I. DESKRIPSI SINGKAT
Pada tahun 2016, berdasarkan data dari Pubic Heath Emergency Operation Center (PHEOC)
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) dan Direktorat Kesehatan Lingkungan Kemenkes
mencatat Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan berjumlah 106 kejadian, 4161 kasus dengan
Case Fatality Rate (CFR) 0,48%. Kecenderungan kejadian KLB Keracunan Pangan sebagian besar
masih bersumber dari pangan siap saji. Berdasarkan jenis pangan, umumnya yang menjadi sumber
KLB Keracunan Pangan berasal dari masakan rumah tangga (37%) dan pangan jajanan (35%). Hasil
investigasi menunjukkan bahwa proses pengolahan pangan yang belum memenuhi higiene sanitasi
menjadi salah satu faktor risiko terjadinya KLB Keracunan Pangan.
Higiene sanitasi pangan adalah pengendalian terhadap faktor pangan, orang, tempat dan peralatan
yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan lainnya (safety).
Ukuran keamanan pangan akan berbeda antara satu orang dengan orang lain, atau satu negara
dengan negara lain sesuai dengan budaya dan kondisi masing-masing, untuk itu perlu ada peraturan
yang menetapkan norma dan standar yang harus dipatuhi bersama. Pada tingkat internasional dikenal
dengan standar codex yang merupakan kerjasama WHO dan FAO yang juga mengatur standar
pangan siap saji dalam perdagangan internasional, sedangkan di Indonesia, standar dan persyaratan
kesehatan untuk pangan ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI.
Upaya peningkatan di bidang kesehatan dilakukan secara bertahap setiap tahunnya dengan berbagai
macam strategi dan inovasi seiring dengan perkembangan penyakit yang berpotensi KLB dan masalah
kesehatan, dimana masalah kesehatan ini sangat di pengaruhi oleh perubahan pola hidup, globalisasi,
perubahan iklim, pembangunan dan pertumbuhan penduduk serta perkembangan agen penyakit.
Peraturan perundangan yang terkait dengan keamanan pangan siap saji di Indonesia antara lain
mengacu pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2012 tentang Pangan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan,
Mutu, dan Gizi Pangan serta Peraturan Menteri Kesehatan.
Peraturan perundangan yang terkait dengan wabah/Kejadian Luar Biasa di Indonesia antara lain
mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991
tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular, dan Peraturan Menteri Kesehatan.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
URAIAN MATERI
POKOK BAHASAN 1 : Peraturan Perundangan Keamanan Pangan Siap Saji
1. Peraturan Perundangan terkait dengan Keamanan Pangan Siap Saji
a. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
b. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan).
d. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan.
e. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 942 Tahun 2003 tentang Pedoman Persyaratan Hygiene
Sanitasi Makanan Jajanan.
f. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1098 Tahun 2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi
Rumah Makan dan Restoran.
g. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan.
h. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2012 tentang Batas Maksimum Melamin dalam
Pangan.
i. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1096 Tahun 2012 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga.
j. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2013 tentang Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan.
k. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2014 tentang Higiene Sanitasi Depot Air Minum.
I. DESKRIPSI SINGKAT
Pangan merupakan persyaratan penting bagi manusia. Namun dalam kondisi tertentu juga dapat
menjadi perantara/kendaraan bagi penularan penyakit jika terkontaminasi dengan mikroba berbahaya
(bakteri, virus atau parasit) atau bahan kimia/racun. Secara global WHO mencatat, milyaran orang
berisiko terkena penyakit bawaan pangan (foodborne disase) dan jutaan lainnya jatuh sakit setiap
tahun. Bahkan tidak sedikit yang meninggal akibat mengkonsumsi pangan yang tidak aman.
Penyakit bawaan pangan terutama disebabkan karena kontaminasi pangan dengan bakteri
berbahaya, virus, parasit, toksin atau bahan kimia. Walaupun secara umum kejadian penyakit bawaan
pangan terjadi akibat kontaminasi mikroba, kontaminan pangan yang bersumber dari bahan kimia juga
banyak mengakibatkan keracunan. Untuk sekelompok orang yang memiliki reaksi terhadap pangan
tertentu, mengkonsumsi pangan yang mengandung zat allergen juga dapat berakibat fatal (1).
URAIAN MATERI
Penyakit bawaan pangan (sering disebut juga keracunan pangan) adalah penyakit yang disebabkan
karena mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi oleh mikroorganisme atau bahan kimia .
Kontaminasi tersebut dapat terjadi di sepanjang rantai pangan sejak saat pangan tersebut di produksi
sampai dengan pangan di konsumsi atau dapat pula terjadi karena pencemaran lingkungan termasuk
pencemaran udara, tanah dan air (2).
Penyakit bawaan pangan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat terutama di negara
miskin dan berkembang. Hal ini dikarenakan penggunaan bahan pangan dan air yang tidak aman
digunakan untuk mengelola pangan, proses pengolahan pangan yang tidak mengindahkan praktik
higiene sanitasi pangan, tidak tersedianya infrastruktur atau fasilitas penyimpanan pangan sesuai
dengan standar dan lemahnya penegakan hukum. Kondisi tropis di beberapa negara dapat
berpengaruh terhadap perkembangbiakan hama/pest dan juga toksin alami dan peningkatan risiko
infeksi parasit 3
termasuk infeksi cacing. Ada lebih dari 250 macam penyakit akibat pangan. Pada umumnya penyakit
ini tergolong infeksius (3).
Pada umumnya penyakit bawaan pangan merupakan “self-limiting disease”, atau penyakit yang dapat
sembuh dengan sendirinya, beberapa bisa sangat serius dan bahkan berakibat kematian. Terdapat
kelompok rentan dimana jika kelompok tersebut terpapar kontaminan, maka akan berakibat lebih
serius seperti keterlambatan perkembangan fisik dan mental sampai dengan kematian. Kelompok ini
termasuk balita atau anak-anak yang belum memiliki cukup kekebalan tubuh, wanita hamil, lanjut usia
dan mereka yang lebih tua atau kelompok dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah misalnya orang
yang sedang sakit. Gambaran detil mengenai kontaminan yang dapat menyebabkan penyakit akibat
pangan terlampir di Lampiran 1.
Penyakit bawaan pangan dapat secara tidak langsung berpengaruh kepada pembangunan ekonomi
karena kasus penyakit bawaan pangan mempunyai dampak negatif terhadap industri pariwisata,
pertanian dan ekspor pangan. Dalam dunia global, penyakit bawaan pangan tidak mengenal batas.
insiden lokal dapat dengan cepat menjadi darurat internasional karena kecepatan dan jangkauan
distribusi produk, besarnya dampak bagi kesehatan, hubungan internasional dan perdagangan.
Pada tahun 2016, berdasarkan data dari Pubic Heath Emergency Operation Center (PHEOC)
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) dan Direktorat Kesehatan Lingkungan Kemenkes
mencatat KLB Keracunan Pangan berjumlah 106 kejadian, 4161 kasus dengan Case Fatality Rate
(CFR) 0,48%. Kecenderungan kejadian KLB Keracunan Pangan sebagian besar masih bersumber
dari pangan siap saji. Berdasarkan jenis pangan, umumnya yang menjadi sumber penyakit bawaan
pangan berasal dari olahan rumah tangga (37%) dan pangan jajanan (35%).
POKOK BAHASAN 1 : Penyakit Bawaan Pangan yang sering Menyebabkan KLB di Asia
Tenggara dan Indonesia
1. Penjelasan Penyakit Bawaan Pangan
Penyakit bawaan pangan (sering disebut juga keracunan pangan) adalah penyakit yang disebabkan
karena mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi. Penyakit bawaan pangan memiliki banyak
penyebab termasuk :
- Mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit, ganggang laut.
- Toksin berasal dari jamur, ikan.
- Bahan kimia dan logam berat termasuk pestisida dan bahan kimia lainnya.
Mikroorganisme adalah organisme hidup berukuran kecil yang hanya dapat dilihat oleh mikroskop.
Tidak semua mikroorganisme dapat menyebabkan penyakit. Mikroorganisme yang berbahaya disebut
juga patogen. Mengkonsumsi pangan yang mengandung mikroorganisme patogen atau
mikroorganisme yang menghasilkan racun adalah penyebab utama penyakit bawaan pangan.
Hampir semua virus dan bakteri dapat menyebabkan sakit tapi tidak dapat dilihat, dicium, atau
dirasakan. Berbeda halnya dengan jamur yang kehadirannya dapat teridentifikasi dengan perubahan
penampakkan pangan, bau yang khas dan rasa yang berbeda. Meskipun demikian, keberadaan jamur
pada pangan biasanya tidak sampai menimbulkan penyakit.
Patogen memerlukan 6 kondisi untuk dapat hidup yaitu: 4
a. Makanan : Pangan yang mengandung karbohidrat dan protein (misalnya daging, ayam, produk susu
dan telur)
b. Keasaman : Patogen biasanya tidak dapat hidup pada pangan dengan pH tinggi (Basa) misalnya
biscuit, atau pangan dengan tingkat pH rendah (Asam) misalnya lemon. Kondisi ideal bagi pathogen
adalah dalam batas pH 4.6 sampai 7.5.
c. Suhu : Patogen dapat berkembang maksimal di suhu antara 50C – 600C (Danger Zone – Zona
Berbahaya)
d. Waktu : Patogen memerlukan waktu untuk berkembang biak. Setelah 4 jam, patogen tersebut akan
berkembang sampai level yang cukup untuk membuat manusia sakit.
e. Oksigen :
f. Kelembapan :
Beberapa patogen membutuhkan oksigen untuk tumbuh, sementara yang lain baru dapat tumbuh jika
tidak ada oksigen. Memahami tipe mikroorganisme dan kaitannya dengan ketersediaan oksigen dapat
memcegah penyakit bawaan pangan.
Patogen memerlukan kelembapan untuk tumbuh. Jumlah kelembapan yang tersedia di pangan untuk
pertumbuhan mikroorganisme dihitung dalam satuan water activity/aktifitas air (aw). Batas aktifitas air
adalah 0.0 sampai dengan 1.0. Pangan dengan aktifitas air 0.85 atau lebih tinggi dapat menjadi kondisi
paling ideal patogen untuk tumbuh.
2. Karakteristik Agen Etiologi yang Berasosiasi dengan KLB Keracunan Pangan di Asia
Tenggara dan di Indonesia
Indonesia bersama-sama dengan Thailand dan Nepal digolongkan oleh WHO masuk pada sub
regional B, diperkirakan terjadi 150 juta KLB karena pangan yang menyebabkan 175 ribu kematian
dengan 12 juta DALYs. Di wilayah ini Campylobacter merupakan patogen bawaan pangan yang paling
banyak menyebabkan KLB, diikuti dengan Shigella sp (Gambar 1) tetapi Salmonella typhi merupakan
patogen bawaan pangan yang paling banyak menyebabkan kematian (Gambar 2).(4).
Gambar 1. Penyebab PBP di WHO SEAR
Gambar 2. Penyebab kematian akibat PBP di WHO-SEAR 5
1. Bacillus cereus
2. Staphylococcus
3. E. coli
4. Histamin
5. Jamur
6. Salmonella
7. C. perfringens
8. Shigella
9. V. parahaemolyticus
1. E. coli
2. Bacillus cereus
3. Staphylococcus
4. Jamur
5. Salmonella
6. Histamin
7. V. cholera
8. Streptococcus
9. Virus Hepatitis A
MODUL : MI 2
PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI DALAM PENANGGULANGAN KLB
KERACUNAN PANGAN
I. DESKRIPSI SINGKAT
Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan dan keracunan bahan berbahaya lainnya masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat karena dapat menyebabkan kesakitan dan kematian dalam
jumlah besar, membutuhkan anggaran yang besar dalam upaya penanggulangannya, berdampak
pada sektor ekonomi, pariwisata serta berpotensi menyebar luas lintas kabupaten/kota, provinsi,
regional bahkan internasional yang membutuhkan koordinasi dan penanggulangan.
Menurut Permenkes RI No. 45 Tahun 2014 tentang penyelenggaraan surveilans kesehatan disebutkan
“Penyelidikan epidemiologi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengenal penyebab,
sifat-sifat penyebab, sumber dan cara penularan/penyebaran serta faktor yang dapat mempengaruhi
timbulnya penyakit atau masalah kesehatan yang dilakukan untuk memastikan adanya KLB atau
setelah terjadi KLB/wabah”, sedangkan “Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau
meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu
daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya
wabah.”
Lebih khusus seperti tertuang dalam Permenkes RI No. 2 Tahun 2013 pengertian KLB Keracunan
Pangan adalah suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan
gejala yang sama atau hampir sama setelah mengonsumsi pangan, dan berdasarkan analisis
epidemiologi, pangan tersebut terbukti sebagai sumber keracunan.
Menerapkan teknik menggali informasi awal KLB Keracunan Pangan dengan sistematis, fokus dan
bermanfaat, harus pintar dan terampil menerapkan langkah-langkah penyelidikan tersebut. Oleh
karena itu, perlu mempelajari masing-masing langkah dengan baik pada bahasan- bahasan berikut.
Untuk melaksanakan penyelidikan KLB Keracunan Pangan, investigator wajib mempelajari berbagai
jenis agen keracunan dari referensi, karena tanpa “ilmu agen racun”, investigator sudah “salah
langkah” sebelum penyelidikan KLB Keracunan Pangan dimulai.
2. Penyelidikan Awal
Penyelidikan harus dimulai sejak menerima informasi adanya indikasi KLB Keracunan Pangan. Tujuan
penyelidikan awal KLB adalah memastikan dan melengkapi informasi yang belum tuntas saat
menerima laporan pertama kali adanya indikasi KLB Keracunan Pangan, antara lain untuk :
a. Memastikan adanya KLB.
b. Menetapkan etiologi KLB.
c. Memperkirakan epidemiologi deskriptif (besar masalah).
d. Memperkirakan kelompok-kelompok rentan.
e. Memperkirakan sumber dan cara penularan atau keracunan.
f. Menentukan cara-cara penanggulangan.
Penyelidikan awal KLB merupakan tahapan kritis menghadapi situasi terjadinya KLB. investigator
memastikan apakah KLB tersebut segera dilakukan penanggulangan atau mungkin masalahnya sudah
selesai, sehingga tidak perlu ada kegiatan penanggulangan lebih lanjut.
Apabila penyelidikan awal sudah mendapat hasil penyelidikan yang diharapkan, misalnya sudah
diketahuinya agen penyebab (etiologi) KLB, atau diketahuinya pangan sumber keracunan, maka tidak
perlu ada penyelidikan lanjutan, artinya segera dilakukan upaya-upaya penanggulangan KLB dan
memperkuat surveilans.
Prinsip-Prinsip Penyelidikan Awal KLB
a. Sasaran penyelidikan awal adalah : 1) Dokter atau petugas kesehatan yang memeriksa dan atau
merawat kasus-kasus yang dicurigai.
2) Dokumen kasus-kasus yang dicurigai yang dirawat di fasilitas pelayanan kesehatan.
3) Kasus-kasus (penderita) yang dicurigai yang masih dirawat di fasilitas pelayanan kesehatan.
4) Tempat kejadian (lurah, warga, kasus, lingkungan dan kegiatan masyarakat).
5) Sasaran lain yang dapat menjelaskan situasi KLB.
6
b. Metode 1) Setiap sasaran dilakukan wawancara “terbuka” dan “mendalam”, jika diperlukan juga
dilakukan observasi dan atau pemeriksaan serta pengujian spesimen. Wawancara bisa melalui
telepon, email, chating atau tatap muka langsung. Setiap sasaran bisa diwawancara berulang kali jika
diperlukan.
2) Spesimen klinik, contoh pangan dan contoh lingkungan sebaiknya sudah diambil pada saat
penyelidikan awal ini.
3) Waktu, segera setelah mendapat informasi adanya indikasi KLB, sebaiknya tidak lebih dari 24 jam
sejak laporan diterima. Apabila terjadi keterlambatan melakukan penyelidikan awal, maka banyak
kasus sudah mulai lupa atau bias dengan kejadian-kejadian yang dialaminya, misal lupa dengan waktu
mulai sakit, lupa dengan jenis pangan yang pernah dimakan, spesimen klinik sudah berbeda, contoh
pangan dan lingkungan sudah berubah atau sudah tidak ada.
4) Hasil kegiatan penyelidikan awal adalah sama dengan hasil penyelidikan lengkap sesuai dengan
masing-masing tujuan penyelidikan. Mungkin datanya baru sedikit, ketepatannya masih perlu
dilengkapi, dan sebagainya.
5) Penyelidikan awal, bisa saja dilakukan oleh seorang petugas, tetapi sebaiknya tim lengkap. Ini
penting karena kemungkinan melakukan pemeriksaan fisik kasus (dokter), pengambilan spesimen
klinik (petugas laboratorium), contoh pangan dan contoh lingkungan (sanitarian).
5. Menentukan Definisi Operasonal Kasus, Jenis Data yang ingin Diperoleh (Variabel),
Questioner, dan Cara Menemukan Kasus
Kegiatan ini berguna untuk menentukan etiologi KLB Keracunan Pangan, menentukan epidemiologi
deskriptif dan menentukan sumber keracunan. Seluruh kegiatan ini berada pada tahap persiapan yaitu
sebagai bagian dari proposal penyelidikan KLB Keracunan Pangan dengan langkah-langkah kegiatan
sebagai berikut :
a. Menetapkan definisi operasional kasus.
b. Menentukan cara-cara menemukan kasus (dimana, bagaimana dan oleh siapa).
c. Menentukan data yang ingin direkam (variabel) dan cara data ini diperoleh.
d. Menentukan daftar pertanyaan yang akan digunakan untuk wawancara dan pemeriksaan
(questioner). Semua data yang ingin direkam (variabel) harus masuk dalam questioner ini.
e. Rencana pelaksanaan (jadwal, nama fasilitas pelayanan kesehatan, dsb). Pelajari pada langkah
penemuan kasus di lapangan.
Setiap kasus yang sesuai dengan definisi operasional kasus, akan dilakukan wawancara dengan
menggunakan questioner yang telah disiapkan. Wawancara ditujukan untuk mendapatkan variabel
yang diperlukan, antara lain identitas diri kasus, waktu makan, waktu mulai sakit, umur, jenis kelamin
dan variabel lain yang diperlukan. Variabel mana yang diperlukan, disesuaikan dengan tujuan
penyelidikan dan desain analisisnya. Questioner dapat disesuaikan saat berada di lapangan karena
pada saat di lapangan bisa saja menemukan keadaan yang berbeda dengan perkiraan semula.
6. Penemuan dan Perekaman Data Kasus KLB Keracunan Pangan
Jika langkah menentukan definisi operasonal kasus, jenis data yang ingin diperoleh (variabel),
questioner, dan cara menemukan kasus dilaksanakan pada tahap persiapan, maka penemuan dan
perekaman data kasus KLB keracunan pangan dilaksanakan di lapangan dengan memanfaatkan
semua hasil persiapan yang dilakukan. Penemuan dan perekaman data kasus KLB dapat dilakukan
pada salah satu atau semua lokasi :
a. Pendataan kasus-kasus di fasilitas pelayanan kesehatan.
b. Pendataan kasus-kasus yang ada di tengah masyarakat.
c. Pendataan kasus-kasus melalui wawacara pemeriksaan kelompok berisiko tinggi tertentu.
8
• besar masalah KLB
• gejala yang banyak terjadi diantara korban
• kapan terjadinya
• berapa jumlah korban
• siapa saja yang rentan atau mempunyai riisko keracunan dan
• bagaimana kemungkinan perkembangan kejadian tersebut
• apa agen penyebab keracunan
• apa makanan yang menjadi sumber keracunan
Dokter menanyakan gejala dan tanda sebagai kondisi individu penderita, epidemiolog menyatakan
gejala dan tanda sebagai kondisi sekelompok orang yang menjadi korban keracunan. Untuk
memudahkan pemahaman prinsip analisis distribusi gejala dibahas contoh berikut :
Berdasarkan wawancara terhadap korban KLB keracunan pangan tentang gejala yang dialami maka
diperoleh distribusi gejala yang paling banyak sebagai berikut: 9
Tabel 1 Distribusi
KLB Keracunan Pangan SMA Satu Berdasarkan
Gejala, 2017
Gejala Jumlah %
Kasus
Mual 46 80,7
Pusing 36 63,2
Muntah 25 43,9
Sakit perut 11 19,3
MODUL : MI.3
INVESTIGASI FAKTOR RISIKO PANGAN DAN LINGKUNGAN PADA KLB
KERACUNAN PANGAN
I. DESKRIPSI SINGKAT
Investigasi lingkungan, seringkali juga disebut sebagai investigasi pangan atau sanitasi, dilakukan
bersamaan dengan penyelidikan epidemiologi dan laboratorium untuk mengetahui bagaimana dan
mengapa Kejadian Luar biasa (KLB) Keracunan Pangan terjadi dan melakukan tindakan korektif untuk
mencegah kejadian serupa pada masa yang akan datang. Lingkungan yang dimaksud adalah faktor
risiko kesehatan lingkungan yang diduga berkontribusi terhadap terjadinya KLB Keracunan Pangan.
Investigasi lingkungan ini akan berbeda-beda untuk setiap kejadian, sesuai dengan sifat dan ukuran
KLB, sektor yang terlibat, sumber daya yang tersedia, prioritas lokal, kebijakan politik dan hukum serta
faktor-faktor lainnya. Oleh sebab itu hanya aspek umum yang dapat diuraikan dalam modul ini.
Investigasi lingkungan dilakukan dalam konteks KLB penyakit bawaan pangan berbeda dengan
pemeriksaan rutin yang dilakukan untuk mengidentifikasi pelanggaran peraturan. Investigasi
lingkungan terkait KLB, harus dipandu oleh data dari berbagai sumber terkait yang melakukan
investigasi. Investigasi seperti ini harus dipersiapkan (sebelum kejadian KLB) dengan sektor terkait,
sehingga saat kejadian, investigasi yang dilakukan bukan hanya sekedar mengklarifikasi kondisi
sebenarnya. Setiap pangan yang diduga menjadi penyebab (atau bisa) menjadi penyebab KLB harus
diperiksa.
Jumlah bukti fisik bisa berkurang dengan cepat dalam waktu singkat setelah kejadian KLB diidentifikasi
oleh sebab itu investigasi yang berhubungan dengan pangan harus dilakukan secepat mungkin. Pada
kasus KLB kecil, bisa dibuat definisi dengan baik (seperti tempat kejadian KLB pada sebuah restoran),
identifikasi tempat kejadian bisa mudah diidentifikasi dan investigasi lingkungan bisa segera dilakukan.
Pada kasus KLB yang kompleks investigasi mungkin bisa mengalami penundaan, karena harus
menghubungkan kasus dengan sumber pangan atau tempat kejadian, investigasi pangan bisa
mengalami kesulitan atau bahkan mungkin tidak bisa dilakukan.
Perlu dipahami, pada sebuah kejadian KLB koordinasi dengan semua sektor terutama kepolisian.
Sering dialami barang bukti pangan terduga sudah disita sebagai barang bukti untuk proses penyidikan
kepolisian. Oleh sebab itu perlu dilakukan koordinasi yang baik sehingga kebutuhan sisa pangan untuk
investigasi KLB dan penyidikan kepolisian bisa terpenuhi. Begitu juga kaitannya dengan investigasi
lingkungan, diperlukan koordinasi dengan kepolisian untuk mengamankan lokasi lingkungan dan
peralatan pada sumber pangan terduga. Sumber yang dimaksud adalah sumber pada tempat pangan
terduga KLB bisa berupa Tempat Pengelolaan Pangan (TPP) atau tempat-tempat lainya yang menjadi
tempat kejadian.
Salah satu tujuan investigasi lingkungan adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berperan dalam
kejadian KLB. Investigasi harus dipandu oleh hasil yang sudah diketahui dari hasil investigasi
epidemiologi, dan hasil laboratorium tentang reservoir dari agent yang dicurigai. Jika pangan yang
dicurigai telah ditetapkan secara epidemiologi, Upaya harus difokuskan terhadap bagaimana pangan
tersebut bisa tercemar. Jika hasil uji laboratorium telah mengidentifikasi kuman patogen, upaya bisa 2
difokuskan terhadap pangan dan kondisi pangan yang dicurigai. Investigasi seperti ini bisa memakan
biaya besar, memakan waktu dan penilaian terbatas.
II. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti orientasi ini, peserta menguasai teknik investigasi faktor risiko pangan dan
lingkungan serta membuat rekomendasi tindakan korektif pada KLB Keracunan Pangan.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti orientasi ini, peserta mampu melakukan:
1. Pengumpulan informasi/data faktor risiko pangan dan lingkungan.
2. Pengumpulan informasi pada sumber pangan terduga KLB Keracunan Pangan.
3. Langkah-langkah investigasi faktor risiko pangan dan lingkungan.
4. Analisis faktor risiko pangan dan lingkungan dan rekomendasi perbaikan.
URAIAN MATERI
Upaya yang dilakukan dalam penanggulangan Kejadian Luar (KLB) Biasa Keracunan Pangan adalah
melakukan pertolongan pada korban, melakukan penyelidikan epidemiologi dan upaya pencegahan
meluasnya atau terulangnya KLB. Penyelidikan epidemiologi yang dilakukan termasuk seluruh aspek
yang terkait higiene sanitasi pangan. Tujuan penyelidikan epidemiologi diantaranya adalah
mengetahui sumber, cara terjadinya KLB dan menentukan cara penanggulangan yang efektif dan
efisien. Sumber dan cara terjadinya KLB dapat diketahui berdasarkan analisis epidemiologi, hasil
pengujian contoh pangan dan kondisi higiene sanitasi pangan(2).
Fungsi petugas yang melakukan penyelidikan kesehatan lingkungan adalah melakukan penyelidikan
penularan dan melakukan upaya pencegahan berlanjutnya penularan, mencegah berlanjutnya
pendistribusian pangan terduga KLB, mengidentifikasi individu atau kelompok berisiko tertular,
mengidentifikasi sumber kontaminasi, mengidentifikasi faktor kesehatan lingkungan yang berkontribusi
terhadap terjadinya KLB dan mengidentifikasi faktor risiko kesehatan lingkungan yang berpotensi
menyebabkan penularan serta memodifikasi prosedur yang diperlukan untuk bisa mengurangi risiko
penularan(3).
Berdasarkan uraian di atas secara umum ada tiga jenis kegiatan yang perlu dilakukan oleh petugas
yang melakukan penyelidikan faktor risiko kesehatan lingkungan KLB yaitu mengumpulkan informasi
faktor risiko kesehatan lingkungan pada tempat kejadian, mengumpulkan informasi sumber pangan
terduga penyebab KLB serta upaya pencegahan penularan.
1. Pengumpulan Informasi/data Faktor Risiko Kesehatan Lingkungan pada Tempat KLB
Keracunan Pangan.
Pengumpulan informasi/data faktor risiko kesehatan lingkungan ini dilakukan oleh tim peyelidikan KLB
Keracunan Pangan (tim KLB) yang dimulai pada tempat kejadian KLB. Informasi awal yang diperlukan
adalah identitas, alamat dan jumlah korban. Informasi ini bisa diperoleh dari form 2 Penyelidikan
Epidemiologi (PE). Setelah informasi tersebut diperoleh oleh tim KLB (termasuk didalamnya tim
penyelidikan faktor risiko kesehatan lingkungan) melakukan pelacakan dan identifikasi jenis-jenis
pangan/menu yang dicurigai dan di konsumsi oleh seluruh penderita KLB (jika memungkinkan).
Selanjutnya informasi yang diperoleh, dijadikan bahan kajian cepat oleh seluruh tim penyelidikan KLB
untuk menetapkan pangan/menu yang diduga sebagai penyebab KLB keracunan pangan tersebut
(pangan terduga KLB).
Informasi yang dikumpulkan untuk penyelidikan fakor risiko kesehatan lingkungan pada tempat
kejadian KLB adalah faktor yang bisa menyebabkan terjadinya kontaminasi pada pangan terduga KLB,
setelah disajikan/dibeli/diterima sampai dikonsumsi, sehingga menimbulkan penyakit. Informasi yang
diperlukan berupa potensi bahaya seperti: 5
a. Kondisi pangan terduga saat dikonsumsi
Kondisi yang dimaksud adalah kondisi fisik pangan secara umum masih baik. Faktor risiko kesehatan
lingkungan : Kondisi fisik pangan yang menjadi perhatian adalah tidak ada tanda-tanda kerusakan,
pada kemasan tidak ada tanda-tanda kerusakan dan masih belum melewati tanggal kadaluarsa produk
(jika pangan tersebut merupakan produk pangan kemasan). Bagi pangan yang disiapkan dengan cara
dimasak atau disajikan mentah/segar, kondisi fisiknya masih baik tidak ada tanda-tanda pangan sudah
terjadi proses pembusukan yang bisa terlihat seperti adanya jamur atau bau yang tidak sedap atau
perubahan warna atau tekstur pangan itu sendiri.
1. Informasi faktor risiko kesehatan lingkungan yang diamati adalah :
a) Kondisi fisik pangan dan perubahan aroma pangan.
b) Jika pangan kemasan, yang diamati kondisi kemasan dan tanggal kadaluarsa.
2. Sumber informasi : penderita/keluarga yang mengkonsumsi pangan terduga KLB.
3. Cara memperoleh informasi : wawancara dengan penderita/keluarga yang mengkonsumsi pangan
terduga KLB.
Jika pangan disiapkan (dimasak/pengolahan dingin/segar) dengan aman, maka pangan yang
dihasilkan seyogyanya akan aman dikonsumsi.
Faktor risiko kesehatan lingkungan : Perlakuan atau pengelolaan pangan setelah disiapkan yang tidak
aman, juga merupakan faktor risiko yang bisa menyebabkan terjadinya kontaminasi pada pangan itu
sendiri. Sebaiknya pangan segera di konsumsi setelah selesai disiapkan. Jangan membiarkan pangan
yang sudah disiapkan lebih dari empat jam pada suhu ruang. Jika disajikan sudah lebih dari empat
jam berada dalam suhu ruang (zona suhu berbahaya 50C-600C) dan belum dikonsumsi,
dikahawatirkan sudah terjadi pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme pada pangan tersebut.
Jika tidak memungkinkan untuk dipanaskan kembali maka sebaiknya pangan tersebut tidak
dikonsumsi lagi.
Pangan yang akan dikonsumsi mentah atau segar seperti buah-buahan atau sayuran, yang perlu
diperhatikan adalah kondisi fisik dan pembersihan sebelum dikonsumsi. Hal ini disebabkan jenis
pangan ini berpotensi untuk mengalami kontaminasi pada sumber seperti terkontaminasi akibat
menggunakan air yang sudah tercemar atau air limbah dan penggunaan pupuk saat masih di lahan
pertanian.
1. Informasi faktor risiko kesehatan lingkungan yang diamati adalah:
a) Waktu (hari, tanggal dan jam; menit) pangan disajikan/dibeli/diterima.
b) Waktu (hari, tanggal dan jam; menit) pangan dikonsumsi.
2. Sumber informasi: penderita/keluarga yang mengkonsusmsi pangan terduga KLB.
3. Cara memperoleh informasi: wawancara dengan penderita/keluarga yang mengkonsumsi pangan
terduga KLB.
Perlakuan terhadap pangan sebelum dikonsumsi bisa menjadikan pangan tersebut aman atau tidak
aman saat dikonsumsi.
Faktor risiko kesehatan lingkungan : Ada beberapa perlakuan yang bisa mencegah terjadinya
kontaminasi pada pangan yang akan dikonsumsi, seperti pemanasan kembali, menyimpan pangan
pada suhu aman, mencuci ulang pangan yang akan dikonsumsi segar/mentah. perlakuan ini bisa
meminimalisir risiko kontaminasi 6
pada pangan. Perlakuan menyimpan pangan dalam suhu aman (<50C) jika tidak akan segera
dikonsumsi, juga merupakan upaya untuk meminimalisir terjadinya pertumbuhan dan perkembangan
mikroorganisme dalam pangan itu sendiri.
Perlakuan yang tidak higienis juga bisa menyebabkan terjadinya kontaminasi pada pangan seperti
pemanasan yang tidak mencapai suhu aman (>700C) justru bisa menyebabkan mikroorganisme
mencapai suhu optimum untuk tumbuh dan berkembang dalam pangan itu sendiri.
1. Informasi faktor risiko kesehatan lingkungan yang diamati adalah:
a) Tempat penyimpanan, suhu penyimpanan.
b) Perlakuan pemanasan kembali bagi pangan matang.
c) Perlakuan pencucian ulang bagi pangan yang akan dikonsumsi mentah.
d) Kualitas bakteriologis air bersih yang digunakan dalam pengelolaan pangan pada tempat kejadian.
2. Sumber informasi : penderita/keluarga yang mengkonsusmsi pangan terduga KLB.
3. Cara memperoleh informasi : wawancara dengan penderita/keluarga yang mengkonsumsi pangan
terduga KLB.
Petugas yang melakukan penyelidikan faktor risiko kesehatan lingkungan juga mengumpulkan
informasi pada sumber pangan terduga KLB. Bisa saja sumber pangan terduga KLB juga merupakan
tempat kejadian KLB jika KLB terjadi pada sumber pangan terduga. Pada dasarnya informasi yang
diperlukan adalah faktor risiko yang diduga bisa menyebabkan kontaminasi pada pangan terduga KLB
mulai dari tahap penerimaan bahan pangan sampai penyajian. Informasi yang diperlukan sebagai
faktor risiko pada sumber pangan terduga KLB adalah:
a. Alur pengelolaan pangan terduga KLB pada sumber.
b. Identifikasi bahan baku pangan terduga KLB.
c. Identifikasi sumber bahan pangan terduga KLB.
d. Identifikasi pemisahan penyimpanan bahan baku pangan terduga KLB.
e. Identifikasi bahan untuk persiapan dan penyajian pangan terduga KLB.
1) Nama menu/masakan, nama bahan baku yang digunakan pangan terduga KLB.
2) Cara mempersiapkan menu/masakan pangan terduga KLB.
3) Rentang waktu selesai dipersiapkan sampai penyajian pangan terduga KLB.
4) Tempat penyimpanan pangan sisa dan suhu penyimpanan pangan terduga KLB.
f. Pengangkutan pangan terduga KLB.
g. Kemasan pangan terduga KLB.
h. Penyajian kembali pangan terduga KLB.
i. Pengamatan bidang kerja persiapan pangan terduga KLB.
j. Pengamatan peralatan yang digunakan dalam pengelolaan pangan terduga KLB.
k. Identifikasi penjamah pangan yang mempersiapan pangan terduga KLB.
l. Kecukupan sarana sanitasi yang memenuhi persyaratan.
m. Pengambilan sampel.
Sebelum masuk ke alur pengolahan pangan, bahan pangan dapat berasal dari
pemasok/supermarket/toko/warung/pasar tradisional/petani/peternak. Jika diibaratkan 7
sebuah rantai pangan (food chain) maka bahan pangan tersebut dimulai dari pertanian/peternakan
atau produksi primer hingga sampai ke konsumen akhir dan termasuk pengolahan manufaktur,
transformasi, pengemasan, penyimpanan, transportasi, distribusi dan penjualan atau penyedia produk
(6).
Pada beberapa kajian dan penelitian bahwa kasus penyakit infeksi bawaan pangan dapat disimpulkan
bahwa berdasarkan etiologi, transmisi dan identifikasi mikrobiologis bisa diprediksi bahwa menurut
karakteristik penyebab penyakit bawaan pangan berasal dari lingkungan di sekitar tempat persiapan
pangan, termasuk penjamah pangan (7, 8).
Oleh sebab itu informasi mengenai alur pengelolaan pangan terduga KLB perlu diketahui sebagai
salah satu acuan tim KLB untuk memperoleh informasi faktor risiko kesehatan lingkungan. Alur
pengelolaan pangan dimulai dari sumber bahan pangan itu sendiri. Sumber yang dimaksud adalah
sumber bahan pangan yang digunakan untuk menyiapkan pangan terduga KLB. Tim penyelidikan
faktor risiko kesehatan lingkungan merinci terlebih dahulu jenis pangan/menu pangan terduga,
selanjutnya mengumpulkan data/informasi tentang pengelolaan bahan pangan sampai dengan
pangan terduga KLB disajikan.
Sebagai ilustrasi, jika pangan terduga adalah nasi kotak, dalam satu paket nasi kotak tersebut disajikan
nasi putih, sayur singkong rebus, ayam goreng tepung (paha bawah) dan sambal goreng (merah),
maka tim KLB akan mengumpulkan informasi mengenai alur pengelolaan masing-masing menu
tersebut. Informasi ini bisa diperoleh melalui pencatatan yang ada pada sumber (jika tersedia) atau
dengan metode mewawancarai pemilik atau penjamah pangan atau penanggung jawab yang
mengetahui alur pengelolaan masing-masing pangan/menu terduga KLB tersebut. Berikut ini disajikan
ilustrasi alur pangan.
Umumnya alur pengelolaan pangan berawal dari sumber bahan yang digunakan untuk menyiapkan
pangan terduga KLB. Setelah bahan diterima oleh pengelola/penjamah pangan pada sumber, bahan
pangan tersebut bisa saja disimpan terlebih dahulu sebelum digunakan untuk menyiapkan menu
pangan terduga KLB. Bisa juga bahan yang sudah diterima langsung digunakan untuk menyiapkan
pangan terduga KLB. Tahap selanjutnya adalah penyajian pangan terduga KLB. Pangan/menu yang
sudah selesai disiapkan akan disajikan untuk dikonsumsi. Bisa juga pangan terduga yang sudah
disiapkan tidak langsung disajikan tetapi disimpan terlebih dahulu sebelum disajikan/didistribusikan.
Beberapa jenis pangan/menu terduga KLB bisa saja disajikan atau didistribusikan setelah disimpan,
tetapi untuk beberapa jenis pangan/menu, terutama pangan matang yang tidak dikemas umumnya
perlu perlakuan pemanasan jika akan disajikan kembali. Setelah dipanaskan barulah pangan tersebut
disajikan untuk dikonsumsi (Gambar 1).
Seseorang yang terlibat dalam persiapan sampai penyajian disebut penjamah pangan. Penjamah
pangan adalah orang yang secara langsung berhubungan dengan pangan dan peralatan mulai dari
tahap persiapan, pembersihan, pengolahan, pengangkutan sampai dengan penyajian (9). Menurut
WHO, penjamah pangan juga termasuk orang yang menangani pangan yang dikemas atau tidak
dikemas dan peralatan yang digunakan untuk persiapan atau penyajian dan atau permukaan/bidang
kerja yang kontak dengan pangan (4, 10). 8
BAHAN DITERIMA
PEMANASAN KEMBALI
PENYIMPANAN PANGAN JADI
Penyajian
PERSIAPAN
KONSUMSI
PENYIMPANAN
Gambar 3.1. Alur Pengelolaan Pangan
Sumber : Dikembangkan dari alur pengelolaan pangan (4), Food Handlers manual instructor. Food and
Agriculture Organization of the United Nations and Pan American Health Organization / World Health
Organization. h : 45.
Alur di atas menggambarkan alur pengelolaan pangan secara umum pada sumber pangan terduga
KLB. Saat melakukan penyelidikan, perlu ditelusuri alur pengelolaan pangan terduga KLB, karena
pada setiap tahapan yang dilalui bahan pangan atau pangan, kemungkinan terdapat titik-titik kendali
kritis yang bisa berkontribusi terhadap terjadinya kontaminasi pada pangan terduga KLB. Oleh sebab
itu tim penyelidikan perlu menginventarisir kesalahan/ketidakamanan pengelolaan pada setiap tahap
yang dilalui dalam pengelolaan pangan terduga KLB. Pada Tabel 1 disajikan tahapan alur pengelolaan
pangan secara umum dan faktor risiko kesehatan lingkungan yang kemungkinan bisa menyebabkan
terjadinya kontaminasi pada pangan/menu terduga KLB.
Tabel 3.1. Alur Pengelolaan Pangan Faktor risiko yang diamati
dan Potensi Faktor Risiko Kesehatan
Lingkungan Alur
Sumber bahan pangan Pangan atau bahan pangan bisa jadi
sudah terkontaminasi atau sudah
mengalami kerusakan pada sumbernya
Penerimaan bahan
- Kondisi fisik bahan pangan atau pangan
saat diterima seperti : warna, bau, rasa
dan tekstur.
- Jika bahan pangan/pangan terduga KLB
kemasan, perlu diketahui kondisi
kemasan dan tanggal kadaluarsa.
- Jika bahan pangan/pangan terduga KLB
disajikan mentah perlu diketahui tanggal
dan jam penerimaan.
- Penjamah pangan yang terlibat dalam
penerimaan
Penyimpanan bahan pangan
(jika bahan pangan/pangan terduga - Tempat penyimpanan, pemisahan
disimpan bahan mentah dan matang atau pangan
yang siap dikonsumsi pada penyimpanan
diletakkan pada posisi atas dan yang
mentah di bagian bawah, serta sirkulasi
pengeluaran pangan dari penyimpanan.
- Kesesuaian suhu penyimpanan dengan jenis
bahan
MATERI INTI 4 (MI.4)
MANAJEMEN SAMPEL KLB KERACUNAN PANGAN
I. DESKRIPSI SINGKAT
Keracunan pangan dapat terjadi dalam kehdupan sehai-hari, bersifat insidentil (tidak terduga
sebelumnya\ dan dapat berasal dari makanan,minuman, air, dan lain-lain. Pengambilan dan
pengiriman sampel/bahan akibat keracunan merupakan suatu tahap langkah yang memegang
peranan penting dalam kasus keracunan, sebab berhubungan erat dengan hasil pemeriksaan
laboratorium nantinya. Untuk memperoleh hasil pemeriksaan yang dapat dipertanggungjawabkan,
maka syarat – syarat pengambilan, pemilihan, penyimpanan, pengiriman sampel ke laboratorium
harus dipenuhi dan benar-benar diperhatikan. Seorang pengambil sampel/bahan akibat keracunan
harus terampil dan jeli dalam mengamati keadaan kasus keracunan tersebut, sehingga dapat
mengambil dan mengirim sampel/bahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Manajemen sampel yang meliputi tata cara pengambilan dan pengiriman sampel merupakan salah
satu tahapan penting pelaksanaan penyelidikan epidemiologi KLB Keracunan Pangan. Oleh karena
itu, manajemen sampel perlu dilakukan dengan kaidah-kaidah yang benar serta memenuhi standar
yang ada. Kegiatan ini meliputi tahapan perencanaan pengambilan sampel, pelaksanaan pengambilan
sampel, hingga penanganan atau pengamanan sampel. Keseluruhan tahapan ini membutuhkan
kompetensi dari petugas pengambil sampelnya. Agar petugas pengambil sampel dapat melakukan
pengambilan sampel dengan benar sesuai standar, perlu dilakukan pembekalan pengetahuan
petugas.
Pengambilan sampel pada KLB Keracunan Pangan menjadi penting untuk mengetahui penyebab
terjadinya keracunan pangan sehingga dapat dilakukan langkah pengendalian yang tepat. Langkah
pengendalian itu berupa pengobatan dan pemberian obat-obatan (antibiotik) yang tepat pada korban
karena mengetahui penyebab keracunan. Selain itu dapat menjadi data awal untuk mengambil langkah
antisipatif agar kejadian yang sama tidak akan terulang.
Upaya pengamanan makanan dan minuman pada dasarnya meliputi orang yang menangani pangan,
tempat pengelolaan pangan, peralatan pengolahan pangan dan proses pengolahannya. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi terjadinya keracunan pangan, 4
antara lain adalah higienis perorangan yang buruk, cara penanganan pangan yang tidak sehat dan
perlengkapan pengolahan pangan yang tidak bersih.
c. Jenis sampel KLB Keracunan Pangan
1) Sampel makanan dan minuman yang menjadi terduga penyebab KLB Keracunan Pangan.
2) Sampel muntahan pada korban.
3) Sampel feses pada penjamah pangan dengan parameter Salmonella thyphi maupun E. coli
pathogen.
4) Sampel usap alat atau penjamah (jika memungkinkan dan memiliki sumber daya yang memadai
dan memiliki SDM dengan kompetensi yang sesuai standar).
Dalam melakukan antisipasi tidak diperolehnya pangan pada KLB keracunan pangan, diperlukan
sosialisasi dan pengawasan terhadap tempat pengolahan pangan seperti katering ataupun penjamah
pangan dadakan (saat syukuran atau hajatan) yang memasak dalam porsi besar untuk selalu
menyimpan sampel masakannya sebagai berikut:
a) Harus ada satu porsi sampel (contoh) pangan pada setiap menu yang disimpan sebagai bank
sampel untuk dijadikan konfirmasi bila terjadi gangguan ataupun keracunan.
b) Penempatan sampel pangan untuk setiap jenisnya menggunakan kantong plastik yang steril dan
sampel tersebut disimpan dalam suhu <40C selama 1 x 24 jam.
c) Buang sampel pangan jika sudah tidak diperlukan lagi.
d) Jumlah pangan yang diambil untuk dijadikan sampel adalah sebagai berikut:
Pangan kering/gorengan dan kue : 1 potong
Pangan berkuah : 1 potong + kuah 1 sendok sayur
Pangan penyedap/sambal : 2 sendok makan
Pangan cair : 1 sendok sayur
Nasi : 100 gram
Minuman : 100 cc
Dalam KLB Keracunan Pangan, waktu pengambilan sampel semakin cepat maka semakin baik. Jika
KLB diduga disebabkan oleh patogen dalam pangan yang “perishable” (mudah rusak seperti sayuran,
buah, daging) maka pengambilan sampel pangan diupayakan tidak lebih dari 24 jam setelah pangan
disajikan. Jika senyawa kimia atau bahan pangan baku yang diduga menjadi penyebab KLB, maka
pangambilan sampel lebih dari 24 jam masih memungkinkan. Dalam pemilihan pengambilan sampel
KLB Keracunan Pangan, pangan yang paling dicurigai harus diteliti lebih dulu baru kemudian pangan
lainnya. Akan tetapi, dalam pengambilan sampelnya, perlu dilakukan tindakan yang sangat cepat untuk
mengamankan sampel yang ada. Karena seringkali pada KLB Keracunan Pangan tidak ada sampel
yang bisa diambil sehingga sulit utuk menentukan penyebab kejadian. Jika memungkinkan, sampel
pangan dibawa dalam kemasan aslinya, seperti sterofoam ataupun bungkus nasi jika memang pangan
yang dicurigai sebagai penyebab KLB dikemas dalam wadah seperti itu. 5
a. Pengambilan Sampel Secara Kimiawi
1) Peralatan Pengambilan Sampel
Dalam melakukan pengambilan sampel secara kimiawi tidak membutuhkan peralatan khusus tetapi
perlu persyaratan sebagai berikut :
Terbuat dari bahan yang tidak mempengaruhi sifat sampel, misalnya untuk keperluan pemeriksaan
logam, alat pengambil sampel tidak terbuat dari logam
Mudah dicuci dari bekas sampel sebelumnya
Dalam keadaan bersih
Mudah dan aman dibawa
Sedangkan wadah yang digunakan untuk menyimpan sampel harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
Terbuat dari bahan gelas atau plastik
Dapat ditutup dengan kuat dan rapat
Mudah dicuci dari bekas sampel sebelumnya atau wadah sekali pakai
Tidak mudah pecah
Tidak menyerap zat-zat kimia dari sampel
Tidak melarutkan zat-zat kimia ke dalam sampel
Tidak menimbulkan reaksi antara bahan wadah dengan sampel
Dalam melakukan pengambilan sampel dapat menggunakan plastik dan juga sendok untuk mengambil
dan memasukkan sampel makanan maupun minuman sebanyak 100 gram per masing-masing jenis.
Tahapan pengambilan sampel, sebagai berikut :
Pastikan tangan kita dalam kondisi bersih. Kemudian gunakan sarung tangan dan masker.
Menyiapkan alat pengambil sampel dan wadah sampel dalam kondisi bersih dan telah diberi identitas
yang tidak mudah terhapus dan dapat terbaca jelas.
Menyiapkan format pengambilan sampel untuk mencatat lokasi pengambilan sampel, jenis sampel
yang diambil, jenis pemeriksaan sampel, petugas pengambil sampel, tanggal pengambilan, dan jam
pengambilan.
Pada pengambilan sampel secara mikrobiologi terdapat syarat yang harus dipenuhi yaitu pengambilan
sampel tidak boleh menyebabkan kontaminasi/diperlukan teknik aseptic dimana semua peralatan
pengambilan sampel yang akan digunakan harus dalan keadaan steril. Selain itu juga tidak boleh
menyebabkan penurunan jumlah mikroba dan harus 6
memberikan hasil yang reprodusibel (akan tetap sama hasilnya walaupun dilakukan pemeriksaan
berulang) sehingga harus disimpan dengan suhu tertentu.
Dalam pengambilan sampel KLB keracunan pangan, sampel dimasukkan ke dalam botol atau kantong
plastik steril untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Contohnya pada sampel pangan, untuk
memeriksa secara total, cukup dengan cara memasukkan bersama dalam satu wadah (dicampurkan)
sedangkan jika akan memeriksa setiap jenis pangan, maka setiap pangan dimasukkan ke dalam
wadah sendiri-sendiri yang terpisah sehingga diperlukan wadah yang cukup banyak sesuai dengan
banyaknya jenis makanan.
Peralatan pengambilan sampel yang dibutuhkan meliputi peralatan pengambilan sampel dan peralatan
pelindung diri (APD). Adapun peralatan pengambilan sampel yang dibutuhkan adalah:
Wadah sampel yang terdiri dari wadah steril
Peralatan untuk melakukan tindakan aseptis pada pengambilan sampel meliputi korek api, kapas,
alcohol atau spiritus.
Wadah untuk transport dan pengamanan sampel terdiri dari coolbox, dan ice pack.
Perlengkapan pengambil sampel seperti label dan spidol.
Peralatan pelindung diri meliputi sarung tangan dan masker.
Pengambilan pangan dari porsi ke dalam wadah menggunakan sendok steril dan pisau steril untuk
memotong pangan yang ukurannya besar agar mudah masuk ke dalam wadah (botol), dan potongan
pangan pada berbagai bagian dan mencakup setiap komponen dari pangan sekurang-kurangnya 100
gr. Wadah botol ditutup dengan tutupnya yang dilakukan secara aseptik, atau kantong plastik dilipat
atasnya beberapa kali lipat.
Alat Yang Dibutuhkan
Botol sampel atau kantong plastik steril
Sendok steril
Pisau steril
Sarung tangan steril
Masker
Korek api
Bunsen
Kertas label
Prosedur pengambilan sampel secara umum pada makanan dan minuman dilakukan dengan cara:
- Lakukan pengambilan sampel secara aseptis dengan melakukan tahapan proses pengambilan
didekat api Bunsen yang menyala.
- Buka tutup wadah sampel steril, usahakan tangan tidak menyentuh mulut wadah sampel.
- Ambil sampel dengan sendok/garpu, atau jika perlu potong sampel dengan pisau sebanyak ±100
gram. Jika sampel kurang dari 100 gram, ambil semua sampel yang ada.
- Masukkan sampel ke dalam wadah steril.
- Tutup rapat wadah sampel.
- Jika makanan adalah makanan atau minuman dalam kemasan, ambil sampel beserta kemasannya
untuk diperiksakan ke laboratorium.
b) Sampel Air
Pengambilan sampel air terutama adalah air minum dapat terjadi pada KLB keracunan pangan jika
yang menjadi terduga penyebab KLB berasal dari Air yang diminum seperti air yang berasal dari depot
air minum isi ulang. Volume yang diperlukan adalah minimal 100 ml dan untuk keperluan duplo volume
sampel yang dibutuhkan untuk diperiksakan kandungan bakteriologisnya adalah 200 ml.
Alat Yang Dibutuhkan
Botol sampel atau kantong plastik steril
Sarung tangan steril
Masker
Kapas steril
Alkohol 70%
Korek Api
Bunsen
Kertas Label
c) Sampel Feses
Spesimen tinja segar (2-3 gr) dimasukkan ke dalam pot steril bertutup ulir, dibalut parafilm, diamati
untuk menentukan konsistensi (padat, encer/berair, berdarah atau mucoid). Pengambilan sampel
feses korban keracunan pangan dapat dilakukan oleh petugas dengan prosedur yang sama seperti
pengambilan sampel yang akan diperiksa secara bakteriologis. Selain itu, sampel feses jugs dapat
diambil langsung oleh pasien maupun keluarga pasien sendiri dengan cara mengambio feses yang
keluar pada dinding wc leher angsa. Feses yang diambil sebagai sampel adalah feses sebelum jatuh
ke lubang wc karena jika sudah jatuh ke lubang wc dan bercampur dengan air dikhawatirkan sudah
terjadi kontaminasi sehingga sampel yang diambil tidak menggambarkan kandungan bakteri yang
sesungguhnya. Bila tinja tidak bisa didapatkan, diambil dengan tehnik rectal swab menggunakan
kapas lidi steril.
d) Rectal Swab (usap dubur)
Usap dubur adalah apusan yang dilakukan pada daerah rectum ± 2-3 cm diatas lubang anus. Rectal
swab dapat dilakukan sebagai alternatif jika pengambilan sampel feses sulit dilakukan. Petugas
pengambil rectal swab harus merupaka peugas kesehatan yang sudah terlatih dan memiliki sertfikasi
kompetensi sebagai pengambil specimen.
Alat Yang Dibutuhkan
Box sampel + Ice Pack.
Lidi kapas steril / Media Amies
Sarung tangan dan desinfektan
Masker
Spidol permanen
Label identitas sampel
Form pengambilan sampel
Media transport Carry and Blair atau media Amies
9
Prosedur:
Gunakan APD
Minta dengan cara sopan kepada pasien/orang yang akan diambil usap duburnya, melakukan posisi
menungging atau posisi tidur miring, dengan kaki menekuk (Sim).
Buka pembungkus media Amies dan keluarkan batang kapas (swab) dari media transportnya.
Celupkan kembali ke media Amies (berfungsi sebagai jelly (pelumas).
Dengan tangan kiri, pemeriksa memegang dan melebarkan lubang anus kearah samping kiri dan
kanan. Pasien/orang yang akan diambil usap duburnya tersebut diminta untuk menarik nafas dalam
Dengan tangan kanan, masukkan swab media Amies ke dalam anus dengan cara diputar searah jarum
jam dan masuk ± 3 cm. (diusahakan agar menyentuh feses)
Tarik keluar swab tersebut dengan cara memutar kearah yang berlawanan arah jarum jam sampai
keluar.
Swab dimasukan kembali ke dalam media Amies sampai terbenam kedalam media transport Carry
and Blair
Satu swab digunakan untuk satu pasien/orang yang diperiksa.
Lengkapi dengan Label sampel
e) Sampel Muntahan
Muntahan dapat diambil pada pasien/korban keracunan makanan dengan memasukkan sampel
muntahan dalam wadah steril. Cara pengambilan sampel diusahakan aseptik. Sampel muntahan yang
diambil adalah keseluruhan muntahan sehingga untuk mendapatkan sampel ini diperlukan kerjasama
dengan pasien ataupun perawat dengan menyediakan alat penampung muntahan di wadah yang
steril. Pada saat korban keracunan makanan muntah, dapat langsung ditampung dan dikirim ke
laboratrium untuk diperiksa.
3. Pelabelan Sampel
Pemberian label pada kontainer dan tabung menggunakan stiker anti-air, atau ditulis dengan
menggunakan spidol anti air. Informasi yang harus ada pada setiap label adalah:
a. Nomor sampel
b. Instansi Pengirim sampel
c. Jenis Sampel (pangan, muntahan)
d. Nama pasien (sampel specimen)
e. Usia pasien (sampel specimen)
f. Jenis kelamin pasien (sampel specimen)
g. Alamat pasien /Asal sampel
h. Parameter yang diperiksa
i. Waktu pengambilan sampel (contoh: Tanggal 20/03/13 jam 08.00 WIB)
4. Tata cara pengemasan dan pengiriman sampel pada KLB Keracunan Pangan
Setiap wadah, kemasan, atau tabung berisi sampel harus diberi label nomor KLB, nomor sampel,
jumlah sampel, tanggal pengambilan sampel dan informasi yang berkenaan dengan sejarah kasus. Di
beberapa negara, dengan alasan hukum, sampel harus ditutup dengan pita perekat sehingga wadah
tersebut tidak dapat dibuka tanpa merusakkan tutup. Jika hal itu dilakukan maka tanggal dan waktu
penutupan serta nama yang menutup harus dicantumkan. 10
a. Pengemasaan
Tahapan pengemasan:
Masukkan es batu pada dasar dan sisi sisi cool box agar suhu tetap dingin (0-4 oC)
Masukkan sampel ke plastik klip dan tutup agar kedap air dan udara.
Masukkan sampel ke dalam cool box/Styrofoam yang sudah dilengkapi dengan ice pack
Cool box di tutup rapat dan lengkapi dengan form pengambilan sampel (berisikan informasi terkait asal
sampel, jenis sampel, tanggal dan waktu pengambilan sampel serta nama pengambil sampel dan
nomor kontak yang bisa dihubungi serta formulir W1 pada KLB keracunan makanan
Tuliskan alamat lengkap laboratorium yang dituju dan nama petugas penanggung jawab laboratorium
yang dituju beserta nomor telepon yang dapat dihubungi.
Laporan Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan adalah suatu rangkaian kegiatan, mencatat
dan melaporkan berbagai aspek yang berkaitan dengan suatu KLB (Out Break) mulai dari
pengumpulan informasi adanya KLB Keracunan Pangan, gambaran endemisitas agent penyebab
KLB, besaran KLB, pangan penyebab KLB dan TPM dari hasil investigasi KLB Keracunan Pangan.
Adanya sistem pelaporan hasil Investigasi KLB Keracunan Pangan bertujuan untuk
mendokumentasikan kegiatan yang dilakukan oleh Tim Gerak Cepat (TGC) dalam penanganan KLB
Keracunan Pangan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, setiap petugas kesehatan lingkungan di
Puskesmas, Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat yang merupakan bagian dari TGC, hendaknya
mengetahui dan memahami pengisian berbagai formulir pencatatan dan pelaporan yang digunakan.
Pada sistem pelaporan ini, ada dua tools, yaitu laporan final tertulis yang sudah berjalan selama ini
dan sistem aplikasi e-monev KLB Keracunan Pangan yang dapat di akses melalui alamat web:
http://kesling.kesmas.kemkes.go.id/tpm. Sistem e-monev KLB merupakan salah satu tools dalam
proses pengumpulan dan analisis data KLB Keracunan Pangan, yang dikembangkan oleh Subdit
Penyehatan Pangan, Direktorat Kesehatan Lingkungan pada tahun 2016, yang merupakan
implementasi dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 tahun 2013 tentang KLB Keracunan Pangan,
sistem ini dibuat sebagai salah satu sarana pendukung percepatan laporan KLB Keracunan Pangan
secara online.
e-Monev KLB dikembangkan bertujuan untuk memudahkan pekerjaan investigator KLB Keracunan
Pangan dalam menganalisis agent penyebab suatu KLB Keracunan Pangan berdasarkan gejala dan
masa inkubasi racun, serta menyediakan data KLB Keracunan Pangan bagi Dinas Kesehatan
Kab/Kota, Provinsi dan Kementerian Kesehatan yang real time.
II. TUJUAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti orientasi ini, peserta mampu memahami sistem pelaporan investigasi KLB
Keracunan Pangan dan menggunakan aplikasi emonev KLB.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Laporan Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan adalah suatu rangkaian kegiatan, mencatat
dan melaporkan berbagai aspek yang berkaitan dengan suatu KLB (Out Break) mulai dari
pengumpulan informasi adanya KLB Keracunan Pangan, gambaran endemisitas agent penyebab
KLB, besaran KLB, pangan penyebab KLB dan TPM dari hasil investigasi KLB Keracunan Pangan.
Adanya sistem pelaporan hasil Investigasi KLB Keracunan Pangan bertujuan untuk
mendokumentasikan kegiatan yang dilakukan oleh Tim Gerak Cepat (TGC) dalam penanganan KLB
Keracunan Pangan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, setiap petugas kesehatan lingkungan di
Puskesmas, Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat yang merupakan bagian dari TGC, hendaknya
mengetahui dan memahami pengisian berbagai formulir pencatatan dan pelaporan yang digunakan.
Pada sistem pelaporan ini, ada dua tools, yaitu laporan final tertulis yang sudah berjalan selama ini
dan sistem aplikasi e-monev KLB Keracunan Pangan yang dapat di akses melalui alamat web:
http://kesling.kesmas.kemkes.go.id/tpm. Sistem e-monev KLB merupakan salah satu tools dalam
proses pengumpulan dan analisis data KLB Keracunan Pangan, yang dikembangkan oleh Subdit
Penyehatan Pangan, Direktorat Kesehatan Lingkungan pada tahun 2016, yang merupakan
implementasi dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 tahun 2013 tentang KLB Keracunan Pangan,
sistem ini dibuat sebagai salah satu sarana pendukung percepatan laporan KLB Keracunan Pangan
secara online.
e-Monev KLB dikembangkan bertujuan untuk memudahkan pekerjaan investigator KLB Keracunan
Pangan dalam menganalisis agent penyebab suatu KLB Keracunan Pangan berdasarkan gejala dan
masa inkubasi racun, serta menyediakan data KLB Keracunan Pangan bagi Dinas Kesehatan
Kab/Kota, Provinsi dan Kementerian Kesehatan yang real time.
II. TUJUAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti orientasi ini, peserta mampu memahami sistem pelaporan investigasi KLB
Keracunan Pangan dan menggunakan aplikasi emonev KLB.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus