Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH EKOLOGI PERAIRAN TROPIS

SUNGAI

Disusun oleh:

HENDRA KUSUMA PUTRA


(26010212130012)
KELAS: A

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


BAB. I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sungai adalah suatu badan air yang mengalir ke satu arah. Air adalah benda cair, yang senantiasa
bergerak kearah tempat yang lebih rendah, yang dipengaruhi oleh gradien sungai dan gaya gravitasi bumi.
Menurut Sandy (1985), dalam pergerakannya air selain melarutkan sesuatu, juga mengkikis bumi,
sehingga akhirnya terbentuklah cekungan dimana air tertampung melalui saluran kecil dan atau besar,
yang disebut dengan istilah alur sungai (badan sungai). Lebih jauh dikemukakan bahwa aliran sungai di
bagian luarnya dibatasi oleh bagian batuan yang keras yang disebut dengan tanggul sungai.
Indonesia memiliki banyak sungai dengan berbagai tipe morfologi dan strukturnya. Salah satu
sungai yang ada di Indonesia adalah Sungai Kahayan. Menurut Minggawati dan Lukas (2012) Sungai
Kahayan merupakan sungai yang mengalir di tengah kota Palangka Raya, dimana segala bentuk kegiatan
manusia terdapat di sepanjang aliran sungai Kahayan ini, baik untuk MCK, industri, peti, kegiatan
Budidaya Ikan dan lain-lain. Kondisi ini tentunya akan berpengaruh terhadap kualitas Fisik, kimia dan
biologi di Sungai Kahayan. Kondisi kualitas air ini diperburuk lagi dengan maraknya para penambang liar
di sepanjang sungai Kahayan membuat kerusakan ekosistem sungai. Dampak yang paling jelas terlihat
adalah keruhnya air sungai sehingga dapat menimbulkan berbagai macam kerusakan, baik untuk
kehidupan sungai sendiri maupun kehidupan manusia yang bergantung pada air sungai.
Menuru Widarto (1996); dan Supiyati et al (2012) bahwa kualitas air adalah kondisi kualitatif air
yang diukur dan diuji berdasarkan parameter tertentu dan metode tertentu berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115:
Tahun 2003), kualitas air tersebut dapat dinyatakan dengan parameter fisik karakteristik air dan kualitas
air sungai. Parameter fisik menyatakan kondisi fisik air atau keberadaan bahan-bahan yang dapat diamati
secara visual/kasat mata. Parameter fisik tersebut adalah kandungan partikel/padatan, warna, rasa, bau,
dan suhu. Sedangkan yang termasuk dalam karakteristik air sungai ini yaitu sedimentasi dan salinitas.
Pengamatan kualitas air dapat diketahui dengan pengamatan dari segi parameter fisika, kimia, dan
biologi. Parameter fisika meliputi kecerahan, kedalaman, temperatur, subtrat dasar dan arus. Parameter
kimia meliputi oksigen terlarut (DO), karbondioksida terlarut (CO2), pH perairan dan produktifitas
primer. Parameter biologi meliputi kelimpahan makrozobentos dan plankton. Kualitas suatu perairan
memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap survival dan pertumbuhan makhluk hidup di perairan
itu sendiri. Lingkungan yang baik (hiegienis bagi hewan diperlukan untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidupnya. Sektor perikanan di sepanjang sungai Kahyan merupakan salah satu usaha yang
juga mendayagunakan sumberdaya aquatik secara optimal dan terus menerus dalam bentuk usaha
budidaya di karamba, diharapkan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan petani ikan itu sendiri
maupun masyarakat secara luas. Kegiatan usaha budidaya ikan dalam keramba, tidak akan berhasil jika
tidak mengetahui kondisi kualitasairyang ada. kualitas air merupakan suatu syarat penting dan dapat
mempengaruhi pengelolaan. kelangsungan hidup, perkembangan, pertumbuhan, dan produksi ikan
(Cholik et al,. 1991; Minggawati dan Lukas,. 2012)
Karamba adalah wadah budidaya berupa jaring. Terdapat dua jenis karamba yaitu karamba jaring
apung dan karaba jaring tancap. Perbedaan karamba ini terletak pada segi pemasangannya. Karamba
jaring apung merupakan rangkaian kerangka terapung untuk menempatkan jaring wadah budidaya.
Karaba jaring tancap adalah rangkaian kerangka kayu yang ditancapkan kedasar perairan guna mengikat
jaring sebagai wadah budidaya (Subacri et al., 2011).

1.2. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Dapat mengetahui karakteristik, struktur dan faktor-faktor parameter perairan sungai
2. Dapat mengetahui hubungan karakteristik dan struktur sungai dengan potensi akuakultur.

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


BAB II
ISI

Sungai adalah suatu badan air yang mengalir ke satu arah. Air adalah benda cair, yang senantiasa
bergerak kearah tempat yang lebih rendah, yang dipengaruhi oleh gradien sungai dan gaya gravitasi bumi.
Menurut Sandy (1985), dalam pergerakannya air selain melarutkan sesuatu, juga mengkikis bumi,
sehingga akhirnya terbentuklah cekungan dimana air tertampung melalui saluran kecil dan atau besar,
yang disebut dengan istilah alur sungai (badan sungai). Lebih jauh dikemukakan bahwa aliran sungai di
bagian luarnya dibatasi oleh bagian batuan yang keras yang disebut dengan tanggul sungai. Saluran air
kecil dan atau besar yang saling ketemu membentuk pola aliran sungai tertentu, yang dipengaruhi oleh
jenis batuan dan bentuk morfologi medan (Thornbury, 1954; Barstra, 1982). Lebih jauh Sandy (1985)
menyatakan bahwa jenis batuan dan morfologi medan badan sungai, selain mempengaruhi kerapatan
aliran sungai, juga dapat mencirikan karakteristik sungai yang meliputi perkembangan profil, pola aliran
dan genetis sungainya. Di daerah yang tersusun oleh batuan intrusif, dengan tekstur kasar, menunjukkan
kerapatan aliran sungai yang rendah. Namun sebaliknya pada aliran sungai yang didominansi oleh batuan
sedimen, memperlihatkan kerapatan yang tinggi (Zuidam, 1983 dan Sandy, 1985).

