Anda di halaman 1dari 15

Topik : Status Epileptikus

Tanggal (Kasus): 20 April 2016 Presentan : dr. Wirdah


Pendamping : 1. dr. Tajul Keumalahayati
2. dr. Leni Afriani
Obyektif Presentasi
 Keilmuan Keterampilan Penyelenggaraan Tinjauan Pustaka
 Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak  Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi :
Tujuan : Cara menegakkan diagnosis dan pengobatan awal yang tepat bagi pasien status
epileptikus
Bahan bahasan Tinjauan Pustaka Riset  Kasus Audit
Cara bahasan  Diskusi Presentasi dan Diskusi Email Pos
Data Pasien: Nama : An.RH, Lk, 13 thn No.Reg : 501766
Nama : RSUD Kota Langsa Telp : - Terdaftar Sejak 20 April 2016
Data Utama Untuk Bahan Diskusi
1. Diagnosis/ Gambaran Klinis: Status Epileptikus / Kejang berulang, tidak sadar,
2. Riwayat Pengobatan : Depaken
3. Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien sudah sering mengalami kejang sejak berumur 7 tahun atau
6 tahun yang lalu
4. Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang merasakan keluhan yang sama
5. Riwayat Kebiasaan Sosial : Disangkal.
6. Pemeriksaan Fisik
I. Status Present
A. Kondisi Umum : Lemah, sakit berat
B. Status Vital : Kesadaran : Stupor, GCS E2M4V2 = 8
TD : 120/70 mmHg
HR : 102 x/menit, regular
Pernapasan : 28 x/menit, kualitas cukup
Suhu : 38 0C, suhu aksila
II. Status General
Kepala : Deformitas (-)
Mata : Conjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Sekret (-), perdarahan (-), tanda peradangan (-)
Hidung : Sekret (-), perdarahan (-)
Mulut :
 Bibir : Sianosis (-)
 Lidah : Beslag (-)
Leher : Kelenjar tiroid tidak teraba, KGB tidak teraba
Toraks
Paru Anterior :
 Inspeksi : Simetris, retraksi interkostal (-)
 Palpasi : Pergerakan dinding dada simetris, stem fremitus (N)
 Perkusi : Sonor (+/+)
 Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Paru Posterior
 Inspeksi : Simetris, retraksi interkostal (-)
 Palpasi : Pergerakan dinding dada simetris, stem fremitus (N)
 Perkusi : Sonor (+/+)
 Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V Linea Midclavicula Sinistra
 Perkusi : Batas batas jantung
Atas : ICS II
Kanan : Linea Parasternal Dextra
Kiri : Linea Midclavicula Sinistra
 Auskultasi : M1 > M2, A2>A1, P2> P1, A2>P2
HR = 102 x/menit, regular, bising (-)
Abdomen
 Inspeksi : Simetris, distensi (-)
 Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
 Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), Hepar/ Lien/ Renal tidak teraba,
ballottement (-), nyeri CVA (-)
 Perkusi : Timpani (+)
Ekstremitas superior : Pucat (-/-) edema (-/-)
Ekstremitas inferior : Pucat (-/-) edema (-/-)
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

STATUS NEUROLOGIS
GCS : E2 M4 V2
Pupil : Isokor, bulat, ukuran 3 mm/3 mm
Reflek Cahaya : Langsung (+/+), tidak langsung (+/+)
Tanda Rangsang Meningeal (TRM) : negatif
Tanda Peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK) : negatif

Nervus Kranialis
Kelompok Optik Kanan Kiri
Nervus II (visual)
- Visus sulit dinilai sulit dinilai
- Lapangan pandang sulit dinilai sulit dinilai
- Melihat warna sulit dinilai sulit dinilai
Nervus III (otonom)
- Ukuran 3 mm 3 mm
- Bentuk Pupil bulat bulat
- Reflek cahaya positif positif
- Nistagmus - -
- Strabismus - -
Nervus III, IV, VI (gerakan okuler)
- Lateral + +
- Atas + +
- Bawah + +
- Medial + +
- Diplopia - -
Kelompok Motorik
Nervus V (fungsi motorik)
- Membuka Mulut : dalam batas normal
- Menggigit dan mengunyah : tidak mengalami gangguan
Nervus VII (fungsi motorik)
- Mengerutkan dahi : dalam batas normal
- Menutup Mata : dalam batas normal
- Menggembungkan pipi : dalam batas normal
- Memperlihatkan gigi : dalam batas normal
- Sudut bibir : simetris
Nervus IX (fungsi motorik)
- Bicara : dalam batas normal
- Reflek menelan : tidak mengalami gangguan
Nervus XI (fungsi motorik)
- Mengangkat bahu : dalam batas normal
- Memutar kepala : dalam batas normal
Nervus XII (fungsi motorik)
- Artikulasi lingualis : dalam batas normal
- Menjulurkan lidah : dalam batas normal

