Bab I Terbaru Fulllllllllll
Bab I Terbaru Fulllllllllll
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
terdapat 9,6 juta penderita TBC baru, dan 58% diantaranya berada wilayah Asia
Tenggara. Indonesia berdasarkan data WHO, termasuk salah satu negara endemis
penderita TBC anak mencapai 12% hingga 20% dari temuan seluruh kasus TBC
di Indonesia (Lestari et al, 2011; Dotulong et al, 2015; Yuni, 2016; Wijaya, 2017)
menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok usia anak 0-5 tahun dan kelompok usia anak
5-14 tahun. Kelompok usia anak dibawah 5 tahun, memiliki angka kejadian
komplikasi yang tinggi bila dibanding anak usia diatas 5 tahun. Hal ini sesuai
penelitian Hardiyanti Veni dkk tahun 2012, yang menemukan bahwa proporsi
komplikasi TBC anak tertinggi terjadi pada kelompok usia 0-4 tahun (57,4%).
Keadaan ini juga sesuai dengan data pada tujuh rumah sakit pusat pendidikan di
Indonesia, yang menemukan angka kejadian TBC diseminata yang tinggi terjadi
pada penderita TBC anak berusia kurang dari 5 tahun. Penyebab tersering
komplikasi TBC anak, antara lain disebabkan olah status gizi buruk/kurang, status
istiadat, ketidak patuhan minum obat selama 6 bulan, adanya penyakit infeksi
penyerta, serta sulitnya penegakkan diagnosis dini TBC pada anak (Espasito et al,
hingga saat ini masih sering dilaporkan terjadinya misdiagnosis pada kasus TBC
anak, diagnosis TBC pada anak dapat dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu tipe
diagnosis bakteriologis dan tipe diagnosis klinis (Safithri, 2011; Bakhtiar, 2016;
Status gizi buruk dan penyakit TBC, merupakan permasalahan yang saling
TBC anak lebih sering dilaporkan memiliki status gizi yang buruk atau kurang,
bila dibandingkan dengan anak yang tidak menderita TBC. Pada anak yang
menderita gizi buruk atau kurang, cenderung memiliki berat badan yang rendah,
akibatnya akan tampak kurus dan lemah sehingga rentan terserang penyakit
bahwa, kelompok usia yang paling rentan terhadap masalah gizi adalah pada usia
balita. Hal ini selain diduga berkaitan dengan sistem imunitas yang belum
terbentuk sempurna pada balita, gizi buruk pada balita juga dapat disebabkan oleh
sejumlah faktor, diantaranya adalah faktor pendidikan orang tua, tingkat sosial
3
ekonomi, serta adat istiadat. Selain itu, sejumlah penelitian juga melaporkan
bahwa, pada anak yang sering mengalami infeksi dan menderita gizi
akhirnya dapat berpengaruh buruk terhadap masa depan anak tersebut (Prayitami
(FDC) FDC OAT pada anak balita (terutama di bawah usia 1 tahun), tingginya
kasus gizi buruk pada anak, sulitnya menegakkan diagnosis TBC pada anak,
status sosial ekonomi keluarga serta latar belakang pendidikan orang tua anak
tentang bagaimanakah hubungan antara kelompok usia, tipe diagnosis dan status
gizi penderita TBC anak dengan respon pengobatan penyakit TBC pada anak,
hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang penyakit TBC anak,
khususnya di wilayah Surakarta. Selain itu, semoga penelitian ini juga akan lebih
B. RUMUSAN MASALAH
antara kelompok usia, tipe diagnosis dan status gizi dengan respon pengobatan
tuberkulosis anak?”
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
tipe diagnosis dan status gizi terhadap respon pengobatan TBC anak.
2. Manfaat Praktis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Tuberkulosis.
manusia, terutama paru-paru. Sedangkan definisi anak menurut IDAI adalah usia
0-18 tahun. Oleh sebab itu, definisi penyakit tuberkulosis pada anak merupakan
penyakit tuberkulosis yang terjadi pada anak berusia dari 0-18 tahun (Safithri,
Paru manusia merupakan dua buah organ yang lunak dan berongga, terdapat
di dalam mediastinum. Paru dipisahkan oleh jantung, pembuluh darah dan struktur
tumpul dan menjorok ke atas, serta dilapisi oleh pleura yang terikat dengan paru
pada bagian hilusnya. Pada bagian hilus pulmonalis yang terletak di bagian medial
Ukuran paru kanan sedikit lebih besar bila dibandingkan dengan ukuran
paru kiri. Paru kanan dipisahkan oleh fisura oblikua dan fisura horisontalis terbagi
7
menjadi 3 lobus, yaitu lobus superior, medius dan inferior. Sedangkan paru kiri
dipisahkan oleh fisura oblikua, terbagi menjadi 2 lobus, yaitu lobus superior dan
segmentalis. Bronkus segmentalis yang masuk ke lobus paru secara struktural dan
dikelilingi oleh jaringan ikat, dan selain bronkus juga diisi oleh arteri, vena,
pembuluh limfe dan saraf otonom (Loscalso et al, 2010; Safithri, 2011).
terminal yang berhubungan erat dengan jejaring kaya pembuluh darah. Sirkulasi
pulmonal memiliki aliran udara tinggi dengan tekanan yang rendah, kurang lebih
50 mmHg. Paru-paru dapat menampung sampai 20% volume darah total, dan
hanya 10% dari volume tersebut yang tertampung dalam kapiler (Snell, 2007).
8
Sehingga dapat disebutkan bahwa, fungsi terpenting dari sistem ventilasi paru-
paru adalah berupaya terus menerus untuk memperbarui udara dalam area
pertukaran gas di paru-paru. Pertukaran gas secara difusi terjadi antara alveoli dan
pembuluh kapiler paru-paru, dan mekanisme pertukaran gas secara difusi ini
tuberculosis, dengan angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Oleh
sebab itu, sejumlah ahli menyebutkan bahwa penyakit tuberkulosis, terutama TBC
paru, masih menjadi masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang
tetapi juga di negara maju. Selain itu, beberapa penelitian juga menyebutkan
bahwa penyakit TBC tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka
didapatkan 171 kasus TBC anak usia <15 tahun. Diperkirakan, di negara tersebut
jumlah kasus TBC anak per tahun mencapai 5-6% dari total kasus TBC. Di negara
berkembang, TBC pada anak berusia <15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus
TB, sedangkan di negara maju angkanya lebih rendah yaitu 5-7% (Salazar, 2001;
Yuliana, 2007; Murniasih et al, 2010; Esposito et al, 2013; Seddon et al, 2014).
