PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ibnu 'Araby dikenal luas sebagai ulama besar yang banyak pengaruhnya
dalam percaturan intelektualisme Islam. Ia memiliki sisi kehidupan unik, filsuf besar,
ahli tafsir paling teosofik, dan imam para filsuf sufi setelah Hujjatul Islam al-
Ghazali. Lahir pada 17 Ramadhan 560 H/29 Juli 1165 M, di Kota Marsia, ibukota
Andalusia Timur (kini Spanyol), Ibnu 'Araby bernama lengkap Muhammad bin Ali
bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Hatim. Ia biasa dipanggil
dengan nama Abu Bakr, Abu Muhammad dan Abu Abdullah. Namun gelarnya yang
terkenal adalah Ibnu 'Araby Muhyiddin, dan al-Hatamy. Ia juga mendapat gelar
sebagai Syeikhul Akbar, dan Sang Kibritul Ahmar.
Meski Ibnu 'Araby belajar pada banyak ulama, seperti Abu Bakr bin
Muhammad bin Khalaf al-Lakhmy, Abul Qasim asy-Syarrath, dan Ahmad bin Abi
Hamzah untuk pelajaran Alquran dan Qira'ahnya, serta kepada Ali bin Muhammad
ibnul Haq al-Isybili, Ibnu Zarqun al-Anshary dan Abdul Mun'im al-Khazrajy, untuk
masalah fikih dan hadis madzhab Imam Malik dan Ibnu Hazm Adz-Dzahiry, Ibnu
'Araby sama sekali tidak bertaklid kepada mereka. Bahkan ia sendiri menolak keras
taklid.
1
Ibnu 'Araby membangun metodologi orisinal dalam menafsirkan Alquran
dan Sunnah yang berbeda dengan metode yang ditempuh para pendahulunya. Hampir
seluruh penafsirannya diwarnai dengan penafsiran teosofik yang sangat cemerlang.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan :
1. Untuk mengetahui biografi Ibnu ‘Arabi
2. Untuk mengetahui Konsep dan Ajaran Ibnu ‘Arabi
2
BAB II
PEMBAHASAN
Bernama lengkap Abu Bakr Muhammad ibn al-‘Arabi al-Hatimi al-Tai, sufi
asal Murcia, Spanyol ini lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan
28 Juli 1165. Dirinya dijuluki ”Syaikh al-Akbar” (Sang Mahaguru) dan ”Muhyiddin”
(Sang Penghidup Agama). Kendati tidak mendirikan tarekat populer—atau agama
massa menurut istilah Fazlur Rahman—pengaruh Ibn ‘Arabi atas para sufi meluas
dengan cepat, melalui murid-murid terdekatnya yang mengulas ajaran-ajaran dengan
terminologi intelektual maupun filosofis (Chittick, dalam Nasr (ed.), 2003: 64)
Ayah Ibn ‘Arabi, ‘Ali, adalah pegawai Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy,
penguasa Murcia, Spanyol. Ketika Ibn ’Arabi berusia tujuh tahun, Murcia
ditaklukkan oleh Dinasti al-Muwahiddun (al-Mohad) sehingga ’Ali membawa pergi
keluarganya ke Sevilla. Di tempat itu, sekali lagi dirinya menjadi pegawai
pemerintahan. Ia memiliki status sosial yang tinggi. Buktinya, salah satu adik
istrinya, Yahya ibn Yughan, menjadi penguasa kota Tlemcen di Algeria. Fakta yang
menarik adalah bahwa di kemudian hari, sang paman akhirnya menanggalkan segala
bentuk kekuasaan dunia pada pertengahan masa pemerintahannya dan beralih
menjadi seorang sufi dan zahid. Ibn ’Arabi pun menyebutkan dua orang pamannya
yang menjadi sufi (Addas, 2004: 43-4)
Pada masa mudanya Ibn ‘Arabi bekerja sebagai sekretaris Gubernur Sevilla
dan menikahi seorang gadis bernama Maryam, yang berasal dari sebuah keluarga
berpengaruh. Pada tahun 590, Ibn ’Arabi meninggalkan Spanyol untuk mengunjungi
Tunisia. Tahun 597/1200, sebuah ilham spiritual memerintahkan dirinya untuk pergi
ke timur. Dua tahun kemudian, ia melakukan ibadah haji ke Mekkah dan berkenalan
dengan seorang syaikh dari Isfahan yang memiliki seorang putri. Pertemuan dengan
perempuan ini mengilhami Ibn ’Arabi untuk menyusun Tarjumân al-Asywâq. Di
Mekkah pula ia berjumpa dengan Majd al-Din Ishaq, seorang syaikh dari Malatya,
yang kelak akan mempunyai seorang putra yang menjadi murid terbesar Ibn ’Arabi,
Shadr al-Din al-Qunawi (606-673/1210-1274).
