Anda di halaman 1dari 10

Gambaran Peran Apoteker sebagai Konselor dalam Pengobatan ....

(Rini Sasanti Handayani, et al)

Gambaran Peran Apoteker sebagai Konselor dalam Pengobatan


HIV-AIDS pada Ibu dan Anak
The Role of Pharmacist as a Counselor of HIV-AIDS Treatment on Mother and Child

Rini Sasanti Handayani1*, Yuyun Yuniar1, Andi Leny Susyanty1, Heny Lestary2, dan Sugiharti2
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta, Indonesia
2
Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta, Indonesia
*Korespondensi penulis: rini11_sasanti@yahoo.com

Submitted: 24-08-2018; Revised: 07-11-2018; Accepted: 16-11-2018

DOI: https://doi.org/10.22435/mpk.v28i4.329

Abstrak
Kementerian Kesehatan memperkirakan terdapat 9.000 ibu hamil HIV positif yang melahirkan di Indonesia
setiap tahun. Ibu hamil dengan HIV positif harus mendapatkan pengobatan anti retroviral dengan minimal
tingkat kepatuhan penggunaan obat Anti Retroviral sebesar 90 - 95% untuk mendapatkan respon
penekanan jumlah virus sebesar 85%. Perubahan fisiologi selama kehamilan dan menyusui dapat
berpengaruh terhadap kinetika obat pada ibu hamil dan menyusui. Pada anak, ketidakpatuhan dapat
disebabkan karena jenuh, sediaan obat untuk anak yang terbatas, efek samping, dan penyakit lain yang
menyertai. Pada artikel ini dianalisis sejauh mana apoteker berperan sebagai konselor pengobatan HIV-
AIDS pada ibu dan anak. Data diambil dari dua penelitian kualitatif yaitu penelitian Studi Implementasi
Layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) pada Rumah Sakit Rujukan HIV-AIDS di
Provinsi Jawa Barat Tahun 2014 dan Penelitian Akses Pengobatan HIV/AIDS dan Infeksi Oportunistik
pada Anak di Sepuluh Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2015. Pengumpulan data dilakukan dengan
wawancara mendalam dengan apoteker dan dokter yang menangani ibu hamil dan anak dengan HIV-
AIDS. Analisis data dengan tri angulasi dan analisis konten. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa apoteker
belum dilibatkan sebagai konselor obat dan dukungan dari pihak manajemen RS belum ada, sehingga
apoteker belum dapat berperan sebagai konselor sebagai salah satu bentuk pelayanan kefarmasian
sesuai standar yang telah ditetapkan pemerintah. Oleh karena itu peran apoteker sebagai konselor perlu
ditingkatkan karena keberhasilan pengobatan sangat tergantung keberhasilan kolaborasi dokter, perawat,
dan apoteker. Agar apoteker dapat lebih berperan maka perlu mendapatkan pelatihan tentang pengobatan
HIV-AIDS. Selain itu pemerintah perlu melakukan advokasi kepada manajemen RS untuk memfasilitasi
apoteker melakukan konseling sebagai bentuk konselor.
Kata kunci: HIV-AIDS; ibu; anak; apoteker; konselor obat

Abstract
Ministry of Health estimates there are 9,000 pregnant women HIV positive who give birth every year
in Indonesia. HIV-positive pregnant women must get Anti Retroviral treatment with a minimum level
adherence to the use of anti-retroviral drugs of 90 - 95% drug to get a response to suppresing the virus by
85% . Physiological changes during pregnancy and breastfeeding can affects the drug kinetics in pregnant
and lactating women. In children, non-compliance can be caused by saturation, limited drug preparation
for children, side effects and other diseases that accompany it. In this article, we will analyze the extent to
which pharmacists act as counselors for HIV-AIDS treatment for mothers and children. Data were taken
from 2 qualitative studies, namely Implementation Study of Prevention of mother-to-child transmission
(PMTCT) Program at HIV-AIDS Referral Hospital in West Java Province in 2014 and Study on Access of
HIV-AIDS and Opportunistic Infection Treatment for Children in Ten Districts of Indonesia in 2015. Data
collection was carried out by in-depth interviews with pharmacists and doctors who handled pregnant
women and children with HIV-AIDS. Data were analyzed using triangulation and content analysis method.
The results showed that pharmacists had not been involved as drug counselors and support from the

229
Media Litbangkes, Vol. 28 No. 4, Desember 2018, 229 – 238

management of the hospitals did not yet exist, so the pharmacist could not yet as a counselor as a form of
pharmaceutical services according to standards set by the government Therefore, the role of pharmacist
as counselor needs to be improved, because the success of the treatment is highly dependent on the
successful collaboration of doctors, nurses, and pharmacists. In order for the pharmacists play a role, it
is necessary to get training on HIV-AIDS treatment. In addition, the government needs to advocate for
hospital management to facilitate the pharmacist’s counseling as form of counselor.
Keywords: HIV-AIDS; mother; children; pharmacist; drug counselor

