Anda di halaman 1dari 6

Cerita Rakyat Dari Sumatera Selatan : Asal Muasal

Pulau Kemaro

Dahulu, di Kerajaan Sriwijaya ada seorang putri yang cantik dan baik hati bernama Siti
Fatimah. Kecantikan dan kebaikan budinya terdengar ke mana-mana. Tak seorang pun
pemuda berani datang melamar sang Putri, karena Raja menginginkan putrinya menikah
dengan laki-laki keturunan raja.

Suatu saat, datanglah seorang pemuda bernama Tan Bun Ann. Pemuda tersebut datang dari
kerajaan di negeri Cina untuk berniaga di Kerajaan Sriwijaya. la lalu menghadap Paduka
Raja.

"Paduka Raja, kedatangan hamba ke sini adalah untuk berdagang. Untuk itu, hamba mohon
agar Paduka memberikan izin kepada hamba untuk tinggal dan berdagang di kerajaan ini,"
ujar Tan Bun Ann.

Raja memberikan izin kepada Tan Bun Ann dengan syarat pemuda itu harus memberikan
sebagian keuntungannya kepada kerajaan. Tan Bun Ann pun menyanggupi syarat yang
diberikan Raja.

Pemuda dari kerajaan di negeri Cina itu pun mulai berdagang dan tinggal di Kerajaan
Sriwijaya. Secara teratur, ia datang ke Kerajaan Sriwijaya untuk menyetorkan sebagian
keuntungan dagangnya kepada kerajaan. Suatu kali, ia bertemu dengan Putri Siti Fatimah,
kemudian Tan Bun Ann jatuh hati.

Ternyata, Siti Fatimah juga mempunyai perasaan yang sama dengan Tan Bun Ann. Mereka
lalu menjalin hubungan kasih. Kemudian, Tan Bun Ann menghadap Raja untuk minta restu.

"Paduka, kedatangan hamba menghadap, karena hamba ingin mengutarakan keinginan untuk
meminang Putri Siti Fatimah menjadi istri hamba," kata Tan Bun Ann.
Raja Sriwijaya berpikir sejenak. la tahu bahwa Tan Bun Ann adalah putra mahkota dari
sebuah kerajaan besar di negeri Cina, karena itu ia tidak keberatan putrinya menikah dengan
pemuda itu.

"Anak muda, aku tahu kau pemuda yang baik. Aku tidak keberatan putriku menikah
denganmu. Namun, kau harus menyediakan sembilan guci berisi emas."

Tan Bun Ann menyanggupi syarat yang diajukan Raja. la lalu menghubungi orangtuanya di
negeri Cina. Orangtua Tan Bun Ann memberikan restu kepada mereka. Namun sayang,
orangtua Tan Bun Ann tidak bisa menghadiri pernikahan anaknya dengan Putri Siti Fatimah.
Lalu, mereka mengirimkan utusan kerajaan untuk mengantarkan sembilan guci berisi emas ke
Kerajaan Sriwijaya.

Utusan Kerajaan Cina segera berangkat menuju Kerajaan Sriwijaya dengan membawa guci-
guci berisi emas di dalam kapal. Untuk melindungi emas-emas itu dari perompak, di bagian
atas guci-guci itu diletakkan sayur sawi, sehingga guci-guci itu terlihat berisi penuh dengan
sayur sawi.

Sesampainya di Pelabuhan Sriwijaya, Tan Bun Ann menyambut utusan dari orangtuanya itu
untuk mengambil emas-emas yang rnereka bawa.

"Di mana kalian Ietakkan guci-guci berisi emas itu?" "Di dalam kamar di dalam kapal, Tuan"

Tan Bun Ann masuk ke dalam kapal, ia menemukan sembilan guci berisi penuh sayur sawi
yang telah membusuk.

"Oh, tidak! Mengapa isinya hanya sayur-sayur sawi yang sudah membusuk? Aku akan malu
kepada calon mertuaku!" pikir Tan Bun Ann panik. la lalu membuang guci-guci itu satu
persatu ke Sungai Musi. Ketika akan membuang guci terakhir kakinya tersandung. Guci yang
dipegangnya pun tumpah, keluarlah emas-emas dari dalam guci itu. Barulah Tan Bun Ann
sadar bahwa ia telah salah sangka.

Lalu, pemuda itu melompat ke dalam sungai bersama beberapa pengawal untuk mencari
kembali guci-guci yang telah dibuangnya.

Siti Fatimah yang sejak tadi menyaksikan kejadian itu berlari ke pinggir sungai dan
menunggu colon suaminya muncul dari dalam Sungai Musi. Namun, sampai menjelang sore
Tan Bun Ann dan orang-orangnya tak juga kembali.

Putri cantik itu dan beberapa dayangnya berniat mencari calon suaminya, mereka lalu loncat
ke Sungai Musi. Sebelum loncat, Putri berpesan kepada dayang-dayangnya yang tinggal.

