Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau
setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih
dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang
air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa
disertai lendir dan darah. Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan
berlangsung kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung
lebih dari 14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab
diare yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus,
Bakteri, dan Parasit. Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan,
tidak saja di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih
sering menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak
dalam waktu yang singkat. Dinegara maju walaupun sudah terjadi perbaikan
kesehatan dan ekonomi masyarakat tetapi insiden diare infeksi tetap tinggi dan masih
menjadi masalah kesehatan. Di Inggris 1 dari 5 orang menderita diare infeksi setiap
tahunnya dan 1 dari 6 orang pasien yang berobat ke praktek umum menderita diare
infeksi. Tingginya kejadian diare di negara Barat ini oleh karena foodborne infections
dan waterborne infections yang disebabkan bakteri Salmonella spp, Campylobacter
jejuni, Stafilococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium perfringens dan
Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC).
Di negara berkembang, diare infeksi menyebabkan kematian sekitar 3 juta
penduduk setiap tahun. Di Afrika anak anak terserang diare infeksi 7 kali setiap
tahunnya di banding di negara berkembang lainnya mengalami serangan diare 3 kali
setiap tahun.
Di Indonesia dari 2.812 pasien diare yang disebabkan bakteri yang datang
kerumah sakit dari beberapa provinsi seperti Jakarta, Padang, Medan, Denpasar,
Pontianak, Makasar dan Batam yang dianalisa dari 1995 s/d 2001 penyebab

1
terbanyak adalah Vibrio cholerae 01, diikuti dengan Shigella spp, Salmonella spp, V.
Parahaemoliticus, Salmonella typhi, Campylobacter Jejuni, V. Cholera non-01, dan
Salmonella paratyphi A.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diare
2.1.1 Definisi
Diare adalah buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan
dapat berupa air saja dengan frekuensi lebih sering dari biasanya (tiga kali atau lebih)
dalam satu hari (Depkes RI 2011). Menurut WHO (2005) jumlah pengeluaran tinja
yang dikeluarkan dalam sehari bervariasi sesuai diet dan usia. Diare didefinisikan
sebagai tinja yang mengandung lebih banyak air dengan frekuensi > 3 kali dalam
sehari. Tinja tersebut mungkin juga dapat bercampur dengan darah, dalam hal ini
disebut dengan disentri. Bayi dibawah 6 bulan yang hanya meminum ASI umumnya
memiliki tinja yang lunak tetapi keadaan ini tidak disebut dengan diare. Diare akut
didefinisikan sebagai peningkatan frekuensi buang air besar (tiga kali atau lebih per
hari atau setidaknya 200 gram tinja per hari) yang berlangsung kurang dari 14 hari,
bisa disertai dengan mual, muntah, kram perut, gejala sistemik yang signifikan secara
klinis, atau malnutrisi (Thielman dan Richard, 2004). Menurut Friedman dan Kurt
(1995) diare harus dibedakan dengan pseudodiare atau hiperdefikasi yang merupakan
peningkatan frekuensi defekasi tanpa peningkatan jumlah tinja diatas normal,
keaadaan ini biasa terjadi pada pasien irritable bowel syndrome. Diare juga harus
dibedakan dengan inkontinensia fekal yang merupakan pelepasan isi rektum tanpa
disadari.

2.1.2 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan beberapa jenis diare sebagai berikut:

1) Diare akibat virus, misalnya influenza perut dan travellers diarrhea yang
disebabkan antara lain oleh rotavirus dan adenovirus. Virus melekat pada mukosa
usus, merusak, sehingga kapasitas resorpsi menurun. Diare yang terjadi bertahan

3
sampai beberapa hari, sesudah virus lenyap akan sembuh dengan sendirinya, biasanya
3-6 hari.
2) Diare bakterial (invasif), agak sering terjadi tetapi mulai berkurang berhubung
semakin meningkatnya derajat higiene masyarakat. Bakteri tertentu pada keadaan
tertentu, misalnya pada bahan makanan yang terinfeksi kuman menjadi invasif dan
menyerbu ke dalam mukosa. Penyebab terkenal dari jenis diare ini ialah bakteri
Salmonella, Shigella, Campylobacter, dan jenis Coli tertentu.
3) Diare parasiter, seperti protozoa Entamuba histolytica, Giardia lambia, dan
Cyclospora yang terutama terjadi di daerah subtropis. Diare ini biasanya bercirikan
mencret cairan yang intermiten dan bertahan lebih lama dari satu minggu.
4) Diare akibat enterotoksin, diare jenis ini lebih jarang terjadi. Penyebabnya adalah
kuman yang membentuk enterotoksin, yang terpenting adalah E.coli dan Vibrio
cholerae, jarang terjadi oleh Salmonella dan Shigella. Diare jenis ini juga bersifat self
limiting yang akan sembuh dengan sendirinya lebih kurang 5 hari. Penyebab diare
lainnya diantaranya alergi makanan atau minuman, gangguan gizi, kekurangan enzim
tertentu, dan dapat pula pengaruh psikis (diare non spesifik), (Tjay dan Rahardja,
2002).

2.1.4 Patofisiologi Diare


Menurut Simadibrata dan Daldiyono (2009) diare dapat disebabkan oleh
beberapa patofisiologi sebagai berikut :
1. Diare osmotik Diare ini terjadi akibat peningkatan tekanan osmotik
intralumen dari usus halus yang disebabkan oleh obat-obatan/zat kimia
yang hiperosmotik seperti MgSO4, Mg(OH)2 dan defek dalam absorpsi
mukosa usus misal pada defisiensi disakaridase, malabsorpsi
glukosa/galaktosa.
2. Diare sekretori Diare tipe ini disebabkan peningkatan sekresi air dan
elektrolit dari usus, atau penurunan absorpsi dengan gejala khas

4
peningkatan volume tinja. Penyebab tersering akibat efek enterotoksin
infeksi Vibrio cholerae, atau Escherichia coli.
3. Malabsorpsi asam empedu, malabsorpsi lemak Diare ini tipe ini didapatkan
gangguan pembentukan micelle empedu.
4. Defek sistem pertukaran anion/transport elektrolit aktif di enterosit Diare
tipe ini disebabkan adanya hambatan mekanisme transport aktif Na+K+
ATP ase di enterosit dan absorpsi Na+ dan air yang abnormal.
5. Motilitas dan waktu transit usus abnormal Diare tipe ini disebabkan
hipermotilitas dan iregularitas motilitas usus hingga mengakibatkan
absorpsi yang abnormal di usus halus.
6. Gangguan permeabilitas usus Diare ini terjadi akibat adanya kelainan
morfologi membran epitel spesifik pada usus halus menyebabkan
permeabilitas usus menjadi abnormal.
7. Diare inflamatorik Diare ini karena kerusakan mukosa usus akibat proses
inflamasi, sehingga terjadi produksi mukus yang berlebihan dan eksudasi
air dan elektrolit kedalam lumen juga gangguan absorpsi air-elektrolit.

