Anda di halaman 1dari 67

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit tuberkulosis atau sering disingkat penyakit TBC, merupakan

penyakit yang pengendaliannya termasuk dalam komitmen global Millenium

Development Goals (MDGs). Berdasarkan data Global Report tahun 2015,

terdapat 9,6 juta penderita TBC baru, dan 58% diantaranya berada wilayah Asia

Tenggara. Indonesia berdasarkan data WHO, termasuk salah satu negara endemis

TBC di dunia. Menurut kriteria negara endemis TBC, diperkirakan jumlah

penderita TBC anak mencapai 12% hingga 20% dari temuan seluruh kasus TBC

di Indonesia (Lestari et al, 2011; Dotulong et al, 2015; Yuni, 2016; Wijaya, 2017)

Pada penderita TBC anak, sesuai derajat komplikasinya digolongkan

menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok usia anak 0-5 tahun dan kelompok usia anak

5-14 tahun. Kelompok usia anak dibawah 5 tahun, memiliki angka kejadian

komplikasi yang tinggi bila dibanding anak usia diatas 5 tahun. Hal ini sesuai

penelitian Hardiyanti Veni dkk tahun 2012, yang menemukan bahwa proporsi

komplikasi TBC anak tertinggi terjadi pada kelompok usia 0-4 tahun (57,4%).

Keadaan ini juga sesuai dengan data pada tujuh rumah sakit pusat pendidikan di

Indonesia, yang menemukan angka kejadian TBC diseminata yang tinggi terjadi

pada penderita TBC anak berusia kurang dari 5 tahun. Penyebab tersering

komplikasi TBC anak, antara lain disebabkan olah status gizi buruk/kurang, status

sosial ekonomi keluarga, latar belakang pendidikan orang tua, budaya/adat


2

istiadat, ketidak patuhan minum obat selama 6 bulan, adanya penyakit infeksi

penyerta, serta sulitnya penegakkan diagnosis dini TBC pada anak (Espasito et al,

2013; Husna et al, 2016).

Sulitnya menegakkan diagnosis pasti TBC pada anak, mengakibatkan

hingga saat ini masih sering dilaporkan terjadinya misdiagnosis pada kasus TBC

anak. Kejadian misdiagnosis yang sering dilaporkan adalah overdiagnosis yang

akan diikuti overtreatment, maupun kejadian underdiagnosis yang akan diikuti

undertreatment. Oleh sebab itu, untuk meminimalisasi terjadinya kesalahan

diagnosis tersebut, berdasarkan petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TBC

anak, diagnosis TBC pada anak dapat dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu tipe

diagnosis bakteriologis dan tipe diagnosis klinis (Safithri, 2011; Bakhtiar, 2016;

Kautsar dan Intani, 2016; Kemenkes RI, 2016)

Status gizi buruk dan penyakit TBC, merupakan permasalahan yang saling

berinteraksi satu sama lainnya. Sejumlah penelitian menemukan bahwa penderita

TBC anak lebih sering dilaporkan memiliki status gizi yang buruk atau kurang,

bila dibandingkan dengan anak yang tidak menderita TBC. Pada anak yang

menderita gizi buruk atau kurang, cenderung memiliki berat badan yang rendah,

akibatnya akan tampak kurus dan lemah sehingga rentan terserang penyakit

infeksi, diantaranya adalah penyakit TBC. Sejumlah penelitian juga menemukan

bahwa, kelompok usia yang paling rentan terhadap masalah gizi adalah pada usia

balita. Hal ini selain diduga berkaitan dengan sistem imunitas yang belum

terbentuk sempurna pada balita, gizi buruk pada balita juga dapat disebabkan oleh

sejumlah faktor, diantaranya adalah faktor pendidikan orang tua, tingkat sosial
3

ekonomi, serta adat istiadat. Selain itu, sejumlah penelitian juga melaporkan

bahwa, pada anak yang sering mengalami infeksi dan menderita gizi

buruk/kurang, juga akan dapat mengalami gangguan tumbuh kembang sehingga

akan mampu mempengaruhi tingkat kesehatan dan kecerdasan, yang pada

akhirnya dapat berpengaruh buruk terhadap masa depan anak tersebut (Prayitami

et al, 2012; Wokas et al, 2015).

Respon pengobatan TBC anak, dapat menjadi gambaran keberhasilan

pengobatan TBC anak yang telah diberikan sesuai aturan. Keberhasilan

pengobatan TBC anak, merupakan tujuan utama dari penatalaksanaan TBC

diberikan. Banyak faktor yang diduga berpengaruh terhadap respon pengobatan

TBC anak, diantaranya adalah kesulitan pemberian Fixed doses combination

(FDC) FDC OAT pada anak balita (terutama di bawah usia 1 tahun), tingginya

kasus gizi buruk pada anak, sulitnya menegakkan diagnosis TBC pada anak,

status sosial ekonomi keluarga serta latar belakang pendidikan orang tua anak

penderita TBC yang rendah (Setyanto, 2012; Kemenkes RI, 2016).

Berdasarkan uraikan diatas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian

tentang bagaimanakah hubungan antara kelompok usia, tipe diagnosis dan status

gizi penderita TBC anak dengan respon pengobatan penyakit TBC pada anak,

khususnya di wilayah kotamadya Surakarta.

Walaupun penelitian serupa telah banyak dilakukan, namun diharapkan

hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang penyakit TBC anak,

khususnya di wilayah Surakarta. Selain itu, semoga penelitian ini juga akan lebih

meningkatkan kualitas penatalaksanaan khususnya untuk penyakit TBC anak.


4

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “bagaimanakah hubungan

antara kelompok usia, tipe diagnosis dan status gizi dengan respon pengobatan

tuberkulosis anak?”

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Umum

Menganalisis bagaimanakah hubungan antara kelompok usia, tipe diagnosis

dan status gizi dengan respon pengobatan TBC anak.

2. Tujuan Khusus

a. Menganalisis hubungan antara kelompok usia dengan respon pengobatan

penyakit TBC anak.

b. Menganalisis hubungan antara tipe diagnosis dengan respon pengobatan

penyakit TBC anak.

c. Menganalisis hubungan antara status gizi dengan respon pengobatan

penyakit TBC anak.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

a. Menambah pemahaman khususnya tentang hubungan kelompok usia,

tipe diagnosis dan status gizi terhadap respon pengobatan TBC anak.

b. Manambah data tentang hubungan kelompok usia, tipe diagnosis dan

status gizi terhadap respon pengobatan TBC anak, sehingga dapat

menjadi petunjuk dalam melakukan penelitian di masa yang akan datang.


5

2. Manfaat Praktis

a. Dapat meningkatkan kualitas penatalaksanaan penyakit TBC pada anak.

b. Dapat lebih memperkaya serta menambah wawasan yang berhubungan

dengan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan

penatalaksanaan penyakit TBC, baik untuk petugas kesehatan maupun

untuk masyarakat umum.


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Tuberkulosis.

1. Definisi Penyakit Tuberkulosis Pada Anak.

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh

bakteri mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang berbagai organ tubuh

manusia, terutama paru-paru. Sedangkan definisi anak menurut IDAI adalah usia

0-18 tahun. Oleh sebab itu, definisi penyakit tuberkulosis pada anak merupakan

penyakit tuberkulosis yang terjadi pada anak berusia dari 0-18 tahun (Safithri,

2011; Kemenkes RI, 2016)

2. Anatomi dan Fisiologi Paru

Paru manusia merupakan dua buah organ yang lunak dan berongga, terdapat

di dalam mediastinum. Paru dipisahkan oleh jantung, pembuluh darah dan struktur

lain mediastinum. Masing-masing paru berbentuk konus, memiliki apeks yang

tumpul dan menjorok ke atas, serta dilapisi oleh pleura yang terikat dengan paru

pada bagian hilusnya. Pada bagian hilus pulmonalis yang terletak di bagian medial

paru, terdapat suatu lekukan di mana menjadi tempat masuknya bronkus,

pembuluh darah dan saraf ke paru-paru untuk membentuk radiks pulmonalis

(Loscalso et al, 2010; Safithri, 2011; Kemenkes RI, 2016).

Ukuran paru kanan sedikit lebih besar bila dibandingkan dengan ukuran

paru kiri. Paru kanan dipisahkan oleh fisura oblikua dan fisura horisontalis terbagi
7

menjadi 3 lobus, yaitu lobus superior, medius dan inferior. Sedangkan paru kiri

dipisahkan oleh fisura oblikua, terbagi menjadi 2 lobus, yaitu lobus superior dan

inferior (Loscalso et al, 2010; Safithri, 2011).

Gambar 2.1 Anatomi paru

Bronkus merupakan bagian dari traktus respiratorius yang memasuki hilus

paru. Setiap bronkus lobaris akan bercabang menjadi beberapa bronkus

segmentalis. Bronkus segmentalis yang masuk ke lobus paru secara struktural dan

fungsional adalah independen, dan dinamakan segmen bronkopulmonalis.

Segmen ini berbentuk piramid, mempunyai apeks yang mengarah ke radiks

pulmonalis dan basisnya mengarah ke permukaan paru-paru. Setiap segmen

dikelilingi oleh jaringan ikat, dan selain bronkus juga diisi oleh arteri, vena,

pembuluh limfe dan saraf otonom (Loscalso et al, 2010; Safithri, 2011).

Traktus respiratorius berakhir pada alveolus. Alveolus adalah kantong udara

terminal yang berhubungan erat dengan jejaring kaya pembuluh darah. Sirkulasi

pulmonal memiliki aliran udara tinggi dengan tekanan yang rendah, kurang lebih

50 mmHg. Paru-paru dapat menampung sampai 20% volume darah total, dan

hanya 10% dari volume tersebut yang tertampung dalam kapiler (Snell, 2007).
8

Sehingga dapat disebutkan bahwa, fungsi terpenting dari sistem ventilasi paru-

paru adalah berupaya terus menerus untuk memperbarui udara dalam area

pertukaran gas di paru-paru. Pertukaran gas secara difusi terjadi antara alveoli dan

pembuluh kapiler paru-paru, dan mekanisme pertukaran gas secara difusi ini

terjadi berdasarkan prinsip perbedaan tekanan parsial gas yang bersangkutan.

(Loscalso et al, 2010; Safithri, 2011).

3. Epidemiologi Tuberkulosis Anak

Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa

sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh mycobacterium

tuberculosis, dengan angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Oleh

sebab itu, sejumlah ahli menyebutkan bahwa penyakit tuberkulosis, terutama TBC

paru, masih menjadi masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang

tetapi juga di negara maju. Selain itu, beberapa penelitian juga menyebutkan

bahwa penyakit TBC tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka

kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di negara maju

(Murniasih et al, 2010)

Alabama dan Amerika, dilaporkan bahwa selama 11 tahun (1983-1993)

didapatkan 171 kasus TBC anak usia <15 tahun. Diperkirakan, di negara tersebut

jumlah kasus TBC anak per tahun mencapai 5-6% dari total kasus TBC. Di negara

berkembang, TBC pada anak berusia <15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus

TB, sedangkan di negara maju angkanya lebih rendah yaitu 5-7% (Salazar, 2001;

Yuliana, 2007; Murniasih et al, 2010; Esposito et al, 2013; Seddon et al, 2014).
9

Menurut perkiraan WHO, pada tahun 1999 jumlah kasus TBC baru di

Indonesia mencapai jumlah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian

sekitar 140.000 orang per tahun. Sedangkan berdasarkan data dari 7 rumah sakit

pusat pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998-2002), didapatkan bahwa

jumlah seluruh kasus TBC anak mencapai 1.086 jiwa. Di mana kelompok usia

terbanyak adalah 12-60 bulan (42,9%), sedangkan untuk bayi <12 bulan

didapatkan 16,5% (Yuliana, 2007; Seddon et al, 2014)

4. Etiologi Tuberkosis Paru

Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri

mycobacterium tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan

asam, sehingga dikenal juga sebagai batang tahan asam (BTA) (Yuliana, 2007;

Safithri, 2011; Esposito et al, 2013)

Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret

1882, dan untuk memberikan penghargaan serta mengenang semua jasa-jasanya,

sejumlah ahli yang lain memberikan nama bakteri tersebut menjadi bakteri Koch.

Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum

(KP) (Salazar et al, 2001; Esposito et al, 2013).

Kuman TBC (mycobacterium tuberculosis) umunya menyerang paru,

namun demikian dapat juga mengenai organ tubuh lain. Kuman TBC cepat mati

dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di

tempat yang gelap dan lembab. Sedangkan pada jaringan tubuh, kuman ini dapat
10

dormant (tertidur lama selama beberapa tahun) (Esposito et al, 2013; Vipparti et

al, 2017)

Gambar 2.2 Bakteri mycobacterium tuberkulosis (Yanti, 2017)

5. Patogenesis Terjadinya Tuberkulosis Paru

Saluran pernapasan merupakan port d entree lebih dari 98% kasus infeksi

penyakit tuberkulosis. Akibat ukurannya yang kecil (<5 µm), kuman

mycobacterium tuberculosis yang terdapat pada droplet nuklei, dapat terhirup

bersama dengan udara pernasapan, melewati sistem pertahanan mukosilier

bronkus dan akan terus berjalan hingga mencapai alveolus serta menetap di

alveolus (Safithri, 2011)

Infeksi primer merupakan saat pertama kali seseorang terpapar dengan

mycobacterium tuberculosis. Pada sebagian kasus, kuman mycobacterium

tuberculosis dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non

spesifik. Akan tetapi pada sebagian kasus, tidak seluruhnya kuman

mycobacterium tuberculosis dapat dihancurkan. Kuman mycobacterium

tuberculosis yang tidak dapat dihancurkan oleh sistem imun tubuh hospes ini,
11

akan terus berkembang biak dalam makrofag, dan akhirnya dapat menyebabkan

terjadinya lisis makrofag. Selanjutnya kuman mycobacterium tuberculosis, juga

akan membentuk terjadinya lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer

ghon (Panjaitan et al, 2013)

Kuman mycobacterium tuberculosis yang berasal dari fokus primer ghon

tersebut, dapat menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional.

Penyebaran ini akan dapat menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe

(limfangitis), serta bahkan dapat pula menyebabkan terjadinya inflamasi di

kelenjar limfe (limfadenitis). Jika fokus primer terletak pada lobus paru bagian

bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe

parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, maka

yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer,

limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (Panjaitan et al, 2013)

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman mycobacterium tuberculosis

hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa

inkubasi. Masa inkubasi kuman mycobacterium tuberculosis berlangsung selama

2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu. Pada saat terbentuknya kompleks

primer, infeksi mycobacterium tuberculosis primer dinyatakan telah terjadi.

Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TBC terbentuk,

yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein,

yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif.

Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat

sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TBC terhenti. Akan tetapi
12

sebagian kecil mycobacterium tuberculosis akan dapat tetap hidup dalam

granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, mycobacterium tuberculosis

baru yang masuk kedalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas seluler

spesifik cellular mediated immunity (CMI) (Panjaitan et al, 2013; Jain et al,

2013).

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru akan

mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi, setelah

mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Mycobacterium tuberculosis dapat

tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak

menimbulkan gejala sakit TBC (Salazar et al, 2001; Panjaitan et al, 2013)

Selain itu, kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi

dapat disebabkan oleh keberadaan fokus primer di paru atau di kelenjar limfe

regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis

atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi

akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di

jaringan paru (kavitas) (Jain et al, 2013; Esposito et al, 2013; Panjaitan et al,

2013)

Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal, yang semula berukuran normal

pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang lanjut, sehingga

akan dapat menimbulkan gejala klinis pada bronkus. Obstruksi parsial pada

bronkus akibat tekanan eksternal, akan mampu menimbulkan hiperinflamasi di

segmen distal paru, melalui mekanisme ventil. Sedangkan obstruksi total, akan

dapat menyebabkan ateletaksis pada segmen distal paru, dan nekrosis perkijuan
13

juga dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga

menyebabkan TBC endobronkial atau bahkan mampu membentuk fistula. Selain

itu, adanya massa perkijuan dapat pula menimbulkan obstruksi komplit pada

bronkus, sehingga menyebabkan munculnya pneumonitis dan ateletaksis, yang

sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi (Esposito et al, 2013)

Berdasarkan cara penyebarannya, mycobacterium tuberculosis dapat

menyebar secara limfogen maupun hematogen. Pada penyebaran secara limfogen,

kuman menyebar ke kelenjar limfe regional dengan membentuk kompleks primer.

Sedangkan penyebaran secara hematogen, secara langsung bakteri mycobacterium

tuberculosis akan dapat masuk ke dalam sirkulasi mikrovasukler pembuluh darah

paru yang terkena lesi fokus primer maupun kompleks primer. Adanya

penyebaran secara hematogen inilah, yang memungkinkan terjadinya penyakit

TBC disebut sebagai penyakit sistemik (Salazar et al, 2001; Esposito et al, 2013)

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk

penyebaran hematogenik tersamar. Melalui cara ini, bakteri mycobacterium

tuberculosis menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit, sehingga tidak

menimbulkan gejala klinis. Mycobacterium tuberculosis kemudian mencapai

berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai

vaskularisasi baik, dan paling sering di apeks paru, limpa dan kelenjar limfe

superfisialis. Selain itu, mycobacterium tuberculosis juga dapat bersarang di organ

lain seperti otak, hati, tulang, ginjal serta organ lainnya. Pada umumnya, kuman

mycobacterium tuberculosis tersebut akan mampu tetap hidup lama di sarangnya,


14

tetapi tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya (Panjaitan et al,

2013).

Sarang di bagian apeks paru disebut juga dengan fokus simon. Fokus simon

inilah yang di kemudian hari diyakini akan dapat mengalami reaktivasi berulang,

sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya penyakit TBC di daerah

apeks paru saat dewasa (Loscalso et al, 2010; Panjaitan et al, 2013)

Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun

pertama) biasanya sering terjadi komplikasi TBC. Menurut Wallgren, ada tiga

bentuk dasar TBC paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TBC

endobronkial, dan TBC paru kronik. Tuberkulosis paru kronik adalah TBC pasca

primer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam fokus yang tidak mengalami

resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering terjadi

pada remaja dan dewasa muda. Sedangkan tuberkulosis ekstrapulmonal, yang

biasanya juga merupakan manifestasi TBC pasca primer, dapat terjadi pada 25-

30% anak yang terinfeksi TBC (Esposito et al, 2013; Priyandani et al, 2014)

6. Gejala Klinis Tuberkulosis Paru

Tidak ada gejala yang khas pada penyakit tuberkulosis, namun secara klinis

dapat bedakan menjadi 2, yaitu gejala umum dan gejala khusus, yaitu :

a. Gejala umum/sistemik diantaranya adalah : 1). Demam tidak terlalu tinggi,

berlangsung lama, terjadi malam hari dan disertai keringat malam. Kadang

serangan demam dapat disertai gejala influenza ringan yang bersifat hilang

timbul, 2). Penurunan nafsu makan dan berat badan, 3). Batuk-batuk lebih
15

dari 3 minggu, dapat disertai keluarnya dahak bercampur darah, dan 4).

Malaise (Esposito et al, 2013; Jendra et al, 2015)

b. Gejala khusus, akan sangat tergantung pada organ tubuh mana yang terkena,

1). Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus, akibat penekanan kelenjar getah

bening yang membesar, maka akan menimbulkan suara "mengi", suara

nafas melemah yang disertai sesak, 2). Bila ada cairan di rongga pleura,

dapat disertai dengan keluhan sakit dada, 3). Bila mengenai tulang, maka

akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat

membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya (fistula), pada fistula

ini akan keluar cairan nanah, dan 4). Bila mengenai otak, dapat ditandai

dengan demam tinggi dan adanya penurunan kesadaran (Jendra et al, 2015).

7. Gambaran Klinis Tuberkulosis Pada Anak

Walaupun sejumlah penelitian menyebutkan bahwa, gejala TBC pada anak

dan dewasa banyak persamaan. Namun demikian, beberapa ahli membedakan

gambaran klinis TBC anak berdasarkan perjalanan penyakitnya, menjadi :

a. Tuberkulosis primer

Gambaran klinis tuberkulosis primer mayoritas pada anak, pada umumnya

relatif tidak bergejala. Namun demikian, bila terdapat gejala, biasanya akan

mulai tampak 1 hingga 6 bulan sesudah terinfeksi. Kompleks primer/focus

ghon, mungkin tidak tampak pada X-foto thorax. Namun secara umum,

tuberkulosis primer pada anak dapat dibagi menjadi TBC paru-paru, TBC

ekstra thorax dan TBC neonatus. Gejala klinis TBC paru pada anak
16

diantaranya : 1). Febris <39°c selama 1-2 minggu, menggigil (chills), batuk

lebih dari 2 minggu, anoreksia dan tampak lesu, 2). Batuk produktif (beriak)

& hemoptosis amat jarang, 3). Pada X-foto thorax (posis lateral, bila AP

“normal”) dapat dijumpai limfadenopati (pada hilum, mediastinum maupun

leher), infiltrat di segmen atau lobus, atelektasis, efusi plura dan adanya

motif milier: seperti “badai salju (Salazar et al, 2001; Panjaitan et al, 2013).

Gambar 2.3 A. Tuberkulosis primer dengan lymfadenopati para-


tracheal; B. Tuberkulosis primer infiltrat di paru-paru kanan lobus
atas, serta atelektasis.

Gejala klinis TBC extra thorax pada anak diantaranya : kelenjar superfisial

“cold abcess”, scrofula (kelenjar-kelenjar leher yang bergabung), spondilitis

pada tulang dan sendi (meliputi 40%) termasuk kyphosis dan skoliosis,

pincang, nyeri, kaki pendek serta tulang kadang tampak gambaran mastoid,

mirip dengan otits media supuratif kronis. Sedangkan gejala klinis TBC

milier pada neonatus : biasanya akan terjadi 1-3 bulan sesudah infeksi,

gejala awal akan ditandai dengan badan lemah, lesu, rewel, takikardia, serta

pada X-foto thorax akan banyak ditemukan gambaran plek kecil di semua

lobus, bagaikan “badai salju” (Salazar et al, 2001; Panjaitan et al, 2013).
17

b. Tuberkulosis sekunder

Umumnya akan terjadi pada anak remaja atau pemuda. Gejala awal

didahului dengan batuk kering yang kemudian diikuti dengan keluarnya

sputum mukus, lalu mukopurulen, lalu bercampur darah. Gejala ringan

lainnya yang mungkin ada antara lain adalah malaise, anoreksia, berat badan

menurun, serta keringat malam. Pada gambaran X-foto thorax, dapat terlihat

adanya bayangan pada apek paru, yang dapat meluas ke lobus-lobus paru,

hingga dapat memungkinkan terjadi pneumothorax, efusi pleura, dan

empyema (Salazar et al, 2001; Jain et al, 2013)

8. Penegakkan Diagnosis Tuberkulosis Pada Anak

Diagnosis tuberkulosis pada anak, dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa

(allo-anamnesa), riwayat penyakit dahulu, pemeriksaan fisik, uji tuberkulin serta

pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan radiologi.

a. Pada pemeriksaan anamnesis, akan ditandai oleh beberapa keluhan,

diantaranya adalah : 1). Berkurangnya berat badan dalam waktu 2 bulan

berturut-turut tanpa penyebab yang jelas atau gagal tumbuh, 2). Adanya

demam tanpa sebab yang jelas, terutama jika berlanjut sampai 2 minggu, 3).

