Anda di halaman 1dari 42

BAGIAN BEDAH LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2019


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

CHOLELITHIASIS

DISUSUN OLEH :
Pramuliansyah Haq
111 2017 2068

SUPERVISOR PEMBIMBING :
dr. Budiman Siri, Sp.B, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
PARE-PARE
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Pramuliansyah Haq

NIM : 111 2017 2068

Judul kasus : Cholelithiasis

Telah menyelesaikan tugas tersebut dalam rangka kepaniteraan klinik disiplin Ilmu

Bedah Universitas Muslim Indonesia.

Pare-pare, April 2019

SUPERVISOR PEMBIMBING

dr. Budiman Siri, Sp.B, M.Kes


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Batu empedu merupakan penyakit yang sering ditemukan di negara maju dan
jarang ditemukan di negara-negara berkembang. Dengan membaiknya keadaan sosial
ekonomi, perubahan menu makanan ala barat serta perbaikan sarana diagnosis
khususnya ultrasonografi, prevalensi penyakit batu empedu di negara-negara
berkembang cenderung meningkat.1

Di amerika serikat, 10% populasi menderita kolelitiasis dengan batu empedu


kolesterol mendominasi yang terjadi dalam 70% dari semua kasus batu empedu.
Sisanya 30% dari batu pigmen dan komposisi yang bervariasi2.

Prevalensi tergantung usia, jenis kelamin, dan etnis. Kasus batu empedu lebih
umum ditemukan pada wanita. Faktor risiko batu empedu dikenal dengan singkatan
4-F, yakni Fatty (gemuk), Fourty ( 40th), Fertile (subur), dan Female (wanita). Wanita
lebih berisiko mengalami batu empedu karena pengaruh hormon estrogen. Meski
wanita dan usia 40th tercatat sebagai faktor risiko batu empedu, itu tidak berarti
bahwa wanita di bawah 40th dan pria tidak mungkin terkena. Penderita diabetes
mellitus (DM), baik wanita maupun pria, berisiko mengalami komplikasi batu
empedu akibat kolesterol tinggi. Bahkan, anak – anak pun bisa mengalaminya,
terutama anak dengan penyakit kolesterol herediter.2

1
BAB II

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. M

Umur : 51 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Mangkoso Kecamatan Soppengriaja, Kabupaten


Barru

Tanggal masuk : 25 Maret 2019

No. RM : 164462

B. Anamnesis

1. Keluhan Utama

Nyeri ulu hati

2. Anamnesa terpimpin

Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri perut sebelah kanan
atas yang dialami sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Keluhan
telah sering dirasakan hilang timbul sejak 2 tahun yang lalu. Nyeri
dirasakan menjalar ke belakang. Pasien juga mengeluh perut kembung.
Mual dan muntah tidak ada. Riwayat demam tidak ada, sesak tidak ada.
Pasien tidak mengeluhkan adanya BAK berwarna seperti teh pekat. BAB
biasa.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat hipertensi tidak ada

2
 Riwayat diabetes mellitus tidak ada

 Riwayat asma tidak ada

 Riwayat penyakit jantung tidak ada

 Riwayat alergi obat tidak ada

 Riwayat minum alkohol tidak ada

 Riwayat merokok tidak ada

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak diketahui

C. Pemeriksaan Fisik

Kesan Umum : Sakit Sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Vital Sign :

Tekanan darah : 110/80 mmHg

Nadi : 78 x/menit

Suhu badan : 36 oC

Pernafasan : 22 x/menit

Pemeriksaan Kulit :

 Warna : kuning langsat

 Turgor : kembali cepat

 Jaringan parut : tidak ada

 Sianosis : tidak ada

 Ikterik : tidak ada

3
 Pucat : tidak ada

Pemeriksaan Kepala :

 Bentuk kepala : Mesosefal

 Rambut : Tidak mudah dicabut, distribusi merata.

Pemeriksaan Mata

 Palpebra : Edema (-/-)

 Konjungtiva : Anemis (-/-)

 Sklera : Ikterik (-/-)

 Pupil : Reflek cahaya (+/+), isokor

Pemeriksaan Telinga : Otore (-/-), nyeri tekan (-/-), serumen (-/-)

Pemeriksaan Hidung : Sekret (-/-), epistaksis (-)

Pemeriksaan Leher

 Kelenjar tiroid : Tidak membesar

 Retraksi suprasternal : (-)

 JVP : Tidak meningkat

Pemeriksaan Dada :

Depan Kanan Kiri

Inspeksi : retraksi (-) Inspeksi : retraksi (-)

Palpasi : ketinggalan gerak (-). Palpasi : ketinggalan gerak (-).