PENDAHULUAN mual, pigmentasi. Akibatnya mereka tidak patuh


Perkembangan epidemi Human menjalani Anti Retroviral Theraphy (ART).
Immunodeficiency Virus (HIV)-Acquired Immune Meskipun demikian, efek samping obat tidak
Deficiency Syndrome (AIDS) di dunia telah boleh menjadi penghambat dimulainya ART. Tidak
menyebabkan HIV-AIDS menjadi masalah global. semua pasien akan mengalami efek samping dan
Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu efek samping yang timbul umumnya bisa diatasi
masalah kesehatan utama dan salah satu penyakit dengan baik. Hal ini jauh lebih menguntungkan
menular yang dapat mempengaruhi kematian bila dibandingkan dengan risiko kematian yang
ibu dan anak.1 Menurut estimasi Kementerian pasti akan terjadi bila pasien tidak mendapatkan
Kesehatan, setiap tahun terdapat 9.000 ibu ART.5 Dengan demikian, perlu pemahaman yang
hamil HIV positif yang melahirkan di Indonesia. baik mengenai obat apa saja yang relatif tidak
Berarti, jika tidak ada intervensi sekitar 3.000 bayi aman hingga harus dihindari selama kehamilan
diperkirakan akan lahir dengan HIV positif setiap ataupun menyusui agar tidak merugikan ibu dan
tahunnya di Indonesia.2 Penularan virus HIV dapat janin yang dikandung ataupun bayinya.6
ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada Ketidakpatuhan ART pada anak dapat
anaknya selama kehamilan, saat persalinan dan saat disebabkan karena sediaan obat untuk anak yang
menyusui. Penularan HIV dari ibu yang terinfeksi terbatas sehingga dokter sulit memberikan sediaan
HIV ke bayinya juga cenderung meningkat seiring dan dosis yang tepat, efek samping, rasa jenuh,
dengan meningkatnya jumlah perempuan positif adanya stigma dan diskriminasi, serta hubungan
HIV yang tertular baik dari pasangan maupun yang tidak baik antara tenaga kesehatan dengan
akibat perilaku yang berisiko.2 keluarga, penyakit lain yang menyebabkan
Untuk memutus rantai penularan HIV pengobatan anak bertambah, dan perubahan
dari ibu ke anak, pada tahun 2013 pemerintah pengasuh (misalnya, pengasuh utama sakit).
memberlakukan program Pencegahan Penularan Ketidakpatuhan ini dapat menimbulkan resistensi
HIV dari Ibu ke Anak (PPIA), tetapi hasilnya sehingga pengobatan menjadi lebih sulit dan
belum optimal. Berdasarkan estimasi baru 45% membutuhkan biaya yang lebih besar.7
ibu hamil yang terinfeksi HIV telah menerima obat Di Amerika Serikat, perawatan HIV
Anti Retroviral (ARV) untuk mencegah transmisi dilakukan secara tim dari berbagai profesional
HIV ke anaknya, meningkat dari 35% pada tahun diantaranya melibatkan apoteker.8 Di Indonesia,
2007 dan 10% pada tahun 2004.3 Pemberian ARV Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan
kepada ibu selama hamil dan dilanjutkan selama pedoman pelayanan kefarmasian dimana apoteker
menyusui adalah intervensi yang efektif untuk bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan
kesehatan ibu dan juga mampu mengurangi risiko dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai
penularan HIV dan kematian bayi.1 hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
Pada ibu hamil terjadi perubahan fisiologi kehidupan pasien. Pelayanan farmasi berperan
tubuh terhadap kinetika/farmakokinetika obat, penting dalam mendukung pasien melakukan
yakni dalam hal absorpsi, distribusi, metabolisme pengobatan. Bentuk pelayanan farmasi dapat
dan ekskresinya. Pada ibu hamil dan menyusui berupa Pelayanan Informasi Obat (PIO), konseling,
perubahan fisiologi kemungkinan juga berdampak dan visite.9 Kibicho dan Owczarzak10 menyatakan
terhadap perubahan respon ibu hamil terhadap bahwa apoteker memerlukan waktu sekitar 10
makanan dan obat yang dikonsumsi, aroma menit untuk menjawab pertanyaan pasien ketika
tertentu dapat menyebabkan ibu merasa tidak menyerahkan obat. Sementara, konsultasi secara
nyaman, akibatnya dapat menyebabkan kesulitan pribadi dengan pasien baru yang memulai terapi
makan atau mengkonsumsi obat.4 Ibu hamil berlangsung selama 45 menit.
dengan HIV-AIDS yang harus mengkonsumsi ART merupakan terapi jangka panjang
ARV seringkali mengalami efek samping seperti dan diperlukan tingkat kepatuhan yang tinggi

230
Gambaran Peran Apoteker sebagai Konselor dalam Pengobatan .... (Rini Sasanti Handayani, et al)

untuk mendapatkan keberhasilan terapi. pelayanan ARV, dan pemberian informasi obat.
Ketidakpatuhan terhadap ART akan menimbulkan Pengumpulan data dilakukan dengan
resistensi. Untuk mendapatkan respon penekanan wawancara mendalam dan data yang diperoleh
jumlah virus sebesar 85% diperlukan kepatuhan dianalisis dengan triangulasi dan analisis konten.
penggunaan obat 90-95%. Selain itu beberapa obat Penelitian ini sudah mendapatkan persetujuan etik
anti retroviral mempunyai efek samping dimana dari Komisi Etik No LB.02.01/5.2/KE.097/2014
pada beberapa penderita dapat memberikan gejala dan No LB.02.01/5.2/KE.071/2014.
yang berarti. Pada penderita infeksi HIV yang
telah memasuki stadium AIDS biasanya disertai HASIL
dengan timbulnya infeksi penyerta (infeksi Ketersediaan Tenaga
oportunistik). Beberapa obat-obatan untuk terapi Hasil wawancara tentang kesiapan
infeksi oportunistik menimbulkan interaksi dengan apoteker dalam melakukan pelayanan kefarmasian
obat ARV. Selain itu biaya pengobatan ARV cukup kepada ibu dan anak menunjukkan bahwa sebagian
tinggi, terutama jika pasien mengalami kegagalan RS yang disurvei belum memiliki jumlah apoteker
virologik pada lini pertama, diperlukan terapi lini yang cukup memadai, seperti pernyataan beberapa
kedua yang harganya jauh lebih mahal.11 apoteker dibawah ini:
Keberhasilan pengobatan HIV-AIDS “Tenaga farmasi yang ditugaskan di
sangat tergantung kerja sama pasien dengan klinik VCT hanya 1 orang, dengan jam kerja di
tim tenaga kesehatan yaitu dokter, perawat klinik VCT Senin-Sabtu jam 7.30 sampai 8.30,
dan apoteker. Pada artikel ini akan dianalisis selanjutnya ditugaskan di IFRS, karena tenaga
sejauh mana apoteker berperan sebagai konselor farmasi masih kurang.” (apoteker)
pengobatan HIV-AIDS pada ibu dan anak. Kendala “ ..., kalo pelayanan farmasi di klinik
apa yang dialami apoteker untuk melaksanakan VCT sementara masih terbatas pada drug
PIO, konseling, dan visite dalam menjalankan oriented untuk kesehariaannya. Untuk petugas
tugasnya sebagai konselor untuk meningkatkan farmasi sudah dialokasikan waktu khusus untuk
kepatuhan. melakukan pelayanan farmasi di klinik dari 7.30
sampai 9.30 dari Senin sampai Sabtu, karena
METODE keterbatasan tenaga, sehingga tidak bisa fulltime
Artikel ini merupakan bagian dari di klinik VCT.” (apoteker)
penelitian berkelanjutan selama dua tahun. Tahun Selain itu, ada juga dokter yang
pertama dengan judul “Studi Implementasi menyatakan bahwa tenaga farmasi masih kurang,
Layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke seperti pernyataan di bawah ini:
Anak (PPIA) pada Rumah Sakit Rujukan HIV- “Tidak ada farmasis atau asisten farmasis
AIDS di Provinsi Jawa Barat” dilakukan pada tahun sehingga pengelolaan obat untuk anak yang HIV
2014 di 4 rumah sakit (RS). Kemudian dilanjutkan dilkukan secara umum sehingga ketepatan dosis
pada tahun kedua dengan judul penelitian “Akses atau perbandingan obat yang diberikan ke pasien
Pengobatan HIV/AIDS dan Infeksi Oportunistik belum terjamin” (dokter)
pada Anak di Sepuluh Kabupaten/Kota di “.... harus disediakan tenaga farmasi atau
Indonesia”, yang dilakukan pada tahun 2105 di asisten farmasi untuk anak” (dokter)
sepuluh RS. “SDM ... yang kurang farmasi dan
Desain penelitian dilakukan secara potong admin” (dokter)
lintang dan jenis penelitian adalah penelitian
kualitatif. Informan yang dilibatkan dalam Pelatihan Pelayanan Pengobatan pada Pasien
penelitian ini adalah apoteker di pelayanan farmasi HIV-AIDS
RS, dokter yang menangani ibu hamil dengan HIV- Apoteker di RS baru sebagian yang
AIDS dan dokter yang menangani anak dengan diberi kesempatan untuk mendapatkan pelatihan
HIV-AIDS. Jumlah informasi yang terkumpul pengobatan pada ibu dan anak dengan HIV-AIDS.
adalah 14 dari informan apoteker di pelayanan Hal ini dapat dilihat dari beberapa pernyataan
farmasi RS, 4 informan dokter yang menangani dibawah ini.
ibu hamil dengan HIV-AIDS, dan 10 informan “Pelatihan kefarmasian sudah, namun
dokter yang menangani anak. Struktur pertanyaan kalo pelatihan terkait PPIA/HIV/AIDS belum.
meliputi ketersediaan tenaga, pelatihan pelayanan Pedoman berdasarkan IOMS (Inventory and
pengobatan pada pasien HIV-AIDS, peran tenaga Order Management System) saja, karena bagian
kesehatan/ apoteker dalam pelayanan HIV-AIDS, farmasi belum pernah diikutkan pelatihan PPIA

