Anda di halaman 1dari 42

BAB 1

PENDAHULUAN
Sindrom nyeri skrotum adalah terjadinya nyeri episodik persisten atau
berulang lokal dalam organ skrotum. Sindrom nyeri skrotum adalah istilah umum
dan digunakan ketika terjadi nyeri tidak jelas dari testis atau epididimis. Rasa sakit
tidak pada kulit skrotum, tapi dirasakan di dalam isinya. Tanda-tanda dan gejala
penyakit berhubungan dengan nyeri akut skrotum sangat bervariasi dengan luas
tumpang tindih diagnostik. Timbulnya nyeri pada salah satu ataupun kedua skrotum
merupakan hal yang memerlukan perhatian secara serius serta penanganan medis
karena skrotum dan testis merupakan glandula reproduksi dari seorang pria yang
menghasilkan sperma sehingga kesalahan penanganan akan menimbulkan
ketidaknyamanan sepanjang hidup seorang lelaki. Bila keadaan ini tidak ditangani
akan menimbulkan gangguan-gangguan seperti infertilitas, disfungsi ereksi, bahkan
kematian jaringan testis yang mengakibatkan testis tersebut harus dibuang untuk
selamanya1.
Akut skrotum pada anak maupun dewasa merupakan keadaan emergensi.
Karena parenkim testis tidak dapat mentoleransi iskemia dalam waktu yang singkat.
Dengan ditandai dengan nyeri skrotum, pembengkakan dan kemerahan yang terjadi
secara akut. Torsio testis menjadi penyebab tersering pada akut skrotum yaitu 25%
atau 1 per 4000 kasus tiap tahunnya1,2.
Beberapa hal yang dapat menimbulkan akut skrotum seperti proses infeksi,
non infeksi, trauma, dan berbagai macam benjolan yang dapat menimbulkan
ketidaknyamanan. Proses infeksi yang sering menimbulkan keluhan akut skrotum
adalah epididimitis. Menurut laporan jurnal di Amerika, epididimitis merupakan
keluhan kelima terbanyak di bidang urologi yang dikeluhkan oleh laki-laki berusia
18-50 tahun dan 70% menjadi penyebab keluhan nyeri akut pada skrotum.2
Proses non infeksi yang sering menimbulkan keluhan nyeri akut pada skrotum
adalah torsio testis. Torsio testis merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang
urologi karena torsio testis menyebabkan strangulasi pada aliran darah testis
sehingga dapat berakhir dengan nekrosis dan atrofi testis.1
Trauma juga dapat menimbulkan keluhan nyeri akut pada skrotum. Jumlah
trauma pada skrotum yang murni berdiri sendiri yang terjadi di Amerika hanya

1
sekitar 1%. Rentang usia berkisar antara 10-30 tahun. Hernia inguinalis inkarserata
sebagai salah satu diagnosa banding dari nyeri akut pada skrotum banyak
dikeluhkan oleh laki-laki. Hernia inguinalis yang sering mengalami inkarserta
adalah hernia inguinalis lateralis dan 75% lebih sering terjadi pada laki-laki.1,2
Berdasarkann hal tersebut, maka perlu pengetahuan lebih dalam untuk
mengetahui penyebab dan diagnosis dari akut skrotum agar dapat dilakukan
penatalaksanaan dengan tepat. Untuk itu pada karya tulis ini penulis akan
membahas tentang akut skrotum untuk mempermudah diagnosis dan penatalaksaan
akut skrotum.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
2.1.1 Skrotum
Skrotum adalah sebuah kantung kulit yang terdiri dari dua lapis: kulit dan
fascia superficialis. Fascia superficialis tidak mengandung jaringan lemak, tetapi
pada fascia superficialis terdapat selembar otot polos tipis, dikenal sebagai tunica
dartos, yang berkontraksi sebagai reaksi terhadap dingin, dan dengan demikian
mempersempit luas permukaan kulit. Ke arah ventral fascia superficialis
dilanjutkan menjadi lapis dalamnya yang berupa selaput pada dinding abdomen
ventrolateral, dan ke arah kaudal dilanjutkan menjadi fascia superficialis
perineum.16

Gambar 2.1 Anatomi Genitalia Pria16

2.1.2 Vaskularisasi dan Innervasi


Arteria pudenda externa mengurus perdarahan bagian ventral skrotum, dan
arteria pudeda interna bagian dorsal. Bagian ini juga dipasok oleh cabang-cabang
dari arteria testicularis dan arteria cremasterica. Vena scrotales mengiringi arteri
arteri tersebut dan bergabung dengan vena pudenda externa. Pembuluh limfe
ditampung oleh nodi lymphoidei inguinales superficiales.16
Skrotum dipersarafi oleh16 :
a. Ramus genitalis dari nervus genitofemoralis (L1,L2) yang bercabang menjadi
cabang sensoris pada permukaan skrotum ventral dan lateral.
b. Cabang nervus ilioinguinalis (L1), juga untuk permukaan skrotum ventral.

3
c. Ramus perinealis dari nervus pudendalis (S2-S4) untuk permukaan skrotum
dorsal.
d. Ramus perinealis dari nervus cutaneus femoris posterior (S2,S3) untuk
permukaan skrotum kaudal.

Gambar 2.2 Vaskularisasi Skrotum16

2.1.3 Komponen Skrotum


Skrotum merupakan kantong yang terdiri dari18 :
A. Testis
Testis adalah organ genitalia pria yang pada orang normal jumlahnya ada
dua yang masing-masing terletak di dalam skrotum kanan dan kiri. Bentuknya
ovoid dan pada dewasa ukurannya adalah 4 x 3 x 2,5 cm. dengan volume 15-25 ml.
Kedua buah testis terbungkus oleh jaringan tunika albuginea yang melekat pada
testis. Di luar tunika albuginea terdapat tunika vaginalis yang terdiri atas lapisan
viseralis dan parietalis, serta tunika dartos. Otot kremaster yang berada di sekitar
testis memungkinkan testis dapat digerakkan mendekati rongga abdomen untuk
mempertahankan temperatur testis agar tetap stabil.18
Secara histopatologis, testis terdiri atas 250 lobuli dan tiap lobulus terdiri
atas tubuli seminiferi. Di dalam tubulus seminiferus terdapat sel spermatogonia dan
sel Sertoli, sedangkan di antara tubuli seminiferi terdapat sel Leydig. Sel
spermatogonium pada proses spermatogenesis menjadi sel spermatozoa. Sel Sertoli
berfungsi memberi makan pada bakal sperma, sedangkan sel Leydig atau disebut
sel interstisial testis berfungsi dalam menghasilkan hormon testosteron.16,18
Sel spermatozoa yang diproduksi di tubulus seminiferus testis disimpan dan
mengalami pematangan/maturasi di epididimis. Setelah moture (dewasa) sel

4
spermatozoa bersama-sama dengan getah dari epididimis dan vas deferens
disalurkan menuju ke ampula vas deferens. Sel itu setelah bercampur dengan cairan
dari epididimis, vas deferens, vesikula seminalis, serta cairan prostat membentuk
cairan semen atau mani. Testis mendapatkan darah dari beberapa cabang arteri,
yaitu (1) arteri spermatika interna yang merupakan cabang dari aorta, (2) arteri
deferensialis cabang dari arteri vesikalis inferior, dan (3) arteri kremasterika yang
merupakan cabang arteri epigastrika. Pembuluh vena yang meninggalkan testis
berkumpirl membentuk pleksus Pampiniformis. Pleksus ini pada beberapa orang
mengalami dilatasi dan dikenal sebagai varikokel.18
B. Epididimis
Epididimis adalah organ yang berbentuk seperti sosis terdiri atas kaput,
korpus, dan kauda epididimis. Korpus epididimis dihubungkan dengan testis
melalui duktuli eferentes. Vaskularisasi epididimis berasal dari arteri testikularis
dan arteri deferensialis. Di sebelah kaudal, epididimis berhubungan dengan vasa
deferens.18
Sel spermatozoa setelah diproduksi di dalam testis dialirkan ke epididimis.
Di sini spermatozoa mengalami maturasi sehingga menjadi motil (dapat
bergerak)dan disimpan di dalam kauda epididimis sebelum dialirkan ke vas
deferens.18
C. Vans Deferens
Vas deferens adalah organ berbentuk tabung kecil dan panjangnya 30-35
cm, bermula dari kauda epididimis dan berakhir pada duktus ejakulatorius di uretra
posterior. Duktus deferens dibagi dalam beberapa bagian, yaitu (1-) pars tunika
vaginalis, (2) pars skrotalis (3) pars inguinalis, (4) pars pelvikum, dan (5) pars
ampularis. Pars skrotalis ini merupakan bagian yang dipotong dan diligasi saat
vasektomi. Duktus ini terdiri atas otot polos yang mendapatkan persarafan dari
sistem simpatetik sehingga dapat berkontraksi untuk menyalurkan sperma dari
epididimis ke uretra posterior.18
D. Spermatic Cord
Merupakan perpanjangan dari cincin inguinal yang, menuju ke kanalis
inguinalis dan ke testis. Urutan lapisan spermatic cord dari luar ke dalam: fascia
spermatic eksterna(berasal dari fascia terdalam dari muskulus oblikus abdominalis

5
eksterna, fascia cremasterika (dari muskulus oblikus interna), dan fascia spermatic
interna (dari fascia tranversalis). Struktur pambentuk spermatic cord terdiri
dari:duktus deferens,hubungan pembuluh darah dan persarafan(dinding posterior
dari cord),arteri testikularis,pleksus venosus pampiniformis. Akhirnya membentuk
vena testikularis,dan percabangan genital dari nervus genitofemoral.16,18

