Anda di halaman 1dari 33

TINDAK PIDANA ANAK

BAB I
DEFINISI ANAK
1. Anak dalam Aspek Kriminologi
Perlindungan hukum terhadap anak diupayakan sejak awal, yakni sejak dari janin dalam kandungan
sampai anak berumur 18 tahun. Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak,
perlu adanya peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa dan
lembaga pendidikan.

Hal tersebut merupakan suatu kewajaran jika kita mengacu kepada pendapat dari Soerjono Soekanto,
yang mengatakan sebagai berikut: [1]
“Perubahan-perubahan sosial yang di dalam suatu masyarakat dapat terjadi oleh karena bermacam-
macam sebab. Sebab-sebab tersebut dapat berasal dari masyarakat itu sendiri (intern) muapun dari luar
masyarakat (ekstern). Sebagai sebab-sebab intern antara lain dapat disebutkan misalnya pertambahan
penduduk; penemuan-penemuan baru; pertentangan (conflict); atau mungkin karena terjadinya suatu
revolusi. Sebab-sebab ekstern dapat mencakup sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik,
pengaruh kebudayaan lain, peperangan dan seterusnya. Suatu perubahan dapat terjadi dengan cepat
apabila suatu masyarakat lebih sering terjadi kontak komunikasi dengan masyarakat lain, atau telah
mempunyai sistem pendidikan yang maju.”
Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan merupakan
sumber daya manusia bagi pembangunan nasional ke depan[2], sehingga diperlukan langkah-langkah
strategis untuk melakukan perlindungan baik dari segi hukum maupun segi pendidikan serta bidang-
bidang lain yang terkait.
Sebagai ‘kertas putih dan bersih’, seorang anak rentan akan pengaruh-pengaruh negatif yang bukan
hanya berasal dari ruang lingkup lingkungannya saja, namun juga dari ruang lingkup di luar
lingkungannya, maka sudah menjadi kewajiban bagi semua elemen masyarakat untuk menjaga
perkembangan fisik dan psikisnya.

Namun pada kenyataannya, masalah perilaku delinkuensi anak kini semakin menggejala di masyarakat,
baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Perkembangan masyarakat yang berawal dari
kehidupan agraris menuju kehidupan industrial telah membawa dampak signifikan terhadap kehidupan
tata nilai sosiokultural pada sebagian besar masyarakat. Nilai-nilai yang bersumber dari kehidupan
industrial semakin menggeser nilai-nilai kehidupan agraris dan proses tersebut terjadi secara
berkesinambungan sehingga pada akhirnya membawa perubahan dalam tata nilai termasuk pola-pola
perilaku dan hubungan masyarakat.

Kenakalan anak setiap tahun selalu meningkat, apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang
dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi yang dilakukan, kadang-kadang
tindakan pelanggaran yang dilakukan anak dirasakan telah meresahkan semua pihak khususnya para
orang tua. Fenomena meningkatnya perilaku tindak kekerasan yang dilakukan anak seolah-olah tidak
berbanding lurus dengan usia pelaku.[3]
Pesatnya perkembangan dunia saat ini telah merubah wajah dunia menjadi tanpa batas, yang ditandai
dengan kemajuan tehnologi, baik alat transportasi maupun komunikasi. Sehingga proses perpindahan
budaya dan nilai-nilai sosial dari satu wilayah ke wilayah lain menjadi sangat cepat. Khususnya di
Indonesia, perubahan nilai-nilai sosial semakin nyata dalam jangka waktu yang sangat singkat. Pergaulan
anak-anak dan remaja di era 80-an sangat jauh berbeda dengan era 90-an bahkan pada saat sekarang ini.
Hal yang dahulu dianggap tabu, menjadi hal yang biasa pada saat ini. Perubahan nilai-nilai tersebut,
kemudian menjadi pemicu atau merupakan salah satu kriminogen dari munculnya perilaku menyimpang
dari seorang Anak.

Anak sebagai salah satu komponen penggerak generasi muda, menjadikannya sangat penting untuk
diperlakukan secara khusus. Menurut Zakiah Daradjat, bahwa generasi muda dibagi menjadi 3 (tiga)
kelompok, yaitu sebagai berikut:[4]
1. Kanak-kanak : 0 – 12 tahun
Masa ini dibagi menjadi 3 (tiga) tahap, yaitu:
1. Masa bayi : 0 – menjelang 2 tahun
2. Masa Kanak-Kanak I : 2 – 5 tahun
3. Masa kanak-Kanak II : 5 – 12 tahun
2. Masa Remaja : 13 – 20 tahun
3. Masa Dewasa Muda : 21 – 25 tahun
Pada masa-masa inilah, seorang anak berada dalam kondisi labil dan dalam posisi pencarian jati diri.
Proses pembentukan pola pikir yang tidak stabil menjadikannya mudah terintimidasi oleh apa pun,
artinya kondisi dan suasana apapun dapat saja menjadi pemicu munculnya behavioral
deviation (penyimpangan perilaku), yang kemudian mengarah kepada juvenile delinquency (kenakalan
remaja).
Menurut Kartini Kartono[5], kenakalan Remaja merupakan gejala patologis sosial pada remaja yang
disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk perilaku
yang menyimpang. Sedangkan menurut Santrock bahwa kenakalan remaja merupakan kumpulan dari
berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial hingga terjadi tindakan kriminal.
Tentang normal tidaknya perilaku kenakalan atau perilaku menyimpang, pernah dijelaskan dalam
pemikiran Emile Durkheim[6] dalam bukunya “Rules of Sociological Method” bahwa perilaku
menyimpang atau jahat kalau dalam batas-batas tertentu dianggap melanggar fakta sosial yang normal
dan dalam batas-batas tertentu kenakalan adalah normal karena tidak mungkin menghapusnya secara
tuntas, dengan demikian perilaku dikatakan normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan
keresahan dalam masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan melihat pada
sesuatu perbuatan yang tidak disengaja.
Kenakalan remaja (juvenile delinquency) sebagai salah satu bentuk penyimpangan perilaku (behavioral
deviation) merupakan salah satu akibat kegagalan pertumbuhan intelegensia dalam diri anak tersebut,
yang memang harus diakui karena masih dalam masa pertumbuhan. Kemampuan intelegensi tersebut,
menurut Alfed Biner, memuat 3 (tiga) aspek, yaitu:
1. Direction; Kemampuan untuk memusatkan kepada suatu masalah yang harus dipecahkan.
2. Adaptation; Kemampuan untuk mengadakan adaptasi terhadap masalah yang dihadapinya atau
fleksibel didalam menghadapi masalah.
3. Criticisem; Kemampuan untuk mengadakan kritik, baik terhadap masalah yang dihadapi maupun
terhadap dirinya sendiri.
Berdasarkan uraian tersebut, maka nampak jelas bahwa perkembangan seorang anak, baik dari sisi fisik
maupun non-fisik, masih sangat jauh dari stabilitas. Kemampuan intelegensi seorang anak tidak akan
mampu menganalisa dan menelaah problem sosial dan perkembangan sosial serta perubahan sosial
karena pesatnya globalisasi industri komunikasi, sehingga faktor eksternal, sebagaimana diungkapkan
oleh Soerjono Soekanto, menjadi faktor utama dalam memicu sifat-sifat negatif yang alamiah ada pada
diri manusia dini.
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi
dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang, yang memiliki peran strategis dan
mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara seimbang.[7] Masa kanak-kanak
merupakan periode penaburan benih, pendirian tiang pancang, pembuatan pondasi, yang dapat disebut
juga sebagai periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter diri seorang manusia, agar mereka
kelak memiliki kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan.[8]
Kasus-kasus kejahatan yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak kejahatan membawa fenomena
tersendiri. Mengingat anak adalah individu yang masih labil emosi sudah menjadi subyek hukum, maka
penanganan kasus kejahatan dengan pelaku anak perlu mendapat perhatian khusus, dimulai dari hukum
acara pidana yang berlaku terhadap anak. Hukum acara Pidana Anak mengatur secara khusus kewajiban
dan hak yang diperoleh anak.

Penanganan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dari tahun ke tahun selalu menuai kritikan baik
dari akademisi, praktisi maupun masyarakat. Hal ini lebih banyak disebabkan kepada kultur yang
dipelihara dari generasi ke generasi dalam pola pikir penegak hukum dalam menangani pelaku tindak
pidana.

Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak-anak banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor,
mengingat tingkat kelabilan yang masih ada dalam diri anak, menurut Romli Atmasasmitadibagi
menjadi 2 (dua) kelompok motivasi, yaitu :[9]
1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah :
1. Faktor intelegentia
2. Faktor usia
3. Faktor kelamin
4. Faktor kedudukan anak dalam keluarga.
2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah :
1. Faktor rumah tangga
2. Faktor pendidikan dan sekolah
3. Faktor pergaulan anak
4. Faktor mass media
Faktor-faktor tersebutlah yang mendominasi dalam memotivasi seorang anak melakukan kenakalan,
namun demikian menurut Penulis, kebijakan legislatif dapat pula muncul sebagai salah satu faktor
kriminogen dalam hal terciptanya perilaku menyimpang dari anak berupaka kenakalan anak (juvenile
delinquency). Walaupun memang kebijakan legislatif bukanlah faktor yang secara langsung
bersinggungan dengan maraknya kenakalan anak. Namun demikian, istilah law as a tools of social
engineering pada tujuan dari pembentukan suatu Undang-undang tertentu, juga dapat menimbulkan efek
samping negatif bagi masyarakat. Dimana Undang-undang sebagai instrumen dalam melakukan
pembangunan bagi masyarakat dapat menimbulkan rasa ketidakadilan, sehingga memunculkan perilaku
menyimpang.
Dari berbagai Kongres PBB yang membicarakan “Crime Trends and Crime Prevention Strategies”, antara
lain disimpulkan bahwa:[10]
1. Pembangunan pada hakikatnya tidak bersifat kriminogen, khususnya apabila hasil-hasil
pembangunan itu didistribusikan secara pantas dan adil kepada semua rakyat serta menunjang
kemajuan seluruh kondisi sosial;
2. Pembangunan dapat besifat kriminogen atau meningkatkan kriminalitas, apabila pembangunan itu
direncanakan secara tidak rasional, timpang atau tidk seimbang, mengabaikan nilai-nilai kultural dan
moral serta tidak mencakup strategis perlindungan masyarakat yang intergral.
Ketidakjelasan redaksional pasal yang menimbulkan beragam penafsiran mampu menimbulkan peluang
munculnya calon-calon pelaku kejahatan/tindak pidana. Sebagai contoh pada Sistem Peradilan Pidana
(SPP), dimana sebagai bentuk subproses sosial, SPP tak lepas dari sifat kriminogen lantaran adanya
praktik-praktik yang tidak konsisten, yang justru bisa “menciptakan” kejahatan. Sebuah tindak pidana
bisa saja menjadi bukan tindak pidana atau sebaliknya. Persepsi masing-masing penegak hukum,
profesionlisme, infrastruktur, budaya – bahkan kepentingan politik — dapat membawa pandangan
bahwa hukum adalah sebatas pembalasan semata. Penerapan pidana yang berbeda-beda terhadap
(pelaku) tindak pidana yang sama adalah kriminogen.

Adapun bentuk-bentuk dari kenakalan anak dikategorikan sebagai berikut:[11]


1. Kenakalan Anak sebagai status offences, yaitu segala prilaku anak yang dianggap menyimpang, tetapi
apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai tindak pidana, misalnya membolos
sekolah, melawan orang tua, lari dari rumah, dan lain-lain.
2. Kenakalan anak sebagai tindak pidana (Juvenile delinquency), yaitu segala prilaku anak yang dianggap
melanggar aturan hukum dan apabila dilakukan oleh orang dewasa juga merupakan tindak pidana,
tetapi pada anak dianggap belum bertanggung jawab penuh atas perbuatannya.
Lebih terinci kenakalan anak ini bisa berbentuk :

1. Kebut-kebutan di jalanan yang menggangu keamanan lalu lintas dan membahayakan jiwa sendiri dan
orang lain;
2. Prilaku ugal-ugalan, berandal, urakan yang mengacaukan ketentraman lingkungan sekitarnya.
Tingkah ini bersumber pada kelebihan energi dan dorongan primitif yang tidak terkendali serta
kesukaan menteror lingkungan;
3. Perkelahian antar geng, antar kelompok, antar sekolah, antar suku (tawuran), sehingga kadang-
kadang membawa korban jiwa;
4. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan atau bersmbunyi ditempat-tempat terpencil
sambil melakukan eksperimen bermacam-macam kedurjanaan dan tindakan a-susila;
5. Kriminalitas anak, remaja dan adolesens antara lain berupa perbuatan mengancam, intimidasi,
memeras, mencuri, mencopet, merampas, menjambret, menyerang, merampok, menggangu,
menggarong, melakukan pembunuhan dengan jalan menyembalih korbannya, mencekik, meracun,
tindak kekerasan dan pelanggaran lainnya;
6. Berpesta-pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas, atau orgi (mabuk-mabukan
yang menimbulkan keadaan kacau balau) yang mengganugu sekitarnya;
7. Perkosaan, agresivitas seksual, dan pembunuhan dengan motif sosial atau didorong oleh reaksi-reaksi
kompensatoris dari perasaan inferior, menuntut pengakuan diri, defresi, rasa kesunyian, emosi, balas
dendam, kekecewaan ditolak cintanya oleh seorang wanita dan lain-lain;
8. Kecanduan dan ketagihan narkoba (obat bisu, drug, opium, ganja) yang erat berkaitan dengan tindak
kejahatan;
9. Tindakan-tindakan imoral sosial secara terang-terangan tanpa tedeng aling-aling, tanpa malu dengan
cara kasar. Ada seks dan cinta bebas tanpa kendali (promiscuity) yang didorong oleh hyperseksualitas,
dorongan menuntut hak, dan usaha-usaha kompensasi lainnnya yang kriminal sifatnya;
10. Homoseksualitas, erotisme anak dan oral serta gangguan seksualitas lainnya pada anak remajadisertai
dengan tindakan-tindakan sadis;
11. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan sehingga menimbulkan akses
kriminalitas;
12. Komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen dan pembunuhan bayi-bayi oleh
ibu-ibu yang tidak kawin;
13. Tindakan radikal dan ekstrim dengan jalan kekerasan, penculikan dan pembunuhan yang dilakukan
oleh anak-anak remaja;
14. Perbuatan a-sosial yang disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada anak-anak dan remaja psikopatik,
neurotik, dan menderita gangguan kejiwaan lainnya;
15. Tindak kejahatan yang disebabkan oleh penyakit tidur (encephaletics lethargoical) dan ledakan
maningitis serta post-encephalitics, juga luka-luka di kepala dengan kerusakan pada otak ada kalanya
membuahkan kerusakan mental, sehingga orang yang bersangkutan tidak mampu melakukan kontrol
diri;
16. Penyimpangan tingkah laku disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak yang menuntut
kompensasi, disebabkan adanya organ-organ yang inferior.
Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile Deliquency. Juvenile atau yang (dalam bahasa Inggris) dalam
bahasa Indonesia berarti anak-anak; anak muda, sedangkan Deliquency artinya terabaikan atau
mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi jahat, kriminal, pelanggar peraturan dan lain-
lain. Kamus Besar Bahasa Indonesia, delikuensi diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara
ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat.[12]
Perbuatan dikatakan delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma yang
ada dalam masyarakat dimana ia hidup atau suatu perbuatan yang anti sosial yang didalamnya
terkandung unsur-unsur anti normatif.[13]
Pengertian Juvenile Deliquency menurut Kartini Kartono adalah sebagai berikut : Juvenile
Deliquency yaitu perilaku jahat / dursila, atau kejahatan / kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala
sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian
sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.[14]
Menurut Romli Atmasasmita, Juvenile Deliquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang
anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma
hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.[15]
Menurut Paul Mudikdo memberikan perumusan mengenai Juvenile Delinquency, sebagai:[16]
1. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak
merupakan Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya,
membunuh dan lain sebagainya;
2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam
masyarakat;
3. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial termasuk gelandangan,
pengemis dan lain-lain.
Di Amerika Serikat perbuatan yang dilakukan anak-anak dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang
dewasa dibedakan pengertiannya. Suatu perbuatan tindakan anti sosial yang melanggar hukum pidana,
kesusilaan dan ketertiban umum bila dilakukan oleh seseorang yang berusia diatas 21 tahun disebut
dengan kejahatan (crime), namun jika yang melakukan perbuatan tersebut adalah seseorang yang berusia
di bawah 21 tahun maka disebut dengan kenakalan (Deliquency).
1. Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Berkaitan dengan perlindungan terhadap anak, dalam sistem hukum pidana di Indonesia, Pemerintah
menunjukkan itikad baik sebagai implementasi dari peratifikasian dari beberapa konvensi Internasional
yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia, dengan membentuk Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dimana sebelum adanya undang-undang tersebut telah ada beberapa undang-undang sebelumnya yaitu
pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 merupakan hukum acara khusus yang diberlakukan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum
pidana, yang sebelumnya masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana.

