Anda di halaman 1dari 18

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...............................................................................................................................i
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................................................. 1
BAB II : PEMBAHASAN ......................................................................................................
A. Pengaruh Pola Perdagangan Luar Negeri Terhada Perekonomian Indonesia ............
B. Bentuk-Bentuk Kebijakan Sebagai Proteksi Perdagangan Luar Negeri ....................
BAB III : KESIMPULAN ........................................................................................................
A. Kesimpulan ................................................................................................................
B. Saran...........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................

i
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang
Seiring pertumbuhan korporasi yang semakin pesat dalam bidang kegiatan ekonomi,
muncul apa yang disebut dengan kejahatan korporasi. Kejahatan korporasi merupakan extra
ordinary crime. Bahkan dampaknya tidak hanya kerugian sesaat, tetapi berdampak dalam
waktu yang sangat lama. Oleh karena itu, Soesanto[1]berpendapat bahwa gagasan
pemidanaan terhadap korporasi melalui kebijakan pidana semakin menguat dan penting.
Diakuinya korporasi sebagai subyek hukum pidana, berarti korporasi dapat
dipertanggungjawabkan. Hal ini juga berarti bahwa baik di kalangan akademisi maupun
praktisi, kejahatan khusus yang disebut corporate crime tersebut dianggap sebagai kejahatan
yang pelakunya (korporasi) bias dipertanggung-jawabkan dalam hukum pidana.[2]
Ternyata KUHP sebagai induk hukum pidana materiil tidak mengatur korporasi
sebagai subyek hukum pidana, sehingga penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi
masih jauh dari yang diharapkan. Melihat kelemahan yuridis dari KUHP tersebut, di
Indonesia dewasa ini sedang berlangsung usaha untuk memperbaharui KUHP, termasuk
usaha untuk memformulasikan kebijakan hukum pidana tentang penanggulangan kejahatan
korporasi. Meskipun beberapa peraturan hukum pidana di luar KUHP mengatur kejahatan
korporasi (mengakui korporasi sebagai subyek tindak pidana), namun sistem
pertanggungjawabannya tidak diatur secara tegas.
Dengan demikian, secara hukum harus dikembalikan pada ketentuan KUHP yang
secara jelas tidak mengakui korporasi sebagai subyek tindak pidana. Oleh karena itu, perlu
ada upaya untuk memperbaharui kebijakan hukum pidana tentang sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi yang dilandasi oleh kajian teoritik-empirik dalam
rangka menanggulangi kejahatan korporasi di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah dalam makalah ini
adalah :
1. Bagaimana system pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi menurut hukum positif?
2. Upaya-upaya apa yang dilakukan dalam menganggulangi kejahatan korporasi?

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Kejahatan
Kejahatan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat dan merupakan peristiwa
sehari-hari. Seorang Filsuf bernama Cicero mengatakan Ubi Societas, Ibi Ius, Ibi
Crime yang artinya ada masyarakat, ada hukum dan ada kejahatan. Masyarakat saling
menilai, berkomunikasi dan menjalin interaksi, sehingga tidak jarang menimbulkan konflik
atau perikatan. Satu kelompok akan menganggap kelompok lainnya memiliki perilaku yang
menyimpang apabila perilaku kelompok lain tersebut tidak sesuai dengan perilaku
kelompoknya. Perilaku menyimpang ini seringkali dianggap sebagai perilaku yang jahat.
Batasan kejahatan dari sudut pandang masyarakat adalah setiap perbuatan yang melanggar
kaidah-kaidah yang hidup di dalam masyarakat.[3]
Menurut R. Soesilo dapat ditinjau dari dua sudut pandang, yaitu :[4]
1. Pengertia Kejahatan dari sudut pandang yuridis, Kejahatan adalah suatu perbatan yang
tingkah lakunya bertentangan dengan kaidah-kaidah dalam UU.
2. Pengertian Kejahatan dari sudut pandang Sosiologis, Kejahatan adalah perbuatan atau
tingkah laku yang selain merugikan si penderita juga merugikan masyarakat, yaitu
berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.

Sementara itu Saparinah Sadli yang dikutip Barda Nawawi Arief bahwa Kejahatan
atau tindak kriminal merupakan salah satu bentuk dari perilaku yang menyimpang yang
selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat, tidak ada masyarakat yang sepi dari
kejahatan. Menurut beliau perilaku menyimpang itu merupakan merupakan suatu ancaman
yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau
keteraturan sosial, dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-
ketegangan sosial dan merupakan ancaman riel atau potensial bagi berlangsungnya
ketertiban sosial.[5]
Unsur unsur kejahatan yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan sebagai kejahatan
sebagai berikut.