Gambar 2.3 Spermatic cord dan komponennya8

2.2 Fisiologi Skrotum


Skrotum merupakan kantong pembungkus organ reproduksi pria yang
berfungsi untuk membungkus dan menopang testis dari luar tubuh,sehingga pada
suhu optimum testis dapat memproduksi sperma.Dalam skrotum terdapat testis
yang berfungsi untuk menghasilkan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan
Luteinizing Hormone (LH) juga hormon testosterone, Membentuk gamet-gamet
baru yaitu spermatozoa, yang terjadi di Tubulus seminiferus dan Menghasilkan
hormon testosterone yang dilakukan oleh sel interstinale yaitu sel Leydig.
Sedangkan sel sertoli berfungsi untuk menghasilkan makanan bagi sperma. Testis
mempunyai fungsi eksokrin dalam spermatogenesis dan fungsi endokrin untuk
mensekresikan hormon-hormon seks yang mengendalikan perkembangan dan
fungsi seksual. Semua fungsi dari sistem reproduksi laki-laki diatur melalui
interaksi hormonal yang kompleks.16,18
2. 3 Akut Skrotum
2.3.1 Definisi

6
Akut skrotum didefinisikan sebagai nyeri atau pembengkakan skrotum yang
terjadi akut. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah torsi testis atau
epididimis. Akut skrotum membutuhkan penanganan bedah segera untuk
menyelamatkan testis.14
2.3.2 Etiologi
Akut skrotum pada dewasa maupun anak-anak dapat disebabkan oleh
banyak hal seperti torsio testisepididymitis, trauma, Henoch-Schönlein purpura,
varicocoeles, hernias, hydrocoeles, idiopathic scrotal oedema, and testicular
tumor.14
2.3.3 Diagnosis
Meskipun tidak ada tanda patognomonis untuk membedakan torsio testis
dengan penyebab akut skrotum yang lainnya, dengan anamnesis yang lengkap,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan dapat mengarahkan
diagnosis.14
2.3.3.1 Anamnesis
Usia sangat penting untuk diferensial diagnosis pada akut skrotum. Torsio
testis biasanya sering pada neonatus, sedangkan Henoch-Schönlein purpura atau
torsion of a testicular appendage biasanya terjadi pada masa prepubertas. Pada masa
postpubertal , torsio testis dan epididymitis biasanya terjadi.14
Gejala akut skrotum berupa nyeri dan bengkak pada skrotum, nausea,
vomiting, keluhan kencing maupun demam. Nyeri skrotum berat dengan onset akut
mengarahkan diagnosis pada torsio testis. Sedangkan nyeri skrotum yang bertahap
bertambah nyeri biasanya terjadi pada epididimitis atau pada torsio testicular
appendage. Nyeri dapat dirasakan pada abdomen maupun skrotum pada torsio testis
atau pada epididimitis. Oleh karena itu, testis harus diperiksa pada semua kasus
nyeri abdomen, terutama pada anak kecil. Nyeri yang terlokalisir pada skrotum
bagian atas biasanya pada torsio testicular appendage. Nyeri sendi disertai dengan
nyeri abdomen, feses berdarah dan kadang hematuri mengarah pada Henoch-
Schönlein purpura.10
Riwayat pembengkakan skrotum yang muncul kemudian lenyap pada
relaksasi menunjukkan adanya hernia, sedangkan pembengkakan berulang yang
muncul saat bangun dan lenyap saat tidur mungkin merupakan varikokele atau

7
hidrokokele. Bengkak itu terjadi setelah nyeri yang parah menunjukkan torsi
testis.10,14
Nausea dan vomiting dapat terjadi pada torsio epididimis. Keluhan pada
kencing berupa disuria biasanya pada UTI dan epididimitis. Adanya uretral
discharge juga didapat pada epididimitis dan penyakit menular seksual. Adanya
demam juga biasanya pada epididimitis. Riwayat trauma tidak hanya menyebabkan
luka tapi bisa terjadi torsio testis. Nyeri skrotum yang rekuren menunjukkan adanya
torsio testis.14
2.3.3.2 Pemeriksaan Fisik
 Dilakukan pemeriksaan terhadap abdomen untuk mencari adanya nyeri
pada regio flank dan distensi vesika urinaria.
 Pemeriksaan pada region inguinal dilakukan untuk menentukan secara
jelas adanya hernia inguinalis, bengkak maupun eritema.
 Pemeriksaan pada genitalia dimulai dengan melakukan inspeksi pada
skrotum. Kedua sisi diperiksa untuk melihat adanya perbedaan ukuran
yang nyata, derajat bengkak, eritema, perbedaan ketebalan kulit dan posisi
testis. Terdapatnya bengkak yang unilateral tanpa diikuti perubahan warna
kulit menandakan adanya hernia atau hidrokel. Bila kulit skrotum terlihat
mengkilat, gambaran blue dot sign dari testis ataupun appendiks epididimis
yang infark akan terlihat. Palpasi dimulai dari daerah inguinal untuk
menyingkirkan hernia inguinalis inkarserata. Kemudian dilanjutkan
dengan mempalpasi di daerah funikulus. Adanya funikulus spermatikus
yang menebal dan teraba lembut mendukung torsio testis, sedangkan bila
teraba lembut saja mengindikasikan epididimitis. Anak laki-laki diperiksa
sambil berdiri sehingga dapat dilihat posisi testis. Adanya peninggian dari
salah satu testis menandakan adanya torsio testis.
 Pemeriksaan refleks kremaster. Refleks kremaster negatif pada torsio testis
dan tetap positif pada torsio appendiks epididimis.
 Pemeriksaan transiluminasi untuk membedakan hidrokel dengan
hernia.1,2,10,14
2.3.3.3 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium

8
Pemeriksaan urin dilakukan untuk menyingkirkan diagnosa infeksi traktus
urinarius pada pasien dengan nyeri akut pada skrotum. Pyuria dengan atau
tanpa bakteri mengindikasikan adanya suatu proses infeksi dan mungkin
mengarah kepada epididimitis. Selain itu perlu juga dilakukan pemeriksaan
darah dan sediment urin.14
2. Pemeriksaan Radiologis
Sampai saat ini, pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan adalah :10,14
a. Color Doppler Ultrasonography
 Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat aliran darah pada arteri
testikularis.
 Merupakan Gold Standar untuk pemeriksaan torsio testis dengan
sensitivitas 82-90% dan spesifitas 100%.
 Pemeriksaan ini menyediakan informasi mengenai jaringan di
sekitar testis yang echotexture
 Ultrasonografi dapat menemukan abnormalitas yang terjadi pada
skrotum seperti hematom, torsio appendiks dan hidrokel.
 Pada torsio testis, akan timbul keadaan echotexture selama 24-48
jam dan adanya perubahan yang semakin heterogen menandakan
proses nekrosis sudah mulai terjadi.
b. Nuclear Scintigraphy
 Pemeriksaan ini menggunakan technetium-99 tracer dan dilakukan
untuk melihat aliran darah testis.
 Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan
aliran darah yang meragukan dengan memakai ultrasonografi.
 Memiliki sensitivitas dan spesifitas 90-100% dalam menentukan
daerah iskemia akibat infeksi.
 Pada keadaan skrotum yang hiperemis akan timbul diagnosis negatif
palsu
 Adanya daerah yang mengandung sedikit proton pada salah satu
skrotum merupakan tanda patognomonik terjadinya torsio.
2.3.3.4 Penatalaksaan
Penatalaksanaan akut skrotum tergantung dari diagnosis yang ditegakkan.

9
2.4 Torsio testis
Torsio testis adalah terpeluntirnya funikulus spermatikus yang beerakibat
terjadinya gangguan aliran darah pada testis. Biasanya torsio testis terjadi pada pria
usia kurang dari 25 tahun dan paling banyak diderita oleh anak pada masa pubertas
(12-20 tahun). Di samping itu tidak jarang janin yang masih berada di dalam uterus
atau bayi baru lahir menderita torsio testis yang tidak terdiagnosis sehingga
mengakibatkan kehilangan testis baik unilateral ataupun bilateral.18
a. Etiologi dan Patogenesis
Secara fisiologis otot kremaster berfungsi menggerakkan testis mendekati
dan menjauhi rongga abdomen guna mempertahankan suhu ideal untuk testis.
Adanya kelainan sistem penyangga testis menyebabkan testis dapat mengalami
torsio jika bergerak secara berlebihan. Beberapa kejadian yang menyebabkan
pergerakan yang berlebihan itu, antara lain adalah perubahan suhu yang mendadak
(seperti pada saat berenang), ketakutan, latihan yang berlebihan, batuk, celana yang
terlalu ketat, defekasi, atau trauma yang mengenai skrotum. Terpluntirnya
funikulus spermatikus menyebabkan obstruksi aliran darah testis sehingga testis
mengalami hipoksia, edema testis dan iskemia. Pada akhirnya testis akan
mengalami nekrosis.18
Pada masa janin dan neonatus, lapisan yang menempel pada muskulus dartos
masih belum banyak jaringan penyangganya sehingga testis, epididimis dan tunika
vaginalis mudah sekali bergerak dan memungkinkan untuk terpeluntir pada sumbu
funikulus spermatikus. Terpeluntirnya testis pada keadaan ini disebut torsio testis
ekstravaginal.8

Gambar 2.4 Klasifikasi Torsio Testis18

10
Terjadinya torsio testis pada masa remaja banyak dikaitkan dengan kelainan
sistem penyangga testis. Tunika vaginalis yang seharusnya mengelilingi sebagian
dari testis pada permukaan anterior dan lateral testis, pada keadaan ini tunika
mengelilingi seluruh permukaan testis sehingga mencegah insersi epididimis ke
dinding skrotum. Keadaan ini menyebabkan testis dan epididimis dengan
mudahnya bergerak di kantung tunika vaginalis dan menggantung pada funikulus
spermatikus. Keadaan ini dikenal sebagai anomali bell clapper. Keadaan ini
menyebabkan testis mudah mengalami torsio intravaginal.8

