Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Toxoplasma gondii

2.1.1 Epidemiologi Toxoplasma gondii

Toxoplasma gondii pertama kali ditemukan pada binatang mengerat

(Cytenodactylus gundi) di Afrika pada tahun 1908 (Levine, 1985). Toxoplasma

gondii termasuk Genus Toxoplasma; Subfamili Toxoplasmatinae; Famili

Sarcocystidae; Subkelas Coccidia; Kelas Sporozoa; Filum Apicomplexa (Soulsby,

1982). Toxoplasma gondii dibedakan menjadi lima tipe, masing-masing tipe terdiri

atas berbagai galur, dapat diisolasi di tempattempat dari berbagai belahan dunia.

Setiap tipe memiliki karakteristik biologik dan patogenitas yang berbeda (Chandra,

2002).

Toksoplasmosis, suatu penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii,

merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia

(Hiswani, 2005). Parasit ini merupakan golongan Protozoa yang bersifat parasit

obligat intraseseluler. Menurut Wiknjosastro (2007), Toksoplasmosis menjadi

sangat penting karena infeksi yang terjadi pada saat kehamilan dapat menyebabkan

abortus spontan atau kelahiran anak yang dalam kondisi abnormal atau disebut

sebagai kelainan kongenital seperti hidrosefalus, mikrosefalus, iridosiklisis dan

retardasi mental.

2.1.2 Morfologi

Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler, terdapat dalam

tiga bentuk yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit) dan ookista

(berisi sporozoit) (Hiswani, 2005). Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit dengan

ujung yang runcing dan ujung lain agak membulat. Ukuran panjang 4-8 mikron,

7
8

lebar 2-4 mikron dan mempunyai selaput sel, satu inti yang terletak di tengah bulan

sabit dan beberapa organel lain seperti mitokondria dan badan golgi (Sasmita,

2006). Bentuk ini terdapat di dalam tubuh hospes perantara seperti burung dan

mamalia termasuk manusia dan kucing sebagai hospes definitif. Takizoit ditemukan

pada infeksi akut dalam berbagai jaringan tubuh. Takizoit juga dapat memasuki tiap

sel yang berinti. Kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah

telah membentuk dinding. Ukuran kista berbeda-beda, ada yang berukuran kecil

hanya berisi beberapa bradizoit dan ada yang berukuran 200 mikron berisi kira-kira

3000 bradizoit. Kista dalam tubuh hospes dapat ditemukan seumur hidup terutama

di otak, otot jantung, dan otot bergaris. Di otak bentuk kista lonjong atau bulat,

tetapi di dalam otot bentuk kista mengikuti bentuk sel otot (Gandahusada, 2003).

Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11 mikron. Ookista

mempunyai dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas.

Pada perkembangan selanjutnya ke dua sporoblas membentuk dinding dan menjadi

sporokista. Masing-masing sporokista tersebut berisi 4 sporozoit yang berukuran 8 x

2 mikron dan sebuah benda residu. Toxoplasma gondii dalam klasifikasi termasuk

kelas Sporozoasida, berkembang biak secara seksual dan aseksual yang terjadi

secara bergantian.

2.1.3 Siklus Hidup

Daur hidup Toxoplasma gondii melalui dua siklus yaitu siklus enteroepitel

dan siklus ekstraintestinal. Siklus enteroepitelial di dalam tubuh hospes definitif

seperti kucing. Siklus ekstraintestinal pula di dalam tubuh hospes perantara seperti

manusia, kambing dan domba. Pada siklus ekstraintestinal, ookista yang keluar

bersama tinja kucing belum bersifat infektif. Setelah mengalami sporulasi, ookista

akan berisi sporozoit dan menjadi bentuk yang infektif. Manusia dan hospes

perantara lainnya akan terinfeksi jika tertelan bentuk ookista tersebut.


9

Di dalam ileum, dinding ookista akan hancur sehingga sporozoit bebas.