Kelompok Sensoris
Nervus I (fungsi penciuman) : kesan normal
Nervus V (fungsi sensasi wajah) : kesan normal
Nervus VII (fungsi pengecapan) : kesan normal
Nervus VIII (fungsi pendengaran) : kesan normal

Badan
Motorik
- Gerakan Respirasi : Abdominotorakal
- Gerakan Columna Vertebralis : Simetris
- Bentuk Columna Vertebralis : Kesan simetris
Sensibilitas
- Rasa Suhu : dalam batas normal
- Rasa nyeri : dalam batas normal
- Rasa Raba : dalam batas normal

Anggota Gerak Atas


Motorik Kanan Kiri
- Pergerakan positif positif
- Kekuatan 5555 5555
- Tonus positif positif

Reflek Kanan Kiri


- Bisceps positif positif
- Trisceps positif positif

Anggota Gerak Bawah


Motorik Kanan Kiri
- Pergerakan positif positif
- Kekuatan 5555 5555
- Tonus positif positif

Reflek Kanan Kiri


- Patella positif positif
- Achilles positif positif
- Babinski negatif negatif
- Chaddok negatif negatif
- Gordon negatif negatif
- Oppenheim negatif negatif

Klonus Kanan Kiri


- Paha negatif negatif
- Kaki negatif negatif

Tanda Laseque negatif negatif


Tanda Kernig negatif negatif

Sensibilitas
- Rasa Suhu : dalam batas normal
- Rasa nyeri : dalam batas normal
- Rasa Raba : dalam batas normal
Gerakan Abnormal : negatif

Fungsi Vegetatif
- Miksi : inkontinensia urin (-)
- Defekasi : inkontinensia alvi (-)

I. Diagnosa
a. Diagnosa Klinis : Epilepsi
b. Diagnosa Etiologi :-
c. Diagnosa Topis :-
d. Diagnosa Patologi :-

III. Diagnosis Banding


1. Status Epileptikus
2. Meningitis
3. Tetanus

IV. Diagnosis Sementara


Status epileptikus

V. Rencana Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium : Darah Rutin, KGDS, Serum Elektrolit
2. Radiologi : CT Scan Kepala
3. Elektroensefalogram (EEG)

VII. Penatalaksanaan di IGD


1. O2 4 liter/menit via kanul nasal
2. Suction
3. Pasang Guedel, NGT dan Catheter
4. Diazepam 10 mg supp
5. IVFD RL 20 gtt/i
6. Inj. Diazepam 1 amp IV bolus pelan
7. Inj.Cefotaxime 1 gr/12 jam (Skin Test)
8. Inj.Novalgin 500 mg/8 jam
9. Diazepam tab 3x2mg
10. Depakene tab
Daftar Pustaka
1. Adelow C, Ahlbom A, Feychting M, Johnsson F, Schwartzbaum J and Tomson T. Epilepsy as
a risk factor for cancer. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2006;77(6):784-786.
2. Octaviana, P. 2008. Epilepsi. Scientific Journal of Pharmaceutical Development and Medical
Application Vol. 21: 121-124.
3. Cavazos, 2007. Juvenile Myoclonic. Available at: www.emedicine.com. Diakses pada tanggal
19 September 2013.
4. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan
Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.
5. Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi Indonesia. Available at:
http://www.perpei.com/about_epilepsy.html. Diakses pada tanggal 16 September 2013.
6. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. 2008. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta.
7. Listiono, LD.1998. Ilmu Bedah Saraf. Bandung: Gramedia.
8. Anonim. 2012. Kebanyakan Kasus Epilepsi Terdapat di Negara Berkembang. Available at:
http://www.voaindonesia.com/content/ kebanyakan-kasus-epilepsi-ayan-terdapat-di-negara-
berkembang/ 1528174.html. Diakses pada tanggal 16 September 2013.
9. Karceski, S. Juvenile Myoclonic Epilepsy. Available at: www.neurology.org. Diakses pada
tanggal 19 September 2013.
10. Anonymous. 2004. Clinical Epilepsy. American Epilepsy Society. Availabe at: Diakses pada
tanggal 10 September 2013.

