Anda di halaman 1dari 14

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW

TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA


SISWA KELAS VIII MTS NEGERI LUBUKLINGGAU
TAHUN PELAJARAN 2015/2016

ARTIKEL ILMIAH
Oleh

Nama : Ummu Salfiyah


NIM : 4011095
Program Studi : Pendidikan Matematika
Dosen Pembimbing : 1. Anna Fauziah, M.Pd.
2. Drajat Friansah, M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


JURUSAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
(STKIP-PGRI) LUBUKLINGGAU
2016
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW
TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
SISWA KELAS VIII MTS NEGERI LUBUKLINGGAU
TAHUN PELAJARAN 2015/2016

Oleh:
Ummu Salfiyah1, Anna Fauziah, M.Pd.2, Drajat Friansah, M.Pd.3
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas VIII MTs
Negeri Lubuklinggau Tahun Pelajaran 2015/2016”. Rumusan masalah penelitian
ini yaitu apakah ada pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VIII MTs
Negeri Lubuklinggau tahun pelajaran 2015/2016 ? Adapun tujuan penelitian ini
yaitu untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VIII MTs
Negeri Lubuklinggau tahun pelajaran 2015/2016. Penelitian ini berbentuk
eksperimen murni. Populasinya yaitu siswa kelas VIII MTs Negeri Lubuklinggau
tahun pelajaran 2015/2016, yang berjumlah 335 siswa dan sebagai sampel yaitu
kelas VIII.3 dan VIII.4 yang diambil secara acak. Pengumpulan data dilakukan
dengan teknik tes. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan uji-t semu ( ′)
w t  w2 t 2
pada taraf signifikan a = 0,05 dan diperoleh ′ > 1 1 (4,76 > 1,69),
w1  w2
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh model pembelajaran kooperatif
tipe Jigsaw terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas
VIII MTs Negeri Lubuklinggau tahun pelajaran 2015/2016. Rata-rata skor
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas eksperimen sebesar
18,62 dan kelas kontrol sebesar 13,53.
Kata kunci: Jigsaw, kemampuan pemecahan masalah

PENDAHULUAN
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan
teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan
memajukan daya pikir manusia. Untuk menguasai dan menciptakan teknologi di
masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Mata
pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua siswa mulai dari sekolah
dasar sampai perguruan tinggi (Depdiknas, 2006:345). Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional (dalam Depdiknas, 2006:346) menyatakan bahwa salah satu
tujuan pembelajaran matematika yaitu untuk membekali siswa dengan
kemampuan memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan
solusi yang diperoleh.
Menurut Branca (dalam Yumiati, 2013:189), kemampuan pemecahan
masalah merupakan tujuan umum pembelajaran matematika, bahkan sebagai
jantungnya matematika. Dalam hal ini Nasution (2006:117) mengemukakan,
pemecahan masalah merupakan keterampilan yang seharusnya diajarkan pada tiap
tingkat pendidikan. Namun, tidak banyak guru yang menyadari kompleksitas
pemecahan masalah dan menyediakan waktu yang cukup untuk mengajarkan
keterampilan dasar bagi pemecahan masalah itu. Kebanyakan guru mengharapkan
bahwa siswa dengan sendirinya akan sanggup menguasai kemampuan
memecahkan masalah dan menggunakannya dalam semua pelajaran.
Pentingnya kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran
matematika tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Pembelajaran matematika
yang dilakukan saat ini, khususnya pada jenjang SMP tidak mampu
mengembangkan kemampuan pemecahan masalah siswa (Yumiati, 2013:190).
Hal ini dapat dilihat dari hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan di MTs
Negeri Lubuklinggau, bahwa siswa kelas VIII banyak yang tidak dapat menjawab
soal non-rutin dengan benar, seperti soal “Jika diketahui panjang sisi persegi
panjang (x + 5) cm dan luas (x2 + 8x + 15) cm2, maka tentukan bentuk aljabar dari
keliling persegi panjang tersebut !” Hasil tes soal kemampuan pemecahan masalah
dengan pokok bahasan faktorisasi suku aljabar yang diberikan kepada 38 siswa
dengan skor maksimal 20, yaitu rata-ratanya 15,32. Terdapat 16 siswa yang
mampu menyelesaikan 2 soal yang diberikan dengan benar. Sebagian besar
kesalahan siswa dalam memecahkan masalah terletak pada tahap penyelesaian
masalah, yaitu siswa tidak memfaktorkan bentuk (x2 + 8x + 15) untuk
( x 2  8 x  15)
menyederhanakan pecahan bentuk aljabar dari .
( x  5)
Berdasarkan hasil observasi yang peneliti peroleh dari salah satu guru
bidang studi matamatika, model pembelajaran yang diterapkan pada siswa kelas
VIII MTs Negeri Lubuklinggau yaitu model konvensional yang hanya didominasi
oleh guru. Akibatnya tingkat pemahaman dan kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa menjadi kurang optimal. Ada banyak faktor yang menghambat
terlaksananya pembelajaran pemecahan masalah secara optimal, tidak hanya
faktor guru saja, tetapi faktor tuntunan kurikulum yang membuat guru terdesak
dengan waktu terbatas sehingga tidak fokus terhadap kemampuan pemecahan
masalah (Lidinillah, 2008:1). Untuk mengantisipasi hal tersebut, perlu digunakan
sebuah model pembelajaran agar siswa lebih berperan aktif dalam kegiatan
pembelajaran guna memecahkan persoalan matematika.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu “Apakah ada pengaruh model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa kelas VIII MTs Negeri Lubuklinggau tahun pelajaran
2015/2016 ?”

