Anda di halaman 1dari 74

BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

Penjahit Telinga
Copyright © CV Jejak, 2018
Penulis:
Benefitasari Intan Nirwana, dkk
ISBN : 978-602-474-355-0
ISBN Elektronik : 978-602-474-350-5
Editor:
Akhmad Zulkarnain
Penyunting dan Penata Letak:
Tim CV Jejak
Desain Sampul:
Meditation Art
Penerbit:
CV Jejak
Redaksi:
Jln. Bojong genteng Nomor 18, Kec. Bojong genteng
Kab. Sukabumi, Jawa Barat 43353
Web : www.jejakpublisher.com
E-mail : publisherjejak@gmail.com
Facebook : Jejak Publisher
Twitter : @JejakPublisher
WhatsApp : +6285771233027
Cetakan Pertama, Oktober 2018
73 halaman; 14 x 20 cm

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak maupun mengedarkan buku dalam
bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit
maupun penulis

2
Penjahit Telinga

Daftar Isi

DAFTAR ISI ........................................................................................... 3

CERPEN ................................................................................................... 5

Penjahit Telinga ..................................................................................... 6


Karya Benefitasari Intan Nirwana ....................................................... 6

Guns and Roses .................................................................................... 18


Karya Natasya Habibah ...................................................................... 18

Johnny Gudel ....................................................................................... 29


Karya Irfa Ronaboyd Mahdiharja ....................................................... 29

Dua Sosok, Lima Indera ..................................................................... 40


Karya Joanna Dian Oktavianie ........................................................... 40

Kesaktian Batu Sang Pemimpin ....................................................... 52


Karya Eka Yuliarti .............................................................................. 52

3
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

PUISI...................................................................................................... 65

Mayat Pelacur ....................................................................................... 66


Karya Aya Canina .............................................................................. 66

Puisi Selimut ........................................................................................ 67


Karya Aflaha Rizal Bahtiar ................................................................ 67

Jakarta Anamnesis .............................................................................. 69


Karya Ilhamdi Putra .......................................................................... 69

Bayangan Cermin ................................................................................ 71


Karya Joanna Dian Oktavianie .......................................................... 71

Dalam Kegelapan ................................................................................ 72


Karya Muammar Qadafi Muhajir ...................................................... 72

4
Penjahit Telinga

Cerpen

5
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

Penjahit Telinga
Karya Benefitasari Intan Nirwana

D
i meja kantin tempat biasa kami makan bersama, aku
menunggunya datang. Tapi karena sudah diburu rasa
lapar, aku memutuskan memesan duluan. Sahabatku itu
memang orangnya suka terlambat, sedangkan aku bukan orang
yang suka menunggu. Jadi, kursi di hadapanku masih kosong dan
aku sudah bersiap menyuap nasi goreng telurku ketika sahabatku
itu tiba-tiba datang sambil menyodorkan sebuah kotak kecil
berwarna merah.
“Selamat ulang tahun!” serunya lantang. Beberapa
mahasiswa lain yang sedang makan di sana sampai menoleh.
“Di mana telingamu?” tanyaku ketika melihat kedua sisi
kepalanya yang berlubang.
Bibirnya langsung cemberut dan keningnya berkerut.
“Kejutannya gagal,” gerutunya sambil duduk di kursi di
hadapanku. “Kamu sudah tahu.”
“Di mana telingamu?” tanyaku sekali lagi.
Dia membuka kotak merah yang dimaksudkan sebagai
hadiah ulang tahunku itu. Di sana terbaring sepasang telinga yang
masih lengkap dengan anting-anting emasnya. Ada setitik noda
darah di telinga sebelah kiri. Pasti karena itu dia memilih

6
Penjahit Telinga

memasukkannya di dalam kotak berwarna merah, supaya


ketidaksabarannya tersamarkan.
Aku melanjutkan menyuap nasi gorengku. “Kenapa harus
telingamu? Dua-duanya, lagi.”
“Kamu lebih membutuhkannya daripada aku.”
“Perlu waktu lama untuk memasangnya.”
“Kamu mau aku menjahitkannya?”
“Tentu saja! Tapi, jangan lupa, jahit di kepalaku, jangan di
pantat. Nanti kalau aku kentut, telingamu bisa mendengarnya
meski aku sudah berusaha sepelan mungkin.”
Dia tertawa. Syukurlah, candaanku berhasil membuatnya
terhibur. Pasti membutuhkan usaha keras untuk mencabut telinga-
telinga itu dari kepalanya. Aku tidak bisa membayangkan
kegaduhan yang terjadi di kosnya ketika dia melakukan hal itu.
Kalau aku tahu dia akan melepas telinganya sendiri, mungkin aku
akan mencegahnya. Mungkin ya. Soalnya sebenarnya aku juga
senang sekali mendapat hadiah ini. Apalagi ini adalah bagian dari
dirinya. Aku berusaha keras mempertahankan ekspresi biasa saja
meski sekarang di dalam hatiku seperti ada perayaan tahun baru.
Aku tahu dia akan lebih senang kalau aku sedikit lebih
memperlihatkan sikap antusias, tapi aku memang tidak terbiasa
untuk membuatnya senang. Dengan sahabatku itu, aku hanya
akan benar-benar menunjukkan keseriusanku ketika dia merasa
sedih.
Terus terang saja, sahabatku itu namanya Ina dan aku jatuh
cinta kepadanya.

7
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

Di perpustakaan rumahku, ada 1 rak khusus yang


kuperuntukkan bagi Ina. Rak itu penuh berisi buku-buku
tentangnya. Berjilid-jilid, Ina 1 sampai Ina 3. Ada juga yang tidak
murni berisi tentang dirinya, fiksi yang kubayangkan terjadi pada
kami. Sebenarnya aku ingin menyatukan Ina 1 sampai Ina 3, tetapi
saking tebalnya, aku takut aku tidak akan kuat mengangkatnya.
Seperti judulnya, buku itu berisi tentang Ina dan hal-hal yang aku
tahu tentangnya. Seluruh kata-kata yang dia keluarkan selalu
kubawa pulang dan kutempel pada kertas-kertas. Dengan begitu,
aku bisa mengalahkan lupa.
“Kemarin Jose menghubungi aku lagi. Katanya mau ketemu
untuk membahas sesuatu,” katanya.
Ya, terus terang saja, aku benar-benar jatuh cinta kepada
sahabatku itu. Tapi, sahabatku itu mencintai orang lain.
Aku menusuk kuning telurku dengan garpu. Berharap itu
adalah orang yang dia sebut namanya barusan. “Bahas tugas,
kan?” tanyaku acuh tak acuh.
“Iya, dia minta bantuan. Tapi, habis itu kami ngobrol-
ngobrol.”
“Dia hanya memanfaatkanmu,” kataku, berusaha
menancapkan kebencian.
“Dia hanya memanfaatkanku,” kata Ina.
“Kepentingannya hanyalah tugas dan dia berbicara panjang
lebar denganmu untuk membuatmu nyaman,” desakku sambil
berharap kebencian itu tertanam makin dalam.
“Aku tahu kepentingannya hanyalah tugas dan dia
berbicara panjang lebar denganku untuk membuatku nyaman.”

8
Penjahit Telinga

“Berarti kamu tolol.”


“Aku terlalu menyukainya sampai enggak bisa
mengabaikannya.”
“Tapi, dia sudah menyukai orang lain dan orang lain itu
sudah menjadi pacarnya.”
“Yaaa ... kalau sudah berusaha move on tapi tetap enggak
bisa, gimana, dong?”
“Ya itu tadi. Berarti kamu tolol. Bodoh. Goblok.”
Aku akan berterus terang lagi. Aku jatuh cinta kepada
sahabatku, sementara sahabatku itu mencintai seseorang yang
sudah memiliki kekasih.
“Habis mau bagaimana lagi,” desahnya putus asa.
“Dasar tolol.”
Kecuali bibir, seluruh bagian dari diriku bisa memaklumi
Ina. Memahaminya semudah membaca diriku sendiri. Sedangkan
dia memahamiku semudah dia memahami struktur bebatuan di
Mars. Tapi kalau sudah cinta, mau seegois apapun niatnya, mau
sebodoh apapun jadinya, yang penting bisa dekat, kan?
Yaa… habis mau bagaimana lagi…

***

“Aku ke sini untuk meminta jawaban.”


Perempuan itu manis. Dadanya juga besar. Kulitnya yang
kencang dan cerah membuatku bertanya-tanya apakah ibunya
kawin dengan matahari. Terkadang aku ingin mencoba membuka
punggungnya untuk mencari tahu apakah dia ini boneka robot

9
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

yang diprogram untuk mengerjaiku, atau manusia sungguhan.


Habisnya aku heran, masa manusia seelok dirinya mau jauh-jauh
datang ke rumahku untuk menuntut satu jawaban yang
sebenarnya dia sudah tahu?
“Bukankah aku sudah menjawabnya?”
“Kamu tidak mengatakan tidak.”
“Tapi, sudah kubilang, kalau aku menyukaimu, akan
langsung kubilang iya.”
“Tapi, kalau kamu belum mengatakan tidak, berarti masih
ada kemungkinan untukku.”
Sesungguhnya, aku tidak ingin menyakiti siapa pun
perempuan, tetapi terkadang mereka lebih suka disakiti daripada
dibohongi. Jadi, apa boleh buat, aku meninggalkan Riri untuk
mengambil Ina 1 sampai Ina 3 (dengan troli, tentunya), lalu
kuletakkan buku-buku itu di hadapannya. Awalnya dia hanya
melihat sampulnya saja, gambar perempuan yang sama yang
kulukis dengan tinta emas di atas latar hitam. Lalu perlahan
jemarinya yang kurus membuka Ina 1 dan matanya menelusuri
halaman demi halaman. Buku itu mungkin buku paling
membosankan yang pernah kutulis sepanjang sejarahku sebagai
penulis amatir, jadi tidak heran kalau Riri sudah menutupnya di
10 halaman pertama.
“Sekarang aku sedang menulis Ina 4,” kataku.
“Apakah kau menulis sesuatu untukku?” tanyanya dengan
tangan bersedekap di atas paha. Bola matanya yang keabuan
sedikit lebih berair daripada yang pernah kulihat selama ini.
Memandanginya seperti ini membuatku semakin yakin bahwa dia

10
Penjahit Telinga

tidak berasal dari bumi. Rambutnya yang keemasan bergaul


begitu mesra dengan sinar matahari. Wajahnya yang pucat
semakin menampakkan bayangan bulu matanya yang lentik.
Mungkin kalau tidak sedang menyukai orang lain, aku akan
berpikir bahwa dia adalah manusia terindah yang pernah kulihat.
“Ada.” Kukeluarkan notesku dan kubuka halaman
tengahnya.
27 Januari: Bertemu Riri.
Bibir merah mudanya yang kuduga mengandung perisa
stroberi itu langsung merekah. Air di matanya sekejap meresap.
“Kalau begitu, aku masih memiliki kesempatan,” katanya
bersemangat. Aku baru akan menjelaskan bahwa setiap janji
pertemuan dengan siapa pun akan kutulis dalam notes ini, tapi
Riri sudah beranjak berdiri sambil berkata, “Cukup untuk
pertemuan hari ini. Aku senang sekali.” Lalu, dia melambaikan
tangan dan keluar dari rumahku tanpa aku sempat mengatakan
apa pun lagi.

***

Ketika Ina mengajakku bertemu hari ini, aku langsung


mereka-reka apa yang ingin dia perbincangkan. Seperti biasanya,
setiap kali akan membicarakan sesuatu yang serius dengannya,
aku selalu lebih dulu merobek perut kananku, lalu mengambil
hatiku dari dalam sana. Hati itu kucelupkan ke dalam sebuah
ember berisi semen basah, lalu kujemur hingga kering, sebelum
akhirnya kukembalikan lagi ke tempatnya semula.

