Anda di halaman 1dari 42

RESUME

HUKUM PERBANKAN DAN JAMINAN

HUKUM JAMINAN KEBENDAAN


EKSISTENSI, FUNGSI DAN PENGATURAN
Pengarang : Prof. Dr. H. Moch. Insaeni, S.H., M.S.

Oleh :

TRIASITA NUR AZIZAH


NIM. 180720201025

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS HUKUM
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Benda dalam Sistem Sirkulasi Kehidupan Manusia


Pada sistem hukum di Indonesia perihal benda ini diatur pada Buku II Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Benda dalam arti Ilmu
Pengetahuan Hukum ialah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hukum
sedangkan menurut Pasal 499 KUHPerdata benda ialah segala barang dan hak yang
dapat menjadi milik orang (objek hak milik).
Di dalam ketentuan itu zaak atau benda dipakai tidak dalam arti barang yang
berwujud, melainkan dalam arti “bagian daripada harta kekayaan”. Pada
KUHPerdata kata zaak dipakai dalam dua arti. Pertama dalam arti barang yang
berwujud, kedua dalam arti bagian daripada harta kekayaan. Dalam arti kedua ini
(yaitu sebagai bagian dari harta kekayaan) yang termasuk zaak ialah selain daripada
barang yang berwujud, juga beberapa hak tertentu sebagai barang yang tak
berwujud.
Menurut sistem Hukum Perdata Barat sebagaimana diatur dalam
KUHPerdata benda dapat dibedakan sebagai berikut: Barang-barang yang
berwujud (lichamelijk), Barang-barang yang tidak berwujud (onlichamelijk),
barang-barang yang bergerak dan yang tak bergerak, barang-barang yang dapat
dipakai habis (vebruikbaar) dan barang-barang yang tak dapat dipakai habis
(onverbruikbaar), barang-barang yang sudah ada (tegenwoordigezaken) dan
barang-barang yang masih akan ada (toekmstigezaken).
Dalam suatu benda melekat hak-hak seperti hak milik, bezit, dan hak-hak
kebendaan di atas kebendaan milik orang lain. Hak yang paling kuat diantaranya
adalah hak milik. Hak milik ialah hak yang mutlak melekat pada suatu benda.
Dalam Pasal 570 KUHPerdata menyebutkan bahwa hak milik yaitu hak untuk
menikmati kegunaan suatu benda dengan sepenuhnya dan untuk berbuat sebebas-
bebasnya terhadap benda itu, asal tidak bertentangan dengan undang-undang
ketertiban umum dan kesusilaan dan tidak menimbulkan gangguan terhadap orang
lain dengan tidak mengurangi kemungkinan hak itu kepentingan umum. Dapat
dilihat bahwa hak milik adalah kebendaan yang paling utama terhadap suatu benda
dibandingkan dengan hak-hak lainnya, sehingga hak milik merupakan sesuatu yang
tidak dapat diganggu gugat.
Hubungan hukum antara seseorang dengan benda dalam KUHPerdata,
menyatakan bahwa hubungan hukum tersebut menimbulkan kekuasaan langsung
kepada seseorang yang berhak untuk menguasai suatu benda di dalam tangan
siapapun juga benda itu berada, dengan demikian hak kebendaan bersifat mutlak
dalam arti dapat dipertahankan dan berlaku terhadap siapapun juga. Hak kebendaan
bersifat terbatas dalam arti hanya ada hak-hak sepanjang yang sudah ditentukan
oleh undang-undang, karenanya ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata
umunya bersifat memaksa.
Hak kebendaan, ialah hak mutlak atas suatu benda di nama hak itu
memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan
terhadap siapa pun juga. Suatu hak kebendaan (zakelijk recht), ialah suatu hak yang
memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, kekuasaan nama dapat
dipertahankan terhadap setiap orang. Hak-hak kebendaan adalah hak-hak harta
benda yang memberikan kekuasaan langsung atas ssuatu benda, kekuasaan
langsung berarti ada terdapat sesuatu hubungan yang langsung antara orang-orang
yang berhak dan benda tersebut. Lebih lanjut, hak kebendaan (zakelijkrecht) ialah
hak mutlak atas suatu benda di mana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas
suatu benda dan dapat dipetahankan terhadap siapa pun juga.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan, bahwa suatu hak
kebendaan adaalah suatu hak mutlak yang memberikan kekuasaan langsung atas
suatu benda yang dapat dipertahankan setiap orang dan mempunyai sifat melekat.
Hak kebendaan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu : 1. Hak menikmati,
seperti hak milik, bezit, hak memungut (pakai) hasil, hak pakai, dan mendiami 2.
Hak memberi jaminan, seperti gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotek, dan system
resi gudang Ilmu hukum dan peraturan perundang-undangn telah lama membagi
segala hak-hak manusia atas hak-hak kebendaan dan hak-hak perorangan.
1.2 Karakter Benda sebagai Obyek Transaksi

Sebagai kelengkapan hidup, maka segala benda yang di pergunakan untuk


kegiatan sehari-hari, diinginkan oleh setiap orang bahwa benda yang bersangkutan
dapat di pergunakan atau di manfaatkan secara penuh dan bebas tanpa terkendala
oleh gangguan pihak lain. Untuk mendapatkan benda dengan posisi seperti itu,
maka harus ada label hak milik atas benda tersebut. Dimana aturan hak milik benda
sebagai pendukung kegiatan sehari hari di atur oleh pasal 584 BW.
Seseorang selaku anggota masyarakat, kalau membutuhkan benda sebagai
pendukung rotasi hidupnya, berarti benda yang bersangkutan memiliki nilai.
Merujuk cara memperoleh hak milik seperti di atur Pasal 584 BW, khususnya cara
yang kelima, yakni penyerahan atas dasar peristiwa perdata yang dilakukan oleh
orang berwenang, maka benda tersebut hak miliknya harus dapat di alihkan dari
satu tangan ketangan lainnya. Lewat penyerahan maka benda yang punya nilai
ekonomis akan mengalami mobilitas, berpindah dari penguasaan satu pihak ke
kepemilikan pihak lain.
Suatu benda dapat di jadikan obyek trasaksi manakala memenuhi 2 macam
syarat yaitu bahwa benda yang bersangkutan harus punya nilai ekonomis dan hak
miliknya dapat di alihkan. Benda yang bersangkutan, hak miliknya akan selalu
berpindah-pindah karena ada penyerahan dari satu pihak kepihak lain atas dasar
suatu peristiwa perdata yang menjadi alasnya. Peristiwa perdata atau titel yang
dipakai sebagai alas berpindahnya benda yang dilakukan dengan penyerahan atau
levering, umumnya dan paling banyak berupa Perjanjian Jual Beli.

1.3 Keunggulanan Ciri Hak Milik Atas Suatu Benda

Hak milik ini merupakan salah satu jenis hak kebendaan yang bercorak
menikmati. Latar belakang yang menyebabkan orang selalu mengejar atribut hak
milik atas suatu benda yang diingkan, karena dengan hak milik, seseorang dapat
menggunakan benda tersebut amat leluasa sebagaimana diatur dalam pasal 570 BW
yang mengutarakan bahwa hak milik adalah hak untuk menimati suatu benda
dengan penuh dab bebas sepanjang tidak melanggar hak orang lain. Unsur
menikmati benda dengan penuh dan bebas tanpa diganggu pihak lain jelas
merupakan situasa yang aman lagi nyaman.
Ciri unggul hak milik kalau dibandingkan dengan hak keperdataan lainnya,
tak terkecuali hak kebendaan yang manapun adalah:
1. Hak milik itu dapat menjadi induk dari hak keperdataan lainnya.
2. Hak milik merupakan hak yang secara kwantitatif adalah lebih kuat dan
lengkap daripada hak keperdataan yang lain.
3. Hak milik bersifat tetap, tak mengenal batas.

Dalam hal ini proses atau perbuatan hukum yang paling sering
mengakibatkan seseorang memiliki hak milik atas suatu hak kebendaan tertentu
adalah penyerahan. Penyerahan disini harus dilakukn oleh orang yang mempunyai
kewenangan bebas untuk menyerahkan kebendaan tersebut (beschikkingsbevoegd).
Sistem levering yang terdapat di dalam Pasal 584 KUHPerdata tersebut merupakan
suatu sistem causal, yaitu suatu sistem yang menggantungkan sah atau tidaknya
suatu penyerahan pada 2 syarat yaitu :
1) Sahnya titel yang menjadi dasar dilakukannya levering.
2) Levering tersebut dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas

Dengan titel dimaksudkan perjanjian obligatoir yang menjadi dasar levering


itu harus sah menurut hukum, jadi apabila dasar titel itu tidak sah menurut hukum
baik karena batal demi hukum (null and void) atau dibatalkan oleh hakim
(voidable), maka levering tersebut menjadi batal juga, yang berarti bahwa
pemindahan hak milik dianggap tidak pernah terjadi. Begitu pula halnya apabila
orang yang memindahkan
Asas dalam hukum kebendaan ini menunjukkan bahwa sesuatu yang dapat
dikatakan sebagai suatu benda adalah suatu hal yang dalam hal ini dapat dialihkan
kepada orang lain. Jadi dalam hal ini yang terjadi adalah peralihan atas hak
kebendaan dari seseorang kepada orang lain dengan segala akibat hukum yang ada.
Peralihan hak atas kebendaan tersebut dilakukan melalui suatu perjanjian
kebendaan (zakelijk overeenkomsten).
Perjanjian kebendaan adalah suatu perjanjian dengan mana suatu hak
kebendaan dilahirkan, dipindahkan, dirubah atau dihapuskan. Dapat dikatakan pula
bahwa perjanjian kebendaan adalah perjanjian yang bertujuan untuk langsung
meletakkan atau memindahkan hak kebendaan. Sekalipun istilah “perjanjian
kebendaan” sudah umum dipakai dalam literatur hukum perdata, namun demikian
istilah itu tidak dikenal dalam KUHPerdata. Perjanjian kebendaan (zakelijk
overeenkomsten) memiliki ciri khusus, yakni bahwa walaupun terminologi
perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomsten) menggunakan kata perjanjian
akan tetapi perjanjian kebendaan tidak melahirkan suatu perikatan tertentu seperti
perjanjian lain pada umumya,44 Mengenai asas bahwa hak kebendaan dapat
dialihkan di dalam KUHPerdata dapat dilihat pada ketentuan Pasal 584
KUHPerdata yang antara lain menyebutkan bahwa hak milik atas suatu benda dapat
timbul karena adanya penyerahan (levering) berdasarkan titel yang sah dan
dilakukan oleh orang yang berwenang bebas terhadap benda terserbut. Sahnya titel
dan berwenangnya orang yang mengalihkan benda tersebut merupakan suatu syarat
yang memaksa sebagai akibat dari dianutnya sistem kausal dalam sistem
penyerahan (levering) di dalam KUHPerdata. karena perjanjian kebendaan
(zakelijk overeenkomsten) merupakan suatu penyelesaian bagi suatu perjanjian
obligatoirnya. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak akan ada
suatu perjanjian kebendaan tanpa dilatarbelakangi oleh suatu perjanjian
obligatoirnya (titelnya).
BAB 2
URGENSI PEMBAGIAN BENDA BERGERAK DAN BENDA TIDAK
BERGERAK

2.1 Golongan Benda Bergerak

Sejalan dengan pembagian benda dalam BW ternyata penggolongan benda


bergerak dan benda tidak bergerakmerupakan jenis klasifikasi yang penting.
Menyangkut benda bergerak ada dua macam yakni :
a. Benda bergerak karena sifatnya, dimana benda tersebut pada dasarnya dapat
berpindah-pindah sesuai ciri alamiahnya (Pasal 509 BW)
b. Benda bergerak karena ketentuan undang-undang sebagaimana yang
ditetapkan oleh pasal 511 BW berdasar kewenangan yang dimiliki, penguasa
menentukan apa saja yang dapat digolongkan sebagai benda bergerak
sehingga dengan cara tersebut masyarakat tidak menjadi ragu dan cemas
dalam menanggapi kedudukan benda secara pasti.

