara

demokrasi yang relatif baru dan masih dalam tahap konsolidasi.

Sementara itu penilaian terhadap kualitas demokrasi yang

dilakukan oleh The Economist Intellegence Unit menggunakan lima

variabel yang sebetulnya hampir sama dengan yang digunakan Freedom

House, yakni: (1) proses elektoral dan pluralisme, (2) keberfungsian

pemerintahan, (3) partisipasi politik, (4) budaya politik, dan (5) kebebasan

sipil (The Economist Intelligence Unit, 2013: 6). Bedanya The Economist

Intelligence Unit menggunakan skor antara 1 sampai 10 untuk menilai

kualitas demokrasi berdasarkan kelima variabel tersebut. Skor antara 8

sampai 10 dianggap sebagai negara demokrasi penuh (full democracies),

skor 6 sampai 7,9 dianggap sebagai negara demokrasi yang cacat (flawed

democracies), skor antara 4 sampai 5 dianggap negara yang menganut

rezim campuran (hybrid regimes), sedangkan skor di bawah 4 dianggap

sebagai negara yang masih authoritarian (The Economist Intelligence

Unit, 2013: 27).

Penilaian yang dilakukan The Economist Intellegence Unit tersebut

pada tahun 2012 menempatkan Indonesia pada ranking 53 dari 167 negara

di dunia. Dengan nilai rata-rata sebesar 6,76 Indonesia dikelompokkan ke

dalam negara demokrasi yang cacat bersama dengan 54 negara lain di

dunia. Menurut The Economist, “these countries also have free and fair

elections and even if there are problems (such as infringements on media

freedom), basic civil liberties will be respected. However, there are

17
18

significant weaknesses in other aspects of democracy, including problems

in governance, an underdeveloped political culture and low levels of

political participation -- negara-negara ini juga memiliki pemilu yang

bebas dan adil dan bahkan jika ada masalah (seperti pelanggaran terhadap

kebebasan media), kebebasan sipil dasar akan dihormati. Namun, ada

kelemahan yang signifikan dalam aspek lain dari demokrasi, termasuk

masalah dalam pemerintahan, budaya politik yang belum berkembang dan

rendahnya tingkat partisipasi politik” (The Economist Intelligence Unit,

2013: 27).

Dari lima variabel yang digunakan The Economist, skor paling

rendah untuk Indonesia adalah variabel budaya politik yang hanya

mencapai 5,63 dan yang paling tinggi adalah variabel kebebasan sipil yaitu

7,65. Variabel budaya politik ini antara lain dibentuk oleh indikator (1)

kepercaya publik terhadap kepemimpinan yang kuat yang diperoleh

melalui pemilihan umum yang adil dan bebas; (2) tingkat dukungan

publik terhadap demokrasi; (3) persepsi tentang demokrasi dan

pertumbuhan ekonomi, bahwa demokrasi yang baik dapat meningkatkan

ekonomi; dan (4) kepercayaan mengenai pemerintahan yang dijalankan

oleh para ahli atau tekhnokrat.

Keempat indiaktor tersebut secara tidak langsung bersinggungan

dengan politik uang yang sudah makin membudaya di kalangan pemilih

Indonesia. Kepercayaan terhadap kepemimpinan yang kuat menjadi

rendah karena masyarakat kemungkinan lebih percaya atau lebih memilih

memiliki sumberdaya besar meski integritasnya diragukan, ketimbang

18
19

pemimpin yang hanya memiliki pengalaman dan intergritas yang baik tapi

minim sumberdaya ekonomi. Pengalaman pemilu 2014 menunjukan

sejumlah kandidat yang dinilai relatif berkualitas di berbagai daerah

ternyata tidak terpilih akibat kebiasaan politik uang ini.4

Kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi juga masih

terhitung rendah. Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC)

Maret 2014 menunjukan bahwa hanya 62 persen pemilih di Indonesia

yang percaya bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang paling

baik untuk Indonesia. Selebihnya masih ada 27 persen pemilih yang

menolak demokrasi dan 11 persen lainnya tidak menjawab (SMRC, 2014).