11
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

Untuk berbagai kemungkinan yang bisa terjadi di


pertemuanku nanti dengannya, aku sudah mempersiapkan
segalanya. Pisau setajam apa pun seharusnya tidak bisa
menembus pertahanan yang sudah kubuat.
“Jadi ... kemarin aku bertemu dengan Jose,” dia memulai
ceritanya dengan kedua tangan diletakkan di atas meja. Aku
menyedot es tehku, sambil membiarkan telinga-telingaku
menangkap seluruh kata-katanya. Untung sekali telingaku ada
empat, jadi makin banyak ruang untuk menampung seluruh kata-
katanya.
“Kami memang lebih banyak membahas tugas, tetapi
kemarin ini berbeda. Aku rasa hubungannya dengan Ivanda
memburuk. Lalu dia mulai membanding-bandingkan kelebihanku
dengan kekurangannya Ivanda.”
“Itu karena dia tidak tahu kekuranganmu.”
“Katanya, aku lebih lucu daripada Ivanda. Juga lebih enak
diajak mengobrol. Katanya kalau sama aku, dia seperti enggak
punya batasan untuk cerita apa pun. Kalau sama Ivanda, dia
kurang bebas. Cuma yang bikin aku kalah dari Ivanda, katanya
aku kurang bisa dandan. Tapi, sebenarnya aku itu cantik, dia
bilang begitu.”
“Daripada bilang begitu ke kamu, kenapa dia nggak bilang
langsung ke pacarnya biar masalahnya selesai?”
“Terus, dia tanya aku, gimana kalau dia putus. Ya aku
bilang, selama hubungan itu masih bisa diselamatkan, ya
pertahankan. Tapi kalau memang sudah enggak nyaman,

12
Penjahit Telinga

daripada dipaksakan, ya lebih baik putus. Siapa tahu ada orang


yang diam-diam lebih sayang.”
“Ya kayak aku ke kamu, kan.”
“Terus waktu dia minta contoh siapa orang yang diam-diam
lebih sayang itu, aku jawab ‘Aku.’”
“Kalau kamu bertanya hal yang sama kepadaku, aku juga
akan menjawab begitu.”
“Terus dia tanya, kalau dia putus, aku akan gimana.” Dia
mengaitkan jari-jari tangannya begitu erat sampai buku-buku
jarinya memerah. “Ya aku jawab…”
“AKU SUKA SAMA KAMU!”
Selantang mungkin aku berteriak, supaya aku tidak
mendengar apa yang dia katakan barusan. Tapi percuma saja, dia
sudah kehilangan kemampuan pendengarannya. Semua orang di
sini tahu bahwa aku menyukainya dan hanya dia yang tidak
mengetahui itu. Semua orang di sini bisa melihat bahwa aku
menyukainya dan hanya dia yang tidak menyadari itu.
Untungnya, semen yang kubuat untuk melapisi hatiku sudah
sangat tebal sehingga aku tidak lagi merasakan sakit hati.
Sekarang, aku menyesali keberadaan kedua telinga
tambahan ini. Aku memang bisa menampung lebih banyak
ceritanya, tetapi di saat itu juga dia akan semakin kehilangan
kemampuannya untuk mendengarku. Dia tidak akan pernah
mengetahui apa yang kusembunyikan dalam hati berlapis semen
itu. Meski di sisi lain aku merasa membuatnya mengetahui itu
hanya akan mengantar persahabatan kami ke halaman terakhir Ina
4 dan tidak ada lagi Ina 5 dan seterusnya.

13
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

Jadi, hari itu juga, seusai pertemuanku dengan Ina, aku


cepat-cepat pulang untuk merobek perut kananku lagi. Aku ambil
hatiku, lalu kupukul dengan palu terbesar yang kumiliki.
Kupukul-pukul sampai sedikit-sedikit balutan semennya mencuil.
Kupukul-pukul lama sekali. Pertahanan yang kubuat sudah terlalu
kuat sampai-sampai aku bingung sendiri bagaimana harus
menghancurkannya. Ketika pada akhirnya pertahanan itu hancur,
hatiku juga ikutan rusak. Patah sana sini. Tidak bisa ditambal lagi.
Tapi, aku tidak peduli. Masih ada seseorang yang bisa menerima
hati ini, meski sudah tidak utuh.
Aku mengambil golok, kemudian membelah hati itu. Tidak
sampai terputus. Hanya supaya aku bisa memasukkan tangan ke
dalamnya dan mengambil nama itu. Mencabut nama itu dari
tempatnya sesulit mencabut sebatang pohon tua dari akarnya.
Telapak tanganku hanya berisi luka dan darah, tapi itu sepadan
dengan hasil yang kudapatkan. Aku berhasil mencabut tiga huruf
itu. Kalau sedikit lagi harus berjuang, mungkin nafasku akan
benar-benar habis. Kubaringkan tubuhku. Persetan dengan lantai
putih yang berubah warna menjadi merah, cuilan semen di sana
sini, potongan hati yang berserakan. Aku lelah. Aku sudah terlalu
lelah. Aku akan menyerah. Sudah cukup sampai di sini saja. Aku
tidak akan lagi berusaha. Tidak akan lagi.
Maka, kuambil sebuah pena dan secarik kertas. Kutulis
nama seseorang yang lain di sana. Kujejalkan kertas itu ke dalam
hatiku, lalu kujahit rapat-rapat. Jahitan yang sudah selesai masih
kulapisi dengan lakban hitam. Baru kemudian aku memasukkan
hati itu ke dalam perut kananku.

14
Penjahit Telinga

Aku bersumpah, ini adalah kali terakhirku mengeluarkan


hatiku.

***

Hari ulang tahunku bertepatan dengan kencan keseratusku


dengan Riri. Dia mengizinkanku menyentuh salah satu buah
dadanya, tapi aku langsung menolak. Daripada hanya salah satu,
aku menginginkan seluruhnya. Biar tidak nanggung. Tapi setelah
itu, giliran dia yang menolak. Pada akhirnya, dia memberikan
kehadirannya sebagai hadiah ulang tahunku.
“Hari ini adalah hari yang paling kusyukuri, karena 25
tahun yang lalu, kamu hadir di dunia ini,” katanya sambil
mengusap punggung tanganku.
“Aku juga bersyukur karena kamu yang ada di hadapanku
saat ini.”
Dia masih sama, cantik dan bersinar. Seperti putri yang
terbuat dari sperma matahari. Di dalam hati yang tidak lagi utuh
itu, dia sudah menjadi yang nomor satu. Dengan syarat, aku harus
melanggar sumpahku. Tiga kali dalam sebulan, aku harus
mengeluarkan hatiku dan memperbarui kertas bertuliskan
namanya. Kertas-kertas itu begitu mudah larut meski aku sudah
menggantinya dengan yang lebih tebal. Bagian paling
menjengkelkannya adalah setiap kali mengambil kertas itu, aku
selalu mengetahui ada sesuatu yang tidak seharusnya tumbuh di
sana, tetapi akarnya selalu ikut tercabut tanganku. Dan akar-akar
itu seakan senantiasa tumbuh kembali, seperti tidak mengenal

15
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

mati, jadi aku harus sering-sering membersihkannya. Lama-lama,


dia bertumbuh semakin lambat. Lambat, lambat, dan lambat,
sampai akhirnya nyaris tidak ada.
“Terima kasih sudah menjadikanku gadis paling beruntung
selama 3 tahun ini.” Bibirnya yang mungil dan kenyal mengecup
pipiku, lalu dia pamit masuk ke dalam rumah. Aku sudah pernah
mencobanya dan dugaanku benar, rasa stroberi.
Sepanjang perjalanan pulang, berkali-kali kupatri dalam
otak bahwa aku adalah pria paling beruntung selama 3 tahun
belakangan. Dicintai oleh gadis berdada besar dan berbibir
sempurna yang mau menerima hatiku yang sudah compang-
camping, kurang beruntung apa coba?
Barangkali, hati yang sudah patah di sana-sini adalah
sumber masalahnya. Biarpun masih bisa digunakan, tetap saja
tidak sempurna. Karena itu aku selalu merasa tidak utuh meski
apa yang kupunya saat ini adalah yang paling lengkap yang bisa
kumiliki.
“Mas, tadi ada yang kirim paket.” Iyah, pembantuku,
langsung menghampiriku begitu aku selesai memasukkan mobil
ke garasi. Di tangannya ada sebuah kotak berbalut lakban cokelat
dengan tulisan: Fragile.
Seusai menerima benda itu, aku langsung membawanya ke
kamar. Tadinya aku berniat membukanya besok, karena paket itu
tampaknya sulit dibuka. Tapi, nama pengirimnya membuatku
langsung mengambil gunting dan membuka paket itu dengan
membabi buta.

16
Penjahit Telinga

Di dalamnya, ada sebuah kotak merah berisi sepucuk surat


dan sebuah hati yang koyakannya tidak jauh beda dengan
kepunyaanku. Pertama, kubuka surat itu. Hanya ada sebaris
kalimat.
Selamat ulang tahun!
Kedua, kubuka hati yang sudah dijahit di sana-sini itu. Di
dalamnya, aku menemukan sebuah nama. Bukan di kertas, tapi
terukir pada dindingnya.
Namaku.

17
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

Guns and Roses


Karya Natasya Habibah

“T
idak! Cepat menjauh dari sana, berengsek!”
Fred menoleh ke arah teriakan itu, dan sebelum
sempat memproses semuanya, sinar terang dan
dentuman yang keras berhasil menghempaskan tubuhnya dengan
mudah sejauh beberapa meter. Kemudian yang tersisa oleh
ingatannya hanyalah kesunyian yang memekakkan. Gelap.

***

Some folks inherit star spangled eyes


Ooh, they send you down to war, Lord
Creedence Clearwater Revival, Fortunate Son

Suara raungan roda tank membangunkan jiwanya dari alam


bawah sadar. Hal pertama yang tertangkap oleh matanya adalah
kain terpal yang tampak gelap menaungi dirinya. Beberapa detik
kemudian disadarinya bahwa tubuhnya berbaring telentang di
atas kain tandu yang tergeletak di tanah berlumpur. Sialan. Dia
mengingat apa yang terjadi sebelumnya.
“Whoa, tenang saja, Bung. Kau sudah pingsan hampir
seharian.”

18
Penjahit Telinga

Sebuah tangan milik seorang serdadu berseragam hijau tua


menahan tubuhnya untuk kembali berbaring di kain tandu yang
kasar. Dilihatnya seragam tersebut tampak kumal oleh bekas
lumpur dan percikan darah yang mengering. Sebuah emblem
putih dengan tanda plus merah membalut lengan kirinya.
“Apa yang terjadi?” tanyanya. Kepalanya masih terasa
pening.
“Ada bom meledak di dekatmu. Kau beruntung tidak
terlalu dekat. George dan Phil, sayangnya, mereka tidak selamat,”
dia berkata datar sembari menawarkan segelas air yang segera
ditenggak Fred dengan rakusnya.
“Beberapa langkah lebih dekat saja mungkin jasadmu
sekarang akan terbujur di sana.” Serdadu tersebut menoleh
dengan mata menerawang ke arah luar tenda. “Bersyukurlah, kau
bahkan tidak terkena luka serius apa pun, hanya beberapa luka di
badan dan mungkin lebam di kepalamu akan terasa sakit sampai
berhari-hari,” lanjutnya.
Fred meraba rambutnya dan dirasakannya benjolan besar di
balik tempurung kelapanya. Oh ya, dia yakin itu akan sakit.
“Dia menyelamatkanmu, kau tahu. Kabarnya, seorang
Vietkong hampir menghunuskan ujung bayonetnya ke tubuhmu
yang tak sadar sebelum Ross menghancurkan tengkorak bajingan
itu dengan senapannya. Ross menggila, entah sudah berapa
banyak bedebah macam mereka yang mati di tangannya.”
“Ross? Siapa Ross? ”
“Kau serius?” tanyanya dengan heran. Serdadu itu
menganggap Fred bercanda. Namun, setelah melihat tatapan

19
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

pasiennya yang penuh tanya, dia meneruskan, “Namanya Adam


Ross, panggil saja Ross karena terlalu banyak nama Adam di sini.
Dia sudah setahun berperang di Vietnam, semua orang
mengenalnya kecuali kau. Berapa lama kau ditugaskan di tempat
ini?”
“Aku baru saja dipindahkan ke lokasi ini seminggu yang
lalu setelah hampir 6 bulan di Saigon,” ujar Fred lelah. Dia
menatap kosong ke kain tandu di sampingnya. Seorang serdadu
tergeletak tidak bergerak, entah sudah mati atau tidak, Fred tidak
ingin memastikan. Antara yang hidup dan yang mati lagipula
sama saja baginya, tanpa jiwa.
18 November 1965.
Hari itu akhir dari pertempuran 4 hari di lembah Ia Drang.
Dan Fred baru ingat bahwa hari ini dia resmi menginjak 20 tahun.