LANDASAN TEORI
Masalah Matematika
Menurut Baroody (dalam Husna, dkk., 2013:83), problems yaitu suatu
situasi puzzling, dimana seseorang tertarik untuk mengetahui penyelesaiannya,
akan tetapi strategi penyelesaiannya tidak serta merta tersedia, lebih jelasnya suatu
problems memuat; keinginan untuk mengetahui, tidak adanya cara yang jelas
untuk mendapatkan penyelesaiannya, dan memerlukan suatu usaha dalam
menyelesaikannya. Dalam hal ini Cooney, dkk., (dalam Shadiq, 2009:4)
berpendapat bahwa suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan
itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan
oleh suatu prosedur rutin (routine procedure) yang sudah diketahui si pelaku.
Pada umumnya soal-soal matematika dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu soal rutin dan soal non-rutin. Soal rutin yaitu soal latihan biasa yang
dapat diselesaikan dengan prosedur yang dipelajari di kelas. Soal jenis ini banyak
terdapat dalam buku ajar dan dimaksudkan hanya untuk melatih siswa
menggunakan prosedur yang sedang dipelajari di kelas, sedangkan soal non-rutin
yaitu soal yang untuk menyelesaikannya diperlukan pemikiran lebih lanjut karena
prosedurnya tidak sejelas atau tidak sama dengan prosedur yang dipelajari di
kelas. Dengan kata lain, soal non-rutin menyajikan situasi baru yang belum
pernah dijumpai oleh siswa sebelumnya. Dalam situasi baru itu, ada tujuan yang
jelas yang ingin dicapai, tetapi cara mencapainya tidak segera muncul dalam
benak siswa, sehingga untuk menyelesaikannya dibutuhkan waktu yang relatif
lebih lama dari proses pemecahan masalah rutin biasa (Aisyah, 2008:4).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masalah matematika yaitu
suatu persoalan matematika yang membutuhkan penyelesaian/jawaban yang tidak
dapat diperoleh secara langsung, dan tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur
rutin, sehingga dalam menyelesaikannya siswa perlu bernalar, menduga atau
memprediksikan, mencari rumusan yang sederhana lalu membuktikannya.
Pemecahan Masalah
Menurut Nasution (2000:170), pemecahan masalah yaitu proses
menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya ke dalam situasi baru.
Pemecahan masalah tidak sekedar menerapkan aturan-aturan yang diketahui, akan
tetapi juga menghasilkan pelajaran baru. Lebih spesifik Sumarmo (dalam
Alawiyah, 2014:183) mengartikan bahwa pemecahan masalah merupakan
kegiatan menyelesaikan soal cerita, menyelesaikan soal yang tidak rutin,
mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari dan membuktikan.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa,
pemecahan masalah merupakan suatu proses menerapkan pengetahuan yang
diperoleh sebelumnya untuk mengatasi kesulitan/hambatan yang ditemui dalam
mencapai tujuan yang diharapkan.
Kemampuan Pemecahan Masalah
Menurut Polya (dalam Gunantara, dkk., 2014:4), kemampuan pemecahan
masalah yaitu proses yang ditempuh oleh seseorang untuk menyelesaikan masalah
yang dihadapinya sampai masalah itu tidak lagi menjadi masalah baginya.
Pentingnya memiliki kemampuan pemecahan masalah tercermin dari pernyataan
Branca (dalam Jaenab, 2014:254) bahwa, pemecahan masalah matematika
merupakan salah satu tujuan penting dalam pembelajaran matematika bahkan
proses pemecahan masalah matematika merupakan jantungnya matematika. Hal
ini juga diungkapkan oleh Cooney (dalam Jaenab, 2014:254) bahwa memiliki
kemampuan pemecahan masalah membantu siswa berpikir analitik ketika
mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari dan membantu meningkatkan
kemampuan berpikir kritis dalam menghadapi situasi baru.
Menurut Polya (dalam Susiyati, 2014:177), untuk memecahkan suatu
masalah ada empat proses yang dapat dilakukan, yaitu: a) Memahami masalah,
kegiatan yang dilakukan pada langkah ini yaitu: apa yang diketahui, apa yang
tidak diketahui (ditanyakan), apakah informasi cukup, kondisi (syarat) apa yang
harus dipenuhi, menyatakan kembali masalah asli dalam bentuk yang lebih
operasional; b) Merencanakan penyelesaian, kegiatan yang dapat dilakukan pada
langkah ini yaitu: mencoba mencari atau mengingat masalah yang pernah
diselesaikan yang memiliki kemiripan dengan masalah yang akan dipecahkan,
mencari pola atau aturan, menyusun prosedur penyelesaian; c) Melaksanakan
rencana, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini yaitu: menjalankan
prosedur yang telah dibuat pada langkah sebelumnya untuk mendapatkan
penyelesaian; d) Memeriksa proses dan hasil, kegiatan yang dapat dilakukan pada
langkah ini yaitu: menganalisis dan mengevaluasi apakah prosedur yang
diterapkan dan hasil yang diperoleh benar, apakah ada prosedur lain yang lebih
efektif, apakah prosedur yang dibuat dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalah yang sejenis, atau apakah prosedur dapat dibuat generalisasinya.
Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dapat diketahui
dengan melakukan penskoran terhadap jawaban siswa. Dalam hal ini, peneliti
menetapkan pedoman penskoran pemecahan masalah sebagai berikut.