Perkusi : sonor pada seluruh Perkusi : sonor pada seluruh


lapang paru lapang paru

4
Auskultasi : Auskultasi :

- Suara dasar : vesikuler - Suara dasar : vesikuler

- Suara tambahan : - Suara tambahan :

Ronkhi (-), wheezing (-), Ronkhi (-), wheezing (-)


krepitasi (-) krepitasi (-)

Belakang Kanan Kiri

Palpasi : ketinggalan gerak (-) Palpasi : ketinggalan gerak (-)

Perkusi : sonor Perkusi : sonor

Auskultasi : Auskultasi :

- Suara dasar : vesikuler - Suara dasar : vesikuler

- Suara tambahan : - Suara tambahan :

Ronkhi (-), wheezing (-), Ronkhi (-), wheezing (-),


krepitasi (-) krepitasi(-)

Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak

Palpasi : Iktus kordis teraba pada sela iga ke 5 line midclavicula kiri

Auskultasi : S1 & S2 reguler, Bising jantung (-)

Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : Bentuk bulat, defans muskular (-), venektasi (-), sikatrik (-)

Auskultasi : Peristaltik usus (+) kesan normal

Palpasi : Nyeri tekan regio hipokondrium dextra (+), organomegali (-)

5
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-).

Genitalia

Tidak diperiksa.

D. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal pemeriksaan: 20 Februari 2019
Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan

WBC 6.98 5.00 – 10,0 × 103/µl

RBC 4.01 4.00 – 5.00 × 106/µl


HGB 11.9 12.0 – 16.0 g/dl
HCT 34.9 36.0 – 48.0 %
PLT 261 150 – 400 × 103/µl

Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan

Hemostatis
CT 10’ <15’00”

BT 2’ 1’00” – 3’00”
Imuno-Serologi
HBsAG Non-Reaktif Non-Reaktif

6
Radiologi USG
Gambaran USG

- Hepar : Tidak membesar, permukaan reguler, ujung tajam, echo


parenkim dalam batas normal, tidak tampak SOL, sistem vasculer dan
bilier tidak dilatasi.
- GB : Dinding tidak menebal, mukosa reguler, tampak echo batu
ukuran 0.8 cm
- Lien : Tidak membesar, echo parenkim dalam batas normal, tidak
tampak SOL
- pankreas : Bentuk dan ukuran dalam batas normal, tidak tampak SOL,
ductus pancreaticus tidak dilatasi
- Ginjal kanan : Ukuran dan contour dalam batas normal, echo cortex
dalam batas normal, Pelviocalyceal sistem tidak dilatasi, tidak tampak
echo batu maupun mass/cyst

7
- Ginjal kiri : Ukuran dan contour dalam batas normal, echo cortex
dalam batas normal, Pelviocalyceal sistem tidak dilatasi, tidak tampak
echo batu maupun mass/cyst
- VU : Mukosa reguler dan tidak menebal, tidak tampak echo batu/mass
- Tidak tampak dilatasi gaster dan loop usus

Kesan : Cholelithiasis

E. Diagnosis Kerja
Diagnosis Kerja : Cholelithiasis

F. Tatalaksana
Laparoscopy Cholecystectomy
G. Laporan Operasi
 Diagnosis pra bedah : Cholelithiasis
 Indikasi operasi : Removal batu empedu
 Nama operasi : Laparoscopy Cholecystectomy
 Persiapan operasi : Inform consent
Profilaksis Ceftriaxone 1gr/12jam/iv
 Posisi pasien : Supine
 Desinfeksi : Povidone Iodine + Alkohol
 Pembukaan lap operasi : Insisi 3 titik laparoscopy
 Pendapatan : Tampak GB menebal dan teraba adanya batu di
dalamnya, massa tumor tidak didapatkan
 Deskripsi operasi : Lakukan cholecystectomy dengan
menggunakan 2 klip dan 1 klip untuk meligasi
arteri cysticus
 Penutupan lap operasi : Jahit luka operasi lapis demi lapis

8
H. Follow up

Subjective (S), Objective (O),


Tanggal Planning (P)
Assesment (A)

26-03-19 S : Nyeri ulu hati tembus ke belakang R/ Rencana dilakukan


Laparoscopy Cholecystectomy
O : KU = SS/GC/GCS 15
tgl 21-02-19
TD : 110/80 mmHg, N: 78x/i, P: 22x/i,
- Informed consent
S: 36 oC
- Lapor OK
Abdomen : supel, peristaltik (+) kesan
normal, nyeri tekan hipokondrium - Konsul anestesi
dextra (+), defans (-)

9
A: Cholelithiasis - Puasa 6-8 jam

- AB profilaksis

(Ceftriaxone 1gr/iv) skin


test

27-03-19 S : Nyeri luka operasi R/ IVFD RL 28 tpm

O : KU = SS/GC/CM/GCS 15 Cetriaxone 1gr/12j/iv

TD : 140/80 mmHg, N: 82x/i, P: 20x/i, Ranitidin 50mg/12j/iv


S: 36,4oC Ketorolac 30mg/8j/iv
Abdomen : supel, peristaltik (+) kesan Boleh minum bila sadar
normal, defans (-) baik
Luka op : kesan kering Malam boleh makan bubur
A: POH-0 Laparoscopy Cholecystectomy

28-03-19 S : Nyeri luka operasi R/ IVFD RL 28 tpm

O : KU = SS/GC/CM/GCS 15 Cetriaxone 1gr/12j/iv

TD : 120/80 mmHg, N: 80x/i, P: 20x/i, Ranitidin 50mg/12j/iv


S: 36,1o Ketorolac 30mg/8j/iv
Abdomen : supel, peristaltik (+) kesan Diet bebas
normal, defans (-)