***

Pria itu menyisir rambutnya yang berwarna cokelat pasir


dan kemudian keluar dari tendanya yang kumuh menuju padang
terbuka di mana beberapa serdadu terlihat duduk mengitari api
unggun kecil. Dia duduk menyendiri di dekat api yang masih
samar-samar berkobar. Diraihnya kaleng ransumnya dengan
sebongkah ranting dan mengeluarkannya dari tumpukan kayu
yang telah menghitam terkena api. Tidak ada yang mengajaknya
berbicara. Dia berfokus untuk hal yang lebih penting, membuka
paksa tutup kaleng itu dengan pisau lipat miliknya. Baru sejenak
dia menyantap makan malam sembari menulis catatan di buku

20
Penjahit Telinga

saku miliknya yang bersampul kulit kecokelatan, dan tiba-tiba


seorang anak muda berjalan mendekat.
“Kau Adam Ross? Nama saya Frederico Johnson, panggil
saja saya Fred.”
Dari suaranya yang terdengar seperti belum lama pecah,
anak ini tidak mungkin lebih tua dari dari adiknya, Sam, yang
tewas di Van Tuong.
Dia mendongak dan benar saja, anak-anak. “Apa maumu,
kid?”
“Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih karena telah
menyelamatkan nyawaku. Seorang paramedis bilang kau
membunuh seorang Vietkong yang ingin menusukku di saat aku
pingsan karena ledakan bom, dan kau sendiri membawaku di atas
pundakmu dan menaruhku di tempat aman. Untuk itu aku sangat
berterima kasih, Sir. Aku berhutang nyawa kepadamu.” Anak itu
menatapnya kagum dan Ross segera mengingat kejadian kemarin.
“Kid, apakah kau tuli? Aku kemarin meneriakimu dan
kedua temanmu untuk menjauh dari daerah itu berkali-kali,
Vietkong memasangi tempat itu dengan ranjau. Kau dan kedua
teman bodohmu dengan tololnya melangkah ke jebakan mereka.
Aku tak tahu masalahmu tapi kalau kau punya keinginan bunuh
diri, kau datang ke tempat yang tepat!” ujarnya dengan nada
tinggi.
Dilihatnya ketakutan terbaca dari raut wajah anak itu dan
Ross sedikit menyesal dia telah bersikap keras. Tapi, perang selalu
keras dan penuh darah, tidak ada gunanya untuk bersikap lembut.
Setidaknya bukan di sini, di tempat ini.

21
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

“Maafkan aku, Sir. Aku bahkan tidak terlalu mengenal


kedua temanku yang telah tewas. Saat itu, aku berpikir kalau aku
harus mengikuti mereka dan berusaha tidak mengacau. Aku baru
bertugas selama 6 bulan di sini, dan yang kutahu hanyalah
menekan pelatuk dan musuhmu mati. Tapi, aku bahkan belum
membunuh satu Vietkong pun sampai saat ini dan tiba-tiba
mereka memerintahkan peletonku untuk bergabung di Ia Drang
karena mereka kekurangan orang. Ini perang besar pertamaku dan
yang kulakukan hanyalah pingsan dan merepotkan kau. Aku
berjanji tidak akan ceroboh dan menjadi beban lagi, Sir.” Anak itu
menjawab dengan kepala tertunduk, melihat sepatunya berpijak
pada tanah yang terkotori oleh abu api unggun.
Ross melihat anak itu sekali lagi dan dia teringat dengan
adiknya. Betapa miripnya anak ini dengan Sam. Postur jangkung
yang sama, rambut cokelat kemerahan yang sama, ketakutan dan
kepolosan yang sama. Dirasakannya amarah dalam dirinya yang
sedikit demi sedikit mencair.
“Pertama, berhentilah memanggilku dengan sir. Aku
merasa seperti para keparat yang memulai perang tidak masuk
akal ini. Kedua, kau akan menemaniku dalam tugas-tugas
berikutnya. Aku tidak suka membiarkan seorang anak Amerika
mati begitu saja di tanah asing ini. Aku tidak ingin
membayangkan ibumu menerima surat berita kematian anaknya.
Dan yang terakhir, kau harus berjanji mematuhiku karena aku
lebih baik darimu untuk urusan membunuh, dan juga karena aku
lebih tua darimu. Mengerti?”
“Aku mengerti, Ross.”

22
Penjahit Telinga

“Baiklah. Beberapa hari lagi kau ikut denganku untuk


menjaga perbatasan. Aku akan bicara dengan Kapten untuk
memasukkanmu dalam timku.”
Begitulah, percakapan singkat malam itu berakhir.
Sejak saat itu Ross dan Fred selalu bertugas bersama. Di hari
ke-18 setelah pertemuan mereka, Fred berhasil membunuh
Vietkong-nya yang pertama. Dan di akhir tahun, sedikitnya 7
nyawa telah mati di tangannya. Fred sadar dia bukan anak-anak
lagi.

***

Saat itu awal Maret 1968 di Khe Sanh, Ross sudah Fred
anggap sebagai sahabatnya. Hatinya merasa berat ketika
menerima kabar bahwa sahabatnya itu akan dipulangkan di akhir
atau pertengahan tahun. Masih tersisa satu tahun lagi untuk
dirinya di Vietnam. Dilihatnya Ross menulis sesuatu di buku
sakunya seperti ritual yang selalu dia lakukan tiap malam.
“Apa, sih, yang sebenarnya kau tulis? Untuk C kah?”
Pertanyaan itu terlontar secara tiba-tiba dari mulutnya yang masih
penuh dengan daging dari kaleng ransumnya.
“Kau bilang apa?” tanya Ross kaget seakan selongsong
peluru telah menyambarnya.
“C. Aku pernah mendengarmu mengigau dan kau selalu
menyebut namanya. Apakah dia kekasihmu?”

23
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

“Jangan kau sebut-sebut dia di sini kid. Jangan di sini,”


jawab Ross tegas dengan buncahan emosi yang tampak jelas
tertahan.
“Maafkan aku Ross, aku terlalu banyak bicara.”
Melihat Fred yang langsung diam, akhirnya Ross menyerah
dengan rahasianya. Lagi pula, Fred sudah bagai adiknya sendiri,
dia selalu percaya pada adiknya.
“Dia kekasihku,” ujar Ross memecah kesunyian di malam
itu. Guratan pensil di kertas bukunya masih terdengar.
Fred langsung berhenti dengan makan malamnya dan mulai
memperhatikan pria yang duduk di seberangnya. Ross sama sekali
irit bicara dan sangatlah sebuah keajaiban dia menceritakan hal
pribadinya.
“Aku mencintainya, kid. Dia kuliah di Stanford dan belajar
hukum. Bayangkan itu, orang sepertiku mendapatkan orang
seperti dirinya. Aku ingat benar ketika kami bertengkar hebat
setelah aku mengatakan kepadanya kalau aku mendaftar untuk
perang ini. Kukira aku ke sini untuk membela tanah airku dan
berperang dengan para tentara Vietnam, dan yang terjadi di sini
ternyata aku mendaftar untuk membunuh para petani. Aku
membuat C berjanji untuk tidak saling menyurati ketika aku di
sini. Aku tidak tahan jika sedikit saja ada bagian dari C di
peperangan ini akan membuatku lupa dengan perang, dan hanya
menyisakan untukku keinginan untuk pulang. Karena itu setiap
malam aku selalu menulis di buku ini untuk C, menceritakan apa
saja yang telah terjadi padaku di sini karena aku yakin saat pulang
nanti yang ingin kulakukan hanya hidup bersamanya dan

24
Penjahit Telinga

membuang segala ingatan tentang tanah terkutuk ini. Dia bisa


membacanya sendiri kalau dia mau.”
Ross berhenti untuk meletakkan pensil serta bukunya dan
memasukkannya lagi ke kantong seragam tentaranya lalu
melanjutkan cerita.
“Aku harus merahasiakan hubungan kami berdua. Anggap
saja hubungan kami ditentang dan aku pernah mendapat pukulan
dari sekelompok bedebah. Aku nyaris pingsan jika saja tidak ada
polisi yang lewat dan membuat mereka lari terbirit-birit. C itu
spesial, aku rela saja dipukuli berkali-kali, itu sepadan. Kami
berencana akan pindah ke Alabama setelah semua ini selesai.
Setelah C menamatkan kuliahnya dan menjadi pengacara, kami
berencana akan membeli rumah di sana. Ada rumah dijual di
dekat pinggiran kota dan man, rumah itu akan menjadi tempat
yang ideal bagi kami berdua. Ada pohon sycamore besar di
samping rumah itu, aku menyukainya. Kurasa kami akan
menemukan kedamaian di sana.” Ross mengakhiri ceritanya dan
diam begitu saja.
“Wow bung, kau sangat mencintainya ya? Sangat sial aku
belum mempunyai kekasih seperti kau. Sabarlah Ross, hanya
sebentar lagi dan aku yakin C akan berada tepat di stasiun dan
menjadi orang pertama yang melihatmu turun dari kereta.”
Ross tersenyum tipis. “Aku hanya ingin semua ini berakhir,
kid. Aku berharap perang tidak berguna ini akan selesai. Aku
mendengar para mahasiswa berdemo di Amerika dan aku pun
yakin C juga ikut dalam demonstrasi itu. Kurasakan hanya
sebentar lagi perang ini akan tamat. Aku tidak takut kalau aku

25
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

tidak akan mengenalinya ketika aku pulang nanti. Yang


kutakutkan adalah dia yang tidak akan mengenaliku lagi.”
“Tidak Ross, dia akan mengenalimu. Tenang saja.” Fred
berusaha meyakinkan.
“Bung, aku tidak mengerti kenapa kau merahasiakan ini
semua. Maksudku, bercerita tentang kekasihmu itu cerita yang
menarik. Jadi, C ini kepanjangan dari apa? Cynthia, Clara,
Christina?” lanjut Fred dengan nada mengejek.
“Diam dan tidurlah. Aku tidak ingin kehabisan tenaga
menjawab segudang pertanyaanmu,” dengusnya dan bersiap
untuk tidur.
Fred tertawa pelan dan bersiap tidur. Segera saja kantuk
melahapnya.
Dia tidak menyadari bahwa malam ini adalah yang terakhir
dia bercakap-cakap santai dengan Ross, karena pada tanggal 7
April 1968, Adam Ross tertembak dan dinyatakan tewas.

***

And when you ask them, "How much should we give?"


Ooh, they only answer "More! More! More!" yoh
Creedence Clearwater Revival, Fortunate Son

Fortunate Son dari CCR yang mengalun keras dari speaker


bus membuatnya menggoyangkan kepala mengikuti hentakan
irama lagu. Fred lalu membuka koran yang terletak di
pangkuannya dan membaca headline berita hari itu.

26
Penjahit Telinga

“Amerika Serikat Mulai Menarik Pasukannya dari Vietnam”


Dia meletakkan kembali koran itu dan menenggak air dari
botolnya. Perjalanan jauh di bus yang panas ini membuatnya
sangat kehausan. Bus itu akhirnya berhenti di sebuah halte kecil
dan Fred pun melangkah turun dengan kaki kananya terlebih
dahulu, dan akhirnya menurunkan kaki kiri palsunya. Ada jalan
setapak panjang berdebu dan mengarah lurus menuju sebuah
rumah bercat putih dengan pohon sycamore yang menjulang
tinggi di samping halamannya.
Setelah berjalan beberapa puluh meter, dia sampai ke
beranda rumah itu dan mengetuk pintunya.
Seorang lelaki berkacamata dan berambut gelap membuka
pintu. Mata birunya menyiratkan rasa tanya karena melihat orang
asing yang berkunjung itu.
“Permisi, nama saya Fred Johnson. Saya mencari orang yang
bernama C. Saya sahabat dari Adam Ross dan kami satu batalion
selama di Vietnam,” ucap Fred. Dikeluarkannya sebuah buku saku
bersampul kulit berwarna cokelat dari tas ransel buluk miliknya.
“Sebelum dia meninggal 5 tahun lalu, Ross menitipkan
buku ini untuk saya berikan ke C. Dia menulis alamat rumah ini di
bukunya. Dan baru sekarang aku bisa mengabulkan
permintaannya karena bertahun-tahun aku menjalani operasi dan
memulihkan kondisi jiwaku. Apakah dia ada di sini?” tanyanya.
Fred tidak salah lagi melihat bahwa mata biru lelaki itu
mulai berkaca-kaca. Lelaki itu mengulurkan tangannya untuk
menjabatnya dan berkata, “Namaku Christopher, tapi Ross lebih
suka memanggilku C.”

