KEDOKTERAN FORENSIK
Pembimbing
dr.H. Hariadi Apuranto, Sp.F (K)
Penyusun :
Kelompok UNEJ - 1
0
1.1 Latar Belakang
Tanatologi atau yang secara umum dikenal sebagai science of death
merupakan ilmu yang penting dikuasai oleh ahli kedokteran kehakiman ataupun
dokter yang bukan ahli kedokteran kehakiman.Tanatologi mempelajari
perubahan-perubahan setelah kematian yang sangat bermanfaat dalam
menentukan apakah seseorang telah meninggal atau belum, dan menentukan
berapa lama seseorang telah meninggal, serta membedakan perubahan setelah
kematian dengan kelainan yang terjadi pada waktu korban masih hidup.
Menentukan saat kematian merupakan hal yang penting dilakukan baik pada
kasus kriminal maupun sipil. Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenali
secara klinis pada seseorang melalui tanda kematian yaitu perubahan yang
terjadi pada tubuh mayat. Memperkirakan saat kematian yang mendekati
ketepatan mempunyai arti penting khususnya bila dikaitkan dengan proses
penyidikan, dengan demikian penyidik dapat lebih terarah dan selektif di dalam
melakukan pemeriksaan terhadap para tersangka pelaku tindak pidana. Tanda
kematian tidak pasti adalah pernafasan berhenti, sirkulasi terhenti, kulit pucat,
tonus otot menghilang dan relaksasi, pembuluh darah retina mengalami
segmentasi dan pengeringan kornea. Sedangkan tanda pasti kematian adalah
lebam mayat (livor mortis), kaku mayat (rigor mortis), penurunan suhu tubuh
(algor mortis), pembusukan, dan mumifikasi.
Lingkungan merupakan penentu utama terjadinya pembusukan pada tubuh
baik ketika tertimbun tanah, terendam air, dan tidak terkena sinar matahari.
Pembusukan berhubungan dengan berbagai macam bau. Bau ini berasal dari
pembusukan tubuh yang tidak bisa digambarkan. Tubuh yang bau pada tahap
pembusukan diakibatkan karena menghasilkan gas yang tinggi pada tubuh
setelah beberapa jam kematian. Pada suhu ruangan, perut kanan bagian bawah
akan berubah warna hijau setelah 24 jam kematian dan seluruh tubuh setelah 36
jam kematian.
Penentuan saat kematian merupakan hal yang penting dalam kasus pidana
dan perdata. Estimasi yang tepat membantu penyidik dalam mengatur waktu
pembunuhan, memverifikasi saksi pernyataan, batas jumlah tersangka dan
menilai pernyataan mereka. Hal ini juga sangat penting bagi para penyidik
forensik, terutama ketika meraka mengumpulkan bukti yang dapat mendukung.
1
Setelah kematian, banyak perubahan physiochemical yang terjadi pada
korban. Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk
mengajukan judul referat “Manfaat Tanatologi dalam Kedokteran Forensik”.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas maka didapatkan permasalahan :
Bagaimanakah perubahan-perubahan yang terjadi setelah kematian untuk
menentukan seseorang telah meninggal atau belum, dan menentukan lama
seseorang telah meninggal, serta membedakan perubahan setelah kematian
dengan kelainan yang terjadi pada waktu korban masih hidup?
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari tanda – tanda kematian dan
perubahan yang terjadi setelah seseorang mati serta faktor yang
mempengaruhinya. Tanatologi merupakan ilmu paling dasar dan paling penting
dalam ilmu kedokteran kehakiman terutama dalam hal pemeriksaan jenazah
(visum et repertum).
3
Fluorescin 1 gram
Na biocarbonas 1 gram
Aquadest ad 8 cc
Bila sirkulasi masih ada, maka daerah sekitar akan berwarna kuning
kehijauan.
5. Tes lilin.
Bagian tubuh korban ditetesi lilin cair maka tidak akan terjadi
vasodilatasi (hiperemi) sebagai reaksi terhadap rangsang panas karena
sirkulasi tidak ada.
6. Arteri radialis incisi
Bila sirkulasi masih ada, maka darah akan keluar secara pulsasi.
7. EKG.
Tes pernafasan.
1. Ausculatory
Dengan stetoskop didaerah larynx dan didengarkan terus menerus selama
5 menit sampai 10 menit.
2. Mirror test
Tidak tampak uap air ketika kaca diletakkan di depan hidung atau mulut
korban.
3. Bulu-bulu halus.
Tidak terdapat reaksi bersin/ geli ketika bulu-bulu halus diletakkan di
depan hidung korban.
4. Winslow test
Dilakukan pada orang yang pernafasannya agonal (tinggal satu-satu
nafasnya) dengan cara menempatkan cermin di dada korban dan disinari
dengan lampu senter. Bila bernafas maka sinar lampu senter akan ikut
bergerak dengan syarat pemeriksa tidak boleh bergerak. Atau bisa
menggunakan baskom berisi air yang akan bergerak bila ada pergerakan
di dada.
Tes Saraf
1. Memeriksa reflex : reflex kornea
2. EEG
c. Mati cerebral
- Yaitu proses kematian yang ditandai dengan tidak berfungsinya otak dan
susunan saraf pusat. (WHO)
4
- Kerusakan batang otak : pernafasan berhenti namun masih bisa
dipertahankan dengan ventilator.
5
- Kelopak mata biasanya tertutup setelah kematian karena kekakuan primer
dari otot tetapi kekakuan otot biasanya sukar untuk membuat mata menutup
menjadi lengkap sehingga akan tampak sklera, sel debris, mukus dan debu
dalam beberapa jam kematian, menjadi merah kecoklatan dan kemudian
menjadi hitam (Taches Noire De La Sclerotique). Kecepatan kekeruhan
dipengaruhi oleh :
Waktu kematian keadaan matanya menutup atau membuka (bila menutup
maka kekeruhan lambat terjadi, tapi bila membuka, maka kekeruhan akan
cepat terjadi akibat kontak dengan luar).