231
Media Litbangkes, Vol. 28 No. 4, Desember 2018, 229 – 238

....” (apoteker) dilakukan di salah satu RS yang disurvei.


“Ada 5 orang apoteker, dua orang yang “ ... ada lembar kartu follow up pasien,
sudah TOT” (apoteker) ada histori pasien dari asal pengobatan. Evaluasi
“Baru saya yang mendapatkan pelatihan kenaikan CD4, berat badan, dan obat lainnya
HIV” (apoteker) yang diminum, konseling pola hidup, gizi, cara
mengatasi efek samping.” (apoteker)
Peran Apoteker dalam Pelayanan HIV-AIDS “Konseling pra ARV, konseling harian
Peran apoteker seharusnya tidak hanya untuk ranap, konseling bila ganti regimen.”
pada pengelolaan obat ARV, tetapi juga terlibat (apoteker)
dalam pemberian informasi obat ARV, konseling,
dan monitoring penggunaan ARV. Tetapi pada Pelayanan ARV
kenyataannya kegiatan apoteker masih lebih ke Peran apoteker dalam pelayanan ARV
arah manajemen, mereka menyatakan bahwa peran seharusnya meliputi seluruh pelayanan kefarmasian
apoteker belum optimal di pelayanan pengobatan dan terintegrasi dalam pelayanan Voluntary
HIV-AIDS, seperti pernyataan berikut ini: Counselling and Testing (VCT) terutama terkait
“Kita sudah mengajukan kepada program PPIA, akan tetapi pelayanan kefarmasian
direkturnya minimal farmasi melakukan konseling oleh apoteker yang terintegrasi di klinik VCT
untuk adherennya, tapi belum disetujui. Kita masih kurang, beberapa apoteker menyatakan
menghendaki apoteker melakukan konseling pelayanan masih terbatas penyerahan obat saja, ada
adherennya. Selama ini yang melakukan konseling yang terkendala terbatasnya sarana dan prasarana,
ya dokter atau perawatnya.” (apoteker) seperti beberapa pernyataan apoteker berikut ini:
“Sudah ada SK Direktur dan sudah “SOP kefarmasian khusus untuk program
terbentuk tim, farmasi sudah terlibat dalam tim, PPIA dan VCT belum ada. Farmasi di klinik
namun rutinitas rapat tim belum terlalu sering, VCT masih terbatas menyiapkan ARV atau
rapat tim belum sering dan koordinasi antar obat IO (infeksi oportunistik) saja. Karena ada
tim kurang koordinasi masih mis di sana-sini.” keterbatasan tenaga, walaupun dituntut untuk
(apoteker) melakukan pharmaceutical care, namun sarana
“Tenaga farmasi belum dilibatkan sebagai prasarana masih baru sekedar menyiapkan.”
drug counselor, masih terbatas drug supplier ...” (apoteker)
(apoteker) “Harus lebih terpadu ya, maksud saya
“... Tenaga farmasi sudah cukup, hanya yang aware jangan satu pihak, harus semua baik
perannya saja yang perlu ditingkatkan ... Peran itu petugas medis maupun non medis ...” (apoteker)
farmasi di klinik VCT masih kurang .... Harusnya “Permintaan obat ke program,
ada tenaga farmasi khusus yang standby di klinik menyerahkan dan memberikan obat ke pasien”
VCT ....” (apoteker) (apoteker)
“ ... kepatuhan minum obat banyak di “Sementara masih pelayanan saja”
suport dari dokter dan perawat, manajer kasus” (apoteker)
(dokter) “ .... ada apoteker di VCT, walaupun
“ .... apoteker melakukan pemberian obat sebenarnya basednya di instalasi farmasi,
ke depo. Penyerahan obat dilakukan apoteker .... tugasnya melakukan permintaan kebutuhan obat
tapi konseling belum jalan” (apoteker) ARV seminggu sekali ke gudang instalasi farmasi”
Oleh karena itu apoteker di RS seharusnya (dokter)
diberi kewenangan sebagai drug counselor atau “Konseling pra ARV, konseling harian
adherence counselor bukan hanya sebagai drug untuk ranap, konseling bila ganti rejimen”
supplier. (apoteker)
“Perlu dipantau efek toksik ARV, karena “Ada ruang konseling di rawat jalan,
sudah banyak yang mengkonsumsi sejak lama untuk pasien rawat inap langsung di bed side”
atau tahunan, di RS ini ada yang sudah 13 tahun.” (apoteker)
(dokter) “Evaluasi penggunaan obat, tidak pernah
Pemantauan efek toksik ARV ini dilakukan, kewenangan dokter” (apoteker)
sebenarnya juga merupakan tanggung jawab Sebagian apoteker sudah memberikan
apoteker, di sini apoteker dapat lebih berperan. konseling, tetapi sebagian masih terbatas pada
Konseling oleh apoteker diperlukan untuk penyerahan obat. Evaluasi penggunaan obat tidak
mengatasi efek toksik tersebut. Hal ini sudah pernah dilakukan, bahkan ada apoteker yang