Mengenai klasifikasi tindak pidana yang terhadap tindak .pidana yang dilakukan terhadap anak, jauh
sebelumnya, para penegak hukum menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Berkaitan dengan peraturan perundang-undangan tersebut, maka seharusnya para penagak hukum, juga
melihat ke belakang kembali. Bahwa masih terdapat undang-undang peraturan yang lain yaitu Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Dalam perkembangannya, Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak ini sering terabaikan dalam
praktek penegakkan hukum. Padahal undang-undang tersebut belum lah dicabut atau dibekukan
keberlakuannya. Mengenai perlindungan hukum terhadap anak masih terdapat di dalam beberapa
undang-undang lain, misalnya pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Peratifikasian Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum
Anak Untuk Diperbolehkan Bekerja, dan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1990 tentang Ratifikasi
Konvensi Hak Anak (KHA) (yang disahkan Majelis Umum PBB 20 November 1989) yang merupakan cikal
bakal terbentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Selain ketentuan-ketentuan tersebut di atas, terdapat pula ketentuan yang mengatur mengenai
perlindungan terhadap anak dari tindak pidana kekerasan seksual khusus yang berada dalam lingkungan
rumah tangga, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.

Dimana pada tanggal 22 September 2004, disahkanlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang tertuang dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 95 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 4419. Undang-undang ini merupakan pengaturan secara khusus, di luar KUHP, mengenai
kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang korbannya adalah anggota keluarga tersebut.

Kekerasan yang dimaksud dalam Undang-undang ini termuat dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun
2004 yang menyebutkan sebagai berikut:

“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.”
Sedangkan ruang lingkup dari Undang-undang ini menurut Pasal 2 huruf a adalah suami, istri dan anak.
Sedangkan berdasarkan penjelasan pasal tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak
dalam ketentuan ini adalah termasuk Anak Angkat dan Anak Tiri. Selain dari ketentuan tersebut juga
termasuk anak yang berada dalam pengawasan dan perwalian.

BAB II
ASPEK HUKUM PERADILAN ANAK

1. Kompetensi Pengadilan Anak di Indonesia


John Gray dalam “Children are from Heaven”[17]menuturkan betapa anak-anak dilahirkan baik dan tidak
berdosa. Namun kita bertanggungjawab untuk secara bijaksana mendukung mereka sehingga potensi dan
bakatnya tertarik keluar. Karenanya, anak-anak membutuhkan kita (maksudnya orang dewasa) untuk
membetulkan mereka atau membuat mereka lebih baik. Anak bergantung pada dukungan kita untuk
tumbuh. Anak-anak yang masih dependen, sudah barang tentu berbeda dengan orang dewasa yang pada
umumnya secara teoritis dan praktis tidak lagi dikualifikasikan sebagai kelompok rentan. Berbeda
dengan orang dewasa, dalam dunia kenyataan anak-anak kerap menjadi sasaran dan korban kekerasan
dengan dampak yang panjang dan permanen.
Masuknya anak ke dalam klasifikasi pelaku suatu tindak pidana, dimana kasus-kasus kejahatan yang
melibatkan anak sebagai pelaku tindak kejahatan membawa fenomena tersendiri. Mengingat anak adalah
individu yang masih labil emosi sudah menjadi subyek hukum, maka penanganan kasus kejahatan dengan
pelaku anak perlu mendapat perhatian khusus, dimulai dari hukum acara pidana yang berlaku terhadap
anak. Hukum acara Pidana Anak mengatur secara khusus kewajiban dan hak yang diperoleh anak.

Perlu diakui bersama bahwa Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup
manusia dan keberlangsungan sebuah Bangsa dan Negara. Dimana dalam konstitusi Indonesia anak
memiliki peran strategis, hal ini secara tegas dinyatakan dalam konstitusi bahwa Negara menjamin setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai
kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia. Konsekwensi dari ketentuan Pasal 28 B
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat
kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk melindungi anak.

Perhatian terhadap anak sudah ada sejak lama ada sejalan dengan peradapan manusia itu sendiri, yang
dari ke hari semakin berkembang. Anak adalah putra kehidupan, masa depan bangsa dan negara. Oleh
karena itu, anak memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan
spiritualnya secara maksimal.

Apabila ditinjau dari sisi sejarah dan perkembangan dari pengaturan tentang pengadilan anak maka
dapat dilihat mulai dari sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 (Lembaran Negara
Republik Indonesia 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668);[18]
Sejak tahun 1901, di dalam KUHP Belanda telah ditambahkan beberapa ketentuan pidana yang baru
khusus mengatur masalah tindak pidana anak yang dilakukan oleh anak-anak beserta akibat hujumnya.
Ketentuan-ketentuan pidana itu oleh para penulis Belanda disebut sebagai hukum pidana anak.

Dalam perundang-undangan perhatian terhadap anak sudah dirumuskan sejak 1925, ditandai dengan
lahirnya Stb. 1925 Nomor 647 jo Ordonansi 1949 Nomor 9 yang mengatur Pembatasan Kerja Anak dan
Wanita. Kemudian tahun 1926 lahir pula Stb. 1926 Nomor 87 yang mengatur Pembatasan Anak dan
Orang Muda bekerja di atas kapal.[19]
Ternyata ketentuan-ketentuan pidana tersebut hanya sebagian saja telah dimasukan kedalam KUHP,
sebagaimana diatur dalam Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
yang merupakan konkordansi dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsc Indie dengan Firman Raja
Belanda tanggal 15 Oktober 1915 dan berlaku sejak 1 Januari 1918. Selanjutnya, dengan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946 termuat dalam Berita Negara RI Nomor 9 dan Undang-
undang Nomor 73 Tahun 1958 tanggal 29 September 1958 diberlakukan di seluruh Indonesia.[20]
Dalam beberapa pasalnya seperti Pasal 45, 46, dan 47 KUHP memberikan perlindungan terhadap anak
yang melakukan tindak pidana. Sebaliknya Pasal 285, 287, 290, 292, 293, 294, 295, dan 297 KUHP
memberikan perlindungan anak di bawah umur, dengan memperberat hukuman, atau mengkualifikasi
sebagai tindak pidana perbuatan-perbuatan tertentu terhadap anak. Padahal adakalanya tindakan
tersebut bukan merupakan tindak pidana bila dilakukan terhadap orang dewasa. [21]
Sebelum lahir Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, hukum
pidana anak diatur dalam KUHP hanya meliputi tiga pasal tersebut diatas, sedangkan Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya sedikit sekali menyinggung tentang anak, yaitu Pasal 153 (3), Pasal
153 (5), Pasal 171 sub a.

Surat Kejaksaan Agung kepada Mahkamah Agung No. P.1/20, tanggal 30 Maret 1951 menjelaskan bahwa
Anak Nakal adalah mereka yang menurut hukum pidana melakukan perbuatan yang dapat dihukum yang
belum berusia 16 (enam belas) tahun. Dalam surat ini, Jaksa Agung menekankan bahwa menghadapkan
anak-anak kedepan pengadilan, hanya sebagai langkah terakhir (ultimum remedium). Bagi anak nakal
masih dimunginkan ada penyelesaian lain yang dipertimbangkan secara masak faedahnya. Lembaga yang
dianggap tepat untuk menyelesaikan hal ini adalah Kantor Pejabat Sosial dan Pro Juventute. Pro
Juventute didirikan pada tahun 1957 oleh Departemen Kehakiman yang selanjutnya bernama Pra
Yuwana.
Bahwa ide tentang lahirnya peradilan anak di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970, seperti termaksud
dalam penjelasan Pasal 27 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (untuk
selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman). Dimana dalam pasal tersebut membuka peluang bagi
badan-badan peradilan yang sudah ada untuk membentuk peradilan khusus sebagai pengkhususan pada
masing-masing peradilan.

Di dalam Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman memang tidak dijelaskan peradilan anak, namun
dapat kita lihat di dalam penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum[22] (untuk selanjutnya disebut UU Peradilan Umum) yang menyatakan bahwa: “Yang dimaksud
dengan “diadakan pengkhususan” ialah adanya diferensiasi/spesialisasi di lingkungan Peradilan Umum,
misalnya Pengadilan Lalu lintas Jalan, Pengadilan Anak, Pengadilan Ekonomi, sedangkan yang dimaksud
dengan “yang diatur dengan undang-undang” adalah susunan, kekuasaan, dan hukum acaranya”.
Untuk merealisir lahirnya Undang-undang Peradilan Anak di Indonesia pada tanggal 10 November 1995
pemerintah dengan Amanat Presiden Nomor R.12/PU/XII/1995 mengajukan Rancangan Undang-undang
Peradilan Anak kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendapat persetujuannya.[23]
Akhirnya dengan diundangkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak maka
berdasarkan ketentuan Pasal 67 UU Pengadilan Anak tersebut secara jelas memuat ketentuan bahwa
Pasal 45, 46, dan 47 KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi sedangkan ditinjau dari aspek analogis
peraturan-peraturan lainnya tetap berlaku dalam praktik peradilan penanganan sidang anak di Indonesia
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.[24]
Dengan diundangkannya UU Pengadilan Anak, maka telah berakhirlah suatu perjalanan panjang dari
Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak yang telah dibahas sejak tahun 1970.

Dengan melihat latar belakang lahirnya Undang-Undang Pengadilan Anak yang termuat dalam
konsiderannya, tampak bahwa sesungguhnya kita hendak mewujudkan sebuah penanganan terhadap
perkara anak yang terlibat tindak pidana yang lebih baik dari yang terdahulu.

Lahirnya UU Pengadilan Anak menjadi acuan pertama peradilan terhadap anak nakal, selain itu undang-
undang ini ditujukan untuk memperbaiki hukum pidana anak di Indonesia, agar putusan pengadilan anak
menjadi lebih baik dan berkualitas, karena putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan anak di masa
yang akan datang. Apabila dikaji dasar pertimbangan sosiologis maupun filofofis dibentuknya UU
Pengadilan Anak, antara lain karena disadari bahwa anak merupakan generasi penerus cita-cita
perjuangan bangsa, serta sebagai sumber daya insansi bagi pembangunan nasional. Atas dasar hal itu,
terhadap anak diperlukan pembinaan yang terus menerus baik fisik, mental, maupun kondisi sosialnya,
serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa
depan. Termasuk, munculnya fenomena penyimpangan perilaku di kalangan anak, bahkan perbuatan
melanggar hukum yang dapat merugikan baik bagi dirinya sendiri, maupun masyarakat.

Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa munculnya UU Pengadilan Anak bukanlah menandakan
adanya institusi baru dalam dunia peradilan. Tidak seperti halnya pada Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (TIPIKOR)[25] ataupun Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)[26]merupakan institusi yang
terpisah berdasarkan Undang-undang khusus.
Pendapat Penulis ini didasarkan kepada ketentuan Pasal 2 UU Pengadilan Anak yang menegaskan sebagai
berikut:

“Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum.”
Dan pula termuat dalam Pasal 3 UU Pengadilan Anak yang menegaskan sebagai berikut:

“Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak, bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini.”
Melihat dari penyebutan istilah Sidang Anak sebagai representatif dari Sidang Pengadilan Anak, hal
tersebut menandakan bahwa walaupun Undang-Undangnya tersebut menggunakan penamaan
‘Pengadilan Anak’, namun bukan berarti ada institusi khusus pengadilannya, namun Undang-undang
tersebut sejatinya hanya merupakan Undang-undang yang memuat hukum acara dari suatu proses
peradilan anak.

UU Pengadilan Anak hanya menampilkan secara simbolis adanya Hakim Anak menandakan keberadaan
Pengadilan Anak, namun secara institusi TIDAK ADA.
Oleh karena tindak pidana yang pelakunya adalah anak, maka sesuai Penjelasan Pasal 27 UU Kekuasaan
Kehakiman, Pengadilan Anak itu berada di bawah Badan Peradilan Umum. Jadi yang diatur secara
istimewa dalam UU Pengadilan Anak itu hanyalah masalah acara sidangnya yang berbeda dengan acara
sidang orang dewasa. Dengan demikian kewenangan mutlak (Kompetensi Absolut) Pengadilan Anak, ada
pada peradilan umum.[27]
Sepanjang perjalanan UU Pengadilan Anak mulai dari tahun 1997 hingga 2012, telah banyak kritikan-
kritikan yang dilontarkan oleh para pegiat LSM Perlindungan Anak, dimana di dalam prakteknya UU
Pengadilan Anak tidak sepenuhnya merupakan Undang-undang yang bersifat lex specialist dikarenakan
terdapat beberapa bagian hukum acaranya masih mengacu kepada KUHAP. Sehingga semangat
pembaharuan hukum (legal reform) dalam peradilan anak menjadi tidak ada perubahan yang signifikan
dalam proses peradilan anak.[28]
Sehingga bergulirlah wacana untuk meng-amandemen UU Pengadilan Anak. Setelah melalui pembahasan
lama di DPR, Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Peradilan Anak akhirnya disahkan dalam Sidang
Paripurna di Gedung DPR Senayan,Jakarta, pada hari Selasa tanggal 3 Juli 2012 menjadi Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak (untuk selanjutnya disebut UU SPA).

Dari sisi penamaan, UU SPA lebih jelas bermakna bahwa Undang-undang tersebut merupakan pengaturan
secara formil atau hukum acara dalam proses peradilan pidana dimana anak sebagai pelaku tindak
pidana. Hal ini kemudian justru memperjelas bahwa di Indonesia memang belum memiliki institusi
khusus Pengadilan Anak. Sehingga dalam memproses anak sebagai pelaku tindak pidana tidak lagi
mengacu kepada KUHAP.

