Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN

Lepra atau kusta adalah salah satu dari enam penyakit yang dianggap oleh World Health
Organization (WHO) sebagai ancaman utama di negara berkembang dan sering mengakibatkan
cacat berat, cacat seumur hidup dan cacat karena keterlambatan diagnosis (1). Gambaran
epidemiologis penting dari lepra saat ini termasuk tingkat deteksi kasus baru yang terus berlanjut
sekitar 225.000 per tahun dan bukti tidak langsung menunjukkan bahwa terdapat jutaan kasus
yang tetap tidak terdeteksi (2, 3, 4).

Deteksi dini infeksi M. leprae, diikuti oleh intervensi yang efektif, dianggap sebagai
komponen penting dari strategi yang bertujuan mengurangi transmisi bakteri. Dalam hal ini,
kurangnya tes untuk mengidentifikasi individu dengan infeksi M. leprae asimptomatik serta lepra
subklinis yang tidak terdiagnosis, kemungkinan dua sumber utama dari transmisi yang tidak
teridentifikasi, tidak hanya menyebabkan diagnosa yang tertunda atau salah, tetapi juga
menghambat pengurangan penularan.

Alat diagnostik yang tersedia saat ini belum memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
cukup untuk mencapai tujuan deteksi dini. Oleh karena itu, tujuan yang penting adalah
pengembangan alat diagnostik yang lebih baik yang mampu mendeteksi infeksi M. leprae
sebelum manifestasi klinis terjadi, terutama dalam kontak rumah tangga pasien lepra, yang
merupakan kelompok dengan risiko tertinggi untuk terjadinya lepra. Selain itu, alat diagnostik
baru tersebut harus membedakan infeksi M. leprae dari vaksinasi BCG rutin atau infeksi dengan
mycobacteria lain, seperti M. tuberculosis dan mikobakteri lingkungan non-patogenik.

Lepra merupakan model menarik dari penyakit immunoregulatorik manusia, karena


variabilitas antar-individu dalam manifestasi klinisnya sangat bergantung pada kemampuan host
untuk memberikan respon imun mediator seluler yang efektif untuk M. leprae [10], [11], [ 12].
Variabilitas ini dibuktikan oleh resistensi alami terhadap lepra pada kebanyakan individu yang
terpapar mycobacterium ini, yang disertai dengan reaktivitas imun seluler (bawaan) yang tinggi
terhadap M. leprae [13]. Spektrum lepra berkisar dari tuberkuloid (TT) ke lepromatous (LL)
[14]. Pasien TT secara umum menunjukkan respons imunitas seluler yang tinggi terhadap
antigen M. leprae yang disuntikkan di kulit serta dalam tes sel-T in vitro [15], [16]; memiliki
titer antibodi rendah untuk antigen M. leprae; dan mengembangkan bentuk penyakit
granulomatosa lokal dengan basil kuman yang sering terdeteksi dalam lesi. Pasien LL tidak dapat
menghasilkan respon spesifik sel Th1 terhadap M. leprae dan menghasilkan titer IgM tinggi
untuk M. leprae PGL-I sehingga menghasilkan infeksi progresif dan menyebar. Tipe perbatasan
pada lepra (BL, BB, dan BT) diposisikan di antaranya dan secara imunologis agak tidak stabil
serta rentan terhadap terjadinya reaksi lepra, yang terbagi menjadi reaksi Tipe 1 / reversal
reaction (RR) dan tipe 2 / erythema nodosum leprosum (ENL).