8. Diare infeksi Diare ini merupakan tipe diare yang tersering terbagi atas
bakteri invasif (merusak mukosa) dan non-invasif (tidak merusak
mukosa).

2.1.5 Klasifikasi Diare


Menurut WHO (2005) diare terbagi atas diare akut dan persisten. Diare akut
dimulai secara tiba-tiba dan dapat berlanjut selama beberapa hari. Hal ini disebabkan
oleh infeksi usus. Menurut Simadibrata dan Daldiyono (2009) diare diklasifikasikan
berdasarkan :
1. Lama waktu diare : diare akut apabila diare berlangsung kurang dari 15 dan
kronik bila diare berlangsung 15 hari lebih.
2. Mekanisme patofisiologi : osmotik, sekretorik dll.
3. Berat ringan diare : kecil atau besar.

5
4. Penyebabnya : infeksi atau non infeksi.
5. Organik atau fungsional.
2.1.6 Diagnosa Diare
Menurut WHO guideline (2008) ada beberapa hal yang perlu diperlukan
untuk mendiagnosa suatu diare akut antara lain :
1. Episode diare diklasifikasikan dalam 3 kategori
a. Diare akut : 3x atau lebih dengan tinja berair dalam 24 jam.
b. Disentri : diare yang disertai darah.
c. Diare persisten : episode diare lebih dari 14 hari.

2. Evaluasi gejala klinis meliputi :


Tabel 2.2. Evaluasi Pasien Diare Akut

Gambaran klinis pasien diare infeksius yang akut secara khas ditemukan
dengan gejala seperti mual, muntah, nyeri abdomen, panas dan diare yang bisa encer,
malabsorpsi atau berdarah menurut penyebabnya. Pasien yang termakan toksin atau
dengan infeksi toksigenik secara khas akan mengalami mual dan muntah sebgai
gejala yang menonjol tetapi jarang mengalami panas yang tinggi. Nyeri abdomen
yang terjadi bersifat ringan, difus serta kram dan mengakibatkan diare cair. Muntah
dimulai dalam waktu beberapa jam setelah mengkonsumsi suatu makan harus
dicurigai kemungkinan keracunan makanan disebabkan oleh toksin yang terbentuk.
Parasit yang tidak menginvasi mukosa intestinal seperti Giardia lamblia dan

6
Cryptosporidium biasanya hanya menimbulkan perasaan tidak enak diperut yang
ringan. Bakteri invasif seperti Campylobacter, Salmonella serta Shigella dan
oraganisme yang menghasilkan sitotoksin seperti C. Difficile serta organisme
enterohemorhagik Escherichia coli menyebabkan inflamasi interstinal yang serta,
nyeri abdomen dan sering pula demam yang tinggi. Bakteri Yesrsenia sering
menginfeksi ileum terminalis serta sekum dan ditemukan dengan nyeri dan nyeri
tekan pada abdomen kuadran kanan bawah yang dapat diduga ke arah apendisitis
akut. Diare encer merupakan ciri khas organisme yang menginvasi epitel intestinal
dengan inflamsi ringan, seperti virus enterik, atau oraganisme yang menempel tanpa
merusak epitel tersebut, seperti kuman enteropatogenik atau adheren E. coli, protozoa
dan helmintes (Friedman dan kurt, 1994).
Tabel 2.3. Gambaran Klinik dari Infeksi dengan Bakteri Patogen

Menurut WHO (2005) ketika seseorang mengalami diare, langkah pertama


yang perlu dinilai adalah tanda-tanda dehidrasi. Penentuan derajat dehidrasi menurut
MMWR 2003

7
Tabel 2.4 Penilaian Derajat Dehidrasi Berdasarkan Klinis

Penilaian turgor kulit dilakukan untuk menilai apakah kulit dapat kembali
dengan cepat, lambat, atau sangat lambat (lebih dari 2 detik). Pada bayi dilakukan
pencubitan pada bagian perut ataupun paha. Mencubit kulit juga dapat memberikan
informasi yang salah apabila dilakukan pada pasien yang memiliki malnutrisi yang
berat, karena kulit akan kembali secara lambat bahkan ketika pasien tidak mengalami
dehidrasi. Sedangkan pada pasien yang obesitas, kulit dapat kembali dengan cepat
meskipun pasien mengalami dehidrasi (WHO, 2005). Pengambilan suhu pada anak
untuk menilai apakah anak mengalami demam atau tidak. penilaian suhu
menggunakan yang dilakukan pada rektal harus disterilkan terlebih dahulu setiap kali
digunakan. Jika menggunakan suhu aksila harus ditambahkan 0,8 ℃ untuk
mendapatkan suhu yang setara dengan suhu rektal (WHO, 2005)

3. Laboratorium
Menurut Subagyo dan Nurtjahjo (2009) Pemeriksaan lengkap umumnya tidak
begitu diperlukan pada kasus diare akut, hanya pada keadaan tertentu seperti apabila
penyebab dasarnya tidak diketahui atau ada sebab lain dan pada keadaan dehidrasi
berat. Pemeriksaan yang terkadang perlu dilakukan pada diare akut yaitu :

8
1. Darah : darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah,
kultur dan tes kepekaan terhadapa antibiotika.
2. Urin : urin lengkap, kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotik.
3. Tinja :
 Pemerikasaan makroskopik :
Pemeriksaan tinja sangat diperlukan meskipun pemeriksaan laboratorium
tidak dilakukan. Tinja yang sifatnya watery dan tanpa mukus atau darah biasanya
disebabkan oleh enterotoksin virus, protozoa atau disebabkan oleh infeksi diluar
saluran gastrointestinal. Tinja yang mengandung darah atau mukus biasanya
disebabkan oleh bakteri yang menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang
menyebabkan peradangan mukosa atau parasit usus seperti : E. histolytica, B. coli dan
T. trichiura. Apabila terdapat darah biasanya bercampur dalam tinja kecuali pada
infeksi degan E. histolytica darah sering terdapat pada permukaan tinja dan pada
infeksi EHEC terdapat garis-garis darah pada tinja. Tinja yang berbau busuk
didapatkan pada infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium dan
Strogyloides.
 Pemeriksaan mikroskopik :
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat adanya lekosit yang memberikan
informasi tentang penyebab dari diare, letak anatomis serta adanya proses peradangan
dari mukosa. Lekosit dalam tinja diproduksi sebagai respon terhadap bakteri yang
menyerang mukosa kolon. Pemerikasan lekosit yang positif pada pemeriksaan tinja
menunjukan adanya kuman invasif atau kuman yang menghasilkan sitotoksin seperti
Shigella, Salmonella, C. jejuni, EIEC, C. difficile, Y. enterocolitica. Lekosit yang
ditemukan umumnya adalah lekosit PMN, kecuali pada S. typhii lekosit
mononuklear. Parasit yang menyebabkan diare pada umunya tidak memproduksi
lekosit dalam jumlah yang banyak. Pasien yang dicurigai menderita diare yang
disebabkan giardiasis, cryptosporidiosis, isosporiasis dan strongyloides dengan
pemeriksaan tinja negatif, aspirasi atau biopsi duodenum atau yeyunum bagian atas

9
mungkin diperlukan. E. histolytica dapat didiagnosa dengan pemeriksaan
mikroskopik tinja segar. Tropozoit biasanya ditemukan pada tinja cair sedangkan
kista ditemukan pada tinja yang berbentuk.