Gambar 2.5 Variasi Anatomi Torsio Testis8

b. Gambaran Klinis dan Diagnosis


Pasien mengeluh nyeri hebat pada skrotum yang mendadak dan diikuti
pembekakan pada testis. Nyeri dapat menjalar ke daerah inguinal atau perut sebelah
bawah sehingga jika tidak diwaspadai sering dikacaukan dengan apendisitis akut.
Pada bayi gejalanya tidak khas. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan testis
membengkak, letaknya lebih tinggi dan lebih horizontal daripada testis sisi
kontralateral. Kadang pada torsio testis yang baru terjadi, dapat teraba adanya lilitan
atau penebalan funikulus spermatikus.6,18
Pemeriksaan sedimen urine tidak menunjukkan adanya leukosit dalam urine
dan pemeriksaan darah tidak menunjukkan adanya inflamasi, kecuali pada torsio
testis yang sudah lama dan sudah mengalami peradangan steril. 8,18

11
Gambar 2.6 Torsio Testis5
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosa torsio testis adalah8 :
- Color Doppler Ultrasonography
i. Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan untuk melihat aliran darah arteri
yang menuju testis sehingga dapat diketahu kelainan yang terjadi pada
testis dan pembuluh darahnya.
ii. Gambaran dari terganggunya aliran darah testis saat terjadi torsio testis
tergantung dari durasi terjadinya torsio.
iii. Pada torsio yang terjadi kurang dari 6 jam, testis yang terkena akan
menunjukkan gambaran berupa sedikit pembesaran testis dengan sedikit
penurunan echogenicity. Setelah 24 jam, gambaran echogenicity menjadi
lebih heterogen, dan hilangnya tanda-tanda viabilitas dari testis.
iv. Kaput epididimis menjadi membesar karena terjadi kekusutan pada arteri
yang berbeda serta terdapat gambaran spiral yang berliku-liku pada
funikulus spermatikus.
v. Viabilitas dari testis dapat ditentukan dari echogenicity yang normal, tidak
adanya penebalan dinding skrotum dan ada atau tidaknya hidrokel.
vi. Kekurangan dari pemeriksaan ini adalah sangat sulit dilakukan pada anak-
anak walaupun testis mereka dalam keadaan normal.
b. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 86%, spesifitas 100%, dan ketepatan
97% dalam mendiagnosis torsio testis.

12
Nuclear Scintigraphy
a. Pemeriksaan ini dilakukan bila terdapat keragu-raguan dalam melihat aliran
darah testis sehingga tidak salah dalam membedakan torsio testis dengan kondisi
lainnya.
b. Gambaran scan dapat dikatakan abnormal bila terdapat penurunan penangkapan
proton pada testis yang terkena. Gambaran ini menunjukkan tidak adanya aliran
darah pada daerah tersebut.
c. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 90-100% dalam melihat aliran darah testis

Gambar 2.7 Hasil USG Torsio Testis8


Pemeriksaan sedimen urin tidak menunjukkan adanya leukosit dalam urin,
dan pemeriksaan darah tidak menunjukkan adanya inflamasi kecuali pada torsio
yang sudah lama dan mengalami keradangan steril.7

Gambar 2.8 Bagan Diagnosis Torsio Testis8


d. Terapi
1. Non-operatif 6,8,18
Tindakan non-operatif berupa detorsi manual. Detorsi manual adalah
mengembalikan posisi testis ke asalnya dengan jalan memutar testis ke arah

13
berlawanan dengan arah torsio. Karena arah torsio biasnaya ke medial maka
dianjurkan untuk memutar testis ke arah lateral dahulu, kemudian jika tidak terjadi
perubahan, dicoba detorsi ke arah medial. Hilangnya nyeri setelah detorsi
menandakan bahwa detorsi telah berhasil. Jika detorsi berhasil operasi harus tetap
dilaksanakan.
Berhasilnya tindakan detorsi ditandai dengan :
- Hilangnya nyeri
- Resolution of the transverse lie of the testis to a longitudinal orientastion
- Posisi testis yang turun ke bagian bawah skrotum
- Kembali normalnya pulsasi arteri (detected with color doppler study)
2. Operatif 6,8,18
Tindakan operatif dimaksudkan untuk mengembalikan posisi testis pada arah
yang benar (reposisi) dan setelah itu dilakukan penilaian viabilitas testis yang
mengalami torsio, mungkin masih viable (hidup) atau sudah mengalami nekrosis.
Jika testis masih hidup dilakukan orkidopeksi (fiksasi testis) pada tunika dartos
kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral. Sedangkan pada testis yang
mengalami nekrosis jika tetap dibiarkan berada di dalam skrotum akan merangsang
terbentuknya antibodi antisperma sehingga mengurangi kemampuan fertilitas di
kemudian hari.
3. Komplikasi
Tindakan operasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan posisi testis pada
arah yang benar (reposisi) dan setelah itu dilakukan penilaian viabilitas testis yang
mengalami torsio, mungkin masih viable (hidup) atau sudah ,mengalami nekrosis.
Jiak testis masih hidup maka dilakukan orkidopeksi (fiksasi testis) pada tunika
dartos kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral.6
Pada testis yang sudah mengalami nekrosis dilakukan pengangkatan testis
(orkidektomi) kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateralnya. Testis
yang mengalami nekrosis jika dibiarkan berada di dalam skrotum akan merangsang
terbentuknya antibody antisperma sehingga mengurangi kemampuan fertilitas di
kemudian hari.8

14
2.5 Epididimitis
Epididimitis merupakan suatu proses inflamasi yang terjadi pada epididimis.
Berdasarkan timbulnya nyeri, epididimitis dibedakan menjadi epididimitis akut dan
kronik. Epididimitis akut memiliki waktu timbulnya nyeri dan bengkak hanya
dalam beberapa hari sedangkan pada epididimitis kronik, timbulnya nyeri dan
peradangan pada epididimis telah berlangsung sedikitnya selama enam minggu
disertai dengan timbulnya indurasi pada skrotum.18
a. Etiologi
Bermacam penyebab timbulnya epididimitis tergantung dari usia pasien,
sehingga penyebab dari timbulnya epididimitis dibedakan menjadi4:
1. Infeksi bakteri non spesifik
Bakteri coliforms (misalnya E coli, Pseudomonas, Proteus, Klebsiella)
menjadi penyebab umum terjadinya epididimitis pada anak-anak, dewasa
dengan usia lebih dari 35 tahun dan homoseksual. Ureaplasma urealyticum,
Corynebacterium, Mycoplasma, and Mima polymorpha juga dapat ditemukan
pada golongan penderita tersebut. Infeksi yang disebabkan oleh Haemophilus
influenzae and N meningitides sangat jarang terjadi.
2. Penyakit Menular Seksual
Chlamydia merupakan penyebab tersering pada laki-laki berusia kurang dari
35 tahun dengan aktivitas seksual aktif. Infeksi yang disebabkan oleh
Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidum, Trichomonas dan Gardnerella
vaginalis juga sering terjadi pada populasi ini.
3. Virus
Virus menjadi penyebab yang cukup dominan pada anak-anak. Pada
epididimitis yang disebabkan oleh virus tidak didapatkan adanya pyuria.
Mumps merupakan virus yang sering menyebabkan epididimitis selain
coxsackie virus A dan varicella.
4. Tuberkulosis
Epididimitis yang disebabkan oleh basil tuberkulosis sering terjadi di daerah
endemis TB dan menjadi penyebab utama terjadinya TB urogenitalis.
5. Penyebab infeksi lain (seperti brucellosis, coccidioidomycosis,
blastomycosis, cytomegalovirus [CMV], candidiasis, CMV pada HIV) dapat

15
menjadi penyebab terjadinya epididimitis namun biasanya hanya terjadi pada
individu dengan sistem imun tubuh yang rendah atau menurun.
6. Obstruksi (seperti BPH, malformasi urogenital) memicu terjadinya refluks.
7. Vaskulitis (seperti Henoch-Schönlein purpura pada anak-anak) sering
menyebabkan epididimitis akibat adanya proses infeksi sistemik.
8. Penggunaan Amiodarone dosis tinggi Amiodarone adalah obat yang
digunakan pada kasus aritmia jantung dengan dosis awal 600 mg/hari – 800
mg/ hari selama 1 – 3 minggu secara bertahap dan dosis pemeliharaan 400
mg/hari. Penggunaan Amiodarone dosis tinggi ini (lebih dari 200 mg/hari)
akan menimbulkan antibodi amiodarone HCL yang kemudian akan
menyerang epidididmis sehingga timbullah gejala epididimitis. Bagian yang
sering terkena adalah bagian cranial dari epididimis dan kasus ini terjadi pada
3-11 % pasien yang menggunakan obat amiodarone.
9. Prostatitis
Prostatitis merupakan reaksi inflamasi pada kelenjar prostat yang dapat
disebabkan oleh bakteri maupun non bakteri dapat menyebar ke skrotum,
menyebabkan timbulnya epididimitis dengan rasa nyeri yang hebat,
pembengkakan, kemerahan dan jika disentuh terasa sangat nyeri. Gejala yang
juga sering menyertai adalah nyeri di selangkangan, daerah antara penis dan
anus serta punggung bagian bawah, demam dan menggigil. Pada pemeriksaan
colok dubur didapatkan prostat yang membengkak dan terasa nyeri jika
disentuh.
10. Tindakan pembedahan seperti prostatektomi.
Prostatektomi dapat menimbulkan epididimitis karena terjadinya infeksi
preoperasi pada traktus urinarius. Hal ini terjadi pada 13% kasus yang
dilakukan prostatektomi suprapubik.
11. Kateterisasi dan instrumentasi
Terjadinya epididimitis akibat tindakan kateterisasi maupun pemasangan
instrumentasi dipicu oleh adanya infeksi pada urethra yang menyebar hingga
ke epididimis.
b. Patogenesis