Sporozoit-sporozoit ini menembus mukosa ileum dan mengikuti aliran darah dan

limfa menuju berbagai organ tubuh seperti otak, mata, hati dan jantung. Sporozoit

bebas akan membentuk pseudokista setelah berada dalam sel organ-organ tersebut.

Pseudokista tersebut berisi endozoit atau yang lebih dikenal sebagai takizoit.

Takizoit akan membelah, kecepatan membelah takizoit ini berkurang secara

berangsur kemudian terbentuk kista yang mengandung bradizoit. Bradizoit dalam

kista biasanya ditemukan pada infeksi menahun (infeksi laten).

Gambar 1.1 Siklus hidup Toxoplasma gondii


Sumber: CDC, 2010

2.1.4 Cara Penularan

Manusia dapat terinfeksi oleh Toxoplasma gondii dengan berbagai cara.

Pada Toksoplasmosis kongenital, transmisi toksoplasma kepada janin terjadi melalui

plasenta bila ibunya mendapat infeksi primer waktu hamil. Pada Toksoplasmosis
10

akuista, infeksi dapat terjadi bila makan daging mentah atau kurang matang ketika

daging tersebut mengandung kista atau trofozoit Toxoplasma gondii. Tercemarnya

alat-alat untuk masak dan tangan oleh bentuk infektif parasit ini pada waktu

pengolahan makanan merupakan sumber lain untuk penyebaran Toxoplasma gondii.

Pada orang yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi bila ookista

yang dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan. Kontak yang sering terjadi dengan

hewan terkontaminasi atau dagingnya, dapat dihubungkan dengan adanya prevalensi

yang lebih tinggi di antara dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan, pekerja di

rumah potong hewan dan orang yang menangani daging mentah seperti juru masak

(Chahaya, 2003). Juga mungkin terinfeksi melalui transplantasi organ tubuh dari

donor penderita Toksoplasmosis laten kepada resipien yang belum pernah terinfeksi

Toxoplasma gondii. Infeksi juga dapat terjadi di laroratorium pada orang yang

bekerja dengan binatang percobaan yang diinfeksi dengan Toxoplasma gondii yang

hidup. Infeksi dengan Toxoplasma gondii juga dapat terjadi waktu mengerjakan

autopsi.

2.1.5 Pencegahan Toksoplasmosis

Peranan kucing sebagai hospes definitif merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi timbulnya Toksoplasmosis, karena kucing mengeluarkan berjuta juta

ookista dalam tinjanya, yang dapat bertahan sampai satu tahun di dalam tanah yang

teduh dan lembab. Untuk mencegah hal ini, maka dapat di jaga terjadinya infeksi

pada kucing, yaitu dengan memberi makanan yang matang sehingga kucing tidak

berburu tikus. Kista jaringan dalam hospes perantara (kambing, sapi, babi dan

ayam) sebagai sumber infeksi dapat dimusnahkan dengan memasaknya sampai 66

0C. Daging dapat menjadi hangat pada semua bagian dengan suhu 650C selama

empat sampai lima menit atau lebih, maka secara keseluruhan daging tidak

mengandung kista aktif, demikian juga hasil daging siap konsumsi yang diolah
11

dengan garam dan nitrat (Chahaya, 2003). Setelah memegang daging mentah

(tukang potong, penjual daging, tukang masak) sebaiknya cuci tangan dengan sabun

sampai bersih.

Yang paling penting dicegah adalah terjadinya Toksoplasmosis kongenital,

yaitu anak yang lahir cacat dengan retardasi mental dan gangguan motorik,

merupakan beban masyarakat. Pencegahan dengan tindakan abortus artefisial yang

dilakukan selambatnya sampai kehamilan 21-24 minggu, mengurangi kejadian

Toksoplasmosis kongenital kurang dari 50 %, karena lebih dari 50 %

Toksoplasmosis kongenital diakibatkan infeksi primer pada trimester terakhir

kehamilan (Chahaya, 2003). Pencegahan dengan obat-obatan, terutama pada ibu

hamil yang diduga menderita infeksi primer dengan Toxoplasma gondii, dapat

dilakukan dengan spiramisin. Vaksin untuk mencegah infeksi Toksoplasmosis pada

manusia belum tersedia sampai saat ini.