9
Menurut perkiraan WHO, pada tahun 1999 jumlah kasus TBC baru di
Indonesia mencapai jumlah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian
sekitar 140.000 orang per tahun. Sedangkan berdasarkan data dari 7 rumah sakit
jumlah seluruh kasus TBC anak mencapai 1.086 jiwa. Di mana kelompok usia
terbanyak adalah 12-60 bulan (42,9%), sedangkan untuk bayi <12 bulan
Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
asam, sehingga dikenal juga sebagai batang tahan asam (BTA) (Yuliana, 2007;
Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret
sejumlah ahli yang lain memberikan nama bakteri tersebut menjadi bakteri Koch.
Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum
namun demikian dapat juga mengenai organ tubuh lain. Kuman TBC cepat mati
dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di
tempat yang gelap dan lembab. Sedangkan pada jaringan tubuh, kuman ini dapat
10
dormant (tertidur lama selama beberapa tahun) (Esposito et al, 2013; Vipparti et
al, 2017)
Saluran pernapasan merupakan port d entree lebih dari 98% kasus infeksi
bronkus dan akan terus berjalan hingga mencapai alveolus serta menetap di
tuberculosis yang tidak dapat dihancurkan oleh sistem imun tubuh hospes ini,
11
akan terus berkembang biak dalam makrofag, dan akhirnya dapat menyebabkan
akan membentuk terjadinya lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer
tersebut, dapat menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional.
kelenjar limfe (limfadenitis). Jika fokus primer terletak pada lobus paru bagian
bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe
parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, maka
yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer,
2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu. Pada saat terbentuknya kompleks
Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TBC terbentuk,
yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif.
Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat
sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TBC terhenti. Akan tetapi
12
baru yang masuk kedalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas seluler
spesifik cellular mediated immunity (CMI) (Panjaitan et al, 2013; Jain et al,
2013).
tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak
menimbulkan gejala sakit TBC (Salazar et al, 2001; Panjaitan et al, 2013)
dapat disebabkan oleh keberadaan fokus primer di paru atau di kelenjar limfe
atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi
jaringan paru (kavitas) (Jain et al, 2013; Esposito et al, 2013; Panjaitan et al,
2013)
pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang lanjut, sehingga
akan dapat menimbulkan gejala klinis pada bronkus. Obstruksi parsial pada
segmen distal paru, melalui mekanisme ventil. Sedangkan obstruksi total, akan
dapat menyebabkan ateletaksis pada segmen distal paru, dan nekrosis perkijuan
13
itu, adanya massa perkijuan dapat pula menimbulkan obstruksi komplit pada
paru yang terkena lesi fokus primer maupun kompleks primer. Adanya
TBC disebut sebagai penyakit sistemik (Salazar et al, 2001; Esposito et al, 2013)
tuberculosis menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit, sehingga tidak
vaskularisasi baik, dan paling sering di apeks paru, limpa dan kelenjar limfe
lain seperti otak, hati, tulang, ginjal serta organ lainnya. Pada umumnya, kuman
tetapi tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya (Panjaitan et al,
2013).
Sarang di bagian apeks paru disebut juga dengan fokus simon. Fokus simon
inilah yang di kemudian hari diyakini akan dapat mengalami reaktivasi berulang,
apeks paru saat dewasa (Loscalso et al, 2010; Panjaitan et al, 2013)
pertama) biasanya sering terjadi komplikasi TBC. Menurut Wallgren, ada tiga
bentuk dasar TBC paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TBC
endobronkial, dan TBC paru kronik. Tuberkulosis paru kronik adalah TBC pasca
primer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam fokus yang tidak mengalami
resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering terjadi
biasanya juga merupakan manifestasi TBC pasca primer, dapat terjadi pada 25-
30% anak yang terinfeksi TBC (Esposito et al, 2013; Priyandani et al, 2014)
Tidak ada gejala yang khas pada penyakit tuberkulosis, namun secara klinis
dapat bedakan menjadi 2, yaitu gejala umum dan gejala khusus, yaitu :
berlangsung lama, terjadi malam hari dan disertai keringat malam. Kadang
serangan demam dapat disertai gejala influenza ringan yang bersifat hilang
timbul, 2). Penurunan nafsu makan dan berat badan, 3). Batuk-batuk lebih
15
dari 3 minggu, dapat disertai keluarnya dahak bercampur darah, dan 4).
b. Gejala khusus, akan sangat tergantung pada organ tubuh mana yang terkena,
1). Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus, akibat penekanan kelenjar getah
nafas melemah yang disertai sesak, 2). Bila ada cairan di rongga pleura,
dapat disertai dengan keluhan sakit dada, 3). Bila mengenai tulang, maka
akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat
membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya (fistula), pada fistula
ini akan keluar cairan nanah, dan 4). Bila mengenai otak, dapat ditandai
dengan demam tinggi dan adanya penurunan kesadaran (Jendra et al, 2015).
a. Tuberkulosis primer
relatif tidak bergejala. Namun demikian, bila terdapat gejala, biasanya akan
ghon, mungkin tidak tampak pada X-foto thorax. Namun secara umum,
tuberkulosis primer pada anak dapat dibagi menjadi TBC paru-paru, TBC
ekstra thorax dan TBC neonatus. Gejala klinis TBC paru pada anak
16
diantaranya : 1). Febris <39°c selama 1-2 minggu, menggigil (chills), batuk
lebih dari 2 minggu, anoreksia dan tampak lesu, 2). Batuk produktif (beriak)
& hemoptosis amat jarang, 3). Pada X-foto thorax (posis lateral, bila AP
leher), infiltrat di segmen atau lobus, atelektasis, efusi plura dan adanya
motif milier: seperti “badai salju (Salazar et al, 2001; Panjaitan et al, 2013).