232
Gambaran Peran Apoteker sebagai Konselor dalam Pengobatan .... (Rini Sasanti Handayani, et al)

beranggapan itu kewenangan dokter. konseling tersedia dalam Sistem Informasi HIV-
AIDS (SIHA).
Pemberian Informasi Obat Apoteker dalam melakukan pelayanan
Sebagian apoteker sudah melakukan PIO kefarmasian memerlukan sarana dan prasarana.
dan Konseling. PIO sudah dilakukan di semua RS, Dari hasil wawancara mendalam dengan apoteker
hanya kelengkapan PIO yang berbeda antar RS. dan dokter yang melayani pasien HIV pada Studi
Sebagian besar PIO yang diberikan belum cukup Implementasi Layanan PPIA pada Rumah Sakit
memadai atau seadanya, sebagian besar hanya Rujukan HIV-AIDS di Provinsi Jawa Barat tahun
berupa cara dan aturan pakai. Padahal menurut 2014 dapat disimpulkan bahwa sarana prasarana
salah satu apoteker mengatakan bahwa banyak belum memadai, perlu dibenahi misalnya
orang tua/wali kurang paham bagaimana cara membuat ruang VCT sesuai standar konseling.
memberikan obat ke anak kalau bentuk sediaan Hasil wawancara mendalam dengan
obatnya berupa puyer. Selain itu pemberian PIO apoteker dan dokter yang melakukan pelayanan
terkendala keterbatasan tenaga, masih ada RS yang ART pada penelitian “Akses Pengobatan HIV-
pelayanan kefarmasian untuk ART dilakukan oleh AIDS dan Infeksi Oportunistik pada Anak di
asisten apoteker disamping keterbatasan fasilitas Sepuluh Kabupaten/Kota di Indonesia tahun 2105”
ruangan. menunjukkan hanya 3 dari 10 RS yang disurvei
Adapun jenis informasi PIO yang yang sudah menyediakan ruang konseling.
dilakukan RS dapat dilihat pada Tabel 1. Sebagian besar RS belum menyediakan ruang
untuk kegiatan konseling, kalaupun ada bukan
merupakan ruang tersendiri, melainkan disatukan
Tabel 1. Pelayanan Informasi Obat yang dengan ruang lain seperti ruang peracikan obat
Diberikan pada Anak dengan HIV- dan tidak terjaga kerahasiaannya. Pernyataan
AIDS sebagian apoteker dapat dibaca berikut ini.
No Jenis Informasi Jumlah RS (N*=9)
“… Kurang layak untuk konseling, perlu
1 Cara dan aturan pakai 7
dibuat lebih tertutup, sehingga lebih privacy”
2 Efek samping 3
“… Ruang konseling menyatu dengan
3 Kegunaan/manfaat obat 2
ruang racik, menyatu antara pasien dewasa dan
anak, kurang nyaman, kurang luas sehingga
4 Dosis 2
berdesak-desak”
5 Cara penyimpanan 1
“ ... ruang konseling tersedia, dilayani
6 Pola hidup 1
langsung oleh apoteker di klinik VCT..”
7 Kepatuhan minum obat 1
“ ...... tidak ada ruang konseling.
8 Jadwal ambil obat 1
PIO dilaksanakan langsung pada saat pasien
9 Informasi tentang antibiotik 1
mengambil obat”
N = 9 karena satu RS yang disurvei belum melayani
ART pada anak. PEMBAHASAN
Konseling belum banyak dilakukan dan Keberhasilan pengobatan dapat
bila dilakukan masih belum komprehensif antara dicapai dengan kerja sama yang baik antara
lain tentang efek samping/alergi, bahaya putus dokter, perawat, dan apoteker. Melalui asuhan
obat, konseling bila ganti rejimen, motivasi agar kefarmasian, apoteker dituntut tanggung jawab
obat tidak terputus, yang dilakukan pada hari yang besar dalam peningkatan kualitas hidup
tertentu atau tidak setiap hari. Hanya satu RS pasien dan untuk mencapai luaran klinik yang
yang telah melakukan konseling secara cukup positif.12 Pada kenyataannya kegiatan apoteker
komprehensif yaitu meliputi evaluasi kepatuhan, masih lebih ke arah manajemen, belum ke arah
efek samping, kenaikan CD4, berat badan, dan klinik, tetapi di masa yang akan datang harus
obat lainnya yang diminum serta keluhan seputar sudah ke arah klinik sesuai tuntutan akreditasi
pengobatan, ada lembar kartu pengobatan pasien, RS. Selain itu masih ada RS yang pelayanan
riwayat pengobatan pasien dari awal pengobatan, obat dan PIO dilakukan oleh asisten apoteker.
konseling pola hidup sehat, gizi, cara mengatasi Meskipun belum mendapat pelatihan ART.
efek samping obat, menjelaskan ke keluarga Hasil penelitian menunjukkan PIO
tentang kewaspadaan adanya penularan, cara yang diberikan oleh apoteker masih belum
mencegah penularan, cara menyiapkan obat, dan komprehensif, meskipun dalam Kelompok Kerja
memberikan atau meminumkan obat ke anak. (POKJA) HIV-AIDS di RS apoteker seharusnya
Instrumen untuk memantau kepatuhan dalam berperan dalam pengelolaan persediaan ARV dan