Luka op : kesan kering

A: POH-I Laparoscopy Cholecystectomy

29-03-19 S : Tidak ada keluhan R/ Aff infus

O : KU = SS/GC/CM/GCS 15 Cefixime 2×200 mg

10
TD : 110/70 mmHg, N: 83x/i, P: 21x/i, Ranitidin 2×150 mg
S: 36,3o Asam mefenamat 3×500
Abdomen : supel, peristaltik (+) kesan mg
normal, defans (-) Boleh pulang
Luka op : kesan kering

A: POH-II Laparoscopy Cholecystectomy

11
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk


suatu material mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu
(cholecystolithiasis) atau di dalam saluran empedu (choledocholithiasis) atau pada
kedua-duanya3.

Gambar 1. Gambaran batu dalam kandung empedu (Emedicine, 2013)

B. Anatomi Kandung Empedu

Sistem biliaris dan hati tumbuh bersama. Berasal dari divertikulum yang
menonjol dari foregut, dimana tonjolan tersebut akan menjadi hepar dan sistem
biliaris. Bagian kaudal dari divertikulum akan menjadi gallbladder (kandung
empedu), ductus cysticus, ductus biliaris communis (ductus choledochus) dan bagian
cranialnya menjadi hati dan ductus hepaticus biliaris.1

12
Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah pear/alpukat dengan
panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu . Apabila kandung empedu
mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, maka infundibulum menonjol seperti
kantong (kantong Hartmann). Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan
collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior
hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung
rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan
arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang
berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus
comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea
dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral
hati.

Ductus cysticus berjalan dari hati ke arah kandung empedu, panjangnya 1-2
cm, diameter 2-3 cm, diliputi permukaan dalam dengan mukosa yang banyak sekali
membentuk duplikasi (lipatan-lipatan) yang disebut Valve of Heister, yang mengatur
pasase bile ke dalam kandung empedu dan menahan alirannya dari kandung empedu.4

Saluran empedu ekstrahepatik terletak di dalam ligamentum hepatoduodenale


dengan batas atas porta hepatis sedangkan batas bawahnya distal papila Vateri.
Bagian hulu saluran empedu intrahepatik bermuara ke saluran yang paling kecil yang
disebut kanikulus empedu yang meneruskan curahan sekresi empedu melalui duktus
interlobaris ke duktus lobaris dan selanjutkan ke duktus hepatikus di hilus.

Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm.
Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi bergantung pada letak muara
duktus sistikus. Ductus choledochus berjalan menuju duodenum dari sebelah
belakang, akan menembus pankreas dan bermuara di sebelah medial dari duodenum
descendens. Dalam keadaan normal, ductus choledochus akan bergabung dengan
ductus pancreaticus Wirsungi (baru mengeluarkan isinya ke duodenum) Tapi ada juga
keadaan di mana masing-masing mengeluarkan isinya, pada umumnya bergabung

13
dulu. Pada pertemuan (muara) ductus choledochus ke dalam duodenum, disebut
choledochoduodenal junction. Tempat muaranya ini disebut Papilla Vatteri. Ujung
distalnya dikelilingi oleh sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu ke dalam
duodenum.

Pembuluh arteri kandung empedu adalah a. cystica, cabang a. hepatica kanan.


V. cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang
sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.

Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak


dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi
lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi lymphatici
coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus.1

Empedu yang disekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran
empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua
saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan hati sebagai Ductus hepaticus
communis. Ductus hepaticus bergabung dengan Ductus cysticus membentuk Ductus
choledochus5.

14
Gambar 2. Gambaran anatomi kandung empedu (Emedicine, 2013)

C. Fisiologi

Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1000 ml/hari. Diluar


waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan di
sini mengalami pemekatan sekitar 50%. Fungsi primer dari kandung empedu adalah
memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium.4 Kandung empedu mensekresi

15
glikoprotein dan H+. Glikoprotein berfungsi untuk memproteksi jaringan mukosa,
sedangkan H+ berfungsi menurunkan pH yang dapat meningkatkan kelarutan
kalsium, sehingga dapat mencegah pembentukan garam kalsium. Pengaliran cairan
empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung
empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu yang
diproduksi akan disimpan di dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung
empedu akan berkontraksi, sfingter relaksasi dan empedu mengalir ke dalam
duodenum.2,5

Menurut Guyton &Hall, 1997 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :

 Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,


karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu
membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel
yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah
pankreas, asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak
yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.

 Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk


buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari
penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel-
sel hati.

Absorpsi kandung empedu Fungsi primer dari kandung empedu adalah


memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium. Kandung empedu mampu
memekatkan zat terlarut yang kedap, yang terkandung dalam empedu hepatik sampai
5-10 kali dan mengurangi volumenya 80%-90%. Meskipun secara primer merupakan
suatu organ pengarbsorpsi, terjadi sekresi mukus selama keadaan patologis seperti
misalnya pembentukan batu empedu dan kadang-kadang dengan obstruksi duktus
kistikus.