Gejala klinis TBC extra thorax pada anak diantaranya : kelenjar superfisial
pada tulang dan sendi (meliputi 40%) termasuk kyphosis dan skoliosis,
pincang, nyeri, kaki pendek serta tulang kadang tampak gambaran mastoid,
mirip dengan otits media supuratif kronis. Sedangkan gejala klinis TBC
milier pada neonatus : biasanya akan terjadi 1-3 bulan sesudah infeksi,
gejala awal akan ditandai dengan badan lemah, lesu, rewel, takikardia, serta
pada X-foto thorax akan banyak ditemukan gambaran plek kecil di semua
lobus, bagaikan “badai salju” (Salazar et al, 2001; Panjaitan et al, 2013).
17
b. Tuberkulosis sekunder
Umumnya akan terjadi pada anak remaja atau pemuda. Gejala awal
lainnya yang mungkin ada antara lain adalah malaise, anoreksia, berat badan
menurun, serta keringat malam. Pada gambaran X-foto thorax, dapat terlihat
adanya bayangan pada apek paru, yang dapat meluas ke lobus-lobus paru,
berturut-turut tanpa penyebab yang jelas atau gagal tumbuh, 2). Adanya
demam tanpa sebab yang jelas, terutama jika berlanjut sampai 2 minggu, 3).
Adanya batuk kronik >3 minggu, baik dengan atau tanpa wheeze serta 4).
tulang, sendi, lutut serta palang, dan 3). Uji tuberkulin positif. Namun
demikian, dapat terjadi bias negatif pada anak dengan TB milier atau juga
menderita HIV/AIDS, gizi buruk atau anak penderita campak, dan 4).
c. Pemeriksaan penunjang
tuberkulosis. Uji multi punksi tidak seakurat uji mantoux, karena dosis
kontrol. Uji tuberkulin lebih penting lagi artinya pada anak kecil bila
patch test cara von pirquet) dan cara mantoux, yaitu dengan
jarum berdasarkan cara Heat and Tine. Uji kulit mantoux adalah
19
tween 80. Hingga saat ini, cara mantoux masih dianggap sebagai cara
karena penyakit atau obat-obat, infeksi virus, vaksin virus hidup, dan
tuberkulosis yang berat, dapat menekan reaksi uji kulit mantoux pada
reaksi positif, secara klinis dapat sedang atau pernah terinfeksi dengan
terjadi cross reaction atau akibat pemberian BCG, namun jika tetap
berukuran 6-9 mm tetapi ada tanda – tanda lain dari tuberkulosis yang
kemudian, pada penderita yang pada semula memiliki uji kulit positif
6). Pleuritis yang disertai adanya efusi (Salazar et al, 2001; Esposito et
leukosit kembali normal dan laju endap darah mulai turun kearah
sputum terutama pada penderita yang tidak batuk atau pada anak-
suatu sediaan (dengan kata lain diperlukan sekitar 5.000 kuman dalam
jumlah skor >6 (sama atau lebih dari 6), harus di tatalaksana sebagai pasien TB
dan mendapat pengobatan dengan obat anti tuberkulosis (OAT). Bila skor kurang
dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan ke arah TB kuat, maka perlu dilakukan
pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan dll
terdapat beberapa penyakit yang memiliki gambaran gejala klinis mirip dengan
bronkiektasis, pneumonia aspirasi, abses paru serta kanker paru (Murniasih et al,
BCG, akan dapat meninggikan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil
lengkap sehingga masih mungkin terjadi super infeksi, meskipun biasanya tidak
progresif, namun kadang dapat pula menimbulkan komplikasi yang berat. 2).
tetapi telah terjadi kontak dengan penderita TBC aktif. Obat yang digunakan
sekunder, diberikan pada anak dengan uji tuberkulin positif tanpa gejala klinis,
dan X-foto thorax normal, tetapi memiliki faktor resiko menjadi TBC aktif. Obat
Secara umum prinsip pengobatan TB pada anak terdiri atas 1). Terapi
pada anak yang sakit TBC, sedangkan profilaksis TBC diberikan pada anak yang
kontak dengan penderita TBC (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TBC
Selain itu, juga terdapat hal penting dalam tatalaksana TBC anak yang harus
diperhatikan, yaitu : obat TBC tidak boleh diberikan dalam bentuk monoterapi
gizi yang adekuat dan mencari penyakit penyerta (jika ada dilakukan tatalaksana
1. OAT diberikan dalam bentuk minimal 3 macam kombinasi obat. Metode ini
selain bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi OAT, dengan cara ini
obat jangka panjang ini selain bertujuan untuk membunuh kuman, juga
3. Pengobatan TBC anak terdiri atas 2 tahap, yaitu 1). Tahap awal (intensif),
2). Tahap lanjutan, diberikan selama 4-10 bulan, serta tergantung pada hasil
4. Penderita TBC anak dengan gejala klinis yang berat, baik paru maupun
ekstra paru, seperti TBC milier, meningitis TBC, TBC tulang dan lainnya,
5. Pada kasus TBC tertentu seperti TBC milier, efusi pleura TBC, perikarditis
dengan dosis penuh dan dilanjutkan dengan tappering off dalam jangka
waktu yang sama. Tujuan pemberian kortikosteroid ini adalah selain untuk
26
perlekatan jaringan.
6. Panduan penggunaan OAT untuk anak yang sering digunakan pada Program
dengan 3 macam obat kombinasi, terdiri atas isoniasid (INH), rifampisin (R)
dan pirazinamid (Z), yang juga lebih dikenal dengan rumus 2HRZ/4HR.