2.2 Perilaku

2.2.1 Pengertian Perilaku

Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta

interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan,

sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang

individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya.

Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berpikir, berpendapat, bersikap)

maupun aktif (melakukan tindakan) (Sarwono, 1993). Sesuai dengan batasan ini,

perilaku kesehatan dapat di rumuskan sebagai bentuk pengalaman dan interaksi

individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan

sikap tentang kesehatan. Perilaku aktif dapat dilihat, sedangkan perilaku pasif tidak

tampak, seperti pengetahuan, persepsi, atau motivasi.


12

Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau

lingkungan (Depdiknas, 2005). Dari pandangan biologis perilaku merupakan suatu

kegiatan atau aktifitas organisme yang bersangkutan. Robert Kwick (1974),

menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang

dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. (dikutip dari Notoatmodjo, 2003).

Skinner (1938) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi

seseorang terhadap stimulus/ rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi

melalui proses adanya organisme. Dan kemudian organisme tersebut merespon,

maka teori Skinner ini disebut “S-O-R” atau stimulus-organisme-respon.

2.2.2 Klasifikasi Perilaku

Menurut Skinner (1938), dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus maka

perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

a). Perilaku tertutup

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup.

Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi,

pengetahuan, kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus

tersebut dan belum dapat diamati secara jelas.

b). Perilaku terbuka

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka.

Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek

yang dengan mudah dapat diamati atau dengan mudah dipelajari.

Menurut Notoatmodjo (1993) bentuk operasional dari perilaku dapat

dikelompokkan menjadi 3 (tiga) jenis yaitu:

1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu dengan mengetahui situasi atau

rangsangan dari luar.


13

2. Perilaku dalam bentuk sikap yaitu tanggapan batin terhadap keadaan atau

rangsangan dari luar. Dalam hal ini lingkungan berperan dalam membentuk

perilaku manusia yang ada di dalamnya. Sementara itu lingkungan terdiri dari,

lingkungan pertama adalah lingkungan alam yang bersifat fisik dan akan

mencetak perilaku manusia sesuai dengan sifat dan keadaaan alam tersebut.

Sedangkan lingkungan yang kedua adalah lingkungan sosial budaya yang bersifat

non fisik tetapi mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembentukan perilaku

manusia.

3. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah konkrit, yakni berupa perbuatan atau

action terhadap situasi atau rangsangan dari luar.

2.2.3 Faktor-Faktor yang Berperan dalam Pembentukan Perilaku

Menurut Notoatmodjo (1993) faktor-faktor yang berperan dalam

pembentukan perilaku dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu:

1. Faktor internal

Faktor yang berada dalam diri individu itu sendiri yaitu berupa kecerdasan,

persepsi, motivasi, minat, emosi dan sebagainya untuk mengolah pengaruh-

pengaruh dari luar. Motivasi merupakan penggerak perilaku, hubungan

antara kedua konstruksi ini cukup kompleks, antara lain dapat dilihat sebagai

berikut:

Motivasi yang sama dapat saja menggerakkan perilaku yang berbeda

demikian pula perilaku yang sama dapat saja dairahkan oleh motivasi yang

berbeda.

Motivasi mengarahkan perilaku pada tujuan tertentu. Penguatan positif/

positive reinforcement menyebabkan satu perilaku tertentu cenderung untuk

diulang kembali. Kekuatan perilaku dapat melemah akibat dari perbuatan itu

bersifat tidak menyenangkan.