27
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

Tiba-tiba saja Fred teringat percakapannya dengan Ross


malam itu.
“Aku harus merahasiakan hubungan kami berdua. Anggap
saja hubungan kami ditentang dan aku pernah mendapat pukulan
dari sekelompok bedebah ....”
“Bung, aku tidak mengerti kenapa kau merahasiakan ini
semua.”
Namun sekarang, Fred merasa dia mengerti.
Dilihatnya daun-daun pohon sycamore menari mengikuti
tiupan lembut angin di siang itu, sebuah siang yang cerah di
Alabama.

28
Penjahit Telinga

Johnny Gudel
Karya Irfa Ronaboyd Mahdiharja

K
ota sudah menjemukan. Terlalu berisik dan penuh polusi.
Kujual semua kekayaan di kota untuk menyepi dan
menghilangkan semua masalah turunannya. Kampung
adalah suatu tempat ideal, terutama di daerah pegunungan.
Bertani dan berkebun cita-cita masa muda yang menyenangkan.
Tak ada media sosial, televisi, maupun telepon genggam. Tak ada
perang medsos yang bikin gusar. Tiada televisi dengan tayangan
aneh bin ajaib beserta intrik politik (khususnya mars parpol) yang
membuatku kejang tak karuan. Atau telepon genggam yang berisi
pesan-pesan galau kalian dan juga kiriman video seronok (yang
kadang kurindukan).
Berganti pada kebiasaan pagi hari dengan makan gorengan
atau jajanan pasar, minum kopi, dan sebungkus kretek ditemani
istri. Menjelang siang berkebun atau bertani. Sore hari minum
kopi, buah, dan kretek. Malam hari bercinta atau ikut ronda. Ingin
tahu kabarku, ya tinggal datang ke sini. Aku ingin tahu kabar
kalian, ya turun gunung lalu masuk warnet. Semua aman,
tenteram, adem, ayem, dan sentosa.
Kenikmatan itu ternyata hanyalah sementara. Lama-
kelamaan aku heran lihat orang kampung. Masalah sepele sering
ditanyakan. Mulai dari cara buat pacebuk, lihat yucup, tips

29
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

mendapatkan beasiswa pemerintah, sampai cara memasang wifi.


Dan terakhir Pak RT minta diajari membuat proposal kegiatan
desa. Masya Allah. Mereka hanya mau tahu bahwa aku dari kota
dan berpendidikan. Orang berpendidikan identik dengan tahu
banyak hal. Tanpa peduli gelar apa yang kumiliki. Rencana
menyepi di kampung menjadi sia-sia.
Pagi yang seperti biasa: makan pisang goreng, minum kopi,
dan sebungkus kretek ditemani istri sambil membantu anak yang
siap berangkat sekolah. Anak satu ini tak mau kuantarkan ke
sekolah. Alasannya sepele: tak bisa mengebut seperti emaknya.
Masih kecil sudah ingin kebut-kebutan. Kalau besar mau jadi apa
dirimu, nak? Perari? Dukati? Eh, anakku manusia bukan mesin.
Tetapi, yang cepat, kan, mobil atau motornya, bukan orangnya.
Ah, tahulah. Intinya begitu. Seandainya Ia tahu bila bapaknya
telah kehilangan teman gara-gara kebut-kebutan di jalan.
Kali ini si Johnny Gudel yang mengusik pagiku.
Panggilannya memang begitu. Sedikit orang yang tahu nama
aslinya. Dan aku tak termasuk yang sedikit itu. Johnny andal
dalam mengembangbiakkan kerbau sehingga terkenal dengan
sebutan gudel. Malangnya, ia tak ahli dalam beranak-pinak. Ya
karena dia adalah cowok dan butuh cewek untuk beranak-pinak.
Itulah yang tak dia miliki. Dan aku harus memulai kisah ini dari
sini.
“Begini, Bang.” Ia akan memulai cerita. Aku harap ada
musik yang mengiringinya dalam bercerita. Musik klasik seperti
Lieberstraume milik Franz Liszt cocok. Atau barangkali Hampa
milik Ari Lasso. Putar musiknya!

30
Penjahit Telinga

“Sebentar Johnn, aku bukan abangmu. Kita lahir dari lubang


berbeda. Panggil saja ‘dik’ karena dirimu tampak lebih tua
dariku.”
“Begini, dik. Eh, Aneh kali saya panggil sampeyan adik,
Bang. Masa ketuaan seseorang dilihat dari wajah, Bang?”
“Terserah kamulah.” Padahal kata sampeyan itu sudah
menunjukkan bahwa ia lebih tua dariku. Begitulah dialek di
wilayah baru yang kutempati ini.
“Begini, Bang. Tiap hari mama dan papa selalu menanyakan
kapan saya menikah. Mereka selalu mempertanyakan upayaku.
Tadi malam mereka ragu jika saya ini masih normal. Padahal saya
ini sudah berusaha, Bang. Tiap kali saya mendekati wanita, saya
selalu saja ditolak. Yang terakhir, saya mendekati Mira, anak Pak
Kahar juragan cengkeh, yang kuliah di kota. Saya kirim surat pun
tak dibalas ....”
“Sebentar.” Sial, aku salah musik. Lagu Meggy Z yang Jatuh
Bangun lebih cocok. Ganti musik! “Silakan dilanjutkan.”
“Malah ibunya yang membalas bahwa Mira harus fokus
kuliah. Berulang kali ku-SMS tak dibalas. Kukerahkan semua
perhatianku kepadanya. Dia tak merespons sama sekali.”
“Kamu SMS dia?”
“Iya, Bang.”
“Heh, sekarang tahun berapa? SMS itu sudah enggak laku
dipakai orang, kecuali operator promo. Sekarang, orang lebih
sering chatting. Memangnya bagaimana SMS-mu?”
“Iya, kah, Bang?”

31
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

“Iya lah. Pulsa itu untuk paketan internet. Bukan SMS,


Johnn.”
“Astagfirullah. Terima kasih, Bang!”
“Hei, mau ke mana? Pergi begitu saja. Ceritamu belum
selesai!”
“Pergi beli hape yang bisa buat internetan, Bang.”
Saat itu istriku pulang dari mengantar anak. Ia tersenyum
lihat Johnny. Begitulah ia yang selalu tersenyum pada siapa pun.
“Jam setengah tujuh belum ada toko hape buka, Johnn. Sini!
Ceritamu selesaikan.” Akhirnya, si Johnny duduk lagi. Aku benci
jika ada orang bercerita tak tuntas. “Minta tolong buatkan kopi
untuk Johnny, bu.”
“Begitulah, Bang. Dia tak merespons. Saya menyerah. Ingin
rasanya menangis.”
“Pertanyaanku belum kamu jawab.”
“Yang mana, Bang?”
“Bagaimana isi SMS-mu ke Mira?”
“Saya SMS ke dia. ‘Mira udah makan? Jangan lupa makan
ya. Mira jangan lupa tidur ya. Jangan tidur malam-malam’. Ya,
begitulah, Bang.”
“Lha, memangnya Mira anak kecil? Kalau lapar pasti akan
makan. Kalau mengantuk pasti ya tidur sendiri. Jangan bodoh,
Johnn. Kasih puisi!”
“Pernah, Bang. Tetap saja tak direspons. Mungkin memang
harus beli hape yang bisa chatting.”
“Isi puisinya bagaimana?”

32
Penjahit Telinga

Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah hape tipe


lama. “Begini isinya, Bang,” Johnny berdiri dan membacakan
sebuah puisi,
Lihatlah kerbau itu, mirip aku
Dia selalu menunduk, di hadapanmu
Dia memang lamban, tapi kuat
Memperjuangkanmu
Mempertahankanmu
Aku tertawa keras mendengarnya. Seketika itu juga istriku
tercinta menaruh kopi dan menyuruhku diam. Aku pun diam.
Dan istriku ikut nimbrung seraya berkata, “Bagus, kok, Johnn.”
“Eh, romantisnya di mana, bu?” tanyaku pada istriku.
“Udah, diam. Mendingan si Johnny membuatkan puisi ke
orang yang dia suka,” ujarnya sambil melirik aku.
“Terima kasih, mbak.”
“Tetapi, Johnn, bukannya dulu kamu hendak menikah
dengan perempuan desa sebelah?” tanya istriku.
Aku bingung dari mana istriku mengetahui informasi yang
tak kuketahui. Aku sendiri tidak tahu bila si Johnny hendak
menikah bahkan punya kekasih. Pembicaraan Ibu-ibu memang
susah ditebak arahnya.
“Iya, mbak. Tapi, enggak jadi. Dia memilih pria yang lebih
mapan.”
“Mungkin juga lebih ganteng,” selaku.
“Husssh!” Istriku berubah menjadi demon dengan tatapan
mendelik yang menakutkan.
“Bang, menurut sampeyan, Apa itu cinta sejati?”

33
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

Aku diam sejenak untuk mencari penjelasan yang dapat


Johnny tangkap dan mengerti. Ternyata tidak berhasil. “Wah, sulit
menjelaskannya. Aku akan menjawabnya jika kau melakukan apa
yang kusuruh.”
“Apa itu, Bang?”
“Pergilah ke hutan pinggir desa sana. Carilah pohon yang
paling besar dan tinggi yang ada di hutan. Tebanglah pohon
tersebut. Sebelum kau tebang, peluklah pohon tersebut dan baru
kemudian kau tebang. Kau harus menebangnya sebelum matahari
terbenam. Ingatlah, jangan mundur atau balik sebelum kau tebang
pohon itu. Aku akan mengecek pohon itu esok paginya”
“Wuih! Untuk jimat penarik wanita, kah?”
“Betul.”
“Sekarang, Bang?”
“Besok saja.”
“Siap, Bang.”
“Ya, sekarang Johnn! Mumpung masih pagi.”
“Kopinya bagaimana, Bang?”
“Cepat habiskan!”
Setelah menghabiskan kopi, si Johnny berlari pergi. Ia lupa
salam dan berterima kasih kepada istriku. Ia perlu berterima kasih
karena istriku telah mengeluarkan tenaga membuatkan kopi
untuknya.
“Mengapa papi menyuruhnya mencari pohon?” tanya
istriku dengan raut kebingungan.
“Bu, jangan panggil papi. Kan berkali-kali kuingatkan kita
sudah di desa. Panggil Pa’e saja.”

34
Penjahit Telinga

“Nggeh.”
“Aku teringat kisahnya Plato mencari cinta. Jadi, kusuruh
dia pergi ke hutan mencari pohon.”
“Oalah. Kenapa tidak diceritakan kisahnya saja? Kasihan
harus ke hutan.”
“Bu, Johnny tak akan paham kalau diceritakan. Dia baru
mengerti kalau sudah dapat pengalaman. Yang terakhir, Dia tak
kenal Plato karena kenalnya Parto.”
“Kalau dia tanya Plato itu siapa, ya dijelaskan, to.”
“Kalau dia bertanya Plato itu siapa akan kujawab nama
seorang teman di kota.”
Istriku tersenyum sambil mencubitku. “Bilang saja bahwa
Plato itu seorang arif bijaksana pada zaman dahulu. Jangan
kebanyakan bohong dan membodohi orang.”
Aku hanya tersenyum simpul. Oh, indahnya hidup di
kampung dapat menghabiskan waktu bersama keluarga. Apabila
kalian tak pernah membaca kisahnya, aku dengan senang hati
akan sedikit mendongeng.

***

Alkisah. Plato yang jomblo mencari seorang pasangan. Ia


bertanya pada Sokrates, gurunya, yang duduk dan kecapekan
setelah keliling polis. “Bagaimana mencari pasangan hidup sejati,
guru? Mengapa saya sulit menemukannya? Saya kebelet pipis
menikah.”