7. Pada kasus TBC anak dengan kondisi tertentu, diberikan OAT kategori anak
8. Sesuai panduan terapi TBC anak, OAT kategori anak diberikan dalam
KDT). Tablet OAT KDT ini, terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat
9. OAT anak juga tersedia dalam bentuk OAT kombipak, yang digunakan
10. OAT kategori anak dalam bentuk kemasan Kombinasi Dosis Tetap (KDT)
Berdasarkan paduan OAT, bentuk paket KDT/FDC akan terdapat pada satu
11. KDT untuk fase intensif, dalam satu paket KDT anak akan mengandung
rifampisin (R) 75 mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg.
Sedangkan pada KDT fase lanjutan, dalam satu paket dosis KDT akan
12. Sedangkan pengobatan TBC anak ulangan, merupakan pasien anak yang
keluhan gejala TBC. Pada keadaan seperti ini, perlu dilakukan evaluasi
secara komprehensif, apakah anak tersebut benar benar menderita TBC atau
tidak. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem
anak, dilakukan ketat setiap minggu. Hal ini bertujuan untuk melihat kepatuhan,
tolerensi OAT serta adanya kemungkinan efek samping yang dapat ditimbulkan
dari pemberian OAT (Salazar et al, 2001; Panjaitan et al, 2013; Kemenkes RI,
2014)
setiap bulan. Setelah diberikan OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien
harus di evaluasi. Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis yang
serta batuk juga berkurang. Bila respon pengobatan membaik, maka OAT dapat
dilanjutkan hingga 6 bulan. Sedangkan bila respon pengobatan tidak baik, maka
28
pengobatan tetap dilanjutkan namun pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih
lengkap. Dalam hal ini, sistem skoring hanya digunakan untuk membuat
diagnosis, bukan untuk mengevaluasi hasil pengobatan TBC (Salazar et al, 2001;
Setelah pemberian OAT selama 6 bulan OAT dapat dihentikan, namun tetap
dilakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti X-foto
pemantauan pengobatan TBC, karena uji tuberkulin yang positif masih akan
dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan
pasien dapat dinyatakan selesai (Salazar et al, 2001; Panjaitan et al, 2013;
Pada pasien TBC anak yang pada awal pengobatannya memiliki hasil
TBC BTA positif (Salazar et al, 2001; Panjaitan et al, 2013; Kemenkes RI, 2014)
Komplikasi tersebut diantaranya adalah milier TBC, meningitis TBC, efusi pleura
(Jain et al, 2013; Panjaitan et al, 2013; Kemenkes RI, 2014; Kautsar et al, 2016).
29
pada anak. Selain faktor status gizi anak, faktor umur anak, lamanya mendapat
keluarga maupun diagnosis dini, pengobatan yang adekuat juga diyakini akan
sangat menentukan prognosis TBC paru pada anak (Jain et al, 2013; Kemenkes
infeksi lain seperti morbili, pertusis maupun diare yang berulang, yang diduga
akan sangat mempengaruhi prognosis penyakit TBC pada anak (Esposito et al,
2013; Sari et al, 2013; Jain et al, 2013; Kemenkes RI, 2014; Kautsar et al, 2016)
B. Usia Anak
Usia atau umur adalah satuan waktu, yang mengukur waktu keberadaan
suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Semisal umur
manusia dikatakan lima belas tahun, maka perhitungan awal dimulai sejak
manusia tersebut lahir hingga waktu umur itu dihitung. Selain itu, umur juga dapat
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
Menurut definisi WHO, batasan usia anak adalah sejak anak di dalam
sejak tahun 1990, bagian 1 pasal 1 yang dimaksud dengan anak adalah setiap
berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Di negara
berusia kurang dari 15 tahun berjumlah sekitar 40-50% dari seluruh populasi
manusia di seluruh dunia. Oleh sebab itu, tingginya jumlah usia anak di negara
TBC anak dari tahun ke tahun (Sari et al, 2013; Husna et al, 2016)
Presentase semua kasus TBC pada anak berkisar antara 3% sampai 25% dari
sebagian besar anak tertular penyakit TBC berasal dari pasien TBC dewasa. Oleh
sebab itu, dalam penanggulangan TBC anak, sangat penting untuk mengerti
gambaran epidemiologi TBC pada dewasa. Timbulnya penyakit TBC paru pada
anak, tidak lepas dari sejumlah faktor risiko, diantaranya adalah kondisi anak itu
sendiri, tingkat pendidikan orang tua, pemahaman tentang penularan TBC paru,
kesehatan lingkungan serta budaya/kebiasaan (Sari et al, 2013; Husna et al, 2016)
31
penderita TBC anak dilaporkan banyak menyerang pada kelompok usia 5 hingga
<14 tahun. Sedangkan anak yang berusia ≤5 tahun, akan mempunyai resiko yang
lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TBC karena imunitas
selulernya belum berkembang sempurna (imatur). Akan tetapi, resiko sakit TBC
ini akan berkurang secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Pada bayi
yang terinfeksi TBC, 43% akan menjadi sakit TBC. Anak berusia 1-5 tahun yang
telah menderita sakit TBC adalah sebesar 24%, usia remaja sebesar 15% dan
berusia dewasa 5-10%. Anak yang berusia <5 tahun mempunyai resiko yang lebih
tinggi mengalami TBC diseminata (seperti TB milier dan meningitis TB) dengan
angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Esposito et al, 2013; Sari et al,
Tingginya jumlah penderita TBC pada anak tersebut, juga tidak dapat
dilepaskan dari fakta pada kelompok usia tersebut, anak telah mengenal dunia
positif akan jauh lebih besar. Selain itu, kelompok usia anak kurang dari 14 tahun,
diyakini sudah bisa bermain dan mengenal banyak orang diluar rumahnya,
sehingga anak akan memiliki kemungkinan lebih besar kontak dengan penderita
Selain itu, penegakkan diagnosis TBC pada anak juga masih menjadi
masalah. Berbeda halnya pada usia dewasa, dimana penegakkan TBC dapat
sebab itu, sulitnya konfirmasi diagnosis TBC pada anak dapat mengakibatkan
penanganan TBC anak terabaikan, yang pada akhirnya akan dapat semakin
meningkat jumlah penderita secara keseluruhan (Jain et al, 2013; Husna et al,
2016)
Namun demikian, yang tidak kalah penting dari masalah TBC pada anak,
TBC pada anak akan sangat tergantung pada orang tua serta orang-orang
disekitarnya. Kesadaran, perhatian serta kepedulian yang tinggi baik dari orang
tua maupun orang yang berada disekitar anak penderita TBC, akan sangat
misalnya dahak, bilasan lambung atau bahkan cairan otak. Namun demikian pada
disebabkan oleh dugaan terjadinya proses infeksi primer pada anak. Pada infeksi
TBC primer, sering kali tidak menunjukkan gejala yang khas. Hal ini oleh
sebagian klinisi maupun peneliti juga dianggap sebagai infeksi TBC laten. Infeksi
TBC laten pada anak, diperkirakan akan lebih mungkin berkembang menjadi
33
penyakit yang serius bila dibanding dengan TBC pada dewasa. Hal ini diyakini
sistem imun yang belum berkembang secara sempurna (immature) pada balita.
