Menular
102011088
Skenario 5
Seorang pasien laki-laki datang ke praktek dokter. Pasien ini dan keluarganya adalah
pasien lama dokter tersebut, dan sangat akrab serta selalu mendiskusikan kesehatan
keluarganya dengan dokter tersebut. Kali ini pasien laki-laki ini datang sendirian dan
mengaku telah melakukan hubungan dengan wanita lain seminggu yang lalu. Sesudah
itu ia masih tetap berhubungan dengan istrinya. Dua hari terakhir ia mengeluh bahwa
alat kemaluannya mengeluarkan nanah dan terasa nyeri. Setelah diperiksa ternyata ia
menderita GO. Pasien tidak ingin diketahui istrinya, karena bisa terjadi pertengkaran
diantara keduanya. Dokter tahu bahwa mengobati penyakit tersebut pada pasien
tidaklah sulit, tetapi oleh karena ia berhubungan juga dengan istrinya maka mungkin
istrinya sudah tertular. Istrinya juga harus diobati.
Pendahuluan
Bila kebetulan yang menderita GO adalah pasangan suami istri dan selama
menderita GO mereka melakukan hubungan seksual aktif maka keduanya harus berobat
meskipun sang istri tidak menimbulkan gejala apapun. Hal ini untuk mencegah
terjadinya ‘pingpong phenomenone’ yaitu bila hanya suami yang diobati maka ia akan
dapat tertular kembali oleh istrinya demikian sebaliknya. Banyak di antara penderita
GO yang di obati dokter meminta untuk merahasiakan penyakit mereka karena alasan
malu, takut ketahuan pasangannya atau sebagainya. Disini dokter di tuntut untuk bisa
bertindak sesuai etika profesi kedokteran dan sesuai dengan peraturan yang terkait.Hak
1
pasien untuk dihormati rahasia nya perlu dipertimbangkan juga.Oleh karena itu dokter
sebaiknya memberi penjelasan dan edukasi yang tepat pada pasien sehingga tanpa
melanggar aturan dan etika tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
1. Prinsip Otonomi
Prinsip otonomi adalah prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien,
terutama hak otonomi pasien. Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan
doktrin informed consent.
2. Prinsip Beneficence
Prinsip Beneficence adalah prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang
ditujukan demi kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal
perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya
(manfaat) lebih besar dari sisi buruknya.
3. Prinsip Non-malificence
Prinsip Non-malificence adalah prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini juga dikenal dengan “primum non
nocere” atau “above all, do no harm”.
4. Prinsip Justice
Prinsip Justice adalah prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan
dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya.
2
beneficence (melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak
melakukan perbuatan yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur),
serta sikap altruisme (pengabdian profesi).
Pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan
dengan pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral diatas. Jonsen,
Siegler dan Winslade (2002) mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik
yang essential dalam pelayanan klinik, yaitu:
1. Medical indication
Kedalam topic medical indication dimasukkan semua prosedur diagnostic dan
terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya.
Penilaian aspek indikasi medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama
menggunakan kaidah beneficence dan non-malificence. Pertanyaan etika pada
topic ini adalah serupa dengan seluruh informasi yang selayaknya disampaikan
kepada pasien pada doktrin informed consent.
2. Patient preferences
Pada topic ini, kita memperhatikan nilai dan penilaian pasien tentang manfaat
dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah autonomy.
Pertanyaan etika meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat volunteer
sikap dan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa pembuat keputusan
bila pasien dalam keadaan tidak sadar dan kompeten serta nilai dan keyakinan
yang dianut oleh pasien.
3. Quality of life
Topik quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran yaitu
memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insane. Apa, siapa dan
bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan etik
3
sekitar prognosis yang berkaitan dengan beneficence, non-malificence dan
autonomy.
4. Contextual features
Dalam topic ini dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis yang
mendahului keputusan seperti factor keluarga, ekonomi, agama, budaya,
kerahasiaan, alokasi sumber daya dan factor hukum.
Informed Consent
1. Threshold elements.
Elemen ini sebenarnya tidak dapat dianggap sebagai elemen, oleh karena
sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang
kompeten. Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat
keputusan (medis). Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya
merupakan kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga
memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat
kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable
berdasarkan alasan yang reasonable).
2. Information elements.
Elemen ini terdiri dari 2 bagian, yaitu disclosure (pengungkapan) dan
understanding (pemahaman).
Dalam hal ini, seberapa “baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat
dilihat dari 3 standar, yaitu:
a. Standar Praktek profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an
informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas
4
tenaga medis. Standar ini terlalu mengacu kepada nilai-nilai yang ada
didalam komunitas kedokteran, tanpa memperhatikan keingintahuan
dan kemampuan pemahaman individu yang diharapkan menerima
informasi tersebut.3
b. Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh
pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai
untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Sebaliknya dari
standar sebelumnya, standar ini sangat sulit dilaksanakan atau hampir
mustahil.3
c. Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar
sebelumnya,yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan
telah memenuhi kebutuhan pada umumnya orang awam. 3
3. Consent elements.
Elemen ini juga terdiri dari 2 baguan, yaitu voluntariness (kesukarelaan,
kebebasan) dan authorization (persetujuan).