16
Aktivitas motoris kandung empedu dan traktus biliaris Pendidikan
tradisional mengajarkan bahwa empedu disimpan dalam kandung empedu selama
periode interdigestif dan diantarkan ke duodenum setelah rangsangan makanan.
Informasi yang lebih baru menunjukkan bahwa aliran empedu terjadi dalam bentuk
yang kontinu, dengan pengosongan kandung empedu terjadi secara konstan. Faktor-
faktor yang bertanggung jawab untuk pengisian kandung empedu dan
pengosongannya adalah hormonal, neural, dan mekanikal. Memakan makanan akan
menimbulkan pelepasan hormon duodenum, yaitu kolesistokinin (CCK), yang
merupakan stimulus utama bagi pengosongan kandung empedu; lemak merupakan
stimulus yamg lebih kuat. Reseptor CCK telah dikenal terletak dalam otot polos dari
dinding kandung empedu. Pengosongan maksimum terjadi dalam waktu 90-120
menit setelah konsumsi makanan. Motilin, sekretin, histamin, dan prostaglandin
semuanya terlihat mempunyai pengaruh yang berbeda pada proses kontraksi. Faktor
neural yang predominan dalam menagtur aktivitas motoris kandung empedu adalah
stimulasi kolinergik yang menimbulkan kontraksi kandung empedu. Pengisisan
kandung empedu terjadi saat tekanan dalam duktus biliaris (berkaitan dengan aliran
dan tekanan sfingter) lebih besar daripada tekanan di dalam kandung empedu.
Sejumlah peptida usus, telah terlibat sebagai faktor endogen yang dapat
mempengaruhi proses ini.

Aktivitas motoris traktus biliaris dan sfingter Oddi Aliran empedu ke dalam
duodenum tergantung pada koordinasi kontraksi kandung empedu dan relaksasi
sfingter Oddi. Makanan merangsang dilepaskannya CCK, sehingga mengurangi fase
aktivitas dari sfingter Oddi yang berkontraksi, menginduksi relaksasi, oleh karena itu
memungkinkan masuknya empedu ke dalam duodenum.

Pembentukan empedu Empedu secara primer terdiri dari air, lemak organik,
dan elektrolit, yang normalnya disekresi oleh hepatosit. Komposisi elektrolit dari
empedu sebanding dengan cairan ekstraseluler. Kandungan protein relatif rendah. Zat
terlarut organik yang predominan adalah garam empedu, kolesterol dan fosfolipid.

17
Asam empedu primer, asam xenodeoksikolat dan asam kolat, disintesis dalam hati
dari kolesterol. Konjugasi dengan taurin atau glisis terjadi di dalam hati. Kebanyakan
kolesterol yang ditemukan dalam empedu disintesis de novo dalam hati. Asam
empedu merupakan pengatur endogen penting untuk metabolisme kolesterol.
Pemberian asam empedu menghambat sintesis kolesterol hepatik tetapi meningkatkan
absorpsi kolesterol. Lesitin merupakan lenih dari 90% fosfolipid dalam empedu
manusia.

Sirkulasi enterohepatik dari asam empedu Lebih dari 80% asam empedu
terkonjugasi secara aktif diabsorpsi dalam ileum terminalis. Akhirnya, kurang lebih
separuh dari semua asam empedu yang diabsorpsi dalam usus dibawa kembali
melalui sirkulasi porta ke hati. Sistem ini memungkinkan kumpulan garam empedu
yang relatif sedikit untuk bersikulasi ulang 6-12 kali perhari dengan hanya sedikit
yang hilang selama tiap perjalanan. Hanya sekitar 5% dari asam empedu yang
diekskresikan dalam feses.

Komponen Dari Hati Dari Kandung Empedu

Air 97,5 gm % 95 gm %

Garam Empedu 1,1 gm % 6 gm %

Bilirubin 0,04 gm % 0,3 gm %

Kolesterol 0,1 gm % 0,3 – 0,9 gm %

Asam Lemak 0,12 gm % 0,3 – 1,2 gm %

Lecithin 0,04 gm % 0,3 gm %

Elektrolit - -

Tabel 1. Komposisi cairan empedu

18
 Garam Empedu

Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua macam
yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.

Fungsi garam empedu adalah :

o Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat


dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah
menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.

o Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin


yang larut dalam lemak

Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman
usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90 %) garam
empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan
sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam
empedu tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan pada
daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi garam
empedu akan terganggu.4

 Bilirubin

Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin.
Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi bilverdin yang
segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh
albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh
glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada
malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak4.

19
D. Epidemiologi

Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang orang
dewasa dan usia lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak berbeda jauh
dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahu 1980-an agaknya
berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi.

Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun,
semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan
untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :

1. Jenis Kelamin.

Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan


dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap
peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang
menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.
Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan
kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung
empedu.

2. Usia.

Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.


Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.

3. Berat badan (BMI).

Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar
kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurangi garam
empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu.