2.1. Struktur Sungai


Menurut Forman dan Gordon (1983), morfologi pada hakekatnya merupakan bentuk luar, yang
secara rinci digambarkan sebagai berikut;

Gambar-1. Bentuk Morfologi Sungai


(dimodifikasi)

Keterangan :
A = Bantaran sungai. B = tebing/jering sungai. C = badan sungai. D = batas tinggi air semu. E = dasar
sungai. F = vegetasi riparian

Lebih jauh Forman (1983), menyebutkan bahwa bagian dari bentuk luar sungai secara rinci dapat
dipelajari melalui bagian-bagian dari sungai, yang sering disebut dengan istilah struktur sungai. Struktur
sungai dapat dilihat dari tepian aliran sungai (tanggul sungai), alur sungai, bantaran sungai dan tebing
sungai, yang secara rinci diuraikan sebagai berikut:

A. Alur dan Tanggul Sungai


Alur sungai (Forman & Gordon, 1983; dan Let, 1985), adalah bagian dari muka bumi yang selalu
berisi air yang mengalir yang bersumber dari aliran limpasan, aliran sub surface run-off, mata air dan air
bawah tanah (base flow). Lebih jauh Sandy (1985) menyatakan bahwa alur sungai dibatasi oleh bantuan
keras, dan berfungsi sebagai tanggul sungai.

B. Dasar dan Gradien sungai


Forman dan Gordon (1983), menyebutkan bahwa dasar sungai sangat bervariasi, dansering
mencerminkan batuan dasar yang keras. Jarang ditemukan bagian yang rata, kadangkala bentuknya
bergelombang, landai atau dari bentuk keduanya; sering terendapkan matrial yang terbawa oleh aliran
sungai (endapan lumpur). Tebal tipisnya dasar sungai sangat dipengaruhi oleh batuan dasarnya.
Dasarsungai dari hulu ke hilir memperlihatkan perbedaan tinggi (elevasi), dan pada jarak tertentu atau
keseluruhan sering disebut dengan istilah “gradien sungai” yang memberikan gambaran berapa presen

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


rataan kelerengan sungai dari bagian hulu kebagian hilir. Besaran nilai gradien berpengaruh besar
terhadap laju aliran air.

C. Bantaran sungai
Forman dan Gordon (1983) menyebutkan bahwa bantaran sungai merupakan bagiandari struktur
sungai yang sangat rawan. Terletak antara badan sungai dengan tanggul sungai, mulai dari tebing sungai
hingga bagian yang datar. Peranan fungsinya cukup efektif sebagai penyaring (filter) nutrien,
menghambat aliran permukaan dan pengendali besaran laju erosi. Bantaran sungai merupakan habitat
tetumbuhan yang spesifik (vegetasi riparian), yaitu tetumbuhan yang komunitasnya tertentu mampu
mengendalikan air pada saat musimpenghujan dan kemarau.

D. Tebing sungai
Bentang alam yang menghubungkan antara dasar sungai dengan tanggul sungaidisebut dengan
“tebing sungai”. Tebing sungai umumnya membentuk lereng atau sudut lereng, yang sangat tergantung
dari bentuk medannya. Semakin terjal akan semakin besar sudut lereng yang terbentuk. Tebing sungai
merupakan habitat dari komunitas vegetasi riparian, kadangkala sangat rawan longsor karena batuan
dasarnya sering berbentuk cadas. Sandy (1985), menyebutkan apabila ditelusuri secara cermat maka akan
dapat diketahui hubungan antara lereng tebing dengan pola aliran sungai.

E. Kerapatan sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS), seperti yang dikemukan Sandy (1985) adalah bagiandari muka bumi
yang dibatasi oleh topografi dan semua air yang jatuh mengalir kedalam sungai, dan keluar pada satu
outlet. Sedangkan kerapan sungai yang dimaksutkan adalah ratio (perbandingan) jumlah panjang sungai
dalam (km) terhadap luas Daerah Aliran Sungai.

2.2. Karakteristik sungai


Karakteristik sungai memberikan gambaran atas profil sungai, pola aliran sungai dan
genetis sungai, yang secara rinci diuraikan sebagai berikut;

A. Profil sungai
Berdasarkan perkembangan profil sungai (Lobeck, 1939; Pannekoek, 1957 danSandy, 1985), dalam
proses pengembangnnya mengalami tiga taraf yaitu: Periode muda, terdapat di daerah hulu sungai, yang
mempunyai ketinggian relief yang cukup besar. Ciri spesifiknya terdapatnya sayatan sungai yang dalam,
disebabkan oleh penorehan air yang kuat dari air yang mengalir cepat dan daya angku yang besar. Erosi
tegak sering dijumpai, sehingga lebah curam berbentuk huruf (V) sering juga ditemukan. Contoh yang
jelas di hulu Sungai Cipeles sekitar Cadas Pangeran. Periode dewasa, dijumpai di bagian tengah sungai,
yang dicirikan dengan pengurangan kecepatan aliran air, karena ketinggian relief yang berkurang. Daya
angkut berkurang, dan mulai timbul pengendapan di beberapa tempat yang relatif datar. Keseimbangan
antara kikisan dan pengendapat mulai tampak, sehingga di beberapa tempat mulai terjadi akumulasi
material, arus akan berbelok-belok, karena endapan yang mengeras, dan di tempat endapan inilah yang
sering terjadi meander. Periode tua, di daerah hilir dengan ketinggian rendah, yang dicirikan tidak terjadi
erosi tegak, dan daya angkut semakin berkurang, sehingga merupakan pusat-pusat pengendapan. Tekanan
air laut di bagian muara sungai sering menyebabkan delta.

