Anda di halaman 1dari 16

Peran Dokter dalam Menangani Kasus Etika Profesi Kedokteran

Lutfi Karimah
102011359/ F-1
Email: lutfi_karimah@yahoo.com
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510

Pendahuluan

Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus
merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian
terjadi apabila seseorang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi
yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya
kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat
dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat
profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang
lain.
Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis menurut
World Medical Association (1992), yaitu: “medical malpractice involves the physician’s
failure to conform to the standard of care for treatment of the patient ’s condition, or lack of
skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to
the patient.”
WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktek
medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang
terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada
pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktek. “An injury occurring in the course of
medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or
knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the physician
should not bear any liability”. (Budi Sampurna, 2007)

1
Pembahasan

A. Prinsip-prinsip Etika Kedokteran


Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu sikap
dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik-
buruk dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang
cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang adalah
teori deontologi dan teleologi. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, Deontologi
mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya sendiri (I
Kant), sedangkan teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat
hasilnya atau akibatnya (D Hume, J Bentham, JS Milis). Deontologi lebih mendasarkan
kepada ajaran agama, tradisi, dan budaya sedangakan teleologi lebih ke arah penalaran
(reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat (aliran utilitarian).3
Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan
etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) yakni:3
 Beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke
kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbutan untuk kebaikan saja,
melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya.
 Non-malaficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk
keadaan pasien.
 Justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap
maupun dalam mendistribusikan sumber daya.
 Autonomy, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak-hak
ototnomi pasien *the right to self determination).
Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan
terbuka), privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan
pasien) dan fidelity (loyalitas dan promise keeping). Di dalam praktek, peran profesional
kesehatan khususnya dokter dapat terbagi ke dalam 3 model penjaga gawang, yaitu peran
tradisional, peran negative gatekeeper dan peran positive gatekeeper.3
Dalam peran tradisionalnya, dokter memikul beban moral sebagai penjaga gawang
penyelenggaraan layanan kesehatan dan medis. Mereka harus menggunakan pengetahuan
mereka untuk berpraktek secara kompeten dan rasional ilmiah. Petunjuknya harus diagnostic

2
elegance (termasuk menggunakan cara yang memiliki tingkat ekonomi yang sesuai dalam
mendiagnosis) dan therapeutic parsinomy (memberikan terapi hanya yang secara nyata
bermanfaat dan efektif). Mereka harus mencegah adanya risiko yag tidak diperlukan kepada
pasien yang berasal dari terapi yang meragukan dan menjaga sumber daya finansial pasien.3
Dalam peran negative gatekeeper, yaitu pada sistem kesehatan pra-bayar atau kapitasi,
dokter diharapkan untuk membatasi akses pasien ke layanan medis. Pada peran ini jelas
terjadi konflik moral pada dokter dengan tanggungjawab tradisionalnya dalam membela
kepentingan pasien (prinsip beneficence) dengan tanggungjawab barunya sebagai pengawal
sumberdaya masyarakat/komunitas. Meskipun demikian, peran negative gatekeeper ini secara
moral mungkin masih dapat dijustifikasi.3
Tidak seperti peran negatif yang banyak dideskripsikan secara terbuka, peran positive
gatekeeper dokter sangat tertutup dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral.
Dalam peran ini dokter diberdayakan untuk menggunakan fasilitas medis dan jenis pelayanan
hi-tech demi kepentingan profit. Bagi mereka yang mampu membayar disediakan fasilitas
diagnostik dan terapi yang paling mahal dan mutakhir, layanan didasarkan kepada “keinginan
pasar” dan bukan kepada kebutuhan medis. Upaya meningkatkan demand atas layanan yang
sophisticated dijadikan tujuan yang impilisit, dan dokter menjadi salesmannya. Mereka
berbagi profit secara langsung apabila mereka pemilik atau investor layanan tersebut, atau
mereka memperoleh penghargaan berupa kenaikan honorarium atau tunjangan apabila
mereka hanya berstatus pegawai atau pelaksana.3
Dalam hubungan antara dokter dan pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi
kedokteran yang di dalamnya tertuang prinsip-prinsip moral profesi, yaitu beneficence,
autonomi, non malaficence, dan justice yang disebut sebagi prinsip utama; dan veracity
(kebenaran = truthfull information), fidelity (kesetiaan), privacy, dan confidentiality
(menjaga kerahasiaan) sebagai prinsip keturunannya.4,5