Kepercayaan publik terhadap para pejabat publik yang diusulkan oleh

partai politik di Indonesia sesungguhnya sangat rendah dan terus

mengalami kemerosotan seiring dengan banyaknya kasus-kasus korupsi

yang melibatkan kader-kader bahkan pimpinan tertinggi partai politik.

Karena itu, kesediaan masyarakat untuk menerima bahkan meminta

politik uang boleh jadi sesungguhnya merupakan ekspresi dari bentuk

ketidakpercayaan tersebut. Pemilih mungkin berpendapat bahwa kalau

sudah terpilih menduduki jabatan publik, para pejabat itu belum tentu

memikirkan rakyat secara sungguh-sungguh sehingga lebih baik

mengambil manfaat secara di muka (advance) dengan meminta imbalan

atas dukungan politik yang mereka berikan. Pemilih bersedia menerima

4 Majalah Tempo edisi awal April 2014 menurunkan laporan mengenai 12 calon anggota
legislatif di sejumlah daerah yang dianggap memiliki track-record dan dedikasi yang baik,
dan terbukti tidak ada satupun dari caleg yang dinominasikan itu mendapatkan suara
terbanyak.

19
20

tawaran politik uang karena menganggap hal itu bagian dari upaya calon

pejabat publik untuk memperbaiki (a reparation) kesalahan-kesalahan

masa lalu mereka (Schaffer, 2007: 26).

Politik uang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam

pemilihan umum karena yang terpilih bukanlah kandidat yang paling

memiliki kemampuan dan track-record yang baik, melainkan kandidat

yang royal memberikan uang dan barang kepada pemilih. Hal ini jelas

menghilangkan prinsip keadilan yang selama ini menjadi landasan dan

prinsip umum dalam penyelengaraan pemilu di negara-negara

demokratis.

Jika melihat hasil pemilu legislatif 2014, cukup banyak calon

anggota legislatif yang berlatar belakang pengusaha terpilih menjadi

anggota DPR atau DPRD. Sebagian dari mereka relatif tidak memiliki

rekam jejak yang memadai di bidang politik, dan hanya mengandalkan

kekuatan dana yang dimiliki untuk memenangkan pemilihan. Sistem

pemilu proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak membuka

kesempatan yang luas kepada para pemilik modal besar untuk ikut

bersaing dalam kontestasi politik. Mulai dari proses pencalonan disinyalir

sudah terjadi banyak transaksi tertutup antara calon anggota legislatif

pemilik modal besar dengan pengurus partai politik, misalnya untuk

mendapatkan nomor urut yang rendah. Seorang calon anggota legislatif

dari daerah pemilihan Banten III (Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang,

dan Tangerang Selatan) mengaku membayar sampai Rp2 miliar agar

mendapatkan posisi nomor urut 1 di sebuah partai politik. Karena meski

20
21

pemilu kita menggunakan sistem suara terbanyak, calon dengan nomor

urut 1 tetap saja lebih diuntungkan karena lebih mudah dikenali oleh

pemilih ketika tertera di surat suara.

Dari perspektif kandidat, politik uang mengakibatkan biaya yang

sangat tinggi bagi setiap peserta pemilu. Kegiatan kontestasi politik

dianggap sebagai “investasi bisnis” yang ditandai dengan pengeluarn biaya

yang sangat besar sebagai modal awal, dimana modal tersebut harus dapat

dikembalikan pada saat si kandidat terpilih menjadi pejabat publik.

Informasi yang diperoleh penulis, untuk membiayai kampanye calon

anggota DPRD tingkat kabupaten di Banten seorang calon anggota

legislatif terpilih menghabiskan dana sampai Rp1 milyar lebih. Sedangkan

untuk calon anggota DPR RI beberapa calon terpilih mengaku

menghabiskan dana antara Rp5 milyar sampai Rp15 milyar. Kasus politik

uang di Banten adalah adalah yang tertinggi (32 kasus) di antara 15

provinsi yang dipantau. Politik uang dilakukan dengan cara membagikan

uang tunai antara Rp5 ribu sampai Rp25 ribu (ICW, 2014: 12).