Adanya batuk kronik >3 minggu, baik dengan atau tanpa wheeze serta 4).

Adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis paru dewasa (Salazar et

al, 2001; Jain et al, 2013)

b. Pemeriksaan fisik, ditandai dengan 1). Pembesaran kelenjar limfe leher,

aksila serta bahkan inguinal, 2). Pembengkakan progresif atau deformitas


18

tulang, sendi, lutut serta palang, dan 3). Uji tuberkulin positif. Namun

demikian, dapat terjadi bias negatif pada anak dengan TB milier atau juga

menderita HIV/AIDS, gizi buruk atau anak penderita campak, dan 4).

Adanya penurunan pada pengukuran berat badan menurut umur atau

pengukuran berat badan menurut panjang/tinggi badan (Salazar et al, 2001).

c. Pemeriksaan penunjang

Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan

diagnosis tuberkulosis, yaitu :

1. Uji tuberkulin. Perkembangan hipersensitivitas tipe lambat pada

individu yang terinfeksi dengan mycobacterium tuberculosis,

membuat uji tuberkulin sangat dibutuhkan. Pemeriksaan ini

merupakan alat diagnosis yang penting dalam menegakkan diagnosis

tuberkulosis. Uji multi punksi tidak seakurat uji mantoux, karena dosis

antigen tuberkulin yang dimasukkan ke dalam kulit tidak dapat di

kontrol. Uji tuberkulin lebih penting lagi artinya pada anak kecil bila

diketahui adanya konvensi dari negatif. Pada anak di bawah umur 5

tahun dengan uji tuberkulin positif, proses tuberkulosis biasanya

masih aktif meskipun tidak menunjukkan kelainan klinis dan

radiologis. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, yaitu dengan

cara mono (melalui pemberian salep/dengan goresan yang disebut

patch test cara von pirquet) dan cara mantoux, yaitu dengan

menyuntikan intrakutan dan multiple puncture method dengan 4-6

jarum berdasarkan cara Heat and Tine. Uji kulit mantoux adalah
19

injeksi intradermal 0.1 mL yang mengandung 5 unit tuberkulin (UT)

derivate protein yang dimurnikan (PPD) serta distabilkan dengan

tween 80. Hingga saat ini, cara mantoux masih dianggap sebagai cara

yang paling dapat dipertanggung jawabkan, karena jumlah tuberkulin

yang dimasukkan, dapat diketahui banyaknya. Reaksi lokal yang

terdapat pada uji mantoux terdiri atas : eritema karena vasodilatasi

perifer, edema karena reaksi antara antigen yang dimasukkan dengan

antibodi serta adanya indurasi yang dibentuk oleh sel mononukleus.

Pembacaan uji tuberkulin dilakukan 48-72 jam. Setelah penyuntikan,

ukur diameter melintang dari indurasi yang terjadi. Kadang-kadang

penderita akan mulai berindurasi lebih dari 72 jam sesudah perlakuan

uji, ini adalah hasil positif. Faktor-faktor yang berhubungan dengan

hospes, seperti umur yang amat muda, malnutrisi, immunosupresi

karena penyakit atau obat-obat, infeksi virus, vaksin virus hidup, dan

tuberkulosis yang berat, dapat menekan reaksi uji kulit mantoux pada

anak yang terinfeksi dengan mycobacterium tuberculosis. Selain itu,

pemberian terapi kortikosteroid, juga dapat menurunkan reaksi

terhadap tuberkulin, dengan pengaruh yang sangat bervariasi.

Interpretasi hasil test mantoux : 1). Indurasi 10 mm atau lebih →

reaksi positif, secara klinis dapat sedang atau pernah terinfeksi dengan

kuman mycobacterium tuberculosis, 2). Indurasi 5-9 mm → reaksi

meragukan, secara klinis diduga ada kesalahan teknik atau memang

ada infeksi dengan mycobacterium atypis atau setelah BCG. Perlu


20

diulang dengan konsentrasi yang sama. Bila reaksi kedua menjadi 10

mm atau lebih, berarti memang ada infeksi dengan mycobacterium

tuberculosis. Namun jika indurasi tetap berukuran 6-9 mm, berarti

terjadi cross reaction atau akibat pemberian BCG, namun jika tetap

berukuran 6-9 mm tetapi ada tanda – tanda lain dari tuberkulosis yang

jelas, maka haruslah dianggap sebagai adanya infeksi mycobacterium

tuberculosis berulang, dan 3). Indurasi 0-4 mm → reaksi negatif,

secara klinis memiliki arti, tidak adanya infeksi dengan

mycobacterium tuberculosis (Salazar et al, 2001). Reaksi positif palsu

terhadap tuberkulin, dapat disebabkan oleh sensitisisasi silang

terhadap antigen mikobakteria non tuberkulosis. Reaksi silang ini

biasanya bersifat sementara selama beberapa bulan sampai beberapa

tahun, dan menghasilkan indurasi kurang dari 10-12 mm. Riwayat

vaksinasi sebelumnya (BCG), juga dapat menimbulkan reaksi

terhadap uji kulit tuberkulin. Sekitar setengah dari bayi yang

mendapat vaksin BCG, tidak pernah menimbulkan uji kulit tuberkulin

reaktif, namun reaktivitas biasanya akan berkurang 2-3 tahun

kemudian, pada penderita yang pada semula memiliki uji kulit positif

(Salazar et al, 2001; Murniasih et al, 2010)

2. Pemeriksaan radiologis. Hingga saat ini pemeriksaan X-foto thorax

merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis.

Namun demikian, pemeriksaan X-foto thorax saja tidak dapat

digunakan untuk membuat diagnosis tuberkulosis, tetapi harus disertai


21

data klinis lainnya. Pemeriksaan X-foto thorax memang membutuhkan

biaya lebih mahal dibanding pemeriksaan sputum, tapi dalam

beberapa hal, pemeriksaan X-foto thorax dianggap mampu

memberikan beberapa keuntungan seperti, pada tuberculosis anak

maupun tuberkulosis millier. Hampir dapat dikatakan bahwa,

diagnosis kedua kasus tersebut akan diperoleh melalui pemeriksaan X-

foto thorax, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif.

Pada anak dengan uji tuberkulin positif, juga perlu dilakukan

pemeriksaan X-foto thorax. Gambaran radiologis paru yang biasanya

dijumpai pada tuberkulosis paru antara lain : 1). Kompleks primer

dengan atau tanpa pengapuran, 2). Pembesaran kelenjar paratrakeal,

3). Penyebaran milier, 4). Penyebaran bronkogen, 5). Atelektasis serta

6). Pleuritis yang disertai adanya efusi (Salazar et al, 2001; Esposito et

al, 2013; Sari et al, 2013)

3. Pemeriksaan laboratorium. 1). Pemeriksaan darah. Pemeriksaan ini

kurang mendapat perhatian karena hasilnya sering meragukan. Pada

saat infeksi mycobacterium tuberculosis baru terjadi, akan terjadi

peningkatan sedikit jumlah leukosit. Jumlah limfosit normal dan laaju

endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah

leukosit kembali normal dan laju endap darah mulai turun kearah

normal lagi. 2). Pemeriksaan sputum. Pemeriksaan sputum adalah

penting, karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis

tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan


22

sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang

sudah diberikan, tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk menemukan

sputum terutama pada penderita yang tidak batuk atau pada anak-

anak. Sehingga pada keadaan ini, pemeriksaan sputum kurang begitu

berhasil, karena pada anak umumnya sputum akan langsung ditelan.

Oleh sebab itu, dibutuhkan fasilitas laboratorium berteknologi tinggi,

yang berarti juga membutuhkan biaya yang besar.

Tabel 2.1 Sistem skoring penyakit TBC pada anak

Adapun bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai pemeriksaan

bakteriologi diantaranya adalah bilasan lambung, sekret bronkus,

sputum, cairan pleura, liquor cerebrospinalis dan cairan asites.

Kriteria yang digunakan pada pemeriksaan sputum BTA positif adalah

bila sekurang-kurangnya ditemukan tiga batang kuman BTA pada


23

suatu sediaan (dengan kata lain diperlukan sekitar 5.000 kuman dalam

1 ml sputum) (Kautsar et al, 2016)

Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skoring. Pasien dengan

jumlah skor >6 (sama atau lebih dari 6), harus di tatalaksana sebagai pasien TB

dan mendapat pengobatan dengan obat anti tuberkulosis (OAT). Bila skor kurang

dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan ke arah TB kuat, maka perlu dilakukan

pemeriksaan lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi,

pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan dll

(Salazar et al, 2001; Murniasih et al, 2010)

9. Diagnosis Banding Tuberkulosis Paru

Walaupun memiliki perjalanan penyakit yang berbeda, namun secara umum

terdapat beberapa penyakit yang memiliki gambaran gejala klinis mirip dengan

penyakit tuberkulosis. Beberapa penyakit tersebut antara lain pneumonia,

bronkiektasis, pneumonia aspirasi, abses paru serta kanker paru (Murniasih et al,

2010; Kautsar et al, 2016).

10. Pencegahan Penyakit Tuberkulosis.

Beberapa tindakan yang dapat dijadikan sebagai tindakan pencegahan

penyakit tuberkulosis, diantaranya adalah 1). Vaksinasi BCG. Pemberian vaksin

BCG, akan dapat meninggikan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil

tuberkulosis yang virulen. Imunitas akan muncul setelah 6 hingga 8 minggu


24

pemberian vaksin BCG. Namun demikian, imunitas yang diberikan, tidaklah

lengkap sehingga masih mungkin terjadi super infeksi, meskipun biasanya tidak

progresif, namun kadang dapat pula menimbulkan komplikasi yang berat. 2).

Kemoprofilaksis. Ada beberapa tipe kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis

primer dan kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer, diberikan pada

anak yang belum terinfeksi mycobacterium tuberculosis (uji tuberkulin negatif)

tetapi telah terjadi kontak dengan penderita TBC aktif. Obat yang digunakan

adalah INH 5-10 mg/kgBB/hari selama 2-3 bulan. Sedangkan kemoprofilaksis

sekunder, diberikan pada anak dengan uji tuberkulin positif tanpa gejala klinis,

dan X-foto thorax normal, tetapi memiliki faktor resiko menjadi TBC aktif. Obat

yang digunakan sebagai profilaksis sekunder adalah INH 5-10 mg/kgBB/hari

selama 6-12 bulan (Salazar et al, 2001; Husna et al, 2016).

11. Pengobatan Penyakit Tuberkulosis Pada Anak

Secara umum prinsip pengobatan TB pada anak terdiri atas 1). Terapi

(pengobatan) dan 2). Profilaksis (pengobatan pencegahan). Terapi TBC diberikan

pada anak yang sakit TBC, sedangkan profilaksis TBC diberikan pada anak yang

kontak dengan penderita TBC (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TBC

namun tanpa sakit TBC (profilaksis sekunder) (Kemenkes RI, 2014)

Selain itu, juga terdapat hal penting dalam tatalaksana TBC anak yang harus

diperhatikan, yaitu : obat TBC tidak boleh diberikan dalam bentuk monoterapi

(diberikan dalam bentuk kombinasi), pengobatan TBC harus disertai pemberian


25

gizi yang adekuat dan mencari penyakit penyerta (jika ada dilakukan tatalaksana

secara bersamaan) (Kemenkes RI, 2014)

Pedoman pengobatan TBC pada anak, terdiri atas :

1. OAT diberikan dalam bentuk minimal 3 macam kombinasi obat. Metode ini

selain bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi OAT, dengan cara ini

diharapkan juga dapat membunuh kuman intraseluler maupun ekstraseluler.

2. Waktu pengobatan TBC anak adalah 6 hingga 12 bulan. Tujuan pemberian

obat jangka panjang ini selain bertujuan untuk membunuh kuman, juga

diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan.