Hasil yang berbeda dari infeksi lepra kemungkinan besar disebabkan oleh mekanisme
pertahanan host, yang didominasi oleh respon imun bawaan dan adaptif [10], [11], [17]. Setelah
pengenalan bakteri oleh Toll-like receptors (TLRs), NF-kB diaktifkan, menghasilkan
peningkatan regulasi sitokin pro-inflamasi (GM-CSF, IL-1β, TNF-α, IP-10, IL-12) dan kemokin
yang mendorong migrasi dan aktivasi antigen presenting cells (APC) seperti makrofag.
Selanjutnya, APC bermigrasi ke organ limfoid untuk menyajikan antigen mikobakterium untuk
sel T naive. Tergantung pada berbagai molekul ko-stimulasi atau inhibitorik serta sitokin, sel-T
yang berbeda akan berkembang, bervariasi dari sel CD4+ Th1 atau Th2, CTL, atau Th17. Sel-T
regulatorik (Treg), dimana varian lepra pada manusia pertama kali dijelaskan [18], [19], diyakini
berperan dalam ketidaktanggapan khusus M. leprae yang dihadapi pada pasien LL [20], [21]
(lihat Gambar 1).
Gambar 1. Representasi skematik sel T yang mungkin terlibat dalam spektrum penyakit lepra.

Resistensi host terhadap M. leprae dikaitkan dengan munculnya respon berbasis Th1
yang bersifat proteksi yang didominasi oleh sel Th1 CD4+ dan ditandai oleh sekresi sitokin
proinflamasi [17]. Sel Th1 menghasilkan IFN-γ dan TNF-α, yang bersinergi untuk mengaktifkan
mekanisme efektor mikrobisidal dalam makrofag manusia. Pada pasien LL dan TT,
ketidakseimbangan dalam homeostasis sitokin sebagai tanggapan terhadap M. leprae telah
dilaporkan [22]. Pasien LL mensekresikan mediator anti-inflamasi seperti IL-10, disertai dengan
tidak adanya IFN-γ dan sitokin terkait-Th1 lainnya, sebagai tanggapan terhadap antigen M.
leprae dan kebanyakan memiliki sel T CD4+ yang kurang di lesi mereka. Sebaliknya, sel Th2
yang memproduksi IL-4, IL-5, dan IL-13 mendominasi pada pasien ini, mengarah ke produksi
antibodi serta disregulasi pertahanan host terhadap M. leprae yang diinduksi oleh IL-4 [23].
Sebaliknya, sel Th1 CD4 + mendominasi lepra tipe TT dan pasien ini menghasilkan tingkat
sitokin proinflamasi yang berlebih (IFN-γ, IL-15). Sitokin yang diproduksi oleh Th17
kemungkinan didorong oleh aktivasi imun bawaan yang kuat yang menghasilkan pelepasan IL-
1β dan / atau IL-6, TGF-β, dan IL-23, yang semuanya terlibat dalam induksi Th17 [24]. Karena
hasil dari respon imun terhadap M. leprae ditentukan oleh kemokin dan sitokin yang bertindak
sebagai sinyal molekuler untuk komunikasi antara sel-sel sistem kekebalan, mereka adalah alat
yang informatif untuk memprediksi baik perlindungan dari atau perkembangan ke penyakit.

Immunodiagnostik

BERBASIS SEROLOGI

Diagnosis dan klasifikasi lepra sebagian besar didasarkan pada penilaian klinis, misalnya,
hipopigmentasi, lesi yang tidak nyeri dan saraf yang membesar, dan pada deteksi mikroskopis
ditemukan basil tahan asam (BTA) pada skin slit smear atau biopsi dari kasus yang dicurigai.
Namun, tidak satu pun dari pendekatan diagnostik ini mampu mendeteksi infeksi M. leprae tanpa
gejala. Selain pendekatan klinis, ada juga teknik diagnostik yang didasarkan pada respon
imunologi terhadap M. leprae. Khususnya, beberapa tes lateral flow, dipstik, dan partikel
aglutinasi yang menggabungkan epitope sintetik di- atau trisakarida phenolic glycolipid-I (PGL-
I) telah digunakan dalam beberapa penelitian [25], [26], [27]. Tes ELISA antibodi anti-PGL-I
(Ab) didasarkan pada pendeteksian antibodi IgM terhadap PGL-I, komponen glikolipid dominan
selaput khusus dari dinding sel M. leprae. Meskipun tes ini berguna untuk mendeteksi sebagian
besar pasien multibasiler (MB) [28,29], karena tingkat antibodi berkorelasi baik dengan jumlah
kuman, deteksi anti-PGL-I Ab memiliki nilai terbatas dalam mengidentifikasi lepra tipe PB.
pasien [30]. Selain itu, di daerah hiper-endemis untuk kusta, lebih dari 50% anak-anak sekolah
yang disurvei memiliki respon anti-PGL-I yang positif [31]. Namun, sebagian besar individu
dengan titer antibodi positif tidak akan pernah mengalami kusta [25], meskipun fakta bahwa
kehadiran antibodi anti-PGL-I ditentukan menjadi faktor risiko untuk kusta [32], [ 33].