Dengan modal dana yang sangat besar yang telah dikeluarkannya,

maka kandidat yang terpilih menduduki jabatan publik baik di legislatif

maupun eksekutif, tentu akan berusaha mengembalikan “modal” yang

sudah dikeluarkan selama proses pemilu. Cara yang paling umum

dilakukan adalah berusaha memperoleh keuntungan baik langsung mapun

tidak langsung dari alokasi APBN/APBD. Dalam jabatan eksekutif seperti

kepala daerah terdapat pos anggaran operasional yang penggunaannya

diserahkan kepada pejabat yang bersangkutan. Di legislatif biasanya

21
22

terdapat pos “anggaran aspirasi” yang penyalurannya diserahkan kepada

anggota legislatif dari daerah pemilihan yang diwakilinya. Selain itu,

modus yang paling sering dilakukan oleh anggota DPR/DPRD adalah

berusaha mengakses proyek-proyek yang ada di lembaga pemerintah

untuk mendapatkan bagian keuntungan dari pelaksana proyek. Praktik

bagaimana anggota DPR berusaha mempengaruhi proses tender pekerjaan

pemerintah untuk memenangkan perusahaan tertentu antara lain terekam

dari kasus korupsi Hambalang di Kementerian Pemuda dan Olahraga dan

kasus korupsi pengadaan Al-Qur’an di Kementerian Agama yang keduanya

melibatkan Anggota DPR.

Masih banyaknya praktik memperjual-belikan kebijakan termasuk

dalam hal alokasi dana publik membuat indeks korupsi di Indonesia

termasuk tinggi. Corruption Perception Index (CPI) yang dikeluarkan

Tranparency International (TI) pada tahun 2013 menunjukan bahwa

Indonesia berada di peringkat 114 dari 177 negara di dunia dengan skor

CPI sebesar 32 -- sama dengan skor yang diraih pada tahun 2012 namun

peringkatnya 118 dari 174 negara. Menurut survei tersebut, skor CPI di

bawah 50 mengindikasikan masih adanya “a serious corruption problem”

di negara tersebut. Peringkat persepsi korupsi Indonesia bahkan menurun

dibandingkan tahun 2011 yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke

100 dari 182 negara.

Dari segi budaya politik, politik uang dapat menimbulkan

penghargaan yang berlebihan terhadap figus-figur yang memiliki kekuatan

uang besar. Budaya penghargaan yang berlebih terhadap materi atau

22
23

uang, mengurangi budaya egaliter yang seharusnya menjadi penopang

demokrasi. Padahal budaya politik yang egaliter selama ini menjadi satu

pilar bagi tumbuhnya budaya politik demokratis. Pengalaman di beberapa

negara Amerika Latin (seperti Brazil, Argentina, Meksiko) menunjukan

bahwa demokrasi mereka kurang berkembang dengan baik karena adanya

budaya clientelism (Brusco, et. al. 2004: 66). Hal yang sama juga terjadi di

Filipina dan Thailand yang memiliki budaya patron-client cukup kuat.

Kultur patronase bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab mengapa

praktik politik uang di kedua negara tersebut sulit untuk dikurangi

sekalipun dilakukan kampanye anti politik uang yang masif (Schaffer,

2007: 177).

Nampaknya jalan yang harus ditempuh Indonesia untuk menjadi

negara demokrasi yang stabil masih sangat panjang. Banyak tantangan

yang harus diatasi, diantaranya yang terkait dengan masih lemahnya

budaya politik yang egaliter dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang

masih belum memadai. Selama ini alasan kebutuhan ekonomi masih

sering diungkapkan untuk menjelaskan maraknya praktik politik uang di

Indonesia. Penegakan hukum yang konsisten, termasuk sanksi bagi

pemilih yang terbukti menerima politik uang, perlu diterapkan. Untuk itu

diperlukan penguatan ketentuan larangan politik uang secara

komprehensif dan konsisten, sebagai landasan yang lebih kuat bagi

penyelengaraan pemilu yang adil dan bebas sebagai salah satu syarat

demokrasi.