Peranan Etika dalam Profesi


Suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan
bersama karena nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan
orang saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil
yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa. Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai
nilai-nilai yang menjadi landasan dalam pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat
umumnya maupun dengan sesama anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini
sering menjadi pusat perhatian karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara

3
tertulis (yaitu kode etik profesi) dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya. Sorotan
masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku sebagian para anggota profesi
yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati bersama (tertuang
dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada masyarakat profesi
tersebut.6

Tujuan Kode Etik Profesi dan Prinsip Moral


Tujuan kode etik profesi antara lain adalah untuk menjunjung tinggi martabat profesi,
untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota, untuk meningkatkan pengabdian
para anggota profesi, untuk meningkatkan mutu profesi, untuk meningkatkan mutu organisasi
profesi, meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi, dan mempunyai organisasi
profesional yang kuat dan terjalin erat.7
Praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-
prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam
menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari
segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika
biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat
keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di
bidang medis.7

Kode Etik Kedokteran Indonesia6


KEWAJIBAN UMUM
 Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
 Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan
standar profesi yang tertinggi.
 Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
 Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
 Pasal 5

4
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik
hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan
pasien.
 Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang
dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
 Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa
sendiri kebenarannya.
 Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
 Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya,
dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan
dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam
menangani pasien
 Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
 Pasal 7d
Setiap dokten harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk
insani.
 Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta
berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
 Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang
lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.

5
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN
 Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia wajib menujuk pasien
kepada dokten yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
 Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah
lainnya.
 Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
 Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT


 Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
 Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI


 Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
 Pasal 17

6
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran/kesehatan.

B. Hubungan Dokter
Hubungan Dokter-Pasien
Hubungan dokter-pasien merupakan tunjang praktek kedokteran dan asas kepada etika
kedokteran. Deklarasi Geneva menyatakan bahwa seorang dokter harus meletakkan
kesehatan pasiennya sebagai perkara yang paling utama. Kode Etik Medis Internasional pula
menyatakan bahwa seorang dokter wajib memberikan pelayanan terbaik sesuai sarana yang
tersedia atas kepercayaan yang telah diberikan pasien kepadanya. Prinsip utama moral profesi
adalah autonomy, beneficence, non maleficence dan justice. Prinsip turunannya pula adalah
veracity (memberikan keterangan yang benar), fidelity (kesetiaan), privacy, dan
confidentiality (menjaga kerahasiaan).4,5
Hubungan dokter-pasien pada awalnya merupakan hubungan paternalistic dengan
memegang prinsip beneficence sebagai prinsip utama. Namun cara ini dikatakan
mengabaikan hak autonomy pasien sehingga sekarang lebih merujuk kepada teori social
contract dengan dokter dan pasien sebagai pihak bebas yang saling menghargai dalam
membuat keputusan. Dokter bertanggungjawab atas segala keputusan teknis sedangkan
pasien memegang kendali keputusan penting terutama yang terkait dengan nilai moral dan
gaya hidup pasien. Hubungan dokter-pasien yang baik memerlukan kepercayaan. Maka,
dengan memegang pada dasar kepercayaan pasien terhadap dokter yang merawatnya, seorang
dokter tidak boleh menjalin hubungan di luar bidang profesinya dengan pasien yang sedang
dirawat.5

Komunikasi Dokter-Pasien dan Informed Consent


Informed consent merupakan alat paling penting dalam hubungan dokter-pasien pada masa
kini. Informed consent yang benar harus disertai dengan komunikasi baik antara dokter dan
pasien. Keterangan yang dapat diberikan kepada pasien sebelum mendapatkan informed
consent termasuklah menerangkan diagnosis penyakit, prognosis dan pilihan pengobatan
penyakit. Perlu juga kebaikan dan keburukan masing-masing tindakan yang bakal dilakukan.
Informed consent harus memuatkan pilihan untuk pasien menerima atau menolak tindakan
medik yang bakal dilakukan dokter selain mencantumkan pilihan terapi lain. Pasien yang