16
Patofisiologi terjadinya epididimitis masih belum jelas, dimana diperkirakan
terjadinya epididimitis disebabkan oleh aliran balik dari urin yang mengandung
bakteri, dari uretra pars prostatika menuju epididimis melalui duktus ejakulatorius
vesika seminalis, ampula dan vas deferens. Oleh karena itu, penyumbatan yang
terjadi di prostat dan uretra serta adanya anomali kongenital pada bagian genito-
urinaria sering menyebabkan timbulnya epididimitis karena tekanan tinggi sewaktu
miksi. Setiap kateterisasi maupun instrumentasi seperti sistoskopi merupakan
faktor resiko yang sering menimbulkan epididimitis bakterial.4,5
Infeksi berawal di kauda epididimis dan biasanya meluas ke tubuh dan hulu
epididimis. Kemudian mungkin terjadi orkitis melalui radang kolateral. Tidak
jarang berkembang abses yang dapat menembus kulit dorsal skrotum. Jarang sekali
epididimitis disebabkan oleh refluks dari jalan kemih akibat tekanan tinggi intra
abdomen karena cedera perut.4
c. Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala yang timbul tidak hanya berasal dari infeksi lokal namun juga
berasal dari sumber infeksi yang asli. Gejala yang sering berasal dari sumber
infeksi asli seperti duh uretra dan nyeri atau itching pada uretra (akibat
uretritis), nyeri panggul dan frekuensi miksi yang meningkat, dan rasa
terbakar saat miksi (akibat infeksi pada vesika urinaria yang disebut Cystitis),
demam, nyeri pada daerah perineum, frekuensi miksi yang meningkat,
urgensi, dan rasa perih dan terbakar saat miksi (akibat infeksi pada prostat
yang disebut prostatitis), demam dan nyeri pada regio flank (akibat infeksi
pada ginjal yang disebut pielonefritis).4,5,7
Gejala lokal pada epididimitis berupa nyeri pada skrotum. Nyeri mulai
timbul dari bagian belakang salah satu testis namun dengan cepat akan
menyebar ke seluruh testis, skrotum dan kadangkala ke daerah inguinal
disertai peningkatan suhu badan yang tinggi. Biasanya hanya mengenai salah
satu skrotum saja dan tidak disertai dengan mual dan muntah.4,5,7
2. Pemeriksaan fisik4,5,7
a. Pada pemeriksaan ditemukan testis pada posisi yang normal, ukuran
kedua testis sama besar, dan tidak terdapat peninggian pada salah

17
satu testis dan epididimis membengkak di permukaan dorsal testis
yang sangat nyeri. Setelah beberapa hari, epididimis dan testis tidak
dapat diraba terpisah karena bengkak yang juga meliputi testis. Kulit
skrotum teraba panas, merah dan bengkak karena adanya udem dan
infiltrat. Funikulus spermatikus juga turut meradang menjadi
bengkak dan nyeri.
b. Hasil pemeriksaan refleks kremaster normal
c. Phren sign bernilai positif dimana nyeri dapat berkurang bila
skrotum diangkat ke atas karena pengangkatan ini akan mengurangi
regangan pada testis. Namun pemeriksaan ini kurang spesifik.
d. Pembesaran kelanjar getah bening di regio inguinalis.
e. Pada colok dubur mungkin didapatkan tanda prostatitis kronik yaitu
adanya pengeluaran sekret atau nanah setelah dilakukan masase
prostat.
f. Biasanya didapatkan eritema dan selulitis pada skrotum yang ringan
g. Pada anak-anak, epididimitis dapat disertai dengan anomali
kongenital pada traktus urogenitalis seperti ureter ektopik, vas
deferens ektopik, dll.
3. Pemeriksaan penunjang5
a. Pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan untuk mengetahui
adanya suatu infeksi adalah:
 Pemeriksaan darah dimana ditemukan leukosit meningkat dengan
shift to the left (10.000-30.000/µl).
 Kultur urin dan pengecatan gram untuk kuman penyebab infeksi.
 Analisa urin untuk melihat apakah disertai pyuria atau tidak.
 Tes penyaringan untuk klamidia dan gonorhoeae.
 Kultur darah bila dicurigai telah terjadi infeksi sistemik pada
penderita.
b. Sampai saat ini, pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan
adalah
- Color Doppler Ultrasonography

18
 Pemeriksaan ini memiliki rentang kegunaan yang luas dimana
pemeriksaan ini lebih banyak digunakan untuk membedakan
epididimitis dengan penyebab akut skrotum lainnya.
 Keefektifan pemeriksaan ini dibatasi oleh nyeri dan ukuran
anatomi pasien (seperti ukuran bayi berbeda dengan dewasa)
 Pemeriksaan menggunakan ultrasonografi dilakukan untuk
melihat aliran darah pada arteri testikularis. Pada epididimitis,
aliran darah pada arteri testikularis cenderung meningkat.
 Ultrasonografi juga dapat dipakai untuk mengetahui adanya abses
skrotum sebagai komplikasi dari epididimitis.
 Kronik epididimitis dapat diketahui melalui pembesaran testis
dan epididimis yang disertai penebalan tunika vaginalis dimana
hal ini akan menimbulkan gambaran echo yang heterogen pada
ultrasonografi.
- Nuclear Scintigraphy
 Pemeriksaan ini menggunakan technetium-99 tracer dan
dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan aliran darah
yang meragukan dengan memakai ultrasonografi.
 Pada epididimitis akut, akan terlihat gambaran peningkatan
penangkapan kontras
 Memiliki sensitivitas dan spesifitas 90-100% dalam menentukan
daerah iskemia akibat infeksi.
 Pada keadaan skrotum yang hiperemis akan timbul diagnosis
negatif palsu
 Keterbatasan dari pemeriksaan ini adalah harga yang mahal dan
sulit dalam melakukan interpretasi
- Vesicouretrogram (VCUG), cystourethroscopy, dan USG
abdomen
 Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui suatu anomali
kongenital pada pasien anak-anak dengan bakteriuria dan
epididimitis.

19
Gambar 2.9 Gambaran USG Dopler Epididimitis 8

d. Diagnosis Banding
Diagnosis banding epididimitis meliputi7:
1. Orkitis
2. Hernia inguinalis inkarserata
3. Torsio testis
4. Seminoma testis
5. Trauma testis
e. Tatalaksana
Penatalaksanaan epididimitis meliputi dua hal yaitu penatalaksanaan medis
dan bedah, berupa4,5,7 :
1. Penatalaksanaan Medis
Antibiotik digunakan bila diduga adanya suatu proses infeksi. Antibiotik
yang sering digunakan adalah :
a. Fluorokuinolon, namun penggunaannya telah dibatasi karena terbukti
resisten terhadap kuman gonorhoeae
b. Sefalosforin (Ceftriaxon)
c. Levofloxacin atau ofloxacin untuk mengatasi infeksi klamidia dan
digunakan pada pasien yang alergi penisilin
d. Doksisiklin, azithromycin, dan tetrasiklin digunakan untuk mengatasi
infeksi bakteri non gonokokal lainnya
Penanganan epididimitis lainnya berupa penanganan suportif, seperti ;
a. Pengurangan aktivitas
b. Skrotum lebih ditinggikan dengan melakukan tirah baring total selama dua
sampai tiga hari untuk mencegah regangan berlebihan pada skrotum.

20
c. Kompres es
d. Pemberian analgesik dan NSAID
e. Mencegah penggunaan instrumentasi pada urethra
2. Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan di bidang bedah meliputi :
a. Scrotal exploration
Tindakan ini digunakan bila telah terjadi komplikasi dari epididimitis dan
Orkitis seperti abses, pyocele, maupun terjadinya infark pada testis.
Diagnosis tentang gangguan intrascrotal baru dapat ditegakkan saat
dilakukan orchiectomy.
b. Epididymectomy
Tindakan ini dilaporkan telah berhasi mengurangi nyeri yang disebabkan
oleh kronik epididimitis pada 50% kasus.
c. Epididymotomy
Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan epididimitis akut supurativa.
f. Komplikasi
Komplikasi dari epididimitis adalah4 :
1. Abses dan pyocele pada skrotum
2. Infark pada testis
3. Epididimitis kronis dan orchalgia
4. Infertilitas sekunder sebagai akibat dari inflamasi maupun obstruksi dari
duktus epididimis
5. Atrofi testis yang diikuti hipogonadotropik hipogonadism
6. Fistula kutaneus
2.6 Trauma testis
Trauma testis didefinisikan sebagai trauma (dapat berupa tumpul dan tajam)
yang menimbulkan pembengkakan pada skrotum disertai hematom pada skrotum
dan intratestikular dan berbagai macam derajat ekimosis pada dinding skrotum.11
a. Etiologi
Berbagai macam jenis trauma yang terjadi pada skrotum berupa 11:
1) Avulsi, dapat disebabkan oleh :
- Serangan binatang dan orang lain

21
- Kecelakaan kendaraan bermotor
- Mutilasi diri sendiri
2) Trauma tumpul, dapat disebabkan oleh :
- Aktivitas berolahraga
- Kecelakaan kendaraan bermotor
- Diserang oleh orang lain.
3) Trauma tajam (tembus), dapat disebabkan oleh :
- Diserang oleh orang lain dan binatang
- Kecelakaan kendaraan bermotor
- Memutilasi diri sendiri
b. Tanda Klinis
Pada inspeksi tampak ekimosis, hematom, pembesaran skrotum, luka, dan
hilangnya sebagian kulit (skin avulsi). Pada palpasi, testis dapat tidak teraba atau
testis membesar dan nyeri, didapatkan adanya cairan atau darah di dalam skrotum.12
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan urin penting untuk membedakan dengan penyebab
pembesaran intraskrotal lainnya, dan membantu mengetahui ada atau tidaknya
hematuria sehingga dapat diketahui adanya trauma pada urethra dan traktus
urinarius. Kultur urin dan cairan luka dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya
infeksi dan kuman penyebab infeksi. Pemeriksaan ini penting terutama pada luka
tusuk.12,13
d. Pemeriksaan Radiologis
1) Color Doppler Ultrasonografi dengan atau tanpa kontras11,12
- Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui organ-organ yang terkena
saat trauma tumpul terjadi, dilihat dari anatomi organ intraskrotum yang
abnormal dan aliran darah testis.
- Pemeriksaan ini sangat perlu dilakukan bila didapatkan adanya hematom
intratestikular dan ekstratestikular dengan tunika albuginea yang masih
utuh.
- Tidak adanya aliran darah menuju testis mengindikasikan adanya torsio
testis, vascular avulsion, trombosis pada funiculus spermaticus sehingga
perlu dilakukan penanganan segera.

