Ekoper Sungai PDF
Ekoper Sungai PDF
SUNGAI
Disusun oleh:
1.2. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Dapat mengetahui karakteristik, struktur dan faktor-faktor parameter perairan sungai
2. Dapat mengetahui hubungan karakteristik dan struktur sungai dengan potensi akuakultur.
Sungai adalah suatu badan air yang mengalir ke satu arah. Air adalah benda cair, yang senantiasa
bergerak kearah tempat yang lebih rendah, yang dipengaruhi oleh gradien sungai dan gaya gravitasi bumi.
Menurut Sandy (1985), dalam pergerakannya air selain melarutkan sesuatu, juga mengkikis bumi,
sehingga akhirnya terbentuklah cekungan dimana air tertampung melalui saluran kecil dan atau besar,
yang disebut dengan istilah alur sungai (badan sungai). Lebih jauh dikemukakan bahwa aliran sungai di
bagian luarnya dibatasi oleh bagian batuan yang keras yang disebut dengan tanggul sungai. Saluran air
kecil dan atau besar yang saling ketemu membentuk pola aliran sungai tertentu, yang dipengaruhi oleh
jenis batuan dan bentuk morfologi medan (Thornbury, 1954; Barstra, 1982). Lebih jauh Sandy (1985)
menyatakan bahwa jenis batuan dan morfologi medan badan sungai, selain mempengaruhi kerapatan
aliran sungai, juga dapat mencirikan karakteristik sungai yang meliputi perkembangan profil, pola aliran
dan genetis sungainya. Di daerah yang tersusun oleh batuan intrusif, dengan tekstur kasar, menunjukkan
kerapatan aliran sungai yang rendah. Namun sebaliknya pada aliran sungai yang didominansi oleh batuan
sedimen, memperlihatkan kerapatan yang tinggi (Zuidam, 1983 dan Sandy, 1985).
Keterangan :
A = Bantaran sungai. B = tebing/jering sungai. C = badan sungai. D = batas tinggi air semu. E = dasar
sungai. F = vegetasi riparian
Lebih jauh Forman (1983), menyebutkan bahwa bagian dari bentuk luar sungai secara rinci dapat
dipelajari melalui bagian-bagian dari sungai, yang sering disebut dengan istilah struktur sungai. Struktur
sungai dapat dilihat dari tepian aliran sungai (tanggul sungai), alur sungai, bantaran sungai dan tebing
sungai, yang secara rinci diuraikan sebagai berikut:
C. Bantaran sungai
Forman dan Gordon (1983) menyebutkan bahwa bantaran sungai merupakan bagiandari struktur
sungai yang sangat rawan. Terletak antara badan sungai dengan tanggul sungai, mulai dari tebing sungai
hingga bagian yang datar. Peranan fungsinya cukup efektif sebagai penyaring (filter) nutrien,
menghambat aliran permukaan dan pengendali besaran laju erosi. Bantaran sungai merupakan habitat
tetumbuhan yang spesifik (vegetasi riparian), yaitu tetumbuhan yang komunitasnya tertentu mampu
mengendalikan air pada saat musimpenghujan dan kemarau.
D. Tebing sungai
Bentang alam yang menghubungkan antara dasar sungai dengan tanggul sungaidisebut dengan
“tebing sungai”. Tebing sungai umumnya membentuk lereng atau sudut lereng, yang sangat tergantung
dari bentuk medannya. Semakin terjal akan semakin besar sudut lereng yang terbentuk. Tebing sungai
merupakan habitat dari komunitas vegetasi riparian, kadangkala sangat rawan longsor karena batuan
dasarnya sering berbentuk cadas. Sandy (1985), menyebutkan apabila ditelusuri secara cermat maka akan
dapat diketahui hubungan antara lereng tebing dengan pola aliran sungai.
E. Kerapatan sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS), seperti yang dikemukan Sandy (1985) adalah bagiandari muka bumi
yang dibatasi oleh topografi dan semua air yang jatuh mengalir kedalam sungai, dan keluar pada satu
outlet. Sedangkan kerapan sungai yang dimaksutkan adalah ratio (perbandingan) jumlah panjang sungai
dalam (km) terhadap luas Daerah Aliran Sungai.