233
Media Litbangkes, Vol. 28 No. 4, Desember 2018, 229 – 238

obat pendukung lainnya, pemberian informasi ketidakpatuhan, bekerja sama dengan pengasuh
dan konseling obat serta pemantauan kepatuhan untuk membuka status HIV bila anak sudah
terapi.11 Hasil penelitian ini menunjukkan peran siap mengetahui statusnya, dan memperhatikan/
apoteker masih terfokus pada “drugs supplier” menangani efek samping. Selain itu apoteker
belum pada “pharmaceutical care”. PIO yang dapat membuat alat bantu seperti seperti boks
diberikan sebagian besar hanya berupa cara dan pil atau kartu tertulis atau bergambar mengenai
aturan pakai. Padahal pada Standar Pelayanan keterangan rejimen secara rinci untuk mencegah
Kefarmasian disebutkan bahwa informasi yang pasien lupa dengan jam alarm.7,11,12
harus didapatkan meliputi nama obat (termasuk Pemantauan kepatuhan terapi obat belum
obat non resep), dosis, bentuk sediaan, frekuensi dilakukan semua apoteker di RS sampel, padahal
penggunaan, indikasi dan lama penggunaan obat, monitoring ini sebenarnya sangat diperlukan dan
reaksi obat yang tidak dikehendaki termasuk merupakan salah satu bentuk “supporting” yang
riwayat alergi dan kepatuhan terhadap rejimen sangat penting. Pemantauan kepatuhan terapi
penggunaan obat.9 dapat dilakukan dengan menghitung jumlah
Hasil wawancara mendalam dengan obat yang tersisa pada saat pasien mengambil
apoteker menunjukkan mereka belum dapat obat kembali; melakukan wawancara kepada
melakukan PIO karena kurangnya sumber pasien atau keluarganya, berapa kali dalam
daya manusia (SDM), dan waktu tersita untuk sebulan pasien tidak minum obat; membuat kartu
melakukan manajemen obat khususnya “drugs monitoring penggunaan obat; memberi perhatian
supply”. kepada kelompok wanita hamil yang harus
Pelayanan kefarmasian berupa konseling menjalani ART karena pada umumnya tingkat
oleh apoteker kepada pasien HIV-AIDS ibu kepatuhan rendah. Hal ini disebabkan karena
dan anak juga belum banyak dilakukan, hanya adanya rasa mual dan muntah pada saat kehamilan
ada satu RS sampel yang apotekernya telah dan menjadi lebih berat karena efek samping
melakukan konseling yang cukup komprehensif obat; dan memberi perhatian kepada kelompok
sesuai Standar Pelayanan Kefarmasian di anak-anak untuk meningkatkan kepatuhan dalam
RS yang meliputi hal-hal berikut: menjalin ART.
komunikasi dengan pasien atau orangtua/wali Usaha untuk meningkatkan kepatuhan
pasien, mengidentifikasi tingkat pemahaman khususnya pada anak dengan HIV-AIDS
pasien tentang penggunaan obat melalui ‘Three (ADHA), dapat dilakukan dengan menyediakan
Prime Questions”, menggali informasi lebih obat yang siap diminum dalam serbuk dosis
lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien terbagi untuk satu kali pemakaian, memodifikasi
untuk mengeksplorasi masalah penggunaan bentuk sediaan sehingga lebih enak diminum
obat, memberikan penjelasan kepada pasien dan memberikan edukasi kepada orang tua
untuk menyelesaikan masalah pengunaan obat untuk selalu teratur memberikan obat kepada
dan melakukan verifikasi akhir dalam rangka anaknya.11,12 Adapun konseling “adherence” ada
mengecek pemahaman pasien dan dokumentasi.9 dua aspek yaitu pertama, menumbuhkembangkan
Apoteker dapat mencari tahu alasan jadwal ARV kemampuan pasien untuk menggunakan obatnya
tidak ditepati, alasan dosis terlewat, mencari sesuai petunjuk medis dan melakukan pemantauan
tahu alasan rejimen ARV susah diminum/anak penggunaan obat oleh pasien, dengan menjaga
menolak minum. Apoteker harus bekerjasama hubungan terapeutik. Kedua, menjaga sediaan
dengan keluarga/pengasuh untuk mengatur dan obat agar tetap dapat diakses pasien dan terjaga
menyiapkan rejimen/formula ARV dan jadwal ketersediaannya.11
yang sesuai, memotivasi pengasuh dan anak agar Karakteristik pasien merupakan faktor
dapat mengatasi rasa jenuh dan depresi karena penting yang perlu diperhatikan agar konseling
harus minum obat secara rutin dan mensugesti dapat berhasil, khususnya pada pasien yang
pasien dan keluarganya untuk melakukan mempunyai riwayat kepatuhan rendah, jumlah
kebiasaan baru dalam hidupnya yaitu “meminum obat yang digunakan, jenis sediaan obat.9 Selain
obat secara teratur”, melatih menelan pil untuk memberikan PIO dan konseling, apoteker
mengurangi jumlah sirup yang diminum, seharusnya juga berperan dalam menjamin
menangani efek samping, memberikan konseling keamanan, efektifitas dan keterjangkauan
kelompok sebaya, membantu menciptakan biaya pengobatan, menghindarkan reaksi obat
lingkungan yang mendukung dan bersahabat yang tidak diinginkan, menyelesaikan masalah
sehingga pengasuh/anak merasa nyaman untuk penggunaan obat/Drug Related Problems (DRP),
menceritakan masalah yang menjadi penyebab pemantauan terapi obat secara terus-menerus