20
4. Makanan.

Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan
dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.

5. Riwayat keluarga.

Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar


dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga.

6. Aktifitas fisik.

Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya


kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.

7. Penyakit usus halus.

Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease,


diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.

8. Nutrisi intravena jangka lama.

Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi


untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal.
Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung
empedu.6

E. Patogenesis

Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi,
faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme
yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung

21
empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang paling penting pada
pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung
empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi
progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri
dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui
peningkatan dan deskuamasi sel dan pembentukan mukus5.
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada
kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu
empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol adalah :
terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu
dan lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu, Jumlah
kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena
sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak
dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu
beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu6.

Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam Ductus choledochus melalui


Ductus cysticus. Dalam perjal anannya melalui Ductus cysticus, batu tersebut dapat
menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga
menimbulkan gejala kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam Ductus cysticus
karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada
disana sebagai batu Ductus cysticus3.

F. Patofisiologi Batu Empedu


1. Batu Kolesterol

Batu kolesterol murni tidak biasa ditemukan dan terjadi pada kurang dari
10% dari seluruh kejadian batu empedu. Batu ini biasanya miuncul sebagai batu
besar dan tunggal dengan permukaan yang halus. Kebanyakan batu kolesterol

22
lain mengandung pigmen empedu dan kalsium yang kadarnya bervariasi, tapi
biasanya terkandung sebanyak 70% dari berat batu kolesterol. Batu kolesterol tipe
ini biasanya jumlahnya multipel, bentuk dan ukurannya bervariasi, keras dan
bersegi atau irreguler, berbentuk seperti buah mullberry dan lembut. Warnanya
bervariasi dari warna kuning keputihan dan hijau sampai hitam. Kebanyakan batu
kolesterol merupakan batu radiolusen; hanya kurang dari 10% yang radioopak.
Apakah batu itu merupakan batu kolesterol murni atau campuran, kejadian utama
pada pembentukan dari batu koleasterol adalah supersaturasi dari empedu
dewngan kolesterol. Oleh karena itu, kadar kolesterol empedu yang tinggi dan
batu empedu kolesterol dapat dikatakan sebagai satu penyakit. Kolesterol sangat
nonpolar dan tidak larut dalam air dan empedu. Kelarutan kolesterol bergantung
pada konsentrasi relatif dari kolesterol, garam empedu dan lesitin (fosfolipid
utama dalam empedu). Supersaturasi hampir selalu disebabkan oleh hipersekresi
koleterol dibandingkan dengan penurunan sekresi fosfolipid atau garam empedu.4
Kolesterol disekresikan ke dalam empedu sebagai vesikel kolesterol-
fosfolipid. Kolesterol dpertahankan dalam bentuk larutan oleh micelles, sebuah
kompeks konjugasi garam embedu-fosfolipid-kolesterol, dan juga oleh vesikel
kolesterol-fosfolipid. Keberadaan vesikel dan micelles dalam satu kompartemen
yang aquaeous mempermudah berpindahnya lipid diantara keduanya. Maturasi
vesikuler terjadi pada saat vesikel lipid tergabung dengan micelle. Vesikel
fosfolipid bergabung dengan micelle dan lebih mudah terjadi dibanding vesikel
kolesterol. Sehingga vesikel tersebut mengandung kadar kolesterol yang tinggi,
menjadi tidak stabil, dan terjadi nukleasi kristal kolesterol. Pada enmedu yang
tidak tersaturasi, terkumpulnya kolesterol dalam vesikel tidak terlalu penting.
Dalam empedu yang mengalami supersaturasi, zona kpadat kolesterol terbentuk
pada permukaan vesikel dengan kadar kolesterol tinggi, yasng menyebabkan
tampaknya gambaran kristal kolesterol. Sebanyak sepertiga kolesterol bilier
ditransportasikan dalam micelle, namun vesikel kolesterol-fosfolipid membawa
mjayoritas kolesterol bilier. 4

23
Menurut Meyers & Jones, 1990 Proses fisik pembentukan batu kolesterol
terjadi dalam empat tahap:
 Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
 Pembentukan nidus.
 Kristalisasi/presipitasi.
 Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol dan senyawa
lain yang membentuk matriks batu.

Gambar 3. Batu kolesterol (Boundless.com, 2013)

2. Batu pigmen

Batu pigmen mengandung kurang dari 20% kolesterol dan berwarna


gelap karena mengandung kalsium bilirubinat. Batu pigmen hitam dan batu
pigmen coklat hanya memiliki sedikit kesamaanm, sehingga harus
dipertimbangkan sebagai entitas yang berbeda. 4
Batu pigmen hitam biasanya kecil, rapuh, berwarna hitam, dan kadang
berspikula. Batu ini terbentuk dari supersaturasi kalsium bilirubuinat, karbonat,
dan fosfat, seringnya terbentuk secara tidak langsung dari kelainan hemolitik
seperti sferositosis herediter dan penyakit sickle cell, dan pada mereka yang
mengalami sirosis. Seperti batu kolesterol, batu tipe ini hampir selalu terrbentuk
dalam kandung empedu. Bilirubin yang tidak terkonjugasi lebih sulit larut
daripada bilirubin yang terkonjugasi. Dekonjugasi bilirubin terjadi pada empedu