Hasil Pembelajaran
1. Status epileptikus
2. Kasus pasien dengan status epileptikus
3. Menegakkan diagnosis status epileptikus
4. Tatalaksana status epileptikus

RANGKUMAN

1. Subjektif (Keluhan Pasien)


Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa pasien dibawa keluarganya dengan keluhan
kejang sejak 1 jam SMRS. Frekuensi kejang sebanyak 3 kali dengan durasi sekitar 15
menit dan pasien tidak sadar diantara kejang tersebut. Riwayat demam dan nyeri
kepala disangkal. Pasien sudah sering mengalami kejang sejak berumur 7 tahun (6
tahun yang lalu). Pasien rutin berobat ke poli anak dan mendapatkan obat depaken.
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami hal serupa dengan pasien.
2. Objektif (Pemeriksaan)
5. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat mendukung diagnosis status
epileptikus. Pada kasus ini ditegakkan berdasarkan:
 Gejala klinis : kejang berulang
 Pemeriksaan fisik : Kesadaran stupor, GCS E2M4V2 = 8, Suhu 38 0C, suhu aksila

3. Assessment (Penalaran Klinis)


Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik diagnosis pasien ini adalah status
epileptikus.
Anamnesis
Status epileprtikus adalah bangkitan kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit atau
adanya 2 bangkitan/ lebih tanpa pemulihan kesadaran diantaranya. Epilepsi didefinisikan
sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai akibat dari
adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik
abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal ,dan disebabkan oleh berbagai
etiologi.6
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), epilepsi terdiri dari dua jenis,
yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.4
Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsi :
1. Bangkitan Parsial
Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yakni,
A. Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus
3. Dengan gejala autonom
4. Dengan gejala psikis
B. Parsial Kompleks (kesadaran menurun)
1. Berasal sebagai parsial sederhana dan berekambang menjadi penurunan kesadaran
2. Dengan penurunan kesadaran sejak awaitan
C. Parsial yang menjadi umum sekunder
1. Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konik
2. Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonik-konik

2. Bangkitan Umum
A. Absence / lena / petit mal
Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence) dalam
beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti dan penderita diam tanpa reaksi.
Seragan ini biasanya timbul pada anak-anak yang berusia antara 4 sampai 8 tahun. Pada
waktu kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak hilang sehingga penderita tidak jatuh. Saat
serangan mata penderita akan memandang jauh ke depan atau mata berputar ke atas dan
tangan melepaskan benda yang sedang dipegangnya. Pasca serangan, penderita akan sadar
kembali dan biasanya lupa akan peristiwa yang baru dialaminya. Pada pemeriksaan EEG
akan menunjukan gambaran yang khas yakni “spike wave” yang berfrekuensi 3 siklus per
detik yang bangkit secara menyeluruh.
B. Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan
multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi
, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang
ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup
bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
C. Tonik
Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi
lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
D. Tonik-klonik /Grand mal
Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti
sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-
klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan, penderita tidak
sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca
serangan, penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan
biasanya akan tertidur setelahnya.
E. Mioklonik
Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot
skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak. Gambaran
klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak
yang berulang dan terjadinya cepat.
F. Atonik
Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan otot dan
terjatuh secara tiba-tiba.

3. Tak Tergolongkan

Klasifikasi untuk epilepsi dan sindrom epilepsi yakni,


1. Berkaitan dengan lokasi kelainanny (localized related)
A. Idiopatik (primer)
B. Simtomatik (sekunder)
C. Kriptogenik
2. Epilepsi umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan peningkatan usia
A. Idiopatik (primer)
B. Kriptogenik atau simtomatik sesuai dengan peningkatan usia (sindrom west, syndrome
lennox-gasraut, epilepsi lena mioklonik dan epilepsi mioklonik-astatik)
C. Simtomatik
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal dan umum
A. Bangkitan umum dan fokal
B. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus : bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu.
A. kejang demam
B. status epileptikus yang hanya timbul sekali (isolated)
C. bangkitan yang hanya terjadi karena alkohaol, obat-obatan, eklamsi atau hiperglikemik
non ketotik.
D. Epilepsi refrektorik