Meskipun consent ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah
yang paling banyak dilakukan dalam praktek sehari-hari.
5
Pasien sedang stres emosional sehingga tidak mampu mencerna
informasi.
Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.
Peraturan Perundang-Undangan
(1) Informasi tentang tindakan medic harus diberikan kepada pasien, baik diminta
maupun tidak diminta.
(2) Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya kecuali bila dokter
menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien
atau pasien menolak diberikan informasi.
6
(3) Dalam hal-hal sebagaimana yang dimaksud ayat (2) dokter dengan persetujuan
pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan
didampingi oleh seorang perawat/paramedik lainnya sebagai saksi.
(4) Terhadap dokter yang melakukan tindakan medic tanpa adanya persetujuan dari
pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administrative berupa pencabutan
surat ijin prakteknya.
Kewajiban seorang dokter untuk menyimpan rahasia kedokteran telah diatur dalam
PP.No.10 tahun 1966.2,3
Pasal 1 PP No 10/1996
Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui
oleh orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan
pekerjaannya dalam lapangan kedokteran.
Pasal 2 PP No 10/1996
Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut
dalam pasal 3, kecuali apabila sautu peraturan lain yang sederajat atau lebih
tinggi dari pada PP ini menentukan lain.
Pasal 3 PP No 10/1996
Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:
a. Tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang tenaga kesehatan
b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksan,
pengobatan dan atau perawatan dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri
kesehatan
Pasal 4 PP No/1996
Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia yang tidak
atau dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP, menteri kesehatan
7
dapat melakukan tindakan administratif berdasakan pasal UU tentang tenaga
kesehatan.
Pasal 5 PP No 10/1966
Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka yang
disebut dalam pasal 3 huruf b, maka menteri kesehatan dapat mengambil
tindakan-tindakan berdasarkan wewenang dan kebijaksanaannya.
Pada dasarnya rahasia kedokteran harus tetap disimpan walaupun pasien tersebut telah
meninggal. Rahasia kedokteran ini begitu dijunjung tinggi dalam masyarakat, sehingga
walaupun dalam pengadilan meminta seorang dokter untuk membuka rahasia
kedokteran, seorang dokter memiliki hak tolak (verschoningsrecht). Hak ini telah diatur
dalam pasal 170 KUHAP, yang menentukan bahwa mereka yang diwajibkan
menyimpan rahasia pekerjaan/jabatan dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk
memberi keterangan sebagai saksi. Namun ayat kedua dari pasal 170 KUHAP tersebut
membatasi hak tolak sesuai dengan pertimbangan hakim. Hal ini tentunya diterapkan
bila kepentingan yang dilindungi pengadilan lebih tinggi dari rahasia kedokteran.
Ada beberapa keadaan dimanan pemegang rahasia kedokteran dapat membuka rahasia
tanpa terkena sanksi hukum. Keadan tersebut dapat dibagi menjadi dua:
8
Dampak Hukum4
Tindakan Kedokteran5-6
Solusi Gonore
Kesimpulan
Dalam menghadapi kasus seperti ini, dokter harus tetap menjalankan kaidah
moral etika kedokteran. Harus dipikirkan bagaimana cara agar pasienkeadaan pasien
tidak bertambah buruk, karena memiliki PMS efek ping-pong phenomenon dari
penyakit gonorrhea tetapi kita juga harus tetap menjaga rahasia penyakit pasien.
Sebagai dokter juga harus membujuk pasien agar pasien memberi tahu istrinya dan agar
keduanya bisa diperiksa dan diobati secara rutin.
Daftar Pustaka
9
1. Sampurna. Budi., Syamsu. Zulhasmar., Siswaja. Tjetjep Dwidja. Didalam:
Bioetik dan Hukum Kedokteran. Juli 2007.
2. M Jusuf Hanafiah, Amri Amir. Etika kedokteran indonesia. Diunduh dari
http://www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/ , tanggal 9 Januari 2018
3. Moeljatno. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Cetakan 21. Jakarta : Bumi
Aksara ;2001.h.117
4. Etika Profesi dalam Kesehatan. Diunduh dari: http://id.shvoong.com/medicine-
and-health/gynecology/2019661-etika-profesi-dalam-kesehatan/. Tanggal 9
Januari 2018
5. FK UI. Persetujaun tindakan medic. Dalam : peraturan perundang-undangan
bidang kedokteran. Edisi 1, cetakan ke-2. Jakarta: Bagian Kedokteran forensic
FK UI.1994.hal.20-3.
6. Zubairi, Samsuridjal. Buku ajar ilmupenyakitdalam: hiv/aids di indonesia.
CetakanPertama. Jakarta:InternaPublishing ; 2009.h. 2861-8.
10