24
secara normal dalam tingkat yang lambat. Meningkatnya kadar bilirubiun
terkonjugasi, seperti dalam kasus hemolisis, menyebabkan peningkatan produksi
bilirubin yang tidak terkonjugasi. Sirosis dapat menyebabkan meningkatnya
sekresi bilirubin yang tidak terkonjugasi. Ketika perubahan keadaan
menyebabkan peningkatan dekonmjugasi bilirubin dalam empedu, presipitasi
dengan kalsium terjadi. 4

Gambar 4. Batu Pigmen Hitam (medscape.com, 2013)

Batu colat biasanya berukuran kurang dari 1 cm, berwarna coklat


kekunhingan, lembut dan biasanya lembek. Batu ini dapat terbentuk dalam
kandung empedu ataupun dalam duktus biliaris, biasanya secara sekunder
terbentuk karena infeksi bakterial yang menyebabklan stasis empedu. P[resipitat
kalsium bilirubinat dan sbadan sel bakteri membentuk mayoritas bagian dari batu
ini. Bakteri spereti Escherichia coli mensekresikan beta-glukoronidase yang
secara enzim memecah bilirubin glukoronid untuk memproduksi bilirubin tidak
terkonjugasi yang tidak dapat larut. Substansi ini ke,mudian terpresipitasi dengan
kalsium, berasama dengan badan sel bakteri yang mati, membentuk batu coklat
yang halus dalam trktus biliaris. 4

25
Gambar 5. Batu Pigmen Coklat (gracemedicalschool.com, 2013)

G. Manifestasi Klinis

1. Batu Kandung Empedu (Cholecystolithiasis)


a. Asimptomatik

Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan


gejala (asimptomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat
cholecystitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia,
mual. Studi perjalanan penyakit sampai 50 % dari semua pasien dengan batu
kandung empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah asimptomatik.
Kurang dari 25 % dari pasien yang benar-benar mempunyai batu empedu
asimptomatik akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi
setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang merekomendasikan
cholecystectomy rutin dalam semua pasien dengan batu empedu
asimptomatik4.

b. Simptomatik

Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan


atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15
menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris,
nyeri pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan

26
berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam
dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik
biliaris. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik
biliaris3,4.

c. Komplikasi

Cholecystitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang


paling umum dan sering menyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya
diantara wanita usia pertengahan dan manula. Peradangan akut dari kandung
empedu, berkaitan dengan obstruksi Ductus cysticus atau dalam
infundibulum. Gambaran tipikal dari cholecystitis akut adalah nyeri perut
kanan atas yang tajam dan konstan, baik berupa serangan akut ataupun
didahului sebelumnya oleh rasa tidak nyaman di daerah epigastrium post
prandial. Nyeri ini bertambah saat inspirasi atau dengan pergerakan dan
dapat menjalar kepunggung atau ke ujung skapula. Keluhan ini dapat disertai
mual, muntah dan penurunan nafsu makan, yang dapat berlangsung berhari-
hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai tanda toksemia, nyeri tekan pada
kanan atas abdomen dan tanda klasik ”Murphy sign” (pasien berhenti
bernafas sewaktu perut kanan atas ditekan). Massa yang dapat dipalpasi
ditemukan hanya dalam 20% kasus. Kebanyakan pasien akhirnya akan
mengalami cholecystectomy terbuka atau laparoskopik4.

2. Batu Saluran Empedu (Choledocholithiasis)

Pada batu Ductus choledochus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan
perut kanan atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi
Cholangitis. Apabila timbul serangan Cholangitis yang umumnya disertai
obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya Cholangitis

27
tersebut. Cholangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya Cholangitis
bakterial non piogenik yang ditandai dengan Trias Charcot yaitu demam dan
menggigil, nyeri didaerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi Cholangitis, biasanya
berupa Cholangitis piogenik intrahepatik, akan timbul 5 gejala Pentade Reynold,
berupa tiga gejala Trias Charcot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau
penurunan kesadaran sampai koma3.
Choledocholithiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius
karena komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa. Batu
Ductus choledochus disertai dengan bakterobilia dalam 75% persen pasien serta
dengan adanya obstruksi saluran empedu, dapat timbul Cholangitis akut. Episode
parah Cholangitis akut dapat menyebabkan abses hati. Migrasi batu empedu
kecil melalui Ampula Vateri sewaktu ada saluran umum diantara Ductus
choledochus distal dan Ductus pancreaticus dapat menyebabkan pankreatitis
batu empedu. Tersangkutnya batu empedu dalam ampula akan menyebabkan
ikterus obstruktif.

H. Diagnosis
1. Anamnesis

Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asintomatis.


Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepdia yang kadang disertai intoleran
terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri
di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya
adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang
baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-
lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.

Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak


bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan

28
bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis,
keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.4

2. Pemeriksaan Fisik

a. Batu kandung empedu

Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan


komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum,
hidrop kandung empedu, empiema kandung empedu, atau pankretitis. Pada
pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah
letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan
bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu
yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti
menarik nafas.

b. Batu saluran empedu

Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang.


Kadang teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar
bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila
sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.4

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak


menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi
peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi,
akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus
koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan

29
oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan
mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap
kali terjadi serangan akut.

Alanin aminotransferase ( SGOT = Serum Glutamat – Oksalat


Transaminase ) dan aspartat aminotransferase ( SGPT = Serum Glutamat –
Piruvat Transaminase ) merupakan enzym yang disintesis dalam
konsentrasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan serum sering
menunjukkan kelainan sel hati, tapi bisa timbul bersamaan dengan penyakit
saluran empedu terutama obstruksi saluran empedu.

Fosfatase alkali disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Kadar


yang sangat tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu karena
sel ductus meningkatkan sintesis enzym ini.

Pemeriksaan fungsi hepar menunjukkan tanda-tanda obstruksi.


Ikterik dan alkali fosfatase pada umumnya meningkat dan bertahan lebih
lama dibandingkan dengan peningkatan kadar bilirubin.

Waktu protombin biasanya akan memanjang karena absorbsi vitamin


K tergantung dari cairan empedu yang masuk ke usus halus, akan tetapi hal
ini dapat diatasi dengan pemberian vitamin K secara parenteral.1,7

b. Pemeriksaan radiologis

o Foto polos Abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang


khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat
radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu
berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada

30
peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops,
kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di
kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di
fleksura hepatica.

\
Gambar 5. Foto rongent pada kolelitiasis.4

o Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas


yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran
saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga
dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis
atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu
yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi
karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum
maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih
jelas daripada dengan palpasi biasa.4

31
Gambar 6. Kolelitiasis pada USG4

o Kolesistografi

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup


baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat
batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu.
Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah,
kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis
karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai
hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian
fungsi kandung empedu.4

o Kolangiografi transhepatik perkutan

Merupakan cara yang baik untuk mengetahui adanya obstruksi


dibagian atas kalau salurannya melebar, meskipun saluran yang
ukurannya normal dapat dimasuki oleh jarum baru yang "kecil sekali"
Gangguan pembekuan, asites dan kolangitis merupakan
kontraindikasi.4

32
o Kolangiopankreatografi endoskopi retrograde (ERCP = Endoscopic
retrograde kolangiopankreatograft)

Kanulasi duktus koledokus dan/atau duktus pankreatikus melalui


ampula Vater dapat diselesaikan secara endoskopis. Lesi obstruksi
bagian bawah dapat diperagakan. Pada beberapa kasus tertentu dapat
diperoleh informasi tambahan yang berharga, misalnya tumor ampula,
erosis batu melalu ampula, karsinoma yang menembus duodenum dan
sebagainya) Tehnik ini lebih sulit dan lebih mahal dibandingkan
kolangiografi transhepatik. Kolangitis dan pankreatitis merupakan
komplikasi yang mungkin terjadi. Pasien yang salurannya tak melebar
atau mempunyai kontraindikasi sebaiknya dilakukan kolangiografi
transhepatik, ERCP semakin menarik karena adanya potensi yang
'baik untuk mengobati penyebab penyumbatan tersebut (misalnya:
sfingterotomi untuk jenis batu duktus koledokus yang tertinggal).8

Gb 7. ERCP menunjukkan batu empedu di duktus ekstrahepatik (panah pendek) dan di duktus
intrahepatik (panah panjang)

33
o CT scan

CT scan dapat memperlihatkan saluran empedu yang melebar,


massa hepatik dan massa retroperitoneal (misalnya, massa
pankreatik).Bila hasil ultrasound masih meragukan, maka biasanya
dilakukan CT scan.8

Gb 8. CT-Scan abdomen atas menunjukkan batu empedu multiple

I. Penatalaksanaan
1. Konservatif
a. Lisis batu dengan obat-obatan

Sebagian besar pasien dengan batu empedu asimptomatik tidak akan


mengalami keluhan dan jumlah, besar, dan komposisi batu tidak
berhubungan dengan timbulnya keluhan selama pemantauan. Kalaupun
nanti timbul keluhan umumnya ringan sehingga penanganan dapat elektif.
Terapi disolusi dengan asam ursodeoksikolat untuk melarutkan batu empedu
kolesterol dibutuhkan waktu pemberian obat 6-12 bulan dan diperlukan
monitoring hingga dicapai disolusi. Terapi efektif pada ukuran batu kecil
dari 1 cm dengan angka kekambuhan 50 % dalam 5 tahun1.

34
b. Disolusi kontak

Metode ini didasarkan pada prinsip PTC dan instilasi langsung


pelarut kolesterol ke kandung empedu. Prosedur ini invasif dan kerugian
utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi2.

c. Lithotripsy (Extracorvoral Shock Wave Lithotripsy =ESWL)

Lithotripsy gelombang elektrosyok meskipun sangat populer


beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya
terbatas untuk pasien yang benar-benar telah dipertimbangkan untuk
menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL memerlukan terapi adjuvant asam
ursodeoksikolat.