"Jika nanti kalian melihat ada timbunan tanah muncul di permukaan sungai, itu adalah
kuburanku," kata Putri Siti Fatimah lalu menceburkan diri ke dalam sungai.

Tidak ada seorang pun yang kembali ke permukaan. Beberapa hari kemudian, di tepi Sungai
Musi muncullah timbunan tanah menyerupai sebuah gundukan. Semakin hari, gundukan
tanah tersebut semakin lebar, hingga menjadi sebuah pulau.
Masyarakat setempat menamai pulau tersebut Pulau Kamaro yang artinya Kemarau. Nama itu
dipilih, karena kondisi pulau tersebut yang tidak pernah tergenang sedikit pun meskipun
ketinggian air di Sungai Musi sedang meningkat.

Di pulau tersebut terdapat sebuah gundukan tanah yang agak besar dan diyakini sebagai
makam Putri Siti Fatimah. Selain itu, ada dua gundukan tanah yang lebih kecil, masyarakat
percaya bahwa kedua gundukan itu adalah makam dayang-dayang Siti Fatimah yang ternyata
ikut menyebur ke laut menyusul sang Putri.

Kini, Pulau Kernaro menjadi salah satu objek wisata budaya di Palembang. Setiap perayaan
cap gomeh, banyak warga keturunan Cina, baik dari dalam maupun luar negeri berkunjung ke
sana untuk sembahyang dan berziarah.

Pesan moral dari Cerita Rakyat Dari Sumatera Selatan Asal Pulau Kemaro adalah segala
sesuatu harus diteliti dulu, jangan terburu-buru menilai dan mengambil keputusan.
Cerita Rakyat dari Sumatera Selatan – Legenda Si
Pahit Lidah
Hari ini hati Serunting kesal sekali. Lagi-lagi ladang miliknya tak menghasilkan apa-apa,
kecuali rumput ilalang yang tinggi. Apapun yang ditanamnya selalu mati. "Apa yang harus
kulakukan? Ladangku hanya sejengkal dari ladang Aria Tebing, tapi mengapa ladangnya
begitu subur?" tanyanya heran. "Aria Tebing pasti telah berbuat curang pada ladangku." pikir
Serunting dengan curiga.

Serunting pulang ke rumah dan marah-marah pada istrinya. Istrinya adalah kakak Aria
Tebing. "Bilang pada adikmu, jangan curang. Jika berani, suruh ia bertarung melawanku,"
katanya. Istringa tak habis pikir karena menurutnya, adiknya tak mungkin curang.

Suatu hari, Aria Tebing berkunjung ke rumah Serunting. Tujuannya untuk menemui
kakaknya. Tapi apa yang terjadi? Serunting malah marah-marah dan mengajaknya berduel.
"Apa yang kau lakukan pada ladangku? Semua yang kutanam mati tak berbekas. Sedangkan
tanaman di ladangmu tumbuh dengan subur, padahal letaknya hanya sejengkal dari
ladangku!"

Aria Tebing kebingungan, "Aku tak melakukan apa-apa. Aku bahkan tak pernah
menginjakkan kaki ke ladangmu," jawabnya.

"Dasar pembohong! Kau menantangku? Jika memang itu maumu, ayo kita berduel sampai
mati. Kutunggu kau besok di tanah lapang!"
Aria Tebing tak bisa menghindar. Ia harus menghadapi tantangan Serunting. Ia yakin, ia pasti
kalah menghadapi Serunting yang jauh lebih sakti darinya. Karena itu ia memutuskan untuk
menemui kakaknya untuk menanyakan apa kelemahan kakak iparnya itu.

Pagi-pagi buta, Aria Tebing menyelinap ke rumah Serunting. "Kak, tolonglah aku. Beritahu
apa kelemahan suamimu. Jika Kakak tak memberitahuku, aku pasti akan mati siang ini,"
pinta Aria Tebing. Istri Serunting bimbang. Di satu sisi ia tak ingin mengkhianati suaminya,
namun di sisi lain ia tak ingin adiknya mati terbunuh. Akhirnya ia berkata, "Berjanjilah,
untuk tidak membunuh suamiku." Aria Tebing menyanggupi, maka istri Serunting pun
memberitahu rahasia kelemahan suaminya.

Tibalah saat yang ditentukan. Aria Tebing telah siap dengan senjata yang bisa melumpuhkan
Serunting. Menurut istri Serunting, tumbuhan ilalang yang bergetar adalah senjata yang bisa
melumpuhkan Serunting. Mereka berdua pun memulai pertarungan. Di saat Serunting lengah,
Aria Tebing menyabetkan ilalang itu pada tubuh Serunting. Benar saja, dalam sekejap
Serunting langsung terluka parah. Aria Tebing dengan mudah memenangkan pertarungan itu.