Selain antibodi IgM terhadap antigen M. leprae, antibodi IgG terhadap protein fusi
antigen M. leprae yaitu ML0405 dan ML2331 telah dipelajari [34], [35], [36], [37]. Respon
antibodi terhadap leprosy IDRI Diagnostic (LID)-1 telah terbukti positif pada lebih dari 95% dari
mereka di akhir dari spektrum lepromatosa [38]. Dalam sebuah penelitian prospektif yang
melibatkan kontak anggota keluarga pasien MB yang respons serum antibodi-nya dianalisis
secara retrospektif sampai empat tahun sebelum diagnosis klinis MB, 7 dari 11 pasien
menunjukkan respon antibodi IgG terhadap LID-1 hingga satu tahun sebelum pengembangan
gejala klinis. Respon ini lebih tinggi dan terjadi jauh lebih awal daripada peningkatan respon
IgM anti-PGL-I pada individu yang sama [36]. Namun demikian, respon terhadap LID-1 pada
individu PB agak lemah, mirip dengan persentase anti-PGL-I positif, yang biasanya sekitar 20-
40% [36].

Respons serologis berdasarkan IgG Ab terhadap major membrane protein (MMP)–II M.


leprae memberikan lebih sedikit potensi diagnostik dibandingkan IgM Ab terhadap PGL-I untuk
pasien MB (88,1% vs 94,9%) pada populasi Cina [39]. Namun, jumlah pasien PB dengan tes
positif meningkat secara signifikan (61,1% vs 38,9%) ketika menggunakan MMP-II. Sekitar
sepertiga dari pasien kusta, 21 individu, positif untuk Ab terhadap MMP-II, tujuh di antaranya
menderita kusta dalam tiga tahun berikutnya. Namun, individu yang sehat dari populasi yang
sama tidak termasuk dalam penelitian ini.

Penggunaan tes anti-PGL-I sebagai prosedur skrining untuk mengidentifikasi mereka


yang berisiko tinggi terkena kusta pada populasi endemik mungkin tidak sangat berguna di
sebagian besar program pengendalian lepra, karena dalam studi tindak lanjut sebelumnya
sebagian besar kasus baru muncul dari kelompok seronegatif dalam populasi [40]. Namun,
pengujian dapat diterapkan untuk pemantauan epidemiologi terhadap perubahan intensitas
infeksi M. leprae di masyarakat dan untuk studi kelompok kontak yang didefinisikan secara hati-
hati selama beberapa fase dari program kontrol [41], [42]. Titer antibodi anti-PGL-I dapat
digunakan untuk memantau pengobatan yang efisien dengan mengikuti klirens antibodi pada
pasien. Demikian pula, peningkatan titer dapat mendeteksi kegagalan pengobatan atau
kambuhnya penyakit [43], [44], [45], [46], [47], [48], [49].

RESPON IMUN SELULER (CELLULAR-MEDIATED IMMUNE RESPONSES)