Kelembapan udara (bila lembab maka kekeruhan lambat, bila kering /
angin kencang maka kekeruhan cepat terjadi).
Keadaan korban sebelum mati (bila sakit mata maka kekeruhan akan
cepat terjadi).
Faktor – faktor penyebab kematian lainnya seperti :
Apoplaxia (perdarahan karena hipertensi) akan tampak kornea terang
karena terjadi perdarahan retina.
Keracunan sianida dan CO maka kekeruhan akan cepat terjadi.
Kematian kurang dari 1 jam, otot – otot mata masih hidup sehingga
bisa ditetesi atropin akan terjadi midriasis pupil.
- Tekanan intraokuler tidak ada. Tekanan intraokuler menurun dengan cepat
setelah kematian tergantung dari tekanan darah arteri. Bola mata menjadi
lunak dan cenderung untuk masuk ke dalam fossa orbital. Kekakuan bola
mata dapat dengan mudah ditentukan dengan perabaan. Bila jantung
berhenti berdetak, tekanan menurun sekitar setengah sampai satu jam
setelah kematian dan menjadi nol setelah 2 jam setelah kematian.
- Kadar kalium yang tinggi karena cairan bola mata keluar (jumlah kalium
yang keluar berhubungan dengan waktu kematian).
- Kedudukan pupil. Walaupun iris berespon terhadap kimia beberapa jam
setelah kematian, refleks cahaya menghilang segera saat nukleus batang
otak mengalami iskemik. Iris mengandung jaringan otot yang banyak
sehingga kehilangan tonus dengan cepat dan iris biasanya relaksasi.
- Perubahan pembuluh darah retina melalui pemeriksaan ophtalmoskop retina
akan dapat menentukan satu tanda pasti kematian awal. Setelah mati, aliran
darah pembuluh darah retina menjadi segmen seiring dengan tekanan darah
yang hilang menyebabkan aliran darah terbagi menjadi beberapa segmen.
6
- Kulit menjadi pucat. Karena sirkulasi darah berhenti setelah kematian, darah
merembes keluar dari pembuluh darah kecil sehingga kulit tampak pucat.
Kulit menjadi pucat, bewarna putih abu dan kehilangan elastisitasnya.
Pada kasus kematian berhubungan dengan spasme agonal dan terdapatnya
sumbatan pada pembuluh darah balik karena tekanan pada leher atau karena
asfiksia traumatic, wajah tetap berwarna merah kebiruan selama beberapa
saat setelah kematian.
- Elastisitas (turgor) kulit menurun sampai menghilang.
7
Cara mengukur penurunan suhu jenazah adalah dengan thermo couple.
Penurunan suhu jenazah dapat dipakai untuk memperkirakan saat kematian
korban, yaitu dengan memakai rumus berikut :
1o C per jam 6 jam pertama, 1o F jam 6 kedua, 0,6o F per jam 6 jam ketiga,
setelah 12 jam mencapai suhu sama dengan suhu lingkungan (untuk kulit).
Sedangkan untuk organ – organ dalam : 24 jam baru bias sama dengan suhu
lingkungan. Bila tenggelam / dalam air : 6 jam sudah mencapai suhu
lingkungan.
8
hypostasis itu sendiri mengandung arti kongesti pasif dari sebuah organ atau
bagian tubuh.
Lebam terjadi sebagai akibat pengumpulan darah dalam pembuluh –
pembuluh darah kecil, kapiler, dan venula, pada bagian tubuh yang terendah.
Dengan adanya penghentian dari sirkulasi darah saat kematian, darah
mengikuti hukum gravitasi. Kumpulan darah ini bertahan sesuai pada area
terendah pada tubuh, memberi perubahan warna keunguan atau merah
keunguan terhadap area tersebut. Darah tetap cair karena adanya aktivitas
fibrinolisin yang berasal endotel pembuluh darah.
Timbulnya livor mortis mulai terlihat dalam 30 menit setelah kematian
somatis atau segera setelah kematian yang timbul sebagai bercak keunguan.
Bercak kecil ini akan semakin bertambah intens dan secara berangsur – angsur
akan bergabung selama beberapa jam kedepan untuk membentuk area yang
lebih besar dengan perubahan warna merah keunguan. Kejadian ini akan
lengkap dalam 6 -12 jam. Sehingga setelah melewati waktu tersebut, tidak akan
memberikan hilangnya lebam mayat pada penekanan. Sebaliknya,
pembentukan livor mortis ini akan menjadi lambat jika terdapat anemia,
kehilangan darah akut, dan lain – lain.
Besarnya lebam mayat bergantung pada jumlah dan keenceran dari darah.
Darah akan mengalami koagulasi spontan pada semua kasus sudden death
dimana otopsi dilakukan antara 1 jam. Koagulasi spontan ini mungkin akan
hilang paling cepat 1,5 jam setelah mati. Tidak adanya fibrinogen pada darah
post mortem akan menyebabkan tidak terjadinya koagulasi spontan.
Fibrinolisin didapatkan dari darah post mortem hanya bertindak pada fibrin,
bukan pada fibrinogen. Fibrinolisin bertindak dengan mengikatkan dirinya
pada bekuan yang baru dibentuk dan kemudian akan lepas menjadi cairan
bersama bekuan yang hancur. Fibrinolisin dibentuk oleh sel endotel dalam
pembuluh darah.
