Anda di halaman 1dari 5

Pemeliharaan Allah dan Masalah Kejahatan

indoprogress.com/2018/11/pemeliharaan-allah-dan-masalah-kejahatan/

Harian IndoPROGRESS November 17, 2018

Kredit ilustrasi: News

PERNAHKAH Anda bertanya, di mana penyertaan Tuhan saat penderitaan terjadi? Masih
cukup jelas ingatan saya ketika pertama kali melakukan wawancara pengalaman
kekerasan kepada anak di sebuah lembaga/panti. Saya menemukan banyak anak di sana
yang mengalami berbagai macam kekerasan. Walau sudah setahun bekerja dibidang
perlindungan anak, ternyata tidak cukup memperlengkapi saya untuk bertemu mata dengan
korban kekerasan.

Sayangnya, pertolongan segera bagi anak-anak itu pun tidak dapat dilakukan
karena beberapa pertimbangan. Pertama, anak yang mengalami kekerasan menolak untuk
dihubungkan dengan layanan rujukan; sedangkan kami tidak dapat melakukan rujukan
tanpa persetujuan anak. Kedua, tidak tersedia rumah aman sebagai alternatif tempat
tinggal, sehingga risiko kekerasan justru lebih besar jika layanan tidak responsif.
Ketiga, minimnya layanan perlindungan anak di sekitar lokasi yang bisa membantu. Faktor-
faktor ini membuat saya dan tim peneliti tidak dapat menolong anak-anak tersebut.

Saya tidak siap. Saya rapuh di hadapan mereka. Saya merasa tidak berdaya. Saya kecewa
karena sepertinya pengetahuan yang saya miliki justru tidak berguna di saat terdesak. Saya
bahkan marah pada Tuhan. Bagaimana mungkin Allah, yang penuh kasih, seolah lepas
tangan membiarkan anak-anak tidak bersalah mengalami kekerasan setiap hari? Bahkan
secara ironis, korban adalah bagian dari gereja. Bukankah Alkitab mengajarkan bahwa
Kerajaan Allah dijanjikan bagi mereka yang menyambut-Nya seperti seorang anak kecil
1/5
(Mark. 10:15)? Lantas, bagaimana saya harus bersikap sebagai seorang Kristen ketika
pandangan Kristen yang populer hari-hari ini mengajarkan bahwa kesalehan individu adalah
kunci mendapatkan berkat dan perlindungan dari Allah? Masihkah masuk akal untuk
mengharapkan penyertaan Allah ketika kita hidup di dunia yang carut-marut?

Dunia yang Kejam dan Ketetapan Allah

Manusia memang hidup di dunia yang kejam. Alam liar dan bangsal-bangsal rumah sakit
menjeritkan tentang rapuhnya hidup. Bahkan Alkitab mengisahkan Ayub, seorang
pengusaha kaya nan saleh. Hanya dalam waktu sekejap, ia kehilangan harta dan
anaknya. Ia pun ditinggal istri dan menderita penyakit kulit. Tidak cukup sampai di situ,
Ayub juga difitnah teman-temannya. Mereka mengira ia terkena hukuman Allah akibat
dosanya.

Apakah Ayub sedang terkena azab karena menjadi pengusaha yang rakus dan melanggar
perintah Allah? Tentu tidak! Pada Ayub 1:8, Allah secara eksplisit berkata. “…tiada seorang
pun di bumi seperti dia (Ayub), yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan
menjauhi kejahatan.” Lantas jika Ayub tidak bersalah, mengapa Allah tetap menimpakan
penderitaan kepadanya? Apakah Allah merupakan sosok pasif-agresif yang sengaja
mereka-reka kejahatan agar manusia bersujud-sujud di hadapan-Nya memohon belas
kasihan?

Alkitab mengatakan bahwa Allah memiliki ketetapan (Yes. 46:9-10; Ef 1:11; Rm 9:15, 16,
18). Tidak satu pun peristiwa yang terjadi di dunia tanpa seizin-Nya (Kis 2:23). Dengan kata
lain, masa depan telah Ia tetapkan tanpa ada ruang kontingensi. Bahkan, prinsip ini juga
berlaku dalam peristiwa terkelam sekalipun, seperti, perang atau genosida. Allah
mengizinkan umat-Nya berbuat dosa dan mengalami godaan dalam rangka pengajaran
(Kis 12:7-9). Namun Ia juga membatasi dosa agar tidak keluar dari rencana yang telah
ditetapkan (2 Raja 19:28, Kej 50:20). Kekristenan mengimani hal ini sebagai pemeliharaan
Allah atau providentia. Kata providentiaberasal dari Bahasa Latin yang artinya menerawang.