A. Profil sungai
Berdasarkan perkembangan profil sungai (Lobeck, 1939; Pannekoek, 1957 danSandy, 1985), dalam
proses pengembangnnya mengalami tiga taraf yaitu: Periode muda, terdapat di daerah hulu sungai, yang
mempunyai ketinggian relief yang cukup besar. Ciri spesifiknya terdapatnya sayatan sungai yang dalam,
disebabkan oleh penorehan air yang kuat dari air yang mengalir cepat dan daya angku yang besar. Erosi
tegak sering dijumpai, sehingga lebah curam berbentuk huruf (V) sering juga ditemukan. Contoh yang
jelas di hulu Sungai Cipeles sekitar Cadas Pangeran. Periode dewasa, dijumpai di bagian tengah sungai,
yang dicirikan dengan pengurangan kecepatan aliran air, karena ketinggian relief yang berkurang. Daya
angkut berkurang, dan mulai timbul pengendapan di beberapa tempat yang relatif datar. Keseimbangan
antara kikisan dan pengendapat mulai tampak, sehingga di beberapa tempat mulai terjadi akumulasi
material, arus akan berbelok-belok, karena endapan yang mengeras, dan di tempat endapan inilah yang
sering terjadi meander. Periode tua, di daerah hilir dengan ketinggian rendah, yang dicirikan tidak terjadi
erosi tegak, dan daya angkut semakin berkurang, sehingga merupakan pusat-pusat pengendapan. Tekanan
air laut di bagian muara sungai sering menyebabkan delta.
B. Pola Aliran
Cotton (1949), menyatakan bahwa letak, bentuk dan arah aliran sungai, dipengaruhiantara lain oleh
lereng dan ketinggian, perbedaan erosi, struktur jenis batuan, patahan dan lipatan, merupakan faktor-
faktor yang menyebabkan perbedaan bentuk genetik dan pola sungai. Pola sungai adalah kumpulan dari
sungai yang mempunyai bentuk yang sama, yang dapat menggambarkan keadaan profil dan genetik
sungainya (Lobeck, 1939; Katili (1950), dan Sandy, 1985). Lebih jauh dikemukakan bahwa ada empat
pola aliran sungai yaitu:
1. Pola denditrik, bentuknya menyerupai garis-garis pada penampang daun, terdapat di
struktur batuan beku, pada pengunungan dewasa.
2. Pola retangular, umumnya terdapat di struktur batuan beku, biasanya lurus mengikuti
struktur patahan, dimana sungainya saling tegak lurus
C. Genetik Sungai
Menurut Lobeck (1939), klasifikasi genetik sungai dibedakan menjadi empat yaitu:
1. Sungai konsekwen, yaitu sungai yang bagian tubuhnya mengalir mengikuti kemiringan lapisan
batuan yang dilaluinya. Contoh S. Cipanas, Sungai Cacaban.
2. Sungai Subsekwen, yaitu sungai yang mengalir pada lapisan batuan yang lunak, dan biasanya
merupakan sungai yang tegak lurus terhadap sungai konsekwen.
3. Sungai Obsekwen, adalah sungai yang mengalir berlawanan dengan kemiringan lapisan batuan,
atau sungai yang mengalir dan berlawanan dengan sungai konsekwen.
4. Sungai antiseden, sungai yang mengalir melalui patahan, dengan adanya teras,
A. Daerah litoral
Daerah ini merupakan daerah dangkal. Cahaya matahari menembus dengan optimal. Air yang
hangat berdekatan dengan tepi. Tumbuhannya merupakan tumbuhan air yang berakar dan daunnya ada
yang mencuat ke atas permukaan air.Komunitas organisme sangat beragam termasuk jenis-jenis
ganggang yang melekat (khususnya diatom), berbagai siput dan remis, serangga, krustacea, ikan, amfibi,
reptilia air dan semi air seperti kura-kura dan ular, itik dan angsa, dan beberapa mamalia yang sering
mencari makan di danau.
B. Daerah limnetik
Daerah ini merupakan daerah air bebas yang jauh dari tepi dan masih dapat ditembus sinar
matahari. Daerah ini dihuni oleh berbagai fitoplankton, termasuk ganggang dan sianobakteri. Ganggang
berfotosintesis dan bereproduksi dengan kecepatan tinggi selama musim panas dan musim semi.
Zooplankton yang sebagian besar termasuk Rotifera dan udang- udangan kecil memangsa fitoplankton.
Zooplankton dimakan oleh ikan-ikan kecil. Ikan kecil dimangsa oleh ikan yang lebih besar, kemudian
ikan besar dimangsa ular, kura-kura, dan burung pemakan ikan.
C. Daerah profundal
Daerah ini merupakan daerah yang dalam, yaitu daerah afotik danau. Mikroba dan organisme lain
menggunakan oksigen untuk respirasi seluler setelah mendekomposisi detritus yang jatuh dari daerah
limnetik. Daerah ini dihuni oleh cacing dan mikroba.
D. Daerah bentik
Daerah ini merupakan daerah dasar tempat terdapatnya bentos dan sisa-sisa organisme mati.
B. Produktivitas primer
Produktivitas primer sangat penting bagi budidaya, karena sebagai penghasil oksigen terbesar yang
sangat dibutuhkan oleh organisme untuk bernapas. Produktivitas primer sangat dipengaruhi oleh tingkat
kesuburan perairan tersebut, kesuburan dipengaruhi oleh kecepatan pengeluaran bahan organik menjadi
garam mineral. Perairan yang kurang subur produktivitas primernya harus dirangsang dengan
pemupukan. Perairan yang produktivitasnya tinggi maka sinar matahari dapat menembus beberapa
sentimeter (cm), dikarenakan terhalang oleh fitoplankton yang ada dalam permukaan air (Afrianto dan
Liviawati, 1989).
Menurut Kartamihardja (1992), produktivitas primer merupakan laju perambatan energi yang
dilakukan oleh produsen. Produktivitas primer menunjukkan jumlah enegi kimia oleh autotrof suatu
ekosistem selama satuperiode waktu tertentu.Total produktivitas primer dikenal sebagai produktivitas
primer kotor (gross primary productivity, GPP). Tidak semua hasil produktivitas ini disimpan sebagai
bahan organik pada tubuh organisme produsen atau pada tumbuhan yang sedang tumbuh, karena
organisme menggunakan sebagian molekul tersebut sebagai bahan bakar organik dalam
respirasinya.Produktivitas primer bersih (net primary productivity,NPP) sama dengan produktivitas
primer kotor dikurangi energi yang digunakan oleh produsen untuk respirasi (RS). NPP=GPP-RS.
Produktivitas primer dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut adalah cahaya, nutrien, suhu.
Cahaya merupakan salah satu faktor yang menentukan distribusi klorofil-a di perairan.Daerah lapisan
permukaan tersedia cukup banyak cahaya matahari untuk proses fotosintesa, sedangkan dilapisan yang
lebih dalam cahaya matahari sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Fotosintesa fitoplankton menggunakan
klorofil-a dan satu jenis pigmen tambahan seperti protein, fukosantin dan periginin yang secara lengkap
menggunakan semua cahaya dalam spectrum tampak.Nutrien adalah semua unsur dari semua senyawa
yang dibutuhkan oleh tumbuh-tumbuhan dalm bentuk material organik (amonia, nitrat) dan anorganik
terlarut (asam amino).Elemen nutrien utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar disebut makro nutrien,
sedangkan elemen utama dalam jumlah sedikit disebut mikro nutrien. Sebaran klorofil-a dalam kolam
perairan sangat tegantung pada konsentrasi nutrien Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa baik secara
langsung maupun tidak langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam
proses fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa(Hutabarat dan Evans,1984;
Zahidin, 2008)
C. Plankton
Plankton adalah suatu komunitas meliputi tumbuhan dan hewan yang terdiri dari organisme yang
melayang baik yang mampu melawan arus maupun yang tidak. Plankton berdasarkan ukurannya dapat
dibagi menjadi 4 (empat) kelompok yaitu: ultra nanoplankton (<2mikron); nannoplankton (2-20 mikron);
mikroplankton (20-200 mikron); makroplankton (200-2000 mikron). Ada dua golongan besar plankton
yaitu fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah golongan plankton yang mempunyai klorofil di
dalam tubuhnya. Daerah hidup fitoplankton adalah di lapisan yang masih terdapat sinar matahari.
Fitoplankton dapat membuat makanannya sendiri dengan mengubah bahan anorganik menjadi bahan
organik melalui proses fotosintesis dengan menggunakan bantuan sinar matahari. Zooplankton adalah
golongan plankton yang tidak mempunyai klorofil di dalam tubuhnya dan pada umumnya menjauhi sinar
matahari. Zooplankton terdiri dari holozooplankton, yang selama siklus hidupnya sebagai plankton dan
merozooplankton, yang sebagian siklusnya sebagai plankton, setelah dewasa tidak bersifat sebagai
plankton (Mulyanto, 1992; Zahidin, 2008).
D. Hewan Makrobenthos
Benthos adalah organisme yang hidupnya di dasar perairan (Hutabarat dan Evans, 1985; Zahidin,
2008) yang dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu fitobenthos dan hewan benthos. Berdasarkan
ukuran hewan Benthos dapat dibagi menjadi 4 jenis, yaitu : megalobenthos (>4,7 mm); makrobenthos
(1,4 – 4,7 mm); meiobenthos (0,5 – 1,3 mm) dan mikrobenthos (0,15 – 0,5 mm). Sedangkan berdasarkan
tempat hidupnya hewan makrobenthos dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu epifauna, yang hidupnya
di lapisan atas dasar perairan dan infauna, yang hidupnya di dalam dasar perairan (Mulyanto, 1992;
Zahidin, 2008).
E. Debit sungai
Debit sungai adalah besaran volume air yang mengalir per satuan waktu. Volume air dihitung
berdasarkan luas penampang dikalikan dengan tinggi air. Sumber air sungai terbesar berasal dari curah
hujan, di bagian hulu umumnya curah hujannya lebih tinggi, dibanding di daerah tengah dan hilir. Sumber
lainnya berasal dari aliran bawah tanah, yang dibedakan menjadi air sub surface runof, mata air dan air
bawah tanah (base flow). Pada musim penghujan, aliran bawah tanah bersumber dari air hujan, yang
masuk melalui peristiwa infiltrasi perkolasi. Air perkolasi menuju ke lapisan air tanah dalam (ground
water), namun sering ada yang keluar kesamping (sub-surface runof). Air aliran samping ini sering keluar
pada waktu musim hujan dan atau musim kemarau, yang berbeda dengan aliran bawah tanah yang akan
keluar pada waktu musim kemarau.
F. Suhu air
Salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme
adalah temperatur (Nybakken, 1988); Zahidin (2008). Termasuk hewan makrobenthos juga dipengaruhi
oleh temperatur perairan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Effendi (2003); Zahidin
(2008) bahwa kisaran temperatur yang optimal untuk pertumbuhan fitoplankton secara umum di perairan
adalah 20 0C–30 0C. Pertumbuhan yang optimal Filum Chlorophyta akan terjadi pada kisaran temperatur
30 0C – 35 0C dan untuk Diatom pada temperatur 200C – 30 0C. Phylum Cyanophyta dapat bertoleransi
terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan Chlorophyta dan Diatom.
Secara umum, temperatur air sungai secara horizontal dipengaruhi oleh ketinggiantempat (elevasi).
Sandy (1985), mengemukakan bahwa di daerah-daerah hulu air sungai relatif dingin, sedangkan di bagian
tengah dan hilir semakin tinggi suhunya. Akan tetapi Cole (1979); Zahidin (2008), menyatakan bahwa
selain pemanasan bersumber dari matahari, suhu air sungai juga sering bersumber dari batuan kapur dan
atau panas bumi. Tinggi rendahnya temperatur air sungai, akan berpengaruh terhadap kehidupan (biota)
perairan sungai.
H. Padatan Tersuspensi
Muatan padatan tersuspensi dan kekeruhan, menurut Sandy (1985) sangat dipengaruhi oleh musim.
Pada waktu musim penghujan kadungan lumpur relatif lebih tinggi karena besaran laju erosi yang terjadi;
sedangkan pada musim kemarau tingkat kekeruhan air sungai dipengaruhi oleh laju aliran air yang
terbatas menoreh hasil-hasil endapan sungai.
A. Saprobitas
Saprobitas perairan adalah keadaan kualitas air yang diakibatkan adanya penambahan bahan
organik dalam suatu perairan yang biasanya indikatornya adalah jumlah dan susunan spesies dari
organisme di dalam perairan tersebut. Lebih jelasnya saprobitas perairan diidentifikasi melalui analisa
TROSAP. Analisa ini menitikberatkan kepada evaluasi parameter penyubur (Tropic Indicator) dan
parameter pencemar (Saprobic Indeks). Analisa trosap yang menggunakan dasar evaluasi parameter
penyubur (Tropic Indikator) menunjukkan besarnya produktifitas primer sebagai hasil bioaktivitas
organisme perairan. Sedangkan untuk parameter pencemar (Tropic Indikator) menunjukkan aktivitas
dekomposisi dari “dead organic matter” bersama bio akumulasi jasad renik terhadap bahan pencemar.
Menurut Anggoro (1988); Zahidin (2008) bahwa tingkat saprobik akan menunjukkan derajat pencemaran
yang terjadi di dalam perairan dan akan diwujudkan oleh banyaknya jasad renik indikator pencemaran.
Sementara Pantle dan Buck (1955) dalam Basmi (2000); Zahidin (2008), menggolongkan tingkat
saprobitas sebagai berikut :
1. Polisaprobik, yaitu saprobitas perairan yang tingkat pencemarannya berat, sedikit atau tidak adanya
oksigen terlarut (DO) di dalam perairan, populasi bakteri padat, dan H2S tinggi.
2. α - Mesosaprobik, yaitu saprobitas perairan yang tingkat pencemarannya sedang sampai dengan
berat, kandungan oksigen terlarut (DO) di dalam perairan meningkat, tidak ada H2S, dan bakteri
cukup tinggi.
3. β - Mesosaprobik, yaitu saprobitas perairan yang tingkat pencemarannya ringan sampai sedang,
kandungan oksigen terlarut (DO) dalam perairan tinggi, bakteri sangat menurun, menghasilkan
produk akhir nitrat.
4. Oligrosaprobik, yaitu saprobitas perairan yang belum tercemar atau mempunyai tingkat pencemaran
ringan, penguraian bahan organik sempurna, kandungan oksigen terlarut (DO) di dalam perairan
tinggi, jumlah bakteri sangat rendah.
B. DO
Dilihat dari jumlahnya, oksigen (O2) adalah satu jenis gas terlarut dalam air dengan jumlah yang
sangat banyak, yaitu menempati urutan kedua setelah nitrogen. Namun jika dilihat dari segi kepentingan
untuk budidaya perariran, oksigen menempati urutan teratas. Oksigen yang diperlukan biota air untuk
pernafasannya haruslah terlarut dalam air. Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas, sehingga bila
ketersediaannya di dalam air tidak mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka segala aktivitas biota akan
terhambat (Ghufran dan Andi, 2007).
Kebutuhan oksigen bagi ikan mempunyai dua aspek yaitu kebutuhan lingkungan bagi spesies
tertentu dan kebutuhan konsumtif yang bergantung pada keadaan metabolisme ikan. Ikan memerlukan
oksigen guna pembakaran bahan bakarnya (makanan) untuk menghasilkan aktivitas, seperti aktivitas
berenang, pertumbuhan, reproduksi, atau sebaliknya. Tampak dengan jelas bahwa ketersediaan oksigen
bagi ikan menentukan lingkaran aktivitas ikan. Konversi makanan, demikian juga laju pertumbuhan,
D. Alkalinitas
Alkalinitas adalah konsentrasi total dari unsur basa-basa yang terkandung dalam air dan biasa
dinyatakan dalam mg/ l atau setara dengan kalsium karbonat (CaCO3). Konsentrasi total alkalinitas sangat
erat hubungannya dengan konsentrasi total kesadahan total kesadahan air. Total alkalinitas pada lahan
biasanya mempunyai konsentrasi yang sama dengan total kesadahan air(Ghufran dan Andi, 2007)
Perairan dengan total alkalinitas kurang dari 15–20 mg/l biasanya mengandung sedikit
karbondioksida yang cukup untuk produksi plankton pada budidaya ikan. Karbondioksidaseringkali
rendah suplainya pada perairan yangalkalinitasnya tidak lebih dari 200–250 mg/l. Sore hari pH di perairan
dengan alkalinitas yang rendah, kadang-kadang sama besarnya pH air yang mengandung total alkalinitas
yang cukup atau tinggi. Perairan dengan alkalinitas rendah mempunyai daya tangkap (buffer) yang rendah
terhadap perubahan pH dan hilangnya karbondioksidaakan menghasilkan peningkatan pH yang mendadak
(Afrianto dan Liviawati,1989).
F. Kesadahan
Afrianto dan Liviawati, 1989. Beberapa Metode Budidaya Ikan. Yogyakarta: Kanisius.
Barstra, G.J; 1978. The riverlaid strata near Trinil, site of Homo Erectus, Java, Indonesia. Mod.Quat. Res.
In SE Asia, Vol 7.
Basmi, J. 1997. Planktonologi : Terminologi dan Klasifikasi Zooplankton Laut. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Cholik, F., A. Hardjamulia dan R. Arifudin. 1986. Budidaya Perikanan. BLPP SUPM Negeri, Bogor.
Cotton, C. A; 1940. Classifikation and correlation of River Terrasces. Jour Geomorphology, Vol 3. New
York: Grw Hill.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan.
Kanisius, Yogyakarta. hal 258.
Forman; Richard and Michel Gordon. 1983. Lansdcape Ecology. John Wiley & Son; New York. Katili,
J.A; 1950. Geologi. Jakarta; Departemen Urusan Riset Nasional.
Ghufran H. Kordik, M danAndiBasoTanang. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Hutabarat, S dan M. Evans. 1985. Pengantar Oceanografi. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Kartamihardja, E. 1992. Beberapa Aspek Limnologi dan Pengelolaan Perikanan di Waduk Wadaslintang,
Wonosobo, Jawa Tengah. Buletin Penelitian Perikanan Darat. Balai Penelitian Perikanan Air
Tawar. Bogor. 136 hlm.
Minggawati I dan Lukas. 2012. Studi Kualitas Air untuk budidaya Ikan Karamba di Sungai Kahayan.
Fakultas Perikanan Universitas Kristen Palangka Raya.
Mulyanto, S. 1992. Lingkungan Hidup Untuk Ikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Nybakken, J.M. 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis (diterjemahkan olehH.M. Eidmar,
Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan D. Sukardjo). Gramedia, Jakarta. 443 hal.
Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Sounders Company, Toronto. 347 pp.
Pannekoek, A.J.Dr. 1949. Outline of the Geomorphology of Java. TKNA, Genootsch. LXVI.
Reish, D.J. 1979. Bristle Worms (Annelida : Polychaeta) In Pollution Ecology of Estuarine Invertebrates.
C. W. Hart., and Samuel L. H. F. (eds. 2). Academic Press, New York. pp 77-121.
Sandy, IM, 1985. DAS-Ekosistem Penggunaan Tanah. Publikasi Direktorat Taguna Tanah Departemen
Dalam Negeri (Publikasi 437).
Subachri, W, Zainuddin. dan Yanuarita. 2011.Budidaya Ikan Kerapu Sistem Karamba Jaring Apung dan
Tancap. Versi 1. WWF Indonesia.
Sukarno. 1981. Terumbu Karang Indonesia, Permasalaham dan Pengelolaannya. LON-LIPI. Jakarta.
Tang, U. M. dan Kasnawati. 1992. Hewan Markobenthos sebagai Indikator Biologi Pencemaran Bahan
Organik di Sungai. Majalah Pengembangan Ilmu-ilmu Peternakan dan Perikanan, Fakultas
Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. 17 (1) : 20 – 23.
Waryono. Tarsoen. 1985. Analisis Vegetasi Riparian (Studi Kasus DAS Mahakam Bagian Hilir). Litbang
Departemen Kehutanan Samarinda.
. 2008.Bentuk Struktur dan LingkunganBio-Fisik Sungai. Program studi F-MIPA UI
Zahidin. M. 2008. Kajian Kualitas Air di Sungi Pekalongan di Tinjau dari Indeks Keanekaragaman
Makrobentos dan Indeks Saprobitas Plankton. Tesis. Pascasarjana. Umdip.
Zonneveld, N., E. A. Huisman, J. H. Boon. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.