22
2) Retrograde urethrography12,13
Pemeriksaan ini dilakukan bila dicurigai adanya suatu trauma pada urethra
yang dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda trauma pada urethra
seperti hematuria dan prostat yang melayang pada pemeriksaan colok
dubur.

3) CT Scan12
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat lokasi testis yang abnormal,
struktur anatomi intratestikular, dan perfusi pada setiap organ. CT scan
yang dilakukan adalah CT scan abdominopelvik.
e. Penatalaksanaan11,12,13
Penatalaksanaan trauma testis dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1. Konservatif
Terapi konservatif dilakukan bila hanya terjadi pembengkakan dan nyeri
tekan minimal, atau pada ultrasonografi tidak terbukti terdapat ruptur testis.
Terapi konservatif terdiri dari elevasi skrotum, aplikasi kantong es, dan
pemberian antibiotik. Antibiotik diberikan terutama pada kasus skin avulsion
dan luka tusuk pada daerah skrotum.
2. Tindakan Bedah
Tindakan bedah yang dilakukan tergantung dari jenis trauma, seperti :
- Trauma tumpul pada skrotum
Eksplorasi skrotum dilakukan untuk menyelamatkan testis, mencegah infeksi,
mengontrol perdarahan, dan mempercepat pemulihan. Bila terjadi ruptur
epididimis, maka tindakan yang dilakukan adalah epididimektomi sedangkan
bila terjadi torsio testis maka tindakan yang dilakukan adalah orchidopexy.
- Trauma tusuk (tembus) pada skrotum
Bila terjadi ruptur total pada pembuluh darah, dapat dilakukan reanastomosis
mikrovaskular, sedangkan bila terjadi trombosis pada funikulus spermatikus,
maka perlu dilakukan mikroreimplantasi.
- Skin avulsion
Pada keadaan ini yang perlu dilakukan pertama kali adalah debridement. Bila
hanya kehilangan sebagian besar, maka tindakan yang perlu dilakukan adalah

23
melakukan penutupan dengan menjahitkan antar bagian luka dengan benang
yang diserap dan menggunakan jarum yang atraumatik. Bila kulit yang hilang
hampir seluruhnya maka perlu dilakukan skin grafting.
2.7 Fournier’s Gangren
Fournier gangren merupakan suatu gangren pada skrotum atau uvula yang
disebabkan oleh bakteri anaerob yang merupakan strain streptococcus beta
hemolitikus. Penyakit ini adalah bentuk dari fascitis nekrotikan yang terdapat di
sekitar genitalia eksterna. Fournier gangren merupakan kegawatdaruratan bedah
karena onsetnya berlangsung sangat mendadak, cepat berkembang, bisa menjadi
gangren yang luas dan menyebabkan septikemia.22.23
Fournier gangren pertama kali ditemukan pada tahun 1883, oleh ahli penyakit
kelamin asal Perancis Jean Alfred Fournier mendapatkan dimana 5 laki-laki muda
yang sebelumnya sehat menderita gangren dengan cepat progresif pada penis dan
skrotum tanpa sebab yang jelas. Penyakit ini yang kemudian dikenal sebagai
Fournier gangren, didefinisikan sebagai fasciitis nekrotikans pada daerah perineum
perianal atau genital. Penyakit ini kebanyakan terjadi pada penderita usia 40-70
tahun dengan faktor resiko keadaan umum yang kurang baik seperti gizi buruk,
penggunaaan imunosupresan, alkohol dan diabetes melitus.22,23
a. Etiologi
Penyebab Fournier gangren pada anorektal termasuk abses perianal abses
perirektal, dan iskiorektalis, fisura anal, dan perforasi usus yang terjadi karena
cedera kolorektal atau komplikasi keganasan kolorektal, penyakit radang usus,
divertikulitis kolon, atau usus buntu. Pada saluran urogenital, penyebab Fournier
gangren mencakup infeksi di kelenjar bulbourethral, cedera uretra, cedera
iatrogenik sekunder untuk manipulasi striktur uretra, epididimitis, orkitis, atau
infeksi saluran kemih bawah (misalnya, pada pasien dengan penggunaan jangka
panjang kateter uretra). Sedangkan pada dermatologi, penyebabnya termasuk
supuratif hidradenitis, ulserasi karena tekanan skrotum, dan trauma.
Ketidakmampuan untuk menjaga kebersihan perineum seperti pada pasien lumpuh
menyebabkan peningkatan risiko. Terkadang akibat trauma, post operasi dan
adanya benda asing juga dapat menyebabkan penyakit. Pada wanita seperti sepsis
aborsi, atau abses pada kelenjar Bartholini, histerektomi, dan episiotomi dapat

24
dicurigai sebagai penyebab Fournier gangren. Pada pria, anal seks dapat
meningkatkan risiko infeksi perineum, baik dari trauma tumpul langsung atau
dengan penyebaran mikroba dari rektal. Sedangkan pada anak-anak yang bisa
menyebabkan Fournier gangren seperti sirkumsisi, strangulasi hernia inguinalis,
omphalitis, gigitan serangga, trauma perirektal abses dan infeksi sistemik.22,23,24
Kultur dari pasien dengan Fournier gangren adalah infeksi polimikroba
dengan rata-rata 4 isolat per kasus. Escherichia colii adalah aerob dominan, dan
Bacteroides adalah anaerob dominan. Mikroorganisme umum lainnya adalah
sebagai berikut22:
 Gram-negative : E. coli , Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa,
Proteus mirabilis, Enterobacteria
 Gram-positive: Staphylococcus aureus, Beta Hemolytic Streptococcus,
Streptococcus faecalis, Staphylococcus epidermidis
 Anaerobes: Peptococcus, Fusobacterium, Clostridium perfringens
 Mycobacteria: Mycobacterium tuberculosis
 Yeasts: Candida albican
b. Patogenesis
Infeksi adalah suatu ketidakseimbangan antara imunitas host, yang sering
terganggu oleh satu atau lebih proses sistemik penyerta, dengan virulensi dari
mikroorganisme penyebab. Faktor etiologi mencetuskan untuk masuknya
mikroorganisme ke dalam perineum, sistem imun yang menurun memberikan
lingkungan yang baik untuk memulai infeksi, dan virulensi mikroorganisme
menyebabkann penyebaran penyakit yang cepat.22,23
Infeksi lokal berdekatan dengan portal masuk adalah dasar terjadinya
Fournier gangren. Pada akhirnya, suatu thromboangitis obliterative berkembang
menyebabkan kulit, subkutan dan pembuluh darah menjadi nekrosis kemudian
berlanjut iskemia lokal dan proliferasi bakteri. Infeksi fasia perineum (fasia colles)
dapat menyebar ke penis dan skrotum melalui fasia buck dan dartos, atau ke dinding
perut anterior melalui fasia scarpa, atau sebaliknya. Fasia colles melekat pada
perineum dan posterior diafragma urogenitalia dan lateral dari ramus pubis,
sehingga membatasi perkembangan ke arah ini. Keterlibatan testis jarang, karena

25
arteri testis berasal langsung dari aorta dan dengan demikian memiliki suplai darah
terpisah dari infeksi lokal.24,25
Keterlibatan polimikroba diperlukan untuk menciptakan sinergi produksi
enzim yang menyebabkan penyebaran Fournier gangren. Sebagai contoh, salah satu
mikroorganisme dapat menghasilkan enzim yang diperlukan untuk menyebabkan
koagulasi dari pembuluh darah. Trombosis pembuluh darah ini dapat mengurangi
suplai darah lokal dengan demikian suplai oksigen ke jaringan menjadi berkurang.
Hipoksia jaringan yang dihasilkan memungkinkan pertumbuhan fakultatif anaerob
dan organisme mikroaerofilik. Mikroorganisme lain kemudian dapat menghasilkan
enzim (misalnya, lesithinase, kolagenase) yang menyebabkan kerusakan dari fasia,
sehingga memicu perluasan cepat infeksi.24,25
c. Diagnosis22
1. Anamnesis
- Gejala prodromal demam dan letargi, yang muncul dalam 2-7 hari
- Rasa sakit dan nyeri
2. Pemeriksaan Fisik
a. Rasa sakit dan nyeri tekan yang berhubungan dengan edema pada
kulit di atasnya yang disertai pruritus
b. Meningkatkan nyeri genital dengan eritema dikulit atasnya
c. Gambaran duski di kulit atasnya (subkutan krepitasi)
d. Gangren dari bagian alat kelamin disertai drainase purulen dari luka