Dari berbagai pembagian-pembagian benda sebagaimana diatur di dalam


KUHPerdata, maka pembagian benda yang paling penting adalah pembagian benda
menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak ini karena menimbulkan berbagai
akibat-akibat yang penting dalam hukum. Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat
James Schouler yang menyebutkan “Mobility is leading essential quality of
personal property, in all systems of jurisprudence, as distinguished from real
property. Things real, like lands, trees, and houses have fixed locality; they are
immovable so to speak. But things personal, such as money, jewelry, clothing,
household furniture, boats,and carriages are said to follow the person of the owner
wherever he goes; they need not be enjoyed in any particular place; and hence they
are movable. This fundamental division of property into immovables and movables
is the primary and most obvious one; and to each class we find that a separate set
of legal principles has been universally applied.”. Suatu benda dikategorikan
sebagai benda tak bergerak karena 2 hal yakni, karena sifatnya dan karena tujuan
pemakaiannya. Pembagian benda ini ada sebagaimana diatur dalam Pasal 504
KUHPerdata yang menyebutkan “ Ada benda yang bergerak dan ada benda yang
tak bergerak, menurut ketentuanketentuan yang diatur dalam kedua bagian berikut
ini ”.

2.2 Golongan Benda Tidak Bergerak


Untuk menentukan apa saja yang tergolong sebagai benda tidak bergerak ,
oleh pembentuk BW ditetapkan ada 3 macam yaitu :
a. Benda tidak bergerak karena sifatnya, dimana jenis benda ini berdasar ciri
ilmiahnya memang tidak dapat dipindah-pindah (Pasal 506 BW)
b. Benda tidak bergerak karena tujuannya, sebenarnya suatu benda itu semula
termasuk golongan benda bergerak tetapi karena oleh pemiliknya dilekatkan
pada benda tidak bergerak secara terus menerus demi mencapai suatu
tujuan tertentu, akhirnya benda bergerak yang bersangkutan berubah
menjadi benda tidak bergerak (Pasal 507 BW). Kwalifikasi sebagai
benda bergerak tergradasi golongannya menjadi dan mengikuti nasib serta
sifat benda tidak bergerak yang dilekatinya, ini merupakan salah satu
wujud konkrit dari asas perlekatan (accessie) yang dikenal BW.
c. Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang, Sekali lagi
penguasa berdasar kewenangan yang dimiliki perlu menetapkan benda-
benda tertentu dimasukkan sebagai benda tidak bergerak (Pasal 508
BW)

Suatu benda dikategorikan sebagai benda tak bergerak karena 2 hal yakni,
karena sifatnya dan karena tujuan pemakaiannya. Pembagian benda ini ada
sebagaimana diatur dalam Pasal 504 KUHPerdata yang menyebutkan “ Ada benda
yang bergerak dan ada benda yang tak bergerak, menurut ketentuanketentuan yang
diatur dalam kedua bagian berikut ini ”.
Suatu benda yang dikategorikan sebagai benda yang tak bergerak karena
sifatnya maksudnya adalah bahwa karena memang benda tersebut bukanlah benda
yang dapat dipindah-pindahkan. Adapun yang menjadi barang tak bergerak
menurut sifatnya adalah sebagai berikut :
1) Tanah pekarangan dan apa yang didirikan di atasnya;
2) Penggilingan, kecuali yang dibicarakan dalam Pasal 510.
3) Pohon dan tanaman ladang yang dengan akarnya menancap dalam tanah,
buah pohon yang belum dipetik, demikian pula barang-barang tambang
seperti batu bara, sampah bara dan sebagainya selama barang-barang itu
belum dipisahkan dan digali dari tanah;
4) Kayu belukar dari hutan dan kayu dari pohon yang tinggi, selama belum
ditebang ;
5) Pipa dan saluran yang digunakan untuk mengalirkan air dari tanah rumah
atau pekarangan; dan pada umumnya segala sesuatu yang tertancap
dalam pekarangan atau terpaku pada bangunan.

Sedangkan yang dimaksud dengan benda tidak bergerak karena tujuan


pemakaiannya adalah segala apa yang meskipun tidak sungguh-sungguh
digabungkan dengan tanah atau bangunan, dimaksudkan untuk mengikuti tanah
atau bangunan itu untuk waktu yang agak lama.
Dari penjabaran di atas maka dapatlah dipahami bahwa benda-benda yang
tadinya dianggap sebagai benda bergerak dapat berubah menjadi benda tidak
bergerak begitu juga sebaliknya ada juga benda-benda yang tadinya tergolong
sebagai benda tak tak bergerak dapat berubah menjadi benda bergerak. Proses untuk
membuat suatu benda tidak bergerak menjadi benda bergerak disebut sebagai
severance.

2.3 Konsekuensi Lanjut Penggolongan Benda Bergerak-Benda Tidak


Bergerak
Bahwasannya pembagian benda tidak bergerak adalah merupakan jenis
penggolongan benda yang sangat penting dalam ruang lingkup keberlakuan BW.
Ini disebabkan bahwa pernbagian kedua pasangan benda tersebut mempunyai
pengaruh dalam banyak bidang. Adapun bidang-bidang yang perlu ditelaah secara
seksama akibat adanya pembagian benda bergerak-benda tidak bergerak adalah
sebagai beikut:
a. dalam bidangbezit:
bahwa menguasai secara nyata (mem bezit) benda bergerak, maka
berlakulah asas yang ada dalam Pasal 1977 BW, dimana
diterapkanbahwa barang siapa menguasai benda bergerak dianggap
sebagai pemilik. Asas ini tak berlaku kalau menyangkut penguasaan
benda tidak bergerak. Menyikapi eksistensi Pasal 1977 BW ini kalau
dicermati lebih mendalam, ternyata banyak segi yang sering
mendatangkan situasi-situasi kontroversial yang menggelitik. Ini
menandakan kalau keberadaan Pasal 1977 BW memang menduduki
posisi sentral dalam urusan benda bergerak. Rasanya tanpa pasal
tersebut lalu lintas transaksi benda bergerak akan banyak
mengalami kendala. Justru dengan adanya Pasal 1977 BW
yang cenderung muskil, sering masalah bisnis yang obyeknya
benda bergerak menjadi lancar dan nyaris aman akibat tersedianya
perlindungan hukum di dalamnya. Bahkan Pasal1977 BW ini apa bila
dikaitkan dengan keberadaan Pasa1584 BW akan menerbitkan
cakrawala baru yang mampu mcmperluas sudut pandang kalangan\
orang hukum lewat telaah kritis yang tak kepalang tanggung.
b. Dalam levering :
seperti sudah dimaklumi bahwa dalam levering sesungguhnya
ada dua unsur penting agar levering atau penyerahan itu sampai
pada tujuan finalnya, yakni beralihnya hak milik suatu benda dari
tangan satu ketangan lainya.
c. Dalam bidang verjaring (kadaluarsa) :
benda bergerak tidak mengenal daluwarsa dan ini dapat dilacak dalam
1977 BW.
d. Dalam bidang bezwaring (penjaminannya) :
kalu yang dijaminkan itu benda bergerak maka lembaga yang disediakan
oleh BW adalah gadai
e. Dalam bidang sita (beslag) :
berdasarkan aturan, eksekusi melalui sita (eksekutorial beslag) maka
benda bergerak harus dilakukan terlebih dahulu, manakala dirasa belum
cukup untuk melunasi prestasi atau utang debitor yang bersangkutan,
barulah sita tersebt menjamah keberadaan benda tidak bergerak (pasal
197 HIR).
BAB 3
JAMINAN UMUM SEBAGAI PENYANGGA PERIKATAN

3.1 Prestasi sebagai Objek Perikatan


Perikatan yang diatur dalam buku III BW, tak ada ketentuan yang secara
khusus memberikan definisi atau pengertiannya. Beda dengan benda yang diatur
oleh Buku II BW, pembentuk Undang-undang sengaja memberikan definisi benda
justru pada ketentuan awalnya yakni pasal 499 BW sehingga penyimak akan
mendapatkan gambaran secara garis besar apa yang dimaksud benda itu.
Perikatan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda
yaitu verbintenis. Perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, dengan
istilah Verbintenissenrecht yaitu Hukum Perikatan. Yang berlaku sebagai undang-
undang dan diumumkan resmi pada tanggal 30 April 1847 (Staatblad No. 23 tahun
1847). Pada umumnya definisi perikatan adalah “suatu hubungan hukum mengenai
harta kekayaan yang terjadi antara debitur dan kreditur”.
Hal yang menyebabkan adanya hubungan hukum adalah sebuah peristiwa
hukum, contohnya jual-beli, hutang-piutang, kematian, dan lain-lain. Dalam
hubungan hukum itu, tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik.
Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut, dan pihak yang lainnya
mempunyai kewajiban untuk memenuhi tuntutannya, begitu pula sebaliknya. Pihak
yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib
memenuhi tuntutannya disebut debitur. Sesuatu yang dituntut disebut prestasi.
Dalam hubungan hutang-piutang, pihak yang berhutang disebut debitur, sedangkan
pihak yang memberi hutang disebut kreditur.
Dari rumusan diatas, unsur- unsur perikatan ada empat, yaitu:
1. hubungan hukum
2. kekayaan
3. pihak-pihak
4. prestasi
Bertolak dari inti definisi perikatan diatas, penjabarannya sevara singkat
dapat diurai, bahwa yang dimaksud perbuatan hukum tak lain adalah perbuatan
yang menimbulkan akibat hukum. Selanjutnya hubungan hukum yang dimaksud
terletak dalam ranah hukum harta kekayaan, berarti hak dan kewajiban yang timbul
dari padanya punya nilai ekonomis.
Prestasi adalah objek perikatan. Supaya objek itu dapat dicapai, dalam arti
dipenuhi oleh debitur, maka perlu diketahui sifat-sifatnya sebagaimana tercantum
dalam pasal 1320 KUH Perdata ayat (3), yaitu:
- Barang atau perbuatannya harus sudah ditentukan
- Harus mungkin, artinya prestasi itu mungkin dipenuhi oleh debitur secara
wajar dengan segala usahanya
- Harus diperbolehkan, artinya tidak bertentangan dengan agama dan
undang-undang
- Harus ada manfaat bagi kreditur, artinya kreditur dapat menggunakan dan
memanfaatkannya.
Apabila seorang penyalur dana pinjaman hanya mengadalkan jaminan umum pada
Pasal 1131 BW, tidak terkecuali bank, berarti kreditor hanya mengutamakan pada
aspek kepercayaan melulu, tanpa meminta agunan. Ini maknanya bahwa dana
pinjaman tersebut tidak didukung dengan perjanjian jaminan kebendaan, sehingga
nanti dibelakang hari ternyata debitur wanprestasi, maka demi memperoleh
dananya kembali kreditur harus berusaha hingga gugat ginugat yang memerlukan
banyak waktu dan biaya.