3.3 Etiologi dan Faktor Pencetus


a. Etiologi
Kebanyakan etiologi epilepsi belum diketahui seperti jenis epilepsi idiopatik.
Tampaknya yang mengalami epilepsi memiliki resistensi rendah terhadap serangan
kejang/bangkitan dibanding populasi umum. Kerusakan otak akibat trauma kepala, infeksi
otak, masalah hormonal, masalah gangguan peredaran darah otak dan tumor di otak dapat
memicu terjadi epilepsi simtomatik.5
Investigasi faktor etiologis didasarkan pada anamnesa seperti riwayat adanya trauma,
kejang demam, perdarahan subarakhnoid atau infeksi susunan saraf. Salah satu patokan
dalam investigasi etiologis adalah usia pasien sewaktu pertama mengalami kejang.
Contohnya, kejang pada bayi biasanya etiologinya adalah cedera perinatal, kejang yang
timbul pada usia dewasa karena tumor otak.7
Faktor genetik berperan penting pada kasus-kasus epilepsi herediter dan akuisita.
Contoh epilepsi yang herediter adalah epilepsi mioklonik juvenilis di mana terdapat kelainan
pada kromosom 6 (lokus BF dan HLA). Epilepsi pasca trauma cenderung mempunyai
riwayat keluarga khususnya ibu yang menderita epilepsi. Faktor genetik juga tampil
peranannya pada anak-anak yang menderita kejang demam. 7
Pada pasien ini faktor etiologi terjadinya kejang adalah trauma.

b. Faktor Pencetus

Faktor pencetus ialah faktor yang mempermudah terjadinya serangan,yaitu: 3


a) Faktor sensorik : cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang
mengejutkan, air panas
b) Faktor sistemik : demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu misalnya
golongan fenotiazin, metoklorpropamid, hipoglikemia, kelelahan fisik.
c) Faktor mental : stres, gangguan emosi.

Pada beberapa kasus epilepsi, serangan dapat dicetuskan oleh stres, perubahan
hormonal, dan sedang menderita sakit. Ada juga satu jenis epilepsi yang dirangsang oleh
stimulasi visual seperti cahaya atau TV.7

3.4 Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk
bangkitan epilepsi berulang (minimal 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada
EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai
berikut.4,6

a. Anamnesis
Tahap pertama mengevaluasi penderita dengan kemungkinan epilepsi adalah
menetapkan apakah penderita menderita kejang atau tidak. Anamnesis yang lengkap seorang
dokter dapat memperkirakan apakah seseorang benar menderita kejang atau tidak, dan juga
perlu untuk menentukan tipe kejang atau jenis epilepsi tertentu. Penentuan tipe kejang atau
epilepsi sangat penting karena pengobatan penderita epilepsi salah satunya didasarkan pada
tipe kejang atau jenis epilepsi. Anamnesis dapat dilakukan pada pasien atau saksi mata yang
menyaksikan pasien kejang. Sering penderita datang dalam keadaan tidak sadar, sehingga
gambaran bangkitan sebagian besar berdasarkan pada anamnesis. Ini sering bergantung pada
kepandaian pemeriksa untuk menentukan pola bangkitan dan kepandaian saksi mata dalam
melukis bangkitan. Untuk penentuan penyebab dari kejang, dokter harus menentukan apakah
ada anamnesa keluarga dengan epilepsi, trauma kepala, kejang demam, infeksi telinga tengah
atau sinus atau gejala dari keganasan.
Adapun pertanyaan yang penting untuk ditelusuri berupa:

 Pola / bentuk bangkitan


 Lama bangkitan
 Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan
 Frekuensi bangkitan
 Faktor pencetus
 Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
 Usia saat terjadinya bengkitan pertama
 Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan / kelahiran dan perkembangan bayi /
anak
 Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
 Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

b. Pemeriksaan Fisik Umum dan Neurologi


Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang
berhubungan dengan epilepsi, misalnya trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan
kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan obat terlarang atau alkohol dan
kanker.

c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah:
1. EEG (elektroensefalogram)
EEG merupakan pemeriksaan yang mengukur aktivitas listrik di dalam otak.
Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak memiliki resiko. Elektroda
ditempelkan pada kulit kepala untuk mengukur impuls listrik di dalam otak. Setelah
terdiagnosis, biasanya dilakukan pemeriksaan lainnya untuk menentukan penyebab yang
biasa diobati.
EEG hanyalah suatu pemeriksaan, bukan penentu diagnosis pasti. Interpretasi gambaran
EEG harus dilakukan dengan hati-hati. Pada sebagian pasien, digunakan teknik-teknik
pengaktifan tertentu, seperti hiperventilasi atau stimulasi cahaya berkedip-kedip, untuk
memicu munculnya pola listrik yang abnormal. Bahkan setelah pemeriksaan EEG berulang,
hasil tetap negatif pada hampir 20% pasien. EEG yang normal sering dijumpai pada anak
dengan kejang tonik-klonik. Rekaman EEG digunakan untuk mengidentifikasi daerah-daerah
otak spesifik yang terlibat dalam lepas muatan abnormal, dan data ini dikolerasikan dengan
rekaman video.