Gambar 10. Edema dinding skrotum dan perubahan warna kulit23


3. Pemeriksaan Penunjang

26
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendukung
diagnosis adalah pemeriksaan darah lengkap, ureum, kreatinin, elektrolit,
fungsi hati, gula darah, analisa gas darah dan kultur darah. Pemeriksaan
radiologi dapat dilakukan jika diagnosis masih meragukan. Tetapi hal ini
tidak boleh menunda terapi pembedahan. Gambaran foto polos pada
Fournier gangren dapat menunjukkan adanya gas dalam jaringan lunak yang
ditandai dengan gambaran hiperlusen.18

Gambar 11. Pada foto polos radiografi anteroposterior menunjukkan tanda


radiolusen (panah) dalam jaringan lunak yang melapisi daerah skrotum dan
perineum yang dapat dicurigai sebagai emfisema subkutan22
Dengan modalitas CT-scan dapat membantu pada pasien yang
diagnosis tidak jelas atau sulit untuk menetukan luasnya penyakit. CT-scan
memiliki kekhususan yang lebih besar untuk mengevaluasi penyakit
dibandinkan foto polos radiografi, USG, atau pemeriksaan fisik. CT-scan
dapat digunakan dalam diagnosis serta evaluasi penyakit, jalur anatomi
penyebaran gangren, akumulasi cairan,abses, emfisema subkutan dan
perluasannya. CT-scan juga tidak hanya membantu mengevaluasi struktur
perineum yang dapat terlibat oleh Fournier gangren, tetapi membantu
menilai retroperitoneum yang dapat menyebar pada penyakit ini. CT-scan
dapat mengidentifikasi udara dalam jaringan lunak sebelum krepitasi
terdeteksi.23

27
Gambar 12. Gambaran kantong udara pada rektum (panah)23
d. Tatalaksana
Prinsip terapi pada Fournier gangren ada terapi suportif memperbaiki keadaan
umum pasien, pemberian antibiotik, dan debridemen. Pengobatan Fournier gangren
melibatkan beberapa modalitas. Pembedahan diperlukan untuk diagnosis definitif
dan eksisi jaringan nekrotik. Pada pasien dengan gejala sistemik terjadi hipoperfusi
atau kegagalan organ, resusitasi segera dengan cairan maupun transfusi untuk
memulihkan perfusi organ normal harus lebih diutamakan daripada prosedur
diagnostik.22
Pengobatan Fournier gangren melibatkan antibiotik spektrum luas terapi
antibiotik. Spektrum harus mencakup staphylococci, streptokokus,
Enterobacteriaceae organisme, dan anaerob. Triple terapi kini direkomendasikan.
Cefalosporin generasi ketiga atau aminoglikosida, ditambah penisilin dan
metronidazole. Klindamisin dapat digunakan untuk menekan produksi toksin dan
memodulasi produksi sitokin. Panduan terbaru merekomendasikan golongan
Karbapenem (imipenem, meropenem, ertapenem).23
Debridemen pada jaringan nekrosis harus segera dilakukan. Kadang-kadang
perlu dilakukan diversi urine melalui sistotomi atau diversi feces dengan melakukan
kolostomi. Setelah nektrotomi, dilakukan perwatan terbuka dan kalau perlu
pemasangan pipa drainase.23
Pemberian terapi topikal dapat dilakukan dengan sodium hipoklorat 0,025%
dengan cara irigasi, larutan Dakin, hidrogen peroksida dapat mereduksi angka
morbiditas dan mortalitas. Terapi hiperbarik oksigen telah digunakan sebagai
tambahan dalam pengobatan Fournier gangren. Hiperbarik oksigen dapat
meningkatkan kadar tekanan oksigen dalam jaringan dan memiliki efek
penyembuhan luka. Oksigen radikal bebas adalah jaringan dari hipoksik yang

28
dibebaskan, yang secara langsung dapat menjadi toksik terhadap bakteri anaerob.
Aktifitas fibroblast dapat meningkat dengan angiogenesis yang dapat mempercepat
penyembuhan luka.23
Rekonstruksi bedah dapat dilakukan, teknik yang digunakan tergantung besar
luka. Penjahitan primer dapat dilakukan terutama dikulit yang lentur seperti pada
skrotum, jika luka yang cukup besar dapat dilakukan skin graft.24
e. Komplikasi
Komplikasi dari Fournier’s gangren berkaitan dengan sepsis. Sepsis mungkin
terjadi karena debridemen yang tidak lengkap, infeksi sistemik, atau respon yang
kurang baik. Komplikasi akhir meliputi22:
a. Chordee, ereksi yang menyakitkan, dan disfungsi ereksi
b. Infertilitas
c. Karsinoma sel skuamosa pada jaringan parut
d. Imobilisasi dengan kontraktur yang lama
e. Perubahan sekunder pada perubahan tubuh karena gangguan depresi
dismorfik
f. Lymphodema dari kaki untuk debridement panggul akibat thrombophlebitis.
2.8 Orkitis
Orkitis adalah suatu inflamasi testis (kongesti testikular), biasanya
disebabkan oleh faktor-faktor piogenik, virus, spiroseta, parasit, traumatis, kimia
atau faktor yag tidak diketahui. Orkitis adalah peradangan testis yang jika bersama
dengan epididimitis menjadi epididimoorkitis dan merupakan komplikasi yang
serius dari epididimitis.18

Gambar 13. Orkitis6

29
a. Etiologi
Virus adalah penyebab Orkitis yang paling sering. Orkitis parotiditis adalah
infeksi virus yang paling sering terlihat, walaupun imunisasi untuk mencegah
parotiditis pada masa anak-anak telah menurunkan insiden. 20-30% kasus
parotiditis pada orang dewasa terjadi bersamaan dengan Orkitis, terjadi bilateral
pada sekitar 15% pria dengan orkitis parotiditis. Pada laki-laki pubertas atau
dewasa, biasanya terdapat kerusakan tubulus seminiferus dengan resiko infertilitas,
dan pada beberapa kasus, terdapat kerusakan sel-sel leydig yang mengakibatkan
hipogonadisme difesiensi testosterone. Orkitis paroditisis jarang terjadi pada laki-
laki prapubertas, namun bila ada, dapat diharapkan kesembuhan yang sempurna
tanpa disfungsi testiskular sesudahnya. Virus lain yang dapat menyababkan Orkitis
dan memberikan gambaran klinis yang sama adalah : virus Coxsakie B, Varisela,
dan mononukleosis.18
Orkitis bakterial piogenik disebabkan oleh bakteri (Escherichia coli,
Klebsiella pneumonia, Pseudmonas aeruginosa) dan infeksi parasitik (malaria,
filariasis, skistosomiasis, amebiasis) atau kadang-kadang infeksi riketsia yang
ditularkan pada epididimitis. Seseorang dengan Orkitis parotiditis terlihat sakit akut
dengan demam tinggi, edema, peradangan hidrokel akut, dan terdapat nyeri skrotum
yang menyebar ke kanalisis inguinalis. Komplikasinya termasuk infark testis,
abses, dan terdapatnya pus dalam skrotum. 7,18
Orkitis granulomaktosa dapat disebabkan oleh sifilis, penyakit
mikrobakterial, aktinomikosis, penyakit jamur, mycobacterium tuberculosis, dan
mycobacterium leprae. Infeksi dapat menyebar melalui funikulus spermatikus
menuju testis. Penyebaran selanjutnya melibatkan epididimis dan testis, kandung
kemih, dan ginjal. 7,18
b. Patogenesis
Kebanyakan penyebab Orkitis pada laki-laki yang sudah puber adalah
gondongan (mumps), dimana manifestasinya biasanya muncul mendadak dalam 3
sampai 4 hari setelah pembengkakan kelenjar parotis. Virus parotitis juga dapat
mengakibatkan Orkitis sekitar 15 % – 20% pria menderita Orkitis akut bersamaan
dengan parotitis. Anak laki-laki pra pubertas dengan Orkitis parotitika dapat
diharapkan untuk sembuh tanpa disertai disfungsi testis. Pada pria dewasa atau

30
pubertas, biasanya terjadi kerusakan tubulus seminiferus dan pada beberapa kasus
merusak sel-sel leydig, sehingga terjadi hipogonadisme akibat defisiensi
testosteron. Ada resiko infertilitas yang bermakna pada pria dewasa dengan Orkitis
parotitika. Tuberkukosis genitalia yang menyebar melalui darah biasanya berawal
unilateral pada kutub bawah epididimis. Dapat terbentuk nodula-nodula yang
kemudian mengalami ulserasi melalui kulit. Infeksi dapat menyebar melalui
fenikulus spermatikus menuju testis. Penyebaran lebih lanjut terjadi pada
epididimis dan testis kontralateral, kandung kemih, dan ginjal.7,18
c. Diagnosis7
1. Anamnesis
 Orkitis ditandai dengan nyeri testis dan pembengkakan.
 Nyeri berkisar dari ketidaknyamanan ringan sampai nyeri yang hebat.
 Kelelahan / mialgia
 Kadang-kadang pasien sebelumnya mengeluh gondongan
 Demam dan menggigil
 Mual
 Sakit kepala
2. Pemeriksaan Fisik
 Pembesaran testis dan skrotum
 Erythematous kulit skrotum dan lebih hangat.
 Pembengkakan KGB inguinal
 Pembesaran epididimis yang terkait dengan epididymo-Orkitis