14

2. Faktor eksternal

Faktor-faktor yang berada diluar individu yang bersangkutan yang meliputi

objek, orang, kelompok dan hasil-hasil kebudayaan yang disajikan sasaran

dalam mewujudkan bentuk perilakunya. Konsep umum yang digunakan

untuk mendiagnosis perilaku adalah konsep dari Lawrence Green (1980),

dalam Notoatmodjo (2003) menurut Lawrence Green perilaku dipengaruhi

oleh 3 faktor utama yakni :

3. Faktor predisposisi (predisposing faktor).

Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap

kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang

berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat

pendidikan, tingkat sosial ekonomi dfan sebagainya.

4. Faktor pemungkin (enabling faktor)

Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas

kesehatan bagi masyarakat.

5. Faktor penguat (reinforcing faktor)

Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh

agama dan perilaku petugas termasuk petugas kesehatan, suami dalam

memberikan dukungannya kepada ibu primipara dalam merawat bayi baru

lahir.

2.2.4 Perilaku Sehat

Perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo (2005) dalam Silalahi (2010)

adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-

sakit, penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat sakit (kesehatan), seperti

lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan. Perilaku kesehatan

adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat diamati maupun
15

yang tidak dapat diamati, yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan

kesehatan. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri

dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan dan mencari

penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan (Silalahi, 2010).

Menurut Sarafino (2006) dalam Silalahi (2010), perilaku kesehatan adalah

setiap aktivitas individu yang dilakukan untuk mempertahankan atau meningkatkan

kondisi kesehatan tanpa memperhatikan status kesehatan. Becker (1979) dalam

Notoatmodjo (2007), membuat klasifikasi tentang perilaku kesehatan yang terdiri

dari:

1. Perilaku Hidup Sehat

Perilaku Hidup Sehat adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau

kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya

yang mencakup antara lain:

 Makan dan menu seimbang (appropriate diet)

 Olahraga teratur

 Tidak merokok

 Tidak minum-minuman keras dan narkoba

 Istirahat yang cukup

 Mengendalikan stress

 Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya tidak

berganti-ganti pasangan dalam hubungan seks.

2. Perilaku sakit (IIInes behaviour)

Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit,

persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang : gejala dan penyebab

penyakit, dan sebagainya.


16

3. Perilaku peran sakit (the sick role behaviour)

Orang sakit (pasien) mempunyai hak dan kewajiban sebagai orang

sakit,yang harus diketahui oleh orang sakit itu sendiri maupun orang lain

(terutama keluarganya).

Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu

pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan

contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para petugas terutama

petugas kesehatan dan diperlukan juga undang-undang kesehatan untuk

memperkuat perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2003).

Faktor yang mempengaruhi perilaku sehat

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku kesehatan menurut Taylor

(2003) dalam Silalahi (2006), antara lain:

1. Faktor demografi

Perilaku kesehatan berbeda berdasarkan pada faktor demografi. Individu

yang masih muda, lebih makmur, memiliki tingkat pendidikan yang

lebih baik dan berada dalam kondisi stress yang rendah dengan

dukungan sosial yang tinggi memiliki perilaku sehat yang lebih baik dari

pada orang yang memiliki resources yang lebih sedikit (Gottlieb &

Green, 1984 dalam Silalahi, 2006).

2. Usia

Perilaku kesehatan bervariasi berdasarkan usia. Secara tipikal perilaku

kesehatan pada anak-anak dapat dikatakan baik, memburuk pada remaja

dan orang dewasa, namun meningkat kembali pada orang yang lebih tua

(Leventhal et.al, 1985 dalam Silalahi, 2006).


17

3. Nilai

Nilai-nilai sangat mempengaruhi kebiasaan perilaku sehat individu.

Misalnya latihan bagi wanita sangat diinginkan bagi budaya tertentu

tetapi tidak bagi budaya lain (Donovan, Jessor & Costa, 1991 dalam

Silalahi, 2006).

4. Pengaruh Sosial

Pengaruh sosial juga dapat mempengaruhi perilaku sehat individu.

Keluarga, teman, dan lingkungan kerja dapat mempengaruhi perilaku

sehat (Broman, 1993; Lau, Quadrel & Hartman, 1990 dalam Silalahi,

2006).