35
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

“Aku akan menjawabnya setelah kau mengikuti


perintahku,” kata Sokrates sambil mengatur napas. Perintah
Sokrates kepada Plato kurang lebih sama dengan perintahku
kepada Johnny.
Biar tidak bertele-tele, akhirnya si Plato berangkat ke hutan
dengan diiringi lagu Eye of the Tiger. Hutan itu merupakan hutan
yang konon terkenal angker di daerah polis. Tiada warga polis
yang berani bermalam seorang diri di sana. Perbekalan siap dan
kapak sudah di tangan. Dia harus menyewa kapak itu dengan
sekantung gandum cockranch rasa coklat pada seorang penebang
kayu. Plato pun memasuki hutan sambil melihat-lihat pohon. “Ini
lumayan tinggi, tapi kecil.”
Ia terus masuk ke dalam hutan yang semakin lebat. Ia
mengamati dari bawah sampai ke atas sembari membandingkan
dengan pohon-pohon di sekitarnya. Sampai Ia menemukan sebuah
pohon yang tinggi dan besar kemudian memeluknya. Plato
berpikir sambil memeluk pohon, “Mungkin di dalam hutan sana
ada yang lebih tinggi.”
Plato tak jadi menebangnya. Ia melanjutkan perjalanan
menyusuri hutan yang lebih dalam. Ditemukannya pohon yang
lebih besar dan tinggi lalu memeluknya. “Di depan sana pasti ada
yang lebih tinggi dan besar,” batin Plato.
Tiap menemukan pohon yang tinggi dan besar akan ia
bandingkan dengan pohon yang pernah ditemukannya.
Pikirannya selalu mengatakan bahwa di depan pasti ada yang
lebih besar dan tinggi. Hal tersebut berulang terjadi. Sampai ia
tersadar bahwa waktu sudah sore dan batas hutan akan berakhir.

36
Penjahit Telinga

“Celakalah saya. Waktu sudah sore. Batas hutan akan berakhir.


Saya harus menemukan pohon yang paling tinggi dan besar di
depan mataku. Aku telah dilarang mundur dan kembali.”
Plato pun menebang pohon yang ia rasa paling besar dan
tinggi. Lalu ia bawa pohon itu ke hadapan Sokrates. Jangan tanya
saya bagaimana Plato melakukannya. Bisa jadi Plato adalah
seorang raksasa, atau seorang manusia biasa berkekuatan super.
Ini, ini yang paling logis: Ia memiliki teknologi yang dapat
membawa pohon dari dalam hutan.
“Oh, jadi ini pohon tertinggi dan terbesar yang ada di hutan
polis?”
Plato tertunduk malu. “Tidak, guru.” Ia menceritakan hal
yang dilaluinya. Bila di awal kamu berpikiran Plato akan bertemu
dedemit atau memperoleh kekuatan super, kamu salah.
“Pohon itu adalah pasangan. Hutan adalah kehidupan.
Langkah kakimu adalah usiamu dan malam batas hidupmu. Kau
tak dapat kembali dan mengulangi apa yang telah kau lalui.
Peluklah dan pertahankan pohon itu lalu bersyukurlah karena
yang di depan belum tentu lebih baik dari yang sekarang.”
“Terima kasih, guru.”

***

“Begitulah kisahnya si Plato, beb.”


“Bab Beb Bab Beb. Di desa saja manggil beb.”
“Tak ada yang dengar kok, beb.”

37
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

“Tapi, tadi kan si Johnny cari cinta sejati. Bukan pasangan


hidup. Masak cinta sejati dibatasi dengan pasangan hidup.”
“Dalam pandangan anak kekinian, cinta ya kepada
pasangan. Bukan cinta kepada Tuhan atau keluarga.”
“Hmmm ....” Ia membereskan meja yang tercecer sampah
dan hendak membawa masuk gelas dan piring yang kosong.
“Aku turun gunung dulu, beb!”
“Ke mana?”
“Warnet. Kangen masyarakat gua, saudara beriman.”
“Jangan kelamaan karena nanti dipakai jemput.”
“Siap.”
Ini gara-gara Plato membuatku kangen masyarakat gua.
Masyarakat yang selalu memikirkan sesuatu dan nyaman di
dalam gua karena di luar itu berbahaya. Semenjak enam bulan
pindah rumah lama tak menjalin komunikasi.
Aku telusuri jalanan kota untuk menemukan warnet.
Sesekali berhenti dan bertanya. Ke sana dan ke mari membawa
alamat yang khawatir palsu. Oh, ternyata asli. Apesnya, banyak
warnet yang bangkrut dan tutup. Aku dibuat frustrasi dan
kuputuskan untuk pulang ke rumah. Lebih baik kubujuk si Johnny
untuk membeli telepon genggam yang bisa internetan supaya
dapat kupinjam.
Pada jalan menuju rumah kulihat sekilas orang dewasa yang
tersedu-sedu macam anak kecil. Aku berhenti untuk menanyainya.
Ini bukan kota. Kita diwajibkan tolong-menolong dan gotong-
royong. Paham?

38
Penjahit Telinga

“Loh, kamu Johnn! Bukannya kamu ke hutan. Kenapa


menangis macam anak kecil?”
“Ternyata banyak orang pakai jimat penarik wanita, Bang.
Hutannya sudah gundul ditebang. Pantesan saya tak laku-laku.”
Putarkan aku lagu Pupusnya Dewa, eh bukan, Manusia
Bodoh milik Ada Band atau sejenisnya. Terserah kalian, cepat
putarkan!

39
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

Dua Sosok, Lima Indera


Karya Joanna Dian Oktavianie

N
apas lelaki itu memburu. Sosok lain dalam tubuhnya
terbangun setelah tidur panjang. Sosok yang menyebut
dirinya bernama Bisma. Maka itulah rupanya; yang
matanya segera menyalang pada wajah yang berjarak dua meter di
hadapannya. Muka yang serupa, hanya rambut-rambut tipis yang
tumbuh pada dagu dan pipi belakangnya yang membedakan.
Dengan jijik Bisma melihat rambut-rambut tipis tersebut. Dia Heri,
saudara kembar identik dari pemilik asli tubuhnya.
Yakin dirinya akan menang, tanpa ragu ia menerjang. Dia
tangguh dan kuat, tidak seperti Heru, Si Kepribadian Utama.
Dalam beberapa kali hantam, Heri sudah nyaris jatuh terkapar.
Heri tertawa, lelaki psikopat itu masih bisa tertawa nyaring.
Memperlihatkan gigi-giginya yang berdarah akibat serangan
Bisma. Bisma geram dan terus menghajarnya tanpa banyak bicara.
Mendesaknya ke dinding gunung. Tubrukannya cukup kuat
hingga kerikil berjatuhan ke atas tubuh mereka, namun tidak
dipedulikan.
Leher Heri sudah berada dalam cengkeramannya ketika
telinga mereka menangkap suara derap kaki berlarian mendekat.
Awalnya samar. Lambat laun kian jelas. Lalu muncul tiga orang
berseragam di antara gelapnya malam. Mereka berteriak dan

40
Penjahit Telinga

meniupkan peluit panjang, bersahut-sahutan. Bisma Si


Pemberontak, mana mau berurusan dengan hukum. Dia mendesis
kesal. Cengkeramannya dari leher Heri, dia lepaskan. Segera, dua
lelaki berupa serupa tersebut berlari memisahkan diri.

***

“Kau sudah siap?” tanya Heri tenang. Nadanya mengejek,


tapi yang ditanya tak merasa. Dia hanya mengangguk mantap.
Lalu mereka bergerak merayap perlahan. Bersembunyi di balik
tembok rumah yang berjarak sekitar sepuluh meter dari rumah Si
Calon Korban. Ini sasaran mereka yang keempat, yang terakhir.
Kalau mereka gagal, korban satu, dua, dan tiga bisa ikut bicara,
meski sudah tak bernyawa.
“Saya tidak akan gagal ....” katanya seraya memperhatikan
calon korban yang sudah masuk rumahnya dalam kondisi
setengah mabuk. Lalu menengok, “Habis ini, kalian bersiaplah!
Giliranmu dan Heru segera tiba.” Kali ini terdengar seperti
gertakan, namun tetap diakhiri dengan senyumannya yang khas.
Seutas senyum palsu yang ditariknya begitu lebar. Hingga
membentuk garis-garis senyum yang dalam. Dia selalu berusaha
terlihat ramah. Entah supaya apa.
“Adikku yang malang. Kenapa juga harus berbagi tubuh
dengan seorang bujang yang harus kusingkirkan?” gerutunya
kepada diri sendiri.
Heri terdengar sedih, tapi itu tidak mungkin benar. Bisma
sangat mengenal Heri, dia tidak mungkin berubah. Ingatan Heru

41
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

tentang keburukan saudara kembarnya itu tersimpan rapi dalam


memori Bisma. Sejak awal kemunculannya, Bisma selalu mencari
cara untuk menantang Heri. Ia selalu menanti-nantikan saat itu.
Waktu di mana dia bisa membalaskan perbuatannya terhadap
Heru. Beberapa hari yang lalu, dibuatnya sebuah keputusan yang
penuh resiko. Dia menghubungi Heri dengan dalih meminta
bantuan. Bisma beralasan ingin membuat perhitungan terhadap
teman-teman judi yang telah menjebak Heru.
“Oi, Bujang! Ada apa lagi kau hubungi saya?” tanya suara
di seberang. “Mau menantang bertarung? Memang kau mampu?”
dia terkekeh mencemooh. Bajingan tengik, batin Bisma.
“Aku butuh bantuanmu,” jawab Bisma tanpa basa-basi.
“Lain hari kau tantang saya, hari ini kau tiba-tiba memohon
bantuan? Apa kau tidak punya harga diri?” Heri diam menunggu
tanggapan, tapi tak kunjung terdengar. Akhirnya Heri
memutuskan untuk menggunakan hening tersebut untuk berpikir.
Lalu sambungnya, “Tapi itu tidak gratis, Bujang ....” kata Heri.
Terdengar jelas bahwa dia sangat senang.
Bisma masih terdiam. Dia menunggu Heri melanjutkan
kata-katanya.
“Laki-laki atau perempuan?”
“Perempuan. Kekasih para penjebak Heru di tempat judi,”
jelas Bisma datar.
“Adik saya tersayang? Si Keparat itu masih saja suka
berjudi? Katakan padanya, dia itu payah! Suruh dia lihat
kekacauan yang dia buat! Sampai-sampai temannya rela berlutut
memohon kepada saya hahaha ....” tawanya sudah menghambur

42
Penjahit Telinga

duluan sebelum Bisma sempat menjauhkan gagang telepon dari


telinganya. Suaranya menyakitkan pendengaran.
“Jadi?” Bisma menanti jawaban.
“Kirimkan lokasinya! Besok saya datangi.”
“Jangan besok! Sekarang!” perintah Bisma.
Heri mendesah lalu tertawa lembut. Bisma terdiam kaku, ia
merinding. Dikatanya Bisma sungguh tak sabaran. Ada benarnya,
namun dia punya alasan yang kuat.
“Aku tak tahu kapan aku akan tertidur lagi!” terang Bisma
agak gusar. Sebisa mungkin tak terdengar kalau dia sedang
menutupi sesuatu yang lebih besar.
“Maksudmu apa, Bujang?” tanya Heri tak mengerti. Dia
masih belum tahu bahwa Bisma adalah sosok lain yang hidup
dengan meminjam tubuh Heru.
“Sudahlah! Datang saja. Kukirimkan lokasinya sekarang,”
Bisma menutup telepon. Sehabis berkirim pesan, dia berangkat
menuju tempat pertemuan.
Lokasinya di daerah perumahan calon korban mereka yang
pertama. Walau malam sudah mulai larut, daerah tersebut masih
cukup ramai. Bisma duduk berbaur dengan warga yang sedang
berkumpul di sebuah warung. Dia langsung berdiri ketika
mengenali sosok yang tampak mirip dengan dirinya. Janggutnya
sempat membuatnya meragu sejenak. Mereka saling
menghampiri.
Heri terkejut bukan main mengetahui bahwa Bisma adalah
sosok yang dikenalnya sebagai Heru. Dia menelisik bentuk dan
garis wajahnya terkagum-kagum. Lalu menggeleng-gelengkan

43
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

kepala sambil bersiul panjang. Memang, selama ini Bisma hanya


menghubunginya lewat telepon, sedang Heru tidak mungkin mau
bertemu dengan dia.
“Lihat, fisikmu berantakan! Jangan sampai membebani
saya!” celoteh Heri ketika melihat tubuh dan wajah Bisma yang
penuh lebam, tak jelas karena apa.
Bisma diam tidak menanggapi. Dia asyik mengamati
penampilan Heri, terutama sepatu yang dipakainya. Warnanya
merah darah. Itu terlalu mencolok untuk digunakan saat seperti
ini. Dari samping, tampak jelas puncak kepalanya pitak di bagian
belakang. Tubuhnya dibalut jaket tebal berwarna gelap dan celana
jeans belel yang mungkin sudah lama tidak dicucinya. Kemudian
dia terlarut dalam benci akan wajah yang serupa dengannya itu,
yang selalu tersenyum ramah apapun yang sedang dilakukannya.
Wajah milik salah seorang di balik terpecahnya karakter Heru.
Dalam hitungan menit, eksekusi pun dilancarkan tanpa
perencanaan. Bisma yang awalnya hanya ingin menculik, menjadi
was-was ketika di hari ketiga, mendapati korban-korban mereka
sudah tak bernyawa. Heri berpesta tanpa sepengetahuan Bisma. Ia
menghabisi nyawa ketiga perempuan tersebut di tempat
persembunyian mereka. Bahkan Heri sempat memperlihatkan
ginjal-ginjal mereka pada Bisma sambil tertawa-tawa. Lalu
menangis dan mengaku dosa. Beruntung Heru tidak melihat
satupun dari kengerian itu. Dipaksanya supaya dia tidak tertidur.
Hingga malam ini, malam ketiga, Bisma tetap berkuasa. Heru
yang lemah itu tampaknya masih terlalu takut untuk muncul.