7
kompeten boleh memilih untuk menolak tindakan medik walaupun tanpa tindakan ini dapat
mengancam nyawa pasien. Terdapat dua kondisi di mana informed consent dikecualikan
yaitu: Pasien menyerahkan sepenuhnya keputusan tindakan medik terhadap dirinya kepada
dokter. Apabila pasien menyerahkan semua keputusan kepada dokter yang merawatnya,
dokter tetap harus menerangkan secara lengkap tindakan yang bakal dilakukan. Serta pada
keadaan apabila pemberitahuan tentang kondisi penyakit pasien dapat berdampak besar
terhadap pasien secara fisik, psikologis dan emosional. Contohnya adalah apabila pasien
cenderung untuk membunuh diri apabila mengetahui tentang penyakitnya. Namun, dokter
pada awalnya harus menganggap bahwa semua pasien dapat menerima berita tentang
penyakitnya dan memberikan informasi selengkapnya sesuai dengan hak pasien.7
Informed consent atau persetujuan tindakan medik adalah suatu cara bagi pasien untuk
menunjukan prefensi dan pilihannya. Informed consent adalah aplikasi praktis dari salah satu
kaidah moral dalam praktek kedokteran yaitu, autonomi. Secara harafiah, informed consent
memiliki dua unsur yaitu: (1) informed yang dapat diartikan informasi yang telah diberikan
dokter dan (2) consent yang diartikan sebagi persetujuan oleh pasien setelah memahami
informasi yang diberikan oleh sang dokter.saat seorang dokter memulai hubungan dokter-
pasien, maka tugasnya adalah memeriksa pasien, membuat diagnosa, memberi informasi
yang jujur dan tepat sasaran serta mengajurkan pengobatan. Dokter diharapkan untuk dapat
menjelaskan tahapan-tahapan dalam pengobatan, memberikan alasan diberikannya
pengobatan yang ia anjurkan, daqn menunjukkan alternatif pengobatan dari sisi keuntungan
dan kerugiannya. Di lain pihak, pasien diharapkan untuk dapar memahami penjelasan dokter,
menilai pilihan pengobatan yang ditawarkan dokter, kemudian memilih pilihan-pilihan
pengobatan yang ditawarkan.3,8
Persetujuan tindak medik secara praktis dalam praktek kedokteran dapat dibedakan atas 2
bentuk, yaitu Implied consent atau persetujuan tersirat, yakni pasien tidak menyatakan
persetujuan baik secara tertulis maupun lisan, namun dari tingkah lakunya menunjukan
persetujuaanya. Serta Expressed consent atau persetujuan yang dinyatakan, yakni persetujuan
dinyatakan secara lisan dan tertulis.3,8

B.2 Hak Pasien


WMA telah mengeluarkan Declaration of Lisbon on the Rights of the Patient (1991) yang
menyatakan hak pasien adalah sebagai berikut7: (1) Hak memilih dokter secara bebas, (2)
Hak klinis dan etis, (3) Hak untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima
informasi yang adekuat, (4) Hak untuk dihormati kerahasiaan dirinya, (5) Hak untuk mati

8
secara bermartabat, (6) Hak untuk menerima atau menolak dukungan spiritual atau moral.
UU Kesehatan pula menyebutkan beberapa hak pasien yaitu: (1) Hak atas informasi, (2) Hak
atas second opinion, (3) Hak untuk memberi persetujuan atau menolak suatu tindakan medis,
(4) Hak untuk kerahasiaan, (5) Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, (6) Hak untuk
memperoleh ganti rugi apabila ia dirugikan akibat kesalahan tenaga kesehatan.8
Selain itu, UU Praktik Kedokteran menyatakan hak pasien sebagai berikut: (1) Hak untuk
mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis (Pasal 45 ayat (3)).
Penjelasan sekurang-kurangnya meliputi diagnosis, tatacara tindakan, tujuan tindakan medis
yang bakal dilakukan, alternative tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi dan prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan. (2) Hak untuk
meminta pendapat dokter lain, (3) Hak mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis, (4)
Hak untuk menolak tindakan medis, (5) Hak untuk mendapatkan isi rekam medis.8