Serunting sangat malu. Ia heran bagaimana Aria Tebing bisa mengetahui rahasianya. Untuk
menutupi rasa malunya, ia pergi mengembara dan meninggalkan rumah. Ia berjalan tak tentu
arah sampai akhirnya tiba di Gunung Siguntang. Di situlah ia tinggal dan bertapa mengasah
ilmunya.

Suatu hari, saat sedang bertapa, ia mendengar bisikan gaib. "Serunting anakku, aku akan
mengajarimu kesaktian yang kumiliki. Apakah kau mau melaksanakan syarat dariku sebelum
aku mengajarirnu?" bisik suara itu. Serunting membuka matanya. Ia menengok ke kanan dan
ke kiri, tak ada siapa-siapa. Berarti bisikan itu datang dari penunggu Gunung Siguntang. "Ya,
aku mau belajar ilmu darimu," jawab Serunting.

"Jika begitu, bertapalah di bawah pohon bambu sampai seluruh tubuhmu tertutup oleh
daunnya. Jika itu terjadi, kau berhasil mewarisi kesaktianku," jawab suara gaib itu.

Dua tahun lamanya Serunting bertapa di bawah pohon bambu. Setelah semua tubuhnya
tertutup oleh daun bambu, ia pun mendapatkan kesaktiannya, ia memiliki kemampuan untuk
mengutuk apa pun yang ditemui nya.
Dengan kesaktiannya itu, Serunting ditakuti oleh banyak orang. Mereka menjulukinya "Si
Pahit Lidah". Sejak itu, Serunting menjadi sombong dan sering berbuat semena-mena. Jika
tak menyukai seseorang, ia tak segan- segan mengutuknya menjadi batu!

Tahun demi tahun berlalu. Suatu saat Serunting merasa rindu pada istrinya. Ia ingin pulang ke
rumahnya. Selain itu, ia ingin membalas dendam pada Aria Tebing. Ia ingin menunjukkan
kekuatannya pada Aria Tebing, Serunting pun berkemas dan pulang ke rumahnya.

Sepanjang perjalanan, Serunting masih bersikap semena-mena. Orang-orang yang bertemu


dengannya segera menyingkir. Mereka takut terkena kutukan si Pahit Lidah.

Setelah berjalan seharian, Serunting ingin beristirahat. Ia berjalan menuju bukit, berharap
dapat tidur sejenak. Ternyata tak ada sebatang pohon pun di situ. Ia jengkel sekali karena
panas Matahari yang sangat menyengat. Ia mengedarkan pandangannya, rerumputan di bukit
itu mulai menguning. Ia kecewa dengan keadaan bukit itu. Ia lalu berujar, "Aku ingin bukit
ini penuh dengan pepohonan."

Dalam sekejap, bukit itu menjadi teduh dan rindang. Sejak itu banyak orang yang mampir ke
sana untuk sekadar beristirahat. Serunting sangat senang. Ternyata, ia bisa menggunakan
kesaktiannya untuk hal yang baik.

Setelah puas beristirahat, Serunting melanjutkan perjalanannya. Ketika melewati sebuah desa,
ia melihat sepasang kakek dan nenek renta sedang menebang pohon. Hati Serunting merasa
kasihan. "Mengapa mereka masih bekerja keras di usia setua itu?"

Serunting menghampiri mereka, "Kek, Nek, mengapa anak kalian tak membantu?" tanyanya.

"Kami tak punya anak, kami hanya tinggal berdua," jawab si Kakek. Serunting terdiam, ia
sungguh merasa iba melihat kakek dan nenek itu. "Kek, jika sekarang ini kalian dikaruniai
seorang bayi laki-laki dan anak perempuan untuk membantu kalian, apakah kalian mau?"

Kakek dan nenek itu berpandangan, "Tentu saja kami mau, tapi apakah itu mungkin? Kami
sudah tua, tak mungkin bisa punya anak."

Serunting menjawab, "Semuanya mungkin saja. Kakek dan Nenek akan punya seorang bayi
laki-laki dan anak perempuan yang akan membantu kalian."

Setelah berkata demikian, terdengar suara tangis bayi dari dalam rumah. Kemudian seorang
anak gadis dari rumah muncul sambil menggendong seorang bagi laki-laki. Kakek dan Nenek
itu sangat bahagia, mereka tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih pada Serunting.

Serunting juga bahagia. Ia sadar, sebenarnya lebih menyenangkan melihat orang-orang


berbahagia daripada melihat mereka ketakutan. Sarunting bertekad akan menggunakan
kesaktiannya untuk hal-hal baik, bukan untuk mencelakai orang. Selama sisa perjalanannya,
ia menolong semua orang yang membutuhkan pertolongannya. Dan ia tidak sombong lagi.

Pesan moral dari Cerita Rakyat Sumatera Selatan – Si Pahit Lidah adalah Gunakan
kelebihanmu untuk membantu orang lain, bukan untuk menyombongkan diri.

Anda mungkin juga menyukai