berusia kurang dari 5 tahun, juga diyakini dapat menjadi penyebab sulitnya
menegakkan diagnosis pasti TBC pada anak (Panjaitan et al, 2013; Sari et al,
2013)
diagnosis pasti pada anak, khususnya pada sarana pelayanan kesehatan dengan
faslitas yang terbatas, maka dibuatlah sistem skoring. Sistem skoring yang
menghitung setiap bobot poin terhadap sejumlah gejala maupun tanda klinis yang
dijumpai. Sehingga diharapkan, sistem skoring TBC ini akan dapat sangat
Anak, maka diagnosis TBC anak dapat di golongkan menjadi 2, yaitu diagnosis
diagnosis tipe klinis (berdasarkan skoring bobot point klinis) (Esposito et al, 2013;
Panjaitan et al, 2013; Sari et al, 2013; Kautsar et al, 2016; Kemenkes RI, 2016).
34
Status gizi (nutritional status) adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh
keseimbangan antara asupan zat gizi yang masuk kedalam tubuh dari makanan
dengan kebutuhan atau penggunaan zat gizi tersebut oleh tubuh. Oleh sebab itu,
setiap individu memerlukan asupan zat gizi yang berbeda beda, tergantung pada
usia, jenis kelamin, aktivitas fisik, berat badan serta tinggi badan (Patiung et al,
2014)
Pada keadaan di mana terjadi kekurangan asupan gizi dari makanan, maka
yang tersimpan pada jaringan tubuh itu sendiri. Keadaan ini akan terlihat dengan
merosotnya volume jaringan tersebut, yang dapat ditandai dengan penurunan berat
perubahan kimia dalam darah dan urin, perubahan ini juga akan diikuti dengan
perubahan fungsi maupun anatomi tubuh, dimana tubuh akan menjadi lemah dan
muncul tanda khusus, misalnya kwashiorkor (Patiung et al, 2014; Jayani, 2015;
zat gizi oleh tubuh, yaitu faktor primer dan faktor sekunder. Faktor primer terjadi
akibat dari faktor makanan itu sendiri, dimana makanan yang dimakan secara
tidak tepat baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal yang sering terjadi pada
faktor primer adalah terjadinya kekurangan pangan, dimana dapat terjadi karena
tentang pentingnya zat gizi serta adanya pantangan pada jenis makan tertentu yang
35
sekunder terjadi akibat adanya gangguan pada tubuh dalam pemanfaatan zat gizi
tersebut. Gangguan tersebut antara lain dapat terjadi pada gigi geligi, gangguan
gangguan absorsi zat gizi yang terdapat pada makanan, selain dapat terjadi akibat
adanya parasit pada sistem pencernaan bagian bawah, juga dapat terjadi akibat
adanya penggunaan obat obat tertentu. Namun demikian, penyakit kronis diabetes
militus, penyakit hati serta kanker, juga diyakini oleh sebagian peneliti dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pada fungsi pemanfaatan zat gizi oleh tubuh
Namun menurut UNICEF, penyebab status gizi kurang maupun gizi buruk
dapat dibedakan menjadi faktor langsung maupun faktor tidak langsung. Faktor
langsung meliputi ada tidaknya bahan makan yang dikonsumsi serta ada tidaknya
tentang makanan bergizi, kesalahan pada pola asuh anak, budaya serta
pemahaman yang salah tentang makanan bergizi (Handayani et al, 2012; Patiung
et al, 2014)
Kelompok usia yang paling rentan terhadap masalah gizi yaitu pada usia
balita. Oleh sebagian ahli, hal ini sering dihubungkan dengan keberadaan sistem
imunitas pada balita yang belum terbentuk dengan sempurna. Selain itu, pada
anak yang sering terkena infeksi dan kekurangan gizi, juga sering dilaporkan akan
dari keadaan tubuh yang dipengaruhi oleh zat-zat gizi tertentu. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Prayitami dkk, tentang hubungan antara fase pengobatan
terdapat hubungan yang signifikan antara fase pengobatan dengan status gizi
anak penderita tuberkulosis (Handayani et al, 2012; Patiung et al, 2014; Husna et
al, 2016)
Pada anak yang sedang sakit, pemenuhan kebutuhan nutrisi menjadi sangat
penting, hal ini disebabkan karena selain nutrisi tetap diperlukan untuk
medis serta menurunkan morbiditas dan mortalitas, nutrisi juga tetap diperlukan
untuk dapat memelihara tumbuh kembang anak yang sedang sakit tersebut. Secara
(BB) dan panjang badan (PB) atau (BB/PB), atau dengan membandingkan berat
badan dan tinggi badan (TB) atau (BB/TB). Grafik pertumbuhan yang digunakan
sebagai acuan adalah grafik WHO 2006 untuk anak kurang dari 5 tahun dan grafik
CDC 2000 untuk anak lebih dari 5 tahun. Grafik WHO 2006 yang digunakan
untuk anak usia 0-5 tahun mempunyai keunggulan metodologi di banding CDC
2000. Subyek penelitian yang digunakan pada WHO 2006 berasal dari 5 benua
37
anak usia diatas 5 tahun hingga 18 tahun digunakan grafik CDC 2000, karena
grafik WHO 2006 tidak mempergunakan data BB/TB, bahkan data dari WHO