B.3 Hubungan Dokter –Teman Sejawat


Profesi kedokteran merupakan profesi yang berjalan di bawah satu sistem hirarki baik
secara internal maupun eksternal. Hirarki internal dapat dibagi kepada tiga yaitu perbedaan
kedudukan dokter berdasarkan kepakaran, perbedaan berdasarkan pencapaian akademik, dan
perbedaan kompetensi dan pengalaman dalam menangani pasien. Secara eksternal pula,
dokter sering diletakkan di bagian tertinggi dibanding petugas kesehatan lain.6
Dalam perkembangan ilmu kedokteran, seorang dokter harus menyadari bahwa dia tidak
mampu menangani semua penyakit dan memerlukan kerjasama baik antara tenaga kesehatan
lain seperti perawat, pharmacist, ahli fisioterapi, teknisi laboratorium, dan lain-lain.
Hubungan antara dokter dan teman sejawat dinyatakan dalam Declaration of Geneva yang
menyatakan hubungan antara petugas kesehatan adalah seperti saudara. Menurut Kode Etik
Medik Internasional pula, terdapat dua larangan dalam hubungan sesama dokter yaitu:
Membayar atau menerima bayaran dari dokter lain dalam menangani pasien dan mengambil
alih tugas perawatan pasien dari dokter lain tanpa rujukan dokter tersebut. Sering dalam
praktek sehari-hari, akan timbul perbedaan pendapat antara dokter tentang penanganan yang
tepat untuk seorang pasien.6
Dengan menganggap isu yang timbul hanya untuk kebaikan pasien dan tidak ada
penyimpangan dari etika kedokteran, hal ini dapat diselesaikan dengan cara: (1) Dilakukan
secara informal yaitu melalui rundingan dan perbincangan antara pihak yang terlibat.
Perbincangan hanya akan dilakukan secara formal apabila cara informal tidak member hasil,
(2) Opini semua pihak yang terlibat perlu didengarkan dan dipertimbangkan. (3) Pasien

9
berhak menentukan tindakan medis untuk dirinya dan pilihan pasien ini akan menjadi
penunjang utama dalam pengambilan keputusan isu terkait. (4) Apabila semua rundingan
tidak disepakati, maka penyelesaian isu dapat melibatkan pihak wewenang dan hukum.
Dokter seharusnya mempunyai hubungan non diskriminasi dan saling hormat-menghormati
sesama tenaga pelayanan kesehatan lain. Perlu diingatkan bahwa semua tenaga pelayanan
kesehatan, walaupun berbeda dari tingkat pendidikan, berpegang pada prinsip yang sama
yaitu memberikan pelayanan terbaik untuk kesehatan pasien7.

C. Aspek Hukum
Aspek Hukum Malpraktek9
1. Penyimpangan dari Standar Profesi Medis
2. Kesalahan yang dilakukan dokter, baik berupa kesengajaan ataupun kelalaian
3. Akibat yang terjadi disebabkan oleh tindakan medis yang menimbulkan kerugian materiil
atau non materiil maupun fisik atau mental.
Sanksi Hukum Pidana9
 Pasal 267 KUHP (surat keterangan palsu)
1. Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada
atau tidaknya penyakit , kelemahan atau cacat, diancam dengan dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
2. Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seorang kedalam
rumah sakit gila atau menahannya disitu , dijatuhkan pidana paling lama delapan
tahun enam bulan.
3. Di ancam dengan pidana yang sama ,barangsiapa dengan sengaja memakai surat
keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran
 Pasal 268 KUHP
1. Barang siapa membuat secara palsu atau memalsu surat keterangan dokter tentang ada
atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat , dengan maksud untuk menyesatkan
penguasa umum atau penanggung (verzekeraar), diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
2. Diancam dengan pidana yang sama ,barangsiapa dengan maksud yang sama memakai
surat keterangan yang tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah surat itu benar dan
tidak dipalsu
 Pasal 359 KUHP

10
Barangsiapa karena kelalainnya menyebabkan matinya orang lain , diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun

 Pasal 360 KUHP


1. Barangsiapa karena kelalainnyamenyebabkan orang lain menderita luka
berat,diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan
paling lama satu tahun
2. Barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa
sehingga menderita sakit untuk sementara waktu atau tidak dapat menjalankan jabatan
atau perkejaannya selama waktu tertenu diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana kurungan enam bulan atau denda paling tinggi empat ribu
lima ratus rupiah

Sanksi Hukum Perdata9


 Pasal 1338 KUH Perdata ( wan prestasi )
1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
2. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak,
atau karena alas an-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
3. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik
 Pasal 1365 KUH Perdata
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang
lain,mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.
 Pasal 1366 KUH Perdata( Kelalaian )
Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya , tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalainnnya atau
kurang hati – hatinya
 Pasal 1370 KUH Perdata
Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain ) dengan sengaja atau kurang
hati – hatinya seeorang, maka suami dan istri yang ditinggalkan, anak atau korban orang
tua yang biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban mempunyai hak untuk
menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukanya dan kekayaan kedua
belah pihak serta menurut keadaan .

11
 Pasal 55 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
1. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan
tenaga kesehatan .
2. Ganti rugi sebagaimana diatur dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan yang berlaku3,8

Dampak Hukum
Perlidungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan tindakan malpraktek
medik
Perlindungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan tindakan malpraktek medik
menggunakan Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Pasal
53 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Pasal 24 Ayat 1
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Seorang dokter
dapat memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan Standar Operating Procedure (SOP), serta dikarenakan adanya dua dasar
peniadaan kesalahan dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di
dalam KUHP.3,8
Hubungan dokter dengan pasien haruslah berupa mitra. Dokter tidak dapat disalahkan bila
pasien tidak bersikap jujur. Sehingga rekam medik (medical record) dan informed consent
(persetujuan) yang baik dan benar harus terpenuhi. Cara dan tahapan mekanisme
perlindungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan tindakan malpraktek medis
adalah dengan dibentuknya Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
yang bekerja sama dengan pihak Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) atas dasar
hubungan lintas sektoral dan saling menghargai komunitas profesi.3,8
Dalam tahapan mekanisme penanganan pelanggaran disiplin kedokteran, MKDKI
menentukan tiga jenis pelanggarannya yaitu pelanggaran etik, disiplin dan pidana. Untuk
pelanggaran etik dilimpahkan kepada Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK), pelanggaran
disiplin dilimpahkan kepada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dan pelanggaran pidana
dilimpahkan kepada pihak pasien untuk dapat kemudian dilimpahkan kepada pihak
kepolisian atau ke pengadilan negeri. Apabila kasus dilimpahkan kepada pihak kepolisian
maka pada tingkat penyelidikannya dokter yang diduga telah melakukan tindakan malpraktek
medik tetap mendapatkan haknya dalam hukum yang ditetapkan dalam Pasal 52, Pasal 54,

12
Pasal 55, Pasal 57 Ayat 1, Pasal 65, Pasal 68, dan Pasal 70 Ayat 1 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dan apabila kasus dilimpahkan kepada tingkat pengadilan
maka pembuktian dugaan malpraktek dapat menggunakan rekam medik (medical record)
sebagai alat bukti berupa surat yang sah (Pasal 184 Ayat 1 KUHAP).3,8

Fraktur Klavikula
Trauma persalinan salah satunya terjadi akibat lamanya persalinan berlangsung, sehingga
ibu merasakan sakit yang lama pula. Normalnya persa linan berjalan kurang lebih 8-10 jam
mulai fase awal, pembukaan satu sampai dengan fase akhir, pembukaan sepuluh, dan tahap
mengejan. Tapi karena berbagai hal, ada ibu yang harus melalui persalinan cukup lama,
hingga tiga hari bahkan berminggu-minggu dari fase awal hingga fase akhir. Itu artinya, ibu
akan merasakan his atau mulas lebih lama.9,10
Kemungkinan perlamaan ini disebabkan berbagai faktor. Faktor pertama hambatan fisik,
meliputi kecilnya lingkar panggul ibu sehingga bayi sulit keluar. Kedua, penebalan rahim,
sehingga pembukaan berjalan sangat lambat. Ketiga, ketegangan vagina, sehingga vagina
menjadi keras dan otot-otot saluran jalan rahim tidak lentur. Keempat, pembukaan terhambat
karena posisi janin sungsang. 9,10
Tanda dan gejala yang tampak pada bayi yang mengalami fraktur klavikula antara lain :
bayi tidak dapat menggerakkan lengan secara bebas pada sisi yang terkena, krepitasi dan
ketidakteraturan tulang, kadang-kadang disertai perubahan warna pada sisi fraktur, tidak
adanya refleks moro pada sisi yang terkena, adanya spasme otot sternokleidomastoideus yang
disertai dengan hilangnya depresi supraklavikular pada daerah fraktur.9,10
Bayi dapat memperlihatkan pseudoparalisis. Pseudoparalisis yaitu suatu kondisi di mana
seseorang tampaknya tidak mampu untuk memindahkan lengan atau kaki tetapi tidak lumpuh.
Pada pemeriksaan didapatkan krepitasi, perabaan tulang yang ireguler, dan spasme otot
sternokleidomastodius. Jenis fraktur pada trauma lahir ini umumnya jenis fraktur greenstick,
yaitu fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok. Secara
klinis fraktur jenis greenstick sering tidak diketahui segera setelah bayi lahir, tetapi baru
ditemukan 1 – 2 minggu kemudian setelah teraba adanya pembentukan kalus. Beberapa
gejala klinis fraktur klavikula: (1) Gerakan tangan kiri dan kanan tidak sama, (2) Refleks
moro asimetris, (3) Bayi akan menangis pada perabaan klavikula, (4) Gerakan pasif pada
tangan yang sakit, (5) Riwayat persalinan yang sukar, (6) Adanya krepitasi yaitu pada saat
ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat
gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.9,10