3. Pengobatan TBC anak terdiri atas 2 tahap, yaitu 1). Tahap awal (intensif),

diberikan selama 2 bulan dengan menggunakan minimal 3 macam obat, dan

2). Tahap lanjutan, diberikan selama 4-10 bulan, serta tergantung pada hasil

pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya gejala.

4. Penderita TBC anak dengan gejala klinis yang berat, baik paru maupun

ekstra paru, seperti TBC milier, meningitis TBC, TBC tulang dan lainnya,

harus dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut.

5. Pada kasus TBC tertentu seperti TBC milier, efusi pleura TBC, perikarditis

TBC, TBC endobronkial, meningitis TBC maupun peritonitis TBC,

diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari yang

dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednison adalah 60 mg/hari.

Sedangkan untuk lamanya pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu

dengan dosis penuh dan dilanjutkan dengan tappering off dalam jangka

waktu yang sama. Tujuan pemberian kortikosteroid ini adalah selain untuk
26

mengurangi proses inflamasi, juga diharapkan dapat mencegah terjadinya

perlekatan jaringan.

6. Panduan penggunaan OAT untuk anak yang sering digunakan pada Program

Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia, adalah kategori anak

dengan 3 macam obat kombinasi, terdiri atas isoniasid (INH), rifampisin (R)

dan pirazinamid (Z), yang juga lebih dikenal dengan rumus 2HRZ/4HR.

7. Pada kasus TBC anak dengan kondisi tertentu, diberikan OAT kategori anak

dengan 4 macam obat pada tahap awal, yaitu 2HRZE(S)/4-10HR.

8. Sesuai panduan terapi TBC anak, OAT kategori anak diberikan dalam

bentuk paket berupa obat antituberkulosis Kombinasi Dosis Tetap (OAT

KDT). Tablet OAT KDT ini, terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat

dalam 1 tablet. Dosisnya akan disesuaikan dengan berat badan pasien.

9. OAT anak juga tersedia dalam bentuk OAT kombipak, yang digunakan

untuk pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

10. OAT kategori anak dalam bentuk kemasan Kombinasi Dosis Tetap (KDT)

atau Fixed Dose Combination (FDC), dimaksudkan untuk mempermudah

pemberian OAT, sehingga meningkatkan keteraturan minum OAT.

Berdasarkan paduan OAT, bentuk paket KDT/FDC akan terdapat pada satu

paket OAT untuk satu pasien selama satu masa pengobatan.

11. KDT untuk fase intensif, dalam satu paket KDT anak akan mengandung

rifampisin (R) 75 mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg.

Sedangkan pada KDT fase lanjutan, dalam satu paket dosis KDT akan

mengandung rifampisin (R) sebanyak 75 mg dan INH (H) sebanyak 50 mg.


27

12. Sedangkan pengobatan TBC anak ulangan, merupakan pasien anak yang

pernah mendapatkan terapi OAT secara lengkap, namun masih memiliki

keluhan gejala TBC. Pada keadaan seperti ini, perlu dilakukan evaluasi

secara komprehensif, apakah anak tersebut benar benar menderita TBC atau

tidak. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem

skoring. Apabila hasil pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka

anak diklasifikasikan sebagai kasus kambuh. Namun demikian, pada pasien

TBC anak yang pernah mendapatkan pengobatan OAT, tidak dianjurkan

untuk dilakukan uji tuberkulin ulang (Kemenkes RI, 2014).

12. Pemantauan Dan Hasil Pengobatan Tuberkulosis Anak.

Pada tahap awal pentalaksaan, pemantauan pengobatan pada pasien TBC

anak, dilakukan ketat setiap minggu. Hal ini bertujuan untuk melihat kepatuhan,

tolerensi OAT serta adanya kemungkinan efek samping yang dapat ditimbulkan

dari pemberian OAT (Salazar et al, 2001; Panjaitan et al, 2013; Kemenkes RI,

2014)

Sedangkan pada tahap lanjutan, pemantauan terhadap pasien dilakukan

setiap bulan. Setelah diberikan OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien

harus di evaluasi. Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis yang

terdapat pada awal diagnosis, terjadi berangsur angsur menghilang/berkurang,

misalnya nafsu makan meningkat, berat badan meningkat, demam menghilang

serta batuk juga berkurang. Bila respon pengobatan membaik, maka OAT dapat

dilanjutkan hingga 6 bulan. Sedangkan bila respon pengobatan tidak baik, maka
28

pengobatan tetap dilanjutkan namun pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih

lengkap. Dalam hal ini, sistem skoring hanya digunakan untuk membuat

diagnosis, bukan untuk mengevaluasi hasil pengobatan TBC (Salazar et al, 2001;

Panjaitan et al, 2013; Kemenkes RI, 2014)

Setelah pemberian OAT selama 6 bulan OAT dapat dihentikan, namun tetap

dilakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti X-foto

thorax. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan

pemantauan pengobatan TBC, karena uji tuberkulin yang positif masih akan

memberikan hasil yang positif setelah pengobatan selama 6 bulan. Meskipun

gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila

dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan

pasien dapat dinyatakan selesai (Salazar et al, 2001; Panjaitan et al, 2013;

Kemenkes RI, 2014)

Pada pasien TBC anak yang pada awal pengobatannya memiliki hasil

pemeriksaan dahak BTA positif, maka pemantauan pengobatan juga harus

dilakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur pemantauan pengobatan

TBC BTA positif (Salazar et al, 2001; Panjaitan et al, 2013; Kemenkes RI, 2014)

13. Komplikasi Penyakit Tuberkulosis

Sejumlah komplikasi dilaporkan dapat timbul pada penyakit TBC anak.

Komplikasi tersebut diantaranya adalah milier TBC, meningitis TBC, efusi pleura

TBC, peritonitis TBC, TBC tulang, pneumotoraks, bronkiektasis dan atelektasis

(Jain et al, 2013; Panjaitan et al, 2013; Kemenkes RI, 2014; Kautsar et al, 2016).
29

14. Prognosis Penyakit Tuberkulosis

Beberapa faktor telah diketahui sangat menentukan prognosis penyakit TBC

pada anak. Selain faktor status gizi anak, faktor umur anak, lamanya mendapat

infeksi, keteraturan minum OAT, kepatuhan kontrol, keadaan sosial ekonomi

keluarga maupun diagnosis dini, pengobatan yang adekuat juga diyakini akan

sangat menentukan prognosis TBC paru pada anak (Jain et al, 2013; Kemenkes

RI, 2014; Kautsar et al, 2016)

Namun demikian, sejumlah peneliti juga menyebutkan bahwa adanya

infeksi lain seperti morbili, pertusis maupun diare yang berulang, yang diduga

akan sangat mempengaruhi prognosis penyakit TBC pada anak (Esposito et al,

2013; Sari et al, 2013; Jain et al, 2013; Kemenkes RI, 2014; Kautsar et al, 2016)

B. Usia Anak

Usia atau umur adalah satuan waktu, yang mengukur waktu keberadaan

suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Semisal umur

manusia dikatakan lima belas tahun, maka perhitungan awal dimulai sejak

manusia tersebut lahir hingga waktu umur itu dihitung. Selain itu, umur juga dapat

diartikan sebagai lamanya keberadaan seseorang, berdasarkan satuan waktu di

pandang dari segi kronologik individu normal yang memperlihatkan derajat

perkembangan anatomis dan fisiologik (Kemenkes RI, 2016).

Menurut Undang Undang Republik Indonesia, nomor 23 tahun 2002 tentang

perlindungan anak, pasal 1 ayat 1, menyebutkan bahwa anak adalah seseorang


30

yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan (Kemenkes RI, 2016)

Menurut definisi WHO, batasan usia anak adalah sejak anak di dalam

kandungan sampai usia 19 tahun, sedang berdasarkan konvensi hak-hak anak

yang disetujui majelis Perserikatan Bangsa Bangsa dan di ratifikasi Indonesia

sejak tahun 1990, bagian 1 pasal 1 yang dimaksud dengan anak adalah setiap

orang yang berusia dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang

berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Di negara

berkembang, sejumlah penelitian menemukan bahwa jumlah populasi yang

berusia kurang dari 15 tahun berjumlah sekitar 40-50% dari seluruh populasi

manusia di seluruh dunia. Oleh sebab itu, tingginya jumlah usia anak di negara

berkembang yang berpotensi menderita TBC, sesuai dengan laporan sejumlah

penelitian yang menyebutkan bahwa, terjadinya peningkatan jumlah penderita

TBC anak dari tahun ke tahun (Sari et al, 2013; Husna et al, 2016)

Presentase semua kasus TBC pada anak berkisar antara 3% sampai 25% dari

seluruh presentase kasus TBC paru. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa,

sebagian besar anak tertular penyakit TBC berasal dari pasien TBC dewasa. Oleh

sebab itu, dalam penanggulangan TBC anak, sangat penting untuk mengerti

gambaran epidemiologi TBC pada dewasa. Timbulnya penyakit TBC paru pada

anak, tidak lepas dari sejumlah faktor risiko, diantaranya adalah kondisi anak itu

sendiri, tingkat pendidikan orang tua, pemahaman tentang penularan TBC paru,

status ekonomi, rendahnya perhatian yang orang tua terhadap kesehatan,

kesehatan lingkungan serta budaya/kebiasaan (Sari et al, 2013; Husna et al, 2016)
31

Berdasarkan data epidemiologi TBC terbaru mengatakan bahwa, saat ini

penderita TBC anak dilaporkan banyak menyerang pada kelompok usia 5 hingga

<14 tahun. Sedangkan anak yang berusia ≤5 tahun, akan mempunyai resiko yang

lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TBC karena imunitas

selulernya belum berkembang sempurna (imatur). Akan tetapi, resiko sakit TBC

ini akan berkurang secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Pada bayi

yang terinfeksi TBC, 43% akan menjadi sakit TBC. Anak berusia 1-5 tahun yang

telah menderita sakit TBC adalah sebesar 24%, usia remaja sebesar 15% dan

berusia dewasa 5-10%. Anak yang berusia <5 tahun mempunyai resiko yang lebih

tinggi mengalami TBC diseminata (seperti TB milier dan meningitis TB) dengan

angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Esposito et al, 2013; Sari et al,

2013; Kemenkes RI, 2014)

Tingginya jumlah penderita TBC pada anak tersebut, juga tidak dapat

dilepaskan dari fakta pada kelompok usia tersebut, anak telah mengenal dunia

diluar rumah, sehingga kemungkinan kontak dengan penderita TBC dewasa

positif akan jauh lebih besar. Selain itu, kelompok usia anak kurang dari 14 tahun,

diyakini sudah bisa bermain dan mengenal banyak orang diluar rumahnya,

sehingga anak akan memiliki kemungkinan lebih besar kontak dengan penderita

TBC dewasa positif (Safithri, 2011; Husna et al, 2016)

Selain itu, penegakkan diagnosis TBC pada anak juga masih menjadi

masalah. Berbeda halnya pada usia dewasa, dimana penegakkan TBC dapat

mudah ditegakkan dengan pemeriksaan sputum/dahak yang positif, sedangkan

pada anak-anak diagnosis TBC sulit dikonfirmasi dengan sputum/dahak. Oleh


32

sebab itu, sulitnya konfirmasi diagnosis TBC pada anak dapat mengakibatkan

penanganan TBC anak terabaikan, yang pada akhirnya akan dapat semakin

meningkat jumlah penderita secara keseluruhan (Jain et al, 2013; Husna et al,

2016)

Namun demikian, yang tidak kalah penting dari masalah TBC pada anak,

adalah proses pengobatan. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa, pengobatan

TBC pada anak akan sangat tergantung pada orang tua serta orang-orang

disekitarnya. Kesadaran, perhatian serta kepedulian yang tinggi baik dari orang

tua maupun orang yang berada disekitar anak penderita TBC, akan sangat

menentukan keberhasilan pengobatan (Esposito et al, 2013; Sari et al, 2013;

Kautsar et al, 2016; Husna et al, 2016)

C. Tipe Diagnosis Tuberkulosis Anak

Penegakkan diagnosis TBC anak yang paling tepat adalah dengan

menemukan mycobacterium tuberculosis dari bahan yang diambil pada penderita,

misalnya dahak, bilasan lambung atau bahkan cairan otak. Namun demikian pada

anak-anak, penemuan mycobacterium tuberculosis akan sangat sulit dan bahkan

jarang didapat (Kautsar et al, 2016; Husna et al, 2016).