5. Personal Goal

Kebiasan perilaku sehat juga memiliki hubungan dengan tujuan personal

(Eiser & Gentle, 1988 dalam Silalahi, 2006). Jika tujuan menjadi atlet

berprestasi merupakan tujuan yang penting, individu akan cenderung

olah raga secara teratur dibandingkan jika hal itu bukan tujuan personal.

6. Faktor kognisi

Perilaku kesehatan memiliki hubungan dengan faktor kognisi, seperti

keyakinan bahwa perilaku tertentu dapat mempengaruhi kesehatan

(Silalahi, 2006).

2.2.5 Perilaku Berisiko Terhadap Toksoplasmosis

Penularan Toksoplasmosis yang cukup cepat menjadi salah satu penyebab

tingginya prevalensi Toksoplasmosis di Indonesia maupun di berbagai negara.

Penularan tersebut disebabkan oleh perilaku mengonsumsi daging mentah, kontak

dengan kucing, tidak mencuci buah maupun sayur sebelum dimakan, dan kontak

dengan lingkungan yang terdapat ookista Toxoplasma gondii (Dharmana, 2007

dalam Indrayanti, 2014). Begitu pula menurut Sukaryawati (2011) dalam Indrayanti
18

(2014) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku

konsumsi daging mentah atau setengah matang, konsumsi lawar, dan keberadaan

kucing di lingkungan rumah ibu hamil terhadap kejadian Toksoplasmosis di

Kecamatan Mengwi.

Berbagai perilaku berisiko terinfeksi Toxoplasma gondii tidak terlepas dari

budaya masyarakat setempat. Salah satu perilaku berisiko terinfeksi Toxoplasma

gondii adalah mengonsumsi daging mentah atau setengah matang. Budaya di Bali

dalam mengolah lawar menggunakan darah segar menjadi salah satu sumber

penularan penyakit Toksoplasmosis. Selain itu penularan juga bisa melalui perantara

air, yakni salah satunya adalah air danau yang mengandung ookista Toxoplasma

gondii.

2.3 Danau

2.3.1 Definisi Danau

Menurut Jorgensen (1989) perairan danau merupakan salah satu bentuk

ekosistem air tawar yang ada di permukaan bumi, Secara fisik, danau merupakan

suatu tempat yang luas, mempunyai air yang tetap, jernih atau beragam dengan

aliran tertentu. Di danau terdapat pembagian daerah berdasarkan penetrasi cahaya

matahari. Daerah yang dapat ditembus cahaya matahari sehingga terjadi fotosintesis

disebut daerah fotik. Daerah yang tidak tertembus cahaya matahari disebut daerah

afotik.Berdasarkan keadaan nutrisinya, Payne (1986) menggolongkan danau

menjadi 3 jenis yaitu:

1. Danau Oligotrofik yaitu danau yang mengandung sedikit nutrien (miskin

nutrien), biasanya dalam dan produktivitas primernya rendah. Sedimen pada

bagian dasar kebanyakan mengandung senyawa anorganik dan konsentrasi


19

oksigen pada bagian hipolimnion tinggi. Walaupun jumlah organisme pada

danau ini rendah tetapi keanekaragaman spesies tinggi.

2. Danau Eutrofik, yaitu danau yang mengandung banyak nutrien (kaya nutrien),

khususnya nitrat dan fosfor yang menyebabkan pertumbuhan algae dan

tumbuhan akuatik lainnya meningkat. Dengan demikian produktivitas primer

pada danau ini tinggi dan konsentrasi oksigen rendah. Walaupun jumlah dan

biomassa organisme pada danau ini tinggi tetapi keanekaragaman spesies

rendah.

3. Danau Distrofik, yaitu danau yang memperoleh sejumlah bahan-bahan organik

dari luar danau, khususnya senyawa-senyawa asam yang menyebabkan air

berwarna coklat. Produktivitas primer pada danau ini rendah, yang umumnya

berasal dari hasil fotosintesa plankton. Tipe danau distrofik ini juga sedikit

mengandung nutrien dan pada bagian hipolimnion terjadi defisit oksigen. Suatu

danau berlumpur mewakili bentuk danau distrofik.