23
24

V. KESIMPULAN

Konsolidasi demokrasi Indonesia akan semakin kuat dan stabil jika

pemerintahan berikutnya mampu mempertahankan iklim kebebasan sipil,

memperkuat penegakan hukum, dan melaksanan pemilihan umum yang

bebas dan adil, serta pada yang saat sama memberantas korupsi secara

serius termasuk korupsi yang terkait dengan pemilu seperti politik uang.

Sebaliknya, konsolidasi demokrasi Indonesia dapat kembali melemah jika

korupsi, ketidakpastian hukum dan politik uang masih mewarnai

perpolitikan Indonesia dalam beberapa tahun mendatang.

Untuk mengatasi politik uang, diperlukan instrumen peraturan

yang tegas dan dilaksanakan secara konsisten oleh aparat penegak hukum.

Karena politik uang merupakan transaksi ilegal yang melibatkan dua

pihak, yakni pemberi dan penerima politik uang, maka sanksi hukum

semestinya tidak hanya berlaku bagi pemberi politik uang namun juga

dikenakan kepada para penerima manfaat politik uang yakni kalangan

pemilih atau warga biasa. Dengan penegakan hukum yang kuat, warga

akan berpikir ulang untuk menerima tawaran politik uang dari kandidat

atau tim suksesnya. Penegakan hukum pemilu yang konsisten akan

menjadi insentif yang signifikan untuk meningkatkan kualitas demokrasi

Indonesia di masa yang akan datang.

24
25

DAFTAR PUSTAKA

Adetula, Victor A.O. (ed). 2008. Money and Politics in Nigeria. Abuja:
IFES-Nigeria.

Agustino, Leo dan Yusoff, Mohamad Agus. 2009. “Pemilihan Umum dan
Perilaku Pemilih: Analisis Pemilihan Presiden 2009 di Indonesia.”
POELITIK, Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan,
Volume 5 Nomor 10, hal. 555-582.

Alvarez, R. Michael, dkk. (eds). 2008. Election Fraud: Detecting ad


Deterring Electoral Manipulation. Washington DC: Brookings
Institution Press.

Ambardi, Kuskrido. 2009. Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang


Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Ananta, Aris, dkk. 2004. Indonesian Electoral Behaviour: A Statistical


Perspective. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

---------------, dkk. 2005. Emerging Democracy in Indonesia. Singapore:


Institute of Southeast Asian Studies.

Austin, Reginald dan Tjernström, Maja (eds). 2004. Handbook of


Funding of Political Parties and Election Campaigns. Stockholm:
International IDEA

Bhakti, Ikrar Nusa. 2002. “The Transition to Democracy in Indonesia:


Some Outstanding Problems” makalah dalam Transition Towards
Democracy in Indonesia, Conference, 18 October 2002, Hotel
Santika, Jakarta

Birch, Anthony H. 2007. The Concepts and Theories of Modern


Democracy. Third Edition. Abingdon: Routledge.

Brusco, Valeria; Nazareno, Marcelo and Stokes, Susan C. 2004. “Vote


Buying in Argentina”, Latin American Research Review, Volume
39 Nomor 2 June 2004, hal: 66-88.

Bryan, Shari dan Baer, Denise. 2005. Money in Politics: A Study of Party
Financing Practices in 22 Countries. Washington: National
Democratic Institute for International Affairs (NDI).

Bunte, Marco dan Ufen, Andreas (eds). 2009. Democratization in Post-


Suharto Indonesia. London: Routledge.

25
26

Burnell, Peter. 2007. Evaluating Democracy Support Methods and


Experiences. Stockholm: International Institute for Democracy and
Electoral Assistance (IDEA).

