Penjahit Telinga
Copyright © CV Jejak, 2018
Penulis:
Benefitasari Intan Nirwana, dkk
ISBN : 978-602-474-355-0
ISBN Elektronik : 978-602-474-350-5
Editor:
Akhmad Zulkarnain
Penyunting dan Penata Letak:
Tim CV Jejak
Desain Sampul:
Meditation Art
Penerbit:
CV Jejak
Redaksi:
Jln. Bojong genteng Nomor 18, Kec. Bojong genteng
Kab. Sukabumi, Jawa Barat 43353
Web : www.jejakpublisher.com
E-mail : publisherjejak@gmail.com
Facebook : Jejak Publisher
Twitter : @JejakPublisher
WhatsApp : +6285771233027
Cetakan Pertama, Oktober 2018
73 halaman; 14 x 20 cm
2
Penjahit Telinga
Daftar Isi
CERPEN ................................................................................................... 5
3
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
PUISI...................................................................................................... 65
4
Penjahit Telinga
Cerpen
5
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
Penjahit Telinga
Karya Benefitasari Intan Nirwana
D
i meja kantin tempat biasa kami makan bersama, aku
menunggunya datang. Tapi karena sudah diburu rasa
lapar, aku memutuskan memesan duluan. Sahabatku itu
memang orangnya suka terlambat, sedangkan aku bukan orang
yang suka menunggu. Jadi, kursi di hadapanku masih kosong dan
aku sudah bersiap menyuap nasi goreng telurku ketika sahabatku
itu tiba-tiba datang sambil menyodorkan sebuah kotak kecil
berwarna merah.
“Selamat ulang tahun!” serunya lantang. Beberapa
mahasiswa lain yang sedang makan di sana sampai menoleh.
“Di mana telingamu?” tanyaku ketika melihat kedua sisi
kepalanya yang berlubang.
Bibirnya langsung cemberut dan keningnya berkerut.
“Kejutannya gagal,” gerutunya sambil duduk di kursi di
hadapanku. “Kamu sudah tahu.”
“Di mana telingamu?” tanyaku sekali lagi.
Dia membuka kotak merah yang dimaksudkan sebagai
hadiah ulang tahunku itu. Di sana terbaring sepasang telinga yang
masih lengkap dengan anting-anting emasnya. Ada setitik noda
darah di telinga sebelah kiri. Pasti karena itu dia memilih
6
Penjahit Telinga
7
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
8
Penjahit Telinga
***
9
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
10
Penjahit Telinga
***
11
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
12
Penjahit Telinga
13
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
14
Penjahit Telinga
***
15
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
16
Penjahit Telinga
17
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
“T
idak! Cepat menjauh dari sana, berengsek!”
Fred menoleh ke arah teriakan itu, dan sebelum
sempat memproses semuanya, sinar terang dan
dentuman yang keras berhasil menghempaskan tubuhnya dengan
mudah sejauh beberapa meter. Kemudian yang tersisa oleh
ingatannya hanyalah kesunyian yang memekakkan. Gelap.
***
18
Penjahit Telinga
19
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
***
20
Penjahit Telinga
21
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
22
Penjahit Telinga
***
Saat itu awal Maret 1968 di Khe Sanh, Ross sudah Fred
anggap sebagai sahabatnya. Hatinya merasa berat ketika
menerima kabar bahwa sahabatnya itu akan dipulangkan di akhir
atau pertengahan tahun. Masih tersisa satu tahun lagi untuk
dirinya di Vietnam. Dilihatnya Ross menulis sesuatu di buku
sakunya seperti ritual yang selalu dia lakukan tiap malam.
“Apa, sih, yang sebenarnya kau tulis? Untuk C kah?”
Pertanyaan itu terlontar secara tiba-tiba dari mulutnya yang masih
penuh dengan daging dari kaleng ransumnya.
“Kau bilang apa?” tanya Ross kaget seakan selongsong
peluru telah menyambarnya.
“C. Aku pernah mendengarmu mengigau dan kau selalu
menyebut namanya. Apakah dia kekasihmu?”
23
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
24
Penjahit Telinga
25
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
***
26
Penjahit Telinga
27
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
28
Penjahit Telinga
Johnny Gudel
Karya Irfa Ronaboyd Mahdiharja
K
ota sudah menjemukan. Terlalu berisik dan penuh polusi.
Kujual semua kekayaan di kota untuk menyepi dan
menghilangkan semua masalah turunannya. Kampung
adalah suatu tempat ideal, terutama di daerah pegunungan.
Bertani dan berkebun cita-cita masa muda yang menyenangkan.
Tak ada media sosial, televisi, maupun telepon genggam. Tak ada
perang medsos yang bikin gusar. Tiada televisi dengan tayangan
aneh bin ajaib beserta intrik politik (khususnya mars parpol) yang
membuatku kejang tak karuan. Atau telepon genggam yang berisi
pesan-pesan galau kalian dan juga kiriman video seronok (yang
kadang kurindukan).