Sebuah tes alternatif berdasarkan kekebalan terhadap antigen M. leprae yaitu tes kulit
Mitsuda, lebih mengukur imunitas seluler daripada humoral terhadap lepromin [50], [51].
Lepromin terdiri dari suspensi basiler yang distandardisasi dengan jumlah M. leprae dalam
suspensi. Reaksi terhadap lepromin diukur sebagai indurasi dalam milimeter 3-4 minggu setelah
inokulasi intradermal dan memberikan informasi tentang kemampuan sel-T individu untuk
memberikan respon terhadap M. leprae dan kemungkinan pembentukan granuloma pada
individu tersebut. Berbeda dengan tes kulit tuberkulin (tuberculin skin test, TST), yang
mengukur imunitas seluler terhadap tuberkulin dan menunjukkan infeksi M. tuberculosis
sebelumnya, tes lepromin tidak mendeteksi infeksi M. leprae sebelumnya. Sebaliknya,
penggunaannya terletak pada penentuan jenis respon imun yang akan terjadi setelah infeksi M.
leprae. Reaksi Mitsuda negatif umumnya terlihat pada pasien LL / BL, menunjukkan kurangnya
respon seluler pelindung [52], [53].

Leprosin, atau antigen Ree’s, terdiri dari protein yang diekstraksi dari M. leprae dan telah
digunakan sebagai tes kulit 48 jam untuk menentukan respon imun seluler pada individu [54].
Dalam hal tersebut, tes berdasarkan penggunaan leprosin memiliki kesamaan dengan TST.
Karena leprosin dan tuberkulin adalah campuran antigen mikobakteri yang tidak lengkap,
mereka memiliki nilai diagnostik terbatas karena reaktivitas silangnya yang tinggi secara inheren
dengan mycobacteria lainnya, yang menghasilkan tes dengan spesifitas rendah. Untuk lepra,
reaktivitas silang semacam itu sangat bermasalah di negara-negara dengan tingkat insiden TB
yang tinggi, vaksinasi BCG rutin, dan tingkat paparan yang tinggi terhadap mikobakteria
lingkungan non-patogenik. Salah satu pendekatan yang mungkin untuk menghindari reaktivitas
silang adalah pengembangan tes menggunakan antigen M. leprae yang dapat menginduksi
respon imun seluler khusus untuk infeksi M. leprae.

ANTIGEN M. LEPRAE

Untuk mengembangkan tes berdasarkan pada respon imun seluler (cellular mediated
immune, CMI), pendekatan yang serupa dengan yang digunakan untuk tes pelepasan IFN-γ yang
tersedia secara komersial (IFN-γ release assays, IGRAs) untuk diagnosis spesifik infeksi M.
tuberculosis [55], [56] digunakan untuk diagnosis lepra. Karena tes Quantiferon-TB
mengeksploitasi antigen spesifik M. tuberculosis ESAT-6 (Rv3875), CFP-10 (Rv3874), dan
TB7.7 (Rv2654), homolog M. leprae dari ESAT-6 dan CFP-10 (ML0049 dan ML0050) diuji
sebagai alat diagnostik spesifik lepra. Meskipun terdapat homologi sekuens terbatas (36% dan
40%, masing-masing) dan tidak ada reaktivitas silang pada tingkat serologis [57], [58], homolog
M. leprae dari ESAT-6 dan CFP-10 dikenali oleh sel-T dari orang yang terinfeksi M.
tuberculosis. Dengan demikian, reaksi silang dengan tes ini membatasi potensi diagnostik
ESAT-6 dan CFP-10 di daerah endemis kusta dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi
[59,60]. Data serupa dilaporkan untuk 45 kDa serine rich antigen (ML0411) spesifik M. leprae,
yang juga dikenali oleh pasien TB, mungkin karena homologi sekuens dengan Rv2108 [61].
Penyelesaian sekuens genom M. leprae dan M. tuberculosis [62], [63] memungkinkan
pendekatan pasca-genomik di mana analisis komparatif genom mikobakteri beranotasi
digunakan untuk memilih putative open reading frames yang hanya ditemukan di genom M.
leprae dan tidak memiliki homolog di salah satu database mikobakteri yang tersedia pada waktu
itu [61], [64], [65], [66], [67], [68], [69], [70], [71], [72], [73]. Analisis bioinformatik dari
sekuens unik M. leprae ini mengidentifikasi beberapa antigen (secara hipotetis) yang kemudian
dianalisis kemampuannya untuk menginduksi respon sel T in vitro pada individu yang terinfeksi
M. leprae.