Cahyono, Heru. 2004. “Pelanggaran Pemilu Legislatif 2004” dalam Jurnal


Penelitian Politik, Volume 1 Nomor 1, hal: 9-27

Clawson, Dan, dkk. 1998. Dollars Voting: How Business Campaign


Contributions Subvert Democracy. Philadelphia: Temple
University Press.

Creswell, John W. 2007. Qualitative Inquiry and Research Design:


Choosing Among Five Approaches. Second Edition. London: Sage
Publications.

CSIS. Perilaku Pemilih Indonesia 2008. Bahan Presentasi Publik. Jakarta


15 Juli 2008.

Dahl, Robert A. 2006. A Preface to Democratic Theory: An Expanded


Edition. Chicago: The University of Chicago Press

Diamond, Larry. “Defining and Developing Democracy” dalam Dahl,


Robert A., dkk. (eds). 2003. The Democracy Sourcebook. Hal 29-
39. Massachusetts: MIT Press
Erb, Maribeth dan Sulistiyanto, Priyambudi (eds). 2005. Regionalism in
Post-Suharto Indonesia. New York: Routledge Curzon.

Etzioni-Halevy, Eva. “Exchange Material Benefits for Political Supprot: A


Comparative Analysis”, dalam Heidenheimer, dkk (eds). 1989.
Political Corruption: A Handbook. Hal. 287-304. New Jersey:
Transaction Publishers.

Eulau, Heinz dan Lewis-Beck, Michael (eds). 1985. Economic Conditions


and Electoral Outcomes: United States and Westerns Europe. New
York: Agathon Press.

Freedman, Amy L. 2006. Political Change and Consolidation:


Democracy’s Rocky Road in Thailand, Indonesia, South Korea,
and Malaysia. New York: Palgrave MacMillan.

Hadiz, Vedi R. 2010. Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia:


A Southeast Asia Perspective. Stanford: Stanford University Press.

Harris, Syamsuddin (ed). 2007. Partai dan Parlemen Lokal Era Transisi
Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia.

26
27

Harriss, John, dkk. 2005. Politicising Democracy: The New Local Politics
of Democratization. New York: Palgrave MacMillan.

Hodess, Robin, dkk. (eds). 2004. Global Corruption Report 2004: Special
Focus Political Corruption. London: Transparency International.

IFES Report. 2005. The 2004 General Elections in the Republic of


Indonesia Priorities for Democratic Renewal. Jakarta: USAID.

IFES Report. 1999. Money Politics: Regulation of Political Finance in


Indonesia 1999. Washington DC: IFES

Kang, David C. 2004. Crony Capitalism: Corruption and Development in


South Korea and The Phillipines. Cambridge: Cambridge University
Press.

Lehoucq, Fabrice. 2007. “When Does a Market for Votes Emerge?” dalam
Schaffer, Frederic Charles (ed). Elections for Sale: The Causes and
Consequences of Vote Buying, hal 33-45. Manila: Ateneo De Manila
University Press.

Lesmana, Teddy. 2007. “Politik Uang Dalam Pilkada” dalam Hidayat,


Syarif, dkk (eds). Bisnis dan Politik di Tingkat Lokal: Pengusaha,
Penguasa, dan Penyelenggara Pemerintah Daerah Pasca Pilkada.
Jakarta: LIPI Press, hal 83-128.

Lijphart, Arend. 2008. Thinking About Democracy: Power Sharing and


Majority Rule in Theory and Practice. London: Routledge.

Mainwaring, Scott, dkk. 1992. Issues in Democratic Consolidation: The


New South American Democracies in Comparative Perspective.
Notre Dame: University of Notre Dame Press.

Mariana, Dede. 2008. Dinamika Demokrasi dan Perpolitikan Lokal di


Indonesia. Bandung: Puslit KP2W Lemlit Unpad.

Marsh, Ian (ed). 2006. Democratization Governance and Regionalism in


East and Southeast Asia: A Comparative Study. London:
Routledge.

Myagkov, Michail dan Ordeshook, Peter C. 2009. The Forensic of Election


Fraud: Russia and Ukraine. Cambridge: Cambridge University
Press.