Konsep ini sangat berbeda dengan keyakinan Deisme yang populer pada abad ke-17 hingga
ke-18[1]. Deisme memandang Allah sebagai pencipta yang menarik diri dari dunia pasca
penciptaan. Allah membiarkan alam semesta diatur oleh hukum alam yang berjalan secara
otonom. Pada ekstrem yang berlawanan, terdapat doktrin Panteisme yang memandang
bahwa Allah adalah alam semesta. Tidak ada perbedaan antara Sang Pencipta dengan
ciptaan, Allah adalah sepenuhnya imanen. Namun Alkitab mengajarkan bahwa Allah adalah
Sang Pencipta yang transenden (Yes 55:8-9; 1 Raja 8:27; Kis 17:24) sekaligus imanen
(Ayub 33:4; Kis 17:27). Allah melampaui segala ciptaan. Namun, Ia juga berada bersama-
sama ciptaan-Nya di sepanjang rantai sejarah. Bahkan, Ia mewujud menjadi daging
(inkarnasi) di dalam Yesus Kristus.

Pemeliharaan Allah

Sepanjang sejarah, para teolog Kristen meyakini bahwa Allah memelihara dan memerintah
bumi. Namun mereka memiliki pandangan yang berbeda saat berbicara mengenai kendali
Alllah atas bumi. Dalam sejarah pemikiran Kristen, beberapa doktrin (Jesuit, Socinian, dan
Arminian) meyakini bahwa manusia memiliki kehendak sepenuhnya untuk menentukan
ujung dari tindakan yang diambil. Allah hanya memberi stimulus agar tindakan manusia
2/5
sejalan dengan kehendak-Nya. Namun jika demikian, artinya Allah memberi manusia kuasa
untuk mengontrol melampaui kuasa Allah. Konsekuensinya, itu sama saja dengan tidak ada
pemeliharaan Allah.[2]

Di sisi lain, doktrin yang dikembangkan oleh Augustine dari Hippo dan John Calvin meyakini
bahwa pemeliharaan Allah tidak bekerja secara general atau imparsial tanpa secara
langsung memengaruhi tindakan ciptaan-Nya. Allah bekerja baik dalam hidup individu
maupun sejarah. Akibatnya, tidak ada kebetulan. Pasalnya, segala hal terjadi dengan seizin
dan sepengetahuan Allah. Lebih jauh, Calvin juga menyatakan bahwa Allah mengendalikan
alam dan sejarah hingga detail terkecil.[3] Contohnya bisa kita lihat di alam. Eksistensi
alam dan hukum-hukumnya tidak diciptakan oleh alam dan berjalan atas kehendaknya
sendiri. Semua itu diselenggarakan oleh Allah. Layaknya alokasi dalam sistem ekonomi,
Allah mengendalikan produksi di alam dengan mengalokasikan kesuburan pada tanah,
hewan, atau rahim perempuan, yang disebut oleh teolog Roland Boer sebagai teo-
ekonomi.[4] Tanpa penyelenggaraan Allah, bumi mati.

Dalam teologi tradisional, doktrin pemeliharaan Allah memiliki tiga elemen, yaitu
pemeliharaan (conservatio), kooperasi (concursus), dan pemerintahan (gubernatio).
Allah memelihara dan menyokong kelangsungan hidup ciptaan-Nya sebagai bentuk
kesetiaan terhadap tujuan penciptaan. Tidak ada satu pun ciptaan yang dapat bertindak di
luar kehendak Allah. Bersama dengan ciptaan-Nya, Allah juga berkooperasi sesuai dengan
hukum-hukum yang telah Ia tetapkan. Kooperasi bukan berarti Allah mengendalikan tindak-
tanduk manusia layaknya dalang memainkan wayang, namun memberikan ruang untuk
kehendak bebas. Bukan juga berarti Allah berbagi tugas dengan manusia, namun keduanya
bekerja secara simultan dengan kehendak Allah sebagai prioritas. Sebagai penguasa alam
semesta, Allah juga memerintahuntuk mengarahkan semua ciptaan pada tujuan akhirnya.
Pemerintahan Allah tidak dapat dipahami secara harfiah. Misalnya, sebagai tangan yang
menggerakkan makhluk ke sana dan ke mari. Namun, secara agung Ia bekerja melalui
hukum-hukum di alam semesta, bahkan dapat secara langsung memengaruhi pikiran,
kehendak, dan hati manusia[5], [6].

Di dunia modern, teologi tradisional mengenai pemeliharaan Allah juga tidak diterima
sebagai kesimpulan final. Pandangan tradisional dianggap kurang memuaskan dalam
menjawab perdebatan mengenai pemeliharaan Allah dan adanya kejahatan yang terkesan
kontradiktif. Sebagai respons, beberapa teolog mencoba mengembangkan teori teodisi[7].
Salah satu teori yang berkembang dan berpengaruh hingga saat ini adalah teodisi proses
yang dipopulerkan oleh teolog modern, seperti John Cobb, David Griffin, dan Marjorie
Suchocki.

Teodisi proses meyakini bahwa kekuasaan Allah terbatas dan hanya bersifat persuasif dan
tidak mengikat. Karena ada hal-hal yang dapat terjadi di luar kuasa Allah, maka Ia tidak
dapat disalahkan atas tragedi yang terjadi di alam semesta. Allah selalu memiliki niatan
yang baik, namun makhluk ciptaan-Nya memiliki kebebasan yang berpotensi
mendatangkan kejahatan. Meskipun populer, namun sayangnya teori ini jauh dari teks
Alkitab[8].