2. Penanganan operatif
a. Cholecystostomy
Kolesistostomi berguna untukdekompesi dan drainase kandung emedu
yang terdistensi, mengalami inflamasi, hidropik atau purulen. Tinmdakan ini
dapat dilakukan pada pasien yang tiudak cukup memungkinkan kondisinya
untuk dilakukan operasi abdominal. Drainase perkutaneus yang dituntun
ultrasound dengan kateter pigtail merupakan prosedur yang dipilih. Kateter
dimasukkan melalui kawat penuntun yang sebelumya telah dipasang
menembus dinding abdomen, hepar, dan masuk ke dalam kandung empedu.
Dengan menggunakan kateter yang melewati hepar, resiko terjadinya empedu
yang merembes dari sekitar kateter dapat dikurangi. Kateter dapat dilepas
apabila inflamasi sudah hilang dan kondisi pasien membaik. Kandung empedu
dapat dibuang jika ada indikasi, biasanya dengan tindakan laparoskopi4.

35
Gambar 9. Percutaneous Colescystostomy (medicc.jp, 2010)

c. Open cholecystectomi

Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu


empedu simptomatik. Indikasi yang paling umum untuk cholecystectomy adalah
kolik biliaris rekuren, diikuti oleh cholecystitis akut. Komplikasi yang berat jarang
terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini
menunjukkan mortalitas pada pasien yang menjalani cholecystectomy terbuka pada
tahun 1989, angka kematian secara keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari
65 tahun angka kematian 0,03 % sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka
kematian mencapai 0,5 %4.

d. Cholecystectomy laparoscopy

Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal,


pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, mempersingkatkan waktu
perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah

36
nyeri bilier yang berulang. Kontraindikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka
yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak
dapat dikoreksi. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor
Ductus cysticus dan trauma Ductus biliaris. Resiko trauma Ductus biliaris sering
dibicarakan, namun umumnya berkisar antara 0,5–1%. Dengan menggunakan
teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali
menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan semua otot
abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk aktifitas olahraga.

e. Cholecystectomy minilaparotomy

Modifikasi dari tindakan cholecystectomy terbuka dengan insisi lebih kecil


dengan efek nyeri pasca operasi lebih rendah5.

37
BAB IV

KESIMPULAN

Kolelitiasis dipengaruhi oleh beberapa factor, di antaranya etnis, jenis


kelamin, komorbiditas, dan genetic. Insidens kolelitiasis di negara Barat adalah
sekitar 10-20 %, dan biasanya terjadi pada orang dewasa tua dan lanjut usia.
Prevalensi kolelitiasis di Asia dan Africa lebih rendah daripada negara Barat.
Angka kejadian pada wanita lebih banyak 2-3 kali lebih banyak daripada pria.
Risiko terjadinya kolelitiasis juga meningkat dengan bertambahnya umur.

Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu, batu kolesterol, batu pigmen atau
batu bilirubin yang terdiri dari kalsium bilirubinat, serta batu campuran.
Patofisiologi dari terjadinya batu tersebut berbeda-beda. Pada Asia lebih banyak
batu pigmen.

Kebanyakan kolelitiasis tidak mempunyai gejala maupun tanda.


Perpindahan batu menuju ductus cysticus menyebabkan kolik selain itu dapat
menyebabkan kolesistitis akut. Kolangitis dapat terjadi ketika batu menghambat
duktus hepaticus atau ductus billiaris sehingga mengakibatkan infeksi dan
inflamasi. Kolelitiasis kronik menyebabkan fibrosis dan hilangnya fungsi dari
kandung empedu, selain itu merupakan factor predisposisi terjadinya kanker pada
kandung empedu.

Ultrasonografi merupakan modalitas yang terpilih jika terdapat kecurigaan


penyakit kandung empedu dan saluran empedu.

Pengobatan pada kolelitiasis tergantung pada tingkat dari penyakitnya. Jika


tidak ada gejala maka tidak diperlukan kolesistektomi. Tapi jika satu kali saja
terjadi gejala, maka diperlukan kolesistektomi. Selain itu juga dapat dilakukan

38
penanganan non operatif dengan cara konservatif yaitu melalui obat (ursodioksilat)
dan ESWL.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3.
Jakarta:Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2012.380-4.

2. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of


Surgery. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010.459-64.

3. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit


Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-9.

4. Brunicardi FC et al. Schwartz’s principles of surgery. 8th edition. United States


America : McGraw Hill, 2012.1188-1218.

5. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis dalam : Patofisiologi. Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 4. Jakarta : EGC. 2005. 430-44.

6. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta: EGC, 2007. 1028-1029.

7. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Biliary Tract. In :
Sabiston Textbook of Surgery 17th edition. 2004. Pennsylvania : Elsevier.

8. Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers TA, Spencer J. Biliary Surgery.
In : Washington Manual of Surgery 5th edition. 2008. Washington : Lippincott
Williams & Wilkins.

40

Anda mungkin juga menyukai