2006 merupakan smoothing dari NCHS 1981 (Patiung et al, 2014; Jayani, 2015;
2015)
penyakit TBC perlu dilakukan baik pada tahap awal pentalaksaan maupun pada
dilakukan setiap minggu pada tahap awal dan akan dilakukan setiap bulan pada
tahap lanjutan. Oleh sebab itu, selama proses pengobatan TBC pada anak, akan
penderita TBC anak (Nurmadya et al, 2015; Permani, 2015; Pratiwi et al, 2016)
Evaluasi klinis pada TBC anak merupakan parameter terbaik untuk menilai
OAT tetap dihentikan (Dotulong et al, 2015; Sari et al, 2013; Kautsar et al, 2016)
berkembang, hal ini juga sangat berhubungan erat dengan banyaknya faktor yang
bentuk puyer (baik tunggal maupun kombinasi) pada balita mempunyai efek yang
tentang penggunaan OAT FDC pada penderita TBC anak. Namun demikian,
masalah pemberian OAT bentuk tablet tersebut pada anak (terutama anak kurang
dari 1 tahun). Sulitnya pemberian OAT FDC pada penderita TBC anak akan
2014)
sama lain. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa kelompok usia yang paling
rentan terhadap masalah gizi yaitu pada usia balita, hal ini sesuai dengan temuan
sejumlah penelitian yang melaporkan bahwa pada penderita TBC anak hampir
39
selalu memiliki status gizi buruk. Hal ini selain dapat disebabkan karena terdapat
penurunan nafsu makan pada penderita TBC, atau sebaliknya dimana status gizi
buruk dapat menyebabkan penurunan daya tahan tubuh yang pada akhirnya dapat
penelitian juga menyebutkan bahwa dengan status gizi kurang, seorang anak akan
memiliki risiko lebih besar untuk menderita TBC paru berat dibandingkan dengan
anak dengan status gizi cukup atau lebih. Bahkan sebaliknya, dengan status gizi
yang baik, seorang anak selain akan memiliki fase penyembuhan penyakit TBC
yang lebih singkat dibanding dengan anak dengan status gizi kurang, juga diyakini
akan memiliki prosentase yang lebih besar untuk tidak terjadi TBC paru dengan
tentukan oleh beberapa faktor. Namun demikian, faktor yang sangat menentukan
tersebut adalah status gizi. Pada anak penderita TBC dengan status gizi yang baik,
akan sangat menguntungkan bagi anak penderita TBC tersebut, sebab selain akan
dapat mencegah terjadinya komplikasi, status gizi yang baik juga akan membantu
fase penyembuhan penyakit TBC pada anak. Hal ini dapat terjadi karena zat gizi
zat gizi tersebut juga akan mampu mencegah terjadinya kerusakan organ/jaringan
tubuh lebih lanjut akibat perkembangan proses infeksi yang akan terjadi, maupun
yang sedang terjadi (Patiung et al, 2014; Wokas et al, 2015; Pratiwi et al, 2016).
40
G. Kerangka Teori
41
H. Kerangka Pikir
Respon
Tipe Diagnosis Pengobatan
TBC Anak
I. Hipotesis
Terdapat hubungan antara kelompok usia, tipe diagnosis dan status gizi
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
case control study. Selain itu, dalam penelitian ini akan menggunakan metode
variabel tergantung/dependent variable dilakukan satu kali pada saat yang sama.
1. Tempat
2. Waktu
C. Populasi
1. Definisi Populasi
paru anak yang berobat ke puskesmas dan rumah sakit wilayah dinas
44
sebagai berikut :
Kriteria inklusi :
secara lengkap.
lengkap.
Kriteria eksklusi :
2. Besar Sampel
n1 = n2 = (Z√2 PQ + Z√P1Q1+P2Q2)2
n1 = n2 =
(P1-P2) 2
nn11 =
=nn22 = (1,96√ 2 (35 x (-34)) + 0,842√(-1,23) x (-4)+(-0,13) x (-64)2
((-1,23) – (-0,13))2
Keterangan :
n = Jumlah sampel
P1 = Proporsi kasus
P2 = Proporsi kontrol
sehingga akan dibulatkan menjadi 30. Oleh sebab itu, pada penelitian
kasus.
dalam penelitian ini, akan dimulai sejak bulan Mei 2018 hingga selesai.
D. Variabel Penelitian
Kelomok usia anak, tipe diagnosis dan status gizi anak penderita
tuberkulosis
E. Definisi Operasional.
1. Usia anak.
Alat ukur : Menghitung sejak tanggal lahir, akan ada kelompok usia
2. Tipe diagnosis.
Cara ukur : Mengukur berat badan dan tinggi badan, dengan melihat
dan gizi tidak normal (status gizi kurang, status gizi buruk
F. Pelaksanaan Penelitian.
1. Persiapan.
2. Persiapan penelitian.
kesahatan. Data pasien tersebut antara lain : nama, jenis kelamin, usia,
alamat, berat badan, tinggi badan, tipe diagnosis dan respon pengobatan
3. Prosedur penelitian.
d. Mencatat data rekam medik pasien TBC anak yang meliputi : nama
anak penderita TBC, usia anak, jenis kelamin pasien TBC anak,
G. Analisis Data
Tehnik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif, menentukan odd rasio, serta melakukan analisis regresi logistik
ganda terhadap beberapa faktor resiko pada setiap populasi dalam penelitian ini.