234
Gambaran Peran Apoteker sebagai Konselor dalam Pengobatan .... (Rini Sasanti Handayani, et al)

dan melakukan evaluasi penggunaan obat oleh AIDS. Pelatihan ini merupakan salah satu
pasien sesuai rencana pelayanan kefarmasian, upaya peningkatan pengetahuan, sikap, dan
dan menyampaikan hasilnya kepada tenaga keterampilan dalam rangka meningkatkan mutu
kesehatan yang terlibat dalam pengobatan pasien. dan kinerja apoteker.
Efek samping yang muncul dapat dijadikan Banyaknya paduan obat yang harus
indikator mutu pelayanan dan monitoring disediakan berkaitan dengan upaya untuk
efek samping obat harus menjadi bagian dari pemanfaatan yang maksimal dengan tingkat
program pelayanan secara terus menerus. Reaksi kepatuhan pengobatan yang tinggi dan
efek samping yang serius dan masalah terkait mengurangi risiko terjadinya resistensi, sehingga
obat juga harus dilaporkan ke Badan POM dinamika perubahan panduan ARV sering tidak
RI dengan menggunakan formulir Pelaporan bisa diperkirakan. Disinilah peran apoteker sangat
Efek Samping.13 Selain itu farmasi klinik dapat penting diantaranya dalam menyederhanakan
diintegrasikan untuk mengoptimalkan peran paduan obat dengan kombinasi-dosis-tetap
apoteker dalam pemantauan dan evaluasi insiden (FDC) untuk menjamin kepatuhan minum
keselamatan pasien melalui kegiatan pengkajian obat, menjamin ketersediaan obat ARV - FDC,
dan pemantauan terapi obat serta evaluasi formulasi ARV pediatrik, dan obat-obat IO.11
penggunaan obat.14 Di Amerika Serikat, apoteker klinis telah
Komitmen apoteker di RS sangatlah terlibat dalam pengobatan HIV-AIDS. Mereka
penting dalam layanan pengobatan HIV-AIDS mendapat pelatihan khusus tentang pengobatan
pada ibu dan anak di RS untuk mencapai layanan HIV-AIDS dan telah berperan dalam perbaikan
pengobatan yang optimal. Kementerian Kesehatan kepatuhan dan penghematan biaya.15 Dokter
telah mengeluarkan peraturan dan pedoman dan bekerja sama dengan apoteker, perawat dalam
sebagian besar sudah ditindak lanjuti dengan perawatan, dan manajemen pasien sehingga
kebijakan yang dikeluarkan oleh RS, yaitu terapi yang rumit menjadi lebih tertangani. Oleh
berupa Standar Operasional Prosedur (SOP) dan karena itu peran apoteker diperlukan untuk
Surat Keputusan (SK) direktur RS tetapi dalam memaksimalkan kepatuhan terhadap terapi.
pelaksanaannya belum sesuai dengan yang Apoteker dapat bekerja sama dengan pasien
diharapkan. Keberhasilan layanan pengobatan untuk mengoptimalkan perilaku penggunaan
ditentukan oleh sistem kepemimpinan dan obat yang diberikan karena apoteker mempunyai
tata kelola yang baik diantaranya sumber daya akses ke pasien dan mempunyai kemampuan
manusia, obat-obatan dan teknologi, pembiayaan, untuk menyelesaikan masalah terkait pengobatan
dan informasi. pasien.15 Apoteker harus mendokumentasikan
Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 kegiatan yang dilakukan dalam terapi HIV karena
tentang Pekerjaan Kefarmasian dan Peraturan hal ini sangat bermanfaat untuk bahan evaluasi.
Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan Hal ini terbukti berdampak pada efektivitas dan
Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan landasan penghematan biaya dalam pengobatan pasien
hukum apoteker untuk melakukan konseling HIV-AIDS.15
kepada pasien, tetapi hal ini belum dapat dilakukan Pada tahun 2003, American Society
secara optimal karena keterbatasan tenaga dan of Health-Sistem Pharmacy mengeluarkan
masih kurangnya dukungan manajemen RS pernyataan mendukung apoteker memainkan
seperti yang dinyatakan apoteker dari hasil peran aktif dalam perawatan pasien dengan HIV-
wawancara mendalam di rumah sakit tersebut di AIDS.15 Bahkan menurut hasil review Deas,16
atas. Oleh karena itu apoteker harus mempunyai apoteker memerlukan pelatihan tambahan karena
kemampuan berkomunikasi yang baik untuk ingin terlibat tidak hanya dalam pengobatan tapi
meyakinkan manajemen rumah sakit, dokter juga dalam peran pencegahan termasuk tes HIV.
maupun perawat tentang pelayanan kefarmasian Hasil studi yang dilakukan Horberg
yang berkualitas. Kemampuan apoteker tentang et al tentang dampak apoteker dalam sistem
17

farmasi klinik harus mumpuni sehingga dapat pelayanan kesehatan komprehensif di Amerika
menunjukkan eksistensinya. Utara (California) menyebutkan ± 47% dari 1.571
Dalam rangka meningkatkan mutu pasien yang mendapat konseling dari apoteker
dan kinerja apoteker pada layanan kefarmasian mengalami penurunan viral load lebih besar
kepada ibu dan anak dengan HIV-AIDS, dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan
apoteker perlu mendapatkan pelatihan, tetapi konseling. Penerapan asuhan kefarmasisan
dari hasil penelitian menunjukkan bahwa belum di Chicago menurunkan 38% jumlah pasien
semua apoteker mendapatkan pelatihan HIV- yang mengalami masuk rumah sakit lagi (re-