Karena IFN-γ adalah sitokin yang stabil, IFN-γ telah banyak digunakan sebagai marker
pengganti untuk imunitas pro-inflamasi terhadap mycobacteria [74]. Baru-baru ini, IFN-γ
induced protein 10 (IP-10) telah terbukti menjadi biomarker yang berguna untuk diagnosis
infeksi M. tuberculosis juga [75]. Tidak seperti IFN-γ, IP-10 juga dapat digunakan pada pasien
terinfeksi HIV, karena tidak dipengaruhi oleh jumlah CD4 yang rendah pada pasien TB dengan
HIV [76].

Uji stimulasi sel-T secara in-vitro yang secara dominan menilai produksi IFN-γ
digunakan untuk menguji kandidat potensial antigen imunodiagnostik yang diidentifikasi oleh
analisis bioinformatik. Antigen diuji untuk potensi mereka sebagai alat diagnostik untuk manusia
[65], [68], [69], [70], [71], [73], [77] serta pada model binatang untuk lepra pada tikus dan
armadillo [78], [79]. Anehnya, meskipun dipilih untuk secara eksklusif untuk M. leprae untuk
menghindari reaktivitas silang sel-T dengan individu yang terinfeksi BCG atau M. tuberculosis,
ditemukan bahwa sebagian besar protein unik M. leprae ini menginduksi IFN-γ pada individu
kontrol yang sehat (EC) dari daerah endemic kusta yang sama [70], [73], [80]. Namun, karena
EC ini hidup di daerah dengan prevalensi kusta yang tinggi, respon seluler yang diamati terhadap
protein unik M. leprae mungkin telah mengindikasikan spesifisitas M. leprae tetapi bisa menjadi
tidak relevan dengan imunitas seluler patogen yang mengarah ke kusta. Sebaliknya, produksi
IFN-γ serta IP-10 sebagai respons terhadap protein atau peptida unik M. leprae mampu
membedakan antara kelompok EC yang diambil dari daerah dengan tingkat prevalensi kusta
yang berbeda. Pendekatan terakhir ini memungkinkan identifikasi derajat paparan M. leprae
yang berbeda dan, dengan demikian, perkiraan risiko infeksi dan potensi transmisi berikutnya
[80], [81], [82], [83].
PAPARAN, INFEKSI, DAN PENYAKIT

Sebagaimana dinyatakan di atas, profil IFN-γ dan IP-10 diskriminatif diamati antar
berbagai jenis kusta [69], [70], [71] dan antara EChigh dan EClow [80], [81]. Terlepas dari itu,
tidak ada protein M. leprae yang telah diidentifikasi yang dapat membedakan pasien TT / BT
dari EC atau HHC berdasarkan produksi IFN-γ atau IP-10 ketika kedua kelompok diambil dari
daerah hiper-endemik lepra yang sama dan memiliki status sosial ekonomi yang sama. Untuk
diagnosis yang efisien, sangat penting untuk mengidentifikasi marker host baru (biomarker
imunologis atau genetik) yang dapat digunakan untuk membedakan antara paparan M. leprae,
infeksi M. leprae, dan penyakit kusta. Tujuan ini membutuhkan konsensus yang jelas
sehubungan dengan berbagai tahap yang dapat terjadi setelah terpapar M. leprae.

Secara umum, paparan didefinisikan sebagai kontak dari host yang potensial dengan agen
infeksius, kolonisasi sebagai invasi kuman pada host tanpa tanda atau gejala, dan infeksi sebagai
invasi jaringan tubuh host oleh organisme penyebab penyakit. Infeksi umumnya menghasilkan
multiplikasi kuman dan reaksi jaringan host terhadap organisme ini. Infeksi dapat menyebabkan
penyakit, dalam hal ini, kondisi patologis yang abnormal yang mempengaruhi sebagian atau
seluruh host dapat diamati. Selanjutnya, jenis imunitas yang terkait dengan tahap-tahap ini
(yaitu, biomarker spesifik pada tiap tahap) perlu diidentifikasi secara jelas.

Anda mungkin juga menyukai