Berganti pada kebiasaan pagi hari dengan makan gorengan
atau jajanan pasar, minum kopi, dan sebungkus kretek ditemani
istri. Menjelang siang berkebun atau bertani. Sore hari minum
kopi, buah, dan kretek. Malam hari bercinta atau ikut ronda. Ingin
tahu kabarku, ya tinggal datang ke sini. Aku ingin tahu kabar
kalian, ya turun gunung lalu masuk warnet. Semua aman,
tenteram, adem, ayem, dan sentosa.
Kenikmatan itu ternyata hanyalah sementara. Lama-
kelamaan aku heran lihat orang kampung. Masalah sepele sering
ditanyakan. Mulai dari cara buat pacebuk, lihat yucup, tips
29
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
30
Penjahit Telinga
31
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
32
Penjahit Telinga
33
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
34
Penjahit Telinga
“Nggeh.”
“Aku teringat kisahnya Plato mencari cinta. Jadi, kusuruh
dia pergi ke hutan mencari pohon.”
“Oalah. Kenapa tidak diceritakan kisahnya saja? Kasihan
harus ke hutan.”
“Bu, Johnny tak akan paham kalau diceritakan. Dia baru
mengerti kalau sudah dapat pengalaman. Yang terakhir, Dia tak
kenal Plato karena kenalnya Parto.”
“Kalau dia tanya Plato itu siapa, ya dijelaskan, to.”
“Kalau dia bertanya Plato itu siapa akan kujawab nama
seorang teman di kota.”
Istriku tersenyum sambil mencubitku. “Bilang saja bahwa
Plato itu seorang arif bijaksana pada zaman dahulu. Jangan
kebanyakan bohong dan membodohi orang.”
Aku hanya tersenyum simpul. Oh, indahnya hidup di
kampung dapat menghabiskan waktu bersama keluarga. Apabila
kalian tak pernah membaca kisahnya, aku dengan senang hati
akan sedikit mendongeng.
***
35
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
36
Penjahit Telinga
***
37
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
38
Penjahit Telinga
39
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
N
apas lelaki itu memburu. Sosok lain dalam tubuhnya
terbangun setelah tidur panjang. Sosok yang menyebut
dirinya bernama Bisma. Maka itulah rupanya; yang
matanya segera menyalang pada wajah yang berjarak dua meter di
hadapannya. Muka yang serupa, hanya rambut-rambut tipis yang
tumbuh pada dagu dan pipi belakangnya yang membedakan.
Dengan jijik Bisma melihat rambut-rambut tipis tersebut. Dia Heri,
saudara kembar identik dari pemilik asli tubuhnya.
Yakin dirinya akan menang, tanpa ragu ia menerjang. Dia
tangguh dan kuat, tidak seperti Heru, Si Kepribadian Utama.
Dalam beberapa kali hantam, Heri sudah nyaris jatuh terkapar.
Heri tertawa, lelaki psikopat itu masih bisa tertawa nyaring.
Memperlihatkan gigi-giginya yang berdarah akibat serangan
Bisma. Bisma geram dan terus menghajarnya tanpa banyak bicara.
Mendesaknya ke dinding gunung. Tubrukannya cukup kuat
hingga kerikil berjatuhan ke atas tubuh mereka, namun tidak
dipedulikan.
Leher Heri sudah berada dalam cengkeramannya ketika
telinga mereka menangkap suara derap kaki berlarian mendekat.
Awalnya samar. Lambat laun kian jelas. Lalu muncul tiga orang
berseragam di antara gelapnya malam. Mereka berteriak dan
40
Penjahit Telinga
***
41
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
42
Penjahit Telinga
43
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
44
Penjahit Telinga
Atau bisa jadi, keinginan Bisma yang kuat menahan Heru untuk
kembali menguasai mereka.
“Saya lelah, Bujang .... Mari kita istirahat sejenak!” ajakan
Heri membuyarkan lamunan Bisma. Kala itu, Heri baru saja
mencabut pisau dari dada korban yang terakhir. Nasib korban ini
nahas. Dia tinggal sendirian. Heri melihatnya sebagai peluang
emas. Tak perlu susah-payah memboyongnya ke tempat
persembunyian.
Bisma mengangguk menanggapi ajakan Heri sebelumnya. Ia
mengikuti Heri duduk di kursi samping meja makan. Di
sampingnya, masih tergeletak mayat korban yang sudah tak
berginjal. Tetapi, dia lebih mengwasi pergerakan lelaki jangkung
yang sedang duduk kelelahan di hadapannya itu. Berpatokan
pada sepatu merah yang paling mudah dilihatnya dalam gelap.
Juga sedang mencoba mengukur waktu dengan bijak, bisakah dia
melakukannya sekarang?