2.1.7 Komplikasi Diare


Menurut Subagyo dan Nurtjahjo (2009) komplikasi diare akut pada anak
yaitu:
a. Hipernatremia
b. Hiponatremia : anak dengan diare yang hanya meminum air putih atau cairan yang
mengandung sedikit garam dapat terjadi hiponatremia Na < 130 mol/L. Hiponatremia
sering terjadi pada anak dengan shigellosis dan anak dengan malnutrisi berat disertai
oedema.
c. Hiperkalemia : jika K > 5 mEq/L
d. Hipokalemia : jika K < 3,5 mEq/L dapat menyebabkan kelemahan otot, paralitik
usus, gangguan fungsi ginjal dan aritmia jantung.

2.1.8 Penatalaksanaan
A. Penggantian Cairan dan elektrolit
Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang
adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan
rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak dapat
minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan hidrasi intavena yang
membahayakan jiwa. Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium
klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter
air. Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-paket yang mudah
disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika sediaan secara komersial tidak ada,
cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh
garam, ½ sendok teh baking soda, dan 2 – 4 sendok makan gula per liter air. Dua

10
pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium. Pasien harus
minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak mereka merasa haus pertama kalinya.
Jika terapi intra vena diperlukan, cairan normotonik seperti cairan saline
normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan suplementasi kalium sebagaimana
panduan kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor dengan baik dengan
memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika
diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin.
Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang keluar
dari badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan memakai cara :
BD plasma, dengan memakai rumus :

(1980) mengemukakan beberapa cara menghitung kebutuhan cairan :


Cara I :

11
- Jika ada rasa haus dan tidak ada tanda-tanda klinis dehidrasi lainnya, maka
kehilangan cairan kira-kira 2% dari berat badan pada waktu itu.
- Bila disertai mulut kering, oliguri, maka defisit cairan sekitar 6% dari berat badan
saat itu.
- Bila ada tanda-tanda diatas disertai kelemahan fisik yang jelas, perubahan mental
seperti bingung atau delirium, maka defisit cairan sekitar 7 -14% atau sekitar 3,5 –
7 liter pada orang dewasa dengan berat badan 50 Kg.
Cara II :
Jika penderita dapat ditimbang tiap hari, maka kehilangan berat badan 4 Kg
pada fase akut sama dengan defisit air sebanyak 4 liter.
Cara III :
Dengan menggunakan rumus :

B. Antibiotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut
infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian
anti biotik. Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda
diare infeksi seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi
dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa pada diare infeksi,
diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised. Pemberian antibiotik secara
empiris dapat dilakukan (tabel 2), tetapi terapi antibiotik spesifik diberikan
berdasarkan kultur dan resistensi kuman

12
C. Obat anti diare
Kelompok antisekresi selektif
Terobosan terbaru dalam milenium ini adalah mulai tersedianya secara luas
racecadotril yang bermanfaat sekali sebagai penghambat enzim enkephalinase
sehingga enkephalin dapat bekerja kembali secara normal. Perbaikan fungsi akan
menormalkan sekresi dari elektrolit sehingga keseimbangan cairan dapat
dikembalikan secara normal. Di Indonesia saat ini tersedia di bawah nama hidrasec
sebagai generasi pertama jenis obat baru anti diare yang dapat pula digunakan lebih
aman pada anak.
Kelompok opiat
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta kombinasi
difenoksilat dan atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein adalah 15-60mg 3x
sehari, loperamid 2 – 4 mg/ 3 – 4x sehari dan lomotil 5mg 3 – 4 x sehari. Efek
kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi, peningkatan absorbsi cairan
sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi frekwensi diare.Bila
diberikan dengan cara yang benar obat ini cukup aman dan dapat mengurangi
frekwensi defekasi sampai 80%. Bila diare akut dengan gejala demam dan sindrom
disentri obat ini tidak dianjurkan.
Kelompok absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit
diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan infeksius atau
toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar kontak langsung
dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit.
Zat Hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium, Karaya
(Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk kolloid dengan
cairan. dalam lumen usus dan akan mengurangi frekwensi dan konsistensi feses tetapi
tidak dapat mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10
cc/ 2x sehari dilarutkan dalam air atau diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet.

13
Probiotik
Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau
Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran cerna
akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan reseptor
saluran cerna. Syarat penggunaan dan keberhasilan mengurangi/menghilangkan diare
harus diberikan dalam jumlah yang adekuat.

2.1.9 Komplikasi
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera kehilangan
cairan secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang cepat. Kehilangan
elektrolit melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia dan asidosis metabolik.
Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis, sehingga syok
hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul Tubular
Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini
dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat sehingga tidak
tecapai rehidrasi yang optimal.
Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang disebabkan
terbanyak oleh EHEC. Pasien dengan HUS menderita gagal ginjal, anemia hemolisis,
dan trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS akan meningkat setelah
infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti diare, tetapi penggunaan antibiotik untuk
terjadinya HUS masih kontroversi. Sindrom Guillain – Barre, suatu demielinasi
polineuropati akut, adalah merupakan komplikasi potensial lainnya dari infeksi
enterik, khususnya setelah infeksi C. jejuni. Dari pasien dengan Guillain – Barre, 20 –
40 % nya menderita infeksi C. jejuni beberapa minggu sebelumnya. Biasanya pasien
menderita kelemahan motorik dan memerlukan ventilasi mekanis untuk mengaktifkan
otot pernafasan. Mekanisme dimana infeksi menyebabkan Sindrom Guillain – Barre
tetap belum diketahui. Artritis pasca infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah
penyakit diare karena Campylobakter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp.

14
2.1.10 Prognosis
Dengan penggantian Cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan
terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya sangat baik
dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan penyakit,
morbiditas dan mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut usia. Di Amerika
Serikat, mortalits berhubungan dengan diare infeksius < 1,0 %. Pengecualiannya pada
infeksi EHEC dengan mortalitas 1,2 % yang berhubungan dengan sindrom uremik
hemolitik.