H. Etika Penelitian
Surakarta. Ijin penelitian akan dikeluarkan setelah melalui proses yang ditandai
I. Alur Penelitian
Sampel penelitian
Respon pengobatan
TBC paru anak
Analisis statistik
Keterangan :
: Variabel bebas
: Variabel terikat
BAB IV
HASIL PENELITIAN
53
Data dasar penelitian ini meliputi usia penderita TBC anak, tipe diagnosis
Berdasarkan tabel 4.1, maka secara umum dapat buat ringkasan data
gambaran usia, tipe diagnosis dan status gizi dari 30 penderita TBC anak yang
menjadi subjek dalam penelitian ini, seperti pada tabel 4.2. Pada tabel 4.2
diketahui bahwa sebagian besar penderita TBC anak, yaitu sekitar 37 anak
(61,7%) merupakan anak berusia <5 tahun, dan hanya berjumlah sekitar 23 anak
Tipe diagnosis sebagian besar subjek dalam penelitian ini, adalah dengan
tipe diagnosis klinis, yaitu berjumlah sekitar 52 anak (86,7%), sedangkan tipe
(13,3%).
Berdasarkan tabel 4.2 juga diketahui bahwa, hampir sebagian besar status
gizi anak yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah kategori kurang/buruk
yaitu ada 36 anak (60,0%). Sedangkan anak yang memiliki status gizi baik dalam
Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa, penderita TBC anak yang memiliki
usia <5 tahun, cenderung akan mengalami respon pengobatan >6 bulan, yaitu
berjumlah sekitar 24 anak (80,0%). Sedangkan penderita TBC anak berusia >5
didapatkan nilai OR = 5,231 (1,657-16,515), hal ini dapat berarti bahwa penderita
TBC anak yang berusia <5 tahun, akan beresiko 5,231 kali lebih besar mengalami
respon pengobatan TBC >6 bulan, apabila dibandingkan dengan penderita TBC
Tabel 4.3 Analisis Pengaruh Usia Terhadap Respon Pengobatan TBC Anak.
Pengobatan
Variabel >6 bulan 6 bulan OR (95%CI) p-value
(n=30) (n=30)
Usia
<5 tahun 24 (80.0%) 13 (43.3%) 5,231 (1.657-16.515) 0,003
>5 tahun 6 (20.0%) 17 (56.7%)
hubungan yang signifikan antara usia penderita TBC anak dengan respon
dengan tipe diagnosis klinis, memiliki respon pengobatan >6 bulan sebanyak 27
anak (90,0%).
0,556 (0,120-2.569). Hal ini dapat berarti bahwa, penderita TBC anak dengan tipe
TBC >6 bulan, bila dibandingkan dengan penderita TBC anak dengan tipe
diagnosis klinis. Sedangkan bila berdasarkan hasil uji fisher exact test, didapatkan
bahwa nilai p-value = 0,706 (p>0,05), hal ini dapat berarti bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara tipe diagnosis penderita TBC anak dengan
Tabel 4.4 Analisis Pengaruh Tipe Diagnosis Terhadap Respon Pengobatan TBC
Anak.
Pengobatan
Variabel > 6 bulan 6 bulan OR (95%CI) p-value
(n=30) (n=30)
Tipe Diagnosis
Bakteriologis 3 (10.0%) 5 (16.7%) 0,556 (0,120-2.569) 0,706
Klinis 27 (90.0%) 25 (83.3%)
sebanyak 25 anak (83,3%) memiliki status gizi kurang, serta dengan respon
pengobatan >6 bulan. Sedangkan sekitar 19 anak penderita TBC (63,3%) meiliki
Berdasarkan hasil pengujian risk estimate yang dihitung sesuai data dalam
penelitian ini, maka didapatkan nilai OR = 8,636 (2,566-29,073). Hal ini dapat
diartikan bahwa, kelompok penderita TBC anak dengan status gizi kurang/buruk
akan memiliki resiko 8,636 kali lebih besar mengalami respon pengobatan TBC
>6 bulan, apabila dibandingkan dengan kelompok penderita TBC anak dengan
Sedangkan bila berdasarkan hasil uji fisher exact test, didapatkan bahwa
nilai p-value = 0,000 (p<0,05), hal ini dapat berarti bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara status gizi dengan respon pengobatan pada TBC anak.
Tabel 4.5 Analisis Pengaruh Status Gizi Terhadap Respon Pengobatan TBC
Anak.
57
Pengobatan
Variabel >6 bulan 6 bulan OR (95%CI) p-value
(n=30) (n=30)
Status Gizi
Kurang/buruk 25 (83.3%) 11 (36.7%) 8,636 (2.566-29.073) 0,000
Baik 5 (16.7%) 19 (63.3%)
variabel manakah dalam penelitian ini yang memiliki pengaruh besar terhadap
respon pengobatan pada penderita TBC anak. Dalam penelitian ini, analisis
yaitu usia dan status gizi. Berdasarkan hasil analisis multivariat, maka didapatkan
Tabel 4.6 Analisis Pengaruh Usia Dan Status Gizi Terhadap Respon
Pengobatan TBC Anak.
Variabel OR (95%CI) p-value
Usia 3.096 (0,869 –11,025) 0,081
Status Gizi 6.192 (1,736 –22,078) 0,005
Berdasarkan tabel 4.6, diketahui bahwa dalam penelitian ini usia tidak
dengan nilai OR =3.096 (0,869 –11,025). Namun bila dibandingkan dengan status
gizi, maka dalam penelitian ini status gizi merupakan satu-satunya variabel yang
memiliki pengaruh paling besar terhadap respon pengobatan TBC pada anak
diketahui bahwa penderita TBC anak dengan status gizi kurang/buruk akan tetap
memiliki beresiko yang tinggi dengan nilai OR = 6.192 (1,736 –22,078), hal ini
58
dapat berarti bahwa status gizi kurang/buruk memiliki sekitar 6.192 kali lebih
BAB V
59
PEMBAHASAN
beresiko terhadap respon pengobatan TBC >6 bulan. Hal ini sesuai pada analisis
(p=0,081). Sehingga berdasarkan uraian diatas, maka dapat disebutkan bahwa usia
tidak berhubungan secara signifikan dengan respon pengobatan TBC pada anak.