2
1. Unsur kejahatan yang pertama yaitu ada perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi
orang lain.
2. Unsur kejahatan yang kedua yaitu harus diatur di dalam kitab UU Hukum Pidana.
3. Unsur kejahatan yang ketiga adalah harus ada maksud jahat atau niat jahat.
4. Unsur kejahatan yang keempat ialah ada peleburan antara perbuatan jahat dan maksud
jahat atau niat jahat.
5. Unsur kejahatan yang kelima yaitu harus ada perbauran antara kerugian yang diatur di
dalam kitab UU Hukum Pidana dengan perbuatan.
6. Unsur kejahatan yang terakhir adalah harus ada sanksi pidana yang mengancam
perbuatan tersebut.

B. Pengertian Korporasi
Corporation (Inggris) dan corporation(Jerman) yang memberikan arti sebagai badan
atau membadankan, atau dengan kata lain badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh
dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap manusia yang terjadi menurut alam.
Istilah korporasi adalah sebutan lazim dipergunakan dikalangan pakar hukum pidana untuk
menyebut apa yang biasa dalam hukum lain, khususnya dalam bidang hukum perdata,
sebagai badan hukum atau dalam bahasa Belanda disebut sebagai recht person atau dalam
bahasa Inggris disebut sebagai legal entities atau corporation.[6]
Namun perkembangannya saat ini, korporasi tidak harus dimaknai hanya sebagai
badan hukum, tetapi harus diartikan lebih luas yaitu sebagai kumpulan terorganisasi orang
atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dengan
demikian, bentuknya disamping dapat berupa perseroan terbatas, koperasi, yayasan juga
dapat berupa firma, perseroan komanditer tanpa hak badan hukum dan persekutuan,
perkumpulan dan lain-lain.[7]
Pada awalnya korporasi sangat sulit untuk dikenakan pertanggungjawaban,
oleh karena banyaknya hambatan dalam menentukan bentuk dan tindakan korporasi yang
patut dipersalahkan dalam konsep hukum pidana. Masalah ketiadaan bentuk fisiknya.
Sebagaimana dikemukakan G William bahwa : corporation have “no soul to be damned, no
body to be kicked” dan korporasi tidak dapat dikucilkan oleh karena “they have
no soul”. [8] Hal tersebut merupakan refleksi dari pameo dari hukum pidana yaitu the deed

3
does not make a man guilty unless his mind be guilty (Actus non facit reum, nisi mens sit
rea).
Akan tetapi pameo tersebut tidak berlangsung lama oleh karena sudah banyak sistem
diberbagai negara, pengadilannya telah mulai menempatkan esensi dari unsur manusiawi ke
dalam pengaturan korporasi yang memberikan keuntungan kepada korporasi melalui
perbuatan dari perantara manusia, maka bisa dipastikan bahwa, jika perusahaan bisa
mendapatkan keuntungan dari keahlian unsur manusiawi mereka, mereka juga harus
menanggung beban yang timbul dari kejahatan yang dilakukan manusia tersebut, bukan
hanya atas dasar bahwa mereka bertindak bagi perusahaan (yang mengaitkan vicarious
liability), tapi mereka bertindak sebagai perusahaan.[9]
Penempatan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana tidak lepas dari
modernisasi sosial, menurut Satjipto Rahardjo, modernisasi sosial dampaknya pertama harus
diakui, bahwa semakin modern masyarakat itu akan semakin kompleks sistem sosial,
ekonomi dan politik yang terdapat disitu, maka kebutuhan akan system pengendalian
kehidupan yang formal akan menjadi semakin besar pula. Kehidupan social tidak dapat lagi
diserahkan kepada pola aturan yang santai, melainkan dikehendaki adanya pengaturan yang
semakin rapi terorganisasi, jelas dan terperinci. Sekalipun caracara seperti ini mungkin
memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat yang semakin berkembang namun persoalan-
persoalan yang ditimbulkan tidak kurang pula banyaknya.[10]Di Indonesia, pengaturan
korporasi sebagai subjek hukum sudah mulai dikenal sejak tahun 1951, yaitu terdapat dalam
Undang-Undang Penimbunan Barang-barang. Mulai dikenal secara luas dalam Pasal 15 ayat
(1) UU No.7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Pasal 17 ayat (1) UU No.11
PNPS Tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi, Pasal 49 Tahun 1976 tentang Narkotika,
Undang-Undang No.9 Tahun 1976 tentang Tindak Pidana Narkotika, Pasal 1 butir 13 dan
Pasal 59 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Pasal 1 butir 19
Undang-Undang Nomor 22m Tahun 1997 tentang Narkotika, Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Pasal 116 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Pasal 1 butir 20 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, Pasal 1 angka 10 dan 14 serta Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan demikian