B. Pola Aliran
Cotton (1949), menyatakan bahwa letak, bentuk dan arah aliran sungai, dipengaruhiantara lain oleh
lereng dan ketinggian, perbedaan erosi, struktur jenis batuan, patahan dan lipatan, merupakan faktor-
faktor yang menyebabkan perbedaan bentuk genetik dan pola sungai. Pola sungai adalah kumpulan dari
sungai yang mempunyai bentuk yang sama, yang dapat menggambarkan keadaan profil dan genetik
sungainya (Lobeck, 1939; Katili (1950), dan Sandy, 1985). Lebih jauh dikemukakan bahwa ada empat
pola aliran sungai yaitu:
1. Pola denditrik, bentuknya menyerupai garis-garis pada penampang daun, terdapat di
struktur batuan beku, pada pengunungan dewasa.
2. Pola retangular, umumnya terdapat di struktur batuan beku, biasanya lurus mengikuti
struktur patahan, dimana sungainya saling tegak lurus

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


3. Pola trellis, pola ini berbentuk kuat mengikuti lipatan batuan sedimen. Pada pola ini
terpadapt perpaduan sungai konsekwen dan subsekwen.
4. Pola radial, pola ini berbentuk mengikuti suatu bentukan muka bumi yang cembung,
yang merupakan asal mula sungai konsekwen.

C. Genetik Sungai
Menurut Lobeck (1939), klasifikasi genetik sungai dibedakan menjadi empat yaitu:
1. Sungai konsekwen, yaitu sungai yang bagian tubuhnya mengalir mengikuti kemiringan lapisan
batuan yang dilaluinya. Contoh S. Cipanas, Sungai Cacaban.
2. Sungai Subsekwen, yaitu sungai yang mengalir pada lapisan batuan yang lunak, dan biasanya
merupakan sungai yang tegak lurus terhadap sungai konsekwen.
3. Sungai Obsekwen, adalah sungai yang mengalir berlawanan dengan kemiringan lapisan batuan,
atau sungai yang mengalir dan berlawanan dengan sungai konsekwen.
4. Sungai antiseden, sungai yang mengalir melalui patahan, dengan adanya teras,

D. Tata Nama Sungai


Sandy (1985), membedakan nama bagian sungai menjadi empat yaitu:
1. Induksungai, yang merupakan tumbuh sungai terpajang dan lebar mulai dari hulu sungai sampai ke
hilir sungai.
2. Anak sungai adalah cabang-cabang sungai yang menyatu dengan induksungai.
3. Alur anak cabang sungai, adalah cabang-cabang sungai yang menyatu dengan anak sungai.
4. Alur mati (creek), adalah alur-alur di bagian teratas yang kadang kala berair apabila hujan, dan pada
waktu tidak ada hujan maka akan kering.

2.4. Pembagian daerah sungai berdasarkan penetrasi cahaya

A. Daerah litoral
Daerah ini merupakan daerah dangkal. Cahaya matahari menembus dengan optimal. Air yang
hangat berdekatan dengan tepi. Tumbuhannya merupakan tumbuhan air yang berakar dan daunnya ada
yang mencuat ke atas permukaan air.Komunitas organisme sangat beragam termasuk jenis-jenis
ganggang yang melekat (khususnya diatom), berbagai siput dan remis, serangga, krustacea, ikan, amfibi,
reptilia air dan semi air seperti kura-kura dan ular, itik dan angsa, dan beberapa mamalia yang sering
mencari makan di danau.

B. Daerah limnetik
Daerah ini merupakan daerah air bebas yang jauh dari tepi dan masih dapat ditembus sinar
matahari. Daerah ini dihuni oleh berbagai fitoplankton, termasuk ganggang dan sianobakteri. Ganggang
berfotosintesis dan bereproduksi dengan kecepatan tinggi selama musim panas dan musim semi.
Zooplankton yang sebagian besar termasuk Rotifera dan udang- udangan kecil memangsa fitoplankton.
Zooplankton dimakan oleh ikan-ikan kecil. Ikan kecil dimangsa oleh ikan yang lebih besar, kemudian
ikan besar dimangsa ular, kura-kura, dan burung pemakan ikan.

C. Daerah profundal
Daerah ini merupakan daerah yang dalam, yaitu daerah afotik danau. Mikroba dan organisme lain
menggunakan oksigen untuk respirasi seluler setelah mendekomposisi detritus yang jatuh dari daerah
limnetik. Daerah ini dihuni oleh cacing dan mikroba.