3
Dalam perjalanan menyertai kepulangan Majd al-Din ke Malatya, Ibn ‘Arabi
bermukim sementara waktu di Mosul. Di kota ini, ia ditahbiskan oleh Ibn al-Jami’,
seseorang yang memperoleh kekuatan spiritual dari tangan Nabi Khidhr. Selama
beberapa tahun Ibn ‘Arabi melancong dari kota ke kota di Turki, Suriah, Mesir, serta
kota suci Mekkah dan Madinah. Pada tahun 608/1211-12 M, ia dikirim ke Bagdad
oleh Sultan Kay Kaus I (607-616/1210-19) dari Konya dalam misi yuridis
kekhalifahan, kemungkinan ditemani oleh Majd al-Din. Ibn ’Arabi memiliki
hubungan baik dengan sultan ini dan mengirimnya surat-surat berisi nasihat praktis.
Dia pun merupakan sahabat dari penguasa Aleppo, Malik Zhahir (582-615/1186-
1218), putra Sultan Saladin (Shalah al-Din) al-Ayyubi.
4
disebabkan oleh sesuatu apa pun. di halaman lain dari kitab futuhat dia menulis “
pertama-tama yang harus diketahui bahwa Allah SWT adalah zat yang awal, yang
tidak ada sesuatu pun mendahului-Nya tidak ada sesuatupun yang awal bersama-
Nya, Dia ada dengan sendiri-Nya, tidak membutuhkan sesuatu selain Dia. Dia adalah
Tuhan yang maha Esa, yang tidak berhajat pada alam semesta.
5
Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwa wujud menjadi nyata oleh karena Tuhan
sebagai yang zhahir memperlihatkan dirinya dalam suatu “wadah manifestasi” yakni
di dalam kosmos itu sendiri. Tuhan tidak dapat memperlihatkan dirinya sebagai yang
batin, karena menurut definisi, Tuhan sebagai yang batin tidak dapat dijangkau dan
diketahui di dalam kosmos ini.
Bagi Ibnu ‘Arabi alam semesta adalah penampakan (tajalli) Tuhan, Tuhan dan
alam semesta tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi-
kontradiksi ontologis. kontradiksi ini tidak hanya bersifat horisontal tetapi juga
vertikal. Hal ini tampak seperti dalam uraian al-Qur’an bahwa Tuhan adalah yang
tersembunyi (al Bathin) sekaligus yang tampak (al-Dzahir), yang esa (al-Wahid)
sekaligus yang banyak (al-Katsir), yang terdaulu (al-Qadim) sekaligus yang baru (al-
Hadits) yang ada (al-Wujud) sekaligus yang tiada (al-Adam). Dalam pandangan Ibnu
‘Arabi realitas adalah satu tetapi mempunyai sifat yang berbeda: sifat keTuhanan
sekaligus sifat kemakhlukkan, temporal sekaligus abadi, nisbi sekaligus permanen
eksistensi sekaligus non eksistensi. Dua sifat yang bertentangan tersebut hadir secara
bersamaan dalam segala sesuatu yang ada di alam ini.
Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud
makhluk pada hakikatnya adalah wujud Khalik pula. Tidak ada perbedaan antara
keduanya (Khalik dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira
bahwa antara wujud Khalik dan makhluk ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut
pandang panca indra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap
6
hakikat yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu
berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibnu ‘Arabi sebagai berikut:
“Maha suci Tuhan yang lelah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri
adalah hakikat segala sesuatu itu”
Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan
Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang
disebut Khalik dengan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan
antara abid (penyembah) dengan ma 'bud (yang disembah). Bahkan antara yang
penyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu hanya pada rupa dan
ragam. Ibnu ‘Arabi mengemukakan nya Kalau antara Khalik dan makhluk bersatu
dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibnu ‘Arabi menjawab, sebabnya adalah
manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu. tetapi memandang keduanya
dengan pandangan bahwa keduanya adalah Khalik dari sisi yang satu dan makhluk
dari sisi yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu, atau
keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti akan dapat
mengetahui hakikat keduanya, yakni Dzatnya satu yang tidak terbilang dan berpisah.
Paham wahdatul wujud timbul dari filsafat bahwa Tuhan ingin melihat diri-
Nya di luar diri-Nya. Kemudian diciptakanlah alam sebagai cermin yang
merefleksikan gambaran diri-Nya. Setiap kali ingin melihat diri-Nya, Dia melihat
alam karena pada setiap benda alam terdapat aspek al-Haqq. Jadi, walaupun segala
benda ini kelihatannya banyak, sebenarnya yang ada hanya satu wujud, yaitu al-
Haqq.
7
Penggambaran tersebut sejalan dengan penyatuan dua paradigma tasybih dan
tanzih, imanen dan transenden yang digunakan Ibnu ‘Arabi dari segi tasybih Tuhan
sama dengan alam, karena alam tidak lain adalah perwujudan dan aktualisasi
sifatsifatnya. Dari segi tanzih Tuhan berbeda dengan alam, karena alam terikat ruang
dan waktu sedang Tuhan adalah absolut dan mutlak. Secara tegas Ibnu ‘Arabi
menyatakan “huwa la huwa” (Dia bukan Dia-yang kita bayangkan) sedekat dekat
Manusia menyatu dengan Tuhan, tetapi tidak akan pernah menyatu dengan Tuhan, ia
hanya menyatu dengan asma dan sifat-sifatnya menyatu dengan bayangan-Nya
bukan dengan zat-Nya.
Manusia adalah makhluk kecil bila dilihat dari segi fisiologisnya, betapa tidak,
bumi yang kita pijak ini saja tak akan nampak dari ujung Galaksi Bumi apalagi
dilihat dari Galaksi lain justru karena kecilnya ukuran Bumi ini, apalah kita manusia
8
yang ia barat semut yang merayap dipermukaan bola raksasa Bumi. manusia ibarat
sebuah titik kecil yang berlangsung hanya sedetik. Itulah kakekat manusia juka
dilihat dari sudut ruang dan waktu, Maka seharusnya kita menyadari betapa tidak
berartinya kita (manusia) dalam kosmos yang luas ini jika dilihat dari fisiologisnya.
Namun manusia yang bisa disebut sebagai mikrokosmos karena pada diri
manusia mengandung seluruh unsur kosmik, dari mulai tingkat mineral sampai
tingkat manusia, bahkan menurut beberapa tokoh, manusia juga mengandung unsur-
unsur rohani, karena manusia juga memilki roh yang berasal dari Tuhan. Maka
apabila masing-masing tingkat wujud tersebut memantulkan sifat-sifat tertentu dari
Tuhan, dan Manusia sebagai cermin yang sempurna yang mampu berpotensi
memantulkan seluruh sifat-sifat Illahi. disitulah manusia disebut insan kamil, jika
manusia dapat mengaktualkan seluruh potensinya yang ada dalam dirinya dan
mampu mencerminkan sifat sifat Tuhan.
Insan kamil (manusia sempurna) adalah istilah yang digunakan oleh kaum sufi
untuk menamakan seorang Muslim yang telah sampai pada keperingkat tinggi, yaitu
peringkat seorang yang telah sampai pada fana’ fillah (sirna di dalam Allah).