Gambar 14. Pemeriksaan Fisik Orkitis7

31
3. Pemeriksaan Penunjang7,18
 Diagnosis Orkitis lebih dapat ditegakkan dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
 Pemeriksaan darah tidak dapat membantu menegakkan diagnosis
Orkitis.
 USG dapat digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan torsio
testis.
f. Tatalaksana7,18
Pengobatan suportif: Bed rest, analgetik, elevasi skrotum. Yang paling
penting adalah membedakan Orkitis dengan torsio testis karena gejala klinisnya
hampir mirip. Tidak ada obat yang diindikasikan untuk pengobatan Orkitis
karena virus. Pada pasien dengan kecurigaan bakteri, dimana penderita aktif
secara seksual, dapat diberikan antibiotik untuk menular seksual (terutama
gonore dan klamidia) dengan ceftriaxone, doksisiklin, atau azitromisin.
Antibiotik golongan Fluoroquinolon tidak lagi direkomendasikan oleh Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) untuk pengobatan gonorrhea
karena sudah resisten. Contoh antibiotik:
1. Ceftriaxone
Sefalosporin generasi ketiga dengan spektrum luas, aktivitas gram-negatif;
efikasi lebih rendah terhadap organisme gram-positif. Menghambat
pertumbuhan bakteri dengan cara mengikat satu atau lebih penicillin-binding
proteins. Dewasa IM 125-250 mg sekali, anak : 25-50 mg / kg / hari IV; tidak
melebihi 125 mg/hari.
2. Doxycycline
Menghambat sintesis protein dan pertumbuhan bakteri dengan cara mengikat
30S dan kemungkinan 50S subunit ribosom bakteri. Digunakan dalam
kombinasi dengan ceftriaxone untuk pengobatan gonore. Dewasa cap 100
mg selama 7 hari, Anak: 2-5 mg / kg / hari PO dalam 1-2 dosis terbagi, tidak
melebihi 200 mg / hari.
3. Azitromisin
Mengobati infeksi ringan sampai sedang yang disebabkan oleh strain rentan
mikroorganisme. Diindikasikan untuk klamidia dan infeksi gonorrheal pada

32
saluran kelamin. Dewasa 1 g sekali untuk infeksi klamidia, 2 g sekali untuk
infeksi klamidia dan gonokokus. Anak: 10 mg / kg PO sekali, tidak melebihi
250 mg / hari.
4. Trimetoprim-sulfametoksazol
Menghambat pertumbuhan bakteri dengan menghambat sintesis asam
dihydrofolic. Umumnya digunakan pada pasien > 35 tahun dengan Orkitis.
Dewasa 960 mg q12h untuk 14 hari. Anak 15-20 mg / kg / hari, berdasarkan
TMP, PO tid / qid selama 14 hari.
5. Ciprofloxacin
Fluorokuinolon dengan aktivitas terhadap pseudomonas, streptococci,
MRSA, S epidermidis, dan gram negatif sebagian besar organisme, namun
tidak ada aktivitas terhadap anaerob. Menghambat sintesis DNA bakteri dan
akibatnya pertumbuhan bakteri terhambat. Dewasa tab 500 mg PO selama
14 hari. Anak tidak dianjurkan.
2.9 Abses Skrotum
Abses Skrotum merupakan salah satu kasus dalam bidang urologi yang harus
segera ditangani untuk mencegah terjadinya kerusakan pada testis dan terjadinya
Fournier’s gangrene. Abses Srotum adalah kumpulan purulen pada ruang diantara
tunika vaginalis parietalis dan viseralis yang berada mengelilingi Testis28 Abses
skrotum,terjadi apabila terjadi infeksi bakteri dalam skrotum. Bakteri dapat
menyebar dari kandung kemih atau uretra atau dapat berasal dari penyakit menular
seksual (PMS). Apabila bila tidak diobati, infeksi dapat mengakibatkan terjadinya
abses skrotum.21
Abses Skrotum terjadi akibat suatu infeksi,dan membutuhkan tindakan
pembedahan. Pembentukan abses merupakan suatu komplikasi dari abses
pelvis,dan komplikasi dari infeksi pada suatu luka. Abses Skrotum dapat terjadi
superficial maupun intraskrotal. Skrotum merupakan kelanjutan dari lapisan
dinding perut. Isi skrotum terdiri dari testis, epididimis, dan struktur korda
spermatika.21
a. Etiologi
Epididimitis dan epididymo-orkitis adalah dua yang paling umum penyebab
nyeri skrotum akut pada orang dewasa.Infeksi biasanya berasal dari saluran

33
genitourinari, khususnya kandung kemih, uretra, dan prostat. yang paling patogen
adalah Neisseria gonorrhea,Chlamydia trachomatis, Escherichia coli, Proteus atau
mirabilis. Penyebab umum dari infeksi skrotum, yang dapat menyebabkan abses,
termasuk penyakit menular seksual, seperti gonore dan klamidia. Infeksi virus,juga
dapat mengakibatkan infeksi skrotum.21
Pada umumnya abses skrotum merupakan komplikasi dari suatu
penyakit,seperti: appendisitis, epididimitis, Orkitis, trauma, varikokel dan abses
pelvis. Abses skrotum yang superficial,biasanya berasal dari infeksi pada folikel
rambut,ataupun luka bekas operasi pada skrotum. Abses intrascrotal paling sering
muncul dari epididimitis bakteri, tetapi juga mungkin terkait dengan infeksi dari
epididimitis TB,selain itu dapat timbul dari abses testis yang pecah melalui tunika
albuginea, atau drainase usus buntu ke dalam skrotum melalui prosesus vaginalis.
Abses skrotum dapat juga terjadi sebagai akibat dari ekstravasasi urin yang
terinfeksi dari uretra yang terjadi pada pasien dengan striktur uretra dan kandung
kemih neurogenik menggunakan perangkat koleksi eksternal. Penyebab paling
umum adalah postneglected testis torsi atau epididymo Orkitis necrotizing.
penyebab lain termasuk infeksi hidrokel atau TB infeksi.21
Penyebab yang sangat jarang adalah apendisitis akut, dengan kurang dari 25
kasus yang dilaporkan dalam literatur. Kebanyakan pasien datang dengan tanda-
tanda skrotum akut akibat apendikular patologi memiliki riwayat PPV(Patent
Procesus Vaginalis). Pada pria yang aktif secara seksual, organisme yang utama
adalah Chlamydia trachomatis dan Neisseria gonorrhea, klamidia yang menjadi
lebih umum. Pada pria homoseksualengan usia kurang dari 35 tahun, dan bakteri
coliform yang menjadi penyebab utama. Pada laki-laki tua yang biasanya kurang
aktif secara seksual,bakteri patogen saluran kemih adalah organisme yang paling
umum, seperti: Escherichia coli dan pseudomonas menjadi lebih umum, namun,
patogen. Trauma biasanya bermanifestasi sebagai pembengkakan skrotum dengan
hematoma intratesticular dan skrotum dan berbagai tingkat ekimosis dinding
skrotum.21
b. Patogenesis
Skrotum berkembang sebagai bagian dari rongga perut, dan prosesus
vaginalis tetap paten 80-90% dari bayi yang baru lahir, dan secara bertahap

34
menurun sampai 15-37% selama dewasa. Pada beberapa penyakit infeksi yang
terjadi intraabdominal mungkin menemukan jalan ke skrotum melalui PPV (Patent
Prosesus Vaginalis).21,22
Abses skrotum terjadi karena adanya infeksi yang menyebabkan
terkumpulnya cairan dalams tunika vaginalis. Epididimitis dan Orkitis
mengakibatkan terjadinya akumulasi abses yang mengganggu suplai darah ke
testicular,terutama menimbulkan infeksi dan infark testicular,sehingga terjadi
ruptur pada tunika albugenia. Trauma dapat mengakibatkan terjadinya infeksi dan
menimbulkan akumulasi abses , apabila bakteri masuk dan merusak kulit sampai
terjadinya hidrocel. Setelah infeksi intra-abdomen maka terjadi ,mekanisme
pembentukan maka dengan cepat terjadi penyebaran bakteri dari abdomen ke
skrotum melalui prosesus vaginalis.21
c. Diagnosis
1. Anamnesis
Dari anamnesis dapat di temukan: pasien yang baru menderita
epididimitis atau Orkitis namun tidak menjalani pengobatan secara
teratur,komplikasi dari perforasi appendisitis, komplikasi dari
operasi,sirkumsisi,vasektomi dan Chron’s disease. Pasien datang dengan
keluhan nyeri dan dapat pula disertai dengan demam. Hal ini juga dapat terjadi
pada pasien yang telah di drainase atau pada pasien dengan gejala massa pada
testis. Pasien biasanya mengeluh rasa sakit skrotum yang hebat, kemerahan,
panas, nyeri dan toksisitas sistemik termasuk demam dan leukositosis. Pasien
mungkin atau tidak mengeluh muntah.21,22

Gambar 15. Abses Skrotum pada Anak21

35
Apabila terjadi trauma pada skrotum maka dapat ditemukan gambaran
klinis: nyeri akut pada skrotum, pembengkakan, memar, dan kerusakan akibat
cedera kulit skrotum yang merupakan gejala klinis utama. Bahkan dapat terjadi
pada luka terisolasi/tertutup, sakit perut, mual, muntah, dan dapat
menimbulkan kesulitan berkemih.21
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan ini sangat membantu karena ditemukan skrotum teraba
lembut atau kenyal. Pada pemeriksan fisik dapat ditemukan: bengkak pada
skrotum,tidak keras,dan merah pada skrotum,dan dapat menjadi fluktuan.
Selain itu palpasi pada testis untuk menentukan epididimo-Orkitis dan gejala
karsinoma testis. Pada pemeriksaan skrotum dapat juga menggambarkan
ukuran,karakteristik,dan massa yang terjadi pada testis.22
Adanya pembesaran pasa skrotum bisa berhubungan dengan
pembesaran testis atau epididimis,hernia,varikokel,spermatokel,dan hidrokel.
Pembesaran pada testis dapat disebabkan oleh tumor atau peradangan.
Pembesaran pada skrotum yang nyeri dapat disebabkan oleh peradangan akut
epididimis atau testis,torsio korda spermatika,atau hernia strangulata. Apabila
skrotum membesar dan dicurigai hidrokel maka dapat dilakukan tes
transluminasi.22
3. Pemeriksaan Penunjang22
 Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium biasanya ditemukan peningkatan sel
darah putih(leukosit) yang diakibatkan oleh terjadinnya inflamasi atau
infeksi pada skrotum.
 Kultur urin dan pewarnaan gram untuk mengetahui kuman penyebab
infeksi. Analisa urin untuk melihat apakah disertai piuria atau tidak.
 Tes penyaringan untuk klamidia dan gonorhoeae.
 Kultur darah bila dicurigai telah terjadi infeksi sistemik pada
penderita.
 Ultrasonografi
Pada pemeriksaan Ultrasonografi pyocele akan memberikan
gambaran yang lebih parah, Hal itu membedakan dari hidrocele. Septa