D. Daerah bentik
Daerah ini merupakan daerah dasar tempat terdapatnya bentos dan sisa-sisa organisme mati.

2.4. Lingkungan Biologis Sungai


Lingkungan bio-fisik sungai meliputi :

A. Vegetasi Spesifik Bantaran Sungai


Jenis vegetasi riparian di Indonesia dari bagian hilir sampai dengan bagian hulucukup bervariasi,
dan menurut Sandy (1985) sangat dipengaruhi oleh batuan dasar dan ketinggian tempat. Waryono (1985)

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


menyebutkan bahwa jenis vegetasi asli riparian yang dominan dijumpai di S. Mahakan Kalimantan Timur
meliputi: waru (Hisbiscus tiliaceus); renghas (Gluta veluntino), cangkring (Erytrina sp), kempas
(Koompasia malacensis), keciat (Spatodea campanulata), dan bungur (Lagerstromea filamentosa).

B. Produktivitas primer
Produktivitas primer sangat penting bagi budidaya, karena sebagai penghasil oksigen terbesar yang
sangat dibutuhkan oleh organisme untuk bernapas. Produktivitas primer sangat dipengaruhi oleh tingkat
kesuburan perairan tersebut, kesuburan dipengaruhi oleh kecepatan pengeluaran bahan organik menjadi
garam mineral. Perairan yang kurang subur produktivitas primernya harus dirangsang dengan
pemupukan. Perairan yang produktivitasnya tinggi maka sinar matahari dapat menembus beberapa
sentimeter (cm), dikarenakan terhalang oleh fitoplankton yang ada dalam permukaan air (Afrianto dan
Liviawati, 1989).
Menurut Kartamihardja (1992), produktivitas primer merupakan laju perambatan energi yang
dilakukan oleh produsen. Produktivitas primer menunjukkan jumlah enegi kimia oleh autotrof suatu
ekosistem selama satuperiode waktu tertentu.Total produktivitas primer dikenal sebagai produktivitas
primer kotor (gross primary productivity, GPP). Tidak semua hasil produktivitas ini disimpan sebagai
bahan organik pada tubuh organisme produsen atau pada tumbuhan yang sedang tumbuh, karena
organisme menggunakan sebagian molekul tersebut sebagai bahan bakar organik dalam
respirasinya.Produktivitas primer bersih (net primary productivity,NPP) sama dengan produktivitas
primer kotor dikurangi energi yang digunakan oleh produsen untuk respirasi (RS). NPP=GPP-RS.
Produktivitas primer dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut adalah cahaya, nutrien, suhu.
Cahaya merupakan salah satu faktor yang menentukan distribusi klorofil-a di perairan.Daerah lapisan
permukaan tersedia cukup banyak cahaya matahari untuk proses fotosintesa, sedangkan dilapisan yang
lebih dalam cahaya matahari sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Fotosintesa fitoplankton menggunakan
klorofil-a dan satu jenis pigmen tambahan seperti protein, fukosantin dan periginin yang secara lengkap
menggunakan semua cahaya dalam spectrum tampak.Nutrien adalah semua unsur dari semua senyawa
yang dibutuhkan oleh tumbuh-tumbuhan dalm bentuk material organik (amonia, nitrat) dan anorganik
terlarut (asam amino).Elemen nutrien utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar disebut makro nutrien,
sedangkan elemen utama dalam jumlah sedikit disebut mikro nutrien. Sebaran klorofil-a dalam kolam
perairan sangat tegantung pada konsentrasi nutrien Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa baik secara
langsung maupun tidak langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam
proses fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa(Hutabarat dan Evans,1984;
Zahidin, 2008)
C. Plankton
Plankton adalah suatu komunitas meliputi tumbuhan dan hewan yang terdiri dari organisme yang
melayang baik yang mampu melawan arus maupun yang tidak. Plankton berdasarkan ukurannya dapat
dibagi menjadi 4 (empat) kelompok yaitu: ultra nanoplankton (<2mikron); nannoplankton (2-20 mikron);
mikroplankton (20-200 mikron); makroplankton (200-2000 mikron). Ada dua golongan besar plankton
yaitu fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah golongan plankton yang mempunyai klorofil di
dalam tubuhnya. Daerah hidup fitoplankton adalah di lapisan yang masih terdapat sinar matahari.
Fitoplankton dapat membuat makanannya sendiri dengan mengubah bahan anorganik menjadi bahan
organik melalui proses fotosintesis dengan menggunakan bantuan sinar matahari. Zooplankton adalah
golongan plankton yang tidak mempunyai klorofil di dalam tubuhnya dan pada umumnya menjauhi sinar
matahari. Zooplankton terdiri dari holozooplankton, yang selama siklus hidupnya sebagai plankton dan
merozooplankton, yang sebagian siklusnya sebagai plankton, setelah dewasa tidak bersifat sebagai
plankton (Mulyanto, 1992; Zahidin, 2008).

D. Hewan Makrobenthos
Benthos adalah organisme yang hidupnya di dasar perairan (Hutabarat dan Evans, 1985; Zahidin,
2008) yang dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu fitobenthos dan hewan benthos. Berdasarkan
ukuran hewan Benthos dapat dibagi menjadi 4 jenis, yaitu : megalobenthos (>4,7 mm); makrobenthos
(1,4 – 4,7 mm); meiobenthos (0,5 – 1,3 mm) dan mikrobenthos (0,15 – 0,5 mm). Sedangkan berdasarkan
tempat hidupnya hewan makrobenthos dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu epifauna, yang hidupnya
di lapisan atas dasar perairan dan infauna, yang hidupnya di dalam dasar perairan (Mulyanto, 1992;
Zahidin, 2008).