1. Anak Dalam Sistem Hukum Nasional


2. Batasan Usia Anak Secara Umum
Apabila ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” dimata hukum positif Indonesia lazim
diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring atau person under age), orang yang di bawah
umur atau keadaan di bawah umur (minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut sebagai
anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij).[29]
Pada tingkat Internasional rupanya tidak terdapat keseragaman dalam perumusan batasan tentang anak,
tingkatan umur seseorang dikategorikan sebagai anak anatara satu negara dengan negara lain cukup
beraneka ragam yaitu: [30]
“Dua puluh tujuh negara bagaian di Amerika Serikat menentukan batasan umur antara 8-17 tahun, ada
pula negara bagian lain yang menentukan btas umur antara 8-16. Di Inggris ditentukan batas umur antara
12-16 tahun. Australia, dikebanyakan negara bagian menentukan batas umur antara 8-16 tahun. Negeri
Belanda mentukan bata umur antara 12-18 tahun. Negara Asia anatara lain : Srilanka mentukan batas
umur antara 8-16 tahun, Iran 6-18 tahun, Jepang dan Korea mentukan batas umur antara 14-18 tahun,
Kamboja mentukan antara 15-18 tahun sedangkan Negara Asean antara lain Filipina menentukan batasan
umur antara 7-16 tahun.”
Maka bertitik tolak dari aspek tersebut ternyata hukum positif Indonesia (ius constitutum) tidak
mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan kriteria batasan
umur bagi soeorang anak. Terdapat beraneka ragam pendapat mengenai pengertian anak, dan pada umur
berapa seorang itu dikategorikan anak-anak. Pengertian anak dapat dilihat dalam perumusan berbagai
peraturan perundang-undangan maupun pendapat para pakar dengan batasan yang dapat berbeda
antara satu dengan yang lainnya.
Menurut Convention on the Right of the Child(Konvensi Hak Anak) pada tanggal 20 November 1989 yang
telah diratifikasikan oleh Indonesia, disebutkan dalam pasal 1 pengertian anak, adalah:
“Semua orang yang di bawah umur 18 tahun. Kecuali undang-undang menetapkan kedewasaan dicapai
lebih awal.”
Menurut UU Pengadilan Anak pada Pasal 1 menyatakan anak adalah :

“Orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
dan belum kawin”
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (untuk selanjutnya disebut
UU Kesejahteraan Anak) bahwa yang dimaksud dengan definisi Anak termuat di dalam Pasal 1, anak
adalah:

“Seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin.”
Disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (untuk selanjutnya
disebut UU Perlindungan Anak) ternyata pula memberikan pengertian tentang anak yang berbeda pula,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 sebagai berikut:

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.”
Sedangkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, berkaitan dengan anak sebagai
subyek hukum pada peradilan pidana, maka Pasal 45 KUHP memberikan definisi anak yang belum
dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam
perkara pidana maka hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah tersebut dikembalikan kepada
orang tuanya; walinya ataupun pemeliharanya dengan tidak dikenakan hukuman atau
memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman.
Ketentuan Pasal 45, 46, dan 47 KUHP ini sudah dihapus dengan lahirnya UU Pengadilan Anak.[31]
Pengertian-pengertian tersebut di atas menekankan, bahwa selama seseorang yang masih dikategorikan
anak-anak, seharusnya masih dalam tanggung jawab orang tua wali ataupun negara tempat si anak
tersebut menjadi warga negara tetap.

Dalam ranah Hukum Perdata, pengertian anak dan batasan usia anak pun diatur dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, misalnya dalam Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (untuk selanjutnya disebut UUK), yang menegaskan sebagai berikut:

“Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun.”
Selain itu diatur pula dalam Pada Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
menyatakan bahwa:

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu dan tidak lebih dahulu
kawin.
Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak
kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa, mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam
bagian ketiga, keempat, kelima, dan keenam bab ini.”
Pengaturan lebih lanjut dapat pula dijumpai pada 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang memberikan batasan-batasan untuk disebut anak adalah
belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan

Sedangkan dewasa dan belum dewasa menurut Romli Atmasasmita adalah:[32]


“Selama di tubuhnya berjalan proses pertumbuhan dan perkembangan, orang itu masih menjadi anak dan
baru menjadi dewasa bila proses perkembangan dan pertumbuhan itu selesai, jadi batas umur, anak-anak
adalah sama dengan permulaan menjadi dewasa, yaitu 18 tahun untuk wanita dan 20 tahun untuk laki-laki,
seperti halnya di Amerika, Yugoslavia, dan negara-negara barat lainnya”
Menurut Zakiah Daradjat, batas usia anak dan dewasa berdasarkan pula remaja yang menyatakan pula
bahwa : Masa sembilan tahun antara tiga belas dan dua puluh satu tahun sebagai masa remaja (adolensi)
merupakan masa peralihan antara masa anak-anak mengalami pertumbuhan yang cepat di segala bidang
dan mereka bukan lagi anak-anak bentuk badan, sikap berpikir dan bertindak tetapi bukan pula orang
dewasa.[33]
Sedangkan dalam Pasal 1 Children Rights Convention (CRC) atau Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi
Indonesia pada tahun 1990, mendefinisikan bahwa anak adalah:[34]
“………..Setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku
bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”.
Di dalam Pasal 2.2 huruf (a) The Beijing Rulesmenegaskan sebagai berikut: [35]
“Seorang anak adalah adalah seorang anak atau orang muda yang menurut sistem hukum masing-masing
dapat diperlakukan atas suatu pelanggaran hukum dengan cara yang berbeda dari perlakukan terhadap
orang dewasa.”
Berbagai kriteria untuk batasan usia anak pada dasarnya adalah pengelompokan usia maksimum sebagai
perwujudan kemampuan seorang anak dalam status hukum sehingga anak tersebut akan beralih status
menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subyek hukum yang data bertanggungjawab secara mandiri
terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh anak itu.[36]
Dari berbagai literatur mengenai Hukum Perlindungan Anak, hampir seluruh ahli hukum Anak selalu
mengutarakan berbagai macam dasar hukum serta berbagai definisi mengeni Anak, sehingga
memunculkan kebingungan bukan hanya dalam diri masyarakat, bahkan Mahasiswa Fakultas Hukum pun
tak jarang menjadi dilematis ketika berkaitan dengan definisi Anak. Pemahaman yang perlu ditanamkan
adalah bahwa perbedaan usia anak tersebut bergantung kepada perbuatan hukum yang bersinggungan
dengan si Anak. Batasan usia anak pada ranah hukum pidana tidak dapat diterapkan dalam batasan Anak
dalam ranah hukum Perdata, karena berbeda perbuatan hukumnya.

Menurut Penulis batasan tersebut bukanlah merupakan definisi atau pengertian dari Anak, namun
batasan tersebut adalah batasan usia yang merupakan wilayah kewenangan bagi penegak hukum untuk
melakukan tindakan hukum. Sehingga jika seorang anak, diluar batasan usia tersebut dalam artian beum
mencapai batas minimal, khususnya dalam ranah hukum pidana, maka aparat hukum tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan tindakan hukum.

Jika si Anak melakukan tindak pidana dalam batasan usia yang telah ditentukan, maka menimbulkan
kewajiban hukum bagi aparat penegak hukum untuk menerapkan hukum acara khusus anak, dan
terlarang baginya untuk menerapkan hukum acara yang bersifat umum. Namun, jika si Anak dalam
melakukan tindak pidana, sudah berada di luar batasan usia tersebut, maka memberikan kewenangan
bagi aparat penegak hukum untuk menerapkan hukum acara yang bersifat umum.

2. Pengertian Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum


Di dalam sistem Hukum Perlindungan Anak, ditemukan 2 (dua) istilah yang berbeda berkaitan dengan
Anak yang berkonflik dengan hukum. Pada UU Pengadilan Anak, menggunakan istilah Anak Nakal
sedangkan pada UU SPA menggunakan istilah Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.

Pada Pasal 1 angka 2 UU Pengadilan Anak ditegaskan sebagai berikut:

Anak Nakal adalah:

anak yang melakukan tindak pidana;


a. atau

anak yang melakukan perbuatan yang


dinyatakan terlarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang-
undangan maupun menurut peraturan
hukum lain yang hidup dan berlaku
b. dalam masyarakat yang bersangkutan.

UU Pengadilan Anak menggunakan istilah ‘Anak Nakal’ bagi seorang anak baik karena melakukan tindak
pidana ataupun karena melakukan penyimpangan perilaku. Penggunaan istilah ‘Anak Nakal’ merupakan
bagian dari proses labeling atau stigmatisasi bagi seorang anak, yang dalam kajian sosiologis dan
psikologis dikhawatirkan justru akan menimbulkan efek negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan
fisik dan mental si Anak.
Sejalan dengan semangat legal reform dalam UU SPA, maka istilah ‘Anak Nakal’ sudah tidak lagi
dipergunakan. Pasal 1 UU SPA menggunakan istilah ‘Anak yang Berhadapan dengan Hukum’, dimana
istilah ‘Anak yang Berhadapan dengan Hukum’ merupakan istilah yang memuat 3 (tiga) kriteria, yaitu
sebagai berikut:
1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum atau disebut Anak;[37]
Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

1. Anak yang menjadi korban tindak pidana atau disebut Anak Korban;[38]
Anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau
kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

1. Anak yang menjadi saksi tindak pidana atau disebut Anak Saksi.[39]
Anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara
pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

Sedangkan menurut UNICEF, bahwa Anak yang Berhadapan dengan Hukum (child in conflict with law)
adalah:[40]
“Seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana dikarenakan
yang bersangkutan disangka atau dituduh melakukan tindak pidana.”
Dan pada Pasal 2.2 huruf (c) the Beijing Rulesmenggunakan istilah ‘a juvenile offender’ (pelaku/pelanggar
hukum berusia remaja) yang menegaskan sebagai berikut:[41]
“Seorang pelanggar hukum berusia remaja adalah seorang anak atau seorang anak muda yang diduga
telah melakukan suatu pelanggaran hukum.”
Dengan memperbandingan definisi berkaitan mengenai istilah ‘Anak yang Berhadapan dengan Hukum’,
maka Indonesia telah selangkah lebih maju. Dimana pada UU Pengadilan Anak, digunakan istilah yang
mengandung makna labeling yaitu Anak Nakal. Sehingga berdampak baik pelaku, secara psikologis
menjadi penghambat bagi perkembangan mental, maupun masyarakat dan korban, secara psikologis
terpola dengan pemahaman ‘Anak Nakal’ memberikan efek negatif bagi masyarakat secara umum.
Sehingga pembinaan sebagai tujuan dari UU Pengadilan Anak tidak pernah tercapai.
1. Asas-Asas dan Hak-Hak Anak dalam Hukum Perlindungan Anak
Pada hakikatnya sasaran studi hukum adalah kaedah hukum, yang meliputi asas hukum, kaedah hukum
dalam arti sempit (norma atau nilai), dan peraturan hukum. Doktrin memberikan banyak pengertian
mengenai asas hukum ini.[42]
Asas hukum merupakan sebuah aturan dasar atau merupakan prinsip hukum yang masih bersifat
abstrak. Dapat pula dikatakan bahwa asas hukum merupakan dasar yang melatarbelakangi suatu
peraturan yang bersifat kongkrit dan bagaimana hukum itu dapat dilaksanakan.

Asas dalam bahasa inggris disebut dengan istilah ‘principle’ sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia asas dapat berarti hukum dasar atau dasar yakni sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau
berpendapat. Selain itu, asas juga diartikan sebagai dasar cita-cita.
Menurut Bellefroid, bahwa asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang
oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Jadi asas hukum
merupakan pengendapan hukum positif di dalam masyarakat. Demikian pula yang diungkapkan
oleh Paul Scholten, yang menyatakan bahwa Asas Hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang
disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala
keterbatasannya sebagai pembawaan umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada. [43]
Sedangkan Asas Hukum menurut Van der Velden yakni tipe putusan yang digunakan sebagai tolak ukur
untuk menilai situasi atau digunakan sebagai pedoman berperilaku. Sejalan dengan
pemikiran Bellefroid, maka Van Eikema Hommes memberikan pengertian bahwa Asas Hukum
bukanlah norma-norma hukum konkrit tetapi adalah dasar pikiran umum atau petunjuk bagi hukum
yang berlaku.
Sejalan dengan pendapat tersebut, sebagaimana diungkapkan pula oleh Asser[44], yang menyatakan
bahwa Asas Hukum berisikan penilaian susila, pemisahan yang baik dari yang buruk yang menjadi
landasan hukum, sehingga di dalam asas hukum terdapat sifat etis.
Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo[45], menyatakan bahwa Asas Hukum bukan merupakan
hukum konkrit melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar
belakang peraturan konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang menjelma
dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat
ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut.
Dari berbagai batasan tersebut, menurut Siti Ismijati Jenie[46], dapat disimpulkan bahwa asas hukum
itu mengandung ciri-ciri sebagai berikut:
1. Asas hukum merupakan pikiran dasar atau norma dasar;
2. Asas hukum itu bukan peraturan hukum konkrit melainkan latar belakang dari peraturan hukum
konkrit;
3. Asas hukum itu mengandung penilaian kesusilaan, jadi mempunya dimensi etis;
4. Asas hukum itu dapat ditemukan pada peraturan perundang-undangan dan putusan hakim.
Berkaitan dengan pengertian dari asas hukum tersebut, maka dapat diketahui fungsi dari asas hukum,
menurut Klanderman, dalam suatu sistem hukum, yaitu:[47]
1. Bersifat mengesahkan dan mempunyai pengaruh yang normatif dan mengikat para pihak, karena
eksistensinya didasarkan pada rumusan pembentuk undang-undang dan hakim;
2. Melengkapi sistem hukum dan membuat sistem hukum tersebut luwes.
Selanjutnya Paul Scholten membagi asas hukum menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Asas Hukum yang bersifat universal, yaitu asas hukum yang berlaku kapan saja dan dimana saja tidak
terpengaruh oleh waktu dan tempat;
2. Asas Hukum umum, yaitu asas hukum yang berlaku pada semua bidang hukum;
3. Asas Hukum khusus, yaitu asas hukum yang berlaku hanya pada satu bidang hukum saja.
Apabila kita membaca suatu peraturan hukum mungkin kita tidak menemukan pertimbangan etis disitu
tetapi azas hukum menunjukkan adanya tuntutan etis (setidak-tidaknya kita bisa merasakan adanya
petunjuk kearah itu). Karena azas hukum mengandung tuntutan etis maka azas hukum merupakan
jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.
Oleh karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa tidak bisa hanya melihat peraturan-peraturan
hukumnya saja melainkan harus menggalinya sampai kepada azas-azas hukumnya.

Sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar Kusuma-atmadja, dimana beliau menegaskan bahwa hukum
adalah salah satu dari kaidah sosial (di samping kaidah moral, agama, susila, kesopanan, adat kebiasaan,
dan lain-lain), yang merupakan cerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, sehingga hukum
yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup.[48]
Dalam kajian hukum internasional, maka pengakuan terhadap hak anak mengacu kepada Konvensi Hak
anak (KHA) yang merupakan turunan dari instrument bills of right. Sehingga pembahasan mengenai asas-
asas hukum yang termuat di dalam KHA tidak terlepas dari asas-asas hukum yang termuat di
dalam instrument bills of right. Dimana secara umum asas hukum internasional memuat 3 (tiga) jenis asas
hukum, yaitu sebagai berikut:
1. Kesetaraan
2. Non Diskriminasi
3. Kewajiban Negara
Dari ketiga asas tersebut, kemudian dijabarkan ke dalam berbagai konvensi internasional yang sifatnya
merupakan asas hukum khusus. Namun pada umumnya baik KHA maupun the Beijing Rules, memuat
asas-asas sebagai berikut:
1. Kepentingan terbaik bagi anak;
2. Penghargaan terhadap pendapat anak.
3. Ulitimum Remidium
Berkaitan dengan prinsip the best interest for children tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 5.1 the
Beijing Rules, maka dapat disimpulkan adanya dua sasaran dibentuknya peradilan anak, yaitu:[49]
1. Memajukan kesejahteraan anak (the promotion of the well being of the juvenile), Artinya, Prinsip
kesejahteraan anak ini harus dipandang sebagi fokus utama dalam sistem peradilan anak. Prinsip ini
dapat dijadikan dasar untuk tidak menerapkan penggunaan sanksi yang semata-mata bersifat pidana,
atau yang bersifat menghukum.
Sedapat mungkin sanksi pidana, terutama pidana penjara harus dipandang sebagai ‘the last resort’ dalam
peradilan anak, seperti yang telah ditegaskan dalam Resolusi PBB 45/113 tentang UN Rules For The
Protection Of Juveniles Deprived Of Their Liberty.[50];
2. Mengedepankan prinsip proporsionalitas (the principle of proporsionality). Prinsip yang kedua ini
merupakan sarana untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat menghukum dalam arti
memabalas. Paul H. Hann dalam hal ini mengemukakan pendapatnya bahwa pengadilan anak
janganlan semata-mata sebagai suatu peradilan pidana bagi anak dan tidak pula harus berfungsi
semata-mata sebagai suatu lembaga sosial.[51]
Dalam konteks keindonesiaan, asas hukum pada perlindungan anak dimuat dalam beberapa peraturan
perundang-undangan, yaitu:

1. UU Perlindungan Anak
Asas Perlindungan Anak di dalam UU Perlindungan Anak, termuat di dalam Pasal 2, yang menegaskan
sebagai berikut:

1. Non diskriminasi;
2. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
4. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Berkaitan dengan asas tersebut, maka dapat kita cermati penjelasan dari Pasal 2 UU Perlindungan Anak
tersebut, yang menegaskan sebagai berikut:

“Asas perlindungan anak di sini sesuai dengan prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam Konvensi Hak-
Hak Anak.
Yang dimaksud dengan asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah bahwa dalam semua tindakan
yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif,
maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.
Yang dimaksud dengan asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah hak asasi
yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan
orang tua.
Yang dimaksud dengan asas penghargaan terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak
anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika
menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.”
2. UU Pengadilan Anak
Undang-undang pengadilan anak dalam pasal-pasalnya mengaut beberapa asas yang membedakannya
dengan siding pidana untuk orang dewasa. Adapun asas-asas itu adalah sebagai berikut:[52]
1. Pembatasan umum (pasal 1 butir 1 jo pasal 4 ayat (1))
Adapun orang yang dapat disidangkan dalam acara pengadilan anak ditentukan secara limitatif, yaitu
minimum berumur 8 (delapan) tahun dan maksumum 18 (delapan belas tahun) dan belum pernah kawin

1. ruang lingkup masalah di batasi (pasal 1 ayat 2)


Masalah yang dapat diperiksa dalam siding pengadilan anak hanyalah terbatas menyangkut perkara anak
nakal.