Niemi, Richard G., dkk (eds). 2011. Controversies in Voting Behavior.


Fifth Edition. Washington DC: CQ Press.

27
28

Norris, Pippa. 2004. Electoral Engineering: Voting Rules and Political


Behavior. Cambridge: Cambridge University Press.

Nuryati, Sri. 2005. “Antara Uang dan Ketokohan: Kasus Kota Medan dan
Kabupaten Simalungun” dalam Kleden, Ignes dan Haris,
Syamsuddin (eds), Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 205-242

Ohman, Magnus dan Zainulbhai, Hani (eds). 2009. Political Finance


Regulation: The Global Experience. Washington DC: IFES.

O’Donnell, Gulermo. 1996. Illusion About Consolidation. Journal of


Democracy Vol. 7 No. 2 (1996), hal: 35-51.

O’Rourke, Kevin. 2002. Reformasi: The Struggle for Power in Post-


Suharto Indonesia. New South Wales: Allen & Unwin.

Platzdasch, Benhard. 2009. Islamism in Indonesia: The Politics of


Emerging Democracy. Singapore: Institute of Southeast Asian
Studies.

Puddington, Arch. 2013. Freedom in the World 2013: Democratic


Breakthroughs in the Balance. New York: Freedom House.

Ramdansyah. 2010. Sisi Gelap Pemilu 2009: Potret Aksesori Demokrasi


Indonesia. Jakarta: Penerbit Rumah Demokrasi.

Rinakit, Sukardi. 2005. Indonesian Regional Election in Praxis.


Singapore: IDSS Commentaries.

Robinson, Richard dan Hadiz, Vedi R. 2004. Reorganising Power in


Indonesia: The Politics of Oligharcy in An Age of Markets. London:
Routledge.

Schedler, Andreas. 1998. “What is Democratic Consolidation?” Journal of


Democracy Vol. 9 No. 2 (1998), hal: 91-107.

Schaffer, Frederic Charles and Schedler, Andreas. 2005. “What Is Vote


Buying? The Limits of the Market Model.” Paper presented The
Conference Poverty, Democracy, and Clientelism: The Political
Economy of Vote Buying, Stanford University, Department of
Political Science, Bellagio Center, Rockefeller Foundation, 28
November – 2 December 2005.

28
29

Schaffer, Frederic Charles (ed). 2007. Elections for Sale: The Causes and
Consequences of Vote Buying. Manila: Ateneo De Manila University
Press.

Stott, David Adam. 2014. “Indonesia’s Elections of 2014: Democratic


Consolidation or Reversal?” The Asia-Pacific Journal, Vol.12, Issue
10, No. 2, March 10, 2014.

Sugiarto, Bima Arya. 2009. “Politik Uang dan Pengaturan Dana Politik di
Era Reformasi” dalam Wijayanto dan Zachrie, Ridwan. Korupsi
Mengkorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek
Pemberantasan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 473-502.

Supriyanto, Didik. Makalah dalam Diskusi Publik “Politik Uang dalam


Pilkada”, Jakarta 5 Juni 2005.

Surbakti, Ramlan. 2009. “Reformasi Pemilu Kepala Daerah Jilid II” dalam
Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 31 Tahun 2009, hal. 54-66.

The Economist Intelligence Unit. 2013. Democracy Index 2012:


Democracy at A Standstill. London: The Economist Intelligence
Unit Limited.

Tomsa, Dirk. 2008. Party Politics and Democratization in Indonesia:


Golkar in the Post-Suharto Era. London: Routledge.

Vicente, Pedro C dan Wantchekon, Leonard. 2009. “Clientelism and Vote


Buying: Lessons from Field Experiments in African Elections”. The
Oxford Review of Economic Policy, Volume 25 Nomor 2 Tahun
2009, hal 292-305.

Ward, Gene, dkk. 2003. Money in Politics Handbook: A Guide to


Increasing Transparency in Emerging Democracies. Technical
Publication Series. Washington: USAID.

29

Anda mungkin juga menyukai