2.1.11 Pencegahan
Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral, penularannya dapat
dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini termasuk sering mencuci
tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah makanan. Kotoran
manusia harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan ternak harus terjaga
dari kotoran manusia. Karena makanan dan air merupakan penularan yang utama, ini
harus diberikan perhatian khusus. Minum air, air yang digunakan untuk
membersihkan makanan, atau air yang digunakan untuk memasak harus disaring dan
diklorinasi. Jika ada kecurigaan tentang keamanan air atau air yang tidak dimurnikan
yang diambil dari danau atau air, harus direbus dahulu beberapa menit sebelum
dikonsumsi. Ketika berenang di danau atau sungai, harus diperingatkan untuk tidak
menelan air.
Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang
bersih (air rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi. Limbah manusia atau
hewan yang tidak diolah tidak dapat digunakan sebagai pupuk pada buah-buahan dan
sayuran. Semua daging dan makanan laut harus dimasak. Hanya produk susu yang
dipasteurisasi dan jus yang boleh dikonsumsi.
Wabah EHEC terakhir berhubungan dengan meminum jus apel yang tidak
dipasteurisasi yang dibuat dari apel terkontaminasi, setelah jatuh dan terkena kotoran

15
ternak. Vaksinasi cukup menjanjikan dalam mencegah diare infeksius, tetapi
efektivitas dan ketersediaan vaksin sangat terbatas. Pada saat ini, vaksin yang tersedia
adalah untuk V. colera, dan demam tipoid. Vaksin kolera parenteral kini tidak begitu
efektif dan tidak direkomendasikan untuk digunakan. Vaksin oral kolera terbaru lebih
efektif, dan durasi imunitasnya lebih panjang. Vaksin tipoid parenteral yang lama
hanya 70 % efektif dan sering memberikan efek samping. Vaksin parenteral terbaru
juga melindungi 70 %, tetapi hanya memerlukan 1 dosis dan memberikan efek
samping yang lebih sedikit. Vaksin tipoid oral telah tersedia, hanya diperlukan 1
kapsul setiap dua hari selama 4 kali dan memberikan efikasi yang mirip dengan dua
vaksin lainnya.
2.2 Resusitasi Cairan
2.2.2 Anatomi Cairan Tubuh
A. Total Body Water ( TBW )
Air merupakan komponen utama dalam tubuh yakni sekitar 60% dari berat
badan pada laki-laki dewasa. Persentase tersebut bervariasi bergantung beberapa
faktor diantaranya:
 TBW pada orang dewasa berkisar antara 45-75% dari berat badan. Kisaran ini
tergantung pada tiap individu yang memiliki jumlah jaringan adipose yang berbeda,
yang mana jaringan ini hanya mengandung sedikit air.
 TBW pada wanita lebih kecil dibanding dengan laki-laki dewasa pada umur yang
sama, karena struktur tubuh wanita dewasa yang umumnya lebih banyak
mengandung jaringan lemak.
 TBW pada neonatus lebih tinggi yaitu sekitar 70-80% berat badan.
 Untuk beberapa alasan, obesitas serta peningkatan usia akan menurunkan jumlah
kandungan total air tubuh.

TBW dibagi dalam 2 komponen utama yaitu cairan intraseluler (CIS) dan cairan

16
ekstra seluler (CES) seperti terlihat pada gambar :

Cairan intra seluler merupakan 40% dari TBW. Pada seorang laki- laki
dewasa dengan berat 70 kg berjumlah sekitar 27 liter. Sekitar 2 liter berada dalam sel
darah merah yang berada di dalam intravaskuler. Komposisi CIS dan kandungan
airnya bervariasi menurut fungsi jaringan yang ada. Misalnya, jaringan lemak
memiliki jumlah air yang lebih sedikit dibanding jaringan tubuh lainnya.
Komposisi dari CIS bervariasi menurut fungsi suatu sel. Namun terdapat
perbedaan umum antara CIS dan cairan interstitial. CIS mempunyai kadar Na+, Cl-
dan HCO3- yang lebih rendah dibanding CES dan mengandung lebih banyak ion K+
dan fosfat serta protein yang merupakan komponen utama intra seluler.
Komposisi CIS ini dipertahankan oleh membran plasma sel dalam keadaan
stabil namun tetap ada pertukaran. Transpor membran terjadi melalui mekanisme
pasif seperti osmosis dan difusi, yang mana tidak membutuhkan energi sebagaimana
transport aktif.
Sekitar sepertiga dari TBW merupakan cairan ekstraseluler (CES), yaitu
seluruh cairan di luar sel. Dua kompartemen terbesar dari mairan ekstrasluler adalah
cairan interstisiel, yang merupakan tiga perempat cairan ekstraseluler, dan plasma,
yaitu seperempat cairan ekstraseluler. Plasma adalah bagian darah nonselular dan
terus menerus berhubungan dengan cairan interstisiel melalui celah-celah membran
kapiler. Celah ini bersifat sangat permeabel terhadap hampir semua zat terlarut

17
dalam cairan ekstraseluler, kecuali protein. Karenanya, cairan ekstraseluler terus
bercampur, sehingga plasma dan interstisiel mempunyai komposisi yang sama
kecuali untuk protein, yang konsentrasinya lebih tinggi pada plasma.
Cairan transeluler merupakan cairan yang disekresikan dalam tubuh terpisah
dari plasma oleh lapisan epithelial serta peranannya tidak terlalu berarti dalam
keseimbangan cairan tubuh, akan tetapi pada beberapa keadaan dimana terjadi
pengeluaran jumlah cairan transeluler secara berlebihan maka akan tetap
mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh. Cairan yang termasuk
cairan transseluler yaitu :Cairan serebrospinal, cairan dalam kelenjar limfe, cairan
intra okular, cairan gastrointestinal dan empedu, cairan pleura, peritoneal, dan
perikardial.
Komponen cairan ekstraseluler terbagi menjadi seperti pada tabel berikut:

Berikut ini merupakan bagan perpindahan cairan Interstisiel dan plasma


menurut hukum Starling :

18
B. Komposisi Cairan Tubuh
Secara garis besar, komposisi cairan tubuh yang utama dalam plasma,
interstitial dan intraseluler ditunjukkan pada tabel berikut:(4)

C. Kebutuhan Air dan Elektrolit


Bayi dan anak:(7)
Pada bayi dan anak sesuai dengan perhitungan di bawah ini :

Kebutuhan kalium 2,5 mEq/kgBB/hari


Kebutuhan natrium 2-4 mEq/kgBB/hari
Orang dewasa: (2)
Pada orang dewasa kebutuhannya yaitu :
 Kebutuhan air sebanyak 30 -50 ml/kgBB/hari
 Kebutuhan kalium 1-2 mEq/kgBB/hari
 Kebutuhan natrium 2-3 mEq/kgBB/hari

D. Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Cairan

19
Yang menyebabkan adanya suatu peningkatan terhadap kebutuhan cairan
harian diantaranya :
o Demam (kebutuhan meningkat 12% setiap 1°C, jika suhu > 37°C )
o Hiperventilasi
o Suhu lingkungan yang tinggi
o Aktivitas yang ekstrim / berlebihan
o Setiap kehilangan yang abnormal seperti diare atau poliuria