1. Ditangani pejabat khusus (pasal 1 ayat 5, 6, dan 7)


UU Pengadilan Anak menentukan perkara anak nakal harus ditangani oleh pejabat-pejabat khusus seperti
:

 Ditigkat penyidikan oleh penyidik anak


 Di tingkat penuntutan oleh penutut umum
 Di pengadilan oleh hakim anak, hakim banding anak, & hakim kasasi anak.
1. Peran pembimbing kemasyarakatan (pasal 1 ayat 11)
UU Pengadilan Anak mengakui peranan dari:

 Pembimbing Kemasyarakatan
 Pekerja Sosial dan
 Pekerja Sosial Sukarela
1. Suasana Pemeriksaan Kekeluargaan
Pemeriksaan perkara di pengadilan dilakkan dalam suasana kekeluargaan. Oleh karena itu Hakim,
Penuntut Umum Dan Penasihat Hukum tidak memakai toga.
1. Keharusan splitsing (pasal 7)
Anak tidak boleh diadili bersama dengan orang dewasa baik yang berstatus sipil maupun militer, kalau
terjadi anak melakukan tindak pidana bersama orang dewasa, maka si anak diadili dalam siding
pengadilan anak, sementara orang dewasa diadilan dalam siding biasa, atau apabila ia berstatus militer di
peradilan militer.

1. Acara Pemeriksaan Tertutup (pasal 8 ayat (1))


Acara pemeriksaan di siding pengadilan anak dilakukan secara tertutup. Ini demi kepentingan si anak
sendiri. Akan tetapi putusan harus diucapkan dalam siding yang terbuka untuk umum.

1. Diperiksa Hakim Tunggal (pasal 11, 14, dan 18)


Hakim yang memeriksa perkara anak, baik ditingkat pengadilan negeri, banding atau kasasi dilakukan
dengan hakim tunggal.

1. Masa penahanan lebih singkat (pasal 44 -49)


Masa penahanan terhadap anak lebih singkat disbanding masa penahanan menurut KUHAP

1. Hukuman lebih ringan (pasal 22 – 32)


Hukuman yang dijatuhkan terhadap anak nakal lebih ringan daripada ketentuan yang diatur dalam KUHP.
Hukuman maksimal untuk anak nakal adalah sepuluh tahun.

3. UU Sistem Peradilan Anak


Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:[53]
1. Perlindungan;
Yang dimaksud dengan ”perlindungan” meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung dari
tindakan yang membahayakan Anak secara fisik dan/atau psikis.

1. Keadilan;
Yang dimaksud dengan “keadilan” adalah bahwa setiap penyelesaian perkara Anak harus mencerminkan
rasa keadilan bagi Anak.

1. Non diskriminasi;
Yang dimaksud dengan ”non diskriminasi” adalah tidak adanya perlakuan yang berbeda didasarkan pada
suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum Anak, urutan kelahiran
Anak, serta kondisi fisik dan/atau mental.

1. Kepentingan terbaik bagi anak;


Yang dimaksud dengan ”kepentingan terbaik bagi Anak” adalah segala pengambilan keputusan harus
selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak.

1. Penghargaan terhadap pendapat anak;


Yang dimaksud dengan ”penghargaan terhadap pendapat Anak” adalah penghormatan atas hak Anak
untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan, terutama jika
menyangkut hal yang memengaruhi kehidupan Anak.

1. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak;


Yang dimaksud dengan ”kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak” adalah hak asasi yang paling
mendasar bagi Anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.

1. Pembinaan dan pembimbingan anak;


Yang dimaksud dengan ”pembinaan” adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan
kepadaTuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta
kesehatan jasmani dan rohani Anak baik di dalam maupun di luar proses peradilan pidana.
Yang dimaksud dengan ”pembimbingan” adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan,
profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan.

1. Proporsional;
Yang dimaksud dengan ”proporsional” adalah segala perlakuan terhadap Anak harus memperhatikan
batas keperluan, umur, dan kondisi Anak.

1. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir;


Yang dimaksud dengan “perampasan kemerdekaan merupakan upaya terakhir” adalah pada dasarnya
Anak tidak dapat dirampas kemerdekaannya, kecuali terpaksa guna kepentingan penyelesaian perkara.

1. Penghindaran pembalasan.
Yang dimaksud dengan “penghindaran pembalasan” adalah prinsip menjauhkan upaya pembalasan
dalam proses peradilan pidana.

Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung pula beberapa asas hukum
yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum
harus mewarnai baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan
pidana.[54]
Adapun asas-asas yang dimaksud sebagai berikut:

1. Asas manfaat.
Artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan (baik materiil maupun
spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas, khususnya dalam
upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat.

Asas inimengingatkan kita kepada salah satu tokoh filosuf, Jeremy Betham melalui utility theory atau
Utilitarianisme, yang mengutamakan bahwa tujuan pembentukan hukum adalah kebahagiaan dan
kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Demikian pula sebagaimana diungkapkan oleh Hans Kelsen, dimana Fungsi hukum menurut Hans Kelsen
adalah untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat dimana konsep adil dipahami sebagai suatu
penciptaan terhadap sebanyak-banyaknya kebahagiaan dalam masyarakat.[55]
Bahwa pembentukan hukum tersebut hendaknya mencerminkan adanya manfaat yang sebesar-besarnya
baik bagi masyarakat maupun individu dalam tataran implementasinya. Sehingga, masih menurut
Betham, bahwa tindakan pemerintah dalam tataran implementasi baru dapat dikatakan selaras dengan
hukum jika memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan bagi masyarakat. Dalam hal ini, Betham tidak
hanya menekankan adanya utility pada ranah peraturan perundang-undangan namun juga utility pada
ranah tindakan.[56]
2. Asas keadilan.
Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak karena
hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang harus juga diberikan pada pelaku kejahatan.

Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum.
Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang
memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung
dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.[57]
Pemberian rasa keadilan kepada masyarakat tidak dapat serta merta diakui secara umum hanya
berlandaskan kepada konsepsi hak kodrati atau hukum alam yang menegaskan bahwa dalam diri
manusia telah terdapat hak-hak kodrati yang suka atau tidak suka harus diakui baik adanya pengakuan
ataupun tidak, sebagaimana ditegaskan dalam prinsip universalisme dalam ranah Hak Asasi Manusia
(HAM).
Namun, sebagaimana bentuk kritik dari Aliran Positivisme kepada Teori Hak Kodrati dan Teori Hukum
Alam, dimana pengakuan terhadap hak-hak seseorang haruslah berasal institusi yang berwenang dan
memiliki kekuasaan.

Untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat berkaitan hal-hal mana yang dibatasi oleh keadilan
dari pihak lain, maka mutlak diperlukannya suatu pengaturan yang bersifat tegas dan jelas. Hal ini sangat
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan terhadap rasa keadilan, sehingga diperlukan sarana
untuk melakukan perubahan perilaku di dalam masyarakat (law as a tools of social engineering) sehingga
menurut Mochtar Kusuma-Atmadja, sangat diperlukan sarana berupa peraturan perundang-
undangan.[58]
Namun, dikarenakan pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut diserahkan dan menjadi
tanggung jawab lembaga politik yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga produk perundang-undangan
seringkali diintervensi oleh kekuatan-kekuatan politik dan kepentingan pihak ketiga.

Sehingga Mochtar Kusuma-Atmadja memberikan batasan yang tegas bahwa Hukum adalah salah satu
dari kaidah sosial (di samping kaidah moral, agama, susila, kesopanan, adat kebiasaan, dan lain-lain),
yang merupakan cerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, sehingga hukum yang baik
adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (living law).
Oleh karena itu, seyogyanya, penerapan hukum dalam memberikan rasa keadilan tidak terkekang oleh
Ajaran Legisme[59], maka seharusnya Hakim sebagai institusi terakhir dalam penegakan hukum, mampu
membaca the living law yang ada di masyarakat melalui
instrumen rechtsvinding dan rechtscheppingsebagaimana diamanatkan oleh UU Kekuasaan
Kehakiman[60], yang menegaskan sebagai berikut:
“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Sehingga antara peraturan perundang-undangan dengan putusan pengadilan seharusnya tidak
menunjukan posisi yang lebih superior antara satu dengan lainnya. Dikarenakan keduanya diharapkan
dapat berkolaborasi dengan satu tujuan yaitu memberikan rasa keadilan.

3. Asas keseimbangan.
Karena tujuan hukum di samping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan
manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada
keadaan yang semula (restitutio in integrum), asas keseimbangan memperoleh tempat yang penting
dalam upaya pemulihan hak-hak korban.
Asas ini secara tidak langsung ingin menjelaskan bahwa pemidanaan badan yang dikenal dalam sistem
kepenjaraan dan sistem pemasyarakatan, dewasa ini, tidaklah berjalan dengan sebagaimana mestinya.

Sistem pemidanaan yang didasarkan kepada retributive theory (pidana absolut) tidak memberikan
pemenuhan hak-hak korban, sehingga seringkali putusan pengadilan memicu rasa ketidakpuasan dari
masyarakat. Kondisi ini sudah terjadi puluhan tahun di Indonesia bahkan hampir diseluruh dunia.
Sehingga para ahli hukum mencoba menggali konsep-konsep yang ada untuk memunculkan konsep baru
dalam hal pemidanaan yang memberikan rasa keseimbangan tersebut guna pemenuhan hak-hak korban.
Konsep terakhir yang muncul adalah diwacanakannya konsep restorative justice. Menurut John
Braitwaite, bahwa restorative justice adalah proses yang melibatkan semua pihak yang memiliki
kepentingan dalam masalah pelanggaran tertentu untuk datang bersama-sama menyelesaikan secara
kolektif bagaimana menyikapi dan menyelesaikan akibat dari pelanggaran dan implikasinya untuk masa
depan.[61]
Sejalan dengan pemikiran John Braitwaite, maka Marian Liebmann dengan bahasa yang lebih sederhana,
mengatakan sebagai berikut:[62]“restorative justice sebagai suatu sistem hukum yang “bertujuan untuk
mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk
mencegah pelanggaran atau tindakan kejahatan lebih lanjut.”
Konsep tersebut kemudian diadopsi dalam Pasal 1 angka 6 UU SPA yang menegaskan sebagai berikut:

“Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,
keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.”
Melalui konsep restorative justice ini lah kemudian diharapkan dapat memenuhi keseimbangan hak
antara pelaku tindak pidana, korban tindak pidana dan masyarakat sebagai komunitas yang terganggu
sistem sosialnya.
4. Asas Kepastian Hukum.
Dalam konsep hukum di Indonesia, asas kepastian hukum atau asas legalitas tersebut termuat di dalam
Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang menegaskan sebagai berikut:

“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan
pidana yang telah ada.”
Walaupun redaksional dari Pasal 1 ayat (1) KUHP lebih menekankan kepada suatu kepastian pemidanaan
berdasarkan peraturan perundang-undangan, namun jika kita cermati pada frase “…………..kecuali
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”, maka frase tersebut
mengidikasikan bahwa suatu perbuatan/tindakan adalah sah apabila terdapat pengaturannya di dalam
peraturan perundang-undangan.
Sehingga Asas ini dapat pula memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum
pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban
kejahatan, sepanjang ketentuan mengenai perlindungan terhadap korban tertuang di dalam suatu
redaksional dalam sebuah pasal pada peraturan perundang-undangan.

Terkait dengan pembahasan asas-asas hukum yang diakui secara universal tersebut, maka kemudian
memunculkan hak-hak bagi subyek hukum. Dalam kaitannya dengan penulisan ini, maka Hak-hak
terhadap subyek hukum anak terdapat dalam KHA bisa dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kategori hak-
hak anak, yaitu:[63]
1. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights);
Hak kelangsungan hidup berupa hak-hak anak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak
untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya.

Konsekwensinya menurut Konvensi Hak Anak negara harus menjamin kelangsungan hak hidup,
kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6). Disamping itu negara berkewajiban untuk
menjamin hak atas tarap kesehatan tertinggi yang bisa dijangkau, dan melakukan pelayanan kesehatan
dan pengobatan, khusuSnya perawatan kesehatan primer. (Pasal 24).

Implementasinya dari Pasal 24, negara berkewajiban untuk melaksanakan program-program (1)
melaksanakan upaya penurunan angka kematian bayi dan anak, (2) menyediakan pelayanan kesehatan
yang diperlukan, (3) memberantas penyakit dan kekurangan gizi, (4) menyediakan pelayanan kesehatan
sebelum dan sesudah melahirkan bagi ibu, (5) memperoleh imformasi dan akses pada pendidikan dan
mendapat dukungan pada pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi, (6) mengembangkan
perawatan kesehatan pencegahan, bimbingan bagi orang tua, serta penyuluhan keluarga berencana, dan,
(7) mengambil tindakan untuk menghilangkan praktik tradisional yang berprasangka buruk terhadap
pelayanan kesehatan.

Terkait dengan itu, hak anak akan kelangsungan hidup dapat berupa (1) hak anak untuk mendapatkan
nama dan kewarganegaraan semenjak dilahirkan (Pasal 7), (2) hak untuk memperoleh perlindungan dan
memulihkan kembali aspek dasar jati diri anak (nama, kewargnegaraan dn ikatan keluarga) (Pasal 8), (3)
hak anak untuk hidup bersama (Pasal 9), dan hak anak untuk memperoleh perlindungan dari segala
bentuk salah perlakuan (abuse) yang dilakukan orang tua atau orang lain yang bertangung jawab atas
pengasuhan (Pasal 19), (4) hak untuk mmemperoleh perlindungan khusus bagi bagi anak- anak yang
kehilangan lingkungan keluarganya dan menjamin pengusahaan keluarga atau penempatan institusional
yang sesuai dengan mempertimbangkan latar budaya anak (Pasal 20), (5) adopsi anak hanya dibolehkan
dan dilakukan demi kepentingan terbaik anak, dengan segala perlindungan yang disahkan oleh pejabat
yang berwenang (Pasal 21), (6) hak-hak anak penyandang cacat (disabled) untuk memperoleh
pengasuhan, pendidikan dan latihan khusus yang dirancang untuk membantu mereka demi mencapai
tingkat kepercayaan diri yang tinggi (Pasal 23), (7) hak anak menikmati standar kehidupan yang
memadai dan hak atas pendidikan (Pasal 27 dan 28).