Manusia menurut Ibnu ‘Arabi adalah tempat tajalli (penampakan) diri Tuhan yang
paling sempurna, karena Dia adalah al-kaun al-jamil, atau manusia merupakan
sentral wujud, yakni alam kecil (mikrokosmos) yang tercermin pada alam besar
(makrokosmos), dan tergambar kepadanya sifat-sifat keTuhanan. Oleh karena itulah
manusia di angkat sebagai kholifah. pada diri manusia terhimpun rupa Tuhan dan
rupa alam, dimana subtansi Tuhan dengan segala sifat dan asma-Nya tampak
padanya. dia dalam sebuah cermin yang menyingkapkan wujud Allah SWT.
Secara umum, istilah "insan kamil" sering dimaknai orang sebagai manusia
sempurna. menurut Al-Jilli insan kamil adalah Roh Nabi Muhammad SAW. yang
mengkristal dalam diri para Nabi sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, lalu
para wali dan orang-orang saleh, sebagai cermin Tuhan yang diciptakan atas nama-
Nya dan refleksi gambaran nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Al-Jilli melihat bahwa
insan kamil (manusia sempurna) merupakan nuskhah atau kopi Tuhan, seperti
disebutkan dalam hadis (artinya), "Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang
Maha rahman." Hadis lain menyebutkan (artinya), "Allah menciptakan Adam dalam
bentuk diri-Nya."
9
Menurut Arberry, konsep insan kamil Al-Jilli dekat dengan konsep hulul Al-
Hallaj dan konsep ittihad Ibn Arabi, yaitu integrasi sifat Lahut dan Nasut dalam suatu
pribadi sebagai pancaran dari Nur Muhammad. Adapun Ibnu 'Arabi mentransfer
konsep hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad ketika menggambarkan insan kamil
sebagai wali-wali Allah, yaitu diliputi oleh Nur Muhammad SAW. Meskipun Al-Jilli
dianggap sebagai tokoh yang memopuler-kan konsep insan kamil-nya, sesungguhnya
konsep insan kamil ini sudah disinggung sebelumnya oleh Ibnu 'Arabi. Menurut Ibnu
'Arabi, insan kamil adalah mikrokosmos yang sesungguhnya, sebab Dia
memanifestasikan semua sifat dan kesempurnaan Illahi, dan manifestasi semacam ini
tidaklah sempurna tanpa perwujudan penuh kesatuan hakiki dengan Tuhan. Insan
kamil adalah miniatur dari kenyataan dan yang di maksud insan kamil menurut Ibnu
‘Arabi seperti yang di jelaskan dalam kitabnya fusus al-hikam adalah:
10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ibnu Arabi merupakan salah seorang ulama’ sufi yang terkenal dengan
sentral ajarannya yang sering disebut dengan istilah wahdat al-wujud yang
bermakna satu kesatuan, maksudnya yaitu antara makhluk dan sang Khalik jika
dilihat dari hakekatnya pada dasarnya satu tidak ada perbedaan. Dengan sang Khalik
sebagai wujud yag hakiki, sedangkan makhluk hanyalah bayangan dari sang khalik
yang menyimpan sifat-sifat dari Allah SWT. Dengan ajaran seperti ini banyak
pertentangan dari ulama’ sufi mengenai ajaran tersebut. Mereka beranggapan bahwa
paham wahdat al-wujud mulai melenceng jauh dari pemahaman tasawuf pada
dasarnya.
Salah satu paham sufi yang terkenal dengan pemaknaan bahwa hubungan
antara makhluk dan Sang Khalik itu adalah satu, merupakan paham yang dibawa
oleh Ibnu Arabi dan yang kemudian akan lebih sering dikenal dengan sebutn wahdat
al-wujud. Banyak kecaman dan gugatan dari sufi yang lainnya mengenai ajaran ini,
dikarenakan inti dari paham ini yaitu yang mengatakan bahwa Allah SWT dan
manusia itu satu pada hakekatnya. Tapi Ibnu Arabi menaggapi pendapatpendapat
terebut dengan menyatakan alas an yang bersifat ekstrim dan sulit dipahamai oleh
pemikiran yang biasa.
11
DAFTAR PUSTAKA
Hilal, Ibrahim. 2002. Tasawuf antara Agama dan Filsafat: Sebuah Kritik
Metodologis. Bandung: Pustaka Hidayah.
12