3/5
Para teolog reformed Kristen juga nampaknya belum mencapai jawaban final untuk
menjawab relasi antara Allah dan kejahatan di dunia. Namun, alih-alih menghabiskan
energi dalam perdebatan yang tidak kunjung usai, saya justru tertarik dengan tawaran
James Cone. Menurut Cone, meski tanggungjawab Allah terhadap kejahatan masih
menjadi misteri, Alkitab juga menunjukkan upaya Allah melawan kejahatan. Dalam tradisi
iman Kristen, salib Kristus adalah panggilan untuk memperjuangkan kemenangan atas
penderitaan. Salib adalah bukti Allah yang turut rentan dan menderita bersama manusia.[9]

Lebih jauh, ketritunggalan Allah adalah wujud pemeliharaan atas dunia. Allah adalah Sang
Bapa yang berduka atas dosa manusia, Sang Anak yang rentan dan menderita, serta Roh
Kudus yang memberi kelegaan dan pengharapan. Allah bukanlah pencipta yang jauh,
namun yang ada bersama dengan kita.[10]

Agen Pemeliharaan Allah

Berangkat dari pemahaman tersebut, segala hal yang terjadi di alam semesta, baik maupun
jahat terjadi dalam kerangka perencanaan Allah. Sehingga secara teologis, tidak ada hal
yang mutlak baik atau jahat, karena setiap peristiwa dalam sejarah terjadi seizin Allah dan
merupakan bagian dari tujuan akhir yang telah ditetapkan. Namun Allah yang sama juga
turut ada bersama ciptaan-Nya dalam menghadapi penderitaan.

Dalam kerangka berpikirkooperasi,manusia sebagai makhluk rasional diberi Allah peran


untuk bersama-sama mengerjakan karya pemeliharaan atas ciptaan (Kej 1: 28; Kej 45:5; Kel
4:11-12; 1 Kor 12:6; Ef 1:11; Fil 2:13). Allah tritunggal turut aktif bergerak bersama manusia.
Maka, pemeliharaan Allah bukanlah dalih fatalisme untuk berpasrah karena semua telah
ditetapkan. Justru sebaliknya, pemeliharaan Allah menuntut manusia menjadi agen Allah di
bumi.

Di dalam keterbatasan dan ketidakberdayaan individu, Allah memanggil gereja untuk saling
menguatkan (Gal 6:2). Di tengah keputusasaan, gereja harusnya menjadi motor yang
mengubah galau kolektif menjadi semangat progresif. Permasalahan struktural seperti
yang saya contohkan di atas tidak dapat diselesaikan melalui kegiatan amal. Jika gereja
hanya memandang kekerasan terhadap anak sebagai dampak salah asuh orang tua dan
kurangnya kesadaran[11], maka gereja telah gagal memahami ketimpangan ekonomi dan
sosial. Gereja seharusnya berpihak, sama halnya dengan Allah yang berpihak pada kaum
miskin dan lemah (Maz. 82:1-4, Ams. 14:31; Yes. 58:6-7; Yak 2:5-9). Gereja harus berani
menyuarakan permasalahan yang terjadi di masyarakat.

Lantas bagaimana gereja hari-hari ini merespons panggilan Allah? Sudahkah gereja
menjadi agen pemeliharaan Allah atas dunia, ataukah gereja justru menjadi agen real estate
bermodal iming-iming janji rumah masa depan?***

Windy Mulia Liem, anggota tim kebaktian dan pembinaan Gereja Komunitas Anugerah
Reformed Baptist Salemba.

Kepustakaan:
Daniel, L. Migliore, 2004. Faith Seeking Understanding: An Introduction to Christian
Theology, Wm. B. Eerdmans Publishing Co.

4/5
James H. Cone, 1997. God of the Oppressed, Orbis Books; Rev Sub edition.

Louis Berkhof, 2017. Systematic Theology, GLH Publishing.

Roland Boer, 2011. Criticism of Religion: : On Marxism and Theology, II, Haymarket Books.

————
[1] Berkhof, Systematic Theology,hlm. 181.
[2] Ibid.,hlm. 188.
[3] Migliore, Faith Seeking Understanding,hlm. 122.
[4] Roland Boer, Criticism of Religion,hlm. 135.
[5] Migliore, op. cit.,hlm. 6-7.
[6] Berkhof, op. cit.,hlm. 185-92.
[7] Teodisi merupakan teori yang menyelaraskan kebaikan dan kekuasaan Allah dengan
adanya kejahatan.
[8] Migliore, op. cit.,hlm. 130.
[9] Cone, God of the Oppressed, p183.
[10] Migliore, op. cit.,hlm. 132-133.
[11] https://pgi.or.id/himbauan-pgi-bersama-lembaga-pelayanan-anak-tegakkan-
perlindungan-anak/, diakses 16 November 2018.

5/5

Anda mungkin juga menyukai