2. Pemeriksaan pencitraan otak


Pemeriksaan MRI atau CT scan perlu dilakukan untuk menentukan adanya kelainan
struktural di otak. MRI MRI lebih disukai karena dapat mendeteksi lesi kecil (misalnya tumor
kecil, malformasi pembuluh, atau jaringan parut) di lobus temporalis. Pemeriksaan MRI
diindikasikan untuk epilepsi yang sangat mungkin memerlukan terapi pembedahan.
3. Laboratorium.
Pemeriksaan darah meliputi hemoglobin, leukosit, trombosit, hapusan darah tepi,
elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah, fungsi hati (SGOT,
SGPT, Gamma GT, Alkali fosfatase), ureum, kreatinin dan lain-lain atas indikasi.
Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk:

- Mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah


- Menilai fungsi hati dan ginjal
- Menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya
infeksi)

4. Pemeriksaan cairan serebrospinal bila dicurigai adanya infeksi SSP


5. Pemeriksaan-pemeriksaan lain.
Dilakukan bila ada indikasi misalnya adanya kelainan metabolik bawaan.

Pada kasus ini, diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik
dalam bentuk bangkitan epilepsi berulang (minimal 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran
epileptiform pada EEG. Hasil pemeriksaan EEG didapatkan kesan epileptiform, namun
pemeriksaan CT scan menunjukkan hasil yang normal. Pemeriksaan CT scan yang normal
belum tentu menunjukkan tidak adanya lesi pada otak. CT scan hanya dapat menyaring lesi-
lesi yang nyata dan mungkin tidak dapat memperlihatkan lesi kecil seperti sklerosis. Oleh
karena itu, lebih baik digunakan pemeriksaan MRI. Pada pasien ilustrasi kasus tidak
direncanakan pemeriksaan MRI karena kendala biaya, sehingga digantikan dengan CT scan
kepala dengan kontras.

Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan pemeriksaan fisik pada pasien ditemukan adanya kelainan berupa
bergesernya batas jantung yang menunjukkan adanya pembesaran jantung.

4. Planning (Rencana) : Diagnostik, Terapi dan Edukasi


a. Diagnostik

b. Terapi

Stadium Penatalaksanaan
Stadium I  Memperbaiki fungsi kardio- respirasi.
( 0 – 10 menit)  Memperbaiki jalan nafas,O2, resusitasi.

Stadium II  Pemeriksaaan status neurologik.


( 1 – 60 menit)  Vital sign : TD, RR, Nadi, dan Suhu.
 EKG
 Pasang infus pada Pembuluh darah besar
 Ambil darah 50 – 100 cc untuk pemeriksaan laboratorium
 OAE emergensi : diazepam 10 – 20 mg IV (kecepatan ≤ 2 –
5 mg/ mnt atau rektal dapat diulang 15 menit kemudian)
 Glukosa 50 % 50 cc dengan atau tanpa Thiamin 250
mg IV
 Tangani asidosis

Stadium III  Tentukan etiologi


( 0 – 60/90 menit)  Bila kejang terus selama 30 menit setelah pemberian
diazepam pertama, beri fenitoin IV 15 – 18 mg/kg,
kecepatan 50 mg /mnt
 Mulai terapi dengan vasopressor bila diperlukan.
 Koreksi komplikasi.

Stadium IV  Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30 – 60 mnt, transfer


( 30 – 90 menit) ICU, beri Propofol ( 2 mg / kg BB bolus IV, diulang bila
perlu) atau Thiopentone ( 100 – 250 mg bolus IV dalam 20
mnt, dilanjutkan bolus 50 mg setiap 2- 3 menit ),
dilanjutkan s/d 12 – 24 jam setelah bangkitan klinis atau
bangkitan EEG terakhir, →tapering off.
 Memantau bangkitan & EEG, tekanan intrakranial
 Memulai pemberian OAE dosis rumatan.

c. Edukasi
d. Konsultasi
Terapi awal dapat dilakukan di instalasi gawat darurat, untuk terapi yang adekuat dapat
dilakukan konsultasi dengan dokter spesialis anak.

Mengetahui

Pendamping Pendamping

dr. Tajul Keumalahayati dr. Leni Afriani


NIP. 19771109 200701 2 004 NIP. 197808292006042010

Anda mungkin juga menyukai