Yang menyebabkan adanya penurunan terhadap kebutuhan cairan harian


diantaranya yaitu :
o Hipotermi (kebutuhannya menurun 12% setiap 1°C, jika suhu <37°C )
o Kelembapan lingkungan yang sangat tinggi
o Oliguria atau anuria
o Hampir tidak ada aktivitas
o Retensi cairan misal gagal jantung

E. Proses Pergerakan Cairan Tubuh


Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan
mekanisme transport pasif dan aktif. Mekanisme transport pasif tidak membutuhkan
energi sedangkan mekanisme transport aktif membutuhkan energi. Difusi dan
osmosis adalah mekanisme transport pasif. Sedangkan mekanisme transport aktif
berhubungan dengan pompa Na-K yang memerlukan ATP.
Proses pergerakan cairan tubuh antar kompartemen dapat berlangsung secara :
a. Osmosis
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran
semipermeabel (permeabel selektif dari larutan berkadar lebih rendah menuju larutan
berkadar lebih tinggi hingga kadarnya sama. Membran semipermeabel ialah
membran yang dapat dilalui air (pelarut), namun tidak dapat dilalui zat terlarut

20
misalnya protein.1,4 Tekanan osmotik plasma darah ialah 285 ± 5 mOsm/L. Larutan
dengan tekanan osmotik kira-kira sama disebut isotonik (NaCl 0,96%, Dekstrosa
5%, Ringer-laktat), lebih rendah disebut hipotonik (akuades) dan lebih tinggi disebut
hipertonik.1
b. Difusi
Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan
bergerak dari konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah. Tekanan
hidrostatik pembuluh darah juga mendorong air masuk berdifusi melewati pori-pori
tersebut. Jadi difusi tergantung kepada perbedaan konsentrasi dan tekanan
hidrostatik.
c. Pompa Natrium Kalium
Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transport yang memompa ion
natrium keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion kalium
dari luar ke dalam. Tujuan dari pompa natrium kalium adalah untuk mencegah
keadaan hiperosmolar di dalam sel. Air melintasi membran sel dengan mudah, tetapi
zat-zat lain sulit atau diperlukan proses khusus supaya dapat melintasinya, karena itu
komposisi elektrolit di dalam dan di luar sel berbeda. Cairan intraselular banyak
mengandung ion K, ion Mg dan ion fosfat, sedangkan ekstraselular banyak
mengandung ion Na dan ion Cl.
Tekanan osmotik suatu larutan dinyatakan dengan osmol atau
miliosmol/liter. Tekanan osmotik suatu larutan ditentukan oleh banyaknya partikel
yang larut dam suatu larutan. Dengan kata lain, makin banyak partikel yang larut
maka makin tinggi tekanan osmotik yang ditimbulkannya. Jadi, tekanan osmotik
ditentukan oleh banyaknya partikel yang larut bukan tergantung pada besar molekul
yang terlarut. Perbedaan komposisi ion antara cairan intraseluler dan ekstraseluler
dipertahankan oleh dinding yang bersifat semipermeabel.

21
Kandungan air dalam tiap organ tidak seragam seperti terlihat pada tabel 3.

F. Perubahan Cairan Tubuh


Gangguan cairan tubuh dapat dibagi dalam tiga bentuk yakni perubahan :
1. Volume,
2. Konsentrasi, dan
3. Komposisi.
Ketiga macam gangguan tersebut mempunyai hubungan yang erat satu
dengan yang lainnya sehingga dapat terjadi bersamaan. Namun demikian, dapat juga
terjadi secara terpisah atau sendiri yang dapat member gejala-gejala tersendiri pula.
Yang paling sering dijumpai dalam klinik adalah gangguan volume.
1. Perubahan Volume
 Defisit Volume
Pada keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan menimbulkan tanda
gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung. Pada kehilangan cairan yang
lambat, lebih dapat ditoleransi sampai defisit volume cairan ekstraseluler yang berat.
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari natrium
menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (terjadi ketika kehilangan
cairan dengan kandungan natrium lebih sedikit dari darah.3

22
Ditinjau dari segi banyaknya defisit cairan dan elektrolit yang hilang, maka
dehidrasi dapat dibagi atas :
a. Dehidrasi ringan (defisit 4%BB)
b) Dehidrasi sedang (defisit 8%BB)
c) Dehidrasi berat (defisit 12%BB)

Cara rehidrasi yaitu hitung cairan dan elektrolit total (rumatan + penggantian
defisit) untuk 24 jam pertama. Berikan separuhnya dalam 8 jam pertama dan
selebihnya dalam 16 jam berikutnya.

 Kelebihan Volume
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat
iatrogenic (pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan kelebihan
air dan NaCl ataupun pemberian cairan intravena glukosa yang menyebabkan
kelebihan air) ataupun dapat sekunder akibat insufisiensi renal (gangguan GFR),
sirosis, ataupun gagal jantung kongestif.

2. Perubahan Konsentrasi
Perubahan konsentrasi cairan tubuh dapat berupa hipernatremia atau
hiponatremia maupun hiperkalemia atau hipokalemia.

23
Rumus untuk menghitung defisit elektrolit :3,4
 Defisit natrium (mEq total) = (Na serum yang diinginkan – Na serum sekarang) x
0,6 x BB (kg)
 Defisit Kalium (mEq total) = (K serum yang diinginkan [mEq/liter] – K serum yang
diukur) x 0,25 x BB (kg)
 Defisit Klorida (mEq total) = (Cl serum yang diinginkan [mEq/liter] – Cl serum
yang diukur) x 0,45 x BB (kg)

3. Perubahan komposisi
Perubahan komposisi itu dapat terjadi tersendiri tanpa mempengaruhi
osmolaritas cairan ekstraseluler. Sebagai contoh misalnya kenaikan konsentrasi K
dalam darah dari 4 mEq menjadi 8 mEq, tidak akan mempengaruhi osmolaritas
cairan ekstraseluler tetapi sudah cukup mengganggu otot jantung. Demikian pula
halnya dengan gangguan ion kalsium, dimana pada keadaan hipokalsemia kadar Ca
kurang dari 8 mEq, sudah akan timbul kelainan klinik tetapi belum banyak
menimbulkan perubahan osmolaritas.