2. Hak terhadap perlindungan (protection rights);


Hak perlindungan yaitu perlindungan anak dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi
anak yang tidak mempunyai keluarga, dan bagi anak pengungsi. Hak perlindungan dari diskriminasi,
termasuk (1) perlindungan anak penyandang cacat untuk memperoleh pendidikan, perwatan dan latihan
khusus, dan (2) hak anak dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli dalam kehidupan
masyarakat negara.

Perlindungan dari ekploitasi, meliputi (1) perlindungan dari gangguan kehidupan pribadi, (2)
perlindungan dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan
perkembangan anak, (3) perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkoba, perlindungan dari
upaya penganiayaan seksual, prostitusi, dan pornografi, (4) perlindungan upaya penjualan,
penyelundupan dan penculikan anak, dan (5) perlindungan dari proses hukum bagi anak yang didakwa
atau diputus telah melakukan pelanggaran hukum.

3. Hak untuk Tumbuh Berkembang (development rights);


Hak tumbuh berkembang meliputi segala bentuk pendidikan (formal maupun non formal) dan hak untuk
mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. Hak
anak atas pendidikan diatur pada Pasal 28 Konvensi Hak Anak menyebutkan, (1) negara menjamin
kewajiban pendidikan dasar dan menyediakan secara cuma-cuma, (2) mendorong pengembangan
macam-macam bentuk pendidikan dan mudah dijangkau oleh setiap anak, (3) membuat imformasi dan
bimbingan pendidikan dan ketrampIlan bagi anak, dan (4) mengambil langkah-langkah untuk mendorong
kehadirannya secara teratur di sekolah dan pengurangan angka putus sekolah.

Terkait dengan itu, juga meliputi (1) hak untuk memperoleh informasi, (2) hak untuk bermain dan
rekreasi, (3) hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya, (4) hak untuk kebebasan berpikir dan
beragama, (5) hak untuk mengembangkan kepribadian, (6) hak untuk memperoleh identitas, (7) hak
untuk didengar pendapatnya, dan (8) hak untuk memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik.

4. Hak untuk Berpartisipasi (participation rights).


Hak untuk berpartisipasi yaitu hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi
anak. Hak yang terkait dengan itu meliputi (1) hak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan
atas pendapatnya, (2) hak untuk mendapat dan mengetahui informasi serta untuk mengekpresikan, (3)
hak untuk berserikat menjalin hubungan untuk bergabung, dan (4) hak untuk memperoleh imformasi
yang layak dan terlindung dari imformasi yang tidak sehat.

Terhadap anak yang melakukan perbuatan pidana, penangkapan dan penahanan anak harus sesuai
dengan hukum yang ada, yang digunakan hanya sebagai upaya terakhir. Anak yang dicabut kebebasannya
harus memperoleh akses bantuan hukum, dan hak melawan keabsahan pencabutan kebebasan.

Berkenaan dengan hak-hak yang termuat dalam KHA tersebut, maka pada UU No.39/1999tentang HAM
telah merumuskan seperangkat hak sipil, politik, sosial, ekonomi dan sosial bagi anak adalah sebagai
berikut:
1. Hak untuk dilindungi orang tua, keluarga, misalnya dan negara
2. Hak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan tariff kehidupan
3. Hak atas nama dan status kewarganegaraan
4. Hak anak cacat untuk perawatan, pendidikan dan pelatihan khusus
5. Hak untuk beribadah, berpikir dan berekspresi sesuai dengan usia dan tingkat intelektualitasnya.
6. Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuk orangtuanya sendiri
7. Hak untuk mengetahui orang tuanya angkat atau angkat atau wali bila mereka meninggalkan atau
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua
8. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari berbagai perlakuan buruk
9. Hak untuk dipisahkan dari orang tua bertentangan dengan kehendak anak sendiri
10. Hak untuk mendapatkan perlindungan dengan kehendak anak sendiri
11. Hak untuk mencari, menerima dan memberikan informasi sesuai dengan tingakat intelektualitas dan
usianya serta nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan
12. Hak untuk beristirahat, bergaul dengan anak sebaya dan sesuai dengan minatnya
13. Hak atas pelayanaan kesehatan dan jaminan sosial yang layak
14. Hak untuk tidak dilibatkan dalam pristiwa yang mengandung kesehatan
15. Hak untuk dilindungi dari eksploitasi seksual, perdagangan anak, narkoba
16. Hak untuk bebas dari penyiksaan dan penghukuman yang tidak manusiawi
17. Hak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum
18. Hak untuk diperlakukan secara manusiawi dalam proses peradilan pidana
19. Hak atas bantuan hukum, untuk memebela dari dan memperoleh keadilan di pengadilan anak yang
bebas dan tidak memihak.
Sedangkan hak-hak Anak dalam proses peradilan pidana, adalah sebagai berikut:

1. Hak untuk diperiksa dalam suasana kekeluargaan pada Sidang Anak;


2. Hak untuk diadili secara khusus berbeda dengan orang dewasa;
3. Hak untuk diperiksa dalam sidang tertutup untuk umum;
4. Hak untuk dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa, dan selama masa tahanan kebutuhan
jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi;
5. Hak untuk dikeluarkan dari tahanan demi hukum apabila jangka waktu penahanan telah habis;
6. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat Hukum sejak ditangkap
atau ditahan dan pada setia tingkat pemeriksaan;
7. Hak untuk berhubungan langsung dengan Penasihat Hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh
pejabat yang berwenang pada saat ditangkap atau ditahan;
8. Hak untuk didampingi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuh, penasihat hukum dan Pembimbing
Kemasyarakatan selama proses pemeriksaan;
9. Hak untuk menjalani pidana atau dididik di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang harus terpisah dari
orang dewasa, serta memperoleh pendidikan dan latihan sesuai bakat dan kemampuannya
10. Hak untuk menembuh proses divertion(diversi/pengalihan).
Terkait dengan adanya hak-hak tersebut, maka mendapatkan perlindungan merupakan hak dari setiap
anak, dan diwujudkannya perlindungan bagi anak berarti terwujudnya keadilan dalam suatu masyarakat.
Asumsi ini diperkuat dengan pendapat Age, yang telah mengemukakan dengan tepat bahwa “melindungi
anak pada hakekatnya melindungi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara di masa depan”.[64]
Dari ungkapan tersebut nampak betapa pentingnya upaya perlindungan anak demi kelangsungan masa
depan sebuah komunitas, baik komunitas yang terkecil yaitu keluarga, maupun komunitas yang terbesar
yaitu negara. Artinya, dengan mengupayakan perlindungan bagi anak komunitas-komunitas tersebut
tidak hanya telah menegakkan hak-hak anak, tapi juga sekaligus menanam investasi untuk kehidupan
mereka di masa yang akan datang. Di sini, dapat dikatakan telah terjadi simbiosis mutualisme antara
keduanya.

Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi yang memungkinkan
pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif. Ini berarti dilindunginya anak untuk
memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh
kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri atau bersama para
pelindungnya.[65]
Menurut Pasal 1 angka 2 , Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak disebutkan
bahwa:

“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Pada umumnya, upaya perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindungan langsung dan tidak
langsung, dan perlindungan yuridis dan non-yuridis. Upaya-upaya perlindungan secara langsung di
antaranya meliputi: [66]
1. Pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan diselamatkan dari sesuatu yang membahayakannya,
2. Pencegahan dari segala sesuatu yang dapat merugikan atau mengorbankan anak,
3. Pengawasan,
4. Penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya atau dari luar dirinya,
5. Pembinaan (mental, fisik, sosial),
6. Pemasyarakatan pendidikan formal dan informal,
7. Pengasuhan (asah, asih, asuh),
8. Pengganjaran (reward),
9. Pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.
Sedangkan, upaya perlindungan tidak langsung antara lain meliputi: [67]
1. Pencegahan orang lain merugikan,
2. Mengorbankan kepentingan anak melalui suatu peraturan perundang-undangan,
3. Peningkatan pengertian yang tepat mengenai manusia anak serta hak dan kewajiban,
4. Penyuluhan mengenai pembinaan anak dan keluarga,
5. Pengadaaan sesuatu yang menguntungkan anak,
6. Pembinaan (mental, fisik dan sosial) para partisipan selain anak yang bersangkutan dalam
pelaksanaan perlindungan anak,
7. Penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan anak.
Kedua upaya perlindungan di atas sekilas nampak sama dalam hal bentuk upaya perlindungannya.
Perbedaan antara keduanya terletak pada objek dari perlindungan itu sendiri. Objek dalam upaya
perlindungan langsung tentunya adalah anak secara langsung. Sedangkan upaya perlindungan tidak
langsung, lebih pada para partisipan yang berkaitan dan berkepentingan terhadap perlindungan anak,
yaitu orang tua, petugas dan pembina.

Demi menimbulkan hasil yang optimal, seyogyanya upaya perlindungan ini ditempuh dari dua jalur, yaitu
dari jalur pembinaan para partisipan yang berkepentingan dalam perlindungan anak, kemudian
selanjutnya pembinaan anak secara langsung oleh para partisipan tersebut.

Upaya-upaya ini lebih merupakan upaya yang integral, karena bagaimana mungkin pelaksanaan
perlindungan terhadap anak dapat berhasil, apabila para partisipan yang terkait seperti orang tua, para
petugas dan pembina, tidak terlebih dahulu dibina dan dibimbing serta diberikan pemahaman mengenai
cara melindungi anak dengan baik.

Ditinjau dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat dibedakan dari menjadi: perlindungan
yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang hukum perdata dan dalam hukum pidana;
perlindungan yang bersifat non-yuridis, meliputi perlindungan di bidang sosial, bidang kesehatan dan
bidang pendidikan.[68]
Perlindungan yang bersifat yuridis atau yang lebih dikenal dengan perlindungan hukum. Menurut Barda
Nawawi Arief adalah upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak
(fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan
kesejahteraan anak.[69]
Perlindungan hukum dalam bidang keperdataan, terakomodir dalam ketentuan dalam hukum perdata
yang mengatur mengenai anak seperti:[70]
1. Kedudukan anak sah dan hukum waris;
2. Pengakuan dan pengesahan anak di luar kawin;
3. Kewajiban orang tua terhadap anak;
4. Kebelumdewasaan anak dan perwaliaan.
Dalam hukum pidana, perlindungan anak selain diatur dalam pasal 45, 46, dan 47 KUHP (telah dicabut
dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak). Kemudian,
terdapat juga beberapa pasal yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan perlindungan
anak, yaitu antara Lain Pasal 278, Pasal 283, Pasal 287, Pasal 290, Pasal 297, Pasal 301, Pasal 305, Pasal
308, Pasal 341 dan Pasal 356 KUHP.

Selanjutnya, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yang pada
prinsipnya mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1979,
tentang Kesejahteraan Anak, pada prinsipnya diatur mengenai upaya-upaya untuk mencapai
kesejahteraan anak. Pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, yang pada
prinspnya mengatur mengenai perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam konteks
peradilan anak. Dan yang terakhir melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Anak (UU SPA), yang merupakan bentuk legal reform dari konsepsi perlindungan anak, dimana
lembaga divertion telah diperkenalkan dalam proses pemeriksaan perkara pidana anak.
Perlindungan anak yang bersifat non-yuridis dapat berupa, pengadaan kondisi sosial dan lingkungan
yang kondusif bagi pertumbuhan anak, kemudian upaya peningkatan kesehatan dan gizi anak-anak, serta
peningkatan kualitas pendidikan melalui berbagai program bea siswa dan pengadaan fasilitas pendidikan
yang lebih lengkap dan canggih.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, berbagai upaya perlindungan anak tersebut tidak lain
diorientasikan sebagai upaya untuk menciptakan kesejahteraan anak.

BAB III
PELAKSANAAN RESTRORATIVE JUSTICE
DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANAANAK

1. Pembaharuan Hukum Pidana (legal reform) dalam Sistem Peradilan Anak di Indonesia
Secara umum diketahui bahwa arus pembaharuan hukum pidana dimulai seiring dengan bergulirnya fase
reformasi tahun 1998 bersamaan dengan pembaharuan di bidang politik, ekonomi, serta bidang-bidang
lainnya. Sebagaimana telah Penulis ungkapkan sebelumnya bahwa wacana pembaharuan hukum pidana
telah dimulai semenjak pelaksanaan Seminar Hukum Nasional Tahun 1964 dengan diusulkannya
perubahan KUHP dan HIR.

Rasanya sudah tidak sedikit para pakar hukum baik dalam bidang akademisi maupun praktisi
hukum,dalam hal ini diwakilkan oleh unsur Advokat/Pengacara, yang melontarkan ide pembaharuan
hukum pidana. KUHP Nasional merupakan sesuatu yang sangat diidam-idamkan oleh berbagai kalangan.
Harapan adanya KUHP yang diciptakan sendiri oleh potensi anak bangsa merupakan suatu terobosan
kebuntuan antara law in book dan law in action. Implementasi KUHP versi Belanda, walaupun telah
disahkan melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946, namun secara substansi adalah merupakan
produk bangsa penjajah. Soedarto menjelaskan bahwa tidaklah banyak Sarjana Hukum bahkan Guru
Besar yang paham secara benar berkaitan dengan bahasa Asli dari KUHP versi Belanda yang merupakan
induk dari KUHP yang saat ini digunakan oleh Indonesia. Sehingga menimbulkan pemahaman yang
berbeda-beda dikalangan para sarjana baik akademisi maupun praktisi. Dikarenakan minimnya
akademisi dan praktisi serta penegak hukum yang menguasai teks asli dari KUHP sehingga menimbulkan
penfasiran yang berbeda-beda, yang pada akhirnya tercipta ketidakpraktisan dan ketidak-efesiensi-an
dalam penegakan hukum. Yang akhirnya menimbulkan ketidakseragaman pelayanan hukum di berbagai
wilayah.
Soedarto menjelaskan lebih lanjut bahwa urgensinya KUHP Nasional dilandaskan kepada alasan
sosiologis dimana W.v.S berdasarkan substansi/materi muatan bukan merupakan cerminan Bangsa
Indonesia. Menurut Soedarto, bahwa suatu KUHP pada dasarnya adalah pencerminan dari nilai-nilai
kebudayaan dari suatu bangsa, karena ia memuat perbuatan-perbuatan yang tidak ia kehendaki dan
mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi (yang negatif) yaitu berupa pidana. Ukuran
untuk menentukan perbuatan mana yang dilarang itu tentunya tergantung dari pandangan kolektif yang
terdapat dalam masyarakat tentang apa yang baik, yang benar dan sebaliknya.[71]
Dari alasan-alasan diatas, bahwa urgensi keberadaan KUHP nasional menjadi sangat menentukan
dalam law enforcement. Namun pada kenyataannya, proses pembaharuan hukum berjalan sangat lambat.
Bahkan di era reformasipun politicall will pembentuk Undang-undang sama sekali tidak nampak. Hal
tersebut dapat dicermati dengan kualitas pembentukan Undang-undang atau peraturan hukum yang
saling bertabrakan satus sama lainnya. Pelayanan hukum terhadap masyarakat tidak dilaksanakan dalam
satu atap, sehingga masyarakat harus berhadapan dengan, bahkan terjebak dalam, pusaran setan sistem
koordinasi antar institusi penegak hukum.
Nampaknya baik legislatif maupun eksekutif banyak yang tidak memahami secara hakiki, tingkat
seberapa pentingnya melakukan pembaharuan hukum, khususnya hukum pidana. DPR tak lebih jauh
berbeda dengan penonton pertandingan sepak bola, yang selalu mengkritik bagaimana seharusnya
Pemerintah bertindak dalam melaksanakan law enforcement.
1. Yahya Harahapmenyatakan, sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan sistem
terpadu (integrated criminal justice system)yang diletakkan di atas landasan prinsip “diferensiasi
fungsional” di antara aparat penegak hukum sesuai dengan “tahap proses kewenangan” yang
diberikan undang-undang kepada masing-masing. Berdasarkan kerangka landasan dimaksud,
maka aktifitas pelaksanaan criminal justice system merupakan fungsi gabungan (collection of
function) dari legislator, dalam hal ini adalah DPR; Eksekutif, dalam hal ini adalah Pemerintah yang
diwakilkan oleh organ Pemerintah yaitu Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan, dan Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS), dan Yudikatif yaitu Mahkamah Agung beserta pengadilan yang berada
dibawah koordinasinya, serta badan-badan yang berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan
atau di luar.[72]
Nampaknya pembentuk Undang-undang, dalam hal ini adalah legislatif, kurang memahami betapa
pentingnya posisi mereka sebagai legislator dalam sistem peradilan pidana berdasarkan kajian politik
hukum pidana. Bahwa ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan dalam sistem peradilan pidana saat ini
merupakan kontribusi para legislator pula di DPR. Sehingga sangat tidak etis ketika DPR sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari sebuah sistem, justru mengkritik tanpa solusi.