3.2 Nilai Ekonomis Prestasi


Bertolak dari penjabaran makna perikatan, bahwa hubungan hukum antara
para pihak ada dalam ruang lingkup harta kekayaan, berarti prestasi sebagai obyek
perikatan harus jelas punya nilai ekonomis. Mereka yang mengadakan hubungan
Hukum dalam jaringan perikatan, adalah manuasia yang bersosok sebagai homo
economicus.
Prestasi adalah yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan.
Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi
prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitur. Dalam pasal 1131 KUH
Perdata dinyatakan bahwa semua harta kekayaan debitur baik bergerak maupun
tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan
pemenuhan utangnya terhadap kreditur. Tetapi jaminan umum ini dapat dibatasi
dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian
antara pihak-pihak.
Menurut ketentuan pasal 1234 KUH Perdata ada tiga kemungkinan wujud
prestasi, yaitu (a) memberikan sesuatu, (b) berbuat sesuatu, (c) tidak berbuat
sesuatu. Dalam pasal 1235 ayat 1 KUH Perdata pengertian memberikan sesuatu
adalah menyerahkan kekuasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada kreditur,
misalnya dalam jual beli , sewa-menyewa, hibah, perjanjian gadai, hutang-piutang.
Oleh sebab itu timbulah perikatan selalu berorientasi pada profit, mengingat
dengan perikatan tersebut para pihak berupaya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya yang sudah barang tentu penuh dengan nuansa perhitungan laba rugi.
Prestasi yang kental dengan nilai ekonomis merupakan corak utama dalam
perikatan yang diatur ileh buku III BW, sehingga pasal-pasal yang ada didalamnya,
baik secara eksplisit maupun implisit, berusaha menciptakan situasi yang kondusif
demi kelncaran roda bisnis dalam masyarakat.
Oleh sebab itu prestasi yang sarat dengan nilai ekonomis, harus selalu dapat
diraih oleh setiap pihak yang membuat perikatan, mengingat dengan mengikatkan
diri pada sesama anggota kelompok sangat menghemat biaya, waktu ataupun
tenaga.

3.3 Resiko Mengandalkan Jaminan Umum


Dari berbagai pendapat para ahli tentang hukum jaminan dapat di simpulkan
bahwa hukum jaminan adalah sekumpulan kaidah kaidah hukum yang mengatur
hubungan pemberi jaminan dan penerima jaminan yang berkaitan dengan
pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit. Ada beberapa pembagian
jaminan yaitu sebagai berikut:
A. Jaminan menurut cara terjadinya
Secara umum macam-macam jaminan dapat dibedakan menjadi dua yaitu
jaminan yang lahir karena undang-undang atau jaminan secara umum dan jaminan
yang lahir karena perjanjian atau jaminan khusus.
1. Jaminan yang lahir karena Undang-Undang yang merupakan jaminan
umum adalah bentuk jaminan yang adanya telah ditentukan oleh suatu
undang-undang. jaminan ini diatur dalam pasal 1131 dan 1132 KUH
Perdata. Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan bahwa segala harta
kekayaan debitur, baik yang berupa benda bergerak maupun tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari
walaupun tidak disertakan sebagai agunan, menurut hukum menjadi
jaminan atas seluruh utang-utang debitur. Dengan sendirinyasegala harta
kekayaan seseorang menjadi jaminan dari utang yang dibuat.
Dalam pasal 1132 KUH Perdata adalah barang-barang itu menjadi
jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya, hasil penjualan
barang-barang itu dibagi menurut perbandingan utang masing-masing
kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk
didahulukan.
2. Jaminan lahir karena perjanjian yang merupakan jaminan
khusus, jaminan jaminan yang timbul karena perjanjian, secara yuridis
baru timbul karena adanya suatu perjanjian antara bank dengan pemilik
agunan atau barang jaminan, atau antara bank dengan pihak ketiga yang
menanggung hutang debitur, jaminan ini dapat dibedakan antara bentuk
jaminan perorangan dan jaminan kebendaan.
B. Jaminan menurut sifatnya
1. Jaminan yang bersifat perorangan adalah jaminan berupa pernyataan
kesanggupan yang diberikan oleh pihak ketiga guna menjamin
pemenuhan kewajiban kewajiban debitur kepada kreditur, apabila
debitur yang bersangkutan melakukan wanprestasi jaminan ini diatur
dalam pasal 1820-1850 BW. Jaminan Ini menimbulkan hubungan
langsung pada perorangan tertentu, dan dapat dipertahankan terhadap
debitur seumumnya
2. Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan berupa harta kekayaan
dengan cara pemisahan bagian dari harta kekayaan baik debitur maupun
dati pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban
debitur yang bersangkutan melakukan wanprestasi.
Lahirnya jaminan kebendaan ini adalah gadai dan hipotik. Hak jaminan
yang dimiliki oleh kreditur ini adalah hak gadai dan hipotik yang bersifat sebagai
hak kebendaan, karena lahir bukan dari perjanjian Obligatoir Buku III BW, tetapi
lahir karena kebendaan.
Perbedaan antara jaminan perorangan dengan jaminan kebendaan adalah
jaminan perorangan terdapat pihak ketiga yang menyanggupi untuk memenuhi
perikatan debitur bila debitur tersebut melakukan wanprestasi. Sedangkan jaminan
kebendaan harta kekayaan debitur yang dapat dijadikan jaminan sebagai pelunasan
kredit jika debitur cidera janji.
Kedati dalam perikatan sudah dijamin oleh undang-undang demi
memperoleh pelunasan prestasi yang diinginkan, tetap saja masih ada resiko
menghadang. Tak lain inilah hakekat bisnis yang selalu berlumur dengan berbagai
jenis ancaman resiko berupa kerugian.
A. Risiko Akibat Wanprestasi
Sebagaimana sudah dipaparkan bahwa prestasi itu wajib dipenuhi oleh
pihak debitor agar hak kreditor dapat terwujud dan itu adalah keuntungan yang
dicitaharapkan sejak awal. Tetapi tak selamanya manusia selalu menetapi janjia
untuk melaksanakan kewajiban yang terpikul dipundaknya setelah timbul perikatan
diantara para pihak.
Keadaan wanprestasi dari salah satu pihak biasanya akan menimbulkan
sanksi bagi pihak tersebut yang dapat berupa ganti rugi (yang diderita oleh pihak
lain dalam perjanjian), pembatalan kontrak atau pemecahan perjanjian, peralihan
risiko (memindahkan risiko dari suatu pihak ke pihak lain), ataupun pembayaran
biaya perkara (apabila hal ini sampai diperkarakan ke pengadilan).

B. Risiko Akibat Debitor Meninggal Dunia


Umur seseorang tak dapat diramal oleh siapapun, demikian dengn para
pelaku usaha yang sedang menjalin perikatan demi menjalankan bisnis yang
dikelolanya. Pada dasarnya seseorang yang melakukan perikatan lewat perjanjian
sesuai tujuan bisnisnya, maka berdasar pasal 1315 jo. 1340 BW, perjanjian itu
hanya berlaku dan mengikat mereka yang membuatnya saja. Inilah yang dikatakan
bahwa perjnjian itu bersifat pribadi, artinya perjanjian yang dimaksud hanya
mengikat pihak-pihak yang membuatnya saja (Prifity of Contract) . Pihak ketiga
yang tidak ikut serta membuat perjanjian, dengan sendirinya tidak ikut terikat.
Secara Implisit Pasal 833 BW menuturkan bahwa ahli waris tak sekedar
mewarisi aktiva tetapi juga pasiva, sehingga pasiva berupa melunasi prestasi yang
belum dilaksanakan yang meninggal dunia. Dengan dasar pasal 1318 BW tersebut
yang inti singkatannya menegaskan bahwa seseorang yang membuat suatu
perjanjian dianggap juga untuk ahli warisnya demikian pula untuk pihak yang
memperoleh hak dari padanya.

C. Risiko Akibat Debitor Pailit


Pada dasrnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali
bila undang-undang menentukan lain. Demikian [ernyataan yang diungkap oleh
pasal 1329 BW. Adapun kekecualiannya bahwa seseorang menjadi belum atau
tidak cakap adalah sebagaimana ditetapkan oleh pasal 1330 BW.
Kalau seseorang dinyatakan pailit oleh Pengadilan , maka yang
bersangkutan menjadi tidak wenang lagi untuk melakukan peerbuatan Hukum,
dalam hal ini termasuk mengelola hartanya. Risiko tidak kembalinya secara utuh
tagihan yang dimiliki kreditur dalam peristiwa tersebut merupakan suatu kerugian
yang tidak diinginkan.

3.4 Kedudukan Pasal 1131 BW


Mengandalkan jaminan umum pasal 1131 BW kendati jaminantersebut
diberikan oleh undang-undang, Jaminan yang demikian ini merupakan jaminan
yang bentuk dan isinya ditentukan oleh undang-undang. Ini berarti seorang kreditor
dapat diberikan jaminan berupa harta benda milik debitor tanpa secara khusus
diperjanjikan. dalam konteks ini, kreditor hanyalah seorang kreditor konkuren
terhadap seluruh kekayaan debitor. Jaminan yang demikian disebut juga sebagai
jaminan yang bersifat umum.
Kemudian oleh Pasal 1134 KUHPerdata ditentukan bahwa hak istimewa itu
adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang kreditor
sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada kreditor lainnya, semata-mata berdasar
sifat piutangnya.
Pasal 1131 BW yang terkwalifikasi sebagai regelend recht, berarti dapat
disimpangi oleh para pihak atas dasar sepakat, mengingat pasal tersebut ada dalam
ranah buku II BW yang bersifat tertutup, maka penyimpangan yang dilakukan oleh
para pihak punya karakter khusus, yakni bahwa penyimpangan tersebut tak
mengakibatkan pasal 1131 BW lalu hilang dari peredaran hubungan hukum para
pihak.
Menyimpangi jaminan umum dalam pasal 1131 BW tujuan utamanya
adalah untuk memperkuat posisi kreditor guna menepis sejauh mungkin resiko rugi
yang selalu mengintai setiap kegiatan bisnis. Dengan model ini maka perjanjian
yang isinya tentang peminjaman dana dilingkungan bank lebih dikenal dengan
istilah perjanjian kredit, dengan posisi sebagai perjanjian pokok, suaya kokoh perlu
ditunjang oleh perjanjian jaminan khusus yang berperan sebagai perjanjian
tambahan.
BAB 4
KEDUDUKAN PERJANJIAN KREADIT DALAM RANGKUMAN
BUKU III BW

4.1 Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Tak Bernama


Golongan perjanjian tak bernama inilah yang dapat dibuat oleh para pihak
atas dasar kata sepakat dikarenakan adanya tuntutan dankebutuhan kemajuan
bisnis. Ini semua dapat terlaksana karena didasarkan pada salah satu prinsip dalam
hukum perjanjian yakni asas kebebasan berkontrak. Bertolak belakang dari adanya
asas kebebasan berkontrak inilah maka hukum akan selalu mampu mengikuti
perkembangan dunia bisnis yang selalu bergerak berubah berdasarkan inovasi-
inovasi pelaku pasar.
Secara faktual dalam kehidupan konkrit sudah banyak ditemukan jenis-jenis
perjanjian tak bernama, misalnya perjanjian sewa beli, perjanjian anjak piutang,
perjanjian sewa guna dan masih banyak lagi yang bermunculan akibat tuntutan
kebutuhan dunia bisnis. Dalam dunia perbankan sendiri seiring kegiatannya untuk
menyalurkan dana pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan, dikenal
secara populer dengan apa yang disebut dengan perjanjian kredit.
Kalau bertolak dari makna perjanjian pinjam meminjam uang yang ada
dalam pasal 1754 jo. 1756 BW, maka jenis perjanjiannya tergolong sebagai
perjanjian riil dan secara harfiyah aturannya ada dalam Buku III BW. Berlainan
dengan perjanjian kredit, secara harfiah istilah tersebut tidak ditemukan
keberadaanya dalam Buku III BW, lagi pula perjanjian kredit justru bukan
tergolong sebagai perjanjian riil tetapi masuk perjanjian konsensuil.

4.2 Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Obigator


Sikap menjual benda miliknya demi memperoleh sejumlah dana yang
diperlukan, berarti hak milik atas benda yang bersangkutan hilang lenyap, itu bukan
merupakan solusi yang nyaman. Umunya akan ditempuh alternatif lain yang yang
lebih semarak tanpa perlu kehilangan hak milik atas benda-benda yang
dipunyainya, dengan cara meminjam dana yang diperlukan pada suatu pihak.
Penyaluran dana pinjaman oleh bank kepada nasabah yang membutuhkan. Bingkai
hukum yang dibutuhkan adalah perjanjian atau kontrak yang di lingkungan dunia
perbankan berwujud dalam bentuk perjanjian kredit.
Perjanjian kredit di lingkungan bank tergolong perjanjian tak bernama,
dasar pasal 1233 BW akan menimbulkan perikatan, sehingga di pundak para pihak
akan terpikul suatu kewajiban (Obligation) yang kemudian menjadikan para pihak
terikat satu dengan yang lain, maka jenis perjanjian seperti ini tergolong sebagai
perjanjian obligatoir. Sejalan dengan amanah pasal 1319 BW bahwa baik perjanjian
bernama ataupun perjanjian tidak bernama harus tunduk pada ketentuan-ketentuan
umum Bab I dan Bab II serta Buku III BW.
Perjanjian kredit yang dibuat oleh para pihak secara konkrit bagi bank
selaku kreditor melahirkan suatu hak yang berupa hak tagih yang tergolong sebagai
hak pribadi, artinya hak tersebut hanya dapat ditegakkan pada pihak tertentu saja
dan yng dimaksud pihak tertentu adalah rekan seperjanjiannya. Hak tagih yang
dimiliki bank selaku kreditor tentu saja hanya dapat ditujukan kepada nasabah
debitor sebagai rekan sekontraknya.
Akibat kalau debitor tidak melakukan kewajibannya membayar utang
otomatis hak kreditor untuk memperoleh pelunasan dana tidak akan terwujud, dan
itu merupakan suatu kerugian. Kredito yang menderita rugi potensial berusaha
menutupnya, antara lain dengan jalan menggugat debitor ke pengadilan agar dapat
pulih, umunnya sekaligus dengan mendayagunakan pasal 1131 BW sesuai
prosedur.

4.3 Pasal 1131 BW Sebagai Benteng Perlindungan Perjanjian Obligator


Untuk memulihkan kerugian yang dimaksud, pihak yang diciderai dapat
mengajukan gugatan ke pengadilan agar memperoleh pewujudan haknya lewat
tangan hakim. Bank selaku kreditor mengggat ke pengadilan untuk memulihkan
kerugian yang disandangnya atas dasar cidera janji (wanprestsi), umumnya akan
diikuti permohonan peletakan sita jaminan terhadap harta debitor.
Proses peletakan sita jaminan terhadap harta benda debitor, untuk kemudian
disusul penjualan di hadapan umum adalah didasarkan pada pasal 1131 BW.
Jaminan yang diberikan oleh pasal 1131 BW berupa seluruh harta debitor untuk
seluruh perikatan yang dibuatnya, mengakibatkan jaminan yang ada dalam pasal
disebut dengan istilah jaminan umum.
Bank dikatakan sebagai lembaga peantara dikarenakan eksistensinya ada
ditengah-tengah antara pihak yang kelebihan dana, kemudian menyerahkannya
kepada bank, setelah terhimpun lalu dana disalurkan kepada masyarakat yang
membutuhkan pinjaman.
Perolehan pelunasan piutang juga relatif mudah akibat adanya model
eksekusi yang disederhanakan terhadap benda agunan sesaat setelah debitor
dinyatakan wanprestasi. Memiliki benda agunan bagi bank akan memposisikan
dirinya sebgai kreditor yang terlindungi oleh benda tertentu milik debitor yang
secara khusus atas dasar sepakat dijadikan jaminan untuk sejumlah dana yang sudah
dikucurkan. Mana kala di belakang hari debitor wanprestasi, lalu dijual dihadapan
umum hasil lelang pertama-tama harus dibayarkan terlebih dahulu kepada bank
yang berkedudukan sebagai kreditor preferen.
BAB 5
FUNGSI DAN JENIS PERJANJIAN JAMINAN

5.1 Pengertian Istilah Umum Dalam Jaminan Yang Ada Pada Pasal 1131 BW
Sudah disinggung pada uraian yang lalu bahwa pengertian istilah umum
dalam jaminan yang ada pada Pasal 1131 BW dikarenakan jaminan yang dimaksud
meletak pada seluruh harta debitor, dan jaminan itu diperutukkan bagi seluruh
kreditor. Jaminan umum yang dimaksud diperutukkan bagi seluruh kreditor tanpa
ada yang diistimewakan dalam hal pelunasan tagihannya.
Jaminan umum yang diberikan oleh undang-undang terbukti belum cukup
memberikan kejelasan nasib setiap perikatan yang dibuat dalam kancah kehidupan
sosial. Sejatinya kalau dirunut, apapaun prestasi dalam sebuah perikatan pasti
terlunasi pemenuhannya akibat keberadaan jaminan umum yang ada dalam Pasal
1131 BW. Bahkan acap kali terjadi perebutan hasil lelang harta debitor yang tak
mencukupi seluruh tagihan kreditor, sehingga memposisikan para pemilik tagihan
itu hanya sebagai kreditor konkuren, akibat para kreditor tersebut berkokurensi
dalam memperebutkan hasil lelang keseluruhan harta debitor atas dasar Pasal 1131
BW.
Pengertian istilah umum, mengandung makna bahwa semua pihak
diperlakukan secara sama tanpa ada yang diberi keistimewaan. Agar tidak terjadi
kegaduhan akibat perbenturan tagihan, maka kehadiran Pasal 1131 BW, oleh
pembentuk undang-undang disusuli dengan ketentuan pelengkapnya berupa Pasal
1132 BW.

5.2 Perjanjian Jaminan Sebagai Upaya Membangun Perisai Terhadap Pasal


1131 BW
Tanpa meninggalkan keberadaan Pasal 1131 BW yang untuk sementara
dimundurkan posisinya selaku jarring pengaman yang sewaktu-waktu mungkin
tetap diperlukan. Sedikit memundurkan bangunan benteng jaminan umum dalam
Pasal 1131 BW, lalu atas dasar sepakat dibentuklah perisai depan yang relatif lebih
tangguh oleh para pihak, dapat menghasilkan perlindungan ganda terhadap tagihan
kreditor guna mengantisipasi ingkar janjinya kreditor. Apa yang bersifat umum
dalam Pasal 1131 BW, lalu diberi perisai yang bersifat khusus lewat perjanjian,
agar kedudukan kreditor menjadi lebih aman.
Apabila atas dasar sepakat para pihak membuat suatu perjanjian dengan
menunjuk benda tertentu milik debitor untuk diikat secara khusus demi menjamin
sejumlah utang tertentu, maka posisi kreditor menjadi lebih aman karena pertama-
tama dilindungi oleh perjanjian jaminan kebendaan tanpa menghilangkan jaminan
umum sebagai benteng lapis kedua. Ilustrasi ini sebenarnya menandakan bahwa
Pasal 1131 BW itu berposisi sebagai regelend recht, berarti dapat disimpangi oleh
para pihak dengan cara membuat perjanjian.
Dari perjanjian jaminan kebendaan yang dibuat antara debitor dengan
kreditor, maka lahirlah hak kebendaan. Kalau obyek benda yang diperjanjikan
berupa benda bergerak, maka lahirlah hak gadai, sedang perjanjian yang berobyek
benda tidak bergerak, maka akan lahir hak hipotek. Kedua-duanya, hak gadai dan
hak hipotek, adalah tergolong sebagai hak jaminan kebendaan. Selain para pihak
dapat membuat jaminan kebendaan, jaminan lain juga dapat dibuat lewat adanya
kesanggupan pihak ketiga yang bersedia menjadi penanggung (borg). Hadirnya
pihak ketiga sebagai borg melalui kesepakatan dengan pihak kreditor ditempuh
dengan jalan membuat Perjanjian Penanggungan.

5.3 Jenis Perjanjian Jaminan


Kalau kreditor menginginkan posisi yang lebih baik, jangan hanya sekedar
mengandalkan jaminan umum dalam Pasal 1131 BW, tetapi harus berusaha
membuat jaminan khusus yang dirakit dalam suatu perjanjian jaminan guna
membangun sendiri benteng ganda agar dirinya menjadi lebih tangguh dan aman.
Sesuai penggolongannya perjanjian jaminan itu ada dua (2) macam yakni Perjanjian
Jaminan Perorangan dan Perjanjian Jaminan Kebendaan.
A. Perjanjian Jaminan Perorangan
Perjanjian Jaminan Perorangan terjadi kalau ada pihak ketiga yang bersedia
menjadi penaggung (borg) atas utangnya debitor, dan atas dasar sepakat kreditor
lalu dirakit dalam suatu perjanjian yang dikenal dengan nama Perjanjian
Penanggungan, dengan ketentuan Pasal 1820 BW yang intinya penanggungan
adalah suatu perjanjian dimana seorang pihak ketiga, demi kepentingan kreditor,
bersedia mengikatkan dirinya untuk melunasi utang debitor bila wanprestasi.
B. Perjanjian Kebendaan
Mengikuti sistematika dan harmonisasi yang dianut sesuai dengan adanya
pembagian benda bergerak-benda tidak bergerak, maka kalau benda milik debitor
yang disodorkan sebagai obyeknya itu tergolong benda bergerak, lalu diikat dengan
perjanjian jaminan kebendaan, maka wujud kongkritnya perjanjian yang dimaksud
adalah Perjanjian Jaminan Gadai. Sebaliknya kalau benda tertentu milik debitor
yang diberikan sebagai jaminan berujud benda tidak bergerak, lalu diikatkan
dengan perjanjian jaminan kebendaan, ujud konkritnya adalah Perjanjian Jaminan
Hipotek.
BAB 6
HAK JAMINAN KEBENDAAN

6.1 Hak Jaminan Kebendaan Lahir dari perjanjian Jaminan Kebendaan


Sebutan hak jaminan kebendaan (juga dapat disebut dengan istilah hak
kebendaan bercorak jaminan) membersitkan makna bahwasanya hak jaminan itu
melekat atau menindih suatu benda, dan benda itu tentunya milik debitor,
mengingat hak jaminan itu tidak melekat pada seluruh benda miliik debitor,
mengingat hak jaminan yang melekat pada segenap harta debitor itu dikuasai oleh
pasal 1131 BW. Ketentuan yang disampingi, yakni pasal 1131 BW, merupakan
ketentuan undang-undang yang mengatur soal jaminan, berarti perjanjian yang
dibuat para pihak sebagai wujud peyimpangan itu diadakan dengan maksud
mengatur soal jaminan juga dengan obyek benda. Ole sebab itu perjanjaian tersebut
dinamakan sebagai perjanjian jaminan. Mengingat perjanjian jaminan yang
bersangkutan obyeknya benda, maka perjanjian yang dimaksud termasuk sebagai
perjanjian jaminan kebendaan yang akan melahirkan hak kebendaan bercorak
jaminan (hak jaminan kebendaan).