G. Gangguan Keseimbangan Air dan Elektrolit


Gangguan keseimbangan air dan elektrolit dapat terjadi karena:
 Gastroenteritis, demam tinggi (DHF, difteri, tifoid)
 Kasus pembedahan (appendektomi, splenektomi, section cesarea, histerektomi)
 Penyakit lain yang menyebabkan pemasukan dan pengeluaran tidak seimbang
(kehilangan cairan melalui muntah)

1. Dehidrasi
Dehidrasi merupakan keadaan dimana kurangnya terjadi kekurangan jumlah
cairan tubuh dari jumlah normal akibat kehilangan, aasupan yang tidak memadai
atau kombinasi keduanya. Menurut jenisnya dehidrasi dibagi atas ;

24
a. Dehidrasi hipotonik
b. Dehidrasi hipertonik
c. Dehidrasi isotonic
Sedangkan menurut derajat beratnya dehidrasi yang didasarkan pada tanda
interstitial dan tanda intravaskuler yaitu ;
 Dehidrasi ringan (defisit 4% dari BB)
 Dehidrasi sedang (defisit 8% dari BB)
 Dehidrasi berat (defisit 12% dari BB)
 Syok (defisit dari 12% dari BB)
Defisit cairan interstitial dengan gejala sebagai berikut :
 Turgor kulit yang jelek
 Mata cekung
 Ubun-ubun cekung
 Mukosa bibir dan kornea kering
Defisit cairan intravaskuler dengan gejala sebagai berikut :
 Hipotensi, takikardi
 Vena-vena kolaps
 Capillary refill time memanjang
 Oliguri
 Syok ( renjatan)
Dehidrasi hipotonik ( hiponatremik )
 Pada anak yang diare yang banyak minum air atau cairan hipotonik atau diberi infus
glukosa 5%
 Kadar natrium rendah ( < 275 mOsm/L
 Letargi, kadang- kadang kejang
Dehidrasi hipertonik
 Biasa terjadi setelah intake cairan hipertonik ( natrium, laktosa ) selama diare
 Kehilangan air >> kehilangan natrium

25
 Konsentrasi natrium > 150 mmol/ L
 Osmolaritas serum meningkat > 295 mOsm/L
 Haus, irritable
 Bila natrium serum mencapai 165 mmol/L dapat terjadi kejang

H. Terapi Cairan
Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar yaitu ;

26
 Resusitasi cairan Ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh,
sehingga seringkali dapat menyebabkan syok. Terapi ini ditujukan pula untuk
ekspansi cepat dari cairan intravaskuler dan memperbaiki perfusi jaringan.
 Terapi rumatan Bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tubuh dan
nutrisi yang diperlukan oleh tubuh.
Hal ini digambarkan dalam diagram berikut :

Prinsip pemilihan cairan dimaksudkan untuk :


 Mengganti kehilangan air dan elektrolit yang normal melaui urine, IWL, dan feses
 Membuat agar hemodinamik agar tetap dalam keadaan stabil

Pada penggantian cairan, maka jenis cairan yang digunakan didasarkan pada :
 Cairan pemeliharaan ( jumlah cairan yang dibutuhkan selama 24 jam )
 Cairan defisit ( jumlah kekurangan cairan yang terjadi )
 Cairan pengganti ( replacement )
- Sekuestrasi ( cairan third space )
- Pengganti darah yang hilang
- Pengganti cairan yang hilang melalui fistel, maag slang dan drainase

27
Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang dapat dilakukan penghitungan
untuk menghitung berapa besarnya cairan yang hilang tersebut :

Sementara kehilangan darah dapat diperkirakan besarnya melalui beberapa


kriteria klinis seperti pada tabel di bawah ini :

I. Pemilihan Cairan
Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid
merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan inorganik dilarutkan dalam air.
Larutan ini ada yang bersifat isotonik, hipotonik, maupun hipertonik. Cairan
kristaloid memiliki keuntungan antara lain : aman, nontoksik, bebas reaksi, dan

28
murah. Adapun kerugian dari cairan kristaloid yang hipotonik dan isotonik adalah
kemampuannya terbatas untuk tetap berada dalam ruang intravaskular.
a. Kristaloid
Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal saline dan
ringer laktat. Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan ekstraselular.
Karena perbedaan sifat antara kristaloid dan koloid, dimana kristaloid akan lebih
banyak menyebar ke ruang interstitial dibandingkan dengan koloid maka kristaloid
sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang intersisial.
Penggunaan cairan normal salin dalam jumlah yang besar dapat
menyebabkan timbulnya asidosis hiperkloremik, sedangkan penggunaan cairan
ringer laktat dengan jumlah besar dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang
disebabkan adanya peningkatan produksi bikarbonat akibat metabolisme laktat.
Larutan dekstrose 5% sering digunakan jika pasien memiliki gula darah yang rendah
atau memiliki kadar natrium yang tinggi. Namun penggunaannya untuk resusitasi
dihindarkan karena komplikasi yang diakibatkan antara lain hiperomolalitas
hiperglikemik, diuresis osmotik, dan asidosis serebral.
b. Koloid
Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa
disebut “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang
mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan
ini cenderung bertahan agak lama dalam ruang intravaskuler. Koloid dapat
mengembalikan volume plasma secara lebih efektif dan efisien daripada kristaloid,
karena larutan koloid mengekspansikan volume vaskuler dengan lebih sedikit cairan
dari pada larutan kristaloid.
Sedangkan larutan kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan hanya 1/4
bagian tetap tinggal dalam plasma pada akhir infus. Koloid adalah cairan yang
mengandung partikel onkotik dan karenanya menghasilkan tekanan onkotik. Bila
diberikan intravena, sebagian besar akan menetap dalam ruang intravaskular.
Meskipun semua larutan koloid akan mengekspansikan ruang intravaskular, namun

29
koloid yang mempunyai tekanan onkotik lebih besar daripada plasma akan menarik
pula cairan ke dalam ruang intravaskular. Ini dikenal sebagai ekspander plasma,
sebab mengekspansikan volume plasma lebih dari pada volume yang diberikan.
Albumin Albumin merupakan larutan koloid murni yang berasal dari plasma
manusia.
Albumin dibuat dengan pasteurisasi pada suhu 60°C dalam 10 jam untuk
meminimalisir resiko transmisi virus hepatitis B atau C atau pun virus
imunodefisiensi. Waktu paruh albumin dalam plasma adalah sekitar 16 jam, dengan
sekitar 90% tetap bertahan dalam intravascular 2 jam setelah pemberian.
Dekstran merupakan semisintetik koloid yang secara komersial dibuat dari
sukrose oleh mesenteroides leukonostok strain B 512 dengan menggunakan enzim
dekstran sukrose. Ini menghasilkan dekstran BM tinggi yang kemudian dilengketkan
oleh hidrolisis asam dan dipisahkan dengan fraksionasi etanol berulang untuk
menghasilkan produk akhir dengan kisaran BM yang relatif sempit. Dekstran untuk
pemakaian klinis tersedia dalam dekstran 70 (BM 70.000) dan dekstran 40 (BM
40.000) dicampur dengan garam faal, dekstrosa atau Ringer laktat. Dekstran 70 6 %
digunakan pada syok hipovolemik dan untuk profilaksis tromboembolisme dan
mempunyai waktu paruh intravaskular sekitar 6 jam.
Pemakaian dekstran untuk mengganti volume darah atau plasma hendaknya
dibatasi sampai 1 liter (1,5 gr/kgBB) karena risiko terjadi perdarahan abnormal.
Batas dosis dekstran yaitu 20 ml/kgBB/hari. Sekitar 70% dosis dekstran 40 yang
diberikan akan dieksresikan ke dalam urine dalam 24 jam. Molekul- molekul yang
lebih besar dieksresikan lewat usus atau dimakan oleh sel-sel sistem
retikoloendotelial. Volume dekstran melebihi 1 L dapat mengganggu hemostasis.
Disfungsi trombosit dan penurunan fibrinogen dan faktor VIII merupakan alasan
timbulnya perdarahan yang meningkat. Reaksi alergi terhadap dekstran telah
dilaporkan, tetapi kekerapan reaksi anafilaktoid mungkin kurang dari 0,02 %.
Dekstran 40 hendaknya jangan dipakai pada syok hipovolemik karena dapat
menyumbat tubulus ginjal dan mengakibatkan gagal ginjal akut.