Sebelum menjelaskan lebih jauh, perlu Penulis sampaikan mengenai perisitilah Politik Hukum Pidana
atau Kebijakan Pidana atau Penal Policy. Sebagaimana diungkapkan oleh Barda Nawawi Arief[73],
bahwa Penal Policy adalah sebagai berikut:
“Suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan
hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat
undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para
penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.”
Sedangkan Sudarto mempergunakan istilah Politik Kriminal, dimana beliau mengartikan Politik kriminal
ke dalam 3 (tiga) pengertian yaitu:[74]
1. Dalam pengertian yang sempit, dimana politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan
metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
2. Dalam arti luas adalah dimana politik kriminal merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak
hukum termasuk di dalamnya cara kerja dari polisi dan pengadilan;
3. Dalam arti paling luas adalah dimana politik kriminal merupakan keseluruhan kebijakan yang
dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk
menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Dari pengertian penal policy tersebut, maka diketahui bahwa dalam legal drafting tidak hanya diperlukan
kecakapan dalam merancang kata-kata dalam bentuk undang-undang semata. Bahwa undang-undang
seyogyanya bukan hanya dibuat untuk memberantas suatu tindak pidana semata, namun hendaknya juga
mampu memunculkan upaya pencegahan sebelum terjadinya suatu tindak pidana. Dan bukan hanya itu
saja, dalam membentuk sebuah Undang-undang, sisi kelemahan yang paling fatal di Indonesia, tidak
pernah ada sinkronisasi dalam tingkat Undang-undang. Seolah-olah, pembentuk Undang-undang hanya
terfokus dengan Rancangan Undang-Undang yang akan bahasnya tanpa ada pengkajian lebih mendalam.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Marc Ancel, sebagai berikut:[75]
“Di antara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi mengenai tehnik perundang-
undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki
fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, di mana para sarjana dan praktisi, para ahli
kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling
berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk
menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistic, humanis dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat.”
Berdasarkan pendapat tersebut, maka diketahui bahwa pembentukan sistem peradilan pidana yang baik
hendaknya melewati tahap sinkronisasi antara Undang-undang yang terkait. Namun pada kenyataannya,
Pembentuk Undang-undang khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kurang memperhatikan
keselarasan antara peraturan satu dengan peraturan yang lain.

Di dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011[76] dijelaskan bahwa dalam membentuk
peraturan perundang-undangan maka harus di dasarkan pada kepada asas kesesuaian antara jenis,
hierarkhi dan materi muatan. Dimana dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan harus
benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki dari Peraturan
Perundang-undangan. Undang-undang pun mensyaratkan bahwa keserasian tersebut hendaknya
memperhatikan asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan dalam setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara
kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
Permasalahan pokok yang terkait dengan insinkronisasi dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan, terutama adalah masih terjadinya tumpang tindih dan pertentangan antara peraturan
perundang-undangan bukan hanya di tingkat pusat dan daerah, namun juga terhadap peraturan setingkat
Undang-undang. Sebagai contoh, Departemen Keuangan hampir tiap hari membatalkan sekitar 5 hingga
10 usulan Peraturan Daerah (PERDA) tentang usulan pajak dan retribusi daerah yang disampaikan oleh
pemerintah daerah. Pertimbangan pembatalan perda tersebut, antara lain, karena dinilai melanggar
ketentuan umum, peraturan daerah yang semula dibuat untuk kepentingan daerah. Namun dalam
pelaksanaannya, seringkali bersifat diskriminatif dan tidak berperspektif gender, tidak ramah investasi,
tidak ramah lingkungan, serta tidak berperspektif hak asasi manusia. Hal itu mengakibatkan terjadi
ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban dari subjek yang diatur sehingga belum dapat memberikan
upaya perlindungan serta menjamin hak-hak setiap warga negara untuk setara dan adil di hadapan
hukum.[77]
Permasalahan sinkronisasi bukan hanya terbatas dengan insinkronisasi antar peraturan perundang-
undangan semata, namun terkait dengan keseluruhan sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Berbicara
mengenai legal policydalam kaitannya dengan kerangka pembaharuan hukum, maka perlu diteliti
keseluruhan sistem[78] hukum yang terkait.
Dalam konteks ini sistem hukum nasional sebagai suatu himpunan bagian hukum atau subsistem hukum
yang saling berkaitan yang membentuk satu keseluruhan yang rumit atau kompleks tetapi merupakan
satu kesatuan.[79]Menurut Friedmann, bahwa Menurut Friedmann, sistem hukum terdiri atas struktur
hukum (structure), substansi/materi hukum (substance), dan budaya hukum (legal culture).[80] Sehingga
ketika berbicara pembaharuan sistem peradilan pidana dalam kajian legal policy, tidak hanya kebijakan
Undang-undang, namun juga kebijakan yang berkaitan dengan struktur dan budaya hukum yang
berkembang baik secara struktural maupun di masyarakat.
Sebenarnya pembaharuan hukum pidana tidak identik dengan pembaharuan KUHP. Pembaharuan
hukum pidana lebih bersifat komprehensif dari pada sekedar mengganti KUHP. Pembaharuan hukum
pidana meliputi pembaharuan dalam bidang struktur, kultur dan materi hukum. Sedangkan
pembaharuan KUHP hanya berarti pembaharuan materi hukum pidana.[81]
Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa tidak ada artinya hukum pidana (KUHP)
diganti/diperbaharui, apabila tidak dipersiapkan atau tidak disertai dengan perubahan ilmu hukum
pidananya. Dengan kata lain criminal law reform atau legal substance reform harus disertai pula dengan
pembaharuan ilmu pengetahuan tentang hukum pidananya (legal/criminal science reform).
Bahkan harus disertai pula dengan pembaharuan budaya hukum masyarakat (legal culture reform) dan
pembaharuan struktur atau perangkat hukumnya (legal structure reform).[82] Sedangkan
menurut Sudarto, pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh itu harus meliputi pembaharuan
hukum pidana material, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana.[83]
Kenyataan inilah yang menyebabkan kebutuhan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana (penal
reform) di Indonesia. Kebutuhan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana sejalan dengan hasil dari
Kongres PBB tahun 1976 tentang pencegahan kejahatan dan perlakuan kepada pelaku kejahatan. Dalam
kongres tersebut dinyatakan bahwa hukum pidana yang ada selama ini di berbagai negara yang sering
berasal dari hukum asing dari zaman kolonial yang pada umumnya telah asing dan tidak adil (obsolete
and unjustice) serta ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded and unreal) karena
tidak berakar dan pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta
tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini.[84]
Kondisi perubahan hukum yang adil dan sesuai dengan kenyataan yang berakar dari nilai-nilai yang ada
dalam masyarakat kemudian secara tegas juga dinyatakan dalam konsideran Rancangan Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menyatakan bahwa materi hukum pidana nasional harus
disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara
bangsa Indonesia. Sementara tujuan penyusunan hukum pidana dinyatakan sebagai perwujudan upaya
pembaharuan hukum nasional Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta untuk menghormati dan menjunjung tinggi
Hak Asasi Manusia.

Menurut Penulis, munculnya wacana law reformmerupakan reaksi atas lemahnya law enforcement dalam
sistem hukum pidana di Indonesia. KUHAP sebagai Undang-undang yang merupakan hukum acara bagi
pelaksanaan hukum pidana materiil justru berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) melalui
institusi penegak hukum (impunitas). Impunitasmerupakan salah satu pelanggaran HAM yang terjadi
karena selama ini pembangunan hukum di Indonesia selalu menggunakan Security Approach[85].
Pemerintah melalui tangan-tangan institusi penegak hukum dipergunakan untuk melancarkan jalannya
pembangunan. Hal ini merupakan suatu kewajaran yang terjadi pada Negara-Negara Dunia Ketiga seperti
di Indonesia. Dengan adanya kebutuhan seperti hal tersebut, sehingga political will dari Pembentuk
Undang-Undang, hingga saat ini masih belum terbentuk untuk melakukan pembaharuan terhadap sistem
hukum di Indonesia.
Terkait dengan legal reform, dalam ranah Hukum Perlindungan Anak, pembentuk Undang-undang
mencoba mengakomodir berbagai masukan dari berbagai pihak terkait dengan kelemahan-kelemahan
yang terdapat dalam UU Pengadilan Anak, sehingga disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Anak (UU SPA).
UU SPA ini merupakan salah satu wujud dari hukum sebagai sarana perubahan sosial (law as a tools of
social engineering), dimana semua pihak harus mulai mereformasi pola pikirnya ketika berkaitan dengan
tindak pidana yang dilakukan oleh Anak.
Pemberlakuan lembaga divertion (diversi) menjadi tolak ukur utama dalam melakukan proses
pemeriksaan terhadap anak sebagai pelaku, pun konsep keseimbangan antara kebutuhan korban turut
diatur sebagai wujud dari asas keseimbangan.
Pembaharuan yang mendasar terlihat pula pada batasan usia dari anak sebagai pelaku tindak pidana,
dimana pada UU Pengadilan Anak batasan usia dimulai dari usia 8 tahun hingga 18 tahun, namun pasal
terkait telah dilakukan uji materiil melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-VIII/2010 Tahun
2010 yang menaikkan batas minimal usia anak yang dapat dituntut pertanggung jawaban pidana menjadi
12 Tahun.

Pembaharuan lainnya adalah berkaitan dengan stigma Anak Nakal yang termuat di dalam UU Pengadilan
Anak, pada UU SPA diubah menjadi Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). Ini merupakan
pembaharuan yang sangat signifikan dalam konsep Hukum Perlindungan Anak. Anak sebagai bagian dari
kelompok yang rentan dan labil, wajib dihindakan dari stigmatisasi negatif sehingga diharapkan tidak
mengganggu perkembangan mental dari si Anak.

1. Penerapan Konsep Keadilan Restorasi (Restorative Justice) Dalam Peradilan Anak


Semenjak diterapkannya Sistem Pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan terhadap pelaku-pelaku
kejahatan yang sudah divonis bersalah melalui Pengadilan, tingkat kejahatan tidak juga menurun, justru
semakin bertambah dan terus bertambah. Tidak sedikit pelaporan tindak pidana yang dilaporkan ke
Kepolisian di seluruh wilayah Indonesia.

Perimbangan antara jumlah SDM Polisi dengan pelaporan yang masuk menjadi salah satu faktor
terlukainya nilai-nilai keadilan di negeri ini. Pemerintah belum mampu untuk memberikan dana
operasional yang memadai bagi para Penyidik POLRI guna menyelesaikan permasalahan yang dilaporkan,
sehingga memunculkan kebiasaan-kebiasaan yang kurang pantas di dalam proses penyidikan, misalnya
dengan meminta biaya tambahan kepada si pelapor, bahkan juga kepada Terlapor. Sehingga tak heran
jika terdapat perkara-perkara sepele yang dilaporkan namun tetap akan diproses karena si Pelapornya
termasuk golongan orang-orang “ber-Uang”.

Namun, perilaku tersebut tidak bisa disalahkan sepenuhnya kepada POLRI, hal ini merupakan satu
kesatuan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan. Dimana sistem hukum di Indonesia,
memang telah menciptakan aparat penegak hukum hanya sebagai “toa masjid” saja. Apa isi undang-
undang, itulah yang mereka jalankan. Dan dapat dimaklumi, bahwa tidak semua polisi adalah lulusan
sarjana hukum pada awalnya. Sehingga sangat susah untuk diharapkan penanganan perkara yang
humanis.

Problematika tersebut bukan hanya ditingkat Kepolisian saja, bahkan hingga sampai kepada tingkat
Mahkamah Agung. Kewenangan untuk mengambil langkah-langkah yang humanis, pada saat ini, telah
diamanatkan oleh masing-masing payung hukumnya. Namun kultur budaya di masing-masing institusi
yang susah untuk dirubah.

Kepolisian dan Kejaksaan telah diberikan kewenangan untuk melakukan diskresi terhadap
permasalahan-permasalahan yang bisa diselesaikan tanpa memperpanjang konflik atau sengketa, namun
sangat jarang digunakan kecuali ada keuntungan finansial yang nyata. Hakim-hakim telah memiliki
kewenangan untuk melakukan penemuan dan penciptaan hukum, baik melalui Undang-undangnya
maupun melalui asas-asas ilmu hukum, namun sangat jarang Hakim mempergunakannya.

Pembahasan mengenai konsep restorative justice telah disinggung sedikit pada bab-bab awal, dimana
pengertian Restorative Justice (Keadilan Restoratif) adalah suatu pendekatan keadilan yang memfokuskan
kepada kebutuhan daripada para korban, pelaku kejahatan, dan juga melibatkan peran serta masyarakat,
dan tidak semata-mata memenuhi ketentuan hukum atau semata-mata penjatuhan pidana. Dalam hal ini
korban juga dilibatkan di dalam proses, sementara pelaku kejahatan juga didorong untuk
mempertanggungjawabkan atas tindakannya, yaitu dengan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah
mereka perbuat dengan meminta maaf, mengembalikan uang telah dicuri, atau dengan melakukan
pelayanan masyarakat. Pendekatan Restorative justicememfokuskan kepada kebutuhan baik korban
maupun pelaku kejahatan. Di samping itu, pendekatan Restorative Justice (Keadilan Restoratif) membantu
para pelaku kejahatan untuk menghindari kejahatan lainnya pada masa yang akan datang.
Hal ini didasarkan pada sebuah teori keadilan yang menganggap kejahatan dan pelanggaran, pada
prinsipnya adalah pelanggaran terhadap individu atau masyarakat dan bukan kepada negara. Restorative
Justice (Keadilan Restoratif) menumbuhkan dialog antara korban dan pelaku akan menunjukan tingkat
tertinggi kepuasan korban dan akuntabilitas pelaku.
Konsep Restorative Justice (Keadilan Restoratif) pada dasarnya sederhana. Ukuran keadilan tidak lagi
berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman);
namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan
mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila
diperlukan.
Dalam ke-Indonesia-an, maka diartikan bahwa Restorative Justice sendiri berarti penyelesaian secara adil
yang melibatkan pelaku, korban, keluarga dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana dan
secara bersama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana dan implikasinya dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula.
Pengenalan Restorative Justice (Keadilan Restoratif) di dalam sistem hukum Indonesia masih bersifat
parsial dan tidak komprehensif. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh DS. Dewi sebagai berikut:
Penerapan Retorative Justice (keadilan restoratif) juga terlihat pada beberapa kebijakan penegak hukum,
diantaranya:

1. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1959, menyebutkan bahwa persidangan anak
harus dilakukan secara tertutup.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1987, tanggal 16 November 1987 tentang Tata
Tertib Sidang Anak.
3. Surat Edaran Jaksa Agung RI SE-002/j.a/4/1989 tentang Penuntutan terhadap Anak
4. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B-532/E/11/1995, 9 Nov 1995 tentang Petunjuk
Teknis Penuntutan Terhadap Anak
5. MOU 20/PRS-2/KEP/2005 DitBinRehSos Depsos RI dan DitPas DepKumHAM RI tentang pembinaan
luar lembaga bagi anak yang berhadapan dengan hukum
6. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI MA/Kumdil/31/I/K/2005 tentang kewajiban setiap PN
mengadakan ruang sidang khusus & ruang tunggu khusus untuk anak yang akan disidangkan
7. Himbauan Ketua MARI untuk menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan putusan
tindakan daripada penjara, 16 Juli 2007
8. Peraturan KAPOLRI 10/2007, 6 Juli 2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) dan
3/2008 tentang pembentukan RPK dan tata cara pemeriksaan saksi&/korban TP
9. TR/1124/XI/2006 dari Kabareskrim POLRI, 16 Nov 2006 dan TR/395/VI/2008 9 Juni 2008, tentang
pelaksaan diversi danrestorative justice dalam penanganan kasus anak pelaku dan pemenuhan
kepentingan terbaik anak dalam kasus anak baik sebagai pelaku, korban atau saksi
10. Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial RI Nomor : 12/PRS-2/KPTS/2009, Departemen
Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : M.HH.04.HM.03.02 Th 2009, Departemen Pendidikan
Nasional RI Nomor 11/XII/KB/2009, Departemen Agama RI Nomor : 06/XII/2009, dan Kepolisian
Negara RI Nomor : B/43/ XII/2009 tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang
Berhadapan dengan Hukum , tanggal 15 Desember 2009
11. Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI,
Menteri Hukum Dan HAM RI, Menteri Sosial RI, Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan
Anak RI, NO.166/KMA/SKB/XII/2009, NO.148A/A/JA/12/2009, NO. B/45/XII/2009, NO.M.HH-
08 HM.03.02 Tahun 2009, NO. 10/PRS-2/KPTS/2009, NO. 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tanggal 22
Desember 2009 tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.
12. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
Dalam hal ini, justru Penulis melihat bahwa penerapan Restorative Justice juga terlihat dari Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dimana Sistem Pemasyarakatan bertujuan
untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik dan untuk melindungi
masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan serta merupakan
penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Namun, dari seluruh ketentuan yang ada, tidak lah merupakan satu kesatuan yang utuh dan terkesan
berdiri sendiri, serta tidak menyeluruh pada setiap tingkatan pemeriksaan pada proses perkara pidana.
Dimana hanya pada tindak pidana tertentu saja ditekankan pendekatan Restorative Justice tersebut,
dalam hal ini adalah permasalahan hukum yang berkaitan dengan subyek hukumnya adalah Anak.

Salah satu wujud dari Restorative Justice adalah dimunculkannya lembaga penal mediation, yaitu
penyelesaian perkara pidana melalui jalur mediasi. Namun demikian, tidaklah semua jenis tindak pidana
yang dapat diselesaikan melalui penal mediation.
Penal Mediation sebagai konsekuensi dianutnya konsep reastorative justice lebih memfokuskan kepada
penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berskala kecil atau memiliki nominal yang kecil.
Hal ini pada dasarnya juga sudah berlaku namun hanya pada perkara-perkara yang tergolong kepada
tindak pidana ringan, namun hingga saat ini, dalam praktek yang termasuk ke dalam tindak pidana ringan
hanyalah pelanggaran lalu lintas. Dimana Polri cq Polantas, lebih sering menggunakan diskresi dalam
menyelesaikan pelanggaran lalu lintas.
Penal mediation juga nampak pada perkara-perkara yang bersifat aduan atau delik aduan. Dimana
pencabutan pengaduan oleh pihak Pelapor, tak jarang, pihak Penyidik memberikan saran agar tercipta
perdamaian, sehingga laporan dapat dicabut. Walaupun inisiatif tersebut tetap dilatarbelakangi oleh nilai
nominal yang diharapkan oleh Penyidik hanya sebagai penggantian uang lelah dan uang kertas, namun
hal-hal tersebut patut diapresiasi.
Fenomena hukum yang terjadi sepanjang tahun 2010 s/d tahun 2012 ini, dimana muncul perkara-
perkara yang bernilai kecil namun tetap dilanjutkan proses penyidikannya, dengan dalih pihak pelapor
enggan mencabut laporannya, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan damai. Kita tentu masih ingat
perkara Sandal Jepit di Palu, perkara pencurian buah Cacao oleh Nenek Minah ataupun perkara pencurian
piring di Bekasi. Perkara-perkara tersebut tentu sangat berbanding terbalik dengan perkara-perkara
korupsi yang marak dibicarakan. Sangat sedikit orang-orang akan membicarakan perkara tersebut
karena nominalnya sangat kecil, namun dikarenakan media massa berani meng-ekspose, sehingga ramai
dibicarakan oleh banyak pihak.

Penyidik seharusnya dapat menempatkan dirinya sebagai seorang mediator dalam membangun
komunikasi antara pelaku dengan korban demi mencapai rasa keadilan dan kemanfaatan bagi semua
pihak. Namun, Penyidik lebih senang larut dalam emosi balas dendam (retributive justice theory) dari
korban dengan berlindung pada dua hal yaitu:
1. Apa yang dilakukan oleh Penyidik sudah sesuai dengan amanat Undang-undang; dan
2. Kewenangan Penyidik dalam menghentikan perkara dibatasi syaratnya oleh KUHAP
Disertai dalil pembenaran, yaitu:

1. Seberapa seringkah pelaku melakukan tindak pidana secara berulang-ulang?


2. Penal Mediationakan menjadi preseden yang buruk bagi calon pelaku lainnya.
Secara yuridis formal, apa yang dilakukan oleh Penyidik memang memenuhi asas kepastian hukum.
Bahwa baik KUHAP maupun UU Kepolisian tidak memberikan kewenangan untuk menghentikan perkara,
kecuali atas 3 (tiga) syarat, yaitu:

1. Perkara tersebut bukanlah merupakan tindak pidana;


2. Tindak pidana yang terjadi tidak cukup bukti untuk dilanjutkan pemeriksaannya; dan
3. Tersangka atau Terlapor meninggal dunia.
Namun demikian, baik KUHAP maupun UU Kepolisian memberikan ruang gerak yang cukup untuk
melakukan diskresi dengan dasar demi kepentingan umum.[86]
Kondisi yang sama juga terjadi pada ranah penuntutan yaitu pada lembaga Kejaksaan. Sebagaimana
layaknya lembaga pemerintahan, dalam ranah Hukum Administrasi Negara, Kejaksaan pun memiliki
kewenangan untuk menghentikan penuntutan dengan alasan demi kepentingan umum, yaitu
melalui Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKP2).

Karena syarat untuk melakukan diskresi baik pada Penyidikan dan Penuntutan adalah “demi kepentingan
umum” maka seringkali terjadi penafsiran negatif yang dilandaskan kepada kepentingan “finansial”.
Karena hingga saat ini, baik melalui peraturan perundang-undangan nasional maupun internasional,
tidak pernah ada definisi yang mampu menggambarkan secara gamblang dengan apa yang dimaksud
dengan “demi kepentingan umum” tersebut.

Restorative Justice pada prinsipnya memberikan batasan yang cukup bagi para penegak hukum untuk
mendeskripsikan frase “demi kepentingan umum” tersebut, yaitu dengan membangun komunikasi antara
pelaku, korban dan penegak hukum agar menghasilkan output yang bermanfaat bagi semua pihak.
Integrated Criminal Justice System (ICJS) atau dikenal dengan nama Sistem Peradilan Pidana Terpadu
(SPPT) merupakan suatu sistem peradilan pidana yang merupakan pemukhtahiran Sistem Peradilan
Pidana (SPP). Perbedaan antara SPPT dengan SPP tersebut terletak pada kata “Terpadu”. Sehingga
menunjukkan bahwa SPP yang selama ini dianut oleh seluruh institusi penegak hukum, tidaklah mampu
memberikan akses kepada pihak-pihak yang terkait.
Di dalam SPP merupakan suatu sistem peradilan perkara pidana yang antara satu institusi dengan
institusi yang lainnya tidak terkoneksi/terhubung, sehingga seolah-olah masing-masing pihak berjalan
sendiri-sendiri berdasarkan platform-nya masing-masing. Dimana dalam SPP hanya dibatasi kepada
institusi penegak hukum secara formal, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung.

Prinsip-prinsip dasar dari ICJS sebenarnya sudah mulai diperkenal oleh para pakar hukum masa lampau.
Dimana yang paling terkenal adalah pendapat dari Soerjono Soekantodengan faktor-faktor yang
mempengaruhi law enforcement, yaitu terdiri dari:
1. Hukum itu sendiri;
2. Sarana dan Prasarana;
3. Institusi Penegak Hukum;
4. Masyarakat; dan
5.
Dari kelima elemen tersebut tidaklah berjalan masing-masing, namun harus terintegrasi dan saling
bekerja sama dalam sistem koordinasi yang dibangun pada landasan yuridis yang kuat.

Berdasarkan pendapat Beliau, kita sudah jelas melihat adanya susupan dari teori restorative justice,
dimana perlu dibangunanya kerjasama antara intitusi penegak hukum dengan masyarakat disertai
dengan alasan sosiologis (unsur budaya) yang mempengaruhi proses law enforcement.
Sehingga di dalam ICJS, Penulis melihat adanya penghormatan terhadap budaya lokal yang hidup dan
berkembang di masyarakat yang patut untuk dijadikan bahan pertimbangan.

Salah satu fenomena hukum yang menarik dalam mewujudkan ICJS melalui penerapan restorative
justice adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP. PERMA ini dikeluarkan atas
dasar berbagai fenomena hukum yang mengusik rasa keadilan masyarakat berkaitan dengan perkara
tindak pidana yang memiliki kualifikasi ringan, namun masih terus diproses pemeriksaannya.
Namun, jika kita baca PERMA tersebut, maka PERMA tersebut hanya bertitik berat kepada apakah pelaku
dapat dilakukan penahanan atau tidak? PERMA tersebut hanya mengikat Hakim untuk melakukan
penahanan bagi pelaku tindak pidana ringan (lichte misdrijven). Bahwa Hakim dilarang memberikan
perpanjangan penahanan ataupun menahan. Namun pada pemeriksaan tingkat Penyidikan dan
Penuntutan, masih dapat dilakukan penahanan.
Konsep law enforcement dari Soerjono Soekanto, yang Penulis yakini sebagai penjabaran dalam bentuk
lain dari konsep restoratif justice, pada saat ini hanya diadopsi secara parsial. Dimana legal reform hanya
terjadi pada UU SPA, namun tidak menyeluruh di dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Hal ini patut
dimaklumi, bahwa merubah sistem peradilan Anak memang nampak lebih mudah dibandingkan merubah
keseluruhan sistem peradilan pidana. Hal tersebut dikarenakan penerapan restorative justice dan penal
mediation, dalam bentuk divertion (diversi/pengalihan), hanya berkaitan dengan anak baik sebagai
pelaku, korban ataupun saksi. Tidak ada kepentingan yang lebih besar dari tindak pidana anak, selain
menyelamatkan masa depan si anak.
Sehingga Penulis lebih memandang bahwa penerapan restorative justice dalam UU SPA hanya
merupakan bargaining dari tuntutan yang lebih besar, yaitu legal reform SPP menuju SPPT.
Pada Pasal 1 angka 7 UU SPA ditegaskan bahwa Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak
dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Namun demikian, penerapan lembaga
Diversi ini tetap dilakukan secara terbatas.
Dalam setiap proses pemeriksaan, pada Kepolisian, kejaksaan dan Pengadilan, harus diterapkan terlebih
dahulu proses Diversi. Namun terbatas kepada tindak pidana yang diancam di bawah 7 (tujuh) tahun.
Penerapan lembaga Diversi hanya kepada tiga lembaga, kecuali Pengadilan Banding dan Kasasi, dapat
dimaklumi. Hal tersebut dikarenakan sifat dari Pengadilan Negeri yang merupakan lembaga judex
facti sedangkan pada tingkat Banding dan Kasasi merupakan lembaga judex jurist.
Namun demikian terdapat kelemahan dari penerapan lembaga Diversi tersebut, dimana dalam setiap
proses nya wajib dilakukan Diversi yang berakibat berlarut-larutnya pemeriksaan perkara anak. Hal ini
akan nampak pada kewajiban melakukan Diversi dan kemungkinan gagalnya proses Diversi dari tiap-tiap
tingkat pemeriksaan.

Penulis lebih sependapat jika proses Diversi hanya ada di dua tingkat proses, yaitu tingkat Penyidikan
Kepolisian dan tingkat Pengadilan Negeri. Hal ini dilandaskan kepada adanya kewajiban bagi Kejaksaan
untuk memantau proses penyidikan di Kepolisian berdasarkan adanya Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP) dari Penyidik ke Kejaksaan. Sehingga peranan Jaksa dapat ditarik sebagai pihak dalam
proses Diversi dalam proses Penyidikan di Kepolisian.

Sedangkan proses Diversi pada Pengadilan Negeri dapat kita jumpai pula dalam sistem Hukum Acara
Perdata, yang mewajibkan adanya mediasi sebelum perkara pokok diperiksa. Sehingga karena kemiripan
ini, kemudian UU SPA mensyaratkan pelaksanaan Diversi dilakukan pada ruang mediasi di Pengadilan
Negeri.

DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
__________________, dan Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Penerbit Alumni, 1992.
________________, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1998
Atmasasmita, Romli, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Bandung: Armico, 1983.
Braitwaite, John, Restorative Justice and Responsive Regulation, London: Oxford University Press, 2002.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991
Friedman, Lawrence M., American Law, New York: W.W. Norton & Company, 1930
Friedrich, Carl Joachim, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004.
Gray, John, Children are from Heaven, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia,
Bandung: Refika Aditama, 2008.
Gosita, Arif, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1993
Goesniadhie, Kurnu, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-Undangan (Lex Spesialis Suatu
Masalah), Surabaya: JP Books, 2006.
Hadisuprapto, Paulus, Juvenile Deliquency Pemahaman Dan Penanggulangannya, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1997.
Hartono, Siti Sumarti, Penuntunan Dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda. Bagian Umum,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993.
Hasan, Wadong, Maulana, Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: Grasindo, 2000.
Joni, M., dan Zulchaina Z.Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak,
Bandung: Citra Adytia Bakti, 1999.
Kartono, Kartini, Psikologi Remaja. Bandung : Rosda Karya, 1988
_____________, Pathologi Sosial (2). Kenakalan Remaja, Jakarta: Rajawali Pers, 1992.
Liebmann, Marian, Restorative Justice: How it Works, London and Philadelphia: Jessica Kingsley
Publishers, 2007
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Yogyakarta: Liberty, 2004.
Mulyadi, Lilik, Pengadilan Anak di Indoneia. Teori, Praktek dan Permasalahannya, Bandung: Mandar Maju,
2005
Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Alumni, 1992
Prakoso, Djoko, Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986
Prinst, Darwin, Hukum Anak Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003
Rover, C. De, To Serve And To Protect, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
Sambas, Nandang, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Setyowati, Irma, Aspek Hukum Perlindungan anak di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 1990.
Soekanto, Soerjono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: RajaGrafindo, 1997.
_______________, Bahan Bacaan Teoritis Dalam Sosiologi Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Soetodjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006
Shidarta, et.al., Mochtar Kusuma-Atmadja Dan Teori Hukum Pembangunan. Eksistensi dan Implikasi,
Jakarta: Epistema Institute, 2012.
Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986
______, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986.
______, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Bina Cipta, 1986.