Mata Sang Pelindung Heru tersebut masih terus
membayangi sepatu merah lelaki di depannya, ketika kaki-kaki itu
perlahan mendekatinya. Bisma menengadah. Dalam minimnya
cahaya, dilihatnya Heri sedang tersenyum lebar kepadanya.
Diikuti garis-garis wajahnya yang membekas dalam ingatan. Bulu
kuduknya meremang. Bisma memandangnya takjub. Matanya
menyiratkan tanda tanya yang tak pernah diungkapkannya.
“Kenapa kau begitu penurut, Bujang? Kukira kau ini
pemberontak? Heh?” tantang Heri.
45
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
46
Penjahit Telinga
***
Sorot mata yang awalnya sayu dan penuh ketakutan itu pun
sudah berganti dengan sorot yang tajam dan menikam. Dia penuh
luka karena dendam yang selalu dibawanya dalam tidur.
Sepertinya sudah berhari-hari sosoknya tertidur tanpa tahu apa
yang terjadi pada tubuhnya. Lalu kembali terbangun ketika
pemilik tubuhnya sedang berada di tengah jalan beraspal. Dengan
dinding gunung dan rerumputan tinggi di masing-masing sisinya.
Daerah itu dikenalnya sebagai tempat persembunyian Heri. Dia
lebih terkejut ketika melihat dia tengah berhadapan dengan orang
gila itu. Saudara kembar dari kepribadian utamanya yang ternyata
tak bisa ia hindarkan.
47
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
***
48
Penjahit Telinga
49
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
50
Penjahit Telinga
51
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
Kesaktian Batu
Sang Pemimpin
Karya Eka Yuliarti
R
iuh warga Desa Tolak Bala menggema, ingin mengetahui
kandidat terpilih yang akan naik takhta menjadi raja Desa Tolak
Bala ini, pasalnya warga sudah menantikan pesta besar untuk
memeriahkan terpilihnya sang kepala desa.
“Saya kira sulit memilih kandidat yang tepat, karena hampir
semuanya memperlihatkan bukti kesaktian batu tersebut. Namun, ada
satu kandidat yang tidak menunjukkan keajaiban apa pun ketika batu
tersebut ada padanya, seolah-olah ia memang bukan orang yang tepat.”
Desa Tolak Bala adalah desa yang subur tempat panen hasil
bumi yang meruah, sawah terbentang sepanjang mata
memandang, banyak budidaya empang, banyak peternakan, hasil
cocok tanam banyak yang subur, segala rempah, dan beras
melimpah, serta berkehidupan makmur sentosa. Orang-orangnya
ramah-tamah, berbudi luhur, dan sederhana. Bisa jadi kepala desa
yang akan terpilih nanti dicanangkan akan diberi sebagian
budidaya empang, peternakan, bahkan berbidang-bidang sawah.
Para kandidat kepala desa segera dikumpulkan oleh panitia
pukul 9 pagi di pos terpadu desa. Di depan sekian banyak warga
Desa Tolak Bala, 4 kandidat duduk dengan memperlihatkan
52
Penjahit Telinga
53
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
54
Penjahit Telinga
***
55
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
***
56
Penjahit Telinga
57
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
***
58
Penjahit Telinga
***
59
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
oleh jin dari batu tersebut. ibu-ibu yang hadir pada saat itu sontak
menghindar hingga ke sudut ruang tamu Bu Marni.
“Saya sarankan kalian warga Desa Tolak Bala memilih Bu
Susi sebagai kepala desa, karena dia orang baik dan dapat
diandalkan. Jika tidak, maka Desa Tolak Bala ini akan dikutuk dan
hancur,” kata Bu Susi dengan suaranya yang serak dan berat.
Masih dalam keadaan kerasukan, Bu Susi yang semula
duduk, tiba-tiba kejang-kejang lalu jatuh pingsan dalam posisi
tidur. Setelah itu, ibu-ibu segera membangunkannya dan
mendapati Bu Susi telah sadar dari kerasukannya. Akhirnya
tersiar kabar bahwa batu tersebut menampakkan kesaktiannya
pada Bu Susi.
***
60
Penjahit Telinga
***
61
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
62
Penjahit Telinga
63
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
64
Penjahit Telinga
Puisi
65
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
Mayat Pelacur
Karya Aya Canina
66
Penjahit Telinga
Puisi Selimut
Karya Aflaha Rizal Bahtiar
67
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
2018
68
Penjahit Telinga
Jakarta Anamnesis
Karya Ilhamdi Putra
Dan kota ini terus direka dari kasur di balik gorden ruang isolasi
Jakarta seperti catatan kesehatan disimpan dalam lemari
69
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
Jakarta, 2018
70
Penjahit Telinga
Bayangan Cermin
Karya Joanna Dian Oktavianie
71
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
Dalam Kegelapan
Karya Muammar Qadafi Muhajir
72
Penjahit Telinga
73
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK
------------------------------------------------
----------------------------
------------
74