6.2 Katagorisasi Perjanjian Jaminan Kebendaan


Di Lingkungan perbankan saat berkehendak mengucurkan dana pinjaman
kepada masyarakat yang membutuhkan, maka wajib menegakkan prinsip kehati-
hatian sebagaimana diamanatkan oleh UU Perbankan. Lewat pertumbuhan
ekonomi nasional yang cerah, kesejahteraan rakyat seperti yang diserukan oleh
konstitusi akan dapat diwujudkan sesuai harapan banyak kalangan. Kondisi ini
tentunya juga akan mendatangkan pengaruh yang tidak kecil terhadap kemajuan
dunia bisnis. Disinilah arti dan peran penting hukum, dalam hal ini Hukum
Perjanjian dengan segala derivatifnya, demi menunjang kehidupan sesuatu bangsa
secara utuh.
Sebagaiamana sudah sering diwacanakan, mengingat setiap kegiatan bisnis
selalu memerlukan bingkai hukum, pada hal laju pertumbuhan dan perkembangan
bisnis sangat cepat, maka ketersediaan aturan hukum yang luwes pasti akan menjadi
penentu keandalannya sebagai perangkat. Tak pelak ketentuan-ketentuan hukum
yang tersedia akan banyak memiliki dimensi bernuansa ekonomis, agar tetap dapat
dimanfaatkan oleh pelaku pasar. Tanpa adanya sosok yang fleksibel, hukum justru
akan menjadi kendala bahkan dapat menyerimpung alur bisnis yang tak pernah
berhenti berotasi. Sikap ini menjadi lebih penting diperhatikan kalau pihak penyalur
dana pinjaman yang dimaksud adalah lembaga perbankan yang diamanati
menegakkan prinsip kehati-hatian.
Menyalurkan dana pinjaman, adalah penuh resiko yang dapat menyergap
kapan saja sehingga pengembalian atau pelunasannya menjadi gagal. Perangkat
hukum jaminan sudah menyediakan lembaga-lembaga hukum yang memang
sengaja dikemas oleh pembentuknya guna memberikan pengamanan, bahkan
sanggup memberikan kedudukan istimewa kepada para kreditor yang sejak awal
membuat Perjanjian Jaminan sebagai perisai kreditor yang sejak awal membuat
perjanjian jaminan sebagai perisai pasal 1131 BW.
Mendayagunakan lembaga jaminan kebendaan yang disediakan oleh
pembentuk undang-undang, adalah dalam rangka memperoleh hak ang didahulukan
dalam soal pelunasan piutang dari hasil lelang agunan. Seperti sudah tersinggung,
adapun perjanjian jaminan kebendaan, dimana dalam perjanjian tersebut disepakati
untuk menarik benda tertentumilik debitor guna diikat secara khusus demi
menjamin sejumla hutang tertentu yang disalurkan oleh piak kreditur. Pola ini
menjadikan pihak bank selaku kreditur , dari perjanjian kredit akan memiliki hak
tagih yang tergolong sebagai hak pribadi, lalu didukung oleh perjanjian jaminan
kebendaan selaku perjanjian tambahan yang akan melahirkan hak jaminan
kebendaan.
Perjanjian Kreditur selaku perjanjian pokok adalah tergolong sebagai
perjanian Obligatoir dikarenakan akan melahirkan perikatan yang tentu saja tunduk
pada buku III BW. Sedasar dengan itu maka hak yang dilahirkan, yakni hak tagih
sebagai piutang, adalah tergolong sebagai hak pribadi , mengingat hak tersebut lahir
dari perjanjian yang bersifat pribadi sebagaimana ditetapkan ole pasal 1315 jo.
Inilah salah satu ciri yang melekat pada hak tagih yang tergolong sebagai hak
pribadi itu bersifat relative atau tidak mutlak. Perjanjian kredit sebagai perjanjian
pokok yang tentu saja pasal 1233 BW melahirkan perikatan, sesuai hakekatnya
memang sudah ada jaminan memang sudah ada jaminan yang mendukungnya,
yakni jaminan umum dalam pasal 1131 BW.
Perjanjian Jaminan kebendaan sebagai perjanjian tambahan dalam rangka
mendukung eksistensi perjanjian kredit, merupakan suatu perjanjian yang objeknya
benda, dan benda yang dimaksud adalah sala satu benda tertentu milik debitor yang
atas dasar sepakat diikat sebgai jaminan khusus bagi sejumlah uang tertentu. Benda
tertentu milik debitor yang diikat secara khusus bagi sejumlah uang tertentu .langka
procedural yang lebih mudah dan sederhana dapat dilakukan terhadap agunan yang
dimiliki untuk dijual dihadapan umum, dan hasilnya akan segera dipergunakan
untuk membayar pelunasan piutangnya bank tanpa perlu diganggu oleh kreditur
lain yang juga memiliki tagihan. Hak Jaminan kebendaan sungguh-sungguh
bersosok sebagai pengawal handal bagi hak pribadi yang muncul dari perjanjian
kredit selaku komandannya. Sebagai pengawal, hak jaminan kebendaan inilah yang
akan tampil lebih dulu untuk mengatasi dampak wanprestasinya debitur demi
mendapatkan pelunasan yang bersifat mendaulu guna menyelamatkan piutang yang
lahir dari perjanjian kredit selaku komandannya.
Sosok perjanjian jaminan kebendaan sebagaimana sudah dipaparkan di atas,
kalau dibandingkan dengan perjanjian jaminan perorangan dalam ujud perjanjian
Penanggugangan (borgtoct), yang diatur dalam Bab XVII Buku BW, adalah sangat
berbeda, perjanjian Penanggungan karena terletak dalam Buku III BW, berarti
tergolong selain sebagai Perjanjian Bernama juga termasuk Perjanjian OBligatoir,
maka perjanjian tersebut akan melahirkan perikatan sesuai Pasal 1233 BW.
Perjanjian Jaminan Kebendaan yang melahirkan hak jaminan kebendaan, dalam
BW itu berujud gadai dan hipotek, bila ditelisik terbukti mempunyai ciri-ciri yang
unggul. Menyandingkan kedua macam hak tersebut demi mendapatkan kejelasan
ulang bahwa memang benar kiranya kalau apa yang diatur dalam Buku II BW tak
pernah dapat lepas dari apa yang ada dalam Buku III BW sebagai kesatuan Utuh.