36
atau lokulasi, level cairan menggambarkan permukaan dari hidrocele
/pyocele,dan gas pada pembentukan organisme. Pemeriksaan USG
biasanya menunjukankan akumulasi cairan ringan dengan gambaran
internal atau lesi hypoechoic yang diserai dengan isi skrotum normal
atau bengkak. USG skrotum sangat membantu dalam mendiagnosis
abses intraskrotal terutama jika ada massa inflamasi. USG skrotum
dapat menggambarkan perluasan abses ke dinding skrotum,
epididimis, dan atau testis. USG skrotum adalah tambahan yang
berguna untuk mendiagnosis dan pemeriksaan fisik dalam penilaian
abses skrotum. Hal ini memungkinkan untuk lokalisasi abses skrotum
serta evaluasi vaskularisasi dari epididimis dan testis, yang mungkin
terlibat.
 CT-Scan
CT Scan juga dapat digunakan untuk melihat adanya penyebaran
abses.
d. Tatalaksana
Manajemen abses intrascrotal, terlepas dari penyebabnya, memerlukan
drainase bedah dimana rongga abses harus dibuka dan dikeringkan, termasuk testis
jika terlibat. Rongga harus dibiarkan terbuka. Fournier’s gangren (necrotizing
fascitis) membutuhkan resusitasi cepat dan eksplorasi bedah dan debridemen serta
antibiotik yang agresif. Abses Superficial juga memerlukan insisi dan drainase.
Untuk mengobati abses skrotum, diagnosis yang tepat dari penyebab infeksi
diperlukan untuk menentukan pengobatan yang cocok.22
Dapat dilakukan drainase dan pertimbangan untuk orkidoctomy yang diikuti
dengan pemberian agen antimicrobial untuk abses intratestikular. Abses skrotum
yang terjadi superficial dapat ditangani dengan insisi dan drainase. Tidak ada
kontraindikasi terhadap drainase abses intrascrotal,selain pada pasien yang terlalu
sakit untuk menahan operasi. Pasien dengan gangren Fournier’s gangren
(necrotizing fascitis) membutuhkan penanganan yang cepat. Abses skrotum
Superfisial, yang terbatas pada dinding skrotum, sering dapat diobati dengan
infiltrasi kulit sekitar abses dan kemudian menggores diatas abses dengan pisau

37
sampai rongga dibuka dan dikeringkan. Rongga tersebut kemudian dibiarkan untuk
tetap terbuka dan dikeringkan.22
Sayatan dan drainase abses intrascrotal biasanya dilakukan dengan anestesi
umum. Kulit yang, melapisi area fluktuasi massa.Pada Jaringan subkutan
digunakan elektrokauter sampai ditemui tunika vagina. Jaringan devitalized,
termasuk epididimis dan testis dilakukan debridement. Luka skrotum dibiarkan
terbuka dan dikeringkan untuk mencegah berulangnya abses.22

Gambar 16. Drainage

g. Komplikasi Abses22
Apabila abses skrotum tidak ditangani dengan baik maka dapat menyebabkan
Fournier’s gangrene, yaitu: nekrosis pada kulit skrotum,dan merupakan kasus
kegawatdaruratan. Fournier’s gangren (necrotizing fascitis) dapat menyebabkan
kehilangan jaringan yang signifikan memerlukan pencangkokan kulit berikutnya
untuk skrotum, serta hilangnya kulit perut dan perineum. Individu mungkin
memerlukan penempatan tabung suprapubik untuk pengalihan cara berkemih serta
kolostomi.22

38
BAB 3
Kesimpulan

Akut skrotum merupakan suatu keadaan timbulnya gejala nyeri dan


bengkak pada skrotum beserta isinya yang bersifat mendadak dan disertai gejala
lokal dan sistemik yang memerlukan penanganan yang segera tepat, dan adekuat.
Menentukan diagnosis akut skrotum bukanlah suatu hal yang mudah karena akut
skrotum dapat ditimbulkan oleh berbagai macam sebab dan area pemeriksaan yang
lunak membuat pemeriksaan klinis menjadi lebih sulit sehingga perlu diketahui
lebih banyak tentang ciri-ciri yang membedakan dari tiap faktor penyebab.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Cavusoglu YH, Karaman A, Karaman I, et al. 2015. Acute Scrotum –


Etiology and Management. Department of Pediatric Surgery, Dr. Sami Ulus
Children’s Hospital, Altindag, Ankara, Turkey. Mar(3) pp. 201-3.
2. Chirag GG, Hossein SN. 2015. Scrotal pain : Evaluation and Management.
Divison of Urology, Department of Surgery, Rutgers New Jersey Medical
School, Newark, New Jersey. USA. Korean Urological Association. Korean
J Urol Jan; 56(1): pp. 3-11.
3. McConaghy JR, Panchal B. 2016. Epididymitis: An Overview. American
Family Physician Journal 94(9): pp. 723-726.
4. Christina BC, Edmund SS. 2016. Epididymitis. Division of Pediatric
Urology. Nationwide Children’s Hospital. American Urological Association.
5. Oreolawa IO, Madelyn W. 2017. Testicular Torsion. Department of Urology.
University of Wisconsin Hospitals and Clinics. American Urological
Association.
6. Thomas HT, Timothy SL, Diana H. 2009. Epididymitis and Orkitis: An
Overview. University of Connecticut School of Medicine. Farmington.
Connecticut. American Family Physician Journal 79(7): pp.583-587.
7. Timothy JR, Mark Z. 2015. Testicular Torsion in Emergency Medicine.
American Academy of Emergency Medicine. Texas Medical Association.
American Medical Association.
8. Corinne D, Carol AM, Wui KC, et al. 2007. US of Acute Scrotal Trauma:
Optimal Technique, Imaging Findings, and Management. Department of
Radiology. University of North Carolina School of Medicine. pp. 357-368.
9. Gunther P, Rubben I. 2012. The Acute Scrotum in Chlidhood and
Adolescence. Pediatric Surgery Division. Heldelberg University Hospital.
Dtsch Arztebl Int 2012; 109(25): pp.449-58.
10. Laris EG, Evan JK. 2009. Diagnosis and Treatment of Acute Scrotum. US
Air Force Medical Center. Wright-Patterson Air Force Base. Dayton. Ohio.
11. Ryan PT, Richard AS. 2017. Testicular Trauma. Department of Urology.
Detroit Medical Center. Michigan State University College of Medicine.

40
12. Melinda R. 2016. Testicular Injuries. Department of Family Medicine.
Philadelphia College of Osteopathic Medicine.
13. Summerton DJ, Djakovic N, Kitrey ND, Kuehhas FE, Lumen N,
Serafetinides E, Sharma DM, 2010, Guidesline of Urological Trauma,
European Association of Urology, pp. 244-260.
14. Mensah WA & Desai AP, 2010, Acute Scrotum, Urology Med J, pp. 590-594
15. Laurence SB, Hillary C, Michael DS, Anne A, Angelique C, Christine K,
2013, Hydrocele and Hernia (Male & Female),Pediatric Urology Journal, San
Fransisco, pp. 9-11
16. Goldenberg E & Gilbert BR, 2015, Scrotal Ultrasound, Springer Science &
Bussines Media New York, pp. 75-124
17. Cimador M, Castagnetti M, Grazia ED, Management of Hydrocele in
Adolescent Patients, Nature Reviews Urology, Italy, pp. 1-7
18. Purnomo B, 2012, Dasar-Dasar Urologi, Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya, Malang, edisi 3, pp. 9-15, 65-66, 76-78, 232-237.
19. Birindelli A, Sartelli M, Saverio DS, Coccolini S, Ansaloni D, 2017, 2017
update of the WSES guidelines for emergency repair of complicated
abdominal wall hernias, World Journal of Emergency Surgery, vol.12, pp 1-
12
20. Siadecki SD, Frasure SE, Saul T, Lewiss RE, 2013, DIAGNOSIS AND
REDUCTION OF A HERNIA BY BEDSIDE ULTRASOUND: A CASE
REPORT, Elseiver, vol. 47 no. 2, pp. 169-171
21. Raghu SR, Anand A. 2016. Scrotal Abscess: Varied Etiology, Associations,
and Management. Department of Pediatric Surgery. Bangalore Medical
College and Research Institute. Bengaluru. Karnataka. India. J Indian Assoc
Pediatr Surg. 21(4): pp.164-168.
22. Pamela IE, Bradley FS. 2015. Scrotal Abscess Drainage. Division of Pediatric
Urology. Nemours Children’s Hospital. University of Central Florida College
of Medicine.
23. Vernon MP, Thomas S. 2016. Fournier Gangrene. Department of Surgery.
Section of Urology. Dartmouth Medical School.

41
24. Mallikarjuna MN, Abhishek V, Vijayraj SP, et al. Fournier’s Gangrene:
Current Practices. Department of General Surgery. Victoria Hospital.
Bangalore Medical College and Research Institute. Bangalore. India.
25. Thwaini A, Khan A, Malik A, et al. 2016. Fournier’s Gangrene and Its
Emergency Management. Barts and London Hospital NHS Trust. United
Kingdom. Postgrad Med J 82(970): pp. 516-519.

42

Anda mungkin juga menyukai