Sulitnya menegakkan diagnosis pada TBC anak, oleh sejumlah peneliti

disebabkan oleh dugaan terjadinya proses infeksi primer pada anak. Pada infeksi

TBC primer, sering kali tidak menunjukkan gejala yang khas. Hal ini oleh

sebagian klinisi maupun peneliti juga dianggap sebagai infeksi TBC laten. Infeksi

TBC laten pada anak, diperkirakan akan lebih mungkin berkembang menjadi
33

penyakit yang serius bila dibanding dengan TBC pada dewasa. Hal ini diyakini

berhubungan dengan kemampuan hospes yang rendah melawan infeksi, akibat

sistem imun yang belum berkembang secara sempurna (immature) pada balita.

Selain itu, rendahnya kemampuan eksploitasi sputum/dahak pada anak yang

berusia kurang dari 5 tahun, juga diyakini dapat menjadi penyebab sulitnya

menegakkan diagnosis pasti TBC pada anak (Panjaitan et al, 2013; Sari et al,

2013)

Oleh sebab itu, untuk mengatasi permasalahan sulitnya menegakkan

diagnosis pasti pada anak, khususnya pada sarana pelayanan kesehatan dengan

faslitas yang terbatas, maka dibuatlah sistem skoring. Sistem skoring yang

digunakan di Indonesia disusun oleh UKK Respiratori IDAI. Pedoman nasional

tuberkulosis anak dengan menggunakan sistem skoring, yaitu dilakukan dengan

menghitung setiap bobot poin terhadap sejumlah gejala maupun tanda klinis yang

dijumpai. Sehingga diharapkan, sistem skoring TBC ini akan dapat sangat

membantu memudahkan tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam

mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana, sehingga

akan mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TBC (Safithri,

2011; Kemenkes RI, 2016)

Dengan demikian, sesuai Petunjuk Teknis Pedoman Nasional Tuberkulosis

Anak, maka diagnosis TBC anak dapat di golongkan menjadi 2, yaitu diagnosis

tipe bakteriologis (berdasarkan temuan mycobacterium tuberculosis) dan

diagnosis tipe klinis (berdasarkan skoring bobot point klinis) (Esposito et al, 2013;

Panjaitan et al, 2013; Sari et al, 2013; Kautsar et al, 2016; Kemenkes RI, 2016).
34

D. Status Gizi Anak

Status gizi (nutritional status) adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh

keseimbangan antara asupan zat gizi yang masuk kedalam tubuh dari makanan

dengan kebutuhan atau penggunaan zat gizi tersebut oleh tubuh. Oleh sebab itu,

setiap individu memerlukan asupan zat gizi yang berbeda beda, tergantung pada

usia, jenis kelamin, aktivitas fisik, berat badan serta tinggi badan (Patiung et al,

2014)

Pada keadaan di mana terjadi kekurangan asupan gizi dari makanan, maka

tubuh berusaha memenuhi kebutuhan gizinya dengan menggunakan cadangan gizi

yang tersimpan pada jaringan tubuh itu sendiri. Keadaan ini akan terlihat dengan

merosotnya volume jaringan tersebut, yang dapat ditandai dengan penurunan berat

badan atau terhambatnya pertumbuhan tinggi badan. Selain akan terjadi

perubahan kimia dalam darah dan urin, perubahan ini juga akan diikuti dengan

perubahan fungsi maupun anatomi tubuh, dimana tubuh akan menjadi lemah dan

muncul tanda khusus, misalnya kwashiorkor (Patiung et al, 2014; Jayani, 2015;

Kemenkes RI, 2016)

Menurut Almetsier, terdapat dua faktor yang mempengaruhi pemanfaatan

zat gizi oleh tubuh, yaitu faktor primer dan faktor sekunder. Faktor primer terjadi

akibat dari faktor makanan itu sendiri, dimana makanan yang dimakan secara

tidak tepat baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal yang sering terjadi pada

faktor primer adalah terjadinya kekurangan pangan, dimana dapat terjadi karena

adanya ketidakmampuan untuk menyediakan makanan, pengetahuan yang rendah

tentang pentingnya zat gizi serta adanya pantangan pada jenis makan tertentu yang
35

sebenarnya makanan tersebut merupakan sumber zat gizi. Sedangkan faktor

sekunder terjadi akibat adanya gangguan pada tubuh dalam pemanfaatan zat gizi

tersebut. Gangguan tersebut antara lain dapat terjadi pada gigi geligi, gangguan

sistem pencernaan serta adanya gangguan enzim-enzim pencernaan. Selain itu,

gangguan absorsi zat gizi yang terdapat pada makanan, selain dapat terjadi akibat

adanya parasit pada sistem pencernaan bagian bawah, juga dapat terjadi akibat

adanya penggunaan obat obat tertentu. Namun demikian, penyakit kronis diabetes

militus, penyakit hati serta kanker, juga diyakini oleh sebagian peneliti dapat

menyebabkan terjadinya gangguan pada fungsi pemanfaatan zat gizi oleh tubuh

(Patiung et al, 2014)

Namun menurut UNICEF, penyebab status gizi kurang maupun gizi buruk

dapat dibedakan menjadi faktor langsung maupun faktor tidak langsung. Faktor

langsung meliputi ada tidaknya bahan makan yang dikonsumsi serta ada tidaknya

penyakit. Sedangkan faktor tidak langsung meliputi kurangnya pengetahuan

tentang makanan bergizi, kesalahan pada pola asuh anak, budaya serta

pemahaman yang salah tentang makanan bergizi (Handayani et al, 2012; Patiung

et al, 2014)

Kelompok usia yang paling rentan terhadap masalah gizi yaitu pada usia

balita. Oleh sebagian ahli, hal ini sering dihubungkan dengan keberadaan sistem

imunitas pada balita yang belum terbentuk dengan sempurna. Selain itu, pada

anak yang sering terkena infeksi dan kekurangan gizi, juga sering dilaporkan akan

mudah mengalami gangguan tumbuh kembang yang akan mempengaruhi tingkat


36

kesehatan, kecerdasan dan produktivitas di masa dewasa (Patiung et al, 2014;

Husna et al, 2016)

Pendapat para ahli menyimpulkan bahwa, status gizi merupakan ekspresi

dari keadaan tubuh yang dipengaruhi oleh zat-zat gizi tertentu. Pada penelitian

yang dilakukan oleh Prayitami dkk, tentang hubungan antara fase pengobatan

dengan status gizi penderita tuberkulosis anak di RSUD dr. H. Soewondo

Kabupaten Kendal, periode Januari 2011 hingga September 2011 menyatakan

terdapat hubungan yang signifikan antara fase pengobatan dengan status gizi

anak penderita tuberkulosis (Handayani et al, 2012; Patiung et al, 2014; Husna et

al, 2016)

Pada anak yang sedang sakit, pemenuhan kebutuhan nutrisi menjadi sangat

penting, hal ini disebabkan karena selain nutrisi tetap diperlukan untuk

mempercepat proses penyembuhan, memperpendek masa perawatan, mengurangi

terjadinya komplikasi, mencegah malnutrisi akibat pengobatan dan tindakan

medis serta menurunkan morbiditas dan mortalitas, nutrisi juga tetap diperlukan

untuk dapat memelihara tumbuh kembang anak yang sedang sakit tersebut. Secara

sederhana, penentuan status gizi dilakukan dengan membandingkan berat badan

(BB) dan panjang badan (PB) atau (BB/PB), atau dengan membandingkan berat

badan dan tinggi badan (TB) atau (BB/TB). Grafik pertumbuhan yang digunakan

sebagai acuan adalah grafik WHO 2006 untuk anak kurang dari 5 tahun dan grafik

CDC 2000 untuk anak lebih dari 5 tahun. Grafik WHO 2006 yang digunakan

untuk anak usia 0-5 tahun mempunyai keunggulan metodologi di banding CDC

2000. Subyek penelitian yang digunakan pada WHO 2006 berasal dari 5 benua
37

dan lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan optimal. Sedangkan untuk

anak usia diatas 5 tahun hingga 18 tahun digunakan grafik CDC 2000, karena

grafik WHO 2006 tidak mempergunakan data BB/TB, bahkan data dari WHO

2006 merupakan smoothing dari NCHS 1981 (Patiung et al, 2014; Jayani, 2015;

Kemenkes RI, 2016; Husna et al, 2016).

E. Respon Pengobatan Penyakit Tuberkulosis Anak

Pemberian OAT jangka panjang selain dapat bertujuan untuk membunuh

kuman, pemberian OAT jangka panjang juga dimaksudkan dapat untuk

mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan penyakit TBC (Nurmadya et al,

2015)

Selama pemberian OAT jangka panjang tersbut, respon pengobatan

penyakit TBC perlu dilakukan baik pada tahap awal pentalaksaan maupun pada

tahap lanjutan pentalaksaan. Sehingga respon pengobatan penyakit TBC

dilakukan setiap minggu pada tahap awal dan akan dilakukan setiap bulan pada

tahap lanjutan. Oleh sebab itu, selama proses pengobatan TBC pada anak, akan

dilakukan secara ketat pengamatan respon pengobatan selama 6 bulan. Bahkan

untuk mengantisipasi dampak pemberian OAT, baik selama pemberian OAT,

maupun setelah pemberian OAT 6 bulan, sejumlah klinisi juga melakukan

evaluasi baik secara klinis maupun dengan pemeriksaan penunjang terhadap

penderita TBC anak (Nurmadya et al, 2015; Permani, 2015; Pratiwi et al, 2016)

Evaluasi klinis pada TBC anak merupakan parameter terbaik untuk menilai

keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, walaupun


38

gambaran radiologi tidak menunjukkan perubahan yang berarti, maka pemberian

OAT tetap dihentikan (Dotulong et al, 2015; Sari et al, 2013; Kautsar et al, 2016)

F. Hubungan Kelompok Usia, Tipe Diagnosis, Status Gizi dan Respon


Pengobatan TBC Anak
Di negara berkembang, jumlah penderita TBC anak disebutkan oleh

sejumlah penelitian, dari tahun ke tahun selalu terjadi peningkatan jumlah

penderita. Tingginya penderita TBC pada kelompok usia anak di negara

berkembang selain berhubungan dengan tingginya kelompok usia anak di negara

berkembang, hal ini juga sangat berhubungan erat dengan banyaknya faktor yang

mempermudah terjadinya infeksi TBC pada anak (Husna et al, 2016)

Selain itu, banyaknya penelitian yang menyebutkan bahwa pemberian OAT

bentuk puyer (baik tunggal maupun kombinasi) pada balita mempunyai efek yang

merugikan pada penderita TBC anak, menimbulkan adanya kebijakan pemerintah

tentang penggunaan OAT FDC pada penderita TBC anak. Namun demikian,

kebijakan penggunaan OAT FDC pada penderita TBC anak, menimbulkan

masalah pemberian OAT bentuk tablet tersebut pada anak (terutama anak kurang

dari 1 tahun). Sulitnya pemberian OAT FDC pada penderita TBC anak akan

meningkatkan prosentase kegagalan terapi TBC paru pada anak (Priyandani,

2014)

Penyakit tuberkulosis dan status gizi buruk, cenderung berinteraksi satu

sama lain. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa kelompok usia yang paling

rentan terhadap masalah gizi yaitu pada usia balita, hal ini sesuai dengan temuan

sejumlah penelitian yang melaporkan bahwa pada penderita TBC anak hampir
39

selalu memiliki status gizi buruk. Hal ini selain dapat disebabkan karena terdapat

penurunan nafsu makan pada penderita TBC, atau sebaliknya dimana status gizi

buruk dapat menyebabkan penurunan daya tahan tubuh yang pada akhirnya dapat

meningkatkan risiko untuk terinfeksi kuman tuberkulosis. Selain itu, sejumlah

penelitian juga menyebutkan bahwa dengan status gizi kurang, seorang anak akan

memiliki risiko lebih besar untuk menderita TBC paru berat dibandingkan dengan

anak dengan status gizi cukup atau lebih. Bahkan sebaliknya, dengan status gizi

yang baik, seorang anak selain akan memiliki fase penyembuhan penyakit TBC

yang lebih singkat dibanding dengan anak dengan status gizi kurang, juga diyakini

akan memiliki prosentase yang lebih besar untuk tidak terjadi TBC paru dengan

komplikasi (Patiung et al, 2014; Wokas et al, 2015).