6.3 Perbandingan Ciri Pokok Antara Hak Jaminan Kebendaan Dengan Hak
Pribadi.
Perjanjian jaminan kebendaan ang obyeknya benda, dan benda yang secara
khusus diikat dengan perjanjian tersebut dinamakan agunan, merujuk pada aturan
yang ada dalam BW, ditemukan ada dua jenis lembaga jaminan kebendaan yakni
gadai dan hipotik. Perjanjian jaminan kebendaan yang ditutup oleh para pihak
dalam rangka menjadi pengawal perjanjian pokok, adala tergolong sebagai
Perjanjian Kebendaan yang tunduk dalam pada ranahBuku II BW. Jadi perjanjian
jaminan Gadai, juga perjanjian Jaminan hipotek , akan melahirkan hak kebendaan
bercorak jaminan, berupa hak gadai dan hak hipotek, tanpa melahirkan perikatan.
Penggunaan lembaga jaminan gadai dan hipotek berperan sebagai pengawal
piutang yang tergolong sebagai hak pribadi. Gadai dan hipotik, sesuai perananya,
maka ciri unggul harus dipunyai dan itu ditetapkan dalam pasal-pasal yang
mengaturnya. Sesuai sejarah perkembangan hukum perdata di Indonesia,
khususnya Hukum Jaminan, selain lembaga jaminan gadai dan hipotik yang diatur
dalam Buku II BW, Pemerintah Indonesia sedasar diterbitkannya UUPA, maka
untuk hak atas tanah diintro yang baru .
Perjanjian jaminan kebendaan yang berorientasi pada Gadai, hipotik, hak
tanggungan, ataupun Fidusia, dengan sendirinya melahirkan hak kebendaan yang
akan dipergunakan untuk mengawal hak pribadi yang lahir dari perjanjian pokok
berupa perjanjian kredit. Mana kala dicermati dengan seksama, terbukti pasal-pasal
ang terangkum dalam Buku II BW didominasi oleh ketentuan yang mengatur
tentang hak kebendaan, disamping ada ketentuan lain yang mengatur seluk beluk
benda, misal pasal-pasal yang mengatur tentang definisi benda , macam-macam
penggolongan benda, cara penyerahan (levering) benda, cara memperoleh hak
milik benda, dan lainnya. Jenis-jenis hak kebendaan yang diatur dalam Buku II BW
antara lain ak Milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak gadai, hak hipotik
dan masih ada beberapa yang lainya.
Secara garis besar ciri yang bernuansa asas dari hak jaminan kebendaan
tersebut, baik berujud gadai atatupun hipotik, antara lain dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1. Hak Jaminan kebendaan itu bersifat mutlak : artinya hak tersebut dapat
ditegakkan terhadap siapapun, dimana hak itu tidak hanya dapat ditegakkan para
pihak rekan seperjanjian saja, tetapi juga kepada pihak ketiga yang bukan mitra
pembangunan sepakat sekalipun. Mana kala ada pihak ketiga yang tidak
menghormati hak jaminan kebendaan yang dilahirkan dari perjanjian kebendaan
yang dibuat oleh pihak-pihak tertentu, berarti pihak ketiga itu tak melakukan
kewajibannya sehingga dianggap salah, dan sebagai akibatnya wajib memilkul
risiko, antara lain harus membayar ganti rugi, beaya, dan bunga.
2. Dalam Hak Jaminan Kebendaan ada ciri droit de suite, artinya bahwa hak
tersebut akan selalu mengikuti bendanya ke manapun benda itu berada. Apabila
pada sebuah benda diatasnya dilekati hak kebendaan bercorak jamninan, maka jenis
hak tersebut akan tetap menempel meski benda yang bersangkutan jatuh dan
dikuasai secara nyata oleh pihak lain .ciri droit de suite di atas tak dimiliki oleh hak
pribadi , mengingat hak pribadi itu lahir dari perjanjian yang bersifat pribadi
sebagaimana diutarakan Oleh Pasal 1315 jo. 1340 BW.
3. Dalam hak jaminan kebendaan ada asas prioritas, artinya bahwa hak
kebendaan yang lahir lebih dahulu akan diutamakan dari pada yang lair kemudian.
Asas prioritas ini pada hakikatnya tidak dijumpai dalam hak pribadi, karena saat
kelahiran sebuah hak pribadi tak punya pengaruh atas kelahiran hak pribadi yang
lain.
4. Dalam hak jaminan kebendaan ada asas preferensi, maknanya bahwa
kreditur pemegang hak jaminan kebendaan piutangnya harus dilunasi terlebih
dahulu dari kreditur lain. Posisi unggul seperti itu mengakibatkan kreditur
pemegang hak jaminan kebendaan digolongkan sebagai kreditur preferen. Dalam
dunia perbankan, sosok bank sebagai kreditur preferen bener-bener menjadi ikon
yang sangat dikenal kalangan luas, sampai-sampai dapat menegelamkan ciri hak
jaminan kebendaan lainnya untuk dikenali sebagai ikutan yang sebenarnya tak
mungkin terpisahkan.
5. Dalam hak jaminan kebendaan ada asas publisitas, artinya bahwa hak
kebendaan tersebut memerlukan suatu perbuatan hukum khusus yang wajib
dilakukan sehingga umum atau masyarakat mengetahui keberadaan hak kebendaan
yang bersangkutan. Perbuatan hukum khusus menyangkut asas publisitas, memiliki
tujuan sebagai sebuah pengumuman agar public sebagai pihak ketiga mengetahui
kehadiran hak kebendaan berupa hak jaminan kebendaan yang dimaksud untuk
kemudian wajib menghormatinnya.
6. Dalam hak jaminan kebendaan ada asas totaliteit. Artinya bahwa hak
jaminan kebendaan itu menindih keseluruhan benda yang bersangkutan secara utuh,
bukannya sebagai demi sebagian. Demikian juga untuk kepentingan penjualan
lelang, sebab peminat lelang tidak akan tertarik untuk membelinya kalau hanya
sebagian benda saja yang dijual, sedang bagian lainnya ada dalam kewenangan
pihak ketiga.
7. Bahwa hak jaminan kebendaan dilekati sifat tidak dapat dibagi bagi,
artinya dengan dilunasinya sebagian utang oleh debitor, bukan berarti sebagian dari
benda yang dijaminkan itu menjadi terbebaskan karenanya. Penegasan yang sama
terpantul juga secara eksplisit pada pasal 1160 BW bahwa hak gadai tidak dapat
dibagi-bagi.
8. Dalam hak jaminan kebendaan ada asas spesialitas, artinya suatu benda
yang diikat dengan perjanjian jaminan kebendaan, ciri – cirinya harus di tetapkan
dengan tegas dan jelas. Benda tidak bergerak berupa sebidang tanah, pada dasarnya
akan selalu berbatasan dan berhimpitan dengan persil-persil disampingnya,
sehingga batas dan ukurannya harus pasti, sementara nanti terjadi penjualan lelang
akibat debitur wanprestasi , tidak keliru obyekna.
9. Hak jaminan Kebendaan memberikan sistem eksekusi agunan yang
mudah. Sesuai perkembangan di Indonesia setelah lahirnya UU Hak Tanggungan,
Pola grosse akta hipotek di atas tetap dipertahankan dengan cara mengintrodusir
“Serikat hak Tanggungan“ yang menggunakan juga irah-irah sehingga memiliki
kekuatan eksekutorial.
10. Dalam hak jaminan kebendaan memiliki aturan pemberian perlindungan
hukum yang proporsional kepada para pihak. Pada sisi lain pihak debitur, meski
sudah berbuat salah yakni melakukan wanprestasi. Pada dasarnya persoalan
perlindungan hukum itu kalau ditinjau dari sumbernya dapat dibedakan menjadi
dua (2) macam yakni perlindungan hukum eksternal dan perlindungan internal.
Kemasan aturan perundangan sebagaimana paparan diatas, tergambar betapa rinci
dan adilnya penguasa itu memberikan perlindungan hukum kepada para pihak
secara proposional. Menerbitkan aturan hukum dengan model seperti itu, tentu saja
bukan tugas yang gampang bagi pemerintah yang selalu berusaa secara
optimaluntuk melindungi rakatnya, dan mengindari sedini mungkin bahkan kalau
mampu menutup semua celah yang dapat dijadikan peluang untuk melakukan
eksploitasi oleh semua anggota masyarakat.
11. Dalam hak Jaminan kebendaan ada hak retensi. Demi mendapatkan
pelunasan piutang secara tuntas, kreditur diberi wewenang untuk tetap menahan
benda jaminan sampai dengan piutang yang bertalian dengan benda yang
bersangkutan dilunasi. Mutatis mutandis, ketangguhan tersebut juga melekat pada
hak-hak jaminan kebendaan lain-lainya tanpa kecuali.
12. Hak Jaminan kebendaan timbul setelah ada perjanjian jaminan
keberadaanya didahului dan bergantung pada perjanjian pokok. Jelasnya kiranya
bahwa gadai itu hanya tercipta lewat adanya suatu perjanjian, dan perjanjian inipun
tidak berdiri sendiri tetapi eksistensinya digantungkan pada keberadaan perjanjian
pokoknya berupa perjanjian utang piutang (perjanjian kredit).
13. Pada dasarnya pemberi hak jaminan kebendaan hanyalah pemilik benda.
Ini dengan prediksi bahwa menjaminkan bisa jadi merupakan langkah awal
mengasingkan benda, dalam hal ini menjual, hanyalah pemilik. Adapun keleluasaan
untuk melakukan segala jenis perbuatan hukum tersebut dapat berupa perbuatan
hukum menjual, menghibahkan, menukarkan dengan benda lain, ataupun perbuatan
hukum berupa menjaminkan benda yang bersangkutan demi mendapatkan
pinjaman dana dari pihak kreditor.
14. Hak Jaminan kebendaan itu untuk pelunasan piutang bukan hak untuk
memiliki. Kalau benda kepunyaannya hanya sekedar dijadikan jaminan yang tidak
menghilangkan kepemilikannya, pihak yang akan berhutang tersebut tidak
keberatan. Sosok hak jaminan kebendaan hanya berfungsi sebagai hak untuk
mendapatkan pelunasan piutang dan bukan hak untuk memiliki sendiri agunan
secara otomatis oleh kreditor bila debitor wanprestasi, aturannya dapat dilacak
antara lain pada pasal 1154 BW juga Pasal 1178 BW.
15. Hak Jaminan Kebendaan dapat diletakkan secara berganda untuk obyek
yang sama. Berdasar alasan itulah maka pembentuk undang-undang menghadirkan
Pasal 1152 AYAT 1 bw dan Pasal 1181 BW. Kedua pasal tersebut memang tidak
secara eksplesit menyebutkan pinjaman ulang suatu benda, hanya secara implisit
bahwa suatu benda itu dapat dijaminkan lebih dari satu kali sesuai hitungan nilai
ekonomisnya.
BAB 7
PIUTANG ISTIMEWAH

7.1 Utang Sbegai Suatu Prestasi


Hakekatnya prestasi wajib dipenuhi atau dibayar, sesungguhnya ini
merupakan suatu utang, dan tentu saja keberadaan utang tersebut berada di pundak
debitor. Ditetapkan dalam pasal 1235 BW, bahwa prestasi harus dipenuhi atau
wajib dibayar.
Pada umumnya piutang timbul akibat dari transaksi penjualan barang dan
jasa perusahaan, dimana pembayaran oleh pihak yang bersangkutan baru akan
dilakukan setelah tanggal transaksi jual beli. Mengingat piutang merupakan harta
perusahaan yang sangat likuid maka harus dilakukan prosedur yang wajar dan cara-
cara yang memuaskan dengan para debitur sehingga perlu disusun suatu prosedur
yang baik demi kemajuan perusahaan. Piutang dapat digolongkan dalam dua
kategori yaitu piutang usaha dan piutang lain-lain
Utang memang memiliki dua macam makna, yakni utang dalam arti luas
dan sempit. Tentang utang dalam arti luas, adalah segala jenis prestasi dari
perjanjian obligatoir, sedang dalam arti sempit adalah berkait dengan urusan
perjanjian pinjam meminjam dana atau perjanjian pinjam meminjam uang seperti
yang umum dilakukan oleh lembaga perbankan.
Piutang usaha menunjukkan klaim yang akan dilunasi dengan uang yang
tidak didukung dengan janji tertulis yang timbul dari penjualan barang-barang atau
jasa-jasa yang dihasilkan perusahaan. Piutang usaha meliputi piutang yang timbul
karena penjualan produk atau penyerahan jasa dalam rangka kegiatan usaha normal
perusahaan. Piutang usaha adalah tagihan yang tidak didukung dengan janji tertulis
yang hanya dilengkapi oleh surat jalan, faktur/tanda terima lainnya yang telah
ditandatangani oleh debitur sehingga pernyataan telah menerima barang ada
didalam surat-surat tersebut. Selain itu pengertian piutang yang pada umumnya
digolongkan dalam aktiva lancar yang berarti bahwa tagihan-tagihan pada pihak
lain yang nantinya akan diminta pembayarannya dalam jangka waktu yang tidak
lama (kurang dari satu tahun) yang biasanya digolongkan dalam piutang jangka
pendek.
Perjanjian kredit terkualifikasikan sebagai perjanjian tak bernama, sesuai
pasal 1319 BW harus tunduk pada ketentuan umum dalam buku III BW,
mengakibatkan yang lahir dari perjanjian kredit adalah berupa hak tagih atau
piutang.