13
Prosedur Medis
Informasi dalam lingkup medis sangat penting bagi memberi peluang kepada pasien untuk
mengetahui tentang status sebenar kesehatan diri dan tindakan yang akan dilakukan terhadap
pasien. Para professional dalam pelayanan kesehatan perlu meningkatkan perhatian terhadap
pentingnya informed consent sebagai sebagian dari prosedur pengobatan atau clinical trial.10
Informed Consent adalah suatu persetujuan mengenai tindakan kedokteran yang akan
dilakukan oleh dokter terhadap pasien. Persetujuan boleh dalam bentuk lisan maupun tertulis.
Informed consent ini juga merupakan sebagian dari prosese komunikasi antara dokter-pasien
tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan. Formulir informed consent
merupakan tanda bukti yang disimpan dalam arsip rekam medis pasien.10
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, telah diatur tentang Informed Consent ini pada Pasal 45 tentang “Persetujuan
Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi” yang isinya antara lain: (1) Setiap tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap
pasien harus mendapat persetujuan. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap. (3) Penjelasan sebagaimana
dimaksud pada ayat 2 sekurang-kurangnya mencakupdiagnosis dan tata cara tindakan medis,
tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan resikonya, risikonya dan
komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.10
Dalam penjelasan atas UU Nomor 29 Tahun 2004 tersebut disebutkan bahwa pada
prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan atau penolakan tindakan medis adalah
pasien yang bersangkutan. Namun, apabila pasien yang bersangkutan berada di bawah
pengampuan, persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga
terdekat antara lain suami/istri/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara
kandung.10
Jika sesuatu tindakan medis dilakukan tanpa izin pasien, ia digolongkan sebagai tindakan
penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ). Menurut
Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, sebelum dimulai tindakan (1),
persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan oleh yang memberi persetujuan dan
pembatalan tersebut harus secara bertulis oleh yang memberi persetujuaan (2). Dokter hanya
boleh bertindak melebihi yang telah disepakati apabila gawat-darurat dan butuh waktu yang
singkat.9