Lamanya respon pengobatan penyakit TBC pada anak, akan sangat di

tentukan oleh beberapa faktor. Namun demikian, faktor yang sangat menentukan

tersebut adalah status gizi. Pada anak penderita TBC dengan status gizi yang baik,

akan sangat menguntungkan bagi anak penderita TBC tersebut, sebab selain akan

dapat mencegah terjadinya komplikasi, status gizi yang baik juga akan membantu

meningkatkan respon pengobatan sehingga akan dapat mempersingkat lamanya

fase penyembuhan penyakit TBC pada anak. Hal ini dapat terjadi karena zat gizi

yang terkandung pada makanan, selain akan mampu mendukung proses

penyembuhan dengan memperbaiki sejumlah kerusakan sel akibat proses infeksi,

zat gizi tersebut juga akan mampu mencegah terjadinya kerusakan organ/jaringan

tubuh lebih lanjut akibat perkembangan proses infeksi yang akan terjadi, maupun

yang sedang terjadi (Patiung et al, 2014; Wokas et al, 2015; Pratiwi et al, 2016).
40

G. Kerangka Teori
41

Keterangan Kerangka Teori


42

H. Kerangka Pikir

Kelompok Usia anak

Respon
Tipe Diagnosis Pengobatan
TBC Anak

Status Gizi Anak

I. Hipotesis

Terdapat hubungan antara kelompok usia, tipe diagnosis dan status gizi

dengan respon pengobatan tuberkulosis anak.


43

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah observasional analitik, dengan desain penelitian

case control study. Selain itu, dalam penelitian ini akan menggunakan metode

cross sectional, dimana pengamatan variabel bebas/independent variable dan

variabel tergantung/dependent variable dilakukan satu kali pada saat yang sama.

B. Tempat dan Waktu

1. Tempat

a. Dinas kesehatan kota Surakarta, khususnya bagian P2PL.

b. Rumah sakit di wilayah dinas kesehatan kota Surakarta.

c. Puskesmas di wilayah dinas kesehatan kota Surakarta.

2. Waktu

Penelitian dilaksanakan sejak bulan maret s/d april 2018

C. Populasi

1. Definisi Populasi

Populasi target pada penelitian ini adalah penderita tuberkulosis paru

anak. Sedangkan populasi terjangkaunya adalah penderita tuberkulosis

paru anak yang berobat ke puskesmas dan rumah sakit wilayah dinas
44

kesehatan kota Surakarta, dengan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

sebagai berikut :

Kriteria inklusi :

1. Penderita tuberkulosis paru anak yang telah mendapat pengobatan

secara lengkap.

2. Penderita tuberkulosis paru anak yang telah mendapat pengobatan

secara lengkap, namun dinyatakan tidak sembuh dan dirujuk ke RS.

3. Penderita tuberkulosis paru anak yang memiliki data rekam medik

lengkap.

Kriteria eksklusi :

1. Penderita tuberkulosis paru anak yang putus obat.

2. Penderita tuberkulosis paru anak dengan diabetes militus.

2. Besar Sampel

Besarnya sampel case control study tidak berpasangan pada penelitian

ini, dihitung menggunakan rumus (Sastroasmoro dan Ismael, 2014)

n1 = n2 = (Z√2 PQ + Z√P1Q1+P2Q2)2
n1 = n2 =
(P1-P2) 2

nn11 =
=nn22 = (1,96√ 2 (35 x (-34)) + 0,842√(-1,23) x (-4)+(-0,13) x (-64)2
((-1,23) – (-0,13))2

n 1 =nn12== ((1,96√-2,380 + 0,842√13,24)2


(-1,1)2

n 1 = n2 = ((1,96 x 1,54) + (0,842 x 3,63))2


(-1,1)2
45

((3,01) + (3,05)2 36,72


n 1 = n2 = = = 30,34
(-1,1)2 1.21

Keterangan :

n = Jumlah sampel

P1 = Proporsi kasus

P2 = Proporsi kontrol

Z = Tingkat kemaknaan 0,05; sehingga nilai Z = 1,96

Z = Power penelitian 80%; sehingga nilai Z = 0,842

Q = Probabilitas kegagalan; Q = ½ (Q1 + Q2)

Berdasarkan perhitungan menggunakan rumus besaran sampel case

control study tidak berpasangan diatas, maka didapatkan angka 30,34,

sehingga akan dibulatkan menjadi 30. Oleh sebab itu, pada penelitian

case control study ini diperlukan sebanyak 30 sampel. Di mana sebanyak

30 sampel sebagai kontrol dan 30 sampel akan dipergunakan sebagai

kasus.

3. Cara Pengambilan Sampel.

Cara pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode

retrospektif, dan tehnik pengambilan data yang akan dipergunakan pada

adalah non random sampling. Sedangkan pelaksanaan pengambilan data

dalam penelitian ini, akan dimulai sejak bulan Mei 2018 hingga selesai.

D. Variabel Penelitian

Variabel penelitian terdiri atas :


46

1. Variabel bebas (independent variable) :

Kelomok usia anak, tipe diagnosis dan status gizi anak penderita

tuberkulosis

2. Variabel tergantung (dependent variable) :

Respon pengobatan tuberkulosis pada anak.

E. Definisi Operasional.

1. Usia anak.

Definisi : Usia anak dapat diartikan sebagai lamanya keberadaan

seseorang, berdasarkan satuan waktu di pandang dari segi

kronologik individu normal, yang memperlihatkan derajat

perkembangan anatomis dan fisiologis. Menurut Undang

Undang Republik Indonesia, nomor 23 tahun 2002

menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum

berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan. Berdasarkan data epidemiologi

terbaru menyatakan bahwa, khususnya di daerah endemis

TBC, saat ini penderita TBC anak dilaporkan banyak

menyerang pada kelompok usia 0 hingga 5 tahun dan

kelompok usia >5 hingga 14 tahun (Kemenkes RI, 2014).

Alat ukur : Menghitung sejak tanggal lahir, akan ada kelompok usia

0-0-5 tahun dan kelompok usia >5-14 tahun.

Cara ukur : Secara manual.


47

Skala ukur : Kategorik.

Hasil ukur : 0 hingga 5 tahun, dan >5 hingga 14 tahun.

2. Tipe diagnosis.

Definisi : Tipe diagnosis TBC anak adalah jenis dasar pemeriksaan

yang digunakan untuk menegakkan diagnosis TBC pada

anak. berdasarkan Petunjuk Teknis Pedoman Nasional

Tuberkulosis Anak, maka secara umum diagnosis TBC

anak dapat di golongkan menjadi 2, yaitu secara

bakteriologis dan secara klinis (Kemenkes RI, 2016)

Alat ukur : Pemeriksaan BTA untuk diagnosis tipe bakteriologis, dan

sistem skoring untuk diagnosis tipe klinis.

Skala ukur : Kategorik.

Hasil ukur : Tipe bakteriologis dan tipe klinis.

3. Status gizi anak.

Definisi : Status gizi (nutritional status) adalah suatu keadaan yang

diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi

yang masuk kedalam tubuh dari makanan dengan

kebutuhan atau penggunaan zat gizi tersebut oleh tubuh.

Penentuan status gizi anak, dapat dilakukan dengan

membandingkan berat badan (BB) dan panjang badan

(PB) atau (BB/PB), atau dengan membandingkan berat

badan dan tinggi badan (TB) atau (BB/TB). Selanjutnya

kategori dan ambang batas status gizi anak akan diketahui


48

berdasarkan indeks standar antropomentri yang telah

dipergunakan dan diterbitkan oleh menteri kesehatan RI

tahun 2010 (Kemenkes RI, 2014).

Cara ukur : Mengukur berat badan dan tinggi badan, dengan melihat

tabel indeks standar antropomentri penilaian status gizi

anak akan dapat ditentukan gizi normal (status gizi baik)

dan gizi tidak normal (status gizi kurang, status gizi buruk

dan gizi lebih).

Skala ukur : Kategorik.

Hasil ukur : Gizi normal dan gizi tidak normal.

4. Respon pengobatan tuberkulosis.

Definisi : Respon pengobatan TBC paru, merupakan lamanya waktu

yang diperlukan untuk proses tatalaksana pengobatan

OAT FDC TBC paru pada anak, sehingga penderita TBC

paru anak tersebut akan dapat dinyatakan sembuh dari

penyakit TBC paru (Kemenkes RI, 2014).

Cara ukur : Melihat catatan waktu pemberian obat pertama kali,

hingga pasien tersebut dinyatakan sembuh, sehingga

dapat dilihat lamanya fase pengobatan TBC paru anak

pada penelitian ini.

Skala ukur : Kategorik.

Hasil ukur : Pengobatan dalam 6 bulan, atau pengobatan lebih 6 bulan.


49

F. Pelaksanaan Penelitian.

1. Persiapan.

a. Mencari dan mengumpulkan bahan kepustakaan.

b. Menghubungi bagian terkait serta mendiskusikan rencana penelitian.

c. Melakukan penelitian pendahuluan.

2. Persiapan penelitian.

Mengumpulkan data pasien penderita tuberkulosis anak di wilayah kerja

dinas kesehatan kota Surakarta. Dalam hal ini, khususnya lebih

mengutamakan pasien yang memiliki data/rekam medik lengkap selama

pasien penderita TBC anak menjalani pengobatan di fasilitas pelayanan

kesahatan. Data pasien tersebut antara lain : nama, jenis kelamin, usia,

alamat, berat badan, tinggi badan, tipe diagnosis dan respon pengobatan

yang tercatat selama proses pengobatan berlangsung serta catatan hasil

evaluasi setelah diberikan terapi.

3. Prosedur penelitian.

a. Mengajukan surat permohonan ijin penelitian kepada Bapak/Ibu

kepala dinas kesehatan kotamadya Surakarta, serta mengajukan

permintaan surat mengantar untuk mencari data jumlah penderita

TBC anak, ke puskesmas di wilayah kerja kotamadya Surakarta.

b. Mencocokkan data jumlah pasien TBC anak di dinas kesehatan

kotamadya Surakarta, dengan data jumlah penderita TBC anak di

puskesmas wilayah kerja dinas kesehatan kotamadya Surakarta.


50

c. Mencocokkan identitas pasien TBC anak yang telah diperoleh,

dengan data rekam medik pasien TBC anak di masing-masing

puskesmas wilayah kerja dinas kesehatan kotamadya Surakarta.

d. Mencatat data rekam medik pasien TBC anak yang meliputi : nama

anak penderita TBC, usia anak, jenis kelamin pasien TBC anak,

alamat penderita TBC anak, pekerjaan orang tua pasien penderita

TBC anak serta angka kunjungan ke puskesmas.

e. Mencatat berat badan, tinggi badan serta melakukan dilanjutkan

dengan menentukan status gizi menggunakan indeks standar

antropomentri penilaian status gizi anak yang diterbitkan oleh

menteri kesehatan RI tahun 2010 masing anak penderita TBC.

f. Mencatat lamanya fase pengobatan anak masing masing anak

penderita TBC paru.

g. Data yang telah terkumpul, selanjutnya dilakukan evaluasi.