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


2.5. Lingkungan Fisik Sungai

A. Kedalam dan kecerahan sungai


Menurut Sandy (1985), kedalaman sungai sangat tergantung dari jumlah air yangtertampung pada
alur sungai yang diukur dari penampang dasar sungai sampai ke permukaan air. Level rataan dasar sungai
pengukurannya dirata-ratakan minimal dari tiga titik yang berbeda yaitu di bagian tengah dan kanan
kirinya.
Kedalaman perairan mempengaruhi jumlah dan jenis hewan makrobenthos. Kedalaman air juga
mempengaruhi kelimpahan dan distribusi hewan makrobenthos. Perairan dengan kedalaman air yang
berbeda akan dihuni oleh makrobenthos yang berbeda pula dan terjadi stratifikasi komunitas yang
berbeda. Perairan yang lebih dalam mengakibatkan makrobenthos mendapat tekanan fisiologis dan
hidrostatis yang lebih besar (Reish, 1979; Zahidin (2008). Kedalaman perairan juga mempengaruhi
penetrasi sinar matahari ke dalam perairan sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi kebutuhan
oksigen dan pertumbuhan organisme bentik (Sukarno, 1981; Zahidin 2008). Tang dan Kasmawati (1992);
Zahidin (2008), mengatakan bahwa produktivitas perairan berkurang dan mengakibatkan rendahnya
kepadatan hewan makrobenthos pada perairan yang lebih dalam dikarenakan kandungan bahan-bahan
organik yang lebih sedikit atau kurang melimpah. Interaksi antara kekeruhan dan kedalaman perairan
akan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari sehingga mempengaruhi kecerahan suatu perairan.
Kecerahan perairan juga banyak dipengaruhi oleh bahan-bahan halus yang melayang dalam
perairan, baik berupa bahan organik (plankton, jasad renik, detritus) maupun bahan anorganik (partikel
lumpur dan pasir). Kecerahan dipengaruhi zat-zat yang terlarut dalam perairan sehingga berhubungan
dengan penetrasi sinar matahari. Menurut Nybakken (1988); Zahidin (2008) makin tinggi kecerahan,
maka intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan akan semakin besar. Kecerahan perairan
berlawanan dengan kekeruhan yang juga disebabkan adanya bahan organik dan anorganik yang
tersuspensi dan terlarut, maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikrooganisme
lainnya. Akibat kekeruhan yang tinggi dapat mengganggu sistem pernafasan dan daya lihat organisme
akuatik, serta dapat menghambat penerasi cahaya ke dalam air (Effendi, 2003; Zahidin 2008).

E. Debit sungai
Debit sungai adalah besaran volume air yang mengalir per satuan waktu. Volume air dihitung
berdasarkan luas penampang dikalikan dengan tinggi air. Sumber air sungai terbesar berasal dari curah
hujan, di bagian hulu umumnya curah hujannya lebih tinggi, dibanding di daerah tengah dan hilir. Sumber
lainnya berasal dari aliran bawah tanah, yang dibedakan menjadi air sub surface runof, mata air dan air
bawah tanah (base flow). Pada musim penghujan, aliran bawah tanah bersumber dari air hujan, yang
masuk melalui peristiwa infiltrasi perkolasi. Air perkolasi menuju ke lapisan air tanah dalam (ground
water), namun sering ada yang keluar kesamping (sub-surface runof). Air aliran samping ini sering keluar
pada waktu musim hujan dan atau musim kemarau, yang berbeda dengan aliran bawah tanah yang akan
keluar pada waktu musim kemarau.

F. Suhu air
Salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme
adalah temperatur (Nybakken, 1988); Zahidin (2008). Termasuk hewan makrobenthos juga dipengaruhi
oleh temperatur perairan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Effendi (2003); Zahidin
(2008) bahwa kisaran temperatur yang optimal untuk pertumbuhan fitoplankton secara umum di perairan
adalah 20 0C–30 0C. Pertumbuhan yang optimal Filum Chlorophyta akan terjadi pada kisaran temperatur
30 0C – 35 0C dan untuk Diatom pada temperatur 200C – 30 0C. Phylum Cyanophyta dapat bertoleransi
terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan Chlorophyta dan Diatom.
Secara umum, temperatur air sungai secara horizontal dipengaruhi oleh ketinggiantempat (elevasi).
Sandy (1985), mengemukakan bahwa di daerah-daerah hulu air sungai relatif dingin, sedangkan di bagian
tengah dan hilir semakin tinggi suhunya. Akan tetapi Cole (1979); Zahidin (2008), menyatakan bahwa
selain pemanasan bersumber dari matahari, suhu air sungai juga sering bersumber dari batuan kapur dan
atau panas bumi. Tinggi rendahnya temperatur air sungai, akan berpengaruh terhadap kehidupan (biota)
perairan sungai.

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


G. Salinitas
Salinitas air sungai, di bagian hulu dan tengah hampir jarang dipengaruhi oleh salinitas, berbeda
dengan di daerah hilir. Tingginya salinitas air sungai di daerah hilir, disebabkan oleh pengaruh pasang
surut air laut. Namun demikian Lebeck (1939), menyatakan bahwa salinitas air baik di bagian hulu,
tengah dan hilir selain dipengaruhi oleh pengaruh air laut, juga dipengaruhi oleh kandungan unsur hara
yang bersifat basa. Salinitas akan mempengaruhi penyebaran organisme baik secara horisontal maupun
secara vertikal (Odum, 1971); Zahidin (2008). Salinitas juga akan mempengaruhi penyebaran plankton,
hewan makrobenthos dan organisme perairan lainnya. Penurunan salinitas dapat menentukan distribusi
dari invertebrata perairan.