Hasil penelitian ini sesuai dengan sejumlah teori yang menjelaskan bahwa
respon pengobatan TBC pada anak sangat dipengaruhi oleh banyak faktor.
pengobatan TBC pada anak diantaranya adalah faktor kesulitan pemberian FDC
OAT pada anak balita (terutama dibawah usia 1 tahun), potensi kecenderungan
terjadinya gizi buruk pada anak balita, status sosial ekonomi dan budaya serta adat
istiadat (Setyanto, 2012; Pratiwi et al, 2016). Pada uraian diatas disebutkan bahwa
usia anak juga dapat menentukan dalam respon pengobatan TBC, khususnya
hanya pada anak dibawah usia kurang dari 1 tahun. Hal ini sering dihubungkan
pada anak balita khususnya yang berusia kurang dari 1 tahun. Hal ini lebih
disebabkan karena pada anak berusia kurang dari 1 tahun, akan sangat kesulitan
menelan OAT FDC yang dalam bentuk tablet. Kesulitan pemberian OAT FDC
60
dapat berdampak pada respon pengobatan TBC pada anak akan menurun, bahkan
Namun demikian, tingkat kesulitan pemberian OAT FDC ini akan sangat
tergantung pada orang tua penderita dan petugas kesehatan. Pada orang tua yang
memiliki kesadaran yang tinggi dan perhatian yang tinggi terhadap pengobatan
TBC anak, akan selalu berusaha memberikan pengobatan sesuai aturan. Hal ini
dapat dibuktikan bahwa dalam penelitian ini terdapat beberapa penderita TBC
anak yang berhasil dinyatakan sembuh setelah menjalani pengobatan TBC anak.
secara bakteriologis dan secara klinis. Diagnosis TBC anak yang paling tepat
pada penderita, misalnya dahak, bilasan lambung atau bahkan cairan otak. Namun
sulit dan bahkan jarang didapat. Oleh sebab itu, hampir besar penelitian
melaporkan bahwa tipe diagnosis klinis merupakan diagnosis TBC anak yang
paling sering dilaporkan. Pada tipe diagnosis klinis, diagnosis didasarkan pada
gejala klinis yang ada pada anak terduga TBC. Setelah dilakukan anamnesis,
dengan sistem skoring. anak terduga TBC dengan jumlah skor >6 (sama atau lebih
dari 6), harus di tatalaksana sebagai pasien TBC dan mendapat pengobatan
dengan obat anti tuberkulosis (OAT). Namun bila skor kurang dari 6 tetapi secara
sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi
pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan dll (Salazar et al, 2001;
Murniasih et al, 2010). Munculnya gejala pada anak, diduga telah terjadi infeksi
khususnya balita di bawah usia 1 tahun sangat jarang dilaporkan (Panjaitan et al,
Oleh sebab itu, baik diagnosis bakteriologis maupun diagnosis klinis, akan
memiliki gambaran yang hampir sama. Sehingga baik pada tipe diagnosis
dengan respon pengobatan TBC, dimana anak dengan status gizi kurang atau
buruk maka cenderung beresiko terhadap terjadinya pengobatan TBC >6 bulan.
status gizi juga masih berhubungan secara signifikan dengan respon pengobatan
TBC. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa dalam penelitian ini, staus gizi
bahwa, hampir sebagian besar penderita TBC anak memiliki status gizi yang lebih
buruk, bila dibandingkan dengan orang yang sehat. Hal ini diduga terjadi akibat
berat badan pada penderita TBC anak. Pada keadaan diduga juga telah terjadi
jaringan tubuh itu sendiri. Keadaan ini akan terlihat dengan merosotnya volume
jaringan tubuh tersebut. Proses ini akan dapat ditandai dengan penurunan berat
63
perubahan kimia dalam darah dan urin, perubahan ini juga akan diikuti dengan
perubahan fungsi maupun anatomi tubuh, dimana tubuh akan menjadi lemah dan
muncul tanda khusus (Patiung et al, 2014; Jayani, 2015; Kemenkes RI, 2016).
Selain itu, status gizi buruk juga akan dapat menyebabkan penurunan sistem
dengan penelitian yang dilakukan oleh Alsagaf dan Mukty tahun 2004, yang
memerlukan bahan baku protein maupun karbohidrat. Oleh sebab itu, dengan
status gizi buruk pada anak, maka proses produksi antibodi dan limfosit akan
infeksi pada anak, khususnya yang menderita gizi buruk (Husna et al, 2016).
Sistem pertahanan tubuh manusia, terdiri dari pertahanan spesifik dan nonspesifik.
Limfosit merupakan salah satu pertahanan tubuh spesifik tingkat seluler, dimana
Oleh sebab itu, pada anak dengan dengan status gizi buruk, hampir dapat
64
dipastikan akan mempunyai fase pengobatan yang lebih lama, bila dibandingkan
dengan anak yang memiliki status gizi baik. Kuatnya hubungan antara status gizi
antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Prayitami dkk, tentang hubungan
antara fase pengobatan dengan status gizi pada penderita tuberkulosis anak di
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara fase pengobatan dengan status
gizi anak penderita tuberkulosis (Handayani et al, 2012; Patiung et al, 2014;
Kelompok usia yang paling rentan terhadap masalah gizi adalah usia balita.
Hal ini diduga berkaitan erat dengan sistem imun yang belum terbentuk secara
sempurna pada usia balita. Oleh karena sangat pentingnya status gizi tersebut,
maka sejumlah ahli menyimpulkan bahwa, status gizi merupakan ekspresi dari
keadaan tubuh yang sangat dipengaruhi oleh zat-zat gizi tertentu, serta
Patiung et al, 2014; Husna et al, 2016; Prayitami et al, 2012; Wokas et al, 2015).
4. Keterbatasan Penelitian.
berdasarkan pada rekam medik pasien (data berat badan dan data tinggi badan),
BAB VI
65
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Anak usia kurang dari 5 tahun secara signifikan beresiko terhadap respon
pengobatan TBC > 6 bulan, tetapi usia bukan variabel yang dominan
TBC anak.
B. Implikasi
1. Implikasi Teoritis
terserang penyakit. Menurut WHO tahun 2002 gizi kurang berperan pada
2. Implikasi Metodologi
kualitas penelitian.
3. Implikasi Praktis
penderita.
C. Saran