Odum (1994) menyatakan bahwa danau terdiri dari 3 zona yaitu:

1. Zona litoral, yaitu daerah perairan dangkal penetrasi cahaya sampai ke dasar.

2. Zona limnetik, yaitu daerah air terbuka sampai kedalaman penetrasi cahaya

yang efektif.

3. Zona profundal, yaitu merupakan bagian dasar dan daerah air yang dalam yang

tidak tercapai oleh penetrasi cahaya efektif.

2.3.2 Peranan/ Fungsi Danau

Danau mempunyai fungsi ekonomi yang sangat tinggi. Salah satu fungsi

danau adalah perikanan, baik budidaya maupun perikanan tangkap. Danau juga

penting dari sisi tata air (antara lain mencegah kekeringan dan banjir) dalam

kaitannya dengan penyediaan air bersih, baik untuk minum, irigasi maupun industri.

Dengan demikian danau mempunyai fungsi sebagai penyangga kehidupan.


20

Penjagaan kebersihan sumber-sumber air danau, danau itu sendiri dan saluran-

saluran keluarnya secara otomatis menjamin tersedianya air bersih di sepanjang

alirannya. Namun saat ini perairan danau sudah banyak tercemar, baik pencemaran

oleh zat kimia seperti limbah rumah tangga, limbah hotel dan pencemaran oleh

mikrobiologi seperti bakteri, protozoa, dll.

2.3.3 Pencemaran Perairan Danau

secara singkat pencemaran air dapat dikatakan sebagai turunnya kualitas air

karena masuknya komponen-kompoen pencemar dari kegiatan manusia atau proses

alam, sehingga air tersebut tidak memenuhi syarat atau bahkan mengganggu

pemanfaatannya. Terjadinya pencemaran perairan danau dapat ditunjukkan oleh dua

hal, yaitu (1) adanya pengkayaan unsur hara yang tinggi, sehingga terbentuk

komunitas biota dengan produksi yang berlebihan, (2) air diracuni oleh zat kimia

toksik yang menyebabkan lenyapnya organisme hidup, bahkan mencegah semua

kehidupan di perairan (Southwick, 1976). Senada dengan hal tersebut Saeni (1989)

menyatakan bahwa pencemaran yang terjadi di perairan dapat dikelompokkan

menjadi tiga jenis, yaitu (1) pencemaran kimiawi berupa bahan-bahan organik,

mineral, zat-zat beracun dan radioaktif, (2) pencemaran fisik berupa lumpur dan uap

panas, dan (3) pencemaran biologis berupa berkembangbiaknya ganggang, tumbuh-

tumbuhan pengganggu air, kontaminasi organisme mikro yang berbahaya atau dapat

berupagabungan ketiga pencemaran tersebut. Sumber pencemaran yang masuk ke

badan perairan, dibedakan atas pencemaran yang disebabkan oleh alam dan

pencemaran karena kegiatan manusia.

Menurut Davis dan Cornwell (1991), sumber bahan pencemar yang masuk

ke perairan dapat berasal dari buangan yang diklasifikasikan sebagai:

1. point source discharges (sumber titik)

2. non point source (sumber menyebar).


21

Sumber titik atau sumber pencemaran yang dapat diketahui secara pasti dapat

merupakan suatu lokasi tertentu seperti dari air buangan industry maupun

domestik serta saluran drainase. Pencemar bersifat lokal dan efek yang

diakibatkan dapat ditentukan berdasarkan karakteristik spasial kualitas air.

Sedangkan sumber pencemar yang berasal dari sumber menyebar berasal dari

sumber yang tidak diketahui secara pasti. Pencemar masuk ke perairan melalui

run off (limpasan) dari permukaan tanah wilayah pertanian yang mengandung

pestisida dan pupuk, atau limpasan dari daerah permukiman dan perkotaan.

Anda mungkin juga menyukai