44
Penjahit Telinga

Atau bisa jadi, keinginan Bisma yang kuat menahan Heru untuk
kembali menguasai mereka.
“Saya lelah, Bujang .... Mari kita istirahat sejenak!” ajakan
Heri membuyarkan lamunan Bisma. Kala itu, Heri baru saja
mencabut pisau dari dada korban yang terakhir. Nasib korban ini
nahas. Dia tinggal sendirian. Heri melihatnya sebagai peluang
emas. Tak perlu susah-payah memboyongnya ke tempat
persembunyian.
Bisma mengangguk menanggapi ajakan Heri sebelumnya. Ia
mengikuti Heri duduk di kursi samping meja makan. Di
sampingnya, masih tergeletak mayat korban yang sudah tak
berginjal. Tetapi, dia lebih mengwasi pergerakan lelaki jangkung
yang sedang duduk kelelahan di hadapannya itu. Berpatokan
pada sepatu merah yang paling mudah dilihatnya dalam gelap.
Juga sedang mencoba mengukur waktu dengan bijak, bisakah dia
melakukannya sekarang?
Mata Sang Pelindung Heru tersebut masih terus
membayangi sepatu merah lelaki di depannya, ketika kaki-kaki itu
perlahan mendekatinya. Bisma menengadah. Dalam minimnya
cahaya, dilihatnya Heri sedang tersenyum lebar kepadanya.
Diikuti garis-garis wajahnya yang membekas dalam ingatan. Bulu
kuduknya meremang. Bisma memandangnya takjub. Matanya
menyiratkan tanda tanya yang tak pernah diungkapkannya.
“Kenapa kau begitu penurut, Bujang? Kukira kau ini
pemberontak? Heh?” tantang Heri.

45
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

Bisma tak menjawab. Dibalasnya tantangan Heri tersebut


dengan sorot matanya yang tajam. Di hadapan Bisma, senyum
kembali mengembang di bibir gilanya.
“Kau menjebak, Bujang?” Heri mendengus. Ia tertawa kecil.
Perlahan tawanya jadi bahak. Keras dan lama.
Bisma berdiri memasang kuda-kuda ketika pembunuh
psikopat di depannya masih terus tertawa berderai-derai. Lelaki
gila itu tak henti-hentinya mengatakan bahwa Bisma bodoh. Dia
mulai mengasihani Heru yang harus berbagi tubuh dengan lelaki
bodoh. Tapi kemudian dia bercakap lagi pada dirinya sendiri.
“Ya ampun, terang saja dia bodoh, toh otak adik saya
memang tidak mumpuni! Hahahaha ....”
Tak kuasa membendung emosinya lagi, segera Bisma
menghajar hidung Heri. Merasakan sengatan yang luar biasa, Heri
pun berhenti tertawa. Dia menatap tajam pada Bisma. Lalu
bibirnya komat-kamit, sambil tersenyum sinis sesekali.
Masih di dalam rumah korban, dengan mayatnya di
samping mereka, baku hantam terjadi. Tiba-tiba sesuatu dalam
diri Bisma memberontak ingin keluar. Heru ingin kembali
berkuasa. Dengan susah payah, Bisma terus bertahan. Dia harus
memenangkan pertempuran ini dulu! Demi membalaskan seluruh
dendam Heru dan juga dirinya. Meski terdengar aneh, dia ingin
melindungi Heru, seseorang yang sebenarnya adalah bagian dari
dirinya sendiri.
Heri mengangkat kursi di ruang makan tempat mereka
berkelahi. Lalu menusukkan salah satu kakinya ke perut kiri
Bisma. Bisma mengerang hebat dan jatuh tersungkur. Wajahnya

46
Penjahit Telinga

mencium lantai yang sudah digenangi darah korban. Ketika masih


menahan nyeri, tiba-tiba kakinya ditarik kuat. Tubuhnya terseret-
seret di atas lantai. Dia meronta hingga alas kakinya terlepas dari
asalnya.
Tepat ketika diseret melewati pintu, tangan Bisma dengan
cekatan berpegangan pada kedua sisinya. Ditendangnya Heri
secara serampangan. Mendapat serangan yang tak bisa dihindari,
Heri melepaskan cengkramannya. Cepat-cepat Bisma bangkit.
Dengan sisa-sisa tenaga yang berhasil dia kumpulkan, Bisma lari
sekuat tenaga. Tak ada pilihan lain. Prioritasnya kali ini adalah
menjauhkan Heru dari Heri. Di dalam sana, Heru sudah semakin
meronta ingin berjaga. Akan sangat berbahaya jika mereka berdua
bertemu. Mereka bisa mati!

***

Sorot mata yang awalnya sayu dan penuh ketakutan itu pun
sudah berganti dengan sorot yang tajam dan menikam. Dia penuh
luka karena dendam yang selalu dibawanya dalam tidur.
Sepertinya sudah berhari-hari sosoknya tertidur tanpa tahu apa
yang terjadi pada tubuhnya. Lalu kembali terbangun ketika
pemilik tubuhnya sedang berada di tengah jalan beraspal. Dengan
dinding gunung dan rerumputan tinggi di masing-masing sisinya.
Daerah itu dikenalnya sebagai tempat persembunyian Heri. Dia
lebih terkejut ketika melihat dia tengah berhadapan dengan orang
gila itu. Saudara kembar dari kepribadian utamanya yang ternyata
tak bisa ia hindarkan.

47
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

Sekali lagi, mereka harus kembali bertempur. Menyadari


tubuhnya sedang dalam kondisi prima, ia maju menyerang. Bisma
yakin akan menang, andai saja tidak ada tiga orang berseragam
yang datang dengan teriak dan peluit bisingnya. Lagi-lagi dia
harus berlari. Sialnya lagi, dia tak mampu berlaga lebih lama.
Entah mengapa, Heru ingin menguasai situasi kembali. Sangat
kuat. Di tengah pelarian, perlahan dia menghilang. Seakan
diizinkan untuk kabur dari kekacauan yang belum sempat
dibereskannya.

***

Jelas sekali ini bukan Bisma, sorot matanya sayu. Bicaranya


terbata, dia penuh keraguan. Namanya Heru, Sang Pemilik. Kali
ini dia duduk di salah satu deretan kursi di ujung sebuah ruang.
Ruang itu, meski sudah malam tetap menerima tamu asing seperti
dirinya. Beberapa di antaranya berpakaian biasa, hanya satu-dua
orang yang memakai seragam. Seragam yang lain dari tiga orang
yang sebelumnya sempat mengejar Bisma, tapi tentu saja Heru
tidak tahu.
Ketika melihat seseorang yang berseragam, Heru justru
menghampirinya. Tanpa ba-bi-bu, dia langsung minta tolong pada
orang berseragam tersebut. Lalu diantar ke tempat ini; kantor
polisi! Tempat yang justru seharusnya ia hindari. Heru bilang dia
ingin buat laporan, sedangkan orang yang datang bersamanya
ingin melaporkan dirinya.
“Pak Heru!” seorang polisi jaga memanggilnya.

48
Penjahit Telinga

Ia tampak masih linglung. Kemudian seperti terkena


sengatan lebah, ia berdiri dan mengaku kalau namanya adalah
Heru. Dia sudah hampir lupa dengan identitasnya sendiri
barangkali. Entah apa yang belakangan terjadi padanya.
Petugas tersebut mempersilakannya untuk bicara. Juga
seorang hansip--yang sekarang jumlahnya sudah bertambah
menjadi tiga orang--duduk di samping Heru. Menghadap pada
petugas jaga.
“A ... Aku tahu pelaku kasus itu,” lapornya singkat dan
tidak jelas.
“Kasus apa? Tolong jelaskan!” seru polisi berkumis di
depannya. Kumisnya ikut naik turun saat dia bicara.
Dengan terbata Heru menjabarkan kesaksiannya tentang
pelaku kasus pembunuhan berantai yang belakangan ini jadi
sorotan media massa. Korbannya empat orang perempuan.
Awalnya mereka diculik lalu kemudian dibunuh. Keempat
jenazah korban sudah ditemukan meski tanpa ginjal. Pelakunya
belum. Heru tidak tahu bahwa pelakunya adalah saudara
kembarnya dan yang meminta Heri melakukan itu adalah dirinya
sendiri.
Polisi berkumis di depannya dan tiga orang hansip di
sampingnya mendengarkan dengan rasa ingin tahu. Namun
kemudian, tiga orang pria berseragam hijau di sampingnya buru-
buru merasa sangsi. Memori mereka tahu, sikap laki-laki berusia
dua puluhan akhir di hadapan mereka ini menunjukkan
inkonsistensi. Awalnya dia mati-matian melarikan diri dari

49
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

mereka, lalu tiba-tiba datang meminta perlindungan. Mereka


berpikir Heru sedang berdalih saja agar lepas dari kecurigaan.
“Ciri-ciri. Boleh saya tahu ciri-ciri orang tersebut?”
Heru tampak kembali berpikir. Terlihat ragu-ragu ketika
ingin mengungkap kata-katanya.
“Apa saja, ciri-ciri apa saja yang Anda ingat ....” pinta polisi
berkumis dengan nada membujuk. Dia mencoba bersimpatik
dengan kondisi Heru.
Heru berusaha mengingatnya sekuat tenaga. Beberapa
bentuk wajah muncul di ingatannya. Akhirnya dia berhasil
mengingat Heri dalam lautan ingatannya yang sudah dipenuhi
kapal karam.
“Di ... dia seorang lelaki muda, barangkali seumur
denganku. Ummm ... Berjenggot dan bertubuh jangkung. Terakhir
kali, seingatku dia memakai mantel tebal ... dengan celana jeans
dan sepatu berwarna merah menyala seperti ... seperti darah!
Umm ... lalu ... garis-garis mukanya akan terbentuk jelas ketika dia
tersenyum ....” Heru menutup penjelasannya dengan keringat
yang bersimbah di tubuhnya. Tiga orang di sampingnya
memperhatikan dirinya dari atas sampai bawah. Juga mengamati
butir-butir keringat yang mengucur di dahinya. Mereka semakin
curiga.
Polisi di hadapannya mencatat keterangan tersebut. Tadi,
beberapa kali dia sempat ingin memotong penjelasan Heru,
namun selalu diurungkannya kembali. Kini pikirannya bertumpu
pada hal yang lain. Dia mengamati lelaki di hadapannya lekat-

50
Penjahit Telinga

lekat. Heru jengah. Dia undur diri ke kamar kecil. Semua


mengangguk setuju sambil terus mengawasi.
Langkahnya berat karena letih yang ditanggung. Kian berat
ketika menyadari sepatu merah yang dikenakannya saat itu. Persis
seperti yang dipakai Heri dalam ingatannya. Jantungnya berdetak
kencang. Pikirannya bergemuruh. Dia semakin bergegas ke kamar
kecil sebelum ia merasa ditelanjangi oleh kecurigaan.
Di depan cermin, ketika sudah dia basuh mukanya berkali-
kali dan kesadarannya sudah terkumpul, wajah keparat itu
kembali menghantui. Terlihat begitu mirip, hanya tanpa janggut
yang menutupi dagu dan pipinya. Di sana, bayangan cermin
tersenyum kepadanya. Dia membalasnya dengan garis-garis
senyum yang hampir datang terlambat. Sekarang dia tahu dia
merasa marah. Selalu menjadi korban, bahkan karena ulah dari
sosok yang hidup dalam dirinya sendiri.