4
secara de jure, Indonesia sudah mengakui pertanggungjawaban pidana korporasi seudah
sejak tahun 1951, namun bagaimana praktek penegakan hukumnya di Indonesia? Setelah
mengetahui korporasi sebagai subjek hukum maka harus diketahui juga apa yang dimaksud
dengan kejahatan korporasi.
Tindak pidana korporasi adalah tindak pidana yang bersifat organisatoris. Begitu
luasnya, penyebaran tanggung jawab serta struktur hirarkis dari korporasi besar dapat
membantu berkembangnya kondisi-kondisi kondusif bagi tindak pidana korporasi. Anatomi
tindak pidana yang sangat kompleks dan penyebaran tanggung jawab yang sangat luas
demikian bermuara pada motif-motif yang bersifat ekonomis, yaitu tercermin pada tujuan
korporasi(organizational goal) dan kontradiksi antara tujuan korporasi dengan kepentingan
berbagai pihak. Mengutip pendapat Mardjono Reksodiputro[11] yang mengatakan bahwa
tindak pidana korporasi adalah merupakan sebagian dari “white collar criminality” (WCC).
Istilah WCC dilontarkan di Amerika Serikat dalam Tahun 1939 dengan batasan “suatu
pelanggaran hukum pidana oleh seseorang dari kelas sosial ekonomi atas,
dalam pelaksanaan kegiatan jabatannya”. WCC itu sendiri dianggap sebagai akar dari
kejahatan korporasi.
Namun dalam suatu kejahatan korporasi harus dibedakan antara kejahatan
terorganisir (organized crime) dan kejahatan oleh organisasi. Simpson,11 mengutip
pendapat John Braithwaite, mendefinisikan kejahatan korporasi sebagai “conduct of a
corporation, or employee acting on behalf of a corporation, which is proscribed and
punishable by law.Adapun Black’s Law Dictionary12 menyebutkan kejahatan korporasi
atau corporate crime adalah any criminal offense commited by and hence chargeableto a
corporation because of activities of its officers or employee (e.g., price fixing, toxic waste
dumping), often referred to as “white collar crime”. Lebih jauh lagi Simpson menyatakan
ada tiga ide pokok dari definisi yang dikemukakan oleh Braithwaite mengenai kejahatan
korporasi, yaitu:
1. Tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan pelaku criminal
kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karena yang
digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan atas kejahatan atas hukum
pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi.

5
2. Baik korporasi (sebagai “subyek hukum perorangan atau “legal persons“) dan
perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam
praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan
kualitas pembuktian dan penuntutan.
3. Motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan
pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan
organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma-
norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
4. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kejahatan korporasi pada umumnya
dilakukan oleh orang dengan status sosial yang tinggi dengan memanfaatkan
kesempatan dan jabatan tertentu yang dimilikinya. Dengan kadar keahlian yang tinggi
di bidang bisnis untuk mendapatkan keuntungan di bidang ekonomi. Setelah
mengetahui beberapa definisi diatas dapat kita ketahui bahwa pemicu dari terjadinya
kejahatan korporasi adalah demi mendapatkan keuntungan ekonomis yang dilakukan
untuk kepentingan dan keuntungan suatu badan hukum. Akan tetapi perusahaan juga
harus memperhatikan bagaimana mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin tanpa
adanya suatu resiko terhadap perusahaan tersebut. (ultimate goodfit).

6
BAB III

PEMBAHASAN

A. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kejahatan Yang Dilakukan Oleh


Korporasi
Pada mulanya, subyek hukum pidana hanya naturlijke persoon, sedangkan
korporasi/recht persoon tidak diakui sebagai subyek hukum pidana. Hal ini karena
diberlakukannya asas universtas delinquere non potest.[12] Namun, kemungkinan adanya
pemidanaan terhadap korporasi didasarkan tidak saja atas pertimbangan utilitas, melainkan
pula atas dasar teoritis juga dibenarkan.[13]Dijadikannya korporasi sebagai subyek hukum
pidana bukanlah hal baru, sebab sejak dahulu menurut Maine, korporasi sudah menjadi
subyek hukum pidana. Bahkan di Indonesia dahulu desa sebagai korporasi juga dikenai
pidana denda. Sahetapy[14] menilai bahwa mereka yang menolak korporasi sebagai subyek
hukum pidana, karena berpendirian bahwa korporasi adalah “persona
ficta”(subyek/manusia fiksi), dapatlah dibenarkan. Namun, apabila diperhatikan dalam
kehidupan sosial ekonomi, maka gerak-gerik korporasi tersebut harus dikendalikan oleh
hukum, dan apabila menyimpang, maka korporasi dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (verwijbaarheid) yang
obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum
pidanayang berlaku, dan secara subyektif kepada pelaku yang memenuhi persyaratan untuk
dapat dikenakan pidana karena perbuatannya itu.[15] Hal itu didasarkan pada asas “actus
non facit reum nisi mens sit rea”, orang tersebut akan dipidana apabila dia mempunyai
kesalahan.[16]Jauh sebelum itu, Sudarto menyatakan bahwa:
“Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan
tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, namun untuk pemidanaan masih
perlu adanya syarat untuk menjatuhkan pidana,bahwa orang yang melakukan perbuatan itu
mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).”[17]
Jadi pertanggungjawaban pidana berbicara kesalahan dalam hukum pidana. Adanya
kesalahan menjadi yang pertama untuk dicari. Roeslan Saleh sependapat dengan Moeljatno
bahwa mampu bertanggungjawab, kesengajaan, kealpaan, serta tidak adanya alasan pemaaf,
merupakan unsurunsur kesalahan. Reid juga menulis bahwa “the law requires criminal

7
intent, or mens rea, the element required to establish culpability. This element is extremely
important, for in many cases it will be the critical factor in determining whether and act was
or was not a crime.”[18]Sebagaimana hal di atas, pertanggungjawaban pidana sangat
bergantung pada kesalahan (liability based on fault). Namun, pertanggungjawaban pidana
bagi korporasi sedikit ada penyimpangan dari teori pertanggungjawaban pidana pada
umumnya. Unsur “kesalahan“ dalam kejahatan korporasi tidaklah mutlak diberlakukan,
meskipun adanya kesalahan harus tetap diperhatikan. Dalam hal ini, dikenal doktrin strict
liability, di mana apabila seseorang (korporasi) menjalankan jenis kegiatan yang dapat
digolongkan sebagai extrahazardous atau abnormally dangerous, maka ia wajib
bertanggungjawab walaupun ia sudah bertindak hati-hati. Mengenai hal ini, banyak
sependapat dengan Muladi dan Priyatno bahwa:
“Dalam masalah pertanggungjawaban pidana, asas kesalahan masih tetap
dipertahankan, tetapi dalam perkembangan di bidang hukum, khususnya hukum pidana yang
menyangkut pertanggungjawaban pidana korporasi, asas kesalahan atau “asas tidak ada
pidana tanpa kesalahan” tidak mutlak berlaku. Cukuplah fakta yang menderitakan si korban
dijadikan dasar untuk menuntut pertanggungjawaban pidana pada si pelaku sesuai dengan
adagium “res ipsa loquitur”, bahwa fakta sudah berbicara sendiri.”[19]Dalam
pertanggungjawaban korporasi, si pembuat sudah dapat dipidana jika ia telah melakukan
perbuatan yang dilarang sebagaimana elah dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat
lebih jauh sikap batin dari si pelaku (korporasi) tersebut. Oleh karena sangat sulit dalam
mencari kesalahan pada korporasi, maka pemberlakuan pertanggungjawaban pidana tanpa
kesalahan (liability without fault) sangat diperlukan dalam pertanggungjawaban pidana
korporasi. Dalam teori pertanggungjawaban pidana korporasi, awalnya dikenal ada dua
macam doktrin yaitu doktrin strict liability dan doktrin vicarious liability. Dengan
memepertimbangkan unsur kesalahan maka muncul beberapa teori yaitu muncul teori baru
yang diperkenalkan oleh Haldane yaitu “Theory of primary corporate criminal
liability” yang terkenal dengan“Identification Theory”.
1. Doktrin Identification Theory
Doktrin ini memandang bahwa perbuatan/delik dan kesalahan/ sikap batin pejabat
senior dipandang sebagai perbuatan dan sikap batin perusahaan. Unsur-unsur tindak pidana
dapat dikumpulkan dari perbuatan dan sikap batin pejabat senior.[20] Atas dasar teori

8
identifikasi ini, maka semua tindakan yang dilakukan oleh orang-orang yang dapat
diidentifikasikan dengan korporasi atau mereka yang disebut “who constitute its directing
mind will of the corporation”, dapat diidentifikasikan sebagai perbuatan atau tindak pidana
yang dilakukan oleh korporasi. Dengan demikian, pertanggungjawaban korporasi tidak
didasarkan atas konsep pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability).
2. Doktrin Vicarious Liability

Vicarious liability dapat diartikan bahwa seseorang yang tidak memiliki kesalahan
pribadi, bertanggungjawab atas tindakan orang lain (pertanggungjawaban pengganti).
Pertanggungjawaban seperti ini hampir semuanya ditujukan pada delik dalam undang-
undang (statutory offences). Menurut Arief, vicarious liability adalah pertanggungjawaban
hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (the legal resposibility
of one person for the wrongful acts of another[21]). Menurut doktrin ini, majikan (employer)
adalah penanggungjawab utama dari perbuatan para buruh/karyawan yang melakukan
perbuatan itu dalam ruang lingkup tugas/pekerjaannya. Hal itu didasarkan
pada “employment principle” yang menyatakan “the servant’s act is the master’s act in
law”.
3. Doktrin Strict Liability
Dalam doktrin strict liability,pertanggungjawaban tidak harus mempertimbangkan
adanya kesalahan, karena dalam pertanggungjawaban korporasi, kesalahan tidaklah mutlak
berlaku. Seseorang/korporasi sudah dapat dipertanggungjawabkan walaupun pada diri orang
tersebut tidak ada kesalahan. Doktrin ini tidak mensyaratkan adanyamens rea atau kesalahan
dari si pembuatnya.
Model pertanggungjawaban jawaban pidana korporasi tidak lepas dari dua subyek
hukum pidana dalam kejahatan korporasi, yaitu orang sebagai pengurus dan korporasi itu
sendiri. Sehingga terkait dengan kedudukan korporasi dan sifat pertanggungjawaban pidana
korporasi dalam kejahatan korporasi, terdapat tiga model pertanggungjawaban pidana
korporasi, yaitu: [22]
a. Pengurus sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab;
b. Korporasi sebagai pembuat, dan penguruslah yang bertanggungjawab;
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.

9
Pada model pertama, korporasi tidak bisa dipersalahkan atas perbuatan tercela dari
pengurus atau karyawannya. Bahwa suatu perbuatan pidana hanya dapat dilakukan oleh
perorangan. Pemikiran fiksi tidaklah dapat diberlakukan pada lapangan hukum pidana.
Sementara pada model kedua, sifat perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu
adalah“onpersoonlijk”.Orang yang memimpin korporasi bertanggungjawab pidana, terlepas
apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu. Model ini sudah tidak
mempertimbangkan adanya asas mens rea. Sedangkan model ketiga, memandang bahwa
ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana dalam pertanggungjawaban
korporasi ternyata tidak cukup. Oleh karena itu, dimungkinkan pula untuk memidana
korporasi dan pengurus sekaligus. Hal itu selaras dengan Pasal 15 UU Nomor 7 Drt. Tahun
1955. Model ini membenarkan bahwa korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan dapat
dipertanggungjawabkan. Hal itu didasarkan atas dasar falsafah integralistik, (keseimbangan,
keselarasan dan keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan sosial); atas dasar
asas kekeluargaan; untuk memberantas anomie of succes; untuk perlindungan konsumen;
dan untuk kemajuan teknologi.

B. Upaya-Upaya Yang Dilakukan Dalam Menganggulangi Kejahatan Korporasi


Di Indonesia prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate liability) tidak diatur
dalam ukum pidana umum (KUHP), melainkan tersebar dalam hukum pidana khusus. Tidak
dikenalnya prinsip pertanggungjawaban korporasi dalam KUHP ini dikarenakan subjek
tindak pidana yang dikenal dalam KUHP adalah orang dalam konotasi biologis yang alami
(natuurlijke persoon). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere
non potest dimana badan hukum dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. Dengan
demikian, pemikiran fiksi tentang sifat badan hukum (rechspersoonlijkheid) tidak berlaku
dalam bidang hukum pidana.
Makalah ini akan menguraikan pencegahan kejahatan korporasi, dengan membatasi
pada tindak pidana kejahatan koorporasi yang dilakukan oleh badan hukum. Korporasi
sebagai alat yang sangat luar biasa untuk memperoleh keuntungan tanpa perlu adannya
pertanggung jawaban. Pada berbagai sektor perekonomian, dapat ditemukan satu contoh
pelanggaran korporasi yang telah menimbulkan banyak kerugian dan kerusakan. Walaupun
terdapat berbagai bukti yang menunjukkan adanya kejahatan korporasi, namun hukuman
atas tindakan tersebut kadang terabaikan. Kejahatan korporasi yang telah terjadi pada

10
berbagai badan hukum di masa lalu dapat kembali terjadi. Oleh karena itu, perlu dianalisa
bagaimana usaha untuk mencegahnya. Corporate Crime.
Definisi kejahatan korporasi terdapat bebrapa konsep, menurut Clinard and yeager
membuat definisi tentang Corporate Crime: “A corporate crime is any act commited by
corporations that punished by the state, regardness of whether is punished under
administrative, civil, or criminal law, which is only govermental action for ordinary
offender”. kejahatan koorporasi adalah setiap perbuatan yang dialkukan oleh korporasi yang
dapat dihukum oleh negara, tanpa mengindahkan apakah dihukum berdasarkan hukum
admistrasi, hukum perdata/hukum sipil atau hukum pidana.
Dari definisi tersebuit nampak bahwa kejahatan korporasi begitu luas sampai
melampaui hukum pidana itu sendiri. Kerugian yang diakibatkan oleh kejahatan ditimbulkan
baik terhadap individu, masyarakat maupun , negara, lebih besar daripada kejahatan biasa.
Prof. Loebby Loqman mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan korporasi terdapat dua
pendapat, yang pertama, korporasi adalah suatu kumpulan orang dagang yang sudah
berbadan hukum. Kedua, korporasi yang tidak berbadan hukum. Alasan yang pertama
adalah bahwa badan atau korporasi dapat bertanggung jawab harus sudah berbadan hukum.
Sedangkan alasan yang kedua tidak perlu berbadan hukum asalkan terdiri dari sekumpulan
orang yang membentuk usaha bersama dan mempunyai tujuan bersama.Pelaku dan korban
Kejahatan korporasi
Mengutip apa yang telah dijelaskan oleh Prof koesparmono (2004) bahwa Hagen telah
menjelaskan diagram pelaku kejahatan korporasi dan korbanya, sehingga dapat dipilahkan
tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi yaitu; tindak pidana yang dilakukan public,
individu dan konsumen. tindak pidana korporasi terhadap konsumen. tindak pidana
korporasi terhadap korporasi lainya. Terdapat bentuk-bentuk pelanggaran dalam kejahatan
korporasi (Koesparmono,2004) yakni pelanggaran administratif, pelanggaran tata ruang,
pelanggaran dibidang keuangan, pelanggaran dibidang ketenaga kerjaan, pelanggaran
dibidang manufacturing dan praktek-praktek tidak jujur. Korban kejahatan korporasi dilihat
dari seberapa besar korban itu disebabkan oleh pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi
konsumen ditinjau dari keselamatan penggunaan produk konsumen ditinjau dari kekuatan
ekonominya sistem ekonomi pencemaran yang merusak lingkungan fisik ketenagfakerjaan
menjadi korban dari pelanggaran aturan-aturan kerja, jaminan sosial dan kesehatan pekerja

11
dan lainya pemerintah dapat menjadi korban dari pelanggaran adminstratif atau pelanggaran
pajak.
Tindakan pencegahan pada kejahatan korporasi Pandangan masyarakat pada bentuk
kejahatan korporasi sangat berbeda dengan pandangan mereka pada kejahatan jalanan.
Hampir pada setiap kejadian, efek dari kejahatan korporasi selalu lebih merugikan,
memakan biaya lebih besar, berdampak lebih meluas, dan lebih melemahkan daripada
bentuk kejahatan jalanan.
Keinginan korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya
mengakibatkan terjadinya tindakan pelanggaran hukum/kejahatan korporasi. Korporasi,
sebagai suatu badan hukum, memiliki kekuasaan yang besar dalam menjalankan
aktivitasnya sehingga sering melakukan aktivitas yang bertentangan dengan ketentuan
hukum yang berlaku, bahkan selalu merugikan berbagai pihak. Motivasi kejahatan yang
dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan
kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif
tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
Untuk melakukan upaya pencegahan kejahatan korporasi yang dilakukan oleh badan hukum
ini perlu ditinjau dari berbagai sudut pandang. Pada dasarnya pencegahan merupakan
metode yang dialkukan agar tidak terjadi adanya suatu kejahatan atau menihilkan adanya
suatu perbuatan. Sehingga berbagai aspek yang dapat memunculkan kejahatan/kejadian
tersebut harus ditekan semaksimal mungkin sehingga berpengaruh pada tiadanya suatu
kejahatan.
Pertama, Agar pelaku yakni badan hukum tidak melakukan pelanggaran seperti
disebutkan diatas yakni pelanggaran administratif, pelanggaran tata ruang, pelanggaran
dibidang keuangan, pelanggaran dibidang ketenaga kerjaan, pelanggaran dibidang
manufacturing dan praktek-praktek tidak jujur. Untuk menekanya diperlukan pengawasan
yang ketat oleh pemerintah dan aparat hukum. Pemerintah dan aparat hukum harus
memberikan pengawasan yang ketat kepada badan hukum dan mengambil tindakan yang
tegas bila sampai terjadi kejahatan korporasi. Pengawasan/control yang ketat akan
mempersempit ruang gerak dari suatu badan hukum untuk melakukan pelanggaran.
Tindakan yang tegas juga merupakan suatu bentuk pencegahan yakni pencegahan bagi
badan hukum yang lain yang akan melakukan pelanggaran. Kejahatan korporasi selalu

12
memberikan dampak yang luas bagi masyarakat dan lingkungan, bahkan dapat
mengacaukan perekonomian negara. Jika hukuman dan sanksi yang dijatuhkan kepada
korporasi tidak memiliki keberartian, perilaku buruk korporasi dengan melakukan aktivitas
yang illegal tidak akan berubah. Korporasi diharapkan tidak lagi melarikan diri dari
tanggung jawabnya, dalam hal ini tanggung jawab pidana.
Kedua, korban kejahatan korporasi, seperti yang dijelaskan bahwa korban kejahatan
korporasi oleh Hagen yang dikutip Prof Koesparmono adalah individu, pekerja dan
korporasi yang lain. Ketiga komponen ini harus berusaha untuk mengindari dari perilaku
korporasi yang melakukan kejahatannnya. Artinya individu dalam mengahadapi korporasi
harus selalu memahami dan mewaspadai kemungkinan yang timbul dari kegiatanya adalah
bentuk kejahatan contohnya produk palsu, penggelapan pajak, dan lainya. Para pekerja dapat
menjadi korban korporasi misalnya pembayaran gaji yang tidak sesuai, kontrak yang
setengah hati dan pelanggaran yang berhubungan dengan kesehatan pekerja, keamanan
pekerja. Sehingga hal ini harus dihindarkan untuk mencegah terjadinya kejahatan korporasi.
Ketiga, Lingkungan korporasi, yakni peran serta dan kepedulian masyarakat sekitar
lokasi badan hukum melakukan aktivitasnya. Masyarakat yang dimaksud bukan hanya diluar
lingkungan korporasi tapi masyarakat yang berada di dalam korporasi. Menurut Gobert dan
Punch, hal paling utama untuk mencegah terjadinya kejahatan korporasi adalah dengan
adanya pengendalian diri dan tanggung jawab sosial dan moral terhadap lingkungan dan
masyarakat di mana tanggung jawab tersebut berasal dari korporasi itu sendiri maupun
individu-individu di dalamnya. Kadang, kontrol yang dilakukan pengambil kebijakan tingkat
korporasi tidak cukup untuk menghentikan terjadinya skandal, apalagi hanya lewat kontrol
prosedural teknis. Pada gilirannya, skandal keuangan lebih menyangkut perkara politik
tingkat tinggi yang melibatkan pemain-pemain kelas kakap yang sulit ditunjuk batang
hidungnya. Semuanya gelap karena tiap indikasi ditepis dengan kemampuan berkelit yang
luar biasa. Selain dipengaruhi faktor makro kejahatan korporasi juga amat ditentukan oleh
aneka perangkat mikro yang diciptakan dalam kontrol manajerial (managerial control).
Terutama, korporasi akan dibebani oleh lebih banyak tanggung jawab moral dan sosial
untuk memperhatikan keadaan dan keamanan lingkungan kerjanya, termasuk penduduk,
budaya, dan lingkungan hidup.

13
Keempat, kerjasama dari perbagai pihak yakni pemerintah, aparat penegak hukum dan
masyarakat untuk melakukan pencegahan terhadap tindak kejahatan korporasi. Bentuk
kerjasama yang dimaksud adalah saling mendukung adanya program yang diselenggarakan
seperti pemerintah membuat suatu peraturan perundangan harus adanya sosialisasi, sehingga
sosialalisasi itu sendiri memerlukan adanya kerjasama perbagai pihak termasuk kepolisian
sebagai aparat penegak hukum dan adanaya bantuan dari elemen masyarakat yang lain.
Untuk mencegah terjadinya kejahatan korporasi, perlu diadakan aturan dan
penindakan yang tegas dan kontrol yang ketat. Namun penerapan kontrol ketat saja mungkin
juga tidak efektif karena pemerintah dan aparat penegak hukum harus terus memonitoring
setiap aktivitas korporasi, sementara korporasi berusaha untuk mengambil celah agar
aktivitas kejahatannya tidak terpantau oleh mereka. Dengan demikian, cara yang paling baik
untuk melawan kejahatan korporasi adalah dengan mencegahnya sebelum terjadi yang dapat
dilakukan dengan lebih banyak tanggung jawab moral dan sosial untuk memperhatikan
keadaan dan keamanan lingkungan kerjanya, termasuk penduduk, budaya, dan lingkungan
hidup.

14
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian-uraian pada bab sebelumnya maka penulis menarik kesimpulan


Pertanggungjawaban jawaban pidana korporasi tidak lepas dari dua subyek hukum pidana
dalam kejahatan korporasi, yaitu orang sebagai pengurus dan korporasi itu sendiri. Sehingga
terkait dengan kedudukan korporasi dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
kejahatan korporasi, terdapat tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu:

a. Pengurus sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab;


b. Korporasi sebagai pembuat, dan penguruslah yang bertanggungjawab;
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab

B. Saran
Pencegahan terhadap kejahatan korporasi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut
a. Pemerintah dan aparat hukum harus memberikan pengawasan yang ketat kepada
badan hukum dan mengambil tindakan yang tegas bila sampai terjadi kejahatan
korporasi. Pengawasan/control yang ketat akan mempersempit ruang gerak dari
suatu badan hukum untuk melakukan pelanggaran.
b. Adanya peran dan turut serta masyarakat dalam mengawasi pelanggaran-
pelanggaran maupun kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh korporasi
c. Kerjasama dari perbagai pihak yakni pemerintah, aparat penegak hukum dan
masyarakat untuk melakukan pencegahan terhadap tindak kejahatan korporasi
dalam mengawasi setiap kegiatan sebuah korporasi.

15
DAFTAR PUSTAKA

[1]I.S. Susanto, Tinjauan Kriminologis tentang Kejahatan Ekonomi, Makalah pada


Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, UNDIP, Semarang 23-30 Nopember 1998, hal.5

[2] Munir Fuady, Bisnis Kotor: Anatomi Kejahatan Kerah Putih, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2004), hal. 27

[3]http://www.pengertianpakar.com/2015/08/pengertian-kejahatan-dan-pembahasannya.
html#_

[4] ibid

[5] http://www.definisi-pengertian.com/2015/05/definisi-pengertian-tindak-pidana-
Kejahatan. html

[6] Agus Budianto, Delik Suap Korporasi di Indonesia, Cetakan I, (Bandung: CV.Karya
Putra

Darwati, 2012), hal.56.

[7] Muladi, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Harian Kompas, Sabtu-27 Juli


2013, rubricOpini, hal.6

[8] Anthony O Nwator, Corporate Criminal Responsibility: A Comparative


Analysis, JournalAfrican Law, Volume 57, Issue 01, April 2013, hal.83.

[9] A Pinto QC dan M Evans, Corporate Criminal Liability, Edisi kedua.(Sweet &
Maxwell. 2008)

[10] Satjipto Rahardjo, Hukum Masyarakat dan Pembangunan, (Bandung: Alumni,


1980), hal. 3-4.

[11] Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembagunan Ekonomi dan


Kejahatan, Jakarta, Pusat

[12] hal. 55. lihat juga Simons, 1989, hal. 193

16
[13] Setiyono, Kejahatan Korporasi, (Malang: Bayumedia Publishing, 2003 hal. 55.
lihat juga Simons, 1989, hal. 193

[14] Sahetapy, Kejahatan Korporasi, (Bandung: Eresco, 1994), hal. 32

[15] Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban


Pidana Korporasi di Indonesia, Bandung: CV. Utomo, 204), hal. 30

[16] Ramelan, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Makalah pada


Seminar Nasional tentang Aspek Pertanggungjawaban Pidana dalam Kebijakan Publik dari
Tindak Pidana Korupsi, Kejaksaan Agung RI dan FH UNDIP, Semarang 6-7 Mei 2004, hal.
6

[17] Sudarto, Hukum Pidana 1, Badan Penyediaan Bahan-bahan Kuliah UNDIP,


Semarang, 1988. hal. 85

[18] S.T. Reid, Crime and Criminology, Hola, Reindard & Winston, 1985, page. 7

[19] Muladi dan Dwidja Priyatno,Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum


Pidana, (Bandung: Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Bandung, 1991), hal. 87

[20] Priyatno, 2004. Op. Cit. hal. 90. bandingkan juga dengan Gillies, Peter.
1990. Criminal Law, The Law Book (Sidney: Company Limited,) page 133

[21] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 236

[22] Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan


Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta,
1994. hal. 72.

17

Anda mungkin juga menyukai