Memahami Membuat Rencana Melakukan Memeriksa


Skor
Masalah Pemecahan Perhitungan Kembali Hasil
Salah Tidak ada rencana, Tidak melakukan Tidak ada
menginterpretasi membuat rencana yang perhitungan pemeriksaan atau
0
kan/salah sama tidak relevan tidak ada
sekali keterangan lain
Salah Membuat rencana Melaksanakan Ada pemeriksaan
menginterpretasi pemecahan yang tidak prosedur yang tetapi tidak tuntas
kan sebagian dapat dilaksanakan, benar dan mungkin
1 soal, sehingga tidak dapat menghasilkan
mengabaikan dilaksanakan jawaban yang
benar tapi salah
perhitungan
Memahami Membuat rencana yang Melakukan proses Pemeriksaan
masalah soal benar tetapi salah dalam yang benar dan dilaksanakan
2
selengkapnya hasil/tidak ada hasil mendapatkan hasil untuk melihat
yang benar kebenaran proses
Membuat rencana yang
3 - benar, tetapi tidak - -
lengkap
Membuat rencana sesuai
dengan prosedur dan
4 - - -
mengarah pada solusi
yang benar
Skor maksimal 2 Skor maksimal 4 Skor maksimal 2 Skor maksimal 2
(Schoen dan Oehmke dalam Fauziah, 2010:40)
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Menurut Rusman (2012:218), model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
yaitu sebuah model pembelajaran yang menitikberatkan pada kerja kelompok
siswa dalam bentuk kelompok kecil. Dalam model pembelajaran ini siswa
memiliki banyak kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan mengolah
informasi yang diperoleh, serta dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Selain itu Yuzar (dalam Isjoni, 2009:78) menyatakan, dalam model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari empat
sampai enam orang, heterogen dan bekerjasama saling ketergantungan yang
positif dan bertanggungjawab secara mandiri. Jumlah siswa yang bekerjasama
dalam masing-masing kelompok harus dibatasi, agar kelompok-kelompok yang
terbentuk dapat bekerjasama secara efektif, karena suatu ukuran kelompok
mempengaruhi kemampuan produktivitasnya.
Berdasarkan pendapat Aronson, dkk., (dalam Taniredja, dkk., 2014:103),
dapat disimpulkan, langkah model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw yang
digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
a. Guru mengawali pembelajaran dengan menyampaikan topik, tujuan dan
langkah pembelajaran.
b. Guru membentuk kelompok yang disebut tim asal, masing-masing tim
beranggotakan empat orang dengan kemampuan yang berbeda, dan diberi
nomor anggota satu sampai dengan empat.
c. Guru membagi Lembar Kegiatan Siswa (LKS) yang berisi materi dan
permasalahan, setiap anggota tim mendapat satu sub-materi dan permasalahan
yang berbeda.
d. Setiap anggota tim diberi waktu 3 menit untuk mempelajari sub-materi dan
permasalahan yang diperoleh sesuai nomor anggotanya.
e. Siswa membentuk kelompok baru yang disebut tim ahli, anggotanya berasal
dari tim asal yang memiliki nomor sejenis.
f. Tim ahli diberi waktu 15 menit untuk berdiskusi dalam mencari kesepakatan
jawaban yang benar atas permasalahan yang diperoleh.
g. Setelah berdiskusi, anggota tim ahli kembali ke tim asal untuk bertukar
informasi. Setiap anggota tim diberi waktu 5 menit untuk menjelaskan kepada
teman satu timnya tentang sub-materi yang dikuasai.
h. Guru menunjuk secara acak satu orang anggota tim asal yang mewakili
masing-masing tim untuk mempresentasikan hasil diskusinya dengan waktu 3
menit.
i. Dari hasil presentasi siswa, guru memberi kesimpulan agar terdapat kesamaan
pemahaman pada semua siswa.
j. Guru memberi evaluasi secara individu selama 10 menit dan penutup.

METODE PENELITIAN
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu rancangan
eksperimen murni, karena terdapat kelompok pembanding atau kelompok kontrol.
Adapun rancangan yang digunakan yaitu berbentuk random, pre-test, post-test
desain. Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu model pembelajaran kooperatif
tipe Jigsaw dan model pembelajaran konvensional, sedangkan variabel terikat
dalam penelitian ini yaitu kemampuan pemecahan masalah matematika.
Populasi dalam penelitian ini yaitu siswa kelas VIII MTs Negeri
Lubuklinggau tahun pelajaran 2015/2016. Dalam penelitian ini ada sembilan kelas
yang dilakukan pengundian, hasil pengundian terpilih dua kelas sebagai sampel
yaitu kelas VIII.3 dengan jumlah 36 siswa dan kelas VIII.4 dengan jumlah 37
siswa. Kedua kelas tersebut dipilih secara acak untuk menentukan kelas
eksperimen dan kelas kontrol. Kelas VIII.4 terpilih sebagai kelas eksperimen yaitu
kelas yang diberikan perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw dan kelas VIII.3 terpilih sebagai kelas kontrol yaitu kelas
yang diberikan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran
konvensional.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
teknik tes. Tes dalam penelitian ini dilakukan sebanyak dua kali yaitu sebelum
(pre-test) dan sesudah (post-test) materi diajarkan. Teknik tes yang digunakan
yaitu tes tertulis, dengan jumlah empat soal berbentuk uraian materi Relasi dan
Fungsi. Kemudian adapun hipotesis dalam penelitian ini yaitu ada pengaruh
model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa kelas VIII MTs Negeri Lubuklinggau tahun pelajaran
2015/2016.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Pada tanggal 4 Agustus sampai dengan 4 September 2015 penelitian
dilakukan oleh peneliti dan dilaksanakan sesuai dengan jadwal mata pelajaran
yang berlaku di sekolah. Dalam penelitian ini, tatap muka di kelas eksperimen
dilakukan sebanyak 5 kali pertemuan dengan rincian; satu kali pre-test sebelum
kegiatan belajar mengajar dilakukan, tiga kali proses pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, dan satu kali post-test
setelah proses pembelajaran. Sedangkan di kelas kontrol tatap muka dilakukan
sebanyak dua kali, yaitu pada saat pre-test dan post-test.
Pelaksanaan pre-test dilakukan pada pertemuan pertama, yaitu pada
tanggal 24 Agustus 2015 yang diikuti oleh 37 siswa kelas eksperimen dan 36
siswa kelas kontrol. Soal pre-test yang digunakan berbentuk uraian yang terdiri
dari empat soal. Berdasarkan hasil perhitungan, rekapitulasi data hasil pre-test
dapat dilihat pada tabel berikut.

Kelas N Rata-rata Skor Simpangan Baku


Eksperimen 37 8,65 3,01
Kontrol 36 8,67 3,69

Sebaran data siswa kelas eksperimen yaitu 5,64 sampai dengan 11,66.
Sedangkan sebaran data siswa kelas kontrol 4,98 sampai dengan 12,36. Hasil
analisis data hasil pre-test diperoleh thitung = -0,03 dan ttabel = 2,00 yang berarti H0
diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa tidak terdapat perbedaan
rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematika siswa antara kelas
eksperimen dan kelas kontrol.
Sedangkan post-test dilaksanakan pada tanggal 2 September 2015, hal ini
dilakukan setelah masing-masing kelas menerima materi Relasi dan Fungsi
dengan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan model pembelajaran
konvensional. Berdasarkan hasil perhitungan, rekapitulasi data hasil post-test
dapat dilihat pada tabel berikut.

Kelas N Rata-rata Skor Simpangan Baku


Eksperimen 34 18,62 5,12
Kontrol 36 13,53 3,70
Sebaran data siswa kelas eksperimen yaitu 13,50 sampai dengan 23,74.
Sedangkan sebaran data siswa kelas kontrol 9,83 sampai dengan 17,23.
w1t1  w2 t 2
Berdasarkan hasil analisis data post-test diperoleh ′ > (4,76 > 1,69)
w1  w2

atau H0 ditolak dan Ha diterima, maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata skor
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas eksperimen lebih dari
kelas kontrol. Dengan demikian berarti bahwa, ada pengaruh model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa kelas VIII MTs Negeri Lubuklinggau tahun pelajaran 2015/2016.
Pembahasan
Sebelum melaksanakan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terlebih
dahulu peneliti menyusun beberapa instrumen berupa; Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP), Lembar Kegiatan Siswa (LKS) berupa materi dan
penugasan, dan soal evaluasi. Peneliti melakukan kegiatan mengajar di kelas
VIII.4 sebagai kelas eksperimen dengan menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw pada materi pokok Relasi dan Fungsi. Selama tiga kali
proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
Jigsaw, peneliti memberikan materi ajar yang meliputi; relasi, fungsi, pemetaan,
korespondensi satu-satu, nilai fungsi, dan rumus fungsi.
Pembelajaran pertama di kelas VIII.4 dilakukan pada tanggal 25 Agustus
2015. Sebelum pembelajaran dimulai, peneliti terlebih dahulu menyampaikan
topik, tujuan, dan langkah-langkah menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe Jigsaw. Selanjutnya siswa dibagi ke dalam beberapa tim yang heterogen
sesuai dengan yang telah peneliti rancang berdasarkan informasi mengenai
peringkat yang diperoleh pada akhir pre-test. Masing-masing tim beranggotakan
empat orang dengan kemampuan yang berbeda, namun karena kelas VIII.4
berjumlah 37 siswa maka ada satu tim yang beranggotakan lima orang. Tim-tim
ini disebut dengan tim asal.
Selanjutnya perwakilan tiap tim ke depan dan mengambil nomor anggota,
setiap anggota tim wajib mengenakannya sesuai nomor pembagian tim. Peneliti
membagi Lembar Kegiatan Siswa (LKS), setiap anggota tim mendapat satu sub-
materi dan permasalahan yang berbeda. Masing-masing anggota tim diberi waktu
3 menit untuk mempelajari sub-materi dan permasalahan yang diperoleh.
Anggota tim yang memiliki nomor sejenis, berkumpul membentuk tim
baru yang disebut dengan tim ahli. Pada tim ini, siswa diberi waktu 15 menit
untuk berdiskusi mencari kesepakatan jawaban yang benar atas permasalahan
yang diperoleh. Setelah tim ahli berdiskusi, tiap anggota kembali ke tim asal dan
masing-masing anggota diberi waktu 5 menit untuk menjelaskan kepada teman
satu timnya tentang sub-materi yang dikuasai. Peneliti menunjuk secara acak
empat orang siswa dari tim yang berbeda untuk mempresentasikan hasil
diskusinya dengan waktu 3 menit. Peneliti memberikan kesimpulan terhadap
materi yang telah dibahas, sehingga terdapat kesamaan pemahaman pada semua
siswa. Kemudian siswa diberi evaluasi untuk dikerjakan secara individu selama
10 menit.
Pada pertemuan ini, masih banyak siswa yang kurang aktif dan terkesan
takut mengemukakan pendapat. Sebagian ada yang fokus pada permasalahan
sendiri karena terbebani harus mempresentasikan. Padahal dirinya tidak hanya
akan mendapat giliran presentasi sub-materi yang menjadi tanggungjawabnya.
Hal ini terjadi karena kesalah pahaman siswa memahami pengarahan yang peneliti
sampaikan, sehingga mengakibatkan dua dari empat siswa tidak dapat
menyampaikan dengan benar ketika peneliti meminta untuk mempresentasikan
sub-materi yang bukan menjadi tanggungjawabnya. Hasil evaluasi juga
menunjukkan, bahwa dari 37 siswa terdapat 14 siswa yang tidak dapat
membedakan relasi yang merupakan fungsi dan bukan fungsi.
Aktivitas pembelajaran kedua dilaksanakan pada tanggal 26 Agustus 2015.
Seperti pada pembelajaran sebelumnya, siswa diberi nomor anggota dan LKS.
Pada pertemuan ini ada tiga sub-materi yang harus mereka kuasai. Selama
pembelajaran berlangsung, terlihat masih ada beberapa siswa yang kurang aktif
ketika berdiskusi, akan tetapi siswa menunjukkan kesiapan dan kepercayaan diri
ketika mempresentasikan hasil diskusinya. Bahkan ada beberapa siswa yang
menawarkan diri untuk presentasi. Dari tiga siswa yang peneliti tunjuk untuk
presentasi, ketiganya berhasil menyampaikan hasil diskusinya dengan baik.
Setelah presentasi, peneliti memberi kesimpulan dan evaluasi. Hasil evaluasi
menunjukkan dari 35 siswa yang hadir, semuanya telah memahami materi dengan
baik.
Selanjutnya pembelajaran ketiga, yaitu pada tanggal 1 September 2015.
Seperti halnya pembelajaran sebelumnya, siswa sudah duduk berdasarkan masing-
masing tim dengan mengenakan nomor anggota dan diberi LKS. Pada pertemuan
ini ada tiga sub-materi yang harus mereka kuasai.
Selama diskusi berlangsung, sebagian tim mengalami kesulitan dalam
memecahkan masalah. Kesulitan terjadi pada saat menyusun prosedur atau
membuat suatu perencanaan. Peneliti memaklumi dengan memberikan
pengarahan dan memotivasi siswa untuk berusaha serta bertanggungjawab
terhadap permasalahan yang diperoleh, hal ini sesuai dengan pendapat Dahar
(dalam Rusman, 2012:245) bahwa berusaha sendiri untuk mencari pemecahan
masalah serta didukung oleh pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan
pengetahuan yang benar-benar bermakna. Sehingga aktivitas dalam proses
pembelajaran Jigsaw yang dilakukan secara berkelompok, dapat mendorong siswa
untuk saling bertukar pikiran, pengalaman, maupun gagasan.
Usaha pemecahan masalah yang dilakukan melalui kerja kooperatif
umumnya memberikan kecenderungan dan hasil yang lebih baik daripada melalui
kerja kompetitif atau individualistik (Huda, 2011:65). Hal ini terbukti dari adanya
kesadaran dan keinginan siswa untuk bekerjasama, bertanya dan mengemukakan
pendapat dalam memecahkan permasalahan sehingga siswa berhasil memecahkan
permasalahan-permasalahan tersebut. Namun dari tiga siswa yang peneliti tunjuk
untuk presentasi, terdapat dua siswa yang terlihat kurang paham. Hal ini terjadi
karena materi yang diberikan lebih sulit dari materi pada pertemuan sebelumnya
dan tanggungjawab untuk menguasai keseluruhan materi merupakan beban bagi
siswa. Pada akhir pembelajaran, seperti biasa peneliti memberi evaluasi untuk
dikerjakan secara individu. Hasil evaluasi menunjukkan, bahwa dari 37 siswa
terdapat 11 siswa yang melakukan kesalahan saat menjalankan prosedur dalam
menghitung nilai fungsi.
Adapun kendala selama pelaksanaan penelitian dalam menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, yaitu membutuhkan waktu yang lama
pada proses pengkondisian siswa ke dalam tim ahli. Dalam hal ini peneliti
mensiasati satu tim ahli terdiri dari dua kelompok, sehingga suasana kelas yang
gaduh segera kembali kondusif dan tidak mengganggu konsentrasi belajar kelas di
sampingnya. Hambatan lain yaitu pada saat diskusi terdapat beberapa siswa yang
tidak bertanggungjawab pada tugas timnya dan mereka hanya mengekor apa yang
dilakukan oleh temannya. Bahkan terdapat beberapa siswa yang cenderung
diabaikan karena dianggap tidak mampu oleh siswa yang lebih mampu. Dari
banyaknya kendala tersebut, peneliti selalu berusaha untuk mengatasi dengan
memberi teguran dan motivasi untuk terlibat aktif dalam diskusi, serta mengenali
karakteristik dan tingkat kemampuan siswa, sehingga jelas siswa mana yang lebih
membutuhkan bimbingan. Selain itu, peneliti selalu mengevaluasi secara individu
untuk mengetahui kemajuan siswa dalam memahami materi.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah peneliti paparkan
pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa kelas VIII MTs Negeri Lubuklinggau tahun pelajaran
2015/2016. Rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematika siswa
kelas eksperimen sebesar 18,62 dan kelas kontrol sebesar 13,53.

DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Nyimas. 2008. Pengembangan Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar.
Jakarta: Depdiknas.
Alawiyah, Tuti. 2014. Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan
Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematik. Prosiding Seminar
Nasional Pendidikan Matematika, Vol.1, ISSN 2355-0473, 180-187.
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor
22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah. Jakarta: Depdiknas.
Fauziah, Anna. 2010. Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan
Masalah Matematika Siswa SMP melalui Strategi REACT (Relating,
Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring). Tesis tidak diterbitkan.
Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Gunantara, Gd. dkk., 2014. Penerapan Model Pembelajaran Problem Based
Learning untuk Meningkatkan Kamampuan Pemecahan Masalah
Matematika Siswa Kelas V SD Negeri Sepang. Jurnal mimbar PGSD
Universitas Pendidikan Ganesha, Vol.2, No.1, 1-10.
Huda, Miftahul. 2011. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Husna, dkk., 2013. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan


Komunikasi Matematis Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe Think-Pair-Share (TPS). Jurnal Peluang, Vol.1, No.2, 81-92.

Isjoni. 2009. Pembelajaran Kooperatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jaenab, Siti. 2014. Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan


Pemecahan Masalah Matematis Siswa Sekolah Menengah Kejuruan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika, Vol.1, ISSN 2355-
0473, 254-258.

Lidinillah, Dindin Abdul Muiz. 2008. Strategi Pembelajaran Pemecahan Masalah


di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Dasar, No.10, 1-16.

Nasution, S. 2000. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar.


Jakarta: Bumi Aksara.

. 2006. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Rusman. 2012. Model-model Pembelajaran. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Shadiq, Fadjar. 2009. Diklat Instruktur Pengembangan Matematika SMA Jenjang


Lanjut. Yogyakarta: Depdiknas.

Susiyati. 2014. Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik dalam


Pemecahan Masalah. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika,
Vol.1, ISSN 2355-0473, 171-179.

Taniredja, dkk. 2014. Model-model Pembelajaran Inovatif dan Efektif. Bandung:


Alfabeta.

Yumiati, 2013. Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah dalam


Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMPN 9
Pamulang. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan
Matematika, Vol.1, ISSN 977-2338831, 189-195.

Anda mungkin juga menyukai