Jakarta, April 2018

51
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

Kesaktian Batu
Sang Pemimpin
Karya Eka Yuliarti

R
iuh warga Desa Tolak Bala menggema, ingin mengetahui
kandidat terpilih yang akan naik takhta menjadi raja Desa Tolak
Bala ini, pasalnya warga sudah menantikan pesta besar untuk
memeriahkan terpilihnya sang kepala desa.
“Saya kira sulit memilih kandidat yang tepat, karena hampir
semuanya memperlihatkan bukti kesaktian batu tersebut. Namun, ada
satu kandidat yang tidak menunjukkan keajaiban apa pun ketika batu
tersebut ada padanya, seolah-olah ia memang bukan orang yang tepat.”
Desa Tolak Bala adalah desa yang subur tempat panen hasil
bumi yang meruah, sawah terbentang sepanjang mata
memandang, banyak budidaya empang, banyak peternakan, hasil
cocok tanam banyak yang subur, segala rempah, dan beras
melimpah, serta berkehidupan makmur sentosa. Orang-orangnya
ramah-tamah, berbudi luhur, dan sederhana. Bisa jadi kepala desa
yang akan terpilih nanti dicanangkan akan diberi sebagian
budidaya empang, peternakan, bahkan berbidang-bidang sawah.
Para kandidat kepala desa segera dikumpulkan oleh panitia
pukul 9 pagi di pos terpadu desa. Di depan sekian banyak warga
Desa Tolak Bala, 4 kandidat duduk dengan memperlihatkan

52
Penjahit Telinga

mimiknya masing-masing. Pak Danang dengan senyum


bangganya, Pak Jujur yang tak berhenti senyum malu-malu, Bu
Susi yang datar, dan Pak Sardi dengan wajah seperti ingin
menerkam, membuat warga hilang selera kala melihatnya.
Dimulailah acara yang telah bertahun-tahun biasa
dilakukan warga untuk memilih calon kepala desa, acara
berpidato. Kandidat diwajibkan berpidato di depan warga untuk
mengemukakan visi, misi, dan janjinya dengan batasan waktu
pidato maksimal 30 menit. Selain itu, para kandidat juga
diharuskan memberikan hiburan setelah pidato usai. Ini bagian
terpenting, tertulis dalam lembaran panitia, dengan tinta merah.
Tak ingin membuang waktu, karena warga sudah gusar, panitia
penyelenggara pun segera membuka acara dengan pidato singkat,
kemudian mempersilahkan pidato pertama yang akan diisi oleh
Pak Jujur.
Pak Jujur kemudian berdiri dan memulai pidatonya, namun
sekonyong-konyongnya datang seorang pria berusia 30-an yang
langsung mengambil alih mic dari Pak Jujur. Pria tersebut adalah
Pak Surya. Ia berperawakan tinggi dan berbadan tegap, memakai
pakaian yang dimasukkan ke dalam celana, dengan
memperlihatkan ikat pinggangnya, tas cokelat selempang yang
keseluruhan tampak seperti pegawai negeri kata sebagian orang.
Kumis dan jambangnya yang khas, hidung mancung, bentuk
wajah mirip orang Pakistan, tampan menawan. Warga seketika
terhanyut dan memandang pemandangan yang jarang-jarang ini.
“Halooo ... tes ... tes ... yang di belakang masih bisa dengar
suara saya? Oke, saya lanjut. Assalamualaikum warahmatullahi

53
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

wabarokatuh, selamat pagi semua. Sebelumnya saya mohon maaf


kepada ibu-bapak sekalian atas gangguannya tadi. Jadi, saya
berdiri di sini selaku ketua panitia pemilihan memohon maaf
sebesar-besarnya atas keterlambatan saya, karena ada urusan
penting mendadak yang harus diselesaikan. Pertama-tama saya
ucapkan terima kasih kepada kandidat yang sudah hadir di
tengah-tengah kita, panitia yang telah mengatur jalannya acara,
dan warga Desa Tolak Bala yang meluangkan waktunya untuk
menyempatkan hadir dalam acara ini. Saya berpikir bahwa ajang
mengenal para kandidat sebaiknya tidak mesti dilakukan dengan
cara berpidato.”
Warga kebingungan dan kembali riuh karena acara pidato
adalah hal yang biasa mereka adakan ketika masa pemilihan calon
kepala desa yang baru. Warga tidak terpikirkan untuk mengganti
acara tersebut. Dalam kerumunan warga, terlihat lelaki paruh baya
yang tampak masam mendengar hal tersebut, kemudian ia
menyela dengan suaranya dengan lantang.
“Maaf Mas Surya, yang benar saja mengganti acara pidato
ini! Selama ini warga telah menjalankan acara pidato itu turun-
temurun, warga di sini juga sudah merasa klop dengan acara itu,
ya sudahlah jangan dipersulit, aku takut nanti acara berantakan
dan kita malah tidak punya pemimpin desa. Kalau mau diganti,
lalu dengan cara apa?” tegas Pak Karto meragukan Pak Surya.
“Betul itu pak, saya setuju,” ujar Bu Marni, salah seorang
warga menimpali.
Mendengar perkataan tersebut, Pak Surya kemudian
tersenyum sembari mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya

54
Penjahit Telinga

dan diperlihatkanlah barang itu di hadapan seluruh orang yang


hadir. Sebuah kotak hitam sederhana, kira-kira sebesar
genggaman orang dewasa. Warga terpaku dan hening. Pak Surya
membuka kotak tersebut, tampaklah seonggok batu lonjong
bertekstur halus berwarna abu-abu, kebiruan.
“Ini adalah sebuah batu yang di dalamnya tersimpan
kekuatan yang luar biasa. Tampilannya memang seperti ini, tetapi
sungguh batu ini dapat mengungkapkan hal yang tak terduga.
Saya telah mencobanya kesekian kali dalam pemilihan pemimpin
apa pun, dan sudah terbukti kesaktiannya. Kesaktian batu ini
hanya akan terlihat jika digunakan oleh pemimpin desa yang
tepat. Batu ini akan saya berikan kepada para calon kepala desa
dan akan mereka simpan secara bergilir.”
“Selanjutnya, mari kita lihat siapa di antara mereka ini yang
mampu memancing kekuatan luar biasa dari batu tersebut,” ujar
Pak Surya dengan senyum mantapnya.
Para kandidat yang dari tadi mendengarkan Pak Surya,
terlihat berpikir keras, mereka sama-sama mengernyitkan dahi.
Keheningan warga kemudian berubah menjadi sorak sorai
yang menggembirakan. Warga Desa Tolak Bala yang hadir
percaya akan kesaktian batu tersebut dan segera menyebarkannya
kepada warga lain. Kesaktian batu ini kemudian tersiar ke seluruh
penjuru desa, termasuk para sapi.

***

55
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

Kehadiran Pak Karto ke rumah Pak Danang disambut oleh


pemilik rumah dengan wajah gempal dan rambut yang baru saja
disemir. Rumah yang dibangun tidak memiliki tetangga ini
tampak sedikit hidup ketika ada yang mengunjungi. Berlokasi di
depan tempat peternakan ayam miliknya, rumah seluas lapangan
tenis ini adalah saksi bisu kesuksesan pengusaha ayam ini.
“Sudah kau siapkan apa yang kuminta, kan?”
“Beres semua itu, pak, sudah saya siapkan semuanya. Saya
jamin warga bakal percaya dan akan memilih bapak.”
“Bagus, Itulah yang saya inginkan. Buat saya terlihat seperti
Multatuli versi baik.”
“Beres, pak! Omong-omong saya boleh minta kopi, pak?”
Pak Danang kemudian memanggil pembantunya dan
memintanya menyuguhkan 2 gelas kopi beserta 2 piring kulit
ayam goreng. Pagi ini terlihat cerah membiru, dikelilingi
pepohonan yang tinggi, udara yang terhirup membuat segar, di
tengah pedesaan yang sedang musim pemilihan kepala desa.

***

Dikenal ramah oleh para warga, begitulah citra Pak Jujur di


hadapan para warga desa. Hampir-hampir setiap Pak Jujur
berpapasan atau sekedar melewati warga, selalu ada yang
menyapanya, seolah tiada yang bisa menolak keinginan untuk
menyapa Pak Jujur, termasuk anak-anak kecil dan segerombol
domba di lapangan. Peci merah bata adalah ciri khasnya, kemeja

56
Penjahit Telinga

lengan panjang melipis, dan senyum malu-malu yang selalu


dibawanya.
“Selamat pagi. Assalamuaalikum, pak kades,” sapa Pak
Surya ketika berpapasan dengannya.
“Waalaikumsalam, selamat pagi, saya kan sudah tidak jadi
pak kades lagi, pak, kok sampeyan masih panggil saya begitu,
saya jadi enggak enak.”
“Oh iya pak maaf, saya merasa bapak masih cocok jadi
kades sih, pak, lagi pula sewaktu bapak masih menjabat jadi
kades, saya kan sudah biasa menyapa bapak dengan panggilan
kades, pak.”
“Ya sudah jika sampeyan berpikir begitu, saya heran,
sampeyan kan baru tinggal di desa ini akhir-akhir masa saya jadi
kades, kan? Berarti sekitar 5 bulan yang lalu, toh? Tapi, sudah
akrab sekali dengan warga ya, sampai-sampai dipercaya jadi ketua
panitia pemilihan. Weleh-weleh sampeyan ini benar-benar bejo!
Jangan lupa sampeyan dukung saya jadi kades lagi ya, supaya
desa ini semakin maju.”
“Wah, siap pak, bapak baik, sih, pasti saya dukung.”
“Ya sudah, saya permisi dulu mau menjenguk warga desa
sebelah yang sakit, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Wah, benar-benar pemimpin,” gumam Pak Surya yang
terdengar oleh Pak Jujur.
Sepanjang perjalanan, tidak henti-hentinya Pak Jujur disapa
dan diperlakukan ramah oleh para warga. Setapak demi setapak
dalam keramahan warga ia lewati, ketika di penghujung

57
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

perbatasan desa, sembari menghirup bersihnya udara pagi, Pak


Jujur tersenyum lebar, hingga tampaklah giginya yang putih,
dengan kerutan di sekitar mata di wajahnya yang memerah.

***

Pagi-pagi buta para warga dihebohkan oleh kejadian tidak


terduga. Pasalnya, di lapangan rumput besar tempat warga biasa
berkumpul terdapat sebuah gundukan raksasa yang berisi
sembako beserta telur ayam. Para warga pun segera menghampiri
gundukan tersebut dan berniat mengambilnya.
“Wah-wah, saya terkejut! Apa ini? Banyak sekali, tidak
habis pikir, ini seperti berkah! Saya curiga jangan-jangan ini bukti
kekuatan batu sakti itu!” kata Pak Karto sumringah.
“Eh iya betul, pak, mungkin. Memangnya batu itu sedang
dipegang oleh siapa, pak?” tanya Bu Marni penasaran.
“Setahu saya sih, bapak, ibu, batu itu masih ada di Pak
Danang.”
Warga menggangguk dan saling bertatapan. Dari kejauhan
Pak Surya mengamati dan tersenyum. Di sebelah Pak Surya
terlihat Bu Susi yang juga mengamati sambil tersenyum sinis.
Tidak jauh dari tempat Bu Susi dan Pak Surya, tampak Pak Sardi
dan Pak Jujur yang memperhatikan kejadian tersebut dari tepi
lapangan, yang berdekatan dengan jalan.
“Oooh begitu, jadi pak, sekarang, boleh diambil, kan, berkah
ini?” kata Bu Marni kemudian.
“Wah, tentu, bu,” ujar Pak Karto.

58
Penjahit Telinga

Warga pun segera mengambil berkah tersebut dan beberapa


saat kemudian, ludes tinggal sisa-sisa butiran beras dan telur-telur
yang pecah. Sembako tersebut dibagikan untuk warga Desa Tolak
Bala yang membutuhkan, sembari menyiarkan kabar kesaktian
batu yang tengah dipegang oleh Pak Danang.