30
c. Gelatin
Gelatin dibuat dengan jalan hidrolisis kolagen sapi. Preparat yang umum
dipasaran adalah gelatin yang mengalami suksinasi seperti Gelofusin dengan pelarut
NaCL isotonik. Gelatin dengan ikatan urea-poligelin ( Haemaccel ) dengan pelarut
NaCL isotonik dengan Kalium 5,1 mmol/l dan Ca 6,25 mmol/ L.
Pemberian gelatin agaknya lebih sering menimbulkan reaksi alergik daripada
koloid yang lain. Berkisar dari kemerahan kulit dan pireksia sampai anafilaksis yang
mengancam nyawa. Reaksi-reaksi tersebut berkaitan dengan pelepasan histamine
yang mungkin sebagai akibat efek langsung gelatin pada sel mast.
Gelatin tidak menarik air dari ruang ekstravaskular sehingga bukan termasuk
ekspander plasma seperti dekstran. Larutan gelatin terutama diekskresikan lewat
ginjal dalam urin, sementara itu gelatin dapat menghasilkan diuresis yang bagus.
Sebagian kecil dieliminasikan lewat usus. Karena gelatin tidak berpengaruh pada
sistem koagulasi, maka tidak ada pembatasan dosis. Namun, bila terlalu banyak
infus, pertimbangkan adanya efek dilusi. Gelatin dapat diberikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal bahkan pada pasien yang menjalani hemodialisis. Indikasi
gelatin : Penggantian volume primer pada hipovolemia, stabilisasi sirkulasi
perioperatif. Sedangkan kontraindikasi adalah infark miokard yang masih baru
terjadi, gagal jantung kongestif dan syok normovolemik.
d. Hydroxylethyl Starch (HES)
Senyawa kanji hidroksietil (HES) merupakan suatu kelompok koloid sintetik
polidisperse yang mempunyai glikogen secara struktural. Kurang dapat diterima
kanji hidroksi (HES) untuk pengantian volume paling mungkin akibat laporan-
laporan adanya koagulasi abnormal yang menyertai subtitusi plasma ini. Laporan
laporan tentang HES yang memperlihatkan koagulasi darah yang terganggu dan
kecenderungan perdarahan yang meningkat sebagian besar berdasarkan pemakaian
preparat HES berat molekul tinggi (HMW-HES). Waktu paruh dari 90% partikel
HES adalah 17 hari.

31
Seperti semua koloid lainnya, kanji hidroksietil juga berkaitan dengan reaksi
anafilaktoid yang ringan dengan kekerapan kira-kira 0,006 %. Indikasi pemberian
HES adalah: Terapi dan profilaksis defisiensi volume (hipovolemia) dan syok (terapi
penggantian volume) berkaitan dengan pembedahan (syok hemoragik), cedera (syok
traumatik), infeksi (syok septik), kombustio (syok kombustio). Sedangkan kontra
indikasi adalah : Gagal jantung kongestif berat, Gagal ginjal (kreatinin serum >2
mg/dL dan >177 mikromol/L).Gangguan koagulasi berat (kecuali kedaruratan yang
mengancam nyawa). Dosis penggunaan HES adalah 20 ml/kgBB/hari.

J. Kontroversi kristaloid vs koloid


Pertanyaan apakah kristaloid atau koloid yang terbaik untuk resusitasi terus
merupakan bahan diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah dikaji unruk resusitasi,
antara lain: NaCl 0,9%, Larutan Ringer laktat, NaCl hipertonik, albumin, fraksi
protein murni, plasma beku segar, hetastarch, pentastarch, dan dekstran. Bila
problema sirkulasi utama pada syok adalah hipovolemia, maka terapi hendaknya
ditujukan untuk restorasi volume darah dengan cairan resusitasi ideal. Cairan ideal
adalah yang dapat membawa O2. Larutan koloid yang ada terbatas karena
ketidakmampuan membawa O2. Darah lengkap marupakan ekspander volume
fisiologis dan komplit, namun terbatas masa simpan yang tidak lama, fluktuasi
dalam penyimpanannya, risiko kontaminasi viral, reaksi alergi dan mahal. Biarpun
larutan koloid tidak dapat membawa O2, namun sangat bermanfaat karena mudah
tersedia dan risiko infeksi relatif rendah. resusitasi hemodinamik lebih cepat
dilaksanakan dengan koloid karena larutan koloid mengekspansikan volume
vaskular dengan lebih sedikit cairan dari pada larutan kristaloid. Sedangkan larutan
kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan hanya ¼ bagian tetap tinggal dalam
plasma pada akhir infus. Larutan kristaloid juga mengencerkan protein plasma
sehingga TOK menurun, yang memungkinkan filtrasi cairan ke interstisiel.
Resusitasi cairan kristaloid dapat pula berakibat pemberian garam dan air yang
berlebihan dengan konsekuensi edema interstitial. Pada kasus perdarahan yang

32
cukup banyak, tetapi yang tidak memerlukan transfusi, dapat dipakai koloid dengan
waktu paruh yang lama misalnya : Haes steril 6 %.
Bila pasien memerlukan transfusi, selama menunggu darah, kita dapat
memberi koloid dengan BM sekitar 40.000 misalnya : Expafusin, Plasmafusin,
Haemaccel, Gelafundin atau Dextran L. Dengan begitu, manakala darah siap untuk
ditransfusikan sekitar 2 -3 jam kemudian, kita dapat melakukannya langsung, tanpa
khawatir terjadi kelebihan cairan dalam ruang intravaskular.

Berikut ini tabel yang menunjukkan pilihan cairan pengganti untuk suatu
kehilangan cairan yaitu ;

33
34
BAB III
LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki usia 40 tahun diare mulai pagi dan muntah sangat banyak,
pasien sangat lemas sekali, gelisah, akral dingin.
Vital sign :
TD : 70/40 mmHg
HR : 150 x/menit
RR : 40 X/menit
Temperature : 37 C
SaO2 : 92 – 93 %
Urin : (-) tidak ada
Pasien datang ke IGD didaerah dan anda berdua sedang bertugas di RS
tersebut bagaimana mengatasi pasien tersebut ?