7.2 Kedudukan Piutang sebagai Hak Pribadi (Hak Perorangan)


Bahwasannya hak prinadi ini memiliki ciri yang dapat dikatakan berbanding
terbalk dengan ciri-ciri hak kebendaan yang sosoknya sangat unggul. Antara lain
hak pribadi ini bersifat mutlak atau hanya bersifat relatif, dalam arti hak pribadi itu
hanya dapat ditegakkan pada pihak tertentu saja, dan yang dimaksud tertentu itu tak
lain adalah rekan sekontraknya. Hak pribadi tak memiliki ciri droit de suite, lebih
lanjut lagi tak dilekati ciri preferensi ataupun karakter prioritas. Oleh sebab itu
karena tidak memerlukan adanya asas publisitas, maka perjanjian yang melahirkan
perikatan (perjanjian obligatoir) tersebut keberlakuannya sebatas para pihak saja,
sedang pihak ketiga tidak ikut terikat karenanya.
Asas persamaan kreditur ini dapat dikecualikan sebagaimana klausula
terakhir dari ketentuan dalam Pasal 1132 KUHPerdata, yang berbunyi : “Barang-
barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya hasil
penjualan barangbarang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing
kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.”
Hal ini terjadi bila di antara kreditur yang bersama itu mempunyai hak preferensi,
sehingga kreditur yang bersangkutan menjadi atau berkedudukan sebagai kreditur
preferent.
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
dengan tegas mengatakan, bahwa fidusia bisa diberikan kepada lebih dari 1 (satu)
orang penerima fidusia. Maksudnya adalah, bahwa benda jaminan fidusia yang
sama diberikan sebagai jaminan kepada lebih dari 1 (satu) orang kreditur. Karena
penerima fidusia adalah kreditur yang mempunyai piutang (Pasal 1 sub 6 Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia), maka dapat dikatakan,
bahwa fidusia dapat dipakai untuk menjamin lebih dari 1 (satu) orang kreditur.
7.3 Jenis Piutang dalam BW
Jenis-jenis piutang yang dapat dijadikan obyek jaminan fidusia tidak diatur
secara detail dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia, untuk itu perlu diperhatikan
syarat benda yang dapat dijadikan obyek jaminan yaitu benda tersebut mempunyai
nilai dan dapat dipindah tangankan, sehingga piutang dapat dijadikan obyek
jaminan sepanjang memenuhi syarat benda sebagai obyek jaminan.
Pasal 1133 BW dengan tegas menetapkan adanya suatu jenis piutang yang
berjumlah 3, yaitu yang disebut dengan istilah piutang istimewa berupa privilge,
gadai, dan hipotek. Secara implisit pasal 1133 BW dikenal ada 2 jenis piutang yaitu
piutang istimewa dan piutang tidak istimewa (piutang biasa).
Perjanjian utang piutang uang termasuk kedalam jenis perjanjian pinjam-
meminjam, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata
menyebutkan, “Pinjam-meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah terntentu barang-barang yang
menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.
Perjanjian utang-piutang sebagai sebuah perjanjian menimbulkan hak dan
kewajiban kepada kreditur dan debitur yang bertimbal balik. Inti dari perjanjian
utang-piutang adalah kreditur memberikan pinjaman uang kepada debitur, dan
debitur wajib mengembalikannya dalam waktu yang telah ditentukan disertai
dengan bunganya. Pada umumnya, pengembalian utang dilakukan dengan cara
mengangsur setiap bulan. Resiko-resiko yang umumnya merugikan kreditur
tersebut perlu diperhatikan secara seksama oleh pihak kreditur, sehingga dalam
proses pemberian kredit diperlukan keyakinan kreditur atas kemampuan dan
kesanggupan dari debitur untuk membayar hutangnya sampai dengan lunas.

7.4 Piutang Istimewa yang Lahir dari Perjanjian


Suatu piutang yang kemudian didukung dengan perjanjian jaminan
kebendaan, dimana debitor sepakat menyerahkan benda tertentu miliknya untuk
diikat sebagai agunan, maka piutang yang bersangkutan menduduki sebagai piutang
istimewa. Karakter piutang istimewa ini antara lain jika debitor wanprestasi maka
kreditor tidak perlu gaduh di pengadilan mengikuti proses gugat menggugat, tetapi
sebaliknya cukup bertindak cepat dengan jalan menjual lelang agunan sehingga
memperoleh pelunasan piutangnya menjadi sangat lancar, sederhana, dan mudah.
a. Piutang Gadai
Gadai adalah peminjaman uang dengan cara menyerahkan suatu barang
bergerak sebagai jaminan. Setelah adanya kesepakatan mengenai perjanjian utang
piutang, maka pihak yang sudah menyalurkan dana pinjaman akan mempunyai hak
tagih atau piutang, dan ini tergolong sebagai hak pribadi. Piutang ini dijamin oleh
pasal 1131 BW.
b. Piutang Hipotek
Pengertian hipotik adalah bentuk jaminan kredit yang timbul dari perjanjian.
Dimana jaminan atas perjanjian tersebut sudah harus diperjanjikan terlebih dulu.
Manakala yang disodorkan oleh debitor adalah benda tidak bergerak miliknya demi
menjamin sejumlah utang tertentu yang diperlukannya, dan pihak kreditor
menyetujuinya, maka dibuatlah perjanjian jaminan kebendaan berupa perjanjian
jaminan hipotek untuk mendukung perjanjian pokok.

7.5 Piutang Istimewah yang Lahir dari Undang-Undang


Dalam KUHPerdata terdapat sebuah hak istimewa yang melekat pada diri
seorang penanggung. Hak istimewa tersebut terdapat dalam pasal 1831
KUHPerdata yang pada intinya menyatakan bahwa penanggung tidak wajib
membayar kepada kreditur kecuali debitur lalai untuk membayar utangnya dalma
hal itu pun barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk
melunasi utangnya. Hak istimewa tersebut memberikan kelonggaran kepada
penanggung bahwa penanggung tersebut tidak harus membayar kepada kreditur
apabila debitur tidak lalai, dan dalam keadaan debitur lalai sekalipun penanggung
masih tidak harus membayar ketika harta kekayaan debitur belum disita dan dijual
untuk melunasi utangnya. Dalam hal ini hak istimewa yang diberikan KUHPerdata
kepada penanggung memiliki kekuatan yang sangat kuat untuk melindungi
penanggung dari penagihan utang dari debitur oleh kreditur.
Piutang kreditor pemegang gadai dan piutang kreditor pemegang hipotek,
sesuai perjanjian jaminan yang dibuat, mengkibatkan piutang mereka itu
menduduki posisi sebagai piutang istimewa atau memiliki preferensi.

7.6 Jenis Previllage


Penggolongan jenisnya itu privilege umum dirinci dalam pasal 1149 BW
dan privilege khusus dirinci dalam pasal 1139 BW.
a. Privilege Umum
Privilege tersebut melekat pada seluruh benda yang dimiliki debitor. Akibatnya
pelunasan jenis privilege ini tidak digantungkan pada benda tertentu saja, tetapi
dikenakan pada hasil penjualan atas seluruh benda apa saja yang dipunyai debitor.
b. Privilege khusus
Karena privilege itu melekat pada benda tertentu milik debitor, sehingga hanya
kreditor tertentu saja yang wajib didahulukan pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan benda tertentu yang bersangkutan.

7.7 Benturan Antar Piutang Istimewa


Piutang istimewa dalam pasal 1133 BW dapat saja berbenturan dalam
operasionalnya. Yang berbenturan yaitu antara aktor yang dibuat oleh rakyat, yakni
gadai dan hipotek, dengan aktor yang diciptakan oleh penguasa yaitu privilege.

7.8 Perkembangan di Indonesia


BW sebagai salah satu wujud kodifikasi yang di adopsi dari pemerintah
Belanda. Akibat dari kemajuan dan perkembangan masyarakat pasti akan
membawa persoalan-persoalan baru sesuai tuntutan kebutuhan yang mana acap kali
persoalan baru yang timbul tersebut tak dijumpai aturan khususna dalam BW.
Sejatinya aturan tentang tanah yang menurut BW tergolong sebagai benda
tidak bergerak, ketentuan-ketentuannya tersedia lumayan rapi. Kemudian akibat
perputaran roda pembangunan berkelanjutan, diterbitkanlah UUPA, sesuai
tuntutannya soal penjaminan hak atas tanah pemerintah mengintrodusir UU Hak
Tanggungan karena hal itulah muncul lembaga jaminan kebendaan baru berwujud
hak tanggungan. Kemudian lahirlah UU Fidusia yang mengatur tentang benda
bergerak. Semua ini peruntukkan sebagai bingkai kegiatan bisnis. UU Fidusia dan
UU Hak tanggungan kenyataannya memperkaya lembaga jaminan kebendaan di
Indonesia.

7.9 Hak Tanggungan


Unifikasi UUPA juga termanifestasi pada UU Hak Tanggungan, sehingga
tidak ada lagi dualisme lembaga jaminan untuk benda berupa tanah. Lahirnya UU
Hak Tanggungan dengan secara tegas ditentukan macam hak atas tanah yang mana
sekiranya dapat dijadikan objek jaminan. Keberadaan ciri unggul hak kebendaan
yang tertera dalam UU Hak Tanggungan, misalnya dapat digeledah dalam pasal 1
angka 1 UU Hak Tanggungan yang di dalamnya terselip pernyataan bahwa hak
tanggungan itu mengandung ciri preferensi. Demikian pula kalau berlanjut
menelusuri pasal 7 U Hak Tanggungan yang mencerminkan adanya sifat droit de
suite. Ciri hak kebendaan lain yaitu asas spesialitas tercermin juga dalam pasal 11
ayat 1 huruf e UU Hak Tanggungan, juga pentignya asas publisitas dalam hak
kebendaan, tertuang dalam pasal 13 UU Hak Tanggungan.

7.10 Fidusia
Pengertian fidusia dinyatakan dalam Undang-Undang No 42 Tahun 1999
TentangJaminan Fidusia Pasal 1 angka 1, bahwa :fidusia adalah pengalihan hak
kepemilikan suatu benda atas dasarkepercayaan dengan ketentuan bahwa benda
yang hak kepemilikannyadialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Sedangkan pengertian jaminan fidusia terdapat dalam Pasal 1 angka 2 UUJF
yangmenyatakan, bahwa : jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak
baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
yang tetap berada dalam penguasaan pemberifidusia, sebagai agunan bagi
pelunasan utang tertentu, yang memberikankedudukan yang diutamakan kepada
penerima fidusia terhadap kreditorlainnya.
Kelahiran UU Fidusia disambut oleh dunia bisnis, khususnya yang
berkaitan dengan masalah pentingnya pembiayaan benda-benda modal yang
diperlukan oleh masyarakat. Penerbitan UU Fidusia oleh pemerintah sebagai salah
satu kebijakan regulasi, ternyata plasma-plasma kekuatan ekonomi yang ada dalam
masyarakat baik yang kecil, menengah ataupun besar dengan serempak bergerak
menyemarakkan dunia bisnis.