Sudarsono, Kenakalan Remaja, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.


Supramono, Gatot, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta: Djambatan, 2005
Sutanto, Retnowulan, Hukum Acara Peradilan Anak, Makalah Seminar Nasional Peradilan Anak, Bandung:
Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Hotel Panghegar, 5 Oktober 1996
UNICEF, Child Protection Information Sheet, Child Protection INFORMATION Sheet, 2006.
Artikel & Makalah
Ediwarman, Peradilan Anak di Persimpangan Jalan dalam Prespektif Victimology (belajar dari kasus
Raju), Vol.18 No. 1, April 2006, Jurnal Mahkamah, Pekan baru, 2006.
Barda Nawawi Arief, “Masalah perlindungan anak “, Makalah Seminar Nasional Perlindungan anak,
diselenggarakan UNPAD, Bandung: Hotel Panghegar, tanggal 5 Oktober 1996.

Absori, Perlindungan Hukum Hak-Hak Anak Dan Implementasinya di Indonesia pada Era Otonomi
Daerah, Jurnal Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005.

Siti Ismijati Jenie, Itikad Baik, Perkembangan Dari Asas Hkm Khusus Menjadi Asas Hukum Umum di
Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 10
September 2007 di Yogyakarta

Varia Peradilan No. 122 Tahun 1999

Ahmad Bahiej, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. (Telaah atas Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia), Makalah ini disampaikan pada kajian rutin Pusat Studi dan Konsultasi Hukum
(PSKH) Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 29 Desember 2003.

Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative Justice, Makalah
disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentang “POLITIK PERUMUSAN ANCAMAN
PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG DI LUAR KUHP”, diselenggarakan oleh Pusat Perencanaan
Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan
HAM (Kemenkumham), di Jakarta, tanggal 21 Oktober 2010

Arief Gosita, Pengembangan Aspek Hukum Undang-undang Peradilan Anak dan Tanggung Jawab
Bersama, Makalah Seminar Nasional Perlindungan Anak, diselenggarakan Oleh UNPAD, Bandung, 5
Okober 1996.

Internet
Rusmilawati Windari, Perlindungan Anak Berdasarkan Undang-Undang Di Indonesia Dan Beijing Rules,
Sumber: http://rusmilawati.wordpress.com/2010/01/25/perlindungan-anak-berdasarkan-undang-
undang-di-indonesia-dan-beijing-rules-oleh-rusmilawati-windarish-mh/, diakses 5 Desember 2012.
Jeremy Betham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, 1781,
Sumber: http://www.utilitarianism.com/jeremy-bentham/index.html, diakses tanggal 5 Desember 2012.
Lilik Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan. Sebuah Kajian Deskriptif Analitis, Sumber: http://www.pn-
pandeglang.go.id/attachments/125_kajian%20deskriptif%20analitis%20teori%20hukum%20pembangu
nan.pdf, diakses tanggal 5 Desember 2012.
Muchamad Iksan, Dasar-Dasar Kebijakan Hukum Pidana Berperspektif Pancasila,
Sumber: http://hukum.ums.ac.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=45#_ftn1, diakses
tanggal 26 Juni 2012
“Pembenahan Sistem Dan Politik Hukum”, Sumber: www.bappenas.go.id/get-file-server/node/152/,
diakses tanggal 12 Juli 2012.
Rachmayanthy, Litmas Pengadilan Anak Berkaitan Dengan Proses Penyidikan,
Sumber: http://bimkemas.kemenkumham.go.id/attachments/article/247/LITMAS%20PENGADILAN%2
0ANAK%20BERKAITAN%20DENGAN%20PROSES%20PENYIDIKAN.pdf, diakses pada tanggal 21
November 2012.
MaPPI FHUI, “Pengadilan Anak”, dapat diakses
pada: http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=203&tipe=kolom
“Kriminogen”, Sumber: http://crimecare.blogspot.com/2008/06/kriminogen.html, diakses tanggal 17
November 2012.
“Sejarah Hukum Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak Anak)”,
Sumber: http://ngobrolinhukum.wordpress.com/2011/05/12/sejarah-hukum-convention-on-the-rights-
of-the-child-konvensi-hak-hak-anak/, diakses tanggal 17 November 2012.
“Quo Vadis Implementasi Restorasi Justice Dalam Penanganan Anak Bermasalah Dengan Hukum”,
Sumber: http://komnaspa.wordpress.com/2012/04/05/quo-vadis-implementasi-restorasi-justice-
dalam-penanganan-anak-bermasalah-dengan-hukum/, diakses tanggal 17 November 2012.
“Asas Hukum”, sumber : http://statushukum.com/asas-hukum.html, diakses tanggal 28 November 2012.
Rudi Pradisetia, “Asas-Asas Hukum Di Indonesia”,
Sumber: http://rudipradisetia.blogspot.com/2010/09/asas-asas-hukum-di-indonesia-dianjukan.html,
diakses pada tanggal 28 November 2012.
Rocky Marbun, “Membangun restorative justice dan penal mediation dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia”, Sumber: http://forumduniahukumblogku.wordpress.com/2012/08/22/membangun-
restorative-justice-dan-penal-mediation-dalam-sistem-peradilan-pidana-di-indonesia/#more-642
Lushiana Primasari, Keadilan Restoratif Dan Pemenuhan Hak Asasi Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan
Hukum, Sumber: http://lushiana.staff.uns.ac.id/files/2010/07/keadilan-restoratif-bagi-anak-yang-
berhadapan-dengan-hukum.pdf, diakses tanggal 17 November 2012.
“Peranan BAPAS Dalam Menangangi Anak Serta Hubungannya Dengan PihakPEnegak Hukum Terkait”,
Sumber: http://bimkemas.kemenkumham.go.id/berita/bapas-dan-lapas-anak/111-bapas-klas-ii-
bogor/192-peranan-bapas-dalam-menangani-anak-serta-hubungannya-dengan-pihak-penegak-hukum-
terkait, diakses tanggal 5 Desember 2012.
Abhy Maulana, “Peranan Hakim Dalam Peradilan Pidana”, Sumber: http://abhymaulana-
initulisanku.blogspot.com/2012/03/peran-hakim-dalam-peradilan-pidana.html, diakses tanggal 5
Desember 2012.
Undang-Undang
UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum,sedangkan perubahan pertama melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

International Covenant of Civil and Political Rights (ICCPR) yang diratifikasi dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005

International Covenant of Economis, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang diratifikasi dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005

[1] Soerjono Soekamto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo, 1997), hlm. 99.
[2] Ediwarman, Peradilan Anak di Persimpangan Jalan dalam Prespektif Victimology (belajar dari kasus
Raju), Vol.18 No. 1, April 2006, Jurnal Mahkamah, Pekan baru, 2006, hlm.8.
[3] Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2010), hlm. 103.
[4] Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan ANak, (Jakarta: Djambatan, 2005), hlm. 1
[5] Kartini Kartono, Psikologi Remaja. (Bandung : Rosda Karya, 1988), hlm. 93
[6] Soerjono Soekanto, Bahan Bacaan Teoritis Dalam Sosiologi Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985), hlm. 73.
[7] Lushiana Primasari, Keadilan Restoratif Dan Pemenuhan Hak Asasi Bagi Anak Yang Berhadapan
Dengan Hukum, Sumber: http://lushiana.staff.uns.ac.id/files/2010/07/keadilan-restoratif-bagi-anak-
yang-berhadapan-dengan-hukum.pdf, diakses tanggal 17 November 2012.
[8] Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di
Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 1.
[9] Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), hlm. 17
[10] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002),
hlm. 9
[11] Rachmayanthy, Litmas Pengadilan Anak Berkaitan Dengan Proses Penyidikan,
Sumber: http://bimkemas.kemenkumham.go.id/attachments/article/247/LITMAS%20PENGADILAN%2
0ANAK%20BERKAITAN%20DENGAN%20PROSES%20PENYIDIKAN.pdf, diakses pada tanggal 21
November 2012.
[12] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1991), hlm. 219
[13] Sudarsono, Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 10.
[14] Kartini Kartono, Pathologi Sosial (2). Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 7
[15] Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, (Bandung: Armico, 1983), hlm.40
[16] Gatot Supramono, Op.cit, hlm. 9
[17] John Gray, Children are from Heaven, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 1.
[18] Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indoneia. Teori, Praktek dan Permasalahannya, (Bandung: Mandar
Maju, 2005), hlm. 8
[19] Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 4
[20] Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm. 9.
[21] Darwin Prinst, Op. cit., hlm. 5
[22] Saat ini UU Peradilan Umum telah mengalami perubahan yang kedua melalui UU No. 49 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum,sedangkan perubahan pertama melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004.
[23] Darwan Prinst, Op.cit, hlm. 8
[24] Lilik Mulyadi, Op. cit., hlm. 11
[25] Dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (TIPIKOR)
[26] Dibentuk dengan Undang- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)
[27] Darwin Prinst, Op. Cit., hlm. 13
[28] Penulis berpendapat bahwa sistem peradilan tersebut merupakan satu kesatuan rangkaian
proses mulai dari proses penyidikan di Kepolisian hingga eksekusi putusan pengadilan.
[29] Lilik Mulyadi, Op.cit., hlm.
[30] Paulus Hadisuprapto, Juvenile Deliquency Pemahaman Dan Penanggulangannya, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1997), hlm. 8
[31] Djoko Prakoso, Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 3
[32] Romli Atmasasmita Problema Kenakalan Anak-Anak dan Remaja, (Bandung, Amico, 1986), hlm. 34
[33] Djoko Prakoso, Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 84
[34] C. De Rover, To Serve And To Protect, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 369
[35] “A juvenile is a child or young person who, under the respective legal systems, may bedealt with
for an offence in a manner which is different from an adult.”
[36] Maulana Hasan Wadong, Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm.
24.
[37] Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, Pasal 1
angka 3
[38] Ibid., Pasal 1 angka 4
[39] Ibid., Pasal 1 angka 5
[40] UNICEF, Child Protection Information Sheet, Child Protection INFORMATION Sheet, 2006, hlm.
19.
[41] Teks Asli: A juvenile offender is a child or young person who is alleged to have committed or who has
been found to have committed an offence
[42] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 2004), hlm. 4.
[43] Ibid., hlm. 5.
[44] Siti Sumarti Hartono, Penuntunan Dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda. Bagian Umum,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), hlm. 89.
[45] Sudikno Mertokusumo, Loc.cit
[46] Siti Ismijati Jenie, Itikad Baik, Perkembangan Dari Asas Hkm Khusus Menjadi Asas Hukum
Umum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada
tanggal 10 September 2007 di Yogyakarta, hlm. 3
[47] Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hlm. 6.
[48] Shidarta, et.al., Mochtar Kusuma-Atmadja Dan Teori Hukum Pembangunan. Eksistensi dan Implikasi,
(Jakarta: Epistema Institute, 2012), hlm. 19.
[49] Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Alumni, 1992, hlm. 113
[50] Barda Nawawi Arief, “Masalah perlindungan anak “, Makalah Seminar Nasional Perlindungan
anak, diselenggarakan UNPAD, Bandung: Hotel Panghegar, tanggal 5 Oktober 1996, hlm. 13
[51] Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Alumni, 1992, hlm. 114
[52] Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2003), hlm. 15.
[53] Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
[54] Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1993), hlm. 50
[55] Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, (terj. Mohamad Radjab), (Jakarta:
Bhratara Karya Aksara, 1982), hlm. 6-7.
[56] Jeremy Betham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, 1781,
Sumber: http://www.utilitarianism.com/jeremy-bentham/index.html, diakses tanggal 5 Desember
2012.
[57] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia,
2004), hlm. 239.
[58] Lilik Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan. Sebuah Kajian Deskriptif Analitis,
Sumber: http://www.pn-
pandeglang.go.id/attachments/125_kajian%20deskriptif%20analitis%20teori%20hukum%20pembang
unan.pdf, diakses tanggal 5 Desember 2012.
[59] Ajaran Legismen berpendapat bahwa kedudukan pengadilan adalah pasif dan hanya sebagai
“terompet undang-undang” (la bounche de la loi).
[60] Lihat Pasal 5 ayat (1) UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan
sebagai berikut:
[61] John Braitwaite, Restorative Justice and Responsive Regulation, (London: Oxford
University Press, 2002), hlm. 10.
[62] Marian Liebmann, Restorative Justice: How it Works, (London and Philadelphia: Jessica Kingsley
Publishers, 2007), hlm. 25
[63] Absori, Perlindungan Hukum Hak-Hak Anak Dan Implementasinya di Indonesia pada Era Otonomi
Daerah, Jurnal Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005, hlm. 80.
[64] Arief Gosita, Pengembangan Aspek Hukum Undang-undang Peradilan Anak dan Tanggung
Jawab Bersama, Makalah Seminar Nasional Perlindungan Anak, diselenggarakan Oleh UNPAD,
Bandung, 5 Okober 1996, hlm. 1
[65] Ibid., hlm. 14
[66] Ibid, hlm. 6
[67] Ibid, hlm. 7
[68] Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Gramedia
Indonesia, 2000), hlm. 40
[69] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 156
[70] Retnowulan Sutanto, Hukum Acara Peradilan Anak, Makalah Seminar Nasional Peradilan Anak,
Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Hotel Panghegar, 5 Oktober 1996, hlm. 3
[71] Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 62
[72] Muchamad Iksan, Dasar-Dasar Kebijakan Hukum Pidana Berperspektif Pancasila,
Sumber: http://hukum.ums.ac.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=45#_ftn1, diakses
tanggal 26 Juni 2012
[73] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002),
hlm. 21-22
[74] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 113-114
[75] Barda Nawawi Arief, Loc.cit
[76] Lihat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, perhatikan Pasal 5 huruf c jo Pasal 6 ayat (1)huruf j.
[77] “Pembenahan Sistem Dan Politik Hukum”, Sumber: www.bappenas.go.id/get-file-server/node/152/,
diakses tanggal 12 Juli 2012.
[78] Suatu sistem adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri
dari bagian-bagian berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari
suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan. Sistem berarti tatanan dimana segenap unsur dan
segenap bagian yang adadari sesuatu terkait dalam kesatuan yang logis. Lihat dalam Varia Peradilan
No. 122 Tahun 1999, hlm. 146
[79] Kurnu Goesniadhie, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-Undangan (Lex Spesialis Suatu
Masalah), (Surabaya: JP Books, 2006), hlm. 72.
[80] Lawrence M. Friedman, American Law, (New York: W.W. Norton & Company, 1930), hlm. 5-6
[81] Ahmad Bahiej, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. (Telaah atas Rancangan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Indonesia), Makalah ini disampaikan pada kajian rutin Pusat Studi dan
Konsultasi Hukum (PSKH) Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 29 Desember
2003.
[82] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 133
[83] Sudarto, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: Bina Cipta,1986), hlm. 27.
[84] Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative Justice, Makalah
disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentang “Politik Perumusan Ancaman
Pidana Dalam Undang-Undang Di Luar KUHP”, diselenggarakan oleh Pusat Perencanaan
Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum
dan HAM (Kemenkumham), di Jakarta, tanggal 21 Oktober 2010
[85] Pendekatan pembangunan yang mengutamakan “Security Approach” selama lebih kurang 32
tahun orde baru berkuasa “Security Approach” sebagai kunci menjaga stabilitas dalam rangka
menjaga kelangsungan pembangunan demi pertumbuhan ekonomi nasional. Pola pendekatan
semacam ini, sangat berpeluang menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah,
karena stabilitas ditegakan dengan cara-cara represif oleh pemegang kekuasaan.
[86] Diskresi tidak dapat dilakukan dengan alasan kekosongan hukum. Asas diskresi hanya dapat
digunakan untuk mengisi kekosongan dalam tataran tehnis semata, dan bukan bersifat yuridis formal.

https://slissety.wordpress.com/tindak-pidana-anak/

Anda mungkin juga menyukai