H. Padatan Tersuspensi
Muatan padatan tersuspensi dan kekeruhan, menurut Sandy (1985) sangat dipengaruhi oleh musim.
Pada waktu musim penghujan kadungan lumpur relatif lebih tinggi karena besaran laju erosi yang terjadi;
sedangkan pada musim kemarau tingkat kekeruhan air sungai dipengaruhi oleh laju aliran air yang
terbatas menoreh hasil-hasil endapan sungai.

2.6. Faktor Lingkungan Kimiawai Sungai

A. Saprobitas
Saprobitas perairan adalah keadaan kualitas air yang diakibatkan adanya penambahan bahan
organik dalam suatu perairan yang biasanya indikatornya adalah jumlah dan susunan spesies dari
organisme di dalam perairan tersebut. Lebih jelasnya saprobitas perairan diidentifikasi melalui analisa
TROSAP. Analisa ini menitikberatkan kepada evaluasi parameter penyubur (Tropic Indicator) dan
parameter pencemar (Saprobic Indeks). Analisa trosap yang menggunakan dasar evaluasi parameter
penyubur (Tropic Indikator) menunjukkan besarnya produktifitas primer sebagai hasil bioaktivitas
organisme perairan. Sedangkan untuk parameter pencemar (Tropic Indikator) menunjukkan aktivitas
dekomposisi dari “dead organic matter” bersama bio akumulasi jasad renik terhadap bahan pencemar.
Menurut Anggoro (1988); Zahidin (2008) bahwa tingkat saprobik akan menunjukkan derajat pencemaran
yang terjadi di dalam perairan dan akan diwujudkan oleh banyaknya jasad renik indikator pencemaran.

Sementara Pantle dan Buck (1955) dalam Basmi (2000); Zahidin (2008), menggolongkan tingkat
saprobitas sebagai berikut :
1. Polisaprobik, yaitu saprobitas perairan yang tingkat pencemarannya berat, sedikit atau tidak adanya
oksigen terlarut (DO) di dalam perairan, populasi bakteri padat, dan H2S tinggi.
2. α - Mesosaprobik, yaitu saprobitas perairan yang tingkat pencemarannya sedang sampai dengan
berat, kandungan oksigen terlarut (DO) di dalam perairan meningkat, tidak ada H2S, dan bakteri
cukup tinggi.
3. β - Mesosaprobik, yaitu saprobitas perairan yang tingkat pencemarannya ringan sampai sedang,
kandungan oksigen terlarut (DO) dalam perairan tinggi, bakteri sangat menurun, menghasilkan
produk akhir nitrat.
4. Oligrosaprobik, yaitu saprobitas perairan yang belum tercemar atau mempunyai tingkat pencemaran
ringan, penguraian bahan organik sempurna, kandungan oksigen terlarut (DO) di dalam perairan
tinggi, jumlah bakteri sangat rendah.

B. DO
Dilihat dari jumlahnya, oksigen (O2) adalah satu jenis gas terlarut dalam air dengan jumlah yang
sangat banyak, yaitu menempati urutan kedua setelah nitrogen. Namun jika dilihat dari segi kepentingan
untuk budidaya perariran, oksigen menempati urutan teratas. Oksigen yang diperlukan biota air untuk
pernafasannya haruslah terlarut dalam air. Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas, sehingga bila
ketersediaannya di dalam air tidak mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka segala aktivitas biota akan
terhambat (Ghufran dan Andi, 2007).
Kebutuhan oksigen bagi ikan mempunyai dua aspek yaitu kebutuhan lingkungan bagi spesies
tertentu dan kebutuhan konsumtif yang bergantung pada keadaan metabolisme ikan. Ikan memerlukan
oksigen guna pembakaran bahan bakarnya (makanan) untuk menghasilkan aktivitas, seperti aktivitas
berenang, pertumbuhan, reproduksi, atau sebaliknya. Tampak dengan jelas bahwa ketersediaan oksigen
bagi ikan menentukan lingkaran aktivitas ikan. Konversi makanan, demikian juga laju pertumbuhan,

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


bergantung pada oksigen, dengan ketentuan bahwa selama faktor kondisi lainnya adalah optimum
(Zonneveld et. al., 1991).
Menurut Cholik (1988) dalam Ghufran dan Andi (2007), oksigen dihasilkan melalui proses difusi
dari udara yang mengandung 20,95% oksigen. Proses ini terjadi sangat cepat pada selaput permukaan air,
namun berjalan sangat lambat ke lapisan yang lebih dalam. Proses difusi ini baru dapat terjadi apabila
terdapat perbedaan tekanan oksigen di dalam air dan di udara.
Sumber oksigen lainnya adalah fitoplankton. Jasad hidup melalui proses fotosintesis dapat
menghasilkan oksigen seperti terlihat dari persamaan reaksi berikut:
6CO2 + 6H2O klorofil dan cahaya matahari C6H12O6 + 6O2
Persamaan ini menjelaskan terjadinya reaksi antara karbondioksida dan air dengan bantuan cahaya
matahari berlangsung di klorofil menghasilkan gula dan oksigen (Ghufran dan Andi, 2007).
C. CO2
Karbondioksida (CO2) atau biasa disebut asam arang sangat mudah larut dalam suatu larutan.
Perairan alami pada umumnya mengandung karbondioksida sebesar 2 mg/ l. Konsentrasi
karbondioksidayang tinggi (>10 mg/l), dapat beracun, keberadaannya dalam darah dapat menghambat
pengikatan oksigen oleh hemoglobin (Ghufran dan Andi, 2007).
Karbondioksida pada atmosfer persentasenya sangat kecil, tetapi keberadaan CO2 di perairan
berasal dari berbagai sumber yaitu difusi dari atmosfer, air hujan, air yang melewati tanah
organik.Respirasi tumbuhan, hewan, dan bakteri aerob dan anaerob. Sebagian kecil CO2 yang terdapat di
atmosfer larut kedalam air membentuk asam karbonat.Karbondioksida pada perairan lunak (soft water)
yang memiliki kesadahan (kadar kalsium dan magnesium) dan pH rendah, umumnya terdapat dalam
bentuk gas sangat sedikit yang terdapat dalam bentuk terikat sebagai bikarbonat dan karbonat.
Karbondiokasida pada perairan yang sadahterdapat dalam bentuk bikarbonat. Karbondioksida bereaksi
dengan kalsium karbonat membentuk kalsium bikarbonat (Effendi, 2003).