7.11 Benturan antara Jenis Piutang Istimewah Saat Ini


Sesuai derasnya regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah maka semakin
banyak memunculkan jenis privilege, akibatnya banyak Undang-Undang
berbenturan. Carut marut hal tersebut diperparah lagi dengan privilege bertabrakan
dengan piutang istimewa seperti gadai, hipotek, hak tanggungan ataupun fidusia.
BAB 8
PERAN HUKUM JAMINAN DALAM BISNIS PERBANKAN

8.1 Pendahuluan
Institusi perbnkan memegang peranan sentral dalam tatanan ekonomi setiap
Negra. Mana kala kehidupan bank di suatu negara sehat, maka perekonomiannya
pun akan kokoh. Lagi pula eksistensi Bank sebagai lembaga intermendiary, sudah
mengakar dalam kehidupan masyarakat dewasa sekarang, hampir seluruh aspek
kegiatan sehari-hari, tak lagi dapat di pisahkan dari peran Bank yang memberikan
pelayan yang sangat aman dan nyaman. Produk-produk yang ditawarkan , dikemas
dalam paket yang memancing selera masyarakat untuk memanfaatkannya, karena
berdasarkan perhitungan sangat layak untuk di pergunakan sebagai kelengkapan
hidup yang kian memerlukan efisensi, oleh sebab itu lembaga perbankan tak lagi
dapat di pisahkan dari Dunia bisnis yang kian hari tambah semarak, baik yang
berskala kecil, menengah, atau besar juga pada tingkatan lokal maupun
internasional. Dihadapan aktifitas bisnis pada taraf lintas batas yang kian inten,
tentunya berakibat pada makin sentralnya peran lembaga perbankan. Tengerai
seperti ini pernah di kemukakan oleh Jonathan P. Macey dan Geoffrey P Miller
dalam karyanya dengan pernyataan “ The world of banking-comercial banks,
saving and loans, savings banks, and credit unions is a world in upheavel”.
Salah satu usaha bank yang sangat sentral adalah menyalurkan dana
pinjaman yang diperlukan oleh masyarakat untuk memenuhi baik kebutuhan
konsumtif ataupun produktif. Pemberian kredit seperti itu oleh bank tentunya perlu
benteng pengamanan guna mengantisipasi mana kala di kemudian hari pinjaman
yang diberikan itu bermasalah, misalnya sampai mengalami kemacetan. Untuk
menangkal resiko tersebut sedini mungkin hukum jaminan sudah menyediakan
sarananya yakni berupa lembaga jaminan kebendaan, seperti Gadai dan Hipotik
yang tersedia dalam Buregerlijk Wetbock (BW), juga sudah sedasar dengan
berkembangnya di Indonesia, dapat menggunakan lembaga Jaminan Hak
Tanggungan ataupun Fidusia sesuai obyeknya. Dengan meminta benda tertentu
milik debitor untuk diikat secara Khusus demi menjamin sejumlah hutangnya, perlu
dibuat perjanjian jaminan oleh pihak bank setelah ada persetujuan untuk
memberikan dana pinjaman. “Security, peformance of an obligation, in out case
payment.”
Bank sebagai salah satu paraga didunia bisnis, kegiatan-kegiatannya selaku
lembaga intermendiary, yakni waktu berusaha menghimpun dana atau menyalurkan
kembali kepada masyarakat yang membutuhkan, pasti akan dirakit dengan kontrak
atau perjanjian. Media kontrak ini banyak manfaatnya, antara lain hak dan
kewajiban para pihaknya dapat di perinci dengan jelas, juga posisi masing-masing
kontraktan menjadi lebih pasti. “ The nature of the bank’s relationship with its
customers is important as it determines their respective legal rights and obligations
of duties.” Untuk membentengi dana pinjaman yang dirakit melalui Perjanjian
Kredit, perlu juga dibuat Perjanjian Kebendaan sebagai Pendukungnya, agar posisi
bank selaku kreditor akan lebih baik dan aman. Hal ini penting mengingat
Perjanjian Kredit sebagai wadah kesepakatan pinjaman dana, hanya tergolong
Perjanjian Obligatoir yang menelurkan Hak Pribadi dengan andalan jaminan umum
dalam Pasal 113 BW, sehingga posisi bank sebatas pada Kreditor Konkuren, jelas
ini tidak sejalan dengan prudential banking yang wajib ditegakkan oleh bank
sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.

8.2 Nuansa Efisiensi dalam Hukum Jaminan


Dana yang berhasil dihimpun oleh bank dari kantong masyarakat, untuk
kemudian di salurkan sebagai pinjaman kepada pihak yang membutuhkan, akan
dirakit dalam suatu Perjanjian Kredit. Sesuai dengan penggolongannya, perjanjian
kredit itu termasuk sebagai perjanjian obligatoir yang melahirkan hak pribadi,
konkritnya berupa Hak tagih. Dari perjanjian kredit sebagai perjanjian obligatoir,
pada dasarnya sudah tersedia jaminan umum seperti yang diatur dalam Pasal 1131
BW. Namun apabila hanya mengandalkan jaminan umum semata, bank hanya akan
berkedudukan sebagai kreditor konkuren, dimana resikonya masih tinggi. Hal ini
terjadi apabila dikemudian hari terjadi ternyata pihak Debitor Wanprestasi, maka
bank untuk memperoleh kembali utang piutangnya, memerlukan proses gugat
ginugat di Pengadilan yang tentu saja akan memerlukan banyak waktu. Andai saja
dalam proses gugat ginugat tersebut bank dimenangkan, maka eksekusi harta
debitor berdasar pada Pasal 1131 BW, hasilnya akan di perebutkan oleh para
kreditor konkuren yang sangat potensial hasilnya tidak dapat menutup seluruh
hutang debitor, termasuk kepada bank dikarenakan harus dibagi secara proposional
sesuai Pasal 1132 BW.
Jelas dengan hanya mengandalkan jaminan umum dalam Pasal 1131 BW
unutk kemudian hanya berposisi sebagai kreditor konkuren, bagi pihak bank dari
sisi manapun akan sangat merugikan. Upaya untuk menghindari hal tersebut, dan
sesuai dengan prinsip kehati-hatian yang diamanatkan oleh undang-undang
pebankan, maka jalan yang wajib di tempuh adalah dengan cara pihak bank
meminta benda tertentu milik debitor untuk diikat secara khusus demi menjamin
sejumlah dana yang disalurkannya. Benda tertentu yang disodorkan oleh debitor,
setelah dilakukan analisis dengan seksama, lalu diikat dengan perjanjian jaminan
kebendaan. Melalui perakitan kedalam perjanjian kebendaan tersebut.

8.3 Disharmonis Aturan Hukum Jaminan di Indonesia


Dalam bisnis, termasuk usaha perbankan, selalu berupaya untuk mengejar
keuntungan seoptimal mungkin dengan biaya atau pengeluaran (Cost) yang sekecil-
kecilnya. Ini berarti efisiensi harus ditegakkan, untuk menghinadri ekonomi biaya
tinggi. Pada hal bisnis selalu memerlukan bingkai Hukum, maka sebagai wadahnya
hukum juga harus menselaraskan diri dengan tuntutan penegakkan
efisiensi.Hadirnya ketentuan hukum yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi,
pasti tidak diinginkan oleh para pebisnis. Berdasar argumen itulah maka ketentuan
Hukum sebagai penyangga kegiatan bisnis, tak pelak juga usaha di seputar bank,
nuansanya harus kental dengan corak efisiensi. Ini penting mengingat setiap
langkah bisnis, selalu menggunakan koridor hukum sebagai medannya. Demikian
penegasan menyangkut sentralnya kedudukan lembaga bank yang dinyatakan oleh
Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya.
Aktifitas bank, baik dalam usaha menghimpun dana ataupun saat
menyalurkannya kembali kepada masyarakat yang membutuhkan, jelas ini kegiatan
bisnis, tentu memerlukan bingkai hukum, yakni hukumperjanjian atau Hukum
Kontrak. Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan-ketentuan menyangkut kontrak
ada dalam buku III BW yang mengatur tentang Hukum Perikatan. Berdasar
ketentuan Pertamanya Hukum Perikatan, Pasal 1233 BW, ditegaskan bahwa pada
dasarnya perikatan itu dapat bersumber dari perjanjian juga dari Undang-undang.
Setiap perjanjian yang melahirkan perikatan adalah tergolong sebagai Perjanjian
Obligatoir yang membawa akibat masing-masing pihak di pundaknya akan terpikul
suatu kewajiban, sehingga hubungan hukum tersebut akan tunduk pada rezim buku
III BW yang pada ujungnya akan melahirkan hak Pribadi, ciri Hak Pribadi itu
memang tidak begitu handal, antara lain misalnya, tidak bersifat mutlak, tidak
memiliki droit de suite, tak mengenal asas prioritas, ataupun tidak dilekati
preferensi.
Perjanjian Kredit yang dibuat antara nasabah dengan bank, tergolong
sebagai Perjanjian Obligatoir yang tunduk pada Buku III BW, sehingga hak tagih
yang dipunyai oleh pihak bank tergolong sebagai hak pribadi. Sesuai Hakekatnya
semua perikatan, tak terkecuali yang lahir dari Perjanjian Kredit, sudah ada
jaminannya sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 BW. Hanya saja jaminan tersebut
merupakan jaminan umum, sehingga pemberi pinjaman hanya berposisi sebagai
Kreditor Konkuren. Kedudukan ini untuk duania bisnis tidak nyaman, karena
semisal debitor ingkar janji atau wanprestasi, dalam hal ini tidak mengembalikan
utangnya, maka untuk memperoleh kembali piutang yang dulu di salurkan,
memerlukan proses gugat ginugat di pengaadilan yang tentu saja akan banyak
mengeluarkan pengorbanan, baik dari segi waktu, biaya, ataupun tenaga. Lagi pula
sampai pada proses penjualan lelang atas harta Debitor, hasilnya akan diperebutkan
kreditor mengingat mereka hanya berkedudukan sebagai Kreditor Konkuren.
Kontek ini dapat memunculkan resiko pengembalian piutang yang tidak utuh
seperti yang di harapkan karena hasil lelang harta debitor harus dibaagi sesuai Pasal
1132 BW. Hak tagih Bank yang muncul dari Perjanjian Kredit, dan ini hanya
tergolong sebagai hak pribadi, keamanan pengembaliannya.
BAB 9
PENUTUP

Kegiatan bisnis apapu akan selalu memerlukan bingkai hukum, sehingga


bagi para pelaku pasar akan mendapatkan kerangka kepastin hukum dan keadilan
bagi usaha yang dikelolanya. Pada dasarnya bingkai tersebut adalah kontrak atau
perjanjian. Lewat perakitan Klausula-klausula perjanjian, para pihak dapat saling
menawarkan kehendaknya untuk kemudian berujung pada kesepakatan bersama.
Bisnis dalam dunia perbankan yang fokusnya pada kegiatan penyaluran dana
pinjaman, maka antara bank selaku kreditor dengan nasabah sebagai debitor, akan
terhubung satu dengan lainnya dalam ujud Perjanjian Kredit.
Dengan adanya Perjanjian Kredit sebagai perjanjian tak bernama, sesuai
Pasal 1233 BW akan lahir perikatan antara para pihak, sehingga di pundak masing-
masing kontraktan akan terpikul suatu kewajiban yang akan terpenuhi. Kewajiban
sebagai ujud prestasi, mengingat kelahirannya terdapat dalam rung lingkup Buku
III BW, jenis hak yang lahir dalam perjanjian kredit tersebut, tergolong sebagai hak
pribadi. Pihak bank selaku Kreditor yang memiliki hak tagih atas piutang yang
terkwalifikasi dalam hak pribadi, kalau hanya dijamin oleh Pasal 1311 BW, posisi
hukumnya hanya sekedar sebagai Kreditor Konkuren. Jelas sebagai Kreditor.
Kreditor pemegang piutang istimewa yang mana. Untuk mengatasi keadaan yang
tidak menentu sepeti ini, harapan hanya dapat digantungkan pada dibentuknya
Hukum Yurisprudensi dari tanah peradilan yang entah kapan yang dapat dijadikan
andalan pemecah problematika berbagai tabrakan antar piutang istimewa yang ada.
Aturan Hukum Jaminan pada dasarnya memberikan kedudukan yang lebih
baik kepada kreditor, selain itu, aturan yang terkandung didalamnya juga sarat
dengan nuansa efisiensi yang didambakan pasar. Sepanjang aturan hukum yang
bersangkutan dipatuhi sesuai mekanismenya, bisnis perbankan dapat berjalan
sesuai yang diharapkan. Banyak keunggulan, kemudahan ataupun efisiensi yang
dapat di peroleh dengan mendaya gunakan aturan Hukum Jaminan.

Anda mungkin juga menyukai