235
Media Litbangkes, Vol. 28 No. 4, Desember 2018, 229 – 238

admission) dalam satu bulan setelah keluar dari serta penjelasan mengenai aturan minum obat
RS dari pada yang belum melakukan penerapan yang tepat. (4) Mengatasi permasalahan interaksi
asuhan kefarmasian. Keterlibatan apoteker obat, komplikasi pengobatan. (5) Penyuluhan
di RS juga dapat mengurangi waktu yang kepada orang tua pasien mengenai waktu minum
dibutuhkan untuk medeteksi adanya kesalahan/ obat yang tepat. (6) Mengatasi permasalahan
ketidaktepatan pengobatan sehubungan dengan terjadinya Reaksi Obat Tidak Diinginkan
ARV dibandingkan dengan tanpa apoteker.15,17,18 (ROTD). (7) Penyuluhan dan pendidikan kepada
Apoteker klinik bisa berperan penting dalam orang tua pasien.12,22
pengelolaan pasien HIV untuk mengurangi beban Berdasarkan model sosioekologi, faktor
dan frekuensi obat, meningkatkan kepatuhan dan pendukung PMTCT dan kepatuhan pada wanita
outcome klinis.19 Keterlibatan apoteker dalam hamil di Papua adalah konseling yang baik,
penanganan pasien HIV dengan kepatuhan keyakinan pada efikasi ARV yang diperoleh dari
rendah berhasil meningkatkan kepatuhan sebesar pengalaman orang atau kelompok, dan dukungan
7% setelah intervensi konseling kepatuhan di pasangan.23 Pasien HIV mungkin tidak memiliki
farmasi klinik.20 Bahkan di tingkat layanan jaringan sosial yang dapat memberikan dukungan
primer, hasil penelitian di klinik optimalisasi obat seperti mengingatkan minum ARV. Dukungan
menunjukkan bahwa pasien HIV yang dikelola sosial kepada pasien HIV sangat membantu
oleh apoteker mengalami peningkatan signifikan bila pasien mengalami kesulitan dalam mentaati
dalam jumlah CD4+limfosit, penurunan viral rejimen terapi ARV. Apoteker dapat memberikan
load dan toksisitas terkait obat.21 dukungan langsung kepada pasien HIV yang
Melihat peran apoteker di atas maka terisolasi secara sosial, tidak mampu misalnya
diperlukan kompetensi khusus dan komitmen tidak ada keluarga atau teman dekat yang dapat
bagi apoteker yang akan berperan dalam mendukung, atau takut mengalami stigmatisasi
pelayanan kefarmasian di RS dan mempunyai atau diskriminasi bila status HIV mereka
tanggung jawab dalam memberikan pelayanan diketahui masyarakat. Apoteker mendorong
yang berkualitas. Agar dapat bekerja sama dalam pasien untuk ikut dalam kelompok sosial yang
tim, diperlukan kemampuan berkomunikasi baik terlibat dalam penanganan HIV yang secara
kepada tenaga kesehatan lain maupun pasien langsung memberikan dukungan emosional dan/
dan keluarganya.13 Hasil kajian sistematik atau informasi kepada pasien HIV.10
Parya Saberi et al,18 dari 32 publikasi dengan Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
keterbatasan metodologis disimpulkan bahwa dengan komorbiditas kesehatan mental (misalnya
keterlibatan apoteker meningkatkan kepatuhan kecemasan, dan depresi) mungkin tidak dapat
dan berdampak positif pada penekanan virus mengatasi HIV dan tuntutan ART. Beberapa
pada sebagian besar penelitian. Melalui konsep pasien mungkin menolak menggunakan
profesi kefarmasian terkini yakni asuhan ARV karena mereka tidak dapat menerima
kefarmasian, apoteker dituntut tanggung jawab kenyataan mengidap HIV. Sebagian ODHA juga
yang besar dalam peningkatan kualitas hidup mengkonsumsi narkoba sehingga mengisolasi
pasien dan untuk mencapai luaran klinik yang diri dari masyarakat umum, hanya bersosialisasi
positif. Asuhan kefarmasian merupakan proses di komunitasnya sehingga mereka tidak patuh
kolaboratif bersama dengan profesi kesehatan menjalani ART yang dapat berakibat mengurangi
lainnya dalam merancang, mengimplementasikan efektivitas ARV. Disinilah apoteker dapat berperan
serta memantau terapi obat pasien agar tercapai mendidik pasien mengenai strategi pengurangan
luaran terapi obat yang optimal. dampak buruk, menciptakan kesadaran akan efek
Peran apoteker dalam pengobatan HIV- buruk dari perilaku adiktif, dan merujuk pasien
AIDS pada ibu dan anak meliputi antara lain: ke pusat perawatan penyalahgunaan mental dan
(1) Penyedia jasa penyuluhan dan pendidikan. jiwa. Apoteker juga dapat bekerja sama dengan
Hal ini diperlukan untuk memotivasi pasien penyedia layanan kesehatan lainnya untuk
dan keluarganya khususnya dalam kepatuhan mengatasi komorbiditas yang menyertai pasien
terapi agar tercapai luaran klinis yang positif HIV.10
dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas Pasien yang baru didiagnosis seringkali
hidup pasien. (2) Mengatasi permasalahan dosis enggan untuk memulai ART karena khawatir
anak, menentukan bentuk sediaan yang sesuai timbulnya efek samping ARV yang menakutkan
bagi pasien anak. (3) Komunikasi dengan dokter seperti mimpi buruk atau mengenal orang-
penulis resep mengenai bentuk sediaan yang tepat, orang yang meninggal meski telah menjalani
regimen terapi yang tepat, penyesuaian dosis anak, ART. Apoteker dapat berperan mengatasi hal ini

236
Gambaran Peran Apoteker sebagai Konselor dalam Pengobatan .... (Rini Sasanti Handayani, et al)

dengan melakukan strategi yang proaktif seperti yaitu dokter, perawat, dan apoteker dapat
menjelaskan tentang kemungkinan efek samping, meningkatkan keberhasilan pengobatan. Oleh
gejala dan durasi efek samping, cara mengatasi karena itu dukungan dari pihak manajeman RS
efek samping mulai awal terapi agar pasien siap merupakan faktor penting untuk memberdayakan
menghadapi hal ini. Selain itu kadang-kadang apoteker sebagai konselor, yang merupakan
pasien menghentikan terapi karena mereka bagian dari kolaborasi tenaga kesehatan.
tidak dapat mentoleransi rasa ARV yang harus
dikonsumsi. Untuk mengatasi hal ini, apoteker SARAN
dapat mengubah bentuk sediaan yang lebih Pihak manajemen sebaiknya
nyaman bagi pasien misalnya bentuk tablet memberdayakan apoteker sebagai konselor
menjadi kapsul atau sirup sehingga pasien tidak sebagai salah satu bentuk layanan pengobatan
perlu merasakan obat yang tidak enak, merubah HIV-AIDS pada ibu dan anak khususnya untuk
rejimen terapi atau mengganti jenis ARV.10 meningkatkan kepatuhan pengobatan ARV,
Pada pasien HIV kadang-kadang juga menangani efek samping, atau efek toksik. Salah
menderita penyakit kronis lainnya seperti satu bentuk dukungan lainnya adalah memberikan
hipertensi, diabetes, dan sebagainya sehingga pelatihan kepada apoteker tentang ART pada ibu
mengalami kesulitan karena banyaknya obat dan anak.
yang harus dikonsumsi. Obat penyakit kronis
tersebut mungkin kontraindikasi dengan ARV UCAPAN TERIMA KASIH
sehigga membuat pasien HIV menjadi tidak Terima kasih kami sampaikan kepada
patuh dengan ART. Peran apoteker di sini adalah penyandang dana dan PPI Pusat Teknologi
untuk mengevaluasi penggunaan obat dan Intervensi Kesehatan Masyarakat yang telah
meminimalisir jumlah obat dengan menghentikan memfasilitasi penelitian ini, Pengelola Progran
penggunaan obat yang tidak tepat.10 Sebagai HIV-AIDS dan Pengelola Obat di Dinkes
contoh, farmasi klinik yang tergabung dalam Provinsi Sumut, DKI Jakarta, Jatim, Bali dan
tim multidisiplin pada pasien HIV/Hepatitis C Papua, Dinkes Kab/Kota Jakarta Utara, Jakarta
bisa berperan dalam delapan hal yaitu saat awal Barat, Surabaya, Malang, Denpasar, Buleleng,
pengobatan, konseling kepatuhan, konseling Jayapura, Medan dan Deli Serdang, RS Rujukan
dan skrining interaksi obat, efek samping, hasil HIV di 10 kabupaten/kota tersebut diatas, KPAD,
pengobatan dan resiko infeksi, asesmen efek LSM Peduli HIV-AIDS di Kabupaten/kota
samping dan hal lain termasuk pengambilan obat tersebut diatas serta kepada semua pihak yang
dan manajemen komorbiditas.24 membantu terlaksananya penelitian ini yang tidak
Dalam melakukan pelayanan dapat kami sebutkan satu persatu.
kefarmasian, apoteker perlu didukung sarana
dan prasarana. Sarana yang dapat membantu DAFTAR PUSTAKA
meningkatkan kepatuhan ART pada anak
1. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan
antara lain “pil dispenser” yang berguna untuk
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
memudahkan minum obat.11 Sarana ini belum Nomor 51 Tahun 2013 tentang Pedoman
tersedia di RS rujukan yang diteliti. Oleh karena Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak.
perlu dukungan dan komitmen manajemen RS Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2013.
untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana 2. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman
ini. Peran apoteker terhadap pasien HIV/AIDS Nasional Pencegahan Penularan HIV dari
baik di rumah sakit maupun di puskesmas dan Ibu ke Anak (PPIA). Edisi kedua. Jakarta:
masyarakat memberikan hasil yang signifikan. Kementerian Kesehatan RI; 2013.
Untuk melakukan peran tersebut apoteker 3. Kementerian Kesehatan RI. Rencana Aksi
harus memiliki pengetahuan yang cukup terkait Nasional Pencegahan Penularan HIV dari
farmakologi dan perawatan pasien HIV dan Ibu ke Anak (PPIA) Indonesia 2013 – 2017.
penyakit lainnya, gaya hidup dan komorbiditas Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2013
lain terkait usia, serta kondisi lainnya.25 4. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian
KESIMPULAN dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan
Peran apoteker sebagai konselor obat R I. Pedoman Pelayanan Farmasi Untuk
belum diberdayakan secara optimal untuk Ibu Hamil dan Menyusui. Jakarta: Ditjen
meningkatkan kepatuhan ART pada ibu dan Binfaralkes Kemenkes RI; 2006.
anak. Selain itu kolaborasi tenaga kesehatan 5. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit

237
Media Litbangkes, Vol. 28 No. 4, Desember 2018, 229 – 238

dan Penyehatan Lingkungan. Kemenkes RI. Journal of the American Pharmacists


Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi Association. 2010;50(3):411-5.
HIVdan Terapi Antiretroviral pada orang 17. Horberg MA, Hurley LB, Silverberg MJ,
Dewasa. Jakarta: Ditjen PP&PL Kemenkes Kinsman CJ, Quesenberry CP. Effect of
RI; 2011. clinical pharmacists on utilization of and
6. Purnaningtyas DA, Dewantiningrum J. clinical response to antiretroviral therapy.
Persalinan pervaginam dan menyusui sebagai Journal of Acquired Immune Deficiency
faktor risiko kejadian HIV pada bayi. Media Syndromes. 2007 April 15;44(5):531-539.
Medika Indosiana. 2011;45(3):139-143. DOI: 10.1097/QAI.0b013e318031d7cd
7. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman 18. Saberi P, Dong BJ, Johnson MO, Greenblatt
Penerapan Terapi HIV pada Anak. Jakarta: RM, Cocohoba JM. The impact of HIV
Kementerian Kesehatan RI; 2014. clinical pharmacists on HIV treatment
8. Horberg MA, Hurley LB, Towner WJ, outcomes: a systematic review [Internet].
Allerton MW, Tang BT, et al. Determination Patient Prefer Adherence. 2012;6:297–322.
of optimized multidisciplinary care team for Published online 2012 Apr 5 [cited May 19
maximal antiretroviral therapy adherence. 2017]. Available from: https://www.ncbi.
J Acquir Immune Defic Syndr . 2012 June nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3333818/pdf/
1;60(2):183-190. ppa-6-297.pdf.
9. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan 19. Ma A, Chen DM, Chau FM, Saberi P.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Improving adherence and clinical outcomes
Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar through an HIV pharmacist’s interventions.
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. AIDS care. 2010;22(10):1189-1194.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2014. 20. Henderson KC, Hindman J, Johnson
10. Kibicho J, Owczarzak J. Pharmacists’ SC, Valuck RJ, Kiser JJ. Assessing the
strategies for promoting medication effectiveness of pharmacy-based adherence
adherence among patients with HIV. Journal interventions on antiretroviral adherence in
of the American Pharmacists Association. persons with HIV. AIDS patient care and
2011;51(6):746-55. STDs. 2011;25(4):221-228.
11. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan 21. March K, Mak M, Louie SG. Effects
Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat of pharmacists’ interventions on patient
Kesehatan Departemen Kesehatan RI. outcomes in an HIV primary care clinic.
Pedoman Pelayanan Kefarmasian Orang American Journal of Health-System
dengan HIV/AIDS (ODHA). Jakarta: Ditjen Pharmacy. 2007;64(24):2574-2578.
Binfaralkes Kemenkes RI; 2006. 22. U.S. Department of Health and Human
12. Mulyani, UA. Peran serta profesi farmasi Services Health Resources and Services
dalam permasalahan yang terkait dengan Administration, HIV/AIDS Bureau.
terapi obat tuberkulosis pada anak. Pharmacists: prescribing better care, HRSA
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2006 care action. New York: U.S. Department of
April;9(2):100-106. Health and Human Services; 2010.
13. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan 23. Lumbantoruan C, Kermode M, Giyai A, Ang
Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian A, Kelaher M. Understanding women’s uptake
dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan and adherence in Option B+ for prevention of
RI 2008. Pedoman Pelayanan Kefarmasian mother-to-child HIV transmission in Papua,
di Rumah (Home Pharmacy Care). Jakarta: Indonesia: a qualitative study. PloS one.
Ditjen Binfaralkes Kemenkes RI; 2008. 2018;13(6):e0198329.
14. Kusharwanti W, Dewi SC, Setiawati MK. 24. Olea A, Jr., Grochowski J, Luetkemeyer AF,
Pengoptimalan peran apoteker dalam Robb V, Saberi P. Role of a clinical pharmacist
pemantauan dan evaluasi insiden keselamatan as part of a multidisciplinary care team in
pasien. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. the treatment of HCV in patients living with
2014;3(3):67–76. HIV/HCV coinfection. Integrated pharmacy
15. Scotta JD, Abernathy KA, Linaresc research & practice. 2018;7:105-11.
MD, Graham KK, Lee JC. HIV clinical 25. Tseng A, Foisy M, Hughes CA, Kelly D, Chan
pharmacists – the US perspective. Farmacia S, Dayneka N, et al. Role of the Pharmacist in
Hospitalia. 2010;34(6):303–308 caring for patients with HIV/AIDS: clinical
16. Deas C, McCree DH. Pharmacists and HIV/ practice guidelines. The Canadian Journal of
AIDS prevention: review of the literature. Hospital Pharmacy. 2012;65(2):125-45.

238

Anda mungkin juga menyukai