Jawab :
- Tentukan Derajat Dehidrasi

Kriteria Pierce

35
- Derajat Dehidrasi Berat (10%)
Rumus : 10 % x BB
10 % x 60 kg = 6 L
= 6000 cc
Kebutuhan Cairan :
• Holliday Segar
4 x 10 kg BB pertama = 40
2 x 10 kg BB kedua = 20
1 x Sisa BB = 40
Total = 100 cc  MAINTENANCE
Resusitasi Cairan :
• Rehidrasi Cepat
Rumus : (20-30 cc) x BB
= (20-30 cc) x 60 kg
= 1200- 1800 cc
= 1500 cc
• Rehidrasi Lambat
* Derajat Dehidrasi  6000 cc dibagi dalam 8 jam pertama dan 16
jam berikutnya
* 8 Jam  3000 cc – Rehidrasi cepat
3000 cc – 1500 cc = 1500 cc
Rumus : 8 jam (maintenance) + kebutuhan cairan dalam 8 jam
= 8 (100) + 1500
= 2300 cc  95 gtt/i
* 16 jam  3000 cc
Rumus : 16 jam (maintenance) + kebutuhan cairan dalam 16 jam

36
= 16 (100) + 1500
= 4600 cc  95 gtt/i
– Pantau Vital Sign
– Pasang Kateter
– Pantau UOP (0,5-1 cc/kgBB per Jam)  240 cc/8 jam dan 480 cc/16jam
– Therapy :
CAIRAN HR RR TD URINE Keterangan

Kristaloid (RL) 150x/i 40x/i 70/40 - -


1000cc/15menit mmHg
Kristaloid (RL) 140x/i 35x/i 80/50 - Gelisah
1000cc/15menit mmHg berkurang,akral
mulai hangat
Kristaloid (RL) 130x/i 30x/i 90/60 10cc Total cairan
1000cc/15menit mmHg yang sudah
diberi 3000 cc
Kristaloid (RL) 120x/i 25x/i 100/70 20 cc
1000 mmHg
cc/15menit
Kristaloid Sisa cairan
2000 cc untuk
maintenance
cairan

b) IVFD RL
c) Injeksi Metronidazol 250-500 mg/8jam
d) Injeksi Ondansentron 4 mg/8jam
e) Loperamide tab 4 mg
- Edukasi
– Menjaga higiene pribadi yang baik
– Sering mencuci tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya selama
mengolah makanan.

37
– Kotoran manusia harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan
ternak harus terjaga dari kotoran manusia. Karena makanan dan air
merupakan penularan yang utama, ini harus diberikan perhatian khusus.
– Air minum yang digunakan untuk membersihkan makanan, atau air yang
digunakan untuk memasak harus disaring dan diklorinasi.
– Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang
bersih (air rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, A. Kompartemen Cairan Tubuh: Cairan Ekstraseluler dan Intraseluler.


Dalam: Buku ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta: EGC; 1997. hal 375-7.
2. Latief, AS, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi : Terapi Cairan Pada
Pembedahan. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUI. 2002.
3. Pinnock, Colin, et al. Fundamentals of Anaaesthesia. GMM. 1999.
4. Graber, MA. Terapi Cairan, Elektrolit, dan Metabolik. Edisi 2. Jakarta: Farmedia.
2003.
5. Aitkenhead, Alan R, et al. Textbook of Anaethesia. Fifth Edition. United
Kingdom : Churchill Livingstone. 2007.
6. Stoelting, Robert K, and Ronald D. miller. Basics of Anesthesia. Fifth edition.
California : Churchill Livingstone. 2007.
7. Evers, AS, and Mervyn Maze. Anesthetic Pharmacology: Physiologic Principles
and Clinical Practice. United Kingdom : Churchill Livingstone. 2004.
8. Morgan, GE, et al. Clinical Aneshesiology : Fluid Management and Transfusion.
Third Edition. New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill. 2002.
9. Lyon Lee. Resuscitation Fluids, Disorder of Fluid and Electrolyte Balance.
Oklahoma State University – Center for Veterinary Health. 2006. Tersedia dari ;
http://member.tripod.com/-lyser/ivfs.htm
10. Anonim. Resusitasi Cairan dan Elektrolit. Dalam Buku Pegangan Pelatihan
Bantuan hidup Dasar dan Bantuan Hidup Lanjut bagi Dokter Umum se-Propinsi
Sulawesi Selatan. Makassar: Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia
Cabang Sulawesi Selatan; 2000. hal 62-72.
11. Anonym. Electrolyte Disorders. Available from: URL:
http://www.nejm.article.php. Accessed Desember 14, 2005.
12. Anonym. Fluid and Electrolyte Therapy in Children. Available from: URL:
http://www.bmj.com/merckcourse.htm. Accessed Desember 14, 2005. 13. Anonym.

39
Fluid and Electrolyte Therapy. Available from: URL:
http://www.cvm.okstate.edu/courses.vmed5412. Accessed Desember 14, 2005.
14. Anonim. Kebutuhan Harian Air dan Elektrolit, gangguan Keseimbangan Air dan
Elektrolit, dan Terapi Cairan. Dalam: Pedoman Cairan Infus edisi revisi VIII.
Jakarta: PT. Otsuka Indonesia; 2003. hal. 16-33.
15. Ciesla WP, Guerrant RL. Infectious Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL, Henry
NK, et al editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease. New York:
Lange Medical Books, 2003. 225 - 68.
16. Guerrant RL, Gilder TV, Steiner TS, et al. Practice Guidelines for the
Management of Infectious Diarrhea. Clinical Infectious Diseases 2001;32:331-51.
17. Lung E, Acute Diarrheal Disease. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH,
editors. Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. 2nd edition. New
York: Lange Medical Books, 2003. 131 - 50.
18. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Mentri Kesehatan Republik Indonesia.
Available from : http://www.depkes.go.id/downloads/SK1216-01.pdf
19. Manatsathit S, Dupont HL, Farthing MJG, et al. Guideline for the Management
of acute diarrhea in adults. Journal of Gastroenterology and Hepatology 2002;17:
S54-S71.
20. Jones ACC, Farthing MJG. Management of infectious diarrhoea. Gut 2004;
53:296-305. 21. Tjaniadi P, Lesmana M, Subekti D, et al. Antimicrobial Resistance
of Bacterial Pathogens Associated with Diarrheal Patiens in Indonesia. Am J Trop
Med Hyg 2003; 68(6): 666-10. 22. Hendarwanto. Diare akut Karena Infeksi, Dalam:
Waspadji S, Rachman AM, Lesmana LA, dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I.

40

Anda mungkin juga menyukai