D. Alkalinitas
Alkalinitas adalah konsentrasi total dari unsur basa-basa yang terkandung dalam air dan biasa
dinyatakan dalam mg/ l atau setara dengan kalsium karbonat (CaCO3). Konsentrasi total alkalinitas sangat
erat hubungannya dengan konsentrasi total kesadahan total kesadahan air. Total alkalinitas pada lahan
biasanya mempunyai konsentrasi yang sama dengan total kesadahan air(Ghufran dan Andi, 2007)
Perairan dengan total alkalinitas kurang dari 15–20 mg/l biasanya mengandung sedikit
karbondioksida yang cukup untuk produksi plankton pada budidaya ikan. Karbondioksidaseringkali
rendah suplainya pada perairan yangalkalinitasnya tidak lebih dari 200–250 mg/l. Sore hari pH di perairan
dengan alkalinitas yang rendah, kadang-kadang sama besarnya pH air yang mengandung total alkalinitas
yang cukup atau tinggi. Perairan dengan alkalinitas rendah mempunyai daya tangkap (buffer) yang rendah
terhadap perubahan pH dan hilangnya karbondioksidaakan menghasilkan peningkatan pH yang mendadak
(Afrianto dan Liviawati,1989).

E. Derajat keasaman (pH)


Menurut Ghufran dan Andi (2007), derajat keasaman lebih dikenal dengan istilah pH. pH
(singkatan dari puissance negatif de H), yaitu logaritma dari kepekatan ion-ion H (hidrogen) yang terlepas
dalam suatu cairan. Derajat keasaman atau pH air menunjukkan aktivitas ion hidrogen (dalam mol per
liter) pada suhu tertentu atau dapat ditulis:
pH=- log [H+]
Air murni berasosiasi sempurna sehingga memiliki ion H+ dan ion OH- dalam konsentrasi yang
sama, pH air murni sama dengan 7. Semakin tinggi konsentrasi ion H+ akan semakin rendah konsentrasi
ion OH- dan pH < 7, perairan semacam ini bersifat asam. Hal sebaliknya terjadi jika konsentrasi ion OH-
yang tinggi dan pH >7, maka perairan bersifat alkalis (basa). Air yang banyak mengandung CO2 biasanya
mempunyai pH < 7 dan bersifat asam.pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena
mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam akan kurang produktif, malah dapat membunuh
hewan budidaya. Atas dasar ini, maka usaha budidaya perairan akan berhasil baik dalam air dengan pH
6,5–9,0, dan kisaran optimal adalah pH 7,5–8,7.

F. Kesadahan

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Kesadahan atau kekerasan (hardness) air berbeda dengan keasaman air, sekalipun keduanya erat
kaitannya. Keduanya dapat dibedakan dengan mudah. Air asam biasanya menunjukkan reaksi lunak,
sedangkan air sadah biasanya keras. Kesadahan air disebabkan oleh banyaknya mineral dalam air yang
berasal dari batuan dalam tanah, baik dalam bentuk ion maupun dalam bentuk molekul (Ghufran dan
Andi, 2007).
Perairan dengan nilai kesadahan tinggi pada umumnya merupakan perairan yang berada di wilayah
yang memilki lapisan tanah pucuk (top soil) tebal dan batuan kapur. Perairan lunak berada pada wilayah
dengan lapisan tanah atas tipis dan batuan kapur relatif sedikit bahkan tidak ada. Air permukaan biasanya
memiliki nilai kesadahan yang lebih kecil dari pada air tanah.Perairan dengan nilai kesadahan kurang dari
120 mg/l CaCO3 dan lebih dari 500 mg/l CaCO3 dianggap kurang baik bagi pertanian dan industri.
Namun air sadah lebih disukai oleh organisme (Effendi,2003).

2.7. Potensi Akuakultur


Setelah mengetahui karakteristik, struktur dan parameter yang dapat mempengaruhi kualitas air,
maka selanjutnya dapat diketahui potensi suatu perairan untuk dunia akuakultur. Salah satu metode
akuakultur yang sesuai dengan karakteristik sungai adalah dengan metode karamba jaring apung dan
karamba jaring tancap. Aliran sungai yang mengalir dan tidak terlalu deras sangat diharapkan, karena
dengan air yang mengalir maka pergantian atau sirkulasi air dapat berjalan dengan baik. Karamba Jaring
Apung (KJA) yaitu wadah atau tempat budidaya ikan yang terbuat dari bahan jaring yang digantungkan
pada kerangka (rakit) di perairan. Perairan atau lokasi yang dipilih harus terlindung dari pengaruh angin
atau musi dan gelombang, hal ini untuk mengamankan atau melindungi karamba budidaya. Lokasi harus
bebas dari pengaruh pencemaran atau polusi baik limbah industri maupun limbah rumah tangga. Lokasi
juga harus bebas dari hama yang meliputi antara lain ikan-ikan besar dan buas, binatang yang selain
potensial dapat mengganggu (predator). Salah satu biota yang dapat dibudidayakan adalah ikan mas, ikan
nila dan ikan patin yang memang hidup diperairan tawar.

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan dari makalah ini yang dapat disampaikan adalah :


1. Sungai memiliki karakteristik dan struktur yang unik. Karakteristik dan struktur dari sungai akan
mempengaruhi kehidupan dan keanekaragaman biota yang ada didalamnya, dengan mengetauhui
karakteristik dari sungai ini maka akan dapat diketahui biota apa saja yang mampu hidup disana.
2. Hubungan karakteristik dan setruktur sungai dalam budidaya sangat erat, karena karakteristik dan
struktur sungai yang baik akan berdampak baik juga untuk akuakultur. Pemilihan lokasi yang tepat
pada awal kegiatan budidaya merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam usaha budidaya yang
berkelanjutan.Setelah mengetahui karakteristik sungai lebih dalam, maka akan dapat diketahui
metode akuakultur apa yang tepat untuk digunakan.

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


DAFTAR PUSTAKA

Afrianto dan Liviawati, 1989. Beberapa Metode Budidaya Ikan. Yogyakarta: Kanisius.

Barstra, G.J; 1978. The riverlaid strata near Trinil, site of Homo Erectus, Java, Indonesia. Mod.Quat. Res.
In SE Asia, Vol 7.

Basmi, J. 1997. Planktonologi : Terminologi dan Klasifikasi Zooplankton Laut. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Cholik, F., A. Hardjamulia dan R. Arifudin. 1986. Budidaya Perikanan. BLPP SUPM Negeri, Bogor.

Chorley, R.J., 1984. Geomorphology, Menthunsen & Co. Ltd; London.

Cotton, C. A; 1940. Classifikation and correlation of River Terrasces. Jour Geomorphology, Vol 3. New
York: Grw Hill.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan.
Kanisius, Yogyakarta. hal 258.

Forman; Richard and Michel Gordon. 1983. Lansdcape Ecology. John Wiley & Son; New York. Katili,
J.A; 1950. Geologi. Jakarta; Departemen Urusan Riset Nasional.

Ghufran H. Kordik, M danAndiBasoTanang. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan.
Jakarta: Rineka Cipta.

Hutabarat, S dan M. Evans. 1985. Pengantar Oceanografi. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Kartamihardja, E. 1992. Beberapa Aspek Limnologi dan Pengelolaan Perikanan di Waduk Wadaslintang,
Wonosobo, Jawa Tengah. Buletin Penelitian Perikanan Darat. Balai Penelitian Perikanan Air
Tawar. Bogor. 136 hlm.

Lebeck, A.K,. 1939. Geomorphologi. New York: Grw Hill.

Minggawati I dan Lukas. 2012. Studi Kualitas Air untuk budidaya Ikan Karamba di Sungai Kahayan.
Fakultas Perikanan Universitas Kristen Palangka Raya.

Mulyanto, S. 1992. Lingkungan Hidup Untuk Ikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Nybakken, J.M. 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis (diterjemahkan olehH.M. Eidmar,
Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan D. Sukardjo). Gramedia, Jakarta. 443 hal.

Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Sounders Company, Toronto. 347 pp.

Pannekoek, A.J.Dr. 1949. Outline of the Geomorphology of Java. TKNA, Genootsch. LXVI.

Reish, D.J. 1979. Bristle Worms (Annelida : Polychaeta) In Pollution Ecology of Estuarine Invertebrates.
C. W. Hart., and Samuel L. H. F. (eds. 2). Academic Press, New York. pp 77-121.

Sandy, IM, 1985. DAS-Ekosistem Penggunaan Tanah. Publikasi Direktorat Taguna Tanah Departemen
Dalam Negeri (Publikasi 437).

Subachri, W, Zainuddin. dan Yanuarita. 2011.Budidaya Ikan Kerapu Sistem Karamba Jaring Apung dan
Tancap. Versi 1. WWF Indonesia.

Sukarno. 1981. Terumbu Karang Indonesia, Permasalaham dan Pengelolaannya. LON-LIPI. Jakarta.

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)


Supiyati, Halauddin, dan Gandika Arianty. 2012. Karakteristik dan Kualitas Air di Muara Sungai Hitam
Provinsi Bengkulu dengan Software Som Toolbox 2. Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas
Bengkulu, Bengkulu.

Tang, U. M. dan Kasnawati. 1992. Hewan Markobenthos sebagai Indikator Biologi Pencemaran Bahan
Organik di Sungai. Majalah Pengembangan Ilmu-ilmu Peternakan dan Perikanan, Fakultas
Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. 17 (1) : 20 – 23.

Thornbury, William, D. 1973. Principle of Geomorphologi. New York: Grw Hill.

Waryono. Tarsoen. 1985. Analisis Vegetasi Riparian (Studi Kasus DAS Mahakam Bagian Hilir). Litbang
Departemen Kehutanan Samarinda.
. 2008.Bentuk Struktur dan LingkunganBio-Fisik Sungai. Program studi F-MIPA UI

Widarto, 1996, Membuat Alat Penjernih Air, Kanisius (IKAPI), Yogyakarta

Zahidin. M. 2008. Kajian Kualitas Air di Sungi Pekalongan di Tinjau dari Indeks Keanekaragaman
Makrobentos dan Indeks Saprobitas Plankton. Tesis. Pascasarjana. Umdip.

Zonneveld, N., E. A. Huisman, J. H. Boon. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Print to PDF without this message by purchasing novaPDF (http://www.novapdf.com/)

Anda mungkin juga menyukai