G. Analisis Data

Tehnik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

metode deskriptif, menentukan odd rasio, serta melakukan analisis regresi logistik

ganda terhadap beberapa faktor resiko pada setiap populasi dalam penelitian ini.

H. Etika Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu mengajukan permohonan

ijin persetujuan penelitian pada Panitia Komisi Etik Penelitian Kedokteran


51

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta/ RSUD Dr. Moewardi

Surakarta. Ijin penelitian akan dikeluarkan setelah melalui proses yang ditandai

dengan dikeluarkannya ethical clearance.

I. Alur Penelitian

Populasi tuberkulosis paru anak


di wilayah kotamadya Surakarta
52

Kriteria inklusi Kriteria eksklusi

Non random sampling

Sampel penelitian

Pengukuran status Lakukan Lakukan


gizi (berat klasifikasi tipe pengelompokkan
badan/panjang diagnosis usia sampel
badan, berat penyakit TBC penelitian
badan/tinggi anak
badan)

Gizi normal Tipe bakteriologis Usia 0-5 tahun


atau atau dan
gizi tidak normal tipe klinis usia >5-14 tahun

Respon pengobatan
TBC paru anak

Analisis statistik

Keterangan :

: Variabel bebas

: Variabel terikat

BAB IV

HASIL PENELITIAN
53

Menggunakan desain cross sectional, maka didapatkan 30 subjek yang akan

digunakan dalam penelitian ini.

1. Karakteristik Subjek Penelitian,

Data dasar penelitian ini meliputi usia penderita TBC anak, tipe diagnosis

serta status gizi penderita TBC anak.

Tabel 4.1 Data Dasar Penelitian.

Berdasarkan tabel 4.1, maka secara umum dapat buat ringkasan data

gambaran usia, tipe diagnosis dan status gizi dari 30 penderita TBC anak yang

menjadi subjek dalam penelitian ini, seperti pada tabel 4.2. Pada tabel 4.2

diketahui bahwa sebagian besar penderita TBC anak, yaitu sekitar 37 anak

(61,7%) merupakan anak berusia <5 tahun, dan hanya berjumlah sekitar 23 anak

(38,3%) berusia >5 tahun.

Tabel 4.2 Gambaran Data Dasar Penelitian.


Variabel Frekuensi Prosentase
Usia
54

<5 tahun 37 61.7%


>5 tahun 23 38.3%
Diagnosis
Bakteriologis 8 13.3%
Klinis 52 86.7%
Status Gizi
Kurang/buruk 36 60.0%
Baik 24 40.0%

Tipe diagnosis sebagian besar subjek dalam penelitian ini, adalah dengan

tipe diagnosis klinis, yaitu berjumlah sekitar 52 anak (86,7%), sedangkan tipe

diagnosis bakteriologis dalam penelitian ini hanya berjumlah sekitar 8 anak

(13,3%).

Berdasarkan tabel 4.2 juga diketahui bahwa, hampir sebagian besar status

gizi anak yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah kategori kurang/buruk

yaitu ada 36 anak (60,0%). Sedangkan anak yang memiliki status gizi baik dalam

penelitian ini hanya berjumlah sekitar 24 anak (40,0%).

2. Analisis Pengaruh Usia Terhadap Respon Pengobatan TBC Anak.

Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa, penderita TBC anak yang memiliki

usia <5 tahun, cenderung akan mengalami respon pengobatan >6 bulan, yaitu

berjumlah sekitar 24 anak (80,0%). Sedangkan penderita TBC anak berusia >5

tahun akan cenderung mengalami respon pengobatan selama 6 bulan, yaitu

berjumlah sekitar 17 anak (56,7%). Berdasarkan hasil pengujian risk estimate,

didapatkan nilai OR = 5,231 (1,657-16,515), hal ini dapat berarti bahwa penderita

TBC anak yang berusia <5 tahun, akan beresiko 5,231 kali lebih besar mengalami

respon pengobatan TBC >6 bulan, apabila dibandingkan dengan penderita TBC

anak yang berusia >5 tahun.


55

Tabel 4.3 Analisis Pengaruh Usia Terhadap Respon Pengobatan TBC Anak.
Pengobatan
Variabel >6 bulan 6 bulan OR (95%CI) p-value
(n=30) (n=30)
Usia
<5 tahun 24 (80.0%) 13 (43.3%) 5,231 (1.657-16.515) 0,003
>5 tahun 6 (20.0%) 17 (56.7%)

Sedangkan berdasarkan perhitungan hasil uji chi square, didapatkan bahwa

nilai p-value = 0,003 (p<0,05), sehingga dapat dikatakan bahwa, terdapat

hubungan yang signifikan antara usia penderita TBC anak dengan respon

pengobatan TBC anak.

3. Analisis Pengaruh Tipe Diagnosis Terhadap Respon Pengobatan TBC


Anak.
Penderita TBC anak dengan tipe diagnosis bakteriologis, memiliki respon

pengobatan 6 bulan sebanyak 5 anak (16,7%). Sedangkan penderita TBC anak

dengan tipe diagnosis klinis, memiliki respon pengobatan >6 bulan sebanyak 27

anak (90,0%).

Berdasarkan hasil pengujian risk estimate, didapatkan bahwa nilai OR =

0,556 (0,120-2.569). Hal ini dapat berarti bahwa, penderita TBC anak dengan tipe

diagnosis bakteriologis, merupakan faktor pelindung terhadap respon pengobatan

TBC >6 bulan, bila dibandingkan dengan penderita TBC anak dengan tipe

diagnosis klinis. Sedangkan bila berdasarkan hasil uji fisher exact test, didapatkan

bahwa nilai p-value = 0,706 (p>0,05), hal ini dapat berarti bahwa tidak terdapat

hubungan yang signifikan antara tipe diagnosis penderita TBC anak dengan

respon pengobatan pada TBC anak.


56

Tabel 4.4 Analisis Pengaruh Tipe Diagnosis Terhadap Respon Pengobatan TBC
Anak.
Pengobatan
Variabel > 6 bulan 6 bulan OR (95%CI) p-value
(n=30) (n=30)
Tipe Diagnosis
Bakteriologis 3 (10.0%) 5 (16.7%) 0,556 (0,120-2.569) 0,706
Klinis 27 (90.0%) 25 (83.3%)

4. Analisis Pengaruh Status Gizi Terhadap Respon Pengobatan TBC


Anak.
Berdasarkan data pada tabel 4.1 diketahui bahwa penderita TBC anak

sebanyak 25 anak (83,3%) memiliki status gizi kurang, serta dengan respon

pengobatan >6 bulan. Sedangkan sekitar 19 anak penderita TBC (63,3%) meiliki

status gizi baik dengan respon pengobatan selama 6 bulan.

Berdasarkan hasil pengujian risk estimate yang dihitung sesuai data dalam

penelitian ini, maka didapatkan nilai OR = 8,636 (2,566-29,073). Hal ini dapat

diartikan bahwa, kelompok penderita TBC anak dengan status gizi kurang/buruk

akan memiliki resiko 8,636 kali lebih besar mengalami respon pengobatan TBC

>6 bulan, apabila dibandingkan dengan kelompok penderita TBC anak dengan

status gizi baik.

Sedangkan bila berdasarkan hasil uji fisher exact test, didapatkan bahwa

nilai p-value = 0,000 (p<0,05), hal ini dapat berarti bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara status gizi dengan respon pengobatan pada TBC anak.

Tabel 4.5 Analisis Pengaruh Status Gizi Terhadap Respon Pengobatan TBC
Anak.
57

Pengobatan
Variabel >6 bulan 6 bulan OR (95%CI) p-value
(n=30) (n=30)
Status Gizi
Kurang/buruk 25 (83.3%) 11 (36.7%) 8,636 (2.566-29.073) 0,000
Baik 5 (16.7%) 19 (63.3%)

5. Analisis Pengaruh Usia Dan Status Gizi Terhadap Respon Pengobatan


TBC Anak.
Analisis multivariat dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

variabel manakah dalam penelitian ini yang memiliki pengaruh besar terhadap

respon pengobatan pada penderita TBC anak. Dalam penelitian ini, analisis

multivariat akan meggunakan variabel bebas yang mendapatkan nilai p <0,200,

yaitu usia dan status gizi. Berdasarkan hasil analisis multivariat, maka didapatkan

hasil sebagai berikut :

Tabel 4.6 Analisis Pengaruh Usia Dan Status Gizi Terhadap Respon
Pengobatan TBC Anak.
Variabel OR (95%CI) p-value
Usia 3.096 (0,869 –11,025) 0,081
Status Gizi 6.192 (1,736 –22,078) 0,005

Berdasarkan tabel 4.6, diketahui bahwa dalam penelitian ini usia tidak

berpengaruh secara signifikan terhadap respon pengobatan TBC (p=0,081),

dengan nilai OR =3.096 (0,869 –11,025). Namun bila dibandingkan dengan status

gizi, maka dalam penelitian ini status gizi merupakan satu-satunya variabel yang

memiliki pengaruh paling besar terhadap respon pengobatan TBC pada anak

(p=0,005). Sedangkan bila mempertimbangkan faktor usia, maka juga dapat

diketahui bahwa penderita TBC anak dengan status gizi kurang/buruk akan tetap

memiliki beresiko yang tinggi dengan nilai OR = 6.192 (1,736 –22,078), hal ini
58

dapat berarti bahwa status gizi kurang/buruk memiliki sekitar 6.192 kali lebih

besar memiliki respon pengobatan >6 bulan, apabila dibandingkan dengan

penderita TBC anak dengan status gizi baik.

BAB V
59

PEMBAHASAN

1. Hubungan Antara Usia Anak Dengan Respon Pengobatan TBC Anak.

Berdasarkan hasil penelitian, menunjuklan bahwa usia anak < 5 tahun

beresiko terhadap respon pengobatan TBC >6 bulan. Hal ini sesuai pada analisis

bivariat yang menunjukkan hubungan yang signifikan (p=0,003). Sedangkan

berdasarkan analisis multivariat, dengan mempertimbangkan status gizi maka usia

bukanlah variabel yang dominan dalam mempengaruhi respon pengobatan TBC

(p=0,081). Sehingga berdasarkan uraian diatas, maka dapat disebutkan bahwa usia

tidak berhubungan secara signifikan dengan respon pengobatan TBC pada anak.

Hasil penelitian ini sesuai dengan sejumlah teori yang menjelaskan bahwa

respon pengobatan TBC pada anak sangat dipengaruhi oleh banyak faktor.

Sejumlah faktor yang sering dilaporkan sangat berhubungan dengan respon

pengobatan TBC pada anak diantaranya adalah faktor kesulitan pemberian FDC

OAT pada anak balita (terutama dibawah usia 1 tahun), potensi kecenderungan

terjadinya gizi buruk pada anak balita, status sosial ekonomi dan budaya serta adat

istiadat (Setyanto, 2012; Pratiwi et al, 2016). Pada uraian diatas disebutkan bahwa

usia anak juga dapat menentukan dalam respon pengobatan TBC, khususnya

hanya pada anak dibawah usia kurang dari 1 tahun. Hal ini sering dihubungkan

dengan sejumlah penelitian yang melaporkan kesulitan pemberian OAT FDC

pada anak balita khususnya yang berusia kurang dari 1 tahun. Hal ini lebih

disebabkan karena pada anak berusia kurang dari 1 tahun, akan sangat kesulitan

menelan OAT FDC yang dalam bentuk tablet. Kesulitan pemberian OAT FDC
60

inilah yang akan dapat menyebabkan ketidakteraturan pemberian OAT, sehingga

dapat berdampak pada respon pengobatan TBC pada anak akan menurun, bahkan

sering dilaporkan dapat menyebabkan terjadinya resistensi OAT.

Namun demikian, tingkat kesulitan pemberian OAT FDC ini akan sangat

tergantung pada orang tua penderita dan petugas kesehatan. Pada orang tua yang

memiliki kesadaran yang tinggi dan perhatian yang tinggi terhadap pengobatan

TBC anak, akan selalu berusaha memberikan pengobatan sesuai aturan. Hal ini

dapat dibuktikan bahwa dalam penelitian ini terdapat beberapa penderita TBC

anak yang berhasil dinyatakan sembuh setelah menjalani pengobatan TBC anak.

2. Hubungan Antara Tipe Diagnosis Dengan Respon Pengobatan TBC


Anak.
Hasil dalam penelitian menunjukan bahwa, tipe diagnosis tidak

berhubungan secara signifikan dengan respon pengobatan TBC pada anak.

Secara umum diagnosis TBC anak dapat di golongkan menjadi 2, yaitu

secara bakteriologis dan secara klinis. Diagnosis TBC anak yang paling tepat

adalah dengan menemukan mycobacterium tuberculosis dari bahan yang diambil

pada penderita, misalnya dahak, bilasan lambung atau bahkan cairan otak. Namun

demikian pada anak-anak, penemuan mycobacterium tuberculosis akan sangat

sulit dan bahkan jarang didapat. Oleh sebab itu, hampir besar penelitian

melaporkan bahwa tipe diagnosis klinis merupakan diagnosis TBC anak yang

paling sering dilaporkan. Pada tipe diagnosis klinis, diagnosis didasarkan pada

gejala klinis yang ada pada anak terduga TBC. Setelah dilakukan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan


61

dengan sistem skoring. anak terduga TBC dengan jumlah skor >6 (sama atau lebih

dari 6), harus di tatalaksana sebagai pasien TBC dan mendapat pengobatan

dengan obat anti tuberkulosis (OAT). Namun bila skor kurang dari 6 tetapi secara

klinis kecurigaan ke arah TB kuat, maka perlu dilakukan pemeriksaan lainnya

sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi

pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan dll (Salazar et al, 2001;

Murniasih et al, 2010). Munculnya gejala pada anak, diduga telah terjadi infeksi

mycobacterium tuberculosis dengan terbentuknya kompleks primer. Pada saat

terbentuknya kompleks primer, infeksi mycobacterium tuberculosis primer

dinyatakan telah terjadi. Sejumlah penelitian bahkan menyatakan bahwa setelah

terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap infeksi mycobacterium

tuberculosis telah terbentuk. Hal ini dapat diketahui dengan adanya

hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein. Namun karena pada anak khususnya

di bawah usia 5 tahun masih memiliki kemampuan yang rendah dalam

mengeksploitasi sputum, maka temuan BTA mycobacterium tuberculosis

khususnya balita di bawah usia 1 tahun sangat jarang dilaporkan (Panjaitan et al,

2013; Jain et al, 2013).

Oleh sebab itu, baik diagnosis bakteriologis maupun diagnosis klinis, akan

memiliki gambaran yang hampir sama. Sehingga baik pada tipe diagnosis

bakteriologis maupun tipe diagnosis klinis tidak akan berpengaruh secara

signifikan terhadap respon pengobatan, karena kedua diagnosis tersebut dapat

diartikan telah sama-sama terjadi terinfeksi mycobacterium tuberculosis, namun

dengan pokok permasalah yang berbeda. Namun beberapa peneliti juga


62

berpendapat bahwa, Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi bakteri

mycobacterium tuberculosis masih sangat sedikit jumlahnya, sehingga akan

sangat sulit menemukan keberadaan BTA tersebut pada dahak/sputum yang

diperiksa (Safithri, 2011; Kautsar et al, 2016; Husna et al, 2016).

3. Hubungan Antara Status Gizi Dengan Respon Pengobatan TBC Anak.


Hasil penelitian menunjukkan bahwa status gizi berhubungan signifikan

dengan respon pengobatan TBC, dimana anak dengan status gizi kurang atau

buruk maka cenderung beresiko terhadap terjadinya pengobatan TBC >6 bulan.

Hasil penelitian ini signifikan secara bivariat (p=0,000). Sedangkan dengan

mempertimbangkan variabel usia, berdasarkan analisis multivariat (p=0,005)

status gizi juga masih berhubungan secara signifikan dengan respon pengobatan

TBC. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa dalam penelitian ini, staus gizi

berpengaruh secara dominan terhadap respon pengobatan TBC pada anak.

Penyakit tuberkulosis dan status gizi buruk, merupakan permasalahan yang

saling berinteraksi satu sama lainnya. Sejumlah penelitian bahkan menemukan

bahwa, hampir sebagian besar penderita TBC anak memiliki status gizi yang lebih

buruk, bila dibandingkan dengan orang yang sehat. Hal ini diduga terjadi akibat

menurunannya nafsu makan, yang secara umum akan menyebabkan meurunnya

berat badan pada penderita TBC anak. Pada keadaan diduga juga telah terjadi

kekurangan asupan gizi dari makanan, sehingga tubuh berusaha memenuhi

kebutuhan gizinya dengan menggunakan cadangan gizi yang tersimpan pada

jaringan tubuh itu sendiri. Keadaan ini akan terlihat dengan merosotnya volume

jaringan tubuh tersebut. Proses ini akan dapat ditandai dengan penurunan berat
63

badan atau terhambatnya pertumbuhan tinggi badan. Selain akan terjadi

perubahan kimia dalam darah dan urin, perubahan ini juga akan diikuti dengan

perubahan fungsi maupun anatomi tubuh, dimana tubuh akan menjadi lemah dan

muncul tanda khusus (Patiung et al, 2014; Jayani, 2015; Kemenkes RI, 2016).

Selain itu, status gizi buruk juga akan dapat menyebabkan penurunan sistem

pertahanan tubuh, dimana menurunnya sitem pertahanan tubuh akan dapat

meningkatkan risiko terjadinya infeksi mycobacterium tuberkulosis. Hal ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh Alsagaf dan Mukty tahun 2004, yang

menyatakan bahwa pada status gizi buruk dapat mempengaruhi menurunnya

tanggapan tubuh berupa pembentukan antibodi dan limfosit terhadap adanya

kuman penyakit. Dimana pembentukan antibodi dan limfosit ini, sangat

memerlukan bahan baku protein maupun karbohidrat. Oleh sebab itu, dengan

status gizi buruk pada anak, maka proses produksi antibodi dan limfosit akan

terhambat. Keadaan ini secara langsung akan menyebabkan mudah terjadinya

infeksi pada anak, khususnya yang menderita gizi buruk (Husna et al, 2016).

Selain sangat menentukan terjadinya proses infeksi, sistem pertahanan tubuh

juga sangat menentukan terhadap kecepatan proses penyembuhan penyakit.

Sistem pertahanan tubuh manusia, terdiri dari pertahanan spesifik dan nonspesifik.

Limfosit merupakan salah satu pertahanan tubuh spesifik tingkat seluler, dimana

CD4 merupakan bagian yang berperan didalamnya. CD4 merupakan fraksi

limfosit yang berdifferensiasi khusus sehubungan dengan terjadinya proses

infeksi, baik akut maupun kronis, termasuk infeksi mycobacterium tuberkulosis.

Oleh sebab itu, pada anak dengan dengan status gizi buruk, hampir dapat
64

dipastikan akan mempunyai fase pengobatan yang lebih lama, bila dibandingkan

dengan anak yang memiliki status gizi baik. Kuatnya hubungan antara status gizi

dengan proses penyembuhan sering dilaporkan oleh sejumlah penelitian. Di

antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Prayitami dkk, tentang hubungan

antara fase pengobatan dengan status gizi pada penderita tuberkulosis anak di

RSUD dr. H. Soewondo Kabupaten Kendal, hasil penelitian tersebut menyatakan

bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara fase pengobatan dengan status

gizi anak penderita tuberkulosis (Handayani et al, 2012; Patiung et al, 2014;

Husna et al, 2016).

Kelompok usia yang paling rentan terhadap masalah gizi adalah usia balita.

Hal ini diduga berkaitan erat dengan sistem imun yang belum terbentuk secara

sempurna pada usia balita. Oleh karena sangat pentingnya status gizi tersebut,

maka sejumlah ahli menyimpulkan bahwa, status gizi merupakan ekspresi dari

keadaan tubuh yang sangat dipengaruhi oleh zat-zat gizi tertentu, serta

pengawasannya termasuk dalam program nasional (Handayani et al, 2012;

Patiung et al, 2014; Husna et al, 2016; Prayitami et al, 2012; Wokas et al, 2015).

4. Keterbatasan Penelitian.

Keterbatasan pada penelitian ini, khususnya terletak pada metode

pengambilan sampel yang digunakan, yaitu retrospektif. Dimana data diperoleh

berdasarkan pada rekam medik pasien (data berat badan dan data tinggi badan),

sehingga dikhawatirkan terjadi bias pengukuran yang tidak diketahui peneliti.

BAB VI
65

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Anak usia kurang dari 5 tahun secara signifikan beresiko terhadap respon

pengobatan TBC > 6 bulan, tetapi usia bukan variabel yang dominan

berhubungan respon pengobatan TBC.

2. Tipe diagnosis tidak berhubungan signifikan dengan respon pengobatan

TBC anak.

3. Status gizi buruk/kurang sangat signifikan beresiko terhadap respon

pengobatan TBC > 6 bulan dan merupakan variabel yang dominan

berhubungan dengan respon pengobatan TBC.

B. Implikasi

1. Implikasi Teoritis

Hasil penelitian ini relevan dengan teori yang menyatakan bahwa

kekurangan gizi mengakibatkan diantaranya berkurangnya daya tahan

tubuh. Protein berguna sebagai pembentuk antibodi,kekurangan antibodi

menyebabkan kerja sistem imun menurun mengakibatkan anak mudah

terserang penyakit. Menurut WHO tahun 2002 gizi kurang berperan pada

54 % kematian bayi dan balita,oleh sebab itu gizi mempunyai peranan

yang besar dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian khususnya

pada bayi dan balita.

Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian sebelumnya tentang adanya

hubungan antara status gizi dengan fase pengobatan.


66

2. Implikasi Metodologi

Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan

pendekatan case control,teknik pengambilan sampling dengan random

sampling, Adanya kesesuaian antara kerangka berpikir dalam penelitian

ini merupakan salah satu cara yang di gunakan untuk peningkatan

kualitas penelitian.

3. Implikasi Praktis

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya hubungan yang

signifikan antara status gizi dengan respon pengobatan tuberkulosis pada

anak. Hasil tersebut dapat dijadikan pedoman untuk penatalaksanaan TB

yang lebih baik lagi dengan memperbaiki gizi penderita serta

memberikan edukasi terhadap penderita dan keluarganya oleh petugas

kesehatan akan pentingnya gizi dalam membantu proses penyembuhan

penderita.

C. Saran

1. Untuk institusi pelayanan kesehatan, lebih memperhatikan lagi setiap

anak dengan gizi buruk/kurang yang menyertai penyakit TBC, sehingga

mendapatkan pengobatan yang konfrehensif dengan hasil yng maksimal.

2. Untuk masnyarakat/keluarga penderita TBC, agar masyarakat lebih

mengetahui pentingnya status gizi yang baik dengan makanan yang

bergizi seimbang yang akan membantu kesembuhan penderita TBC serta

tumbuh kembang anak yang baik.


67

3. Untuk peneliti, mengingat sangat petingnya status gizi dalam

keberhasilan pengobatan TBC sehingga perlu dilakukan penelitian

lainnya tentang status gizi yang lebih baik lagi.

Anda mungkin juga menyukai