14
D. Solusi
Pada kasus ini, ditemukan bahwa ibu pasien melahirkan untuk pertama kali sehingga ingin
sekali mengalami persalinan normal. Pada kenyataannya, letak bayi sungsang, tapi pasien
bersikeras untuk melahirkan normal. Ibu mengaku tidak diberitahu mengenai risiko dari
persalinan normal dengan letak sungsang. Dari hasil komunikasi dengan dokter C juga
diketahui bahwa dokter B tidak berkomunikasi tentang dokter C mengenai riwayat ibu dan
posisi janin. Dalam kasus ini Dokter B Lalai dalam tugasnya karena tidak melakukan
informed consent. Fraktur klavikula sendiri sulit untuk diketahui saat bayi baru lahir, hanya
dapat diketahui sesaat kalus sudah muncul.
Dokter A wajib untuk menengahi permasalahan ini, dengan tidak ikut menjelekkan kedua
dokter. Dokter A harus memberitahu ibu mengenai sulitnya mendeteksi fraktur pada neonates
sehingga ibu tidak mudah menuduh dokter C lalai dalam tugasnya, beritahu ibu juga
mengenai Undang-undang Pencemaran Nama Baik  Pasal 310 ayat (1) KUHP
Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan
menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam
karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Mengenai dokter B yang ternyata tidak melakukan informed consent menurut pengakuan
ibu, alangkah baik bila dokter A juga menganjurkan ibu untuk berkomunikasi dengan dokter
B terlebih dahulu sebelum melayangkan tuduhan malpraktek. Sesuai dengan Pasal 310 ayat
(1) KUHP, apabila ibu menuduh dokter B tanpa adanya komunikasi terlebih dahulu maka ibu
pun dapat dikenakan pasal tersebut.
Peran dokter A disini, selain mengobati dan merujuk pasien ke dokter spesialis ortopedi,
dokter A juga harus memberikan saran agar ibu tidak gegabah dalam tindakannya. Mengenai
perihal ibu ingin pindah dokter dari dokter C ke dokter A, semua keputusan berada dalam
tangan pasien, karena pasien berhak untuk mendapatkan second opinion.
Mengenai dokter B, hal ini dianggap sebagai kelalaian dokter dalam melakukan sesuatu
yang mestinya ia lakukan contohnya saat dokter lalai dalam menjalankan tugas yang akhirnya
menyebabkan kerugian pada pasien. Hal ini merupakan dasar dan alasan yang penting dalam
kaitan terhadap standar praktik kedokteran yang berlaku namun jika ia benar terbukti
kesalahannya, maka dokter tersebut dapat dikenakan tindak pidana. Elemen kelalaian medis
antara lain adalah tugas yang mestinya dikerjakan, tugas yang dilalaikan, kerugian yang
ditimbulkan, penyebabnya, dan antisipasi yang dilakukan.

15
Kesimpulan

Dalam praktek sehari-hari seorang dokter tidak boleh lupa akan etika profesi dan semua
aspek yang terkait. Termasuk salah satunya adalah menjalin hubungan yang baik dengan
pasien dimana dokter menghargai semua hak-hak pasien, seperti informed consent. Informed
consent sendiri adalah suatu bentuk komunikasi antara dokter dengan pasien. Apabila dokter
tidak melakukan informed consent maka kedepannya dapat terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan bagi dokter maupun pasien sendiri. Kelalaian medis seperti ini harus dibuktikan
dengan benar, apabila tidak dibuktikan dengan benar dapat merugikan salah satu pihak.
Perlakuan baik terhadap pasien dan teman sejawat juga harus mempertimbangkan kode etik
kedokteran Indonesia dan kaidah dasar bioetika.

Daftar Pustaka
1. Dorland WA. Kamus kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC; 2005.
2. Callus. Diunduh dari http://pathol.med.stu.edu.cn/pathol/listEngContent2.aspx?ContentID
=500, 12 Januari 2016.
3. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran pengantar bagi
mahasiswa kedokteran dan hukum. Jakarta:Pustaka Dwipa; 2005. h.8-9, 30-5, 77-86.
4. Santoso M. Pemeriksaan fisik diagnostik. Jakarta: Bidang Penerbitan Yayasan Diabetes
Indonesia; 2004. h.2-3.
5. Etika Kedokteran Indonesia. 2008. Diunduh dari
http://www.freewebs.com/etikakedokteran indonesia/, 14 Januari 2016.
6. Kode Etik Kedokteran. 2009. Diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789
/652/1/Kode%20Etik%20Kedokteran.pdf. Diunduh pada 14 Januari 2016.
7. S Budi, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran, pengantar bagi mahasiswa
kedokteran dan hokum. Jakarta: Penerbit Pustaka Dwipar; 2005.
8. Williams J. World medical association. Medical Ethics Manual 2nd Edition; 2009.
9. Idries AM, Tjiptomartono AL. Penerapan ilmu kedokteran forensik dalam proses
penyidikan. Jakarta: Sagung Seto; 2008. h.244-51.
10. Pinzon R. Strategi 4s untuk pelayanan medik berbasis bukti. Cermin dunia kedokteran
163:Vol 36; 2009; 208.

16

Anda mungkin juga menyukai