Lebam mayat lama kelamaan akan terfiksasi oleh karena adanya kaku
mayat. Pertama – tama karena ketidakmampuan darah untuk mengalir pada
pembuluh darah menyebabkan darah berada dalam posisi tubuh terendah dalam
beberapa jam setelah kematian. Kemudian saat darah sudah mulai terkumpul
pada bagian – bagian tubuh, seiring terjadi kaku mayat. Sehingga hal ini
menghambat darah kembali atau melalui pembuluh darahnya karena terfiksasi
akibat adanya kontraksi otot yang menekan pembuluh darah. Selain itu
dikarenakan bertimbunnya sel – sel darah dalam jumlah cukupbanyak sehingga
sulit berpindah lagi.
9
Biasanya lebam mayat berwarna merah keunguan. Warna ini bergantung
pada tingkat oksigenisasi sekitar beberapa saat setelah kematian. Perubahan
warna lainnya dapat mencakup:
- Cherry pink atau merah bata (cherry red) terdapat pada keracunan oleh
carbonmonoksida atau hydrocyanic acid.
- Coklat kebiruan atau coklat kehitaman terdapat pada keracunan kalium
chlorate, potassium bichromate atau nitrobenzen, aniline, dan lain – lain.
- Coklat tua terdapat pada keracunan fosfor.
- Tubuh mayat yang sudah didinginkan atau tenggelam maka lebam akan
berada didekat tempat yang bersuhu rendah, akan menunjukkan bercak pink
muda kemungkinan terjadi karena adanya retensi dari oxyhemoglobin pada
jaringan.
- Keracunan sianida akan memberikan warna lebam merah terang, karena
kadar oksi hemoglobin (HbO2) yang tinggi.
10
diantara pembuluh darah diluar pembuluh darah
dan tidak terdapat dan tampak bukti
peradangan peradangan
Enzimatik Tidak ada perubahan Perubahan level dari
enzim pada daerah yang
terlibat
11
Disebut juga cadaveric rigidity. Kaku mayat atau rigor mortis adalah
kekakuan yang terjadi pada otot yang kadang – kadang disertai dengan sedikit
pemendekkan serabut otot, yang terjadi setelah periode pelemasan / relaksasi
primer.
Kaku mayat mulai terdapat sekitar 2 jam post mortal dan mencapai
puncaknya setelah 10 – 12 jam post mortal, keadaan ini akan menetap selama
24 jam, dan setelah 24 jam kaku mayat mulai menghilang sesuai dengan urutan
terjadinya, yaitu dimulai dari otot – otot wajah, leher, lengan, dada, perut, dan
tungkai.
Kekakuan pertama ditemukan pada otot – otot kecil, bukan karena itu
terjadi pertama kali disana, melainkan karena adanya sendi yang tidak luas,
seperti contohnya tulang rahang yang lebih mudah diimobilisasi.
Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme
tingkat seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang
menghasilkan energi. Energi ini digunakan untuk memecah ADP menjadi ATP.
Selama masih terdapat ATP maka serabut aktin dan miosin tetap lentur. Bila
cadangan glikogen dalam otot habis, maka energi tidak terbentuk lagi, aktin
dan miosin menggumpal dan otot menjadi kaku. Faktor – faktor yang
mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktifitas fisik sebelum mati, suhu
tubuh yang tinggi, bentuk tubuh yang kurus dengan otot – otot kecil dan suhu
lingkungan yang tinggi. Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian.
Kaku mayat mulai tampak kira – kira 2-3 jam setelah mati klinis, dimulai dari
bagian luar tubuh (otot – otot kecil) ke arah dalam (sentripetal). Teori lama
menyebutkan bahwa kaku mayat ini menjalar kraniokaudal. Setelah mati klinis
12 jam, kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan selama 12 jam dan
kemudian menghilang dalam urutan yang sama. Kaku mayat umumnya tidak
disertai pemendekan serabut otot, tetapi jika sebelum terjadi kaku mayat otot
berada dalam posisi teregang, maka saat kaku mayat terbentuk akan terjadi
pemendekan otot.
Proses terjadinya kaku mayat dapat melalui beberapa fase :
- Fase pertama
Sesudah kematian somatik, otot masih dalam bentuk yang normal.
Tubuh yang mati akan mampu menggunakan ATP yang sudah tersedia dan
ATP tersebut diresintesa dari cadangan glikogen. Terbentuknya kaku mayat
yang cepat adalah saat dimana cadangan glikogen dihabiskan oleh latihan
yang kuat sebelum mati, seperti mati saat terjadi serangan epilepsi atau
spasme akibat tetanus, tersengat listrik, atau keracunan strychnine.
12
- Fase kedua
Saat ATP dalam otot berada dibawah ambang normal, kaku akan
dibentuk saat konsentrasi ATP turun menjadi 85%, dan kaku mayat akan
lengkap jika berada dibawah 15%.
- Fase ketiga
Kekakuan menjadi lengkap dan irreversible.
- Fase keempat
Disebut juga fase resolusi. Saat dimana kekakuan hilang dan otot
menjadi lemas. Salah satu pendapat terjadinya hal ini dikarenakan proses
denaturasi dari enzim pada otot.
Metode yang sering digunakan untuk mengetahui ada tidaknya rigor mortis
adalah dengan melakukan fleksi atau ekstensi pada persendian tersebut.
Beberapa subyek, biasanya bayi, orang sakit, atau orang tua, dapat memberikan
kekakuan yang kurang dapat dinilai, kebanyakan dikarenakan lemahnya otot
mereka.
Rigor Mortis Pada Jaringan Tubuh
Kekakuan juga terjadi pada seluruh jaringan muskular dan organ sama
seperti terjadi pada otot skelet. Kekakuan dapat terjadi tidak sama pada tiap
mata, membuat letak pupil tidak sama, hal ini memastikan bahwa posisi post –
mortem menjadi indikator yang tidak dapat dipercaya pada kondisi toksik atau
neurologis selama hidup.
Pada jantung, kekakuan menyebabkan kontraksi ventrikel, yang
menyerupai pembesaran ventrikel kiri, hal ini dapat dihindari dengan
pengukuran berat total, menilai ukuran normal jantung kiri, mengukur
ketebalan ventrikel, dan yang paling penting dengan pembedahan dan
membandingkan berat kedua ventrikel.
Kekakuan muskulus dartos pada skrotum dapat menghimpit testes dan
epididimis, dimana akan membuat kontraksi serabut otot vesikula seminalis
dan prostat menyebabkan terjadinya ekstrusi semen dari uretra eksterna pada
post – mortem. Kekakuan pada muskulus erector pili yang menempel pada
folikel rambut dapat mengakibatkan gambaran dengan elevasi dari folikel
rambut (goose – flesh appearence).
Proses Biokimiawi yang Terjadi Pada Rigor Mortis
Szent – Gyorgi (1947) menemukan bahwa substansi kontraktil essensial
pada otot adalah protein actin dan miosin. Energi ini didapat dengan membagi
kompleks fosfat dari ADP menjadi ATP (Erdos, 1943). Gugus fosfat yang bebas
akan membentuk reaksi fosforilasi yang mengubah glikogen menjadi asam
laktat. ADP dibentuk kembali dengan meresintesa ATP dengan tambahan
kreatin fosfat.
13
Sebagai tambahan untuk persediaan energi, ATP bertanggung jawab
terhadap kekenyalan otot. Asam laktat disaring kembali masuk kedalam
peredaran darah dan kembali ke hati untuk dikonversikan kembali menjadi
glikogen. Semua reaksi ini anaerob dan dapat berlanjut setelah kematian.
Saat hidup, terdapat konsentrasi ATP yang konstan pada jaringan otot,
terdapat keseimbangan antara penggunaan dan resintesis ATP. Saat mati,
bagaimanapun reaksi perubahan ADP menjadi ATP berhenti dan kadar trifosfat
berangsur – angsur berkurang dengan akumulasi asam laktat. Sesudah beberapa
waktu, bergantung pada temperatur dan jumlah ATP yang tersisa, aktin dan
miosin berikatan, mengakibatkan otot menjadi kaku sebagai akibat timbulnya
kekakuan pada otot. (Bate – Smith and Bendall, 1947)
Resintesis ATP bergantung pada ketersediaan glikogen, dimana akan
dikurangi dengan adanya aktifitas berat sebelum mati. Secara normal, hal ini
muncul pada periode awal setelah kematian dimana tingkat ATP dipertahankan
atau bahkan meningkat sebagai hasil dari pembebasan fosfat oleh proses
glikogenolisis.
Kekakuan dimulai saat konsentrasi ATP turun menjadi 85% dari normal,
dan kekakuan otot akan maksimal saat kadar turun menjadi 15%. Saat sudah
sempurna, kekakuan “dipatahkan” dengan gerakan memaksa dari anggota
badan atau leher, lalu jika tidak kembali, maka hal ini memudahkan
dilakukannya pekerjaan dalam kamar mayat atau memasukkan ke dalam peti
mati. Namun jika kekakuan tetap terbentuk, maka kekakuan tersebut akan
berlanjut pada posisi yang baru sesuai gerakan terakhir. Kadang, kekakuan
dapat membantu memperlihatkan bahwa tubuh telah dipindahkan antara saat
mati dan saat ditemukan.
Faktor yang mempengaruhi kecepatan terjadinya rigor mortis
Sebagai suatu proses kimia, kecepatan dan durasi dari kekakuan
dipengaruhi oleh temperatur. Semakin tinggi suhu lingkungan, akan
memperlambat proses ini. Mayat yang terdapat pada daerah dingin / salju tidak
akan mengalami kekakuan bahkan sampai 1 minggu setelah kematian, namun
saat mayat tersebut dipindahkan ke tempat yang hangat, maka dengan cepat
akan mengalami kekakuan. Sebaliknya, cuaca panas atau tropis dapat
mempercepat, sehingga kekakuan akan terjadi dalam beberapa jam atau bahkan
kurang. Kekakuan total terbentuk cepat, kemudian akan hilang semenjak hari
pertama terjadinya pembusukan.
Faktor lainnya adalah aktifitas fisik sebelum mati. Ketersediaan glikogen
dan ATP dalam otot adalah elemen terpenting dalam terbentuknya kekakuan.
14
Kerja otot mempengaruhi interaksi dari substansi tersebut dan dapat
mempercepat onset terjadinya kekakuan. Cadaveric spasme, merupakan bentuk
variasi dari kekakuan yang dipercepat.
Kondisi rata – rata yang sering dialami pada rigor mortis :
- Jika tubuh mayat terasa hangat dan tidak kaku, maka orang itu sudah mati
tidak sampai 3 jam.
- Jika tubuh mayat terasa hangat dan kaku, maka orang itu sudah mati 3 – 8
jam lamanya.
- Jika tubuh mayat terasa dingin dan kaku, maka orang itu sudah mati 8 – 36
jam lamanya.
- Jika tubuh mayat terasa dingin dan tidak kaku, maka orang itu sudah mati
lebih dari 36 jam.
15
Kaku biasanya tidak terjadi pada janin yang tidak lebih dari 7 bulan,
tapi masih bisa ditemukan pada bayi yang cukup bulan. Kaku bisa timbul
dan menghilang dengan sangat dini.
16
mayat. Sehingga apabila nanti dihangatkan, tubuh mayat akan lemas dan
kemudian terjadi rigor mortis (kaku mayat).
Bila orang yang mati duluan, kemudian dibuang ditempat yang dingin ->
tubuh mayat yang dibuang akan tetap kaku karena udara dingin, tetapi
setelah dihangatkan tubuh mayat akan tetap lemas. Tidak akan terjadi rigor
mortis.
c. Cadaveric Spasm
Cadaveric spasm terjadi pada kematian yang disebabkan jika seseorang
berada ditengah aktifitas fisik atau emosi yang kuat, yang kemudian menuntun
pada kekakuan post – mortem instan yang sedikit kurang dapat dipahami. Hal
ini harus diawali dengan aktifitas saraf motorik, tetapi beberapa alasan
mengatakan terdapat kegagalan relaksasi normal. Fenomena biasanya terjadi
hanya pada 1 daerah otot, contohnya otot fleksor tangan, dibanding seluruh
tubuh. sesungguhnya merupakan kaku mayat yang timbul dengan intensitas
sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi primer. Penyebabnya adakah akibat
habisnya cadangan glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat mati
klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal.
Keuntungannya, kebanyakan penyidik dapat mengetahui saat seseorang
diduga mati dibunuh atau bunuh diri saat melihat tangannya yang
menggenggam senjata. Jika menemukan korban yang tenggelam, atau jatuh
dari ketinggian, hal ini memiliki nilai yang memastikan bahwa orang tersebut
masih hidup saat dia jatuh, dengan demikian hal ini membedakan pada korban
post – mortem yang dibuang.
17
Mekanisme pembentukan Penurunan ATP dibawah Tidak diketahui
level kritis
Hubungan medikolegal Mengetahui perkiraan Mengetahui perkiraan cara
waktu kematian kematian, bisa karena
bunuh diri, kecelakaan,
atau pembunuhan
18
Aktifitas pembusukan berlangsung optimal pada suhu antara 70 sampai 100
derajat Fahrenheit dan berkurang pada suhu dibawah 70 derajat Fahrenheit.
Oleh sebab itu, penyebaran awal pembusukan ditentukan oleh dua faktor
yaitu sebab kematian dan lama waktu saat suhu tubuh berada dibawah 70
derajat Fahrenheit.
c. Perubahan Warna.
Pembusukan diikuti dengan hilangnya kaku mayat, tetapi pada suhu yang
sangat tinggi dan kelembapan tinggi, maka pembusukan terjadi sebelum
kaku mayat hilang.
Tanda awal pembusukan adalah tampak adanya warna hijau pada kulit dan
dinding perut depan, biasanya terletak pada sebelah kanan fossa iliaca,
dimana daerah tersebut merupakan daerah colon yang mengandung banyak
bakteri dan cairan. Warna ini terbentuk karena perubahan hemoglobin
menjadi sulpmethaemoglobin karena masuknya H2S dari usus ke jaringan.
Warna ini biasanya muncul antara 12 – 18 jam pada keadaan panas dan 1 – 2
hari pada keadaan dingin dan lebih tampak pada kulit cerah.
Warna hijau ini akan menyebar ke seluruh dinding perut dan alat kelamin
luar, menyebar ke dada, leher, wajah, lengan, dan kaki. Rangkaian ini
disebabkan karena luasnya distribusi cairan atau darah pada berbagai organ
tubuh.
Pada saat yang sama, bakteri yang sebagian besar berasal dari usus, masuk
ke pembuluh darah. Darah didalam pembuluh akan dihemolisis sehingga
akan mewarna pembuluh darah dan jaringan penujang, memberikan
gambaran marbled appearence. Warna ini akan tetap ada sekitar 36 – 48 jam
setelah kematian dan tampak jelas pada vena superficial perut, bahu dan
leher.
d. Pembentukan Gas Pembusukan.
Pada saat perubahan warna pada perut, tubuh mulai membentuk gas yang
terdiri dari campuran gas tergantung dari waktu kematian dan lingkungan.
Gas ini akan terkumpul pada usus dalam 12 – 24 jam setelah kematian dan
mengakibatkan perut membengkak. Dari 24 – 48 jam setelah kematian, gas
terkumpul dalam jaringan, cavitas sehingga tampak mengubah bentuk dan
membengkak. Jaringan subkutan menjadi emphysematous, dada, skrotum,
dan penis, menjadi teregang. Mata dapat keluar dari kantungnya, lidah
terjulur diantara gigi dan bibir menjadi bengkak. Cairan berbusa atau mukus
berwarna kemerahan dapat keluar dari mulut dan hidung. Perut menjadi
sangat teregang dan isi perut dapat keluar dari mulut. Sphincter relaksasi
dan urine serta feses dapat keluar. Anus dan uterus prolaps setelah 2 – 3 hari.
19
Gas terkumpul diantara dermis dan epidermis membentuk lepuh. Lepuh
tersebuh dapat mengandung cairan berwarna merah, keluar dari pembuluh
darah karena tekanan dari gas. Biasanya lepuh terbentuk lebih dahulu
dibawah permukaan, dimana jaringan mengandung banyak cairan karena
oedema hipostatik. Epidermis menjadi longgar menghasilkan kantong berisi
cairan bening atau merah muda disebut skin slippage yang terlihat pada hari
2 – 3.
Antara 3 – 7 hari setelah kematian, peningkatan tekanan gas pembusukan
dihubungkan dengan perubahan pada jaringan lunak yang akan membuat
perut menjadi lunak. Gigi dapat dicabut dengan mudah atau keropos. Kulit
pada tangan dan kaki dapat menjadi “glove and stocking”. Rambut dan kuku
menjadi longgar dan mudah dicabut.
5 – 10 hari setelah kematian, pembusukan bersifat tetap. Jaringan lunak
menjadi masa semisolid berwarna hitam yang tebal yang dapat dipisahkan
dari tulang dan terlepas. Kartilogi dan ligament menjadi lunak.
e. Skeletonisasi.
Skeletonisasi berlangsung tergantung faktor intrinsik dan ekstrinsik dan
lingkungan dari mayat tersebut, apakah terdapat di udara, air, atau terkubur.
Pada umumnya tubuh yang terkena udara mengalami skeletonisasi sekitar 2
– 4 minggu tetapi dapat berlangsung lebih cepat bila terdapat binatang
seperti semut dan lalat, dapat pula lebih lama bila tubuh terlindungi
contohnya terlindung daun dan disimpan dalam semak.
Dekomposisi berbeda pada setiap tubuh, lingkungan dan dari bagian tubuh
yang satu dengan yang lain. Terkadang, satu bagian tubuh telah mengalami
mumifikasi sedangkan bagian tubuh lainnya menunjukkan pembusukan.
Adanya binatang akan menghancurkan jaringan luna dalam waktu yang
singkat dan dalam waktu 24 jam akan terjadi skeletonisasi.
f. Pembusukan Organ Dalam.
Perubahan warna muncul pada jaringan dan organ dalam tubuh walaupun
prosesnya lebih lama dari yang dipermukaan. Jika organ lebih lunak dan
banyak vascular maka akan membusuk lebih cepat. Warna merah kecoklatan
pada bagian dalam aorta dan pembuluh darah lain muncul pada perubahan
awal. Adanya hemolisis dan difusi darah akan mewarnai sekeliling jaringan
atau organ dan merubah warna organ tersebut menjadi hitam. Organ menjadi
lunak ,berminyak, empuk dan kemudian menjadi masa semiliquid.
20
Lambung dan usus Jantung
Limpa Ginjal
Omentum dan mesenterium Oesofagus dan diafragma
Hati Kandung kencing
Otak Pembuluh darah
Uterus gravid Prostat dan uterus
21
yaitu kepala dan wajah terletak lebih rendah dari bagian tubuh lainnya
karena kepala lebih berat dan padat. Bagian batang tubuh berada paling
atas dan anggota gerak tergantung secara pasif pada posisi yang lebih
rendah. Posisi ini menyebabkan darah banyak menuju kepala dan
mempercepat pembusukan.
b. Faktor Endogen
1. Sebab kematian.
Jika seseorang meninggal karena kecelakaan, pembusukan akan
berlangsung lebih lama daripada orang yang meninggal karena sakit.
Kematian karena gas gangren, sumbatan usus, bakteriemia / septikemia,
aborsi akan menunjukkan proses pembusukan yang lebih cepat. Racun
yang dapat memperlambat pembusukan yaitu potassium sianida,
barbiturat, fosfor, dhatura, strychnine, dan sebagainya. Pada kasus
strychnine, terjadi kejang yang lama dan berulang, proses pembusukan
akan dipercepat, dimana terjadi kejang dengan sedikit kelelahan otot,
22
pembusukan akan menjadi lebih lama. Keracunan kronis oleh logam akan
memperlambat pembusukan karena memperlambat efek jaringan.
Alkoholik kronik umumnya akan mempercepat pembusukan. Jika tubuh
terurai saat kematian, anggota gerak akan menunjukkan pembusukan yang
lambat, batang tubuh akan membusuk seperti biasa.
2. Kondisi tubuh.
Kelembapan pada tubuh akan menunjang pembusukan. Cairan pada
tubuh manusia kira – kira dua per tiga dari berat badan. Maka dari itu pada
tubuh yang mengandung sedikit cairan seperti rambut, gigi, tulang akan
memperlambat pembusukan. Pada kasus dehidrasi akan memperlambat
pembusukan. Tubuh yang sangat kurus akan lebih lambat membusuk
dibandingkan dengan tubuh yang gemuk karena jumlah cairan pada orang
yang kurus lebih sedikit.
3. Pakaian pada tubuh.
Pada tubuh yang terpapar udara, pakaian dapat mempercepat
pembusukan dengan menjaga suhu tubuh tetap hangat. Pakaian yang ketat
dapat memperlambat pembusukan karena menekan bagian tubuh sehingga
darah sedikit yang terkumpul pada daerah yang tertekan.
4. Umur dan jenis kelamin.
Tubuh bayi yang baru lahir akan membusuk lebih lambat karena
masih steril. Jika bayi baru lahir tersebut mengalami trauma selama atau
setelah lahir atau sudah mendapat makanan setelah lahir, maka akan
membusuk lebih awal. Tubuh anak – anak membusuk lebih cepat daripada
orang tua, dimana pada orang tua akan membusuk lebih lama karena
mengandung cairan lebih sedikit.
Jenis kelamin tidak terlalu berpengaruh. Tubuh wanita memiliki lemak
yang lebih banyak yang akan mempertahankan panas lebih lama, yang
akan mempercepat proses pembusukan.
23
Tubuh yang mengalami adiposera akan tampak berwarna putih – kelabu,
perabaan licin dengan bau yang khas, yaitu campuran bau tanah, keju,
amoniak, manis, tengik, mudah mencair, larut dalam alkohol, panas, eter, dan
tidak mudah terbakar, bila terbakar mengeluarkan nyala kuning dan meleleh
pada suhu 200 derajat Fahrenheit.
Faktor – faktor yang mempermudah terbentuknya adiposera adalah :
- Kelembapan.
- Lemak tubuh.
Sedangkan yang menghambat adalah air yang mengalir.
Proses pertama saponifikasi terlihat pada lemak subkutan yang berada
pada dagu, buah dada, bokong, dan perut, ini dikarenakan karena area tersebut
mempunyai lemak lebih banyak. Namun proses saponifikasi dapat terjadi di
semua bagian tubuh yamg terdapat lemak. Otot menjadi dehidrasi dan menjadi
sangat tipis, berwarna keabu – abuan. Organ – organ dalam dan paru – paru
konsistensinya menjadi seperti perkamen. Secara histologis, makroskopis organ
masih dapat dikenali. Walaupun secara mikroskopis sulit untuk dikenali.
Walaupun dekomposisi lemak dimulai setelah meninggal, namun
seringnya pembentukan saponifikasi bervariasi dari dua minggu atau dua bulan
tergantung faktor – faktor yang mendukung seperti temperatur, pembalseman,
kondisi penguburan, dan barang – barang sekitar jenazah. Keuntungan adanya
adiposera ini :
- Tubuh korban akan mudah dikenali dan tetap bertahan untuk waktu yang
sangat lama sekali sampai ratusan tahun.
- Dapat pula untuk mengetahui sebab- sebab kematian jangka waktu dekat
seperti kecelakaan, namun dapat juga digunakan untuk waktu yang lama.
- Tempat untuk pembuangan tubuh dapat diketahui.
- Tanda – tanda positif dari kematian dapat diketahui dari kematian sampai
beberapa minggu atau mungkin beberapa bulan.
Lemak tubuh pada waktu meninggal mengandung hanya sekitar 0,5% dari
asam lemak bebas namun sekitar empat minggu setelah kematian dapat
meningkat sampai 20% dan setelah 12 minggu dapat meningkat menjadi 70%
bahkan lebih. Pada saat ini adiposera dapat terlihat dengan jelas berwarna putih
keabuan menggantikan jaringan lunak. Pada awal saponifikasi, dimana belum
terlalu jelas terlihat pemeriksaan dapat dengan menggunakan analisa asam
palmitat.
Adiposera dapat diketemukan bercampur dengan dekomposisi yang lain
tergantung dari letak tubuh dan lingkungan yang bervarias, maka salah satu
24
tubuh dapat menjadi saponifikasi di bagian tubuh yang lain dapat menjadi
mumifikasi atau pembusukan.
2.12 Mumifikasi
Perubahan – perubahan yang terjadi pada tubuh akibat dekomposisi dapat
dihambat dan digantikan dengan mumifkasi. Mumifikasi secara harafiah
menggambarkan proses pembentukan “mumi”, sebuah kata yang diambil dari
bahasa Persia “mum” yang berarti lilin. Kata ini diambil dari catatan sejarah
Yunan kuni yang menggambarkan bangsa Persia, dalam penghormatan
terhadap bangsawannya, mengawetkan mereka dengan lilin. Mayat yang
mengalami mumifikasi akan tampak kering, berwarna coklat, kadang disertai
bercak warna putih, hijau atau hitam, dengan kulit yang tampak tertarik
terutama pada tonjolan tulang, seperti pada pipi, dagu, tepi iga, dan panggul.
Organ dalam umumnya mengalami dekomposisi menjadi jaringan padat
berwarna coklat kehitaman. Sekali mayat mengalami proses mumifikasi, maka
kondisinya tidak akan berubah, kecuali bila diserang oleh serangga.
Mumifikasi pada orang dewasa umumnya tidak terjadi pada seluruh
bagian tubuh. Pada umumnya mumifikasi terjadi pada sebagian tubuh, dan
pada bagian tubuh lain proses pembusukan terus berjalan. Menurut Knight,
mumifikasi dan adiposera kadang terjadi bersamaan karena hidrolisa lemak
membantu proses pengeringan mayat.
Mumi secara alami jarang terbentuk karena dibutuhkannya suatu kondisi
yang spesifik, namun proses ini menghasilkan mumi – mumi tertua yang
dikenal manusia. Mumi alami yang tertua, diperkirakan berasal dari tahun
7400SM. Mumifikasi umumnya terjadi pada daerah dengan kelembapan yang
rendah, sirkulasi udara yang baik dan suhu yang hangat, namun dapat pula
terjadi di daerah dingin dengan kelembapan rendah. Ditempat yang bersuhu
panas, mumifikasi lebih mudah terjadi, bahkan hanya dengan mengubur
dangkal mayat dalam tanah berpasir. Faktor dalam tubuh mayat yang
mendukung terjadinya mumifikasi antara lain adalah dehidrasi premortal,
habitus yang kurus dan umur yang muda, dalam hal ini neonatus.
Kasus mumifikasi dengan preservasi anatomi dan topografi yang cukup
baik di Indonesia ditemukan pada Januari 1988 di desa Cibitung kabupaten
Bekasi, Jawa Barat. Kasus ini adalah temuan kedua di Indonesia, mayat
ditemukan dalam sebuat kamar tertutup dengan suhu kamar 32 – 34 derajat
Celcius dengan kelembapan 62 – 67%. Mayat nenek ini ditemukan setelah sang
nenek menurut keluarga menghilang tujuh bulan sebelumnya. Saat ditemukan,
25
mata, hidung, dan mulut sudah tidak ada. Sebagian pipi dan bibir tersisa kulit
kering berwarna kelabu. Leher kiri dan kanan terdapat kulit dan jaringan otot
yang mengering. Bagian depan masih utuh seluruhnya, berupa kulit dan otot
yang mengering, kaku dan keras. Pada bagian belakang hanya tulang iga saja
yang masih utuh. Rongga dada perut telah kosong seluruhnya. Lengan kanan
berupa kulit berwarna kelabu, telapak dan punggung tangan masih utuh dan
mengering. Lengan kiri mengering warna kuning kelabu dengan tangan kiri
tinggal tulang – tulang saja. Tungkai kanan dan kiri tampak sebagai kulit dan
otot yang telah kering berwarna kuning coklat dengan bercak kelabu. Secara
mikroskopis kulit masih menunjukkan gambarang yang dapat dikenali sebagai
kulit, otot tampak sebagai serabut yang sedikit bergelombang berwarna
eosinofilik dan homogen tanpa inti sel.
Mumifikasi sering terjadi pada bayi yang meninggal ketika baru lahir.
Permukaan tubuh yang lebih luas dibanding orang dewasa, sedikitnya bakteri
dalam tubuh dibanding orang dewasa membantu penundaan pembusukan
sampai terjadinya pengeringan jaringan tubuh. Pada orang dewasa secara
lengkap jarang terjadi, kecuali sengaja dibuat oleh manusia.
26
dalam sodium karbonat atau campuran alkohol, formalin dan sodium
carbonate. Pada proses mumifikasi tubuh yang lebih lengkap, maka untuk
dapat melakukan pemeriksaan dalam, mayat harus direndam dalam glycerin
15% selama beberapa saat.
Kepentingan forensik yang tak kalah penting pada mumifikasi adalah
identifikasi. Walau terjadi pengerutan namun struktur wajah, rambut, dan
beberapa kekhususan pada tubuh seperti tato dapat bertahan sampai bertahun –
tahun. Terperliharanya sebagian dari anatomi dan topografi jenasah pada proses
mumifikasi memungkinkan pemeriksaan radiologi yang lebih teliti. Dengan
pemeriksaan radiologi, jejas- jejas yang mungkin terlewatkan dalam
pemeriksaan mayat dan bedah mayat dapat ditunjukkan dengan jelas dan
dieksplorasi kembali lewat pemeriksaan bedah jenasah. Pemeriksaan CT scan
pada mumi juga dapat mengungkapkan jejas pada lokasi yang sulit dijangkau,
bahkan dengan pemeriksaan bedah mayat.
Proses mumifikasi juga memungkinkan dilakukannya pemeriksaan DNA,
baha pada jenasah yang berusia ratusan atau ribuan tahun. Laposan kulit luar
yang miskin akan inti sel mungkin tidak cukup baik diambil sebagai sampel,
namun tulang, akar rambut, organ dalam dan sisa cairan tubuh yang mengering
pada mumi dapat digunakan untuk pemeriksaan DNA. Yang harus diingat
dalam pemanfaatan mumi untuk kepentingan forensik bahwa pada mumifikasi
terjadi pengerutan kulit yang dapat menimbulkan artefak pada kulit yang
menyerupai luka / jejas terutama pada daerah pubis, daerah disekiter leber, dan
axilla.
27
Yang dapat ditemukan pada pemeriksaan di tempat kejadian :
Pemeriksaan setempat dalam ruangan :
Tanggal pada surat pos atau surat kabar.
Keadaan sisa makanan yang ditemukan, apakah masih baik atau
sudah membusuk.
Derajat koagulasi susu dalam botol.
Keadaan parasit pada tubuh, misalnya kutu. Kutu pada mayat dapat hidup
3-6 hari. Bila semua kutu sudah mati, berarti korban sudah mati lebih dari
6 hari darri saat kematian.
Pemeriksaan setempat di ruang terbuka :
Tanaman/rumput di bawah jenazah bila tampak pucat (warna chlorophil
atau hijau daun menghilang), berarti jenazah ada di tempat tersebut lebih
dari 8 hari.
28
Kemudian dikirim ke laboratorium biologi dengan disertakan
surat :
- Surat permohonan pemeriksaan umur larva lalat.
- Surat tentang laporan peristiwa.
- Berita acara pembungkusan disertai dengan contoh segel.
Bila umur larva sudah ditentukan maka dapat ditentukan berapa lama
korban telah meninggal, misalnya :
- Didapatkan larva yang berumur 3 hari.
- Saat kematian korban adalah (3 hari + 1 hari) = 4 hari yang lalu.
Keterangan :
29
b. Jumlah makanan dalam lambung dan isi dari lambung
c. Sifat makanan ; padat, setengah cair, cair. Makanan yang terdiri
dari karbohidrat lebih cepat melalui lambung daripada protein oleh
karena karbohidrat lebih cepat dirubah menjadi setengah cair.
Sedangkan protein lebih cepat daripada lemak karena lemak
menghambat motilitas lambung.
d. Emosi: rasa takut memperlambat makanan meninggalkan lambung.
e. Keadaan fisik si korban: pada commotio serebri yang berat,
makanan tidak dicerna setelah koma lebih dari 24 jam.
Makanan yang tidak dicerna dalam lambung masih dapat
dikenal berminggu-minggu setelah korban meninggal dan bila
jenazah sudah membusuk, dapat membantu identifikasi korban jika
diketahui jenis makanan terakhir yang telah dimakan korban.
3. Rambut dan jenggot
Dapat membantu mengetahui saat kematian dalam hubungan
dengan saat terakhir korban mencukur jenggotnya. Rambut pada
orang hidup mempunyai kecepatan tumbuh 0,5 mm/hari dan setelah
meninggal tidak tumbuh lagi. Pemeriksaan rambut jenggot ini harus
dilakukan dalam 24 jam pertama sebab lebih dari 24 jam kulit
mengkerut dan rambut dapat lebih muncul di atas kulit dagu sehingga
seolah-olah rambuh masih tumbuh. Rambut lepas setelah 14 hari.
30
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jenis kematian terdiri dari mati klinis, mati seluler, dan mati cerebral.
Perubahan-perubahan kematian pada jenazah meliputi 2 fase perubahan post
mortem yaitu fase cepat (early) dan fase lambat (late).
Penentuan lama dan waktu kematian dapat diketahui melalui beberapa
perubahan yang terjadi pada jenazah anatara lain perubahan pada mata, kulit,
suhu tubuh, lebam mayat, kaku mayat, dan pembusukan.
3.2 Saran
Memperkirakan
31
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mun’im Idries. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama.
Binarupa Aksara. Hal. 54-77
Vij,K . 2008. Death and Its Medicolegal Aspects (Forensic Thanatology) in Textbook
of Forensic Medicine and Toxicology Principles and Practice. 4 th editon. Elsivier.
Page 101-133
Vass AA. Decomposition. Microbiology Today 2001 Nov (28):190-2. Available from
: http://www.socgenmicrobiol.org.uk/pubs/micro_today/pdf/110108.pdf.
32