***

Sudah hampir sejam Bu Susi mondar-mandir di kamarnya


untuk memilih baju yang akan dia kenakan. Akhirnya pilihan
jatuh pada gaun polos panjang berwarna hitam kebiruan
mengikuti bentuk tubuhnya yang langsing. Dilengkapi kerudung
hitam bercorak bunga putih yang menyisakan rambut di dahinya,
Tidak lupa Bu Susi memoles bibirnya dengan lipstik merah
menyala. Ia tampak seperti wanita berusia 30 tahun, padahal
umurnya menjelang 45.
Bu Susi telah hadir dalam acara pengajian ibu-ibu yang
biasa diadakan setiap minggu, selepas asar. Kini giliran rumah Bu
Marni yang jadi tempat berkumpul pengajian itu. Bu Susi memberi
salam dan senyum yang merekah. Begitu anggunnya, menjadi
perbincangan ibu-ibu pengajian yang hadir akan kekaguman
tampilan awet mudanya.
Ketika pengajian dimulai, Bu Susi tiba-tiba menjerit,
jeritannya terdengar sampai ke luar, tetangga Bu Marni
berdatangan. Kemudian ia duduk diam dan menunduk.
Digenggamnya erat batu itu, dan diacungkannya tinggi batu itu
oleh tangannya, sembari melontarkan kata-kata bahwa ia dirasuki

59
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

oleh jin dari batu tersebut. ibu-ibu yang hadir pada saat itu sontak
menghindar hingga ke sudut ruang tamu Bu Marni.
“Saya sarankan kalian warga Desa Tolak Bala memilih Bu
Susi sebagai kepala desa, karena dia orang baik dan dapat
diandalkan. Jika tidak, maka Desa Tolak Bala ini akan dikutuk dan
hancur,” kata Bu Susi dengan suaranya yang serak dan berat.
Masih dalam keadaan kerasukan, Bu Susi yang semula
duduk, tiba-tiba kejang-kejang lalu jatuh pingsan dalam posisi
tidur. Setelah itu, ibu-ibu segera membangunkannya dan
mendapati Bu Susi telah sadar dari kerasukannya. Akhirnya
tersiar kabar bahwa batu tersebut menampakkan kesaktiannya
pada Bu Susi.

***

“Pak Sardi, gimana, tuh, dengan batunya?” sang ibu


warung bertanya penasaran, sambil melihat ke arah Pak Sardi
yang tengah menenggak kopinya.
Sesudah kopinya ditenggak, ia langsung membayar dan
melihat ke arah si ibu warung dengan wajahnya yang garang
tanpa senyum. Setelah membayar, ia cepat-cepat meninggalkan
warung berbelok ke persimpangan kanan jalan dan menghilang
dalam rimbunan pohon di sisi jalan. Orang-orang yang berlalu
lalang memperhatikannya dan enggan menegur. Kemudian
datanglah Bu Marni menghampiri warungnya.

60
Penjahit Telinga

“Oalah, ya pantas enggak disapa, wong dia menatap saja


sudah seram, apalagi bicara?” ibu warung mulai membuka
pembicaraan dengan Bu Marni.
“Iya bu, benar, saya takut sekali sama wajahnya. Apalagi
tatapannya itu, lho. Gelagatnya itu mencurigakan, seperti bandar
narkoba atau apalah itu! Sebenarnya saya sih kepengin menegur,
Tapi ya ogah kalau dia enggak senyum,” ujar Bu Marni.
“Oh ya, Bu Marni, sudah dengar kabar belum?”
“Kabar apa?” kata Bu Marni sembari memilih gorengan
yang tersedia di meja depan warung.
“Ini soal Pak Jujur, Bu Marni, Dengar-dengar dari warga
tadi pagi, katanya dia bisa melayang semenjak memegang batu itu
bu! Dia melayang di depan rumahnya bu, lalu dilihat oleh orang
yang lewat.”
“Kalau begitu jangan-jangan dia yang terpilih oleh batu itu.”
“Iya, saya sih, setuju saja, Bu Marni, wong pak Jujur ramah
dan enggak bikin seram seperti Pak Sardi.”
“Ibu, pisang gorengnya itu.”
“Oh iya, betul, aduh,” cepet-cepat ibu warung menangani
pisangnya yang hampir gosong.
“Saya beli pisang gorengnya juga ya bu, 5 biji.”
“Iya bu, siap.”

***

Di sudut lorong ruangan yang gelap, ditemani cahaya


lampu temaram, beberapa orang bermantel hitam sedang

61
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

mengadakan diskusi rahasia. Pin mengkilat bertuliskan agen


pemilihan tampak berada pada setiap mantel orang-orang
tersebut. Malam semakin larut dan dingin, mereka mulai
melaporkan perkembangan dari tiap daerah yang mereka tangani.
“Saya telah menjalankan misi saya, mereka benar-benar
tikus,” lapor salah seorang agen.
“Saya juga sudah mengawasi desa dari awal, dan ternyata
mereka masuk perangkap. Namun, saya kesulitan menangani satu
orang, dan besok adalah hari pemilihan kepala desa,” lapor salah
seorang di antara mereka yang berwajah Pakistan, sembari
mencopot kumis palsunya.
“Siapa?”
...
Tibalah hari pemilihan kepala Desa Tolak Bala. Lapangan
tempat warga berkumpul mulai dihadiri warga dan beberapa
pedagang yang ingin menjajakan dagangannya. Riuh warga Desa
Tolak Bala menggema, ingin mengetahui kandidat terpilih yang
akan naik takhta menjadi raja Desa Tolak Bala ini, pasalnya warga
sudah menantikan pesta besar untuk memeriahkan terpilihnya
sang kepala desa. Acara pun dibuka. Empat kandidat duduk di
kursi yang disediakan di atas panggung dengan wajah harap-
harap cemas.
“Saya kira sulit memilih kandidat yang tepat, karena hampir
semunya memperlihatkan bukti kesaktian batu tersebut. Namun,
ada satu kandidat yang tidak menunjukkan keajaiban apa pun
ketika batu tersebut ada padanya, seolah-olah ia memang bukan
orang yang tepat. Saya jadi penasaran dengan jawaban Pak Sardi,

62
Penjahit Telinga

Bagaimana pendapatnya ketika batu tersebut seharian tampak


seperti batu biasa dan tidak menunjukkan kesaktian padanya?”
“Saya tidak berpikir batu tersebut benar-benar sakti. Saya
kira itu hanya batu sungai biasa,” ia menanggapinya dengan
tatapan garang seperti biasa.
“Seperti itukah? Benar, hanya para penipu yang mampu
menghadirkan kesaktian pada sebuah batu sungai biasa,” ujar Pak
Surya, ketua panitia penyelenggara pemilihan kepala Desa Tolak
Bala.

Bandung, 20 Februari 2018

63
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

64
Penjahit Telinga

Puisi

65
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

Mayat Pelacur
Karya Aya Canina

Dilihatnya jarum jam


yang membunuh tubuhnya itu
semalaman ia mati
tapi tidak ada yang menziarahi
kepalanya cuma tahu sakit
matanya biasa saja
sedang hatinya terus menangis

Perempuan di paruh waktu itu


tak sadar bahwa dirinya hanya
serupa mayat hidup yang teronggok
bisu di pojok kamar

tempat pengunjung malam menguburnya


tapi tak pernah menziarahinya

Bandung, Agustus 2017

66
Penjahit Telinga

Puisi Selimut
Karya Aflaha Rizal Bahtiar

Langit malam meminjam tubuhku ketika tubuh tergerus


waktu dan kenangan melahapku. Di jalan-jalan, kenangan
tumbuh di mana-mana. Merkuri wajah mereka tengah berada
kenanganku di sana. Aku tahu, wajah kekasihku dahulu pernah
menetap di wajah mereka setelah aku.

Aku dapat menggenggam tubuhku sendiri di dalam selimut.


Berlindung.
Sambil memahami kabut kepada diri yang pernah jatuh cinta
kepada kau.
Di kamar, aku tumbuh anak kecil yang menyala dan merayakan
kebahagiaan daripada kebebanan.
Jika dalam selimut menutupi tubuhku, aku seperti menutupi
tubuhmu dari hujan dan air cokelat menetap di lubang tanah.
Ia membuat kolam renang tanpa seorang pengunjung.

Satu minggu selimut masuk dalam cucian. Menunggu kering tiba.


Aku ingin lebih masuk ke dalam dan berbicara sendiri.
Aku mengingat minggu kemarin, dalam selimut aku di hadapan
para tanah yang kubutuh dan menentang pembangunan.
Hanya satu rumah yang kubangun di sana.

67
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

Sendiri. Tumbuh kau di dalam ketika kesunyian mampu


memelukmu dari dua telinga tanpa suara gaduh.

2018

68
Penjahit Telinga

Jakarta Anamnesis
Karya Ilhamdi Putra

Jakarta dibangun dalam ruang isolasi


dari napas tertahan ketika jarum ditusuk perlahan
gigitan bibir penangkal jerit
dari getaran tabung infus meneteskan cairan
layar hitam menunjukkan garis keriting naik-turun
dan deretan kasur bekas kematian.

Seorang morbid ke Kwitang untuk buku-buku tua


menukar kantung mata kebiruan dengan sesuatu yang kelak
dikhatamkan,
membentangkan halaman demi halaman pada tukang tambal di
seberang jalan
yang sedia menutup lambung berlubang dengan perekat super
kuat dan sedikit campuran getah empedu
agar lubang itu tidak nganga kembali,
menyandang kain kasa untuk menyaring batuk basah dan embun
di paru
alat kejut yang menjaga laju jantung hidup segan mati tak mau.

Dan kota ini terus direka dari kasur di balik gorden ruang isolasi
Jakarta seperti catatan kesehatan disimpan dalam lemari

69
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

berisi maut di dalam gerbong kereta atau sebagai pendatang lupa


jalur perhentian di kota,
dan tak ada stasiun di puncak menara ini, dinding
menggantungkan rel
untuk laju kereta menjemput jasad ke lantai dua puluh satu;
kematian terlihat lebih terang dari ketinggian ini.

Jakarta, 2018

70
Penjahit Telinga

Bayangan Cermin
Karya Joanna Dian Oktavianie

Sudah lama Sang Bayang ingin melahap tuannya


Ia benci dengan wajah bengis yang terus mengisinya
juga dengan borok yang terus menghiasi hati Sang Tuan
“Kau seperti turangga liar! Kau perlu dijinakkan!”
Bunyi kata-kata yang berhasil kabur dari cermin
Wajah bengis itu kembali menguasainya
Dia mendesis kejam
Berbisa, mengancam nyawa
Semasa kemudian, bisa itu luruh
Menjelma menjadi sepi yang terus terpantul di matanya
“Andai kuterima nasibku, tuanku tak akan bunuh diri....”

Bandung, 7 April 2018

71
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

Dalam Kegelapan
Karya Muammar Qadafi Muhajir

Ini tentang kita...


Tentang kalbu kita yang barangkali
Tak aman lagi dalam tirakatnya pada Ilahi
Para iblis dari neraka telah membuih
Jadi seribu tubuh debu, mengembara
Dalam tubuh kita, meramu yang kelabu
Jadi arang yang menunggu dipendarkan
Sebagai api paling liar di neraka

Sungguh, ini tentang kita


Ketika tawaran silam hari telah berkecamuk
Di pelataran belenggu dan penjara
Sebab sebingkah heroin telah melaris,
Telah kita hisap dan kita pendamkan
Ke dalam hulu dan hilir temali nadi,
Seketika darah kita yang seanyir
Nafas iblis di neraka jadi meminta
Untuk mengecap yang lebih candu lagi
Maka jantung terpaksa berdetak
Mengikuti kiblat waktu
Yang terus piaraan Ilahi, tapi kita
Justru semakin liar di bumi, masih tentang kita

72
Penjahit Telinga

Kita yang semakin liar di bumi


Akan terlalu mudah mengembara
Tanpa arah--tatapan kita yang kelabu
Hanya mampu merangkai tubuh nafsu
Sampai akhirnya sempurna dirumuskan
Tanpa lebih dulu diikrarkan pada Tuhan
Maka hari ini, desing neraka pun
Jadi seperti terlalu mudah disahutkan
Hingga semua yang benderang

Terasa lebih benderang ...


Dalam kegelapan

Kendari, 13 Maret 2018


.

73
BENEFITASARI INTAN NIRWANA, DKK

CV Jejak akan terus bertransformasi


untuk menjadi media penerbitan dengan
visi memajukan dunia literasi di
Indonesia. Kami menerima berbagai
naskah untuk diterbitkan.

Silahkan kunjungi web


jejakpublisher.com untuk info lebih
lanjut

------------------------------------------------
----